You are on page 1of 15

BAB I DASAR-DASAR FILSAFAT

Lamuddin Finoza

1. Pendahuluan Sesuai dengan judulnya, tulisan ini menyajikan secara singkat hal-hal yang mendasar atau prinsip-prinsip dasar tentang filsafat. Dengan demikian, materi yang disajikan di sini boleh dikatakan hanya berupa sekilas wajah filsafat disertai identitas utamanya sebagai perkenalan. Bab ini belum dan tidak akan sampai mencakup rumah tangga filsafat, apalagi penjelasan tentang mebel dan aksesori yang ada di dalamnya. Jika filsafat itu diibaratkan sebagai suatu bangunan, tulisan ini hanya menggambarkan bagian fondasinya. Dalam tulisan ini Anda tidak akan menemukan uraian yang merambah jauh, misalnya mengenai aliran filsafat tertentu yang dalam bangunan filsafat mungkin sudah tergolong sebagai salah satu puncak dari sekian puncak bangunan filsafat. Untuk mengetahui seberapa dalam kemampuan berpikir, seberapa tinggi sikap kritis, dan seberapa luas jangkauan pemikiran orang, kita dapat menggunakan pertanyaan yang sebenarnya sudah tergolong klise: Mengapa ayam jantan mengejar ayam betina? Biasanya orangterutama yang priasecara spontan dan tanpa pikir panjang, tetapi dengan penuh keyakinan, langsung menjawab, Karena ayam jantan itu hendak mengawini betina yang dikejarnya. Setiap kali pertanyaan ini dilontarkan kepada orang atau kelompok orang di tempat yang berbeda, jawabannya akan nyaris sama. Hanya sekali dua kali saja kita akan mendapat jawaban yang agak berbeda. Jika tidak berhasil memperoleh jawaban lain yang lebih berbobot, kita lalu memberi komentar bahwa penyebab ayam jantan mengejar ayam betina belum tentu karena si jantan mau kawin dengan si betina. Bisa saja hubungan seks baru saja terjadi di antara mereka. Bisa jadi sang betina membawa lari makanan untuk dinikmatinya sendiri dan tidak mau berbagi dengan sang pejantan. Setelah mendengar komentar itu biasanya orang mulai berpikir dan menyadari bahwa alasan yang dikemukakan itu logis atau masuk akal juga. Ada lagi alasan yang tampaknya dicari-cari tetapi juga bisa benar karena lazim dilakukan pemilik terhadap ayam jantan piaraannya, yaitu pemilik sengaja mengebiri ayam jantan agar tubuhnya gemuk, untuk dijadikan ayam pedaging. Jika pengebirian sungguh terjadi, tentu saja jawaban spontan yang disebut di atas tidak mungkin lagi benar. 1

Salah satu jawaban atas pertanyaan tadi yang agak berbeda ialah Karena betinanya lari. Jika kita renungkan agak dalam, akan terasa tingkat kualitas kemungkinan benar dari jawaban terakhir ini lebih tinggi dari jawaban lainnya. Bahkan, bisa jadi itulah jawaban yang benar, sebab pernyataan, Karena betinanya lari (intinya lari) jika ditinjau dari tiga sisi cara berpikir yang dituntut oleh filsafat, yaitu mendasar, kritis, dan luas, ternyata memenuhi syarat menuju kebenaran. Cobalah Anda verifikasi. Jika ayam betina tidak lari, tentulah ayam jantan tidak perlu mengejarnya, bukan? Di sini lari merupakan fakta yang mendasar. Fakta itu juga logis (masuk akal) dan kejadian lari lalu dikejar karena alasan tertentu, berlaku di mana pun di dunia ini (universal). Bagaimana akhir cerita tentang jawaban yang pertama tadi? Kemungkinan benar dalam kasus seperti itu tidak hanya satu atau tidak selalu satu; boleh jadi ada kemungkinan benar yang lain. Pada akhirnya tentu hanya ada satu kebenaran. Kebenaran itu akan diperoleh dengan meneliti dan melakukan analisis atau pengkajian yang matang dengan memakai metode yang tepat dan dengan mengedepankan alatnya yang tidak lain adalah cara berpikir yang dalam, sikap kritis yang tinggi, dan jangkauan pemikiran yang luas. Dengan menggunakan pertanyaan seperti di atas, kita dapat memancing orang untuk berpikir mendasar, kritis, dan luas (sebagai langkah awal berfilsafat). Agaknya perlu diketahui, kebenaran yang paling tinggi sebagai solusi pemecahan masalah yang dihadapi oleh manusia akan diperoleh dengan cara bertanya, bertanya, dan terus bertanya untuk mengungkap berbagai hal atau aspek yang diperlukan oleh manusia. Jawaban demi jawaban dikaji ulang, diteliti lagi, dianalisis lagi untuk menemukan kebenaran filsafati.

2. Pengertian Filsafat dan Berfilsafat Secara etimologis kata filsafat dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab: falsafah. Kata falsafah itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, philosophia. Sebenarnya kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata, yaitu philos yang berarti suka, senang, dan cinta, dan sophia yang berarti arif, bijaksana, dan hikmah (=kebenaran yang mendalam). Dengan demikian, arti philosophia, antara lain, adalah suka kearifan, senang kebijaksanaan, atau cinta kebenaran. Pada abad IVVI SM pengetahuan filsafat dipakai oleh bangsa Yunani kuno untuk memahami alam semesta. Pada masa itu bangsa Yunani kuno percaya bahwa yang mengatur dan menguasai alam semesta adalah para dewa. Dewa-dewa itu dipuja dan disembah oleh bangsa Yunani kuno. Mereka mencoba menggambarkan dewa dengan berbagai bentuk yang direkayasa melalui mitos-mitos, yaitu dongeng, khayalan, atau rekaan untuk memenuhi rasa 2

ingin tahu manusia pada masa itu. Banyak mitos tentang bumi, bulan, matahari, dan alam semesta lengkap dengan dewa-dewanya yang mereka ciptakan. Hasil pemikiran berdasarkan mitos tentang alam semesta muncul pada zaman Babylonia, sekitar 700600 SM. Orang Babylonia berpendapat bahwa alam semesta berwujud seperti ruang setengah bola dengan bumi yang datar sebagai lantainya dan langit dengan bintang-bintang sebagai atapnya. Puncak pengetahuan pada masa yang disebut geosentrisme (karena bumi dianggap sebagai pusat tata surya) adalah pendapat dari para pemikir bangsa Yunani tentang unsur dasar kehidupan. Seorang pemikir pertama yang bernama Thales (500 SM) mengatakan bahwa unsur dasar kehidupan (yang membentuk benda-benda) sebenarnya tunggal, yaitu air. Pemikir berikutnya, Anaximenes, berpendapat bahwa unsur dasar kehidupan ada tiga, yaitu air, tanah, dan api. Setelah itu, Pythagoras, seorang pemikir yang kemudian terkenal dengan Dalil Pythagoras-nya menyatakan unsur dasar kehidupan ada empat, yaitu air, tanah, udara, dan api (Jasin, 1994:45 dan 45). Era geosentrisme bertahan lebih dari 2000 tahun, terhitung mulai dari zaman Thales. Kemudian, pada tahun 1600-an (M), Galileo Galilei (15641642), seorang pemikir terkemuka berhasil membuat teleskop. Dengan teropong jarak jauhnya itu Galileo mematahkan klaim geosentrisme tentang bumi sebagai pusat tata surya. Galileo membenarkan pendapat Nicolaus Copernicus (14731543) yang hampir satu abad sebelumnya menyatakan bahwa bumi adalah planet yang beredar mengelilingi matahari bersama planet lainnya. (Namun, pendapat ini tidak diakui oleh penguasa yang otoriter pada masa itu.) Galileo menegaskan dan mengukuhkan pendapat penting Copernicus bahwa pusat tata surya adalah matahari. Sejak waktu itulah (abad XVII) paham geosentrisme digantikan oleh paham heliosentrisme yang menganggap matahari sebagai pusat peredaran benda-benda ruang angkasa. Ilustrasi tentang unsur dasar kehidupan, mulai dari pendapat Thales dan Anaximenes, sampai dengan Dalil Phytagoras yang sudah kita kenal dan kita pakai, sampai dengan dipatahkannya paham geosentrisme oleh Galileo, adalah contoh hasil pemikiran filsafati. Pendapat yang dikemukakan dan penemuan yang dipersembahkan sungguh merupakan karya spektakuler yang tidak dihasilkan secara instan, tetapi pastilah sudah melalui proses panjang dan perenungan yang dalam. Pertanyaan yang selalu menggelitik para pencinta ilmu pengetahuan adalah, Apakah filsafat, dan bagaimana cara berfilsafat itu? Cukup banyak definisi yang telah dibuat oleh para penulis buku filsafat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pada umumnya mereka sepakat mengatakan bahwa berfilsafat adalah kegiatan berpikir secara radikal, sistematik, dan 3

universal. Perlu dicamkan bahwa dalam operasionalisasi filsafat (berfilsafat), berpikir secara radikal, sistematik, dan universal itu harus muncul bersama, kemudian berkolaborasi, lalu menghasilkan suatu kebenaran (walaupun kebenaran itu masih dapat berubah jika ditemukan kebenaran yang baru). Pengetahuan filsafat lahir di Yunani pada era geosentrisme sekitar 600500 SM. Geosentrisme tumbuh karena keterbatasan peralatan pada masa itu. Seiring dengan pertumbuhan filsafat, ilmu pengetahuan lain juga makin berkembang. Penemuan baru yang penting untuk kehidupan manusia banyak bermunculan setelah ada filsafat. Filsuf yang sangat terkenal dari era geosentrisme selain Thales adalah Phytagoras, Plato, Aristoteles, dan Ptolomeus. Kemudian, dari masa awal heliosentrisme filsuf yang sangat terkenal adalah Copernicus, Galileo, dan Socrates. Filsafat dengan cepat berkembang ke seluruh Eropa, ke Afrika Utara (Mesir), dan ke negeri Arab yang terletak di benua Asia. Ke arah timur filsafat merambat ke Pakistan, India, Cina, dan sampailah ke Indonesia. Pengetahuan filsafat dibawa oleh imigran dan kaum pedagang, terutama etnik Arab dan Cina. Pada abad IXXI oleh orang Arab memang semua ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani diterjemahkan dan dikembangkan dalam bahasa Arab (Jasin, 1994: 9). Pada masa itulah bermunculan filsuf berdarah Arab, antara lain Al Batani (abad IX); Al Farabi dan Omar Kayam (abad X); Al Gazali dan Avicenna atau Ibnu Sina (abad XI). Pemikiran para filsuf bangsa Arab yang umumnya terkenal sebagai filsuf Islam itu kemudian tersebar ke Indonesia, dibawa oleh para pendatang (imigran) etnik Arab. Dari antara pendatang itu banyak yang kemudian tinggal menetap di Indonesia. Kembali ke masalah kebenaran, termasuk yang telah dan yang masih akan diupayakan oleh filsafat, sesungguhnya kebenaran yang ditemukan manusia semuanya bersifat sementara (tentatif), tidak pernah merupakan kebenaran mutlak atau abadi.1 Setiap kebenaran masih dapat berubah jika ditemukan kebenaran baru yang diakui dunia. Sebelum ada kebenaran yang baru, kebenaran yang dipegang adalah kebenaran yang berlaku sebelumnya dan disepakati di seluruh dunia. Perhatikanlah kasus perubahan dari paham geosentrisme ke paham heliosentrisme tersebut di atas. Perubahan lain yang tergolong mutakhir adalah yang menyangkut status Pluto yang selama 70 tahun dianggap sebagai planet. Pluto yang ditemukan tahun 1930 dan ditetapkan sebagai planet kesembilan dalam galaksi bima sakti (milky way), tempat bumi kita
1

Kekecualian dalam hal ini adalah kebenaran yang merupakan dogma bagi umat beragama, misalnya tentang keyakinan adanya Tuhan, surga, neraka, dan hal lain yang dapat ditemukan dalam kitab suci umat beragama di seluruh dunia.

berada, pada tahun 2006 harus turun pangkat menjadi planetioda, yaitu julukan untuk benda langit yang mirip planet. Perubahan status itu terjadi tentulah setelah para ahli astronomi melakukan penyelidikan secara saksama dan menemukan kenyataan bahwa Pluto tidak memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai planet.2 Definisi filsafat yang dilansir di atas tadi bertolak dari kata kerja berfilsafat. Berfilsafat adalah kegiatan mencari kebenaran, dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala sesuatu yang dipermasalahkan dengan berpikir secara radikal, sistematik, dan universal. Apabila seseorang berpikir seperti itu dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan kebenaran, maka orang itu sudah memasuki filsafat. Dalam bentuk nomina, filsafat dapat diartikan sebagai suatu sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil berpikir secara radikal, sistematik, dan universal (Gazalba, 1979:41) Pengertian berpikir yang disebut radikal adalah berakar atau mendasar, siap merombak tempat berpijak secara fundamental (termasuk merombak total suatu teori) bila diperlukan atau sudah merupakan keharusan. Berakar atau mendasar berarti mendalam (deep thinking). Berpikir yang disebut mendalam itu pastilah menuntut pelakunya bersikap kritis, hati-hati, teliti, serta jeli. Inti berpikir yang disebut sistematik atau bersistem adalah logis, yaitu berpikir dengan menggunakan logika yang memakai premis-premis (kalimat atau proposisi yang dijadikan landasan penarikan kesimpulan) secara benar (rasional) sebelum menyimpulkan sesuatu. Logis juga berarti prosedural, proses pergerakan langkahnya teratur, selangkah demi selangkah, berjenjang, dengan penahapan yang dapat dipertanggungjawabkan. Berpikir yang disebut universal berarti luas, menyeluruh, mendunia, bersifat semesta (berlaku untuk semua orang), tidak picik, dan tidak terbatas pada suatu bangsa, negara, lingkungan, kelompok, atau masyarakat tertentu saja.

3. Ciri Pikiran Kefilsafatan Berpikir filsafati berarti merenung yang bukan mengkhayal atau melamun. Merenung yang dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir mendalam, kritis, dan universal dengan konsentrasi tinggi yang terfokus atau menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu. Seorang filsuf bernama Jacques Maritain mengatakan, Filsafat ialah suatu kebijaksanaan dan sifatnya pada hakikatnya berupa usaha mengetahui. Mengetahui dalam arti paling penuh serta
2

Keputusan Kongres Ahli Astronomi Sedunia di Praha (lihat Hari Kartono, Buku Ajar III MPKT IPA dan Teknologi bagi Kehidupan Manusia, Depok, 2010, hlm. 131).

paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian berdasarkan sebab-sebabnya mengapa barang sesuatu itu seperti keadaannya, tidak bisa lain dari itu (Kattsoff, 2004:65). Usaha mengetahui yang dilakukan melalui filsafat dengan cara berpikir, harus mengikuti kriteria yang sekaligus merupakan ciri berpikir filsafati yang disarikan berikut ini. Filsafat merupakan pemikiran yang sistematis. Perenungan kefilsafatan ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Perenungan itu dapat dilakukan oleh perseorangan, sama seperti cara bertanya kepada diri sendiri, dan bisa juga secara berkelompok yang diisi dengan dialog yang bersifat analitis dan kritik secara timbal balik. Keinginan kefilsafatan ialah pemikiran secara ketat. Kegiatan kefilsafatan itu sesungguhnya merupakan perenungan atau pemikiran yang sifatnya meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan mengapa, dan mencari jawaban yang lebih baik dari jawaban pertama (pandangan awal). Suatu perenungan kefilsafatan harus bersifat koheren atau runtut (tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan alias tidak runtut (inconsistent)). Dua pernyataan yang saling bertentangan (contradictory), tidak mungkin kedua-duanya benar. Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian konsepsional yang merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses, satu demi satu. Di antara yang dibicarakan itu adalah pemikiran itu sendiri. Filsafat merupakan hasil menjadi sadarnya manusia mengenai dirinya sendiri sebagai pemikir, dan menjadi kritisnya manusia terhadap dirinya sendiri sebagai pemikir di dalam dunia yang dipikirkannya. Jadi, seorang filsuf pada hakikatnya membicarakan tiga hal, yaitu dunia di sekitarnya, dunia yang ada dalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri. Dalam filsafat tidak boleh ada misteri. Misteri adalah sesuatu yang gelap, belum terpecahkan, bahkan bisa jadi tidak akan pernah terpecahkan karena gaib. Misteri yang telah terpecahkan turun statusnya menjadi problem. Problem adalah sesuatu masalah yang dapat dipecahkan (ada ilmu untuk itu: how to solve the problem). Objek filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Pada dasarnya filsafat menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Namun, masalah yang dipikirkan itu harus jelas, bukan yang misterius. (Kattsoff, 2004:15.)

4. Objek dan Lapangan Kajian Filsafat Seperti halnya semua bidang ilmu pengetahuan, filsafat tentulah memiliki objek untuk dikaji. Objek ilmu pengetahuan selalu dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material 6

merujuk kepada materi atau bahan, yakni sesuatu yang dalam hal ini dapat berwujud fisik (benda konkret) atau nonfisik (benda abstrak). Objek formal adalah sudut pandang atau fokus perhatian si peneliti terhadap objek material (dari sisi atau aspek apa dia akan melihat atau membahasnya). Dalam pengelompokan ilmu yang membagi ilmu atas tiga rumpun atau kelompok, yaitu rumpun ilmu alamiah, rumpun ilmu sosial, dan rumpun ilmu humaniora, filsafat bersama-sama dengan bahasa, agama, etika, estetika, kesenian, dan logika termasuk di dalam rumpun ilmu humaniora (bukan anggota rumpun ilmu sosial). Humaniora adalah kelompok ilmu yang objek material dan objek formalnya manusia (human), bukan yang lain. Siapakah yang memiliki filsafat, bahasa, agama, etika, estetika, kesenian, dan logika? Jawabannya tentulah hanya manusia. Di alinea pertama pasal ini telah dikemukakan bahwa objek material merujuk kepada benda konkret atau benda abstrak. Kiranya jelas bahwa objek material ilmu-ilmu yang termasuk di dalam rumpun humaniora seperti filsafat tentulah berwujud benda abstrak. Hal itu pulalah yang menyebabkan lapangan atau bidang kajian filsafat yang akan didaftarkan berikut ini semuanya berwujud nonfisik. Bidang kajian yang terpenting dalam filsafat didaftarkan dalam Tabel 1.1 berikut, lengkap dengan pertanyaan utama yang dialamatkan secara khusus kepada setiap bidang. Tabel 1.1: Lapangan Kajian Filsafat dan Pertanyaan Utama3 Lapangan Kajian (Bidang) Filsafat Epistemologi Estetika Etika Kosmologi Logika Metodologi Ontologi Pertanyaan yang Utama Apakah kebenaran itu? Apakah yang indah itu? Apakah yang baik itu? Bagaimanakah keadaannya sehingga kenyataan itu bisa teratur? Apakah hukum-hukum penyimpulan yang lurus itu? Apakah teknik-teknik penyelidikan itu? Apakah kenyataan itu?

Dari tujuh bidang kajian filsafat, tiga di antaranya mempunyai hubungan khusus yang paling mesra dengan filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi dan epistemologi terdaftar dalam tabel di atas, sedangkan aksiologi tidak turut didaftarkan.
3

Sumber: Louis O. Kaffsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta, 2004), hlm. 81.

Menurut penulis, hal itu terjadi karena aksiologi menyangkut masalah nilai filsafat (terutama baik-buruk dan benar-salah) yang sekaligus berarti memverifikasi pelaksanaan bidang-bidang ilmu yang menjadi kajian filsafat itu. Setiap kali kita membicarakan operasionalisasi bidang ilmu, yang terdaftar dalam Tabel 1.1 di atas, berarti bahwa kita minimal telah menyinggung aksiologi karena membicarakan sesuatu objek yang pada prinsipnya juga melakukan penilaian terhadap objek yang dibicarakan itu. Walaupun demikian, aksiologi tetap akan diuraikan sepintas kilas mengingat hubungan mesra trilogi (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) itu dengan filsafat.

4.1 Ontologi Ontologi berasal dari dua kata bahasa Latin: onta yang berarti ada dan logos yang berarti ilmu. Berdasarkan arti kedua kata pembentuknya itu, ontologi adalah bidang filsafat yang membicarakan atau membahas perihal ada atau keberadaan sesuatu. Seseorang dikatakan telah memasuki bidang ontologi jika dia sedang menjawab pertanyaan, Apa(kah) filsafat itu? Jawaban atas pertanyaan dengan kata apa atau apakah pastilah mengenai wujud, eksistensi, atau keberadaan sesuatu (benda). Jika objek yang ditanyakan tentang filsafat, jawabannya tentulah merujuk kepada filsafat sebagai ilmu (kata benda). Bagi kebanyakan orang tidak ada pemilihan atau klasifikasi antara kenampakan (appearance) dan kenyataan (reality). Hal itulah antara lain yang dibahas dalam kajian ontologi. Hal penting lainnya yang dibicarakan adalah yang ada (being) dan yang tiada (nonbeing). Dalam ontologi sesuatu yang ada dibedakan atas dua, yakni yang sungguh ada (actual) dan yang mungkin ada (possible). Sesuatu yang sungguh ada dibagi lagi menjadi tiga, yaitu yang nyata ada (the real), yang nampak ada (the apparent), dan yang ada dalam pikiran (the conceptual). Yang ada dalam pikiran pun masih dapat dibedakan atas dua, yaitu yang ada dalam pikiran dan memang ada dalam kenyataan, dan yang ada dalam pikiran tetapi tidak pernah kita lihat eksistensinya dalam kenyataan (Kattsoff, 2004:185-206.) Uraian singkat di atas menunjukkan ontologi merupakan kajian penting dan wajib dalam filsafat. Membicarakan keberadaan sesuatu memang penting dan perlu agar kita tidak mengkhayal dalam arti tidak mengetahui faktanya, alias berbohong. Pembahasan yang rinci dalam ontologi bertujuan melatih sikap kritis dan teliti dengan hasil akhir memahami keberadaan (apa saja komponen yang turut membentuk filsafat) sebagai sesuatu yang nyata adanya atau yang adanya nyata.

4.2 Epistemologi Istilah lain yang populer untuk epistemologi adalah filsafat ilmu pengetahuan (kata episteme berarti pengetahuan). Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membahas makna dan kebenaran. Seseorang dikatakan telah memasuki bidang epistemologi jika dia sedang menjawab pertanyaan, Mengapa kita mempelajari kebenaran filsafat (kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat)? Makna dan kebenaran dapat diibaratkan seperti kata dan makna kata dalam bahasa, atau seperti dua sisi mata uang: saling bergantung dan saling melengkapi. Sebuah kata akan kita akui sebagai kata bila ia (kata itu) mempunyai makna. Sebagai contoh, bentuk kursi berarti tempat duduk sehingga bentuk itu kita akui sebagai kata dalam bahasa Indonesia. Tetapi, bentuk-bentuk isruk, ukris, sikru, rukis, dan rusik tidak mempunyai makna atau arti sehingga kelima bentuk itu tidak kita akui sebagai kata dalam bahasa Indonesia. Rangkaian kata yang disusun sedemikian rupa dengan konstruksi minimal (ada subjek (S) dan predikat (P)) akan membentuk kalimat. Dengan kalimat dapat dibentuk berbagai pernyataan. Makna dari pernyataan disebut proposisi, yang harus berstruktur SP yang isinya berupa pernyataan yang mengakui atau mengingkari sesuatu. Dalam filsafat, aneka proposisi itulah yang dipakai sebagai pernyataan yang membawa makna benar atau salah. Berikut ini akan kita lihat bagaimana kebenaran dirumuskan oleh penganut paham atau teori terkenal yang membahas perihal kebenaran, yaitu teori koherensi, teori korespondensi, teori empiris, dan teori pragmatis. Keempat teori ini boleh dikatakan sudah menjadi standar minimal yang selalu dipakai dan dibicarakan dalam epistemologi. (Kattsoff, 2004: 176 183 dan Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V: Buku I A: Filsafat Ilmu, 1985: 910.) Teori koherensi mengatakan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi itu saling berhubungan (koheren) dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bagaimanakah cara kita mengatakan bila seseorang berbohong dalam banyak hal? Jawabnya, dengan jalan menunjukkan bahwa apa yang dikatakan orang itu tidak cocok (tidak koheren) dengan hal-hal lain yang telah dikatakan atau dikerjakannya. Teori korespondensi mengatakan bahwa suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya. Kebenaran atau keadaan benar ialah kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan faktanya atau objek yang ditujunya. Teori Empiris mendefinisikan kebenaran berdasarkan pelbagai segi pengalaman, dan biasanya menunjuk kepada pengalaman inderawi orang seorang. Dalam arti tertentu, teori ini 9

memandang proposisi bersifat meramalkan (predictive) atau hipotetis, dan memandang kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya ramalan-ramalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Teori pragmatis meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi, yaitu apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Ini berarti bahwa proposisi-proposisi yang sesuai dengan pengalaman kita adalah benar. Dengan batasbatas tersebut, kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia.

4.3 Aksiologi Aksiologi membicarakan hakikat nilai yang umum atau yang lazim ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Seseorang dikatakan telah memasuki bidang aksiologi jika dia sedang menjawab pertanyaan, Bagaimana nilai yang dihasilkan oleh filsafat? Kita boleh juga mengatakan fungsi aksiologi adalah menakar atau mengukur nilai, terutama tentang baik, benar, dan indah; atau lawannya: buruk, tidak benar, dan tidak indah. Penilaian dapat berkembang, misalnya suatu benda atau suatu perbuatan, apakah berguna atau tidak berguna; bahkan penilaian dapat juga dilakukan terhadap sikap orang yang menyatakan setuju atau tidak setuju. Pembicaraan tentang nilai menyangkut banyak cabang pengetahuan yang berkaitan atau bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus seperti ekonomi, estetika, etika, agama, dan epistemologi. Dari lima cabang ilmu tersebut, ada tiga nilai yang berbeda namanya, tetapi mempunyai persamaan dalam penafsiran. Etika berkaitan dengan masalah kebaikan; epistemologi dengan masalah kebenaran; dan estetika dengan masalah keindahan. Kebaikan, kebenaran, dan keindahan merupakan tiga serangkai yang bertalian dan saling melengkapi. Dari sudut pandang filsafat, baik, benar, dan indah membentuk kesatuan makna. Simaklah proposisi berikut. Cobalah Anda baca, lalu hayati, dan renungkan (pikirkan) maknanya. Sesuatu yang baik, pasti benar dan indah; sesuatu yang benar, pasti baik dan indah; dan sesuatu yang indah, pasti baik dan benar. Makin dalam Anda memikirkannya, makin terasa kebaikan, kebenaran, dan keindahannya. Kattsoff (2004:324) berpendapat bahwa istilah nilai mempunyai bermacam makna, yakni mengandung nilai (artinya, berguna); merupakan nilai (artinya, baik atau benar atau indah); mempunyai nilai (artinya, merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sikap nilai tertentu); dan memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal 10

yang menggambarkan nilai tertentu). Pembicaraan tentang nilai mempunyai spektrum atau jangkauan yang sangat luas. Penjelasan Kattsoff tentang cara penggunaan kata nilai dapat kita jadikan pedoman dalam pemakaiannya. Menurut Kattsoff, sesuatu benda atau perbuatan dapat mempunyai nilai, dan karena itu dapat dinilai. Hal-hal tersebut di bawah ini dapat mempunyai nilai karena mengandung nilai atau menggambarkan suatu nilai. Suatu pernyataan mengandung nilai kebenaran, dan karena itu bernilai sebagai pemberitahuan. Suatu lukisan mempunyai nilai keindahan, dan karena itu bernilai bagi mereka yang menghargai seni. Seorang ilmuan memberi nilai kepada pernyataan-pernyataan yang benar, dan pencinta keindahan memberi nilai kepada karya-karya seni.

5. Metode Belajar Filsafat Dewasa ini metode filsafat sangat banyak macam atau jenisnya. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari pesatnya perkembangan filsafat sehingga sekarang ini banyak sekali aliran filsafat yang tumbuh dan berkembang di seantero dunia ini. Mengingat tulisan ini hanya menyangkut pengetahuan dasar tentang filsafat, di sini tidak dibicarakan metode filsafat secara panjang lebar. Hanya dua metode yang menurut pendapat penulis sangat cocok dipakai untuk mempelajari dasar-dasar filsafat, yaitu metode analisis-sintesis dan metode deduksiinduksi. Kedua metode ini paling banyak dipakai oleh para filsuf dan juga ahli filsafat (ilmuwan), baik untuk memecahkan masalah filsafat secara umum maupun untuk mengkaji aliran filsafat tertentu, atau untuk membandingkan aliran yang satu dengan aliran yang lainnya. Untuk mempelajari filsafat, umumnya para filsuf berusaha memperoleh makna istilahistilah dengan cara melakukan analisis terhadap istilah-istilah itu sendiri. Setelah itu ia berusaha mengumpulkan hasil-hasil penyelidikannya ke dalam suatu sintesis. Dengan perkataan lain, metode umum yang banyak digunakan oleh filsuf adalah menganalisis dan membuat sintesis. Menganalisis adalah melakukan pemeriksaan konsepsional terhadap istilah-istilah yang digunakan atau pernyataan-pernyataan yang dibuat. Pemeriksaan ini mempunyai dua tujuan, yakni peneliti atau penulis berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam istilah-istilah yang bersangkutan. Peneliti atau penulis menguji istilahistilah itu melalui penggunaannya, atau dengan melakukan pengamatan terhadap contohcontohnya. Di dalam filsafat, analisis berarti perincian istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan ke dalam bagiannya sedemikian rupa sehingga peneliti atau penulis dapat melakukan pemeriksaan atas makna yang dikandungnya. Muara atau tujuan dari pemeriksaan itu adalah 11

penentuan makna apa yang akan Andapeneliti atau penulisberikan. Berikut ini disajikan cara memulai dan melanjutkan perenungan kefilsafatan yang disarankan oleh Kattsoff dan dapat dipraktikkan dalam mempelajari filsafat pada umumnya. Pada prinsipnya langkahlangkah yang disarankan di sini merupakan bagian dari kegiatan menganalisis dan melakukan sintesis sebagai metode utama belajar filsafat. (Kattsoff, 2004:3438.) 1. Memastikan adanya masalah yang diragukan kesempurnaan atau kelengkapannya. 2. Masalah umumnya terpecahkan dengan mengikuti dua langkah, yakni menguji prinsipprinsip kesahihannya dan menentukan sesuatu yang tak dapat diragukan kebenarannya (untuk menyimpulkan kebenaran yang lain). 3. Meragukan dan menguji secara rasional segala hal yang ada sangkut pautnya dengan kebenaran. 4. Mengenali apa yang dikatakan orang lain mengenai masalah yang bersangkutan dan menguji penyelesaian-penyelesaian mereka. 5. Menyarankan suatu hipotesis yang kiranya memberikan jawaban atas masalah yang diajukan. 6. Menguji konsekuensi-konsekuensi dengan melakukan verifikasi terhadap hasil-hasil penjabaran yang telah dilakukan. 7. Menarik simpulan mengenai masalah yang mengawali penyelidikan. Sintesis adalah rangkuman berbagai pengertian atau pendapat dari sumber rujukan sehingga menjadi tulisan baru yang mengandung kesatuan yang selaras dengan kebutuhan penulis (Utorodewo, dll., 2010: 97). Kattsoff membuat rumusan pengertian menganalisis yang berbau filsafat sebagai berikut. Menganalisis adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat dikumpulkan oleh manusia untuk menyusun suatu pandangan dunia (maksudnya, pandangan yang universal). Itulah gambaran perenungan kefilsafatan yang mencerminkan usaha untuk memperoleh pengetahuan. Usaha ini akan berakhir bila telah ditemukan jawaban terhadap masalah yang diteliti atau dikaji (Kattsoff, 2004: 22). Penulis menyarankan agar pembaca mencoba dulu cara pertama (lihat contoh sintesis dalam Utorodewo, dll., 2010). Setelah berpengalaman, Anda boleh mencoba cara kedua. Metode deduktif dan induktif diperkenalkan oleh filsuf kondang bangsa Yunani, Aristoteles (Meliono, dll., 2010: 7). Metode deduktif adalah penalaran yang menarik simpulan dari proposisi atau rumusan yang bersifat umum menuju proposisi atau rumusan yang khusus. Kebalikan metode deduktif adalah metode induktif, yaitu penalaran yang menarik simpulan dari proposisi atau rumusan yang khusus menuju proposisi atau rumusan yang umum. 12

6. Manfaat Filsafat Kegiatan berfilsafat itu sangat perlu. Tanpa berfilsafat, Anda tidak akan memperoleh sikap berpikir yang baru untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru. Kedua butir pernyataan itu sangat relevan untuk mengawali uraian tentang manfaat atau faedah mempelajari filsafat. Filsafat dipakai oleh manusia untuk menyelesaikan masalah yang dipermasalahkan oleh manusia. Masalah yang dihadapi oleh manusia dapat dibedakan atas dua macam. Pertama, masalah yang menuntut penyelesaian segera (immediate problems), yaitu masalah yang bersifat praktis sehari-hari yang berkenaan dengan keperluan pribadi yang mendesak, yang tidak seorang pun dapat mengelak atau menghindarinya. Kedua, masalah yang sifatnya asasi (ultimate problems), yaitu masalah yang berkenaan dengan hakikat manusia itu sendiri, alam semesta, dan Tuhan. Tetapi, agaknya masalah yang dihadapi oleh manusia sepanjang masa adalah tentang dirinya sendiri (Mustopo, 1988:73). Harap diingat bahwa cara berpikir filsafati, yaitu mendasar, kritis, dan luas harus muncul bersama untuk menghasilkan solusi permasalahan yang dianggap paling tepat atau paling benar. Jawaban awal atas pertanyaan klise yang dikutip di muka, Karena ayam jantan itu hendak mengawini betina yang dikejarnya, belum tentu salah, bahkan bisa saja benar karena di mana-mana hal seperti itu memang dapat terjadi (umumnya ayam jantan mengejar betina yang akan dikawininya). Namun, jawaban itu janganlah terburu-buru ditetapkan, apalagi dianggap pasti, seakan-akan jawaban lain tidak ada lagi yang benar. Kumpulkanlah data terlebih dahulu dengan melakukan penyelidikan: Apakah pejantan yang mengejar itu tidak dikebiri? Apakah hubungan seks antara si jantan dan si betina baru saja terjadi? Apakah betina membawa lari makanan? Ikutilah prosedur filsafat yang telah diuraikan di atas. Langkahnya adalah: lakukan observasi, teliti, kaji, temukan bukti, lalu evaluasilah. Prosesnya dapat diulang dengan mengajukan lagi sejumlah pertanyaan kritis seolah-olah kita meragukan jawaban yang sebenarnya telah kita yakini kebenarannya. Setelah dirasa semua jelas, tuntas, tidak ada keraguan lagi, barulah ditentukan sesuatu yang dianggap paling cocok sebagai solusi atau paling tepat ditetapkan sebagai jawaban yang pasti. Manfaat filsafat yang disebutkan di atas menegaskan betapa filsafat diperlukan oleh perseorangan, kelompok kecil, atau kelompok besar, bahkan oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini untuk memecahkan dan menyelesaikan aneka masalah kehidupan. Untuk mengakhiri uraian singkat ini, berikut ini dirangkum beberapa butir kegunaan filsafat. Materi manfaat filsafat ini dirangkum dari pemikiran para ahli filsafat yang bukunya dijadikan rujukan. Diharapkan bahwa dengan mengetahui manfaat filsafat, pembaca terpicu 13

untuk mempelajari filsafat secara serius tanpa mengganggumalahan akan membantu meningkatkanpemahaman terhadap disiplin ilmu lain yang dipelajari sebagai bidang studi utama. Filsafat menghantar Anda memasuki dunia baru bidang pemikiran yang benar-benar diperlukan oleh setiap orang yang gemar menggeluti seni berpikir. Berikut adalah manfaat atau faedah mempelajari filsafat. 1. Filsafat membuat orang mampu berpikir mendalam dan mendasar; mampu menganalisis secara kritis dan logis; serta mampu berpikir secara menyeluruh, luas, mendunia. 2. Filsafat bertujuan mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin dan mengatur semua itu dalam bentuk-bentuk yang sistematis. 3. Filsafat senantiasa mendorong orang untuk berusaha mengetahui sesuatu yang belum diketahui dan memperdalam sesuatu yang telah diketahui. 4. Berfilsafat menjadikan orang rendah hati dan sadar bahwa tidak semua pengetahuan akan dikuasainya dalam kesemestaan yang (seakan-akan) tak terbatas ini. 5. Berfilsafat membuat orang berani mengoreksi diri, berani melihat sejauh mana kebenaran yang dicari telah dijangkaunya. 6. Berfilsafat membuat orang tidak apatis terhadap lingkungan dan terhadap nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. 7. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. 8. Filsafat menyinari ilmu, menjadi inspirator berkembangnya ilmu, mendalami dan mempertinggi mutu ilmu. 9. Filsafat mengajak orang untuk bersikap arif bijaksana serta berwawasan luas menghadapi dan memecahkan problem yang dihadapi oleh manusia. 10. Filsafat dapat membentuk sikap kritis dalam menghadapi permasalahan kehidupan seharihari selaku anggota masyarakat (lingkungan sosial), dan dalam dunia keilmuan selaku anggota masyarakat ilmiah.

14

DAFTAR PUSTAKA
untuk Bab I
Anshari, H. Endang Saifuddin. 1982. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. Gazalba, Sidi. 1979. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. Jasin, Maskoeri. 1994 (cet. ke-7). Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kattsoff, Louis O. 2004 (cet. ke-9). Dasar-dasar Filsafat (terjemahan Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Meliono, Irmayanti, dll. 2010. Logika, Filsafat Ilmu, dan Pancasila. Depok: Universitas Indonesia. Mustopo, M. Habib. 1988 (cet. ke-6). Ilmu Budaya Dasar, Kumpulan Essay Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional. Soemiarno, Slamet, dll. 2009. Bangsa, Budaya, dan Lingkungan Hidup di Indonesia (Modul III MPKT). Depok: Universitas Indonesia. Universitas Terbuka, Departemen Pendidikan Nasional. 1984/1985. Materi Dasar Pendidikan Akta Mengajar V, Buku 1 A: Filsafat Ilmu. Jakarta: Universitas Terbuka. Utorodewo, Felicia N., dll. 2010 (cet. ke-3). Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan lmiah. Depok: Universitas Indonesia.

15

You might also like