You are on page 1of 8

ILLEGAL LOGGING DAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI TERHADAP MASYARAKAT SEKITAR HUTAN1) Oleh : Sri Lestari2) ABSTRAK Kegiatan

illegal logging yang terjadi di Indonesia mengakibatkan kerusakan hutan semakin meningkat. Saat ini areal hutan Indonesia yang rusak telah mencapai luasan 43 juta hektar dengan laju kerusakan hutan 1,8 juta hektar per tahun (WWF, 2003). Dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1998, kegiatan perambahan hutan dan illegal logging oleh masyarakat semakin merata. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya memiliki bentuk aktivitas tradisional pertanian ladang sebagai pilihan utama yang dilakukan setiap tahun guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semakin berkembangnya kehidupan dan bertambahnya kebutuhan hidup keluarga, mendorong masyarakat untuk melakukan pembukaan hutan. Kegiatan illegal logging memberikan dampak yang multidimensi pada berbagai sendi kehidupan masyarakat, yaitu meningkatnya tingkat ketergantungan masyarakat, putusnya hubungan emosional masyarakat lokal dengan lingkungannya dan bergesernya kegiatan perekonomian masyarakat sekitar hutan yang semula berladang menjadi kegiatan industri. Upaya penanggulangan illegal logging telah banyak dilakukan, akan tetapi belum memberikan dampak yang nyata terhadap pengurangan laju deforestasi hutan. Oleh karena itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari tingkat pusat sampai ke level masyarakat (multi stakeholders) dan upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan agar upaya peningkatan pembangunan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. Kata kunci: Illegal logging, kerusakan hutan, masyarakat sekitar hutan I. PENDAHULUAN Luas hutan Indonesia semakin lama semakin berkurang, saat ini areal hutan Indonesia yang rusak telah mencapai luasan 43 juta hektar dengan laju kerusakan hutan 1,8 juta hektar per tahun (WWF, 2003). Kerusakan sumberdaya hutan tersebut telah mengakibatkan Indonesia kehilangan berbagai plasma nutfahnya, yang secara otomatis mengurangi kuantitas dan kualitas keanekaragaman hayati. Bahkan diperkirakan kerugian finansial hasil hutan kayu mencapai Rp 30,42 trilyun, sebagai akibat penyelundupan hasil hutan kayu yang besarannya mencapai 10 juta m3 per tahun (Bangun dan Wening, 2003). Degradasi hutan tersebut antara lain disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan, over cutting dan illegal logging, penjarahan, perambahan, okupasi lahan, dan kebakaran hutan (Saparjadi, 2003). Kerusakan ---------------------1) Makalah Utama pada Ekspose Hasil Penelitian Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Jambi, 22 Desember 2005. 2) Peneliti pada Balai Litbang Hutan Tanaman Palembang

107

hutan (deforestasi) yang disebabkan oleh kegiatan illegal logging ini tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi saja, tetapi juga secara nyata telah terjadi di dalam kawasan hutan konservasi (taman nasional) dan hutan kawasan lindung (Departemen Kehutanan 2002 dalam Bangun dan Wening, 2003). Di wilayah Taman Nasional Gunung Palung Kalimantan Barat saja misalnya, daerah yang belum tersentuh illegal logging, atas dasar analisis GIS diperoleh data hanya tinggal kurang lebih 28.800 hektar atau 32 % dari luas total Taman Nasional Gunung Palung 90.000 ha (perhitungan pada Juni 2001) (WWF, 2003). Bila terus dibiarkan, jumlah kerusakan akibat illegal logging ini akan terus bertambah. Terlihat secara nyata bahwa saat ini masyarakat sekitar hutan semakin merasakan dampak langsung akan adanya kerusakan hutan, karena ekosistem kehidupan mereka telah mengalami perubahan dan penurunan fungsi yang demikian cepat dan besar. Adanya bencana banjir dan tanah longsor merupakan salah satu akibat langsung yang membawa kerugian, baik finansial maupun mental, tidak hanya bagi masyarakat sekitar hutan, tetapi juga bagi masyarakat luas. Selain itu, terjadinya pembalakan secara besar-besaran terhadap hutan yang melibatkan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar masyarakat itu sendiri, yang dilakukan secara legal atau dalam bentuk yang illegal, yang menambah tingkat interaksi masyarakat desa hutan dengan pihak luar semakin intensif. Dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1998, kegiatan perambahan hutan dan illegal logging oleh masyarakat semakin merata di seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat yang pada dasarnya kurang paham tentang kelestarian hutan pun akhirnya menjadi oyjek garapan bagi berbagai pihak yang ingin memanfaatkan momen tersebut untuk kepentingan pribadi maupun golongan mereka. II. KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM PENGARUH ILLEGAL LOGGING Menurut Sardjono (1998) dalam Effendi et al. (2003), masyarakat sekitar hutan lebih ditekankan pada sekelompok orang yang secara turun temurun bertempat tinggal di dalam/di sekitar hutan dan kehidupan serta penghidupannya (mutlak) bergantung dari hasil hutan dan/atau lahan hutan. Disebutkan lebih lanjut bahwa sekelompok orang tersebut dalam konteks yang lebih spesifik (dikaitkan dengan nilai kearifan terhadap sumberdaya hutan yang ada) disebut sebagai masyarakat tradisonal (traditional community) dan dari sisi kepentingan yang lebih luas (pembangunan daerah) lebih sering diistilahkan sebagai masyarakat lokal (local community). Sedangkan illegal logging sendiri, yang merupakan tindakan kejahatan lingkungan di sektor kehutanan, menurut ITTO adalah berbagai aktivitas penebangan/pemanenan hutan secara melawan hukum. Prasetyo et al. (2005) mendefinisikan illegal logging sebagai praktek eksploitasi hasil hutan berupa kayu secara tidak sah dari kawasan hutan negara melalui aktivitas penebangan pohon dan atau pemanfaatan dan peredaran kayu atau olahannya yang berasal dari hasil tebangan secara tidak sah tersebut. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya memiliki bentuk aktivitas tradisional pertanian ladang sebagai pilihan utama yang dilakukan setiap tahun guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semakin berkembangnya kehidupan dan bertambahnya kebutuhan hidup keluarga, akan membutuhkan lahan yang lebih luas untuk bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang kemudian

108

ikut berperan serta dalam mendorong masyarakat untuk melakukan pembukaan hutan. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, semakin banyak masyarakat lokal yang secara gencar menuntut haknya dalam hal pengelolaan hutan, mereka yang selama ini tidak terperhatikan oleh pemerintah setempat merasa mendapatkan angin segar untuk ikut ambil bagian. Sebagai akibatnya, penjarahan hutan dan perambahan liar oleh masyarakat semakin tidak dapat dikendalikan hampir di seluruh kawasan hutan di Indonesia. Belum lagi dengan adanya pihak dari luar masyarakat yang ikut mengambil kesempatan pada kondisi semacam ini, yang kemudian dengan mengatasnamakan masyarakat turut serta dalam eksploitasi sumberdaya hutan. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, dimanfaatkan oleh pemodal-pemodal dan cukong kayu untuk menjadikan masyarakat sebagai tameng. Menurut Sukaryanto (2005), tingginya tekanan akan kebutuhan hidup, mengakibatkan masyarakat penebang pada umumnya sangat bergantung dan terikat dengan pemodal, sehingga bila terjadi operasi penertiban/pengamanan, masyarakat penebang ini rela berada di garis depan untuk melindungi para pemodal atau cukong kayu. Pada umumnya masyarakat melakukan peminjaman uang kepada pemodal sebelum mereka masuk kawasan hutan, dan hutang itu akan dikembalikan dengan kayu tebangan yang dihasilkan. Bila hal ini terus berkelanjutan, sebenarnya bukan masyarakat yang diuntungkan, melainkan adalah para pemodal-pemodal tersebut. Karena uang yang mereka pinjam tidak sebanding dengan besaran yang harus mereka bayar, belum lagi kerugian lain yang berupa semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup tempat mereka tinggal dan akibat lain yang mungkin akan timbul di kemudian hari, yang pada akhirnya masyarakat juga yang akan menanggungnya. Cukong tidak pernah berpikir bagaimana keselamatan, keberlangsungan pekerjaan, dan sebagainya bagi warga masyarakat, sementara masyarakat justru mendambakan perhatian yang lebih dari para cukong, sehingga hubungan tidak sebatas hubungan perdagangan saja yang melahirkan pameo di masyarakat ada kayu ada kepentingan, tak ada kayu tak ada hubungan (Sulastriyono, 2004). Kehadiran cukong berperan nyata dalam memperkenalkan masyarakat bawah kepada praktek korupsi dan kolusi. Kasus di Provinsi Riau misalnya, seperti yang telah dilaporkan oleh Setyarso, 2004, untuk syarat mendapatkan HPH 100 ha masyarakat diwajibkan untuk mengumpulkan uang tunai sebesar Rp 500.000,- dan apabila uang sudah terkumpul dari 25-30 orang, didapat uang tunai sebesar Rp 15.000.000,- yang digunakan untuk modal mengurus perijinan HPHH. Sebagaimana juga dilaporkan oleh Suryanto et al. (2005) dengan makin maraknya kegiatan pencurian kayu, di Kalimantan Timur terdapat banyak sawmill illegal logging skala kecil yang beroperasi di sepanjang sungai Mahakam mulai dari Kota Bangun, Sebulu hingga Samarinda. Lebih lanjut disampaikan pula bahwa rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tingkat pengangguran yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah di masa lalu dan sistem kebijakan hutan kemasyarakatan yang sangat terlambat implementasinya, merupakan penyebab mendasar dari maraknya sawmil illegal di Kecamatan Sebulu tersebut. III. PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI LOKAL Seperti diuraikan sebelumnya, kegiatan illegal logging memberikan dampak yang multidimensi pada berbagai sendi kehidupan masyarakat bahkan bangsa 109

dan negara. Terjadi banyak pergeseran dan perubahan yang menyertai semakin terdegradasinya hutan dan lingkungan hidup. Menurut Suryanto et al. (2005), hutan tidak lagi dimaknai sebagai bagian dari salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, melainkan secara utuh telah menjadi bagian dari sistem kapitalis yang harus dieksploitasi, sehingga aspek sosial, religi, budaya, dan aspek lingkungan hutan sudah menjadi pudar. 1. Meningkatnya Tingkat Ketergantungan Masyarakat Kegiatan illegal logging yang banyak terjadi di seluruh kawasan hutan di Indonesia telah menimbulkan dampak sosial yang sangat tidak menguntungkan bagi penduduk sekitar kawasan. Masyarakat yang sudah mulai ketagihan ikut melakukan kegiatan illegal logging menjadi sulit untuk lepas dari sistem illegal logging tersebut. Seperti dilaporkan oleh Hiariej (2003), penduduk di Kalimantan Barat yang berada di daerah-daerah yang marak dengan illegal logging hanya terkena efeknya yang mana mereka hanya bertindak sebagai pekerja. Mau tidak mau penduduk setempat harus ikut terlibat di dalam kegiatan haram tersebut. Di sana juga terjadi eksploitasi anak dan perempuan. Anak-anak yang seharunya mendapatkan pendidikan di sekolah, malah tidak sekolah dan hanya merakit kayu. Para perempuan yang ada di lokasi illegal logging itu bertugas memasak sekaligus sebagai pekerja seksual. Kondisi ini mengakibatkan penduduk desa lupa akan ladangnya. Selain itu juga banyak terjadi pembodohan penduduk oleh cukong dari Malaysia yang menukar kayu dengan alat elektronik. Ketergantungan masyarakat tidak hanya berlaku bagi yang berada di sekitar kawasan lokasi illegal logging saja, tetapi juga terjadi pada masyarakat luas, yaitu ketergantungan terhadap kayu murah hasil kegiatan illegal logging tersebut. Terbukti bahwa dengan mulai dilakukannya operasi besar-besaran terhadap kegiatan illegal logging, banyak proyek pembangunan yang mandek. Begitu juga dengan kegiatan industri kayu yang sudah terbuai dengan bahan baku murah dari hasil illegal logging, tidak lagi mengindahkan adanya sertifikasi atau tidak terhadap bahan baku yang mereka beli. 2. Putusnya Hubungan Emosional Masyarakat Lokal dengan Lingkungannya Nilai dan norma adat masyarakat lokal sudah mulai mengalami degradasi di tengah masyarakat adatnya sendiri yang untuk jangka jauh ke depan akan membahayakan warga masyarakat sendiri. Hal ini nampak dari mulai dilanggarnya hukum adat setempat mengenai larangan menebang jenis-jenis pohon tertentu yang semula diyakini mempunyai nilai sakral yang tinggi, seperti jenis tengkawang dan lainnya. Bahkan masyarakat pun menebang pohon-pohon yang berada di kawasan hutan adat tanpa takut lagi terhadap hukum adat yang ada, karena biasanya mereka diperbolehkan menebang pohon asalkan bersedia membayar fee dengan jumlah tertentu. Masyarakat setempat pada umumnya tergiur dengan keuntungan sesaat dan pada saat ini, mereka tidak menyadari bahwa akibat dari kegiatan illegal logging tersebut baru akan terasa beberapa waktu yang akan datang. Mereka lebih takut kepada para cukong kayu dan pemodal dibandingkan kepada kepala desa atau hukum pemerintah. Sehingga apabila mereka telah terikat kontrak dan hutang kepada para cukong, mereka akan melakukan berbagai upaya guna memenuhi permintaan kayu para cukong dan pemodal tersebut. 110

3. Pertanian Ladang Industri Kegiatan perekonomian masyarakat sekitar hutan sedikit demi sedikit mengalami pergeseran dengan semakin maraknya illegal logging. Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kegiatan penebangan kayu illegal yang memberikan hasil lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan dari kegiatan berladang. Perlahan tapi pasti, dengan semakin banyaknya bahan baku kayu yang beredar dengan harga murah, bermunculanlah sawmil-sawmil illegal yang kemudian lama kelamaan bisa berubah menjadi legal karena adanya kebijakan pemerintah. Hal ini terjadi di Kabupaten Indragiri Hilir, seperti dilaporkan oleh Effendi et al. (2003).
Tabel 1. Perkembangan industri kecil bidang perkayuan di Kabupaten Indragiri Hilir tahun 1987tahun 2002 Jenis industri Kayu Perabot & Penam- Galangan Penambahan bahan olahan kapal furniture 1987 1988 1989 3 1990 2 3 0 1991 5 3 3 0 1992 8 3 3 0 1993 14 6 3 0 1 1994 19 5 3 0 1 0 1 1995 27 8 3 0 2 1 2 1996 36 9 3 0 2 0 2 1997 46 10 3 0 4 2 3 1998 50 4 6 3 4 0 3 1999 111 61 7 1 7 3 6 2000 127 16 11 4 9 2 7 2001 159 32 17 6 10 1 13 2002 213 54 20 4 10 0 22 Sumber : Dinas Perindag Kabupaten Indragiri Hilir, 2002 dalam Effendi et al. (2003) Thn Sawmill
Penambahan

Penambahan 0 1 0 3 1 1 9

Selagi hutan kita masih ada dan kegiatan illegal logging itu masih bisa dilakukan oleh masyarakat dan memberikan hasil/pendapatan yang tinggi, mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Namun kelak di kemudian hari masalah akan muncul kembali pada saat tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kegiatan illegal logging semakin tinggi, sementara ketersediaan kayu dalam hutan hutan sudah tidak ada lagi. IV. UPAYA PENANGGULANGAN ILLEGAL LOGGING Pembangunan sektor kehutanan yang selama ini menjadi kebijakan Departemen Kehutanan belum secara nyata berpengaruh terhadap perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Bahkan seringkali terjadi di mana program pembangunan kehutanan tersebut hanya dimanfaatkan oleh beberapa pihak dan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Kegiatan illegal logging di Indonesia dalam skala yang lebih luas akibatnya juga akan dirasakan oleh dunia secara global.

111

Illegal logging saat sekarang ini menjadi permasalahan nasional yang cukup mengkhawatirkan, karena bila kita terus terlambat dalam penanganannya maka kita akan kehilangan lebih banyak lagi hutan kita. Berbagai upaya penanganan yang telah diupayakan oleh pemerintah pun belum memberikan dampak yang berbeda nyata terhadap pengurangan laju deforestrasi hutan. Adanya operasi wana bahari, wana lestari, dan sebagainya belum menunjukkan keberhasilan yang memuaskan. Karena walaupun telah banyak oknum yang disinyalir terlibat dalam tindakan illegal logging, namun masih sangat sedikit yang pada akhirnya selesai dengan ketegasan hukum. Banyak aktor yang terlibat, baik secara langsung atau tidak langsung dalam kegiatan illegal logging (Suryanto et al., 2005). Disampaikan pula bahwa aktor kejahatan kehutanan tersebut dapat dipilah menjadi pemrakarsa, penyedia dana, pemberi ijin dan dokumen manipulatif, pengawal hasil tindak kejahatan, pedagang-perantara, pemilik industri yang mengolah kayu hasil tindak kejahatan, dan masyarakat penebang kayu illegal. Interaksi antara cukong-pejabat/aparat terjadi melalui berbagai modus operandi (Setyarso, 2004). Lebih lanjut dinyatakan bahwa DFID (Department for International Development, 2003) Region Kalimantan mengidentifikasikan paling tidak terdapat 10 aktor atau oknum yang berperan dalam kegiatan illegal logging khususnya di Kalimantan, yaitu pemodal, broker, aparat kehutanan, aparat keamanan, aparat pemerintah daerah, anggota DPRD, wartawan, lembaga swadaya masyarakat, preman, dan masyarakat sekitar hutan sendiri. Modus yang dilaporkan mulai dari proses pemberian ijin kehutanan, pengeluaran dokumen kayu, pemasukan alat berat kehutanan, pemungutan pajak liar, penyedia jasa pengamanan, baik pengamanan penebangan, transportasi, industri, sampai dengan kohesi yang terjadi di dalam proses yustisinya (Setyarso, 2004). Dalam tulisannya, Sukaryanto (2005) mengemukakan bahwa beberapa sumber permasalahan illegal logging yang terjadi adalah: 1. Masih lemahnya komitmen politik pemerintah terhadap kelestarian alam, karena seharusnya ada pernyataan politik dari pimpinan nasional maupun pimpinan daerah untuk membuat kesepahaman tentang hutan. 2. Adanya pemodal-pemodal atau cukong kayu sebagai sumber dana dari penebang kayu secara illegal. 3. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan. 4. Tidak terselenggaranya sistem pemerintahan yang baik dan bersih. 5. Masih lemahnya pengawasan pemerintah maupun masyarakat sendiri. 6. Belum terjalinnya koordinasi antar pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun instansi yang berkaitan. 7. Belum adanya perjanjian billateral untuk menanggulangi perdagangan kayu hasil illegal logging. Ditambah lagi dengan adanya pertambahan industri kayu yang mengakibatkan permintaan kayu menjadi sangat tinggi, tentu saja ini juga menjadi faktor pendorong maraknya illegal logging di berbagai daerah, yang secara finansial memang menguntungkan, karena dengan investasi yang rendah dapat diperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di Provinsi Riau oleh Effendi et al. (2003), diperoleh informasi bahwa di provinsi ini telah dilakukan beberapa upaya penanggulangan illegal logging, yaitu: 1) Kerjasama dengan aparat terkait dalam melakukan penyuluhan hukum, mengumpulkan data, intelijen, dan analisis modus operandi illegal logging,

112

meningkatkan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat melalui media massa cetak dan elektronik antara lain pemasangan papan pengumuman tentang larangan dan sanksi hukumnya, penyebaran leaflet/brosur, pemutaran film, pembuatan sandiwara radio, dan dialog interaktif mengenai illegal logging, perambahan hutan, dan okupasi lahan. 2) Kerjasama antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada masing-masing pihak. 3) Melaksanakan mekanisme reward and punishment. Sementara itu Saparjadi (2003), menyebutkan beberapa rencana aksi pemberantasan illegal logging yang salah satu sasarannya adalah peningkatan pembangunan kesejahteraan masyarakat yang meliputi: 1) Mobilisasi dari berbagai sektor pembangunan pada daerah-daerah rawan illegal logging/gangguan hutan lainnya, yang dapat meredam atau merealisasikan gejolak kebutuhan lapangan kerja dan usaha. 2) Pelibatan masyarakat sipil dalam upaya-upaya pemberantasan illegal logging dengan pendekatan kesejahteraan masyarakat melalui program social forestry yang diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat setempat. 3) Mendorong mitra kerja kehutanan termasuk LSM dan negara donor untuk memfasilitasi pembangunan masyarakat yang berakses ke dalam hutan serta berakses permodalan, pasar, dan teknologi sederhana khusus sekitar dan di dalam kawasan konservasi. 4) Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya sumberdaya hutan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang melalui program-program penyuluhan yang efektif. Untuk mewujudkan rencana aksi tersebut diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari tingkat pusat sampai ke level masyarakat (multi stakeholder) dan upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sehingga terwujud kemandirian dalam diri masyarakat itu sendiri. V. PENUTUP Illegal logging diyakini telah menimbulkan dampak ke banyak aspek. Aspek yang paling jelas nampak adalah meningkatnya laju degradasi hutan dan perubahan yang sangat mendasar terhadap kearifan lokal masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Tingkat ketergantungan masyarakat semakin meningkat terhadap kegiatan illegal logging, hal ini nampak pada terjadinya pergeseran kegiatan perekonomian masyarakat dari pertanian ladang-industri. Di samping itu juga terjadi putusnya hubungan emosional antara masyarakat lokal terhadap lingkungannya, sehingga hukum adat bukan lagi menjadi pembatas bagi kegiatan illegal logging yang mereka lakukan. DAFTAR PUSTAKA Bangun K., Abraham dan Wahyu Wening. 2003. Illegal Logging di Propinsi Riau dalam Perspektif Kriminologi. Jakarta. Eddy O.S., Hiariej. 2003. Illegal Logging di Kalimantan Barat : Perspektif criminology. Proyek ITTO Illegal Logging di Kalimantan Barat. 113

Effendi, Rachman. 2003. Studi Sosiologi Masyarakat Sekitar Hutan dalam Upaya Mengatasi Illegal Logging : Studi Kasus di Propinsi Riau. Bogor. Saparjadi, Koes. 2003. Langkah Strategis dan Upaya Pemberantasan Illegal Logging di Indonesia. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi IV 2003. Departemen Kehutanan. Jakarta. Setyarso, Agus. 2004. Analisis Perubahan Struktural Sistem Sosial Akibat Kejahatan Kehutanan. Jakarta. Sukaryanto, Agus. 2005. Illegal Logging dan Permasalahannya. Hotspot No. 3/ April 2005. SSFFMP. Palembang. Suryanto. 2005. Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda.

114

You might also like