You are on page 1of 16

DIARE PADA ANAK

1. Diare Akut a. Definisi Diare akut adakah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari 1 minggu. b. Epidemiologi Di dunia, sebanyak 6 juta anak menunggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang, Sebagai gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil Riskesdas 2007 diperoleh diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42% disbanding pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun pneumonia 15,5%. c. Cara Penularan dan Faktor Risiko Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal-oral yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain: Tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4- 6 bulan pertama kehidupan bayi Tidak memadainya penyediaan air bersih Pencemaran air oleh tinja Kurangnya sarana kebersihan (MCK) Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis Gizi buruk Imunodefisiensi Berkurangnya asam lambung menurunnya motilitas usus menderita campak dalam 4 minggu terakhir penyebab kematian karena diare 25,2% disbanding

d. Etiologi Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya dalah golongan virus, bakteri, dan parasit. Dua tipe dasar diare akut oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan inflammatory. e. Patofisiologi / Patogenesis Secara umum, diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbs atau sekresi. Gangguan absorpsi atau diare osmotic Secara umum, terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue, atau karena: a. Mengkonsumsi magnesium hidroksida b. Defisiensi sukrase-isomaltase adanya lactase defisien pada anak yang lebih besar c. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan

hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejunum yang bersifat permeable, air akan mengalir kea rah lumen jejunum sehingga air akan banyak terkumpul dalam lumen usus. Natrium akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar natrium yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukose, sukrose, laktose, maltose, di segmen ileum dan melebihi kemampuan absorpsi kolon sehingga terjadilah diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah yang berlebihan akan memberikan dampak yang sama. Gangguan sekresi atau diare sekretorik Hiperplasia kripta Teoritis adanya hyperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebakan sekresi intestinal dan diare. Pada umumnya, penyakit ini menyebabkan atrofi vili. Luminal secretagogues Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta asam lemak rantai panjang. Toksin penyebab diare ini terutama
2

bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosfolirasi membran protein sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain terjadi peningkatan pompa natrium dan natrium masuk ke dalam lumen usus bersama Cl-. Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadaR cAMP intraseluler, meningkatkan

permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crihn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam empedu dan lemak. Blood-Borne Secretagogues Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan oleh enterotoksin E. coli atau Cholera. Berbeda dengan negara berkembang, di negara maju, diare sekretorik jarang ditemukam, apabila ada kemungkinan disebakan oleh obat atau tumor seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormone seperti VIP. Pada orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta yang menghasilkan VIP, Polipeptida pankreas, hormone sekretorik lainnya (sindroma watery diarrhea hypokalemia achlorhydria (WDHA)). Diare yang disebabkan tumor ini termasuk jarang. Semua kelainan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral berlebihan pada vilus dan kripta serta semua enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa usus dalam keadaan normal. f. Manifestasi / Gejala Klinis Gejala gastrointestinal berupa diare, kram perut, dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis netabolik, dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler, dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonic, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau
3

dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dan dehidrasi berat.

g. Diagnosis 1. Anamnesis Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir, dan darah. Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang, atau tidak kencing dalam 68 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: member oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya. 2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernafasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadara, rasa haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya, seperti ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut, dan lidah kering atau basah. Pernafasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolic. Bisingusus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.

3. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan diare akut: Darah: darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika Urin: urin lengkap, kultur, dan tes kepekaan terhadap antibiotika Tinja

h. Penatalaksanaan Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu: 1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru 2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut 3. ASI dan makanan tetap diteruskan 4. Antibiotik selektif
6

5. Nasihat kepada orang tua Oralit Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut nonkolera pada anak. Ketentuan pemberian oralit formula baru a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang untuk persediaan 24 jam c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan: - Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali BAB - Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200ml tiap BAB d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan harus dibuang. Zinc diberikan selama 10 hari berturur-turut Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Dosis zinc untuk anak-anak Anak di bawah umur 6 bulan : 10mg ( tablet) per hari Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang/ASI/atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit. ASI dan makanan tetap diteruskan ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang
7

hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau kolera. Pemberian antibiotic yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena akan megganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotic yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhdap antibiotic, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Nasihat pada ibu atau pengasuh Kembali segera jika demam, tinja berdarah, berulang, makan atau minum sedikit, sangat halus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari.

II. SHOCK

2.1

Definisi Shock adalah diagnosis klinis yang terjadi karena berbagai sebab. Shock merupakan gawat

darurat medik dengan morbiditas dan mortalitas tinggi (>20%) yang membutuhkan penanganan segera. Gejala awal shock pada anak tidak sama dengan dewasa karena fungsi organ dan kemampuan kompensasi tubuh yang relatif berbeda sesuai perkembangan usia. Shock hipovolemik terjadi sebagai akibat berkurangnya volume darah intravascular 2.2 Epidemiologi Shock hipovolemik merupakan jenis shock yang paling banyak dijumpai dan merupakan penyebab kematian utama anak. Di negara berkembang penyebab utama hipovolemia adalah diare akut dan demam berdarah dengue, sedang di negara maju penyebab utama hipovolemia adalah perdarahan akibat trauma. 2.3 Etiologi Penyebab shock hipovolemi selengkapnya adalah sebagai berikut: 1. Kehilangan cairan dan elektrolit: a. Diare b. Muntah c. Diabetes insipidus d. Heat stroke e. Renal loss f. Luka bakar 2. Perdarahan : - Perdarahan internal: a. Ruptura hepar/lien b. Trauma jaringan lunak c. Fraktura tulang panjang d. perdarahan saluran cerna (ulkus peptikum, divertikulum Meckel, sindroma Mallory Weis dsb) e. kelainan hematologis - Perdarahan eksternal :
9

a. trauma 3. Kehilangan plasma : a. luka bakar b. sindroma nefrotik c. obstruksi ileus d. demam berdarah dengue e. peritonitis 2.4 Patofisiologi Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer penyebab shock. Namun secara umum bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan respon untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital melalui refleks neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang beredar, tonus pembuluh darah dan sistim pompa jantung. Gangguan dari salah satu fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya shock. Bila terjadi hipovolemi maka mekanisme kompensasi yang terjadi adalah melalui: 1. Baroreseptor Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam pembuluh darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap baroreseptor akan menurun, sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor kan pusat juga berkurang, sehingga akan terjadi : - Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibitory centre. - Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia. Baroreseptor ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan baroreseptor perifer yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah. 2. Kemoreseptor Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai 60 mmHg. Bila tekanan darah menurun di bawah 60 mmHg maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila terjadi hipoksia dan asidosis jaringan. Akibat rangsangan kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang luas dan rangsangan pernafasan. 3. Cerebral Ischiemic Receptor
10

Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40 mmHg maka akan terjadi symphathetic discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari respon reseptor perifer. 4. Respon Humoral Bila terjadi hipovolemia/hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormon-hormon stres seperti epinefrin, glukagon, dan kortisol yang merupakan hormon yang mempunyai efek kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran hormon ini adalah terjadi takikardia, vasokonstriksi dan hiperglikemia. Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan darah perifer dan preload, isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi ADH oleh hipofise posterior juga meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi. 5. Retensi air dan garam oleh ginjal Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran renin oleh aparatus yukstaglomerulus yang merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Angiotensin I ini oleh Angiotensin convertizing enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang mempunyai sifat : a. Vasokonstriktor kuat. b. Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi natrium di tubulus ginjal. c. Meningkatkan sekresi vasopresin 6. Autotransfusi Autotransfusi adalah suatu mekanisme didalam tubuh untuk mempertahankan agar volume dan ekanan darah tetap stabil. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara jumlah cairan intravaskular yang keluar ke ekstravaskular atau sebaliknya. Hal ini tergantung pada keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik intravaskular dan ekstravaskular serta pada keadaan dinding pembuluh darah. Pada keadaan hipovolemi maka tekanan hidrostatik intravaskular akan menurun maka akan terjadi aliran cairan dari ekstra ke intravaskular sehingga tekanan darah dapat dipertahankan. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya cairan, bila proses hilangnya cairan tubuh cepat maka proses ini tidak akan mampu menaikkan tekanan darah. Akibat dari semua ini maka akan terjadi : a. Vasokonstriksi yang luas Vasokonstriksi yang paling kuat terjadi pada pembuluh darah skeletal, sphlanchnic dan kulit, sedang pada pembuluh darah otak dan koronaria tidak terjadi vasokonstriksi,
11

bahkan aliran darah pada kelenjar adrenal meningkat sampai 300% sebagai usaha kompensasi tubuh untuk meningkatkan respon katekolamin pada shock. 2 Vasokonstriksi ini menyebabkan suhu tubuh perifer menjadi dingin dan kulit menjadi pucat. b. Sebagai akibat vasokonstriksi maka tekanan diastolik akan meningkat pada fase awal, sehingga tekanan nadi menyempit, tapi bila proses berlanjut keadaan ini tidak dapat dipertahankan dan tekanan darah akan semakin menurun sampai tidak terukur. c. Takikardia d. Iskemia jaringan akan menyebabkan metabolisme anaerobik dan terjadi asidosis metabolik. e. Hipovolemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat sehingga kesempatan pertukaran O2 dan CO2 ke dalam pembuluh darah lebih lama dan akibatnya terjadi perbedaan yang lebih besar antara tekanan O2 dan CO2 arteri dan vena. 2.5 Diagnosis Diagnosis shock pada bayi dan anak kadang-kadang sulit, tanda-tanda shock berat dengan gejala yang jelas seperti nadi yang lemah atau tidak teraba, akral dingin dan sianosis mudah dikenal, tapi pada compensated shock dimana tekanan darah sentral masih dapat dipertahankan, seringkali diagnosis shock sulit ditegakkan. Pengambilan anamnesis yang baik dan benar sangat penting untuk menegakkan diagnosis etiologis dari shock, seperti adanya muntah dan diare akan mengarahkan kita pada shock hipovolemik, trauma atau pasca operasi kemungkinan menjadi penyebab shock hipovolemik karena perdarahan. Pada neonatus, panas pada ibu waktu melahirkan, ketuban pecah prematur (KPP), perdarahan intrapartum atau distres fetal dapat membantu memperkirakan penyebab shock pada bayi. Manifestasi klinis shock tergantung pada : - Penyakit primer penyebab shock - Kecepatan dan jumlah cairan yang hilang - Lama shock serta kerusakan jaringan yang terjadi - Tipe dan stadium shock 2.6 Stadium Shock Secara klinis perjalanan shock dapat dibagi dalam 3 fase yaitu: a. Fase kompensasi
12

b. Dekompensasi c. Ireversibel

2.7

Pemeriksaan Laboratorium a. Hemoglobin dan hematokrit Pada fase awal shock karena perdarahan kadar Hb dan hematokrit masih tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan menurun sesudah perdarahan berlangsung lama, karena proses autotransfusi. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah yang terjadi. Pada shock karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti pada demam berdarah dengue atau diare dengan dehidrasi akan terjadi hemokonsentrasi. b. Urin Produksi urin menurun, lebih gelap dan pekat. Berat jenis urin meningkat >1,020. Sering didapat adanya proteinuria c. Pemeriksaan gas darah pH, PaO2 ,PaCO2 dan HCO3 darah menurun. Bila proses berlangsung terus maka proses kompensasi tidak mampu lagi dan akan mulai tampak tanda-tanda kegagalan dengan makin menurunnya pH dan PaO2 dan meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang lebih jelas antara PO2 dan PCO2 arterial dan vena. d. Pemeriksaan elektrolit serum Pada shock seringkali didapat adanya gangguan keseimbangan elektrolit seperti hiponatremia, hiperkalemia, dan hipokalsemia terutama pada penderita dengan asidosis.
13

e. Pemeriksaan fungsi ginjal Pemeriksaan BUN dan kreatinin serum penting pada shock terutama bila ada tanda-tanda gagal ginjal. f. Pemeriksaan mikrobiologi yaitu pembiakan kuman dilakukan hanya pada penderitapenderita yang dicurigai. g. Pemeriksaan faal hemostasis h. Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diperlukan untuk menentukan penyakit primer penyebab.

2.8

Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah: - Optimalisasi perfusi jaringan dan organ vital - Mencegah dan memperbaiki kelainan metabolik yang timbul sebagai akibat hipoperfusi jaringan Tatalaksana 1. Bebaskan jalan nafas, berikan oksigen (FiO2 100%), kalau perlu bisa diberikan ventilatory support 2. Pasang akses vaskular secepatnya (dalam 60-90 detik) untuk resusitasi cairan, berikan cairan secepatnya. Hampir pada setiap jenis shock terjadi hipovolemia baik hipovolemia absolut atau relatif sehingga terjadi penurunan preload, karena itu terapi cairan pada shock sangat penting. Anak lebih jarang mengalami overload cairan dibanding dewasa sehingga terapi shock paling tepat adalah pemberian cairan dengan cepat dan agresif yaitu pemberian kristaloid atau koloid 20 ml/kgBB dalam 1015 menit secara intravena. Pemberian cairan ini dapat diulang 23 kali, kalau masih belum berhasil bisa diberi plasma atau darah. Bila akses intravena sulit didapat pada anak balita bisa dilakukan pemasangan akses intraosseous di daerah pretibia. Pemberian secara intraosseus ini cukup baik dan selain untuk pemberian cairan bisa digunakan juga untuk pemberian obat-obatan. Kesulitannya adalah cairan kadang-kadang tidak bisa dengan cepat masuk, dalam keadaan seperti ini untuk mempercepat masuknya cairan dapat diberikan tekanan. Pada shock yang berat atau sepsis pemberian cairan bisa mencapai >60 ml/kgBB dalam 1 jam pertama. Bila resusitasi cairan sudah mencapai 23 kali dimana jumlah cairan yang
14

diberikan sudah mencapai 40-60% dari volume darah telah diberikan tapi belum ada respon yang adekuat, maka dilakukan tindakan intubasi dan bantuan ventilasi. Evaluasi hasil analisis gas darah dan koreksi asidosis metabolik yang terjadi bila pH <7,15. Bila masih tetap hipotensi atau nadi tidak teraba sebaiknya dipasang kateter vena sentral (CVP) untuk pemberian resusitasi dan pemantauan status cairan tubuh. Evaluasi kembali kenaikan CVP setelah pemberian cairan secara berhati-hati. 3. Inotropik Indikasi pemberian inotropik adalah shock hipovolemik yang refrakter terhadap pemberian cairan dan shock kardiogenik. Inotropik mempunyai efek kontraktilitas dan efek terhadap pembuluh darah yang bervariasi terhadap tahanan vaskular, sebagian menyebabkan vasokonstriksi (epinefrin, norepinefrin) sebagian lainnya menyebabkan vasodilatasi (dopamine, dobutamin, melrinon). Meskipun banyak digunakan tetap harus diingat bahwa penggunaan yang tidak tepat bisa memperjelek keadaan karena penggunaan inotropik dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard yang dapat memperberat fungsi miokard dengan perfusi yang sudah terbatas. Efek vasokonstriksi juga akan memperberat iskemia mikrovaskulatur dan akan memperjelek perfusi organ-organ perifer.

15

DAFTAR PUSTAKA Subagyo B. Nurtjahjo NB. 2011. Diare Akut, Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI. Pickering LK, Snyder JD. 2004. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson textbook of Pediatrics 17ed. Saunders. WHO, UNICEF. 2006. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J. Clin Invest. 2003 Buku Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin, 2010. Hinds CJ.1987. Shock. In : Hind CJ ed. Intensive Care a Concise textbook. Eastbourne, Eastsussex: Balliere Tidall. Advance pediatric life support, the practical approach : shock ( chapter 10 ) 2nd ed. Advance life support group, BMG Publisher, London, 1997. Sendel J, Scherung A, Salzberg D.2003 Shock. In : Crain EF, Gershel JC. Clinical Manual of Emergency Pediatrics, 4th ed. NewYork : McGraw-Hill Gould SA, Sehgal LR, Sehgal HL, Moss GS. 1993 Hypovolemic shock. Crit Care Clin.

16

You might also like