You are on page 1of 14

MAKALAH PRAKTIKUM TEKNOLOGI PAKAN ALAMI TEKNIK KULTUR Tubifex sp

Disusun Oleh : Khasan Muntholib ( 10308141009 ) Andreas Jati Prima ( 10308141014 ) Prodi Biologi sub10

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENDIDIKAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013/2014

I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Budidaya ikan semakin berkembang, kebutuhan akan pakan mejadi salah satu masalah yang menjadi perhatian serius dari akuakulturis yang bergerak di bidang ini. Salah satu pakan yang menjadi kebutuhan bagi kegiatan budidaya adalah pakan alami. Ada berbagai macam pakan alami yang menjadi perhatian para akuakulturis, seperti fitoplankton, zooplankton, cacing, dan maggot. Pakan alami dikembangkan dengan berbagai tujuan seperti pemenuhan kebutuhan nutrisi, sebagai first feeding dalam pembenihan ikan, dan lain sebagainya. Pengembangan pakan alami yang masih tergolong tradisional adalah cacing sutera. Sebagian besar pemenuhan kebutuhan akan cacing sutera didapat dari alam. Hal tersebut dikarenakan teknologi budidaya dari cacing sutera ini belum berkembang dengan baik, sehingga masih mengandalkan tangkapan dari alam. Kebutuhan cacing sutera berasal dari sentra-sentra pembenihan ikan konsumsi dan budidaya ikan hias air tawar. Proses pengambilan cacing sutera dari alam membutuhkan penaganan khusus dan ketelatenan agar didapatkan cacing yang tahan dan dapat hidup di luar habitatnya hingga dapat didistribusaikan kepada konsumen.

B. Tujuan Tujuan praktikum ini adalah agar setiap mahasiswa dapat mengetahui tentang teknik kultur masal Tubifex, sehingga nantinya setiap mahasiswa lebih mengerti tentang bagaimaana cara mengkultur Tubifex sp dengan baik.

II . CACING SUTRA (Tubifex sp) A. Pengertian Cacing sutra atau cacing rambut termasuk kedalam kelompok cacing cacingan (Tubifex sp). Dalam ilmu taksonomi hewan, cacing sutra digolongkan kedalam kelompok Nematoda. Embelembel sutra diberikan karena cacing ini

memiliki tubuh yang lunak dan sangat lembut seperti halnya sutra. Sementara itu julukan cacing rambut diberikan lantaran bentuk tubuhnya yang panjang dan sangat halus tak bedanya seperti rambut (Khairuman et al., 2008). Cacing sutra (Tubifex sp) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum Class Ordo Famili Genus Spesies : Annelida : Oligochaeta : Haplotaxida : Tubificidae : Tubifex : Tubifex sp Cacing ini memiliki bentuk dan ukuran yang kecil serta ramping dengan panjangnya 1-2 cm, sepintas tampak seperti koloni merah yang melambai-lambai karena warna tubuhnya kemerah-merahan, sehingga sering juga disebut dengan cacing rambut. Cacing ini merupakan salah satu jenis benthos yang hidup di dasar perairan tawar daerah tropis dan subtropis, tubuhnya beruas-ruas dan mempunyai saluran pencernaan, termasuk kelompok Nematoda. Cacing sutera hidup diperairan tawar yang jernih dan sedikit mengalir. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik. Makanan utamanya adalah bagian-bagian organik yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan tersebut (Djarijah 1996).

B. Morfologi Tubifex sp Secara umum cacing sutra atau cacing rambut terdiri atas dua lapisan otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Panjangnya 1030 mm dengan warna tubuh kemerahan, saluran pencernaannya berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Spesies ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Cacing sutra (Tubifex sp) ini hidup berkoloni bagian ekornya berada dipermukaan dan berfungsi sebagai alat bernafas dengan cara difusi langsung dari udara. Menurut Pennak (1978), Cacing sutra (Tubifex sp) tidak mempunyai insang dan bentuk tubuh yang kecil dan tipis. Karena bentuk tubuhnya kecil dan tipis,

pertukaran oksigen dan karbondioksida sering terjadi pada permukaan tubuhnya yang banyak mengandung pembuluh darah. Kebanyakan Tubifex membuat tabung pada lumpur di dasar perairan, di mana bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung bergerak bolak-balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air, sehingga terjadi sirkulasi air dan cacing akan memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya. Getaran pada bagian posterior tubuh dari Tubifex dapat membantu fungsi pernafasan. Hampir semua oligochaeta bernafas dengan cara difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Hanya beberapa yang bernafas dengan insang. Cacing sutra ini bisa hidup diperairan yang berkadar oksigen rendah, bahkan beberapa jenis dapat bertahan dalam kondisi yang tanpa oksigen untuk jangka waktu yang pendek. Cacing sutra dapat mengeluarkan bagian posteriornya dari tabung, guna mendapatkan oksigen lebih banyak, apabila kandungan oksigen dalam air sangat sedikit.

C. Ekologi Tubifex sp Cacing sutra (Tubifex sp) umumnya ditemukan pada daerah air perbatasan seperti daerah yang terjadi polusi zat organik secara berat, daerah endapan sedimen dan perairan oligotropis. Ditambahkan bahwa spesies cacing Tubifex sp ini bisa mentolerir perairan dengan salinitas 10 ppt (Khairuman dan Amri : 2002). Dua faktor yang mendukung habitat hidup cacing sutra (Tubifex sp) ialah endapan lumpur dan tumpukan bahan organik yang banyak. (Chumaidi (1986) Dari setiap tubuh cacing sutra (Tubifex sp) pada bagian punggung dan perut kekar serta ujung bercabang dua tanpa rambut. Sementara sifat hidup cacing sutra (Tubifex sp) menunjukan organisme dasar yang suka membenamkan diri dalam lumpur seperti benang kusut dan kepala terkubur serta ekornya melambai-lambai dalam air kemudian bergerak berputar-putar. (Departemen Pertanian : 1992) D. Cacing sutera sebagai bioindikator pencemaran organik dan first feeding Di alam, cacing sutera hidup di perairan tawar mengalir dengan substrat lunak dan kaya akan bahan organik dan hidupnya berkoloni. Kandungan bahan organik perairan yang tinggi dapat berasal dari pencemaran lokal maupun peternakan, misal :

kotoran hewan ternak, daun-daun busuk, maupun bahan organik lain yang akhirnya mendukung perkembangbiakan cacing sutra, sehingga dapat juga dijadikan sebagai indikator pencemaran organik di perairan tawar. Untuk itu cacing sutera dapat berkembang baik pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut (DO) berkisar antara 2,75 5, kandungan amonia < 3,6, suhu air 28 30oC, serta 6 8 pH air. Dalam bidang perikanan, cacing sutera dikenal sebagai pakan alami yang sangat baik untuk bibit atau larva ikan karena memiliki kandungan protein cukup tinggi sehingga dapat membantu mempercepat pertumbuhan ikan. Salah satu pakan yang menjadi kebutuhan bagi kegiatan budidaya adalah pakan alami. Pakan alami cacing sutera perlu dikembangkan dengan berbagai tujuan seperti, sebagai first feeding, pemenuhan kebutuhan nutrisi dalam pembenihan ikan, dan lain sebagainya. Selain sebagai pakan alami juga dapat dibuat menjadi pakan buatan dengan disimpan dalam bentuk cacing beku maupun dibuat pelet. Cacing sutera hidup berkoloni di perairan mengalir yang kaya akan bahan organik. Di dalam tubuh cacing sutera terkandung sekitar 57% protein dan 13% lemak, oleh karena itu merupakan pakan yang baik untuk bibit ikan, tidak terkecuali untuk ikan yang dipelihara dan dibudidaya manusia baik ikan konsumsi maupun ikan hias.

E. Reproduksi Tubifex sp Cacing sutera bersifat hermaprodit yaitu pada satu organisme mempunyai 2 alat kelamin. Telur dihasilkan oleh induk cacing yang telah mengalami kematangan kelamin betina dan dibuahi oleh cacing lain yang mengalami kematangan sel kelamin jantan. Induk cacing sutra dapat menghasilkan kokon setelah berumur 40-45 hari. Selanjutnya perkembangan telur terjadi di dalam kokon yaitu suatu bangunan berbentuk bulat telur, panjang 1 mm dan diameter 0,7 mm yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis dari salah satu segmen tubuh yang disebut klitelum. Telur yang ada di dalam tubuh mengalami pembelahan, selanjutnya tubuh berkembang

membentuk segmen-segmen. Setelah beberapa hari embrio akan keluar dari kokon. Jumlah telur dalam setiap kokon cacing sutera berkisar antara 4 5 buah. Siklus hidup cacing sutera relatif singkat yaitu 50 57 hari.

Cacing sutera dewasa dapat menghasilkan kista pada telurnya yang dapat bertahan dalam kekeringan selama dua minggu dan lebih lama lagi pada daerah pembuangan yang ditutupi oleh sampah organik.

F. Cara mendapatkan nutrisi Cacing sutera adalah golongan oligochaeta, yang berarti hanya memiliki beberapa bulu kaku pada tubuhnya. Bulu-bulu kaku tersebut dapat bergerak dengan kontraksi peristaltik otot. Seperti anggota dari filum Annelida lainnya bahwa kontraksi otot melingkar dan pemanjangan segmen tubuh adalah hal terpenting dalam merangkak perlahan dan selalu menghasilkan tekanan cairan tubuh. Kontraksi otot memanjang berperan penting pada saat cacing menggali lubang, memperluas galian atau melekatkan diri pada dinding liang yang digali.

Pertukaran gas oksigen dan CO2 pada tubuh cacing sutera dilakukan secara difusi melalui permukaan tubuh. Kebanyakan cacing sutera membangun suatu bangunan sedimen menyerupai tabung pada substrat tempat hidupnya. Penyerapan oksigen dilakukan dengan cara bagian ekornya melambai-lambai, sementara kepala didalam substrat sehingga bisa membuat sirkulasi air dan membuat oksigen lebih banyak untuk diterima oleh permukaan tubuh. Tabung dari substrat tersebut berfungsi untuk mendapatkan nutrien dengan tersaringnya makanan atau terkumpulkannya partikel organik halus dipermukaan yang terbawa oleh debit air. Jumlah makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh cacing sutra (Tubifex sp) adalah 2-8 kali bobot tubuh (Monakov, 1972). Menurut Pondubnaya dan Sorokin (1961) dalam Monakov (1972) cacing tersebut hanya makan pada lapisan tipis di bawah permukaan pada kedalaman 2cm-5cm. Dijelaskan pula bahwa pada lapisan tersebut banyak zat-zat makanan yang tertimbun akibat dekomposisi anaerobik. Selain makanan, pertumbuhan populasi cacing sutra juga ditentukan oleh faktor faktor lain seperti ruang (tempat) dan lingkungan. Pennak (1978) dalam Febrianti (2004) menyatakan bahwa tubificidae memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm dari permukaan substrat. G. Kultur Tubifex sp Tubifex sp yang hidup di perairan alam dapat ditangkar ditempat-tempat terkontrol, misalnya kubangan tanah. Di alam kubangan ini kondisi (habitat) dibuat mirip dengan habitat alam berlumpur. Kubangan diisi campuran pupuk kandang

(kotoran ayam) dan dedak halus setebal 1 cm. Pupuk dicampurkan dengan dedak halus. Untuk membudidayakannya bahan organik yang biasa dipakai adalah kotoran ternak seperti kotoran ayam, kambing, sapi, kuda, kerbau, babi dan lain sebagainya. Selanjutnya diratakan dan diisi air. Biarkan rendaman ini sampai mengendap. Kemudian dimasukan klon cacaing tubifex. Aliran air dibesarkan sedikitt setelah bibit ditanam. Aliran ini dibutuhkan untuk mengganti air yang ada secara kontinyu (Yurisman dan Sukendi, 2004). Untuk kultur Tubifex sp skala laboratorium dapat dikultur pada media akuarium atau wadah lain yang diisi dengan lumpur dan pupuk kandang sehingga menyerupai habitat aslinya. Sedangkan untuk alirannya dapat menggunakan sistem sirkulasi, namun debit air untuk pemeliharaan jangan terlau besar karena dapat menghilangkan bahan-bahan organik sehingga terjadi berakibat kurangnya nutrisi pada media (Kordi, 2009). pencucian nutrisi yang

H. Habitat dan Penyebaran Habitat dan penyebaran cacing sutra (Tubifex sp) umumnya berada di daerah tropis. Umumnya berada disaluran air atau kubangan dangkal berlumpur yang airnya mengalir perlahan, misalnya selokan tempat mengalirnya limbah dan pemukiman penduduk atau saluran pembuangan limbah peternakan. Selain itu, cacing sutra juga ditemukan di saluran pembuangan kolam, saluran pembuangan limbah sumur atau limbah rumah tangga umumnya kaya akan bahan organik karena bahan organik ini merupakan suplai makanan terbesar bagi cacing sutra. (Khairuman et al., 2008) Menurut Marian dan Pandian (1984), sekitar 90% Tubifex menempati daerah permukaan hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian sebagai berikut : juvenile (dengan bobot kurang dari 0,1 mg) pada kedalaman 0-2 cm, immature (0,1-5,0 mg) pada kedalaman 0-4 cm, mature (lebih dari 5 mg) pada kedalaman 2-4 cm.

III . BUDIDAYA Tubifex sp Budidaya cacing sutra ini dapat dilakukan di parit beton maupun dikolam. Kolam yang digunakan bisa berukuran kecil atau besar yang diberi petakan papan didalamnya.

Menurut Priyambodo dan Wahyuningsih (2001), wadah yang digunakan untuk budidaya cacing sutra ini adalah parit beton atau kotak dari kayu dengan lebar 50 cm panjang 5-10 m dan tinggi 20-30 cm yang dilapisi plastik. Media pemeliharaan dapat berupa dedak, kotoran ayam dan ampas tahu asalkan kondisinya sudah halus. Fungsinya sebagai sumber makanan bagi cacing sutra (Khairuman dan Amri, 2008). 1. Persiapan wadah Wadah pemeliharaan berupa kolam tanah kecil berukuran 1.5 x 1.5 m atau maksimum 10 x 10 m. Dasar kolam dikeringkan dan dibersihkan dari kotoran-kotoran. Bagian-bagian kolam yang bocor diperbaiki. Wadah tersebut harus mempunyai lubang pemasukan air di satu sisi dan lubang pengeluaran di sisi yang lain. Wadah diletakkan di tempat yang teduh. Pencangkulan dilakukan sampai dasar kolam, lalu digenangi atau diisi air sampai ketinggian 5 cm selama 2 hari. 2. Penyiapan media kultur Media kultur cacing Tubifex berupa lumpur selokan setebal 5 cm yang dicampur rata dengan pupuk kandang sebanyak 100 g/m2 atau dedak sebanyak 200-250 g/m2, dapat pula digunakan kotoran kambing. Rendam media tersebut selama 3-4 hari. Kotoran ayam atau kambing yang akan dipakai sebagai media harus dibersihkan dari bahan-bahan lain dan dijemur di bawah terik matahari selama 1 hari atau dalam kondisi kering. Dosis kotoran ayam atau kambing yang dipakai adalah 100-250 g/m2.

Media kultur juga harus dialiri air secara kontinu dengan debit yang kecil

3. Penebaran bibit dan pemeliharaan Bibit yang akan ditebar dapat dicari di selokan tempat pembuangan limbah rumah tangga. Koloni cacing Tubifex dapat diambil dengan cangkul kecil. Pengambilan koloni cacing harus dilakukan dengan cara mengambil tanah tempat cacing itu hidup. Sebelum bibit ditebar, air yang mengalir harus memiliki debit air yang kecil hingga air media terganti dalam waktu 30-35 menit dan sebaiknya dilakukan pengujian kualitas air sehingga dapat dipastikan air tidak mengandung amoniak yang berasal dari kotoran hewan (pupuk). Penebaran bibit dilakukan dengan cara membuat lubang kecil di tanah dasar kolam atau media. Bibit dimasukkan bersama dengan tanahnya ke dalam lubang tersebut. Cacing tubifex akan berkembang dengan pesat dalam media yang cocok setelah dipelihara selama 7-11 hari. Pertumbuhan cacing akan optimal apabila aliran air tetap terjaga sepanjang waktu.

Media kultur setelah diberi bibit cacing tubifex

Panen dilakukan setelah populasi cacing sutera atau tubifex melimpah atay setelah budidaya berlangsung 2 bulan dan berturut-turut setiap 2 minggu. Cara pemanenan cacing sutera yaitu menggunakan serokan atau terilin. Cacing sutera yang didapat dan masih bercampur dengan media budidaya di masukkan ke dalam ember atau bak yang diisi air, kira-kira 1 cm diatas media budidaya agar cacing sutera naik ke permukaan media budidaya. Ember ditutup hingga bagian dalam menjadi gelap dan dibiarkan selama 6 jam. setelah 6 jam, cacing sutera yang menggerombol diatas media diambil dengan tangan. Cacin tubifex yang sudah di panen dan dibersihkan siap dipakai untuk pakan benih ikan.

cacing tubifex yang sudah di panen dan dibersihkan, siap dipakai untuk pakan benih ikan

IV . KESIMPULAN Cacing sutera (Tubifex sp) dikenal juga dengan nama cacing rambut atau cacing darah, karena tubuh berukuran kecil seukuran rambut dan berwarna kemerahan dengan panjang sekitar 1-3 cm, dan tubuh terdiri dari 30 60 segmen atau ruas. Banyak ditemukan pada perairan tawar mengalir dan kaya akan bahan organik. Secara spesifik masih banyak spesies cacing yang merupakan anggota dan kerabat dari genus tubifex, karena ciri umum cacing dari genus tubifex berwarna merah dan hidup di air tawar. Karena klasifikasi cacing pada umumnya berdasarkan dari habitat alami, jumlah segmen, letak klitelum, ada tidaknya bulu dan lain-lain. Cacing sutera merupakan salah satu alternatif pakan alami yang dapat dipilih untuk memberi makan ikan yang anda pelihara, terutama pada saat fase larva hingga benih ataupun untuk ikan hias anda karena memiliki kandungan nutrisi yang baik dan cenderung seimbang dan sangat baik untuk pertumbuhan ikan. Dalam bidang perikanan, cacing sutera dikenal sebagai pakan alami yang sangat baik untuk bibit atau larva ikan karena memiliki kandungan protein cukup tinggi sehingga dapat membantu mempercepat pertumbuhan ikan. Salah satu pakan yang menjadi kebutuhan bagi kegiatan budidaya adalah pakan alami. Pakan alami cacing sutera perlu dikembangkan dengan berbagai tujuan seperti, sebagai first feeding, pemenuhan kebutuhan nutrisi dalam pembenihan ikan, dan lain sebagainya. Selain sebagai pakan alami juga dapat dibuat menjadi pakan buatan dengan disimpan dalam bentuk cacing beku maupun dibuat pelet. Kandungan sekitar 57% protein dan 13% lemak, oleh karena itu merupakan pakan yang baik untuk bibit ikan, tidak terkecuali untuk ikan yang dipelihara dan dibudidaya manusia baik ikan konsumsi maupun ikan hias.

DAFTAR PUSTAKA Chumadi dan Suprapto. 1986. Pengaruh Berbagai Takaran Pupuk Kotoran Ayam Terhadap Perkembangan Populasi Tubifex sp. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar. Depok, Bogor. 8 hal. Departemen Pertanian. 1992. Pedoman Teknis Budidaya. Jakarta. 87 Hal. Djarijah A S. 1996. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta: Kanisius. Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Direktorat Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. Isyaturradiyah. 1992. Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Tubiex sp pada Wadah Yang Dialiri Air Limbah dari Budidaya Tubiex sp dengan panjang 3, 6 dan 9 meter. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Khairuman dan Khairul Amri. 2008. Membuat Pakan Buatan. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Kosiorek, D. 1974. Development Cycle of Tubifex tubifex Muller in Experimental Culture. Pol. Arch. Hidrobiol. 21 (3/4) : 411-422. Lukito A dan Surip P. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya. Pennak, R. W. 1978. Freswhere Invertebrates Of The United States. A Wilwy Intescience Publication. John Willey and Sons, New York. Yurisman dan Sukendi. 2004. Biologi dan Kulltur Pakan Alami. UNRI Press : Pekanbaru. Wardhana, W.A. 1994. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta. Ed. A. Willey Interscience Pbl. John Willey and Sons. New york. Priyambodo, K. dan Wahyu ningsih, K. 2001. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. Pustaka Setia. Yogyakarta.

You might also like