You are on page 1of 6

Bencana datang Tanpa Rencana, Namun Penanggulangannya Harus Terencana

Negeri kita merupakan negara kepulauan dengan kondisi geografis, geologis, dan topografi yang bervariasi di setiap pulaunya. Tentunya masing-masing pulau memiliki potensi kekayaan alam yang beranekaragam. Tak hanya itu, setiap tempat memiliki potensi bencana yang berbeda-beda pula. Bencana bisa datang kapan saja secara tiba-tiba ,tanpa diduga ,dan tak terhindarkan. Tak lepas dari ingatan kita tentang dahsyatnya bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Bantul, letusan gunung merapi di Jawa Tengah, dan bencana alam lain yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan. Selain bencana alam, kadang juga dapat terjadi bencana lain yang terjadi akibat faktor kelalaian manusia. Ambruknya jembatan Kutai Kartanegara yang terjadi beberapa waktu lalu juga merupakan salah satu momen bencana yang cukup mengerikan bagi mereka yang terkena dampaknya. Bencana yang terjadi kerap kali menimbulkan korban nyawa maupun harta benda. Karenanya diperlukan suatu sistem mitigasi bencana yang bersifat menyeluruh dan lintas sektoral. Simulasi penanggulangan bencana pun perlu dilakukan untuk menyiapkan dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Berbagai badan koordinasi maupun lembaga penanggulangan bencana telah dibentuk untuk mengantisipasi kerusakan maupun

untuk evakuasi guna mencegah timbulnya korban lebih banyak lagi. Namun hal itu sepertinya belum cukup untuk mengantisipasi dan mencegah timbulnya korban nyawa. Pemberdayaan masyarakat merupakan hal yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan sebagai ujung tombak demi mencapai keberhasilan dalam penanggulangan bencana. Dalam hal ini, tentunya

dibutuhkan

bekal pengetahuan dan keterampilan yang memadai bagi masyarakat dalam

penanggulangan bencana. Peran penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam penanggulangan dampak bencana, terutama dalam penanganan korban trauma baik fisik maupun psikis. Namun seringkali kondisi medan lokasi terjadinya bencana menyulitkan evakuasi korban ke tempat pelayanan kesehatan terdekat. Belum lagi kondisi penyebaran pusat pelayanan kesehatan yang belum cukup merata. Didaerah terpencil untuk mencapai rumah sakit yang memadai untuk penanggulangan trauma memerlukan waktu berjam-jam lamanya. Keberadaan puskesmas ataupun puskemas pembantu di tempat terpencil tentunya akan sangat membantu untuk memberikan pertolongan

pertama sebelum proses perujukan ke rumah sakit yang memadai. Dalam penanganan trauma ,seluruh tenaga medis maupun paramedis berlomba dengan waktu. Bagi tenaga medis maupun paramedis waktu adalah nyawa dan kehidupan. Karenanya respon time yang cepat dan tepat dalam evakuasi korban dari lokasi bencana akan sangat membantu dalam penyelamatan korban trauma. Penanganan korban trauma dapat terbagi menjadi 2 fase,yaitu pre- hospital ( pra rumah sakit) dan hospital (di rumah sakit). Pada fase pre-hospital inilah kita dapat memberdayakan masyarakat yang sudah diberikan pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk membantu dalam memberikan pertolongan pertama bagi korban bencana. Pada paparan ini kita akan lebih banyak berbicara mengenai trauma fisik yang dialami oleh korban bencana.Trauma merupakan kerusakan mekanis terhadap tubuh yang disebabkan oleh kekuatan dari luar. Pasien trauma didefinisikan sebagai seseorang yang mengalami cidera yang membutuhkan penilaian dan penanganan yang cepat oleh tim multidisipliner dari profesi kesehatan, terhadap cidera yang dialami ataupun potensi cidera yang mungkin dialaminya lebih lanjut. Tentunya halini harus didukung oleh sumber daya yang sesuai, untuk mencegah atau mengeliminasi risiko kematian ataupun kecacatan permanen. Menurut data epidemiologi, cidera akibat trauma merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada orang berusia antara 1-40 tahun di dunia. di Amerika Serikat, trauma merupakan penyebab kematian yang menduduki peringkat ketiga, dan juga merupakan penyebab kematian terbesar dari pasien yang berumur antara 1- 44 tahun. Di Inggris, dilaporkan 240 orang mengalami cidera serius setiap minggunya dan berakibat pada terjadinya 3400 kematian setiap tahunnya. Karenanya sangatlah penting bagi orang-orang yang terlibat dalam memberikan

pertolongan terhadap korban cidera, untuk mendapatkan informasi yang baik mengenai cara menangani korban cidera secara baik dan tepat. Orang-orang yang dimaksud tentunya bukan hanya dari profesi kesehatan, namun juga orang-orang yang menjadi lini terdepan dalam memberikan pertolongan pertama di tempat kejadian, baik dari masyarakat awam, Badan SAR, pemadam kebakaran, kepolisian, TNI,PMI, PMR, maupun orang-orang lain yang terlibat langsung di dalamnya. Karenanya dibutuhkan pembekalan pengetahuan maupun keterampilan yang cukup bagi masyarakat agar dapat diberdayakan dalam pertolongan pertama terhadap korban pada fase pre hospital dan selanjutnya dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut..

Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin bisa menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangatlah penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan Triase. Prinsip prinsip ini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada penderita trauma (Basic Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life Support. Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Penanganan didasarkan pada prioritas ABC yaitu: Airway (saluran nafas/jalan nafas) dengan kontrol vertebra servikal (stabilisasi tulang leher), Breathing (pernafasan), dan Circulation (aliran darah) dengan kontrol perdarahan. Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan dirujuk, Merupakan tanggung jawab bagi tenaga pra-rumah sakit (dan pimpinan tim lapangan) untuk mengirim ke rumah sakit yang sesuai. Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi :

A. Multiple Casualties Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan yang tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu. B. Mass Casualties Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya luka yang melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan bertahan hidup yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit. Penilaian keadaan penderita dan prioritas penanganan dilakukan berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah, penanganan diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital (kecepatan dan kualitas denyut nadi, kecepatan pernafasan, tekanan darah) dari penderita harus dinilai secara cepat dan efisien.

Koordinasi yang baik antara petugas lapangan dengan dokter ataupun petugas paramedis di rumah sakit akan menguntungkan penderita. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan sebelum penderita mulai dipindahkan dari tempat kejadian. Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit mempersiapkan Tim Trauma sehingga sudah siap saat penderita sampai di rumahsakit. Pada fase pra-rumah sakit, pertolongan pertama dititikberatkan pada penjagaan airway (jalan nafas), kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi penderita (mempertahankan

penderita pada kondisi stabil) dan segera dirujuk ke rumah sakit terdekat. Waktu yang lama di tempat kejadian harus dihindari. Hal yang juga sangat penting adalah mengumpulkan keterangan yang nantinya dibutuhkan di rumah sakit, seperti waktu kejadian, sebab kejadian, dan riwayat penderita. Mekanisme menerangkan jenis dan beratnya perlukaan pada korban. Primary survey (penilaian awal kondisi korban) yang cepat dan kemudian resusitasi (pertolongan dan stabilisasi kondisi pasien secara umum), secondary survey (penilaian tahap kedua), dan akhirnya terapi definitif (penanganan tingkat lanjut) adalah mata rantai yang penting dalam memberikan pertolongan kepada korban. Dalam hal ini, tahapan yang masih dapat dilakukan oleh masyarakat awam yang dibekali pengetahuan maupun keterampilan. Pada Primary survey, proses ini dikenal sebagai ABC-nya trauma (seperti yang diterapkan dalam triase), yang merupakan suatu prinsip sederhana yang dirangkum dalam bentuk akronim dan sangat penting dalam usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut: A: Airway, menjaga jalan nafas dengan, serta menstabilisasi tulang leher B: Breathing, dengan menjaga pernafasan yaitu memastikan adanya pertukaran udara yang cukup dari paru-paru dengan udara luar ataupun dengan bantuan tabung oksigen. C: Circulation dengan mengontrol perdarahan (hemorhage control), dan kestabilan peredaran darah dalam tubuh D: Disability: status kesadaran korban atau proses terjadinya cidera dapat

E: Exposure atau environmental control : menilai adanya tanda-tanda cidera yang lain, serta mencegah bahaya lebih lanjut misalnya bahaya hipotermi (paparan terhadap udara atau suhu yang dingin), serta memindahkan korban ke tempat terdekat yang lebih aman. Pengetahuan serta keterampilan berupa prinsip-prinsip cara memberikam pertolongan pertama tersebut akan sangat bermanfaat jika dimiliki oleh masyarakat yang secara kebetulan berada di tempat kejadian bencana ataupun kecelakaan. Apalagi jika hal ini juga dimiliki oleh petugas-petugas yang sehari-harinya berkaitan erat dengan penyelamatan, seperti tim SAR, PMR, pemadam kebakaran ataupun lembaga-lembaga lain yang terkait. Namun memang butuh waktu khusus, serta penjelasan yang lebih mendetail lagi, untuk dapat memberikan pembekalan berupa teori maupun keterampilan lewat peragaan ataupun simulasi. Memang dalam penerapannya pun memerlukan alat-alat tertentu, dan harus mengetahui sebatas mana pertolongan pertama yang bisa diberikan oleh masyarakat. Petugas yang memberikan pembekalan pun sebaiknya dipilih dari tenaga medis terlatih ataupun dibantu oleh paramedik yang terlatih serta memiliki kualifikasi dan sertifikasi untuk hal ini. Bisa dibayangkan jika seandainya di negara kita ada begitu banyak masyarakat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar dalam memberikan pertolongan pertama pada korban bencana, tentunya korban yang dievakuasi lebih banyak adalah mereka yang masih bisa diselamatkan, dibandingkan dengan mereka yang tak bisa diselamatkan lagi. Dengan demikian korban jiwa pun dapat diminimalisir. Selain penerapan prinsip-prinsip tersebut, tentunya diperlukan suatu rencana manajemen terhadap kejadian bencana (disaster management) yang komprehensif, agar mata rantai pertolongan dapat dilakukan secara terkoordinasi dari berbagai pihak terkait. Apalagi jika sistem tersebut dibuat baku dan ditetapkan dengan aturan yang jelas dari pihak berwenang termasuk para pengambil kebijakan di masing-masing daerah. Hal ini sangat diperlukan , karena masingmasing daerah memiliki potensi bencana yang bebeda-beda, dan harus disesuaikan dengan kondisi medan ataupun alam setempat yang bisa menghambat evakuasi korban bencana. Segala sumber daya yang ada dan dapat dikerahkan untuk menanggulangi bencana pun harus disiapkan sejak dini, sehingga dapat selalu waspada jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Hal ini sudah pernah diterapkan di beberapa daerah di Indonesia, bahkan tertera pada Perda beberapa daerah di Indonesia.

Jika kita kaji lagi, cukup ironis memang, jika di negeri tercinta yang kaya akan sumber daya alam serta potensi ratusan juta penduduknya ini, kita masih mengalami keterbatasan dalam bidang tertentu. Mungkin termasuk juga masalah tanggap darurat bencana terutama di daerahdaerah terpencil yang sulit dijangkau sarana transportasi darat, khususnya di wilayah zambrud khatulistiwa, Borneo tercinta yang terkenal akan hutan rimbanya . Namun tak perlu disesali, yang terpenting adalah bagaimana cara kita untuk dapat mengoptimalkan segala potensi yang ada. Apapun yang ada, apapun yang terjadi, disinilah tempat kita dilahirkan, hidup, menjalani kehidupan dan memperoleh penghidupan. Mari membangun negeri di segala bidang dengan segala kemampuan yang kita punya di bidang masing-masing. Semoga paparan ini bermanfaat bagi para pembaca. Penulis: dr. Nyoman Dwi Maha Udiyana

You might also like