You are on page 1of 33

LEMBAR PENGESAHAN

Nama NIM Judul Case

: Azman Hakim Hassanuddin : 030.08.270 : ANESTESI UMUM PADA FRAKTUR MANDIBULA

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing Dr. Satriyo Y. Sasono, SpAn pada : Hari Tanggal : :

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Anestesi Di Rumah Sakit Otorita Batam

Batam ,

Dr. Satriyo Y.Sasono, SpAn.

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan anugrahNya, pembahasan case dengan judul Anestesi Umum Pada Fraktur Mandibula. Pembahasan case ini disusun sebagai salah satu tugas dalam pelaksanaan kepaniteraan klinik bagian anastesi RS otorita batam periode 8 Oktober- 10 November 2012. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Satriyo Y.Sasono, Sp.An selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini serta seluruh pihak yang telah membantu, sehingga case ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu sangat diharapkan kritik dan saran untuk perbaikan pembuatan case ini

Batam,

1 Oktober 2012

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

Mandibula merupakan bagian tulang yang paling rentan mengalami fraktur pada trauma fasialis. Hal ini dapat disebabkan karena posisinya yang menonjol dan merupakan sasaran pukulan dan benturan. Trauma pada umumnya dideritai pada laki-laki dibandingkan perempuan pada usia 20-30 tahun. Di lar negeri kebanyakan kejadian trauma fasialis meningkat pada musim panas. Mandibula tersusun dari dua bagian keping yaitu keping luar yang tebal dan keping dalam yang dipisahkan oleh tulang medulla trabekularis. Dari keseluruhan struktur mandibula, bagian yang terlemah adalah sub kondilar, angulus mandibula dan region mentalis. Fraktur subkondilar banyak dijumpai pada anak-anak sedangkan fraktur angulus sering dijumpai pada remaja dan dewasa muda. Pada prosedur terbuka bagian yang mengalami fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen fraktur direduksi serta difiksasi secara langsng dengan menggunakan kawat/plat yang disebut dengan wire atau plate osteosynthesis. Kedua teknik ini tidak selalu dilakukan tersendiri tetapi kadang-kadag diaplikasikan bersama atau disebut dengan prosedur kombinasi. Pada umumnya, pemilihan anestesi berdasarkan: keamanan pasien, prosedur yang akan dijalani, serta kemampuan tehnik anestesi. Penanganan trauma wajah serius sering terlambat oleh karena menunggu stabilnya jalan napas dan hemodinamik, penanganan trauma serius lainnya seperti trauma kepala, dada dan skeletal. Hal-hal tersebut masih merupakan masalah dalam penanganan trauma wajah tepat waktu.

BAB II LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS a) Nama b) Umur : Ny. L : 22 thn

c) Jenis Kelamin : laki-laki d) Alamat : Tiban Indah

e) Tanggal operasi: 11 Januari 2013 2. ANAMNESA Telah dilakukan Autoanamnesa pada 10 Januari 2013 pada pukul 1600 wib 1. Keluhan Utama Nyeri pada rahang setelah jatuh 2. Riwayat penyakit sekarang Enam jam SMRS pasien mengaku naik sepeda motor dibonceng dengan temannya kemudian jatuh dari sepeda motor karena terpeleset. Pasien jatuh dalam posis tengkurap dan bagian dadu terantuk aspal. Sebelem dan sesudah terantuk aspal pasien merasa letak dagunya sedikit bergeser ke arah kanan. Pasien mengeluh sulit untuk berbicara. Pasien tidak pingsan, pusing (-), mual (-), muntah (-). Kemudian pasien dibawa ke RSOB. 3. Riwayat penyakit dahulu a. Riwayat penyakit serupa b. Riwayat sakit gula c. Riwayat tekanan darah tinggi d. Riwayat asma e. Riwayat sakit jantung f. Riwayat sakit ginjal : disangkal : disangkal : tidak ada : disangkal : disangkal : disangkal

g. Riwayat alergi h. Riwayat batuk lama i. Riwayat kolesterol tinggi

: disangkal : disangkal : tidak ada

4. Riwayat penyakit keluarga a. Riwayat penyakit serupa b. Riwayat sakit gula c. Riwayat tekanan darah tinggi d. Riwayat asma e. Riwayat sakit jantung f. Riwayat alergi : disangkal : disangkal : Ada : disangkal : disangkal : disangkal

5. Riwayat pengobatan Pasien mengaku belum menggunakan obat-obatan untuk mengobati sakitnya 6. Anamnesa sistemik i) Riwayat Pengobatan (a) Pasien mengaku sering mengkonsumsi obat maag jika timbul keluhan nyeri perut, tapi keluhan nyeri perut jarang sekali berkurang dengan obat maag. ii) Anamnesa sistemik (a) Kepala (b) Mulut : rontok (-), wajah bengkak (+), nyeri (+) : sariawan (+), luka pada sudut bibir (+), gusi

berdarah (-), mulut kering (-), nyeri(-) (c) Tenggorokan (d) Sistem respirasi pilek (-) (e) Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-) (f) Sistem gastrointestinal BAB (-), kembung (-). (g) Sistem muskuloskeletal lemas (-), kaku (-). : nyeri (+), bengkak tungkai (-), badan : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), susah : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-) : sesak nafas(-), batuk(-), batuk darah (-), mengi (-)

(h) Sistem genitourinaria

BAK berwarna merah (-),

nyeri saat

kencing (-), keluar darah (-), kencing nanah (-) (i) Ekstremitas atas : luka (+), tremor (-), ujung jari terasa

i. dingin (+), kesemutan (-), sakit sendi (-), ii. nyeri (+) (j) Ekstremitas bawah : jari terasa dingin (-) bengkak (-), nyeri (+), luka (+), tremor (-), ujung

3. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran Tanda vital : Compos mentis : Tekanan darah : 130/80 mmHg Nadi : 70 x/mnt Suhu : 36,8 0 C Pernapasan : 18 x/mnt Keadaan gizi : normal , TB = 160 cm, BB = 50kg, BMI = 19.53 kg/m2

Kulit Kepala Wajah Mata

: Warna kuning langsat, sianosis (-), ikterik (-), turgor normal : Normocephali, jejas (+) lihat status lokalis : Ekspresi lemah, bentuk simetris : Conjunctiva Pucat (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Pupil bulat isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+), eodem palpebra (-/-)

Telinga Hidung Mulut

: Normotia, darah (-/-), sekret (-/-) : Deviasi septum (-/-), sekret (-/-), mucosa hiperemis (-/-), mimisan (-) : Mukosa basah (+), maloklusi (+), sianosis (-)

Leher

: KGB posterior cervical tidak teraba membesar, kelenjar thyroid tidak teraba membesar. JVP 5+2 cm H2O

Thorax

: Cor

: Inspeksi

: Pulsasi Ictus cordis terlihat di ICS V, 1cm medial midklavikularis kiri

Palpasi

: Teraba pulsasi Ictus cordis di ICS V, 1cm medial midklavikularis kiri

Perkusi

: Batas atas (ICS III linea parasternalis kiri dengan suara redup), batas kiri (ICS V, 1 jari medial linea midklavikula kiri dengan suara redup), batas kanan (ICS IV linea sternalis kanan dengan suara redup)

Auskultasi : S1 normal, S2 normal, reguler, murmur (-) gallop(-) Pulmo : Inspeksi : Pergerakan simetris saat inspirasi dan ekspirasi. Tidak ada yang tertinggal Palpasi Perkusi : Vocal fremitus simetris pada kedua lapang paru. : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-). Abdomen : Inspeksi Palpasi : Datar : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), Murphy sign (+) Hepar & Lien tidak teraba membesar Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal (3x/menit)

Extremitas

: Atas

: Akral hangat (+/+), Oedema (-/-)

Bawah : Akral hangat (+/+), Oedema (-/-)

STATUS LOKALIS a. R. Mandibula : VL ukuran 3x2x2cm; NT (-), tragus pain (+) kiri, VE 2x1cm b. R.mental : VE 1,5x2cm; NT (-) : VE 0,5x0,5cm; 0,5x0,5cm, NT (-)

c. R. Antebrachii dx

d. R. Manus dx : VE 0,5x0,5cm; 0,5x0,5cm; NT (-) e. R. Antebrachii sin : VE 1x1cm; 1x1cm; NT (-)

f. R. Manus sin : VE 0,5x0,5cm; 0,5x0,5cm; NT (-) 4. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Darah, 03 Januari 2013 Pemeriksaan Hb Ht APTT GDS HBsAG WBC RBC MCV MCH MCHC Hasil 10,8 36% 33,0 114 (-)/(-) 18,7 x 103/mm3 3,89 x 10 6/mm3 84 fl 26,6 pq 31,9 g/dl Nilai normal 11.0-14.5 35.0-50.0% 25,9-39,5 70-140 3,5-10 3.8-5.8 80-97 26,5-33,5 31,5 35

Fungsi ginjal Ureum Kreatinin :11 *(10-50) :1,65

Hasil Pemeriksaan EKG Sinus takikardi, HR: 143x/m

Foto panoramik Gamb fr. Condylus mandibula sin

Foto anteroposterio Gamb fr. Condylus mandibula sin

5. DIAGNOSIS a. Fraktur condylus mandibula sinistra b. Multiple VL+VE

6. PENATALAKSANAAN a. Awasi keadaan umum b. Awasi tanda-tanda vital c. Resusitasi cairan dan awasi balance cairan d. Ditangani bagian bedah dan anestesi utk operasi pemasangan archbar e. Multiple VL+VE

LAPORAN ANESTESI

Pasien, Ny. L, 22 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi pemasangan archbar dengan diagnosi pre operati fraktu condylus mandibula sinistra pada tanggal 11 Januari 2013 pada pukul 1300 wib dengan anestesia umum, dengan status fisik pasien ASA II. Pasien datang dengan kondisi kesakitan, lemas dan kesadaran compos mentis. Posisi pasien saat operasi dalam posisi terlentang, dengan leher diekstensikan di atas meja operasi. Doktor anestesi adalah dr Gusno, SpAn dan sebagai operator dr Harry, SpB. Operasi berlangsung mulai dari jam 1310-1453 dengan lama operasi selama 103menit. Anestesi menggunakan jenis anestesi Anestesi Umum Orotrakeal (OTK), recofol dengan relaksasi menggunakan Antacurium bromide (Tramus). Dilakukan pemasangan alat-alat penunjang tanda vital anestesi spt tensimeter, elektroda EKG, oksimetri dan pada pasien ini dilakukan pemasangan IV line. Keadaan umum pasien sebelum operasi compos mentis, TD 97/60mmHg, nadi 98x/m, saturasi 100%, suhu afebris dan berat badan 50 kg. Pada pemeriksaan lab tgl 10 Januari 2013 Hb pasien menurun, dan tidak ada hasil lab lain yang abnormal. Sebelum operasi dimulai diberikan premedikasi sambil menyiapkan alat-alat lainnya sebagai persiapan. Premedikasi dimasukkan pada jam 1300 wib berupa Fentanyl 50mcg (opiod bersifat analgesik) Sedacum 5mg (supaya ps tenang dan tidur) Ceteron 4mg (mengurangi rasa mual/muntah sepanjang operasi)

Premedikasi bertujuan menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan permudahkan induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Pada jam 1305 wib, pasien ini diberikan recofol 100mg dan pelemas otot berupa Atracurium bromide (Tramus) 30 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan. Dokter anestesi memilih untuk dilakukan intubasi nasotrakeal kendali supaya pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat. Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 8vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 3 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot

sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan nasotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia. Setelah pasien diintubasi dengan nasotrakeal tube, sevofluran dikurangi menjadi 3vol%, oksigen sekitar 1000ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20x/menit. Setelah beberapa saat setelah induksi, tekanan darah pasien mulai turun oleh karena obat-obat induksi anestesi ini menandakan anestesi yang dijalankan sudah dalam. Pada pukul 1327 wib saturasi napas pasien perlahan menurun, operasi masih berjalan dengan kondisi tekanan darah dan nadi yang stabil, hanya kadang-kadang naik turun dengan nilai yang tidak signifikan. Kemudian operator dan dokter anestesi mendiskusikan kemungkinan ketidak patenan jalan napas pada pasien dan memutuskan untuk menggantikan teknik menjadi intubasi orotrakea kendali. Pada pukul 1328 wib pasien dilakukan ekstubasi secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut dengan penambahan tramus 30mg disertai pemberian bagging sampai saturasi normal. Pada 1342 wib pasien kembali dilakukan intubasi namun kali ini dilakukan pemasangan endotrakeal tube melalui oral. Pada jam 1440 WIB, gas sevofluran diturunkan menjadi 2 vol%. Gas sevofluran mulai diturunkan menjadi 1,5 vol% pada jam 1445 WIB, dan menjadi 1% pada jam 1450 WIB. Gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir selesai. Operasi selesai tepat jam 1453 WIB. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan jam 1502 WIB karena pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi orotrakeal secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut. Total cairan pada pasien ini sejumlah 100cc, berupa Asering. Perdarahan yang terjadi minimal.

RECOVERY Setelah selesai operasi dan pasien dalam keadaan sadar, pasien dipindahkan ke dalam ruangan recovery dan diawasi berdasarkan Aldrete score. Jika aldrete score 8 dan tanpa adanya nilai 0, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada pasien ini didapatkan Aldrete score 10 PROGRAM POST OPERASI a. Awasi tensi, nadi dan saturasi setiap setengah jam b. Oksigenasi sungkup c. Posis supine, dengan ekstensi kepala sampai pasien sadar. d. Sadar penuh, peristaltik (+), muntah (-) boleh minum e. Lain-lain sesuai instruksi dr bedah f. Emergency lapor dr anestesi.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA Definisi anestesi: Peristiwa ilangnya sensasi, perasaan ( panas, raba, posture ) dan nyeri bahkan hilangnya kesadaran, sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan pembedahan Trias Anestesi : 1. Analgesia ( Hilangnya nyeri ) 2. Hipnotik ( Hilang kesadaran ) 3. Relaksasi otot ( Muscle Relaxan )

MEDIKASI PRA-ANESTETIK Tujuan medikasi pra-anestetik ialah mengurangi kecemasan menjelang pembedahan, memperlancar induksi, mengurangi kegawatan akibat anestesi. Selain itu, obat-obat ini akan mengurangi hipersalivasi, bradikardia, dan muntah yang timbul sesudah maupun selama anestesi. Ada 5 golongan obat yang diberikan sebagai medikasi pra-anestetik yaitu analgesic narkotik, sedative barbiturate, benzodiazepine, antikolinergik, dan neuroleptik.

I.

Analgesik Narkotik

Morfin adalah analgesic narkotik yang digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anesthesia dengan trikloretilen, dan membantu agar anesthesia berlangsung baik. Diberikan dalam dosis 8-10 mg IM untuk tujuan di atas, sedangkan dosis 0,01-0,2 mg/KgBB IV cukup untuk menimbulkan efek analgesia. Opioid lain yang digunakan sebagai premedikasi, sesuai dengan urutan kekuatannya ialah sulfentanil (1000 x) > remifentanil (300x) > fentanil (100x) > alfentanil (15x) > morfin (1x) >

meperidin (0,1x). Dosis fentanil biasanya 0,05-0,1 mg/KgBB, dengan masa kerja kurang lebih 30 menit.

II.

Barbiturat

Golongan barbiturate biasa digunakan untuk memberikan sedasi. Keuntungan menggunakan barbiturate ialah tidak memperpanjang masa pemulihan dan mengurangi reaksi yang tidak diingikan. Golongan barbiturate jarang menyebabkan mual dan muntah, dan hanya sedikit menghambat pernapasan dan sirkulasi dibandingan morfin. Biasa digunakan pentobarbital dan sekobarbital secara oral atau IM dengan dosis 100-150 mg pada dewasa dan 1 mg/KgBB pada anak di atas 6 bulan.

III.

Sedatif Nonbarbiturat

Digunakan apabila pasien alergi dengan barbiturate, seperti etinamat, glutetimid, dan kloralhidrat.

IV.

Benzodiazepin

Lebih dianjurkan disbanding morfin dan barbiturat, karena pada dosis biasa tidak menambah depresi napas akibat opioid. Selain menyebabkan tidur juga menimbulkan amnesia retrogard dan dapat mengurangi rasa cemas. Midazolam IV disuntikkan 15-60 menit prabedah memberikan amnesia dengan masa kerja lebih singkat dan lebih sedikit efek samping.

V.

Neuroleptik

Kelompok obat ini digunakan untuk mengurangi mual dan muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan. Kualitas sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan oleh morfin saja

VI.

Antimuskarinik

Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan anestetik inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama anestesi. Atropin 0,4-0,6 mg IM mencegah hipersekresi ini 10-15 menit setelah penyuntikkan. Efek ini berlangsung 90 menit.

Tehnik Anestesi : 1. Umum ( Narkose Umum ) 2. Lokal / Regional Anestesi

BERBAGAI TEKNIK ANESTESI UMUM 1. INHALASI dengan Respirasi Spontan a. Sungkup wajah b. Intubasi endotrakeal c. Laryngeal mask airway (LMA) 2. INHALASI dengan Respirasi kendali a. Intubasi endotrakeal b. Laryngeal mask airway 3. ANESTESI INTRAVENA TOTAL (TIVA) a. Tanpa intubasi endotrakeal b. Dengan intubasi endotrakeal Anestesi Umum Anestesi umum merupakan keadaan tidak terdapatnya sensasi yang berhubungan dengan hilangnya kesadaran yang reversibel. Anestetik menekan semua jaringan yang dapat dieksitasi termasuk neuron sentral, otot jantung, otot polos, maupun otot lurik. Akan tetapi

jaringan-jaringan ini mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap anestetik dan daerah otak yang bertanggungjawab untuk kesadaran adalah yang paling sensitive dibandingkan yang lain. Hal tersebut memungkinkan pemberian obat anestetik pada konsentrasi yang menghasilkan hilangnya kesadaran tanpa menekan secara nyata pusat kardiovaskular dan respirasi atau miokard. Daerah otak yang bertanggungjawab terhadap kesadaran disebut system aktivasi reticular. System ini merupakan jalur polisinaps kompleks pada formasio retikularis batang otak yang secara difus menonjol ke korteks. Aktivasi pada RAS berkaitan dengan mempertahankan kesadaran dan, karena sensitive khususnya terhadap efek depresan dari anestetik diduga RAS merupakan tempat kerja primer anestetik.

Obat anestetik umum dapat dibagi kepada dua : 1. Inhalasi 2. Intravena

Indikasi anestesi umum 1. Infant & anak usia muda 2. Dewasa yang memilih anestesi umum 3. Pembedahannya luas / eskstensif 4. Penderita sakit mental 5. Pembedahan lama 6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan 7. Riwayat penderita tksik / alergi obat anestesi local 8. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia

Obat obat intravena anestesi umum Obat intravena anesthesia bisa digunakan sebagai : 1. Obat induksi untuk anesthesia umum 2. Obat tunggal untuk aestesia pada pembedahan-pembedahan yang singkat 3. Tambahan untuk obat inhalasi untuk anesthesia regional 4. Obat untuk anestesi regional Obat intravena ini dapat diberikan dengan cara : 1. Sekali suntuk : untuk operasi singkat 2. Suntikan berulang : jika tidak menggunakan anestesi inhalasi dan dosis ulangan lebih kecil dari suntukan pertama 3. Lewat infuse (drip) untuk tambah daya anestesi inhalasi Obat anestesi intravena terbagi kepada: 1. Golongan barbiturat Tiopental yang disuntikan intravena menginduksi anestesi dalam waktu kurang dari 30 detik karena obat ini sangat larut dalam lemak dan menyebabkan cepat terlarut dalam otak yang mendapat perfusi cepat. Pemulihan dari thiopental cepat karena adanya redistribusi ke dalam jaringan yang kurang perfusinya. Selanjutnya hati memetabolisme thiopental. Dosis

thiopental hanya sedikit di atas dosis tiduryang menekan miokard dan pusat napas. Sangat jarang terjadi anafilaksis. 2. Golongan Nonbarbiturat Banyak obat dengan keuntungan yang lebih potensial daripada barbiturate (misalnya kurang mendepresi miokard, eleminasi yang lebih cepat) telah diperkenalkan, namun sedikit yang banyak berguna untuk jangka panjang. Propofol (2,6-diisopropilfenol) berkaitan dengan pemulihan cepat tanpa mual atau rasa seperti melayang dan untuk alasan ini propofol banyak digunakan. Akan tetapi propofol kadang-kadang bisa menyebabkan konvulsi, dan sangat jarang terjadi anafilaksis. Ketamin bisa diberikan melalui suntikan intramuscular atau

intravena. Ketmin merupakan analgesic pada dosis subanestetik, namun sering menyebabkan halusinasi. Kegunaan utamanya adalah pada anestetik pediatrik.

Anestesi inhalasi Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri dalam farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernapasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi. Hiperventilasi akan menaikan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlansung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada yang larut Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh : 1. Konsentrasi inspirasi Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh, maka ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap inspirasi sama dengan alveoli. Hal ini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua). 2. Ventilasi alveolar Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi dan sebaliknya. 3. Koefesien darah/gas Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebagainya 4. Curah jantung atau aliran darah paru Makin tinggi curah jantung, makin cepat uap diambil darah 5. Hubungan ventilasi-perfusi Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik

Obat-obat anestesi inhalasi Obat-obat anestesi inhalasi terdiri antara lain : N2O, Halaton, Enfluran, Isofluran, Desfluran dan Sevofluran.

N2O Juga disebut sebagai gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, atau dinitrogen monoksida. Gas ini diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240C N2O dalam ruangan berbentuk gas tidak berwarna,bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalam silinder warna biru 9000liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm. N2O tidak cukup poten untuk digunakan sebagai obat anestetik tunggal, tetapi biasanya digunakan sebagai pembawa yang tidak mudah terbakar untuk obat-obat volatile, yang memugkinkan konsentrasinya untuk dikurangi secara signifikan. N2O merupakan suatu analgesic yang baik dan 50% zat tersebut dalam oksigen digunakan bila membutuhkan analgesia (misalnya pada kelahiran bayi, kecelakaan lalu lintas). N2O mempunyai sedikit efek pada system kardiovaskular dan respirasi. Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anesthesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi; berikan O2100% selama 5-10 menit.

Halotan Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang enak dan tidak meransang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi anesthesia kombinasi dengan N2O. halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.

Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesia semprot lidokain 4% atau 10 % sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya laringoskopi intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karendikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup baik. Pada napas spontan rumatan anesthesia sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan respons klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anesthesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai oleh bedah otak. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi reflex baroreceptor. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada sepanjang tidak ada indikasi kontra. Kombinasi dengan adrenalin sering menyebabkan disaritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan dengan pengenceran 1;200000 (5ug/ml) dan maksimal penggunaannya 2 ug/kg. Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterus akan menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat perlepasan insulin, meningkatkan kadar gula darah. Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidasi menjadi komponen bromine, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif menjadi komponen fluoride dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Metabolism reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan indikasi kontra pada penderita gangguan hepar pernah dapat halotan tiga bulan atau pada pasien kegemukan. Pasca pemberian halotan sering menyebabkan pasien menggigil.

Sevofluran Sevofluran (ultane) merupakan halogenisasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat atau meransang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap system saraf pusat seperrti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar . setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirosak oleh kapur soda (soda lime, baraline) tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.

Intubasi ( ETT ) Intubasi (ETT) ada dua : a. Spontan : Nafas sendiri tanpa muscle relaxan b. Kontrol : Dengan muscle relaxan

Indikasi Intubasi : - Pasien operasi - Pasien bukan operasi ( Cth : Stroke, gagal nafas, koma ) Komplikasi Intubasi : a. Pada saat intubasi Sudah terjadi kompilkasi b. Selama Intubasi - Aspirasi - Trauma ggigi geligi - Laserasi bibir, gusi, laring - Hipertensi, takikardi - Spasme Bronchus c. Setelah Intubasi :

- Spasme laring - Aspirasi - Gangguan fonasi - Edema glotis sunglotis - Infeksi larinng, faring, trakhea

Sebelum dilakuan sungkup atau intubasi ada : Induksi : - Inhalasi - Parenteral ( IV & IM )

Selama operasi harus ada pemantauan ( Tanda tanda vital : yaitu : Tensi, suhu, respirasi, nadi). Tujuannya adalah untuk mengurangi terjadinya komplikasi anestesi operasi. Intubasi ( ETT ) A. Definisi Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim, 2002). B. Tujuan Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :

a. Mempermudah pemberian anestesia. b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan. c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk). d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial. e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. f. Mengatasi obstruksi laring akut. Intubasi (ETT) ada dua : a. Spontan : Nafas sendiri tanpa muscle relaxan b. Kontrol : Dengan muscle relaxan dan ventilator

Indikasi Intubasi : - Pasien operasi - Pasien bukan operasi ( Cth : Stroke, gagal nafas, koma ) Komplikasi Intubasi : a. Pada saat intubasi Sudah terjadi kompilkasi b. Selama Intubasi - Aspirasi - Trauma ggigi geligi - Laserasi bibir, gusi, laring - Hipertensi, takikardi - Spasme Bronchus c. Setelah Intubasi : - Spasme laring - Aspirasi - Gangguan fonasi - Edema glotis sunglotis - Infeksi larinng, faring, trachea Sebelum dilakuan sungkup atau intubasi sebaiknya dilakukan : Induksi : - Inhalasi - Parenteral ( IV & IM )

Selama operasi harus ada pemantauan ( Tanda tanda vital : yaitu : Tensi, suhu, respirasi, nadi). Tujuannya adalah untuk mengurangi terjadinya komplikasi anestesi operasi.

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain : a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal. b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri. c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet. d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain : a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus. b.Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

H. Kesulitan intubasi Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan : a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap. b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi. c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi. d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth). e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine. f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi

kepala pada leher di sendi atlantooccipital. g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher. h. Fraktur servical i. Rahang bawah kecil j. Osteoarthritis temporo mandibula joint k.Trismus. l. Ada masa di pharing dan laring

G. Kegagalan intubasi Hal yang perlu dilakukan apabila terjadi keadaan gagal intubasi adalah mengunakan alat-alat anestesi lain yang kemungkinan dapat berguna. Salah satu yang dapat dan sangat sering digunakan serta menunjukkan angka keberhasilan cukup tinggi adalah laryngeal mask airway (LMA) atau sungkup laring. Selain itu pada keadaan yang sangat gawat, tindakan krikotiroidotomi dengan menggunakan jarum yang besar dapat dilakukan 4 Penting untuk dicatat luas lapangan pandang dari laring yang telah kita dapatkan. Informasi ini penting, apabila di kemudian hari dilakukan kembali tindakan manajemen jalan napas. Gambaran standart yang digunakan adalah klasifikasi menurut Cormack dan Lehane (1984): 1. 2. 3. 4. Grade 1 : seluruh laring dapat terlihat Grade 2 : bagian posterior dari laring saja yang dapat terlihat Grade 3 : hanya epiglotis saja yang dapat terlihat Grade 4 : tidak ada bagian laring yang dapat terlihat

Intubasi Orotrakeal Intubasi orotrakeal biasanya menggunakan laringoskop dengan dua jenis blade yang paling umum digunakan, yaitu Macintosh dan Miller. Blade Macintosh berbentuk lengkung. Ujungnya dimasukkan ke dalam Valekula (celah antara pangkal lidah dan

permukaan faring dari epiglotis). Pemakaian blade Macintosh ini memungkinkan insersi pipa endotrakeal lebih mudah dan dengan risiko trauma minimal pada epiglotis. Ukuran pada blade Macintosh pun beragam dari nomor 1 hingga nomor 4. Untuk dewasa, pada umumnya digunakan ukuran nomor 3. Sedangkan blade Miller berbentuk lurus, dan ujungnya berada tepat di bawah permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis kemudian diangkat untuk melihat pita suara. Kelebihan dari bladeMiller ini adalah anestesiologis dapat melihat dengan jelas terbukanya epoglotis, namun di sisi lain jalur oro-hipofaring lebih sempit. Ukuran bervariasi dari nomor 0 hingga nomor 4, dengan ukuran yang paling umum digunakan untuk dewasa berkisar antara nomor 2 atau 3. Pasien diposisikan dalam posisi sniffing, dimana oksiput diangkat atau dielevasi dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher dalam posisi ekstensi. Biasanya posisi seperti ini akan memperluas pandangan laringoskopik. Sedangkan posisi leher fleksi mempersulit dalam pasien membuka mulut. Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan antarahandle dan blade. Setelah memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik cross finger dari jari tangan kanan, laringoskop dimasukkan ke sisi kanan mulut pasien sambil menyingkirkan lidah ke sisi kiri. Bibir dan gigi pasien tidak boleh terjepit oleh blade. Blade kemudian diangkat sehingga terlihat epiglotis terbuka. Laringoskop harus diangkat, bukan didorong ke depan agar kerusakan pada gigi maupun gusi pada rahang atas dapat dihindari. Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia pasien, bentuk badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT dengan ukuran 7.0 mm digunakan untuk hampir seluruh wanita, sedangkan ukuran 8.0 pada umumnya digunkan pada pria. ETT dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil lalu dimasukkan melalui sisi kanan rongga mulut kemudian masuk ke pita suara. Bila epiglotis terlihat tidak membuka dengan baik, penting untuk menjadikan epiglotis sebagai landasan dan segera masukkan ETT di bawahnya lalu masuk ke trakea. Tekanan eksternal pada krikoid maupun kartilago tiroid dapat membantu memperjelas pandangan anestesiologis. Ujung proksimal dari balon ETT ditempatkan di bawah

pita suara, lalu balon dikembangkan dengan udara positif dengan tekanan 20-30 cmH2O. Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area, yaitu kedua apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas terdengar hanya pada salah satu sisi paru saja, maka diperkirakan telah terjadi intubasi endobronkial dan ETT harus ditarik perlahan hingga suara napas terdengar simetris di lapangan paru kanan dan kiri. ETT kemudian difiksasi segera dengan menggunakan plester. Intubasi Nasotrakeal Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Anestesia topikal dan vasokonstriksi pada mukosa hidung dapat diperoleh dengan mengaplikasikan campuran antara 3% lidokain dan 0.25% phenylephrine. Pada umumnya, ukuran ETT 6.0 hingga 6.5 mm digunakan pada hampir semua wanita, sedangkan untuk lakilaki digunakan ETT dengan ukuran 7.0 hingga 7.5 mm. Setelah ETT melewati rongga hidung kemudian ke faring, pipa ETT masuk ke glotis yang telah membuka. Intubasi dapat dilakukan dengan bantuan laringoskop atau fiberoptik bronkoskop, atau dengan forsep Magill. Komplikasi yang dapat terjadi hampir sama seperti yang terjadi pada intubasi orotrakeal. Namun ada sedikit penambahan seperti terjadinya epistaksis dan diseksi submukosa. Bila dibandingkan dengan intubasi orotrakeal, intubasi nasotrakeal dihubungkan dengan peningkatan insidensi dari sinusitis dan bakteremia. Kontraindikasi dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.

Setelah operasi dilakukan : Ekstubasi : RR ( Recovery Room ) Bisa terjadi komplikasi juga. EX : Muntah, tensi

tinggi, dll Di RR : Setelah 2 jam atau kurang dihitung ALDRETE SCORE ( Sadar, tensi

stabil, nafas lagi ) Jika ALDRETE SCORE : - > 8 : Masuk ruang perawatan - < 7 : ICU

FRAKTUR MANDIBULA

DEFINISI Fraktur mandibula adalah rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapatdisebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung. Fraktur mandibula dapatterjadi pada bagian korpus, angulus, ramus maupun kondilus.

ANATOMI Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi rahang bawah. Mandibula berhubungan dengan basis kranii dengan adanya temporo-mandibular joint dan disangga oleh otot otot mengunyah. Mandibula dipersarafi oleh saraf mandibular, alveolar inferior, pleksus dental inferior dan nervus mentalis. Sistem vaskularisasi pada mandibula dilakukan oleh arteri maksilari interna, arterialveolar inferior, dan arteri mentalis KLASIFIKASI Seperti kita ketahui klasifikasi fraktur mandbula ada beberapa macam. Archer (1975) membagi fraktur mandbula sebagai berikut: 1. fraktur tunggal: fraktur pada satu tempat pada tulang mandbula.

2. fraktur berganda: fraktur yang terjadi dua atau lebih tempat pada tulang. sering ditemukan bilateral.

Fraktur ini lebih

3. fraktur sederhana: fraktur tulang yang tidak menyebabkan laserasi pada rongga mulut atau permukaan luar dari muka (fraktur tertutup). 4. fraktur campuran: fraktur tulang yang disertai laserasi mukosa oral dan kulit muka. 5. fraktur kominutif: fraktur yang menyebabkan tulang terpecah menjadi beberapa segmen. 6. fraktur komplikasi: fraktur yang menimbulkan komplikasi lain pada wajah dan tulang kepala. Kruger (1984) membagi fraktur mandbula hanya 4 jenis, yaitu 1. fraktur sederhana, Greenstick fracture, adalah satu sisi dari tulang patah sedang sisi lainnya melengkung 2. fraktur campuran, dan 3. fraktur kominutif. . Fry dkk membagi fraktur mandbula berdasarkan a. arah garis fraktur terhadap tarikan otot masseter, dibagi menjadi fraktur horisontal menguntungkan (berlawanan) dan tidak menguntungkan (searah). b. arah garis fraktur terhadap tarikan otot pterygoideus medialis dan lateralis dibagi fraktur vertikal yang menguntungkan (berlawanan) dan tidak menguntungkan(searah) klasifikasi fraktur condylar mandibula menurut Spiessl and Schroll tipe I : fraktur tanpa displacement tipe II : fraktur ringan dengan displacement tipe III : fraktur berat dengan displacement tipe IV : fraktur ringan dengan dislokasi tipe V : fraktur berat dengan dislokasi tipe VI : fraktur intracapsular (diacapitular)

fraktur mandibula, frekuensinya berdasarkan lokasinya :

GEJALA DAN TANDA Gejala dari fraktur mandibula 1. Gejala utamanya adalah pasien merasakan sakit. 2. gejala utama lainnya adalah terjadinya maloklusi. Kadang-kadang pada saat fraktur terjadi, gigi geligi berkontak prematur dan mengacu pada anterior open bite sehingga tidak

bisa menutup dengan baik. Akan tetapi bisa juga terjadi crossbite. 3. Kekebasan bibir merupakan salah satu gejalanya, apabila fraktur tersebut mengenai/merintangi/memotong canal nervus inferior alveolaris. 4. Dan pastinya terjadi pendarahan pada mulut. 5. Gigi yang retak serta kehilangan gigi juga berkaitan dengan fraktur rahang.

PENATALAKSANAAN Perawatan fraktur mandbula pada umumnya secara singkat dibagi dalam 3 tahap yaitu perawatan emergensi, definitive, dan rehabilitasi. a. Perawatan emergensi pada pasien dengan fraktur mandbula terutama terhadap komplikasikomplikasi yang lebih berbahaya dari fraktur itu sendiri, seperti obstruksi jalan nafas, perdarahan, cedera otak. Pada pasien ini tidak didapatkan suatu emergensi yang memerlukan intervensi segera. Dari pemeriksaan fisik dalam batas normal. Kecurigaan adanya cedera otak berdasarkan adanya riwayat pingsan (+), sehingga dikonsulkan ke bedah neurologi. Jawaban konsultasi dengan bedah neurologi, tidak didapatkan adanya kelainan pada pasien maka dapat dilakukan perwatan selanjutnya. b. Perawatan definitif dilakukan setelah yakin tidak terdapat perawatan emergensi yang dilakukan. Perawatan definitif pada fraktur mandbula perlu pertimbangan-pertimbangan dalam memilih macam perawatan berupa jumlah fraktur, lokasi fraktur, tipe fraktur, posisi fragmen dan hubungannya satu dengan lainnya, jumlah gigi yang ada, kondisi dan distribusinya, daya kontraksi otot terhadap fragmen fraktur, lama terjadinya fraktur dan tetap mempertimbangkan usia dan keadaan umum pasien. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini kita menentukan apakah perawatanya dengan pembedahan atau tidak dengan pembedahan. Perawatan definitifnya dapat berupa reduksi, fiksasi dan imobilisasi. Reduksi adalah tindakan untuk mengembalikan posisi dari bagian tulang yang fraktur ke posisi semula atau disebut reposisi. Fiksasi adalah suatu tindakan untuk mempertahankan tulang yang telah direduksi. Imobilisasi adalah suatu tindakan untuk menjaga tulang yang telah difiksasi tidak bergerak sama sekali. Pada perawatan fraktur yang memerlukan tindakan pembedahan, imobilisasi dilakukan setelah reposisi dan fiksasi tulang yang fraktur. Pada perawatan yang tidak memerlukan tindakan bedah, imobilisasi dilakukan bersama-sama dengan tindakan fiksasi, alat fiksasi berfungsi sebagai alat imobilisasi. Tindakan untuk mengembalikan fragmen yang fraktur ke tempat semula (reduksi) ada 2 tehnik yaitu: 1. Reduksi tertutup {Close reduction): Pengembalian fragmen yang fraktur tanpa melalui

suatu tindakan pembedahan. Indikasi: a) Jika gigi-gigi pada kedua rahang cukup atau masih lengkap,sehingga oklusi dapat dibangun kembali dan gigi-gigi dapat dipakai sebagai pegangan untuk alat fiksasi. b) Pasien yang edentulous parsial (sebagian tidak bergigi) yang mana terjadi fraktur korpus mandbula dengan displacement minimal c) fraktur dengan celah fragmen yang tidak begitu lebar (kurang dari 2mm) dan oklusi baik. d) fraktur yang masih dalam batas golden periode (< 10 hari ) e) Lokasi fraktur mandbula tidak berada di tempat tarikan otot yang kuat Ada beberapa cara reduksi tertutup, yaitu Intermaxillary fixation, Splint fixation, Skeletal pin fixation 2. Reduksi terbuka (Open reduction), yaitu cara perawatan fraktur mandbula dengan tindakan pembedahan Indikasi : - Jika tidak cukup terdapat gigi-gigi untuk reduksi tertutup - Pada fraktur ramus ascendens mandbula atau pada processus condiloideus dengan displacement yang besar. - Pada non union, mal union, dan fibrous union fracture. - Bila terdapat otot-otot yang nterposlsi diantara fragmen-fragmen tulang - Dalam melakukan pencangkokan tulang (bone graft) Ada beberapa cara reduksi terbuka, yaitu pemasangan plat logam pada tulang setelah reduksi, Intraosseous wiring, dan Transsosseous wire pin fixation c. Penilaian penyembuhan tulang setelah fraktur dibagi 2 yaitu penyembuhan klinis dan penyembuhan radiologis: 1. Penyembuhan klinis: secara klinis tidak ada keluhan, dan organ yang fraktur dapat berfungsi meskipun terbatas. Dengan kriteria: - Tidak ada pergerakan abnormal. Bengkak dan hematom tidak ada. - Keluhan nyeri tidak ada baik bergerak maupun tidak digerakkan. - Tidak ada nyeri pada TMJ waktu buka tutup mulut. Sudah dapat berfungsi meskipun belum maksimal 2. Penyembuhan radiologis: hilangnya daerah radiolusen pada garis fraktur dan diganti dengan gambaran radiopak yang tidak dapat dibedakan dari tulang sekitarnya. Pada minggu ke 9 (hari ke 57) dari evaluasi gambaran panoramik, garis fraktur di korpus mandbula bilateral mulai tidak jelas, maka IDW rahang bawah dilepas, dengan saran penderita diet

makanan lunak

Beberapa pilihan perawatan United States Intermaxillary Fixation (IMF) mengeluarkan produk yang bernama Erich Arch Bars, yang derekatkan dengan kawat pada gigi. Terdapat beberapa metode untuk merekatkan rahang yakni menggunakan wire loops atau dikenal dengan Ivy loops atau menggunakan plat sambung yang special yang direkatkan ke gigi. Dengan mengepaskan gigi dan rahang secara bersamaan akan efektif untuk mensplinting posisi fragments rahang sehingga immobility. Kestabilan fragment rahang didapatkan sekitar 4 minggu. Akan tetapi masalahnya pasien akan sulit makan dan berbicara ketika kawat tersebut terpasang. Jadi pasien tidak akan menyukai perawatan ini. Terdapat juga IMF, yang menyertakan beberapa tipe dari sekrup rahang yang dirancang untuk memegang kawat. Kadang-kadang, operator bisa meletakkan komposit pada braces untuk menutup kawat rahang tersebut. Kerugiannya adalah ketika perawatan selesai akan sulit rahang untuk bekerja kembali.

Alternatif lain, AO/ASIF merupakan organisasi internasional telah memilih teknologi bedah untuk mefiksasi fraktur mandibula yang dirancang dapt difungsikan dengan cepat dibandingkan dengan teknik IMF. Prinsip dari AO/ASIF yaitu menggunakan batangan titanium untuk memfiksasi tulang rahang dengan sekrup. Dengan meimplantasi batangan titanium yang akan merekonstruksi kekuatan rahang dan fungsi rahang dengan cepat. Kenapa menggunakan titanium? Karena subtansi titanium tidak ditolak di dalam tubuh. Plat titaniun diletakkan dengan teliti pada tulang dan tidak merusak gigi atau nervus sensori dari rahang. Teknik ini mengacu pada ORIF atau open reduction and internal fixation.

Komplikasi yang mungkin terjadi 1. kerusakan pada gigi hingga terjadi gingivitis berat pada akar. 2. pasien susuah untuk membersihkannya. 3. terjadinya infeksi. Akan menyebar yang akan menyebabkan osteomyelitis.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA 1. Dorlands Illustrated medical dictionary, 27th ed., WB Saunders Co., Philadelpia, 1988 2. Davidson,J.K.,Eckhardt III William F., Perese Deniz A., Clinical anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. 4 th edition. Boston, Little, Brown and Company, 1993G. 3. Edward Morgan, dkk., Clinical Anesthesiology, London,McGraw-Hill,2006 4. Latief said A., Suryadi kartini A., Daehlan M. Ruswan, Petunjuk praktis anestesiologi. 2nd edition, Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002. 5. Matorin A Philip, Treatment of Traumatic Mandibular Fractures, 2006.Retrieved : Feb 8, 2007, from www.bcm.edu/oto/ 6. Pederson GW, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, 1st Ed. Jakarta, EGC 1998;236. 7. Osbon DB, Alling III CC, Maxillofacial trauma, Lea & Febiger, Philadelpia, 1988;224-36, 242-6, 249-50 8. Kai Tu H, Tenhulzen D, Compression osteosynthesis of mandibular fractures : A retrospective study, J Oral Maxillofac Surg, 1985;43:585-9 9. Sugiharto Setyo, Hardjowasito Widanto, Penanganan Fraktur Mandibula pada Anak dengan pemasangan Arch-Bar., Majalah Kedokteran Unibraw, 1996; 12:39-41.

You might also like