You are on page 1of 34

TUBERKULOSIS PRIMER TB

Kelompok : 1.B
ZULDI ERDIANSYAH RAHMA DEWI A KUNANGKUNANG P BULAN ANGGITA DYAH INTAN S AUZIA TANIA UTAMI AULIA DYAH FEBRIANTI NOVIA MANTARI G1A009071 G1A009081 G1A009091 G1A009095 G1A009129 G1A009002 G1A009012

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberi rahmat dan hidayahNya kepada kita semua, karena atas berkat rahmatNya kami dapat menyelesaikan refrat yang merupakan salah satu tugas dalam blok RESPIRATORY Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu kami dalam penyusunan refrat ini. Tujuan dalam pembuatan refrat ini yaitu untuk memenuhi tugas dalam blok HI dan sebagai media informasi bagi pembaca terutama bagi orang yang belum atau kurang dalam pemahaman kesehatan yang dikhususkan penyakit tuberkulosis primer ini. Sehingga diharapkan refrat ini akan sangat bermanfaat bagi kami khususunya dan bagi seluruh para pembaca pada umumnya. Referat ini disusun berdasarkan referensi-referensi yang ada, serta dilengkapi dengan berbagai gambar, foto dan bagan-bagan yang diharapkan dapat membantu pemahaman pembaca Akhir kata kami selaku penyusun laporan yaitu kelompok 2

berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak yang membantu dan memohon maaf jika ada kekurangan dalam penyusunan laporan ini.

Purwokerto, April 2011

Kelompok 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi (Price,2004). TB paru sebenarnya sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Dibuktikan dengan penemuan kerusakan tulang vertebra thorax yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan jaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000 - 4000 SM. Robert Koch menemukan MTB pada tahun 1882, semacam bakteri berbentuk batang. Diagnosis secara mikrobiologis dimulai sejak tahun 1882, terlebih lagi setelah Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat pada tahun 1896 (IPD,2006). Pada permulaan abad 19, insidens penyakit TB di Eropa dan Amerika Serikat sangat besar. Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk, dan angka kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Usaha-usaha untuk mengurangi angka kematian dilakukan seperti perbaikkan lingkungan hidup, nutrisi, dll, tapi hasilnya masih kurang memuaskan(ipd,2006). Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang perempuan dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomicin. Segera disusul dengan penemuan asam para amino salisilik ( PAS ). Dilanjutkan dengan penemuan Isoniazid pada tahun 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid pada tahun 1954

dan etambutol 1952, rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini2. Angka insidens kasus dan mortalitas TB menurun drastis sejak terdapat kemoterapi. Namun, dari tahun 1985 hingga 1992, kasus TB meningkat hingga 20 %. Lebih dari 80 % kasus baru TB yang dilaporkan adalah berusia lebih dari 25 tahun(Price,2004). Kira kira 5 hingga 100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang menjadi TB paru, 1 hingga 2 tahun setelah terinfeksi. Pada 5 % kasus akan berkembang menjadi penyakit klinis di masa yang akan datang, sedangkan 95 % sisanya tidak. Sekitar 10 % individu yang terinfeksi akan berkembang menjadi TB klinis seumur hidup mereka. Namun, risiko yang lebih besar adalah pada individu yang imunosupresif, khususnya pada mereka yang terinfeksi HIV. Berdasarkan data CDC tahun 1996, angka penyakit TB pada orang yang terinfeksi HIV dengan tes tuberkulin kulit positif adalah 200 hingga 800 kali lebih besar daripada angka untuk seluruh penduduk Amerika Serikat(Price,2004). Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. Baik di Indonesia maupun di dunia, TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Walaupun sudah lebih dari seabad sejak penyebabnya ditemukan oleh ilmuwan Jerman, Robert Koch, pada tahun 1882, TB belum dapat diberantas bahkan terus

berkembang(price,2004).

B. Latar belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tempat masuk kuman

Mycobacterium

tuberculosis

adalah

saluran

pernapasan,

saluran

pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kumankuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. (Price, 2005) Secara patologis TB dapat dibagi menjadi 2 yaitu tuberculosis primer dan tuberculosis post-primer. Yang akan dibahas dalam referat kali ini adalah tuberculosis primer. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (focus) Ghon. Sarang primer limfangitis local + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotic, kalsifikasi di hilus, dan berkomplikasi serta menyebar. (Sudoyo, 2009)

C. Dasar teori Tuberkulosis (TB) primer adalah peradangan yang terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff dan Abdul Mukty, 2009). TB paru primer biasanya terjadi pada usia muda (Ward Jeremy dkk, 2007) . Sebagian besar bakteri ini masuk ke dalam jaringan paru melalui airborne infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon (Alsagaff Hood dan Abdul Mukty, 2009). Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni disebut sarang primer (afek primer). Peradangan akan kelihatan dari sarang primer saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) yang diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfangitis regional). Limfangitis regional bisa sembuh tanpa mengalami cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas dan mengalami penyebaran. Penyebarannya dengan beberapa cara yaitu (Amin Zulkifli dan Asril Bahar, 2009):

a. Perkontinuitatum yaitu penyebaran kuman tuberkulosis di sekitarnya b. Bronkogen adalah penyebaran baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan sehingga menyebar ke usus. c. Hematogen dan limfogen adalah penyebaran yang berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat apabila tidak terdapat imunitas yang adekuat.

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Tuberkulosis primer adalah suatu bentuk penyakit yang

berkembang mula-mula pada seseorang yang tidak terpapar dan karenanya seseorang yang belum tersensitisasi. Individu yang lanjut usia dapat kehilangan sensitivitasnya terhadap basil tuberkel sehingga sekali lagi dapat menderita tuberkulosis primer. Sebaliknya, penyakit yang

disebabkan oleh reinfeksi dari tuan rumah yag sudah tersensitisasi atau (barangkali) reaktivasi dari infeksi primer disebut tuberkulosis sekunder atau pasca primer. (Robbins & Kumar, 1995) Tuberkulosis primer adalah tuberkulosis paru pada orang yang terinfeksi pertama kali, sering kali asimtomatis, dengan hasil positif pada uji tuberkulin. Pada anak-anak mungkin terdapat eksudasi dengan kompleks primer yang terdiri dari lesi parenkim paru dan fokus kelenjar getah bening yang sesuai. Dahulu disebut childhood tuberculosis. (Dorland, 2002) Dalam pengendalian penyakit tuberkulosis, diagnosis dini

sangatlah penting karena berkaitan dengan prognosis. Faktor utama yang terkait dengan keterlambatan diagnostik adalah human immunodeficiency virus; koeksistensi batuk kronis dan / atau penyakit paru-paru lainnya; BTA negatif; TB ekstraparu; tinggal di pedesaan; akses rendah (hambatan geografis atau sociopsychological); kunjungan awal dari fasilitas kesehatan pemerintah yang masih rendah;usia tua; kemiskinan;perempuan, alkoholisme dan penyalahgunaan zat; sejarah imigrasi; rendahnya tingkat pendidikan; rendahnya kesadaran terhadap TB; keyakinan yang tidak komprehensif; pengobatan sendiri; dan stigma. (Storla, Yimer, & Bjune, 2008)

B. Epidemiologi Tuberculosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan tuberculosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberculosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hamper 2 kali lebih besar dari Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk (PDPI, 2006). Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka motaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka motaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul (PDPI, 2006).

C. Etiologi Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik.Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant (Depkes RI, 2002). Menurut Wilson dkk karakteristik dinding Mycobacterium meliputi : a. Dinding lipid b. Heterotrimetric antigen 85 complex (ag85)

c. 3 jenis protein yaitu FbpA, FbpB, dan FbpC2 d. Protein berperan penting dalam patogenesis TB e. Lipid dan protein mempertahankan cell-wall integrity tuberculosis (Aditama, 2005) Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis(Kavita Modi-Parekh,et al. 2006). Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernapasan. Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya menyebar kekelenjar getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke primer ). yang dalam perjalanannya sebagian besar akan mengalami penyembuhan.

Tuberkulosis paru primer, peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium. Tuberkulosis yang kebanyakan didapatkan pad usia 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut tuberkulosis post primer (reinfection) adalah peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh keduanya dinamakan tuberkulosis terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut (Depkes RI, 2002)

D. Klasifikasi dan gambaran PA

Menurut WHO tahun 1991, kriteria pasien TB paru adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) a. Tuberkulosis paru BTA (+)

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif 2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan tuberkulosis aktif 3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. b. Tuberkulosis paru BTA (-) 1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan radiologi menunjukkan gambaran

tuberkulosis paru 2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan MTB positif 2. Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya a. Kasus baru Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan b. Kasus kambuh Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa

kemungkinan: 1) Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan, dll) 2) TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberculosis

c. Kasus defaulted atau drop out Pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Kasus gagal pengobatan Pasien dengan BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. e. Kasus khronik Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik f. Kasus bekas TB Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah

mendapatkan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambar radiologi 3. Berdasarkan gambaran radiologi a. Lesi TB aktif Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan segmen posterior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) b. Lesi TB inaktif dicurigai bila: Fibrotik Kalsifikasi Schwarte atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto thorax untuk kepentingan pengobatan dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif): 1) Lesi minimal Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5, serta tidak dijumpai kaviti. 2) Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal

4. Berdasarkan terapi : a. Kategori I Kasus baru dengan sputum positif Kasus baru dengan bentuk TB berat b. Kategori II Kasus kambuh Kasus gagal dengan sputum BTA positif c. Kategori III Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I d. Kategori IV Tuberkulosis Paru kronik Multi-Drugs Resistant TB

Gambaran Patologi Anatomi

Pemeriksaan

histopatologi

dilakukan

untuk

membantu

menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu(Wallace,2005) :

a. Biopsi 1) Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB) 2) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman) 3) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka). b. Otopsi Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi. Hasil yang didapatkan dari hasil pemeriksaan patologi anatomi adalah : a. Gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Berwarna kekuningan yang letaknya subpleural disertai pembesaran kelenjar limfe di daerah hilus dekat bronkus yang berisi granuloma (Ghon complex). b. Ghon complex merupakan gambaran khas pada tuberculosis primer. c. Selang beberapa waktu granuloma akan mengecil dan mengalami perkapuran yang akan terlihat pada gambaran radiologi berupa bintik bintik kalsifikasi.

E. Patogenesis Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1 - 2 jam, tergantung sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Pada suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari hari sampai berbulan bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat, maka ia akan menempel

pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer(Amin,2006). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai satu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari hari pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia

akut(Price,2004). Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 20

hari(Price,2004). Bila kuman menetap dalam jaringan paru, ia akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Dari sini ia dapat menuju ke organ - organ lainnya. Sarang tuberkulosis primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan paru, dan kalau menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier(Neil,2005).

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hillus ( limfangitis lokal ), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + Limfadenitis regional = Kompleks primer ( Ranke ). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi: Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. ( sebagian besar penderita ) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis fibrotik. Kalsifikasi di hilus,keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya > 5 mm dan 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. Berkomplikasi dan menyebar secara : a. Perkontinuitatum ( ke sekitarnya ) b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan ataupun pada paru disebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus. c. Secara limfogen ke organ organ lainnya d . Secara hematogen ke organ organ tubuh lainnya

F. Patofisiologi Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Basil ini bila menetap di jaringan paru, ia akan tumbuh

dan berkembangbiak dalam sitoplasma makrofag. Basil juga dapat terbawa masuk ke organ tubuh lain yang nantinya bisa menyebabkan tuberculosis hati, ginjal, jantung, kulit dan lain-lain (UKK PP IDAI, 2005). Sebagian kuman akan dibawa melalui cairan getah bening ke kelenjar getah bening yang terdekat disamping bronkus. Dari kedua tempat tersebut, kuman akan menimbulkan reaksi tubuh, dan sel-sel kekebalan tubuh akan berkumpul. Dalam waktu 4 hingga 8 minggu akan muncul daerah kecil di tengah-tengah proses tersebut dimana terdapat jaringan tubuh yang mati (perkejuan) yang dikelilingi sel-sel kekebalan tubuh yang makin membesar. Perubahan-perubahan yang terjadi pada paru dan kelenjar getah bening ini dikenal sebagai tuberkulosis primer (Harun, 2002). Dari sarang primer ini akan timbul peradangan saluraan getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis local + limfadenitis regional = kompleks primer(Ghon complex). Basil Mycobacterium Tuberculosis ini dapat bertahan selama 1-2 jam pada suasana lembab dan gelap, sebaliknya akan mati jika terkena sinar matahari. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2001). Kompleks primer selanjutnya dapat menjadi : a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, klasifikasi di hilus atau kompleks sarang Ghon c. Komplikasi dan menyebar secara : 1) Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya. 2) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya. Dapat juga kuman tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.

3) Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya 4) Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya. 5) Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan tuberculosis primer

Patofisiologi Necrotic, Batuk darah, Ronki dkk

Sel makrofag yang tidak dapat mencerna (melisiskan) Bakteri M. Tuberkulosa

Endospora (pertahanan)

rangsang epitelisasi

Granuloma (fokus Gohn)

dapat melibatkan kelenjar limfe (kompleks Gohn)

Setelah 2 -3 minggu,

Terbentuk NEKROTIC

jaringan membentuk pengejuan akibat O2 rendah, pH turun dan nutrisi yang berkurang.

nekrotik

imun Adekuat

imun tidak adekuat

terjadi kalsifikasi dan fibrosis mengontrol infeksi

tidak sukses

sukses mengontrol infeksi

liquefaksi dan dinding fibrous kehilangan struktur-struktur

basil dorman

Fibrous lepas

lesi sembuh Necrotic Semiliquid

Necrotic Semiliqiud + Mukus

Menyebar secara Hematogen ke otak

pembuluh darah Di sekitar kavernae radang

dikeluarkan sbg sputum + jar granulasi (dgn respon batuk) mukopurulen bronkostenosis

meningitis

Aneurisma Kraussman

purulen

Wheezing

sekret dlm bronkus pecah (ruptur)

Suara tambahan berupa Ronki Basah

Batuk darah

jaringan membentuk cavitas/cavernae

Nyeri dada di penyakit infeksi dengan radang lapang paru

Netrofil di pleura

kallikrein
melakukan

kininogen

kompleks Klinin

permeabilitas sistem merangsang reseptor kapiler komplemen nyeri di pleura parietal

kemotaksis

N. Splanicus pleksus brachialis N. Interkostalis

BASIL TB

NYERI DADA

Hematogen

fagosit

pelepasan pirogen endogen ( mediator kimia)

keluarkan prostaglandin

meningkatkan setpoint di hipotalamus

SUHU SUBFEBRIS

Malam meningkatkan BMR (Pemecahan glikogen, glukagon)

Ket : adalah energi yg dibutuhkan fungsi fisiologi normal saat istirahat

Terutama saat tidur Mempengaruhi : cirdacian cycle Apabila keadaan ini terus menrus selama infeksi maka mengakibatkan BB turun

Sekresi keringat (night sweet)

G. Penegakan diagnosis Anamnesis TB 1. Batuk selama 3minggu atau lebih Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk dibutuhkan untuk membuang produk produk radang keluar. Batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu minggu atau berbulan bulan

peradangan bermula. Sifat dimulai dari batuk kering ( non- produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum) (Sudoyo, 2007). 2. Demam Biasanya subfebril menyerupai dengan influenza, yang kadang kadang mencapai 40-41
0

C. Serangan demam dapat sembuh sebentar, tetapi

kemudian dapat timbul kembali. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi tuberkulosis yang masuk (Sudoyo, 2007). 3. Sesak napas Pada gejala yang ringan penyakkit, belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiiltrasinya meliputi setengah paru paru (Sudoyo, 2007). 4. Nyeri dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada muncul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga memunculkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik / melepaskan napasnya (Sudoyo, 2007). 5. Malaise Penyakit tuberkulosis bersifat radang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada napsu makan, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara teratur (Sudoyo, 2007).

Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Umum a. KU : Kulit pucat karena anemia b. Gizi : Kurus karena penurunan berat badan c. Tanda vital : Suhu demam (Sudoyo, 2007).]

2. Pemeriksaan Respiratorik inspeksi: hemithoraks kanan lebih cembung dari kiri.Bagian paru yang sakit menjadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru yang lainnya. palpasi : Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura, erak hemithoraks kanan tertinggal dibanding

hemithoraks kiri.Fremitus D<5 perkusi : Sonor di paru kiri, redup di paru kanan. Tempat kelainan lesi TB yang dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrate yang luas terdapat perkusi yang redup. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor sampai timpani . Bila tuberculosis pleura , perkusi akan memberikan suara pekak. auskultasi: suara dasar paru kanan vesikuler menurun, paru kiri vesikuler. Ronkhi basah halus di paru kiri, wheezing-/(Sudoyo, 2007).

mengenai

3. Pemeriksaan penunjang 1. Darah Pada sast TB baru aktif akan didapatkan jumlah

leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga antara lain anemia ringan dengan

gambaran

normokrom

normositer,

gama

globulin

meningkat, dan kadar natrium darah menurun (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

2. Sputum

Pemeriksaan

sputum

adalah

penting

karena

dengan

ditemukannya kuman basil tahan asam (BTA), diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila

sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum. Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA tetapi pada biakan

hasilnya negatif . Ini terjadi pada fenomen dead bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat anti TB jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu pendek (Aditama T. 2005). Pembacaan hasil sediaan IUATLD dahak dilakukan pemeriksaan skala

dengan menggunakan Union Againts

(International

Tuberculosis

and Lung Diseases) (DEPKES RI. 2002)

a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif. b. Ada 1 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

c. Ada 1 99 BTA per 100 lapangan pandang, disebut + atau 1+ d. Ada 1 10 BTA per lapangan pandang, disebut ++ atau 2+ e. Ada > 10 BTA per lapangan pandang, disebut +++ atau 3+ Penulisan menunjukkan gradasi hasil bacaan penting untuk

keparahan penyakit, derajat penularan dan

evaluasi pengobatan (DEPKES RI. 2002).

3. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan membantu anak

ini

masih

banyak

dipakai

untuk

menegakkan diagnosis TB terutama pada anakBiasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan

(balita).

menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength ). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250 T.U. (second strength). hasil Bila dengan 250 T.U masih

memberikan

negatif berarti TB dapat disingkirkan.

Umumnya tes Mantoux dengan 5 T.U. saja sudah cukup berarti. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar Setelah reaksi

tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul

berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara tuberkulin. antibodi Banyak antibodi sedikitnya tuberkulin selular dan antigen

reaksi persenyawaan amat dipengaruhi

selular dan antigen

oleh antibodi humoral, Berdasarkan

humoral, kecil

makin

besar pengaruh

antibodi

makin hal-hal

indurasi yang diatas, hasil

ditimbulkan. tes Mantoux

tersebut

ini dibagi dalam: a. indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negatif =

golongan no paling menonjol.

sensitivity. Disini peran antibodi humoral

b. Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Disini peran antibodi humoral masih

menonjol. c. Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif = golongan

normal sensitivity. Disini peran kedua antibodi seimbang. d. Indurasi lebih dari 15 mm: Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Disini peran antibodi selular paling menonjol (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003). Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini

juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada positif palsu. Hal-hal ini

memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni : a. Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan TB b. Alergi, penyakit sistemik berat (sarkoidosis, LE) c. Penyakit akut: eksantematous cacar dengan panas yang Reaksi

morbili,

air, poliomielitis. -

hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin) d. Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obatobat imunosupresi lainnya. e. Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.

f.

Untuk penderita dengan HIV positif, test Mantoux 5 mm, dinilai positif ( Perhimpunan Indonesia. 2003). Dokter Paru

4. Serologi Pemeriksaan Serologi, dengan berbagai metoda antara lain: a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) . Teknik ini merupakan mendeteksi salah satu uji serologi yang dapat respon humoral berupa proses antigen

antibodi yang terjadi b. Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen

lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini

kemudian

dicelupkan

ke dalam serum penderita, bila di

dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktivitas penyakit maka akan timbul perubahan warna pada

sisir yang dapat dideteksi dengan

mudah.

c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP). Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan gambaran klinis pemeriksaan fisik,

laboratorium,radiologi,dan

pemeriksaan

penunjang. (Aditama T. 2005)

H. Terapi lama Sepanjang sejarah penyakit tuberculosis ini, berbagai cara sudah dilakukan untuk mengobati pasien. Mulai dari era sebelum dan sesudah

ditemukan bakteri penyebab dan obat antituberkulosis, pengobatan tuberculosis mengalami beberapa tahapan yakni : 1. Health Resort Era Setiap pasien tuberculosis harus dirawat di sanatorium, yakni tempat-tempat yang berudara segar, sinar matahari yang cukup, suasana yang menyenangkan dan makanan yang bergizi tinggi. 2. Bedrest Era Dalam hal ini pasien tidak perlu dirawat di sanatorium, tetapi cukup diberi istirahat setempat terhadap fisiknya saja, disamping makanan yang bergizi tinggi. Usaha pengobatan pada health resort dan bedrest era, masih bersifat pemberantasan terhadap gejala yang timbul. 3. Collapse Therapy Era Di sini cukup paru yang sakit saja diistirahatkan dengan melakukan pneumonia artificial. Paru-paru yang sakit dibuang secara wedge resection, satu lobus atau satu bagian paru. 4. Chemotherapy Era 5. Di sini revolusi dalam pengobatan tuberculosis, yakni dengan ditemukannya streptomisin suatu obat antituberkulosis mulai tahun 1944 dan bermacam-macam obat lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1964 dengan ditemukannya rifampisin terjadi semacam mini revolusi dalam kemoterapi terhadap tuberculosis, karena jangka waktu pengobatan dapat dipersingkat menjadi 6-9 bulan. (Sudoyo, 2009) I. Terapi baru Prinsip Pengobatan Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah : 1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini

untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan 2. dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly

Observed 3. Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. a. Tahap Intensif 1) Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. 2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. 3) Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. b. Tahap Lanjutan 1) Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama 2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

PENGOBATAN TUBERKULOSIS Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) Obat yang dipakai: 1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: Rifampisin INH Pirazinamid Streptomisin Etambutol 2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

Kanamisin Amikasin Kuinolon Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam

klavulanat Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain : o o o o Kemasan Obat tunggal, Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet Kapreomisin Sikloserino PAS (dulu tersedia)

Derivat rifampisin dan INH Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Tabel.Jenis dan Dosis OAT Dosis yang di anjurkan Obat Dosis(mg/kg BB per Hari) Harian (mg/kg BB per Hari) R H Z E 8 12 46 20 30 15 - 20 10 5 25 15 Intermitten (mg/kg BB per kali) 10 10 35 30 600 300 300 150 750 750 Sesu S 15 - 18 15 15 1000 ai BB 750 1000 450 300 1000 1000 600 450 1500 1500 Dosis Max (mg) < 40 40 60 > 60 Dosis (mg)/berat badan (kg)

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB

(multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain: 1. minimal 2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep

kesalahan pengobatan yang tidak disengaja 3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan

yang benar dan standar 4. 5. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat

penurunan penggunaan monoterapi

Tabel. Dosis Obat Anti Tuberculosis kombinasi dosis tetap Fase Intensif 2 bulan Harian BB (RHZE) 30 37 38 (RHZ) (RHZ) (RH) 150/75 2 3 (RH) 150/150 2 3 150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 2 3 2 3 2 3 Harian 3X/minggu Fase Lanjutan 4 bulan Harian 3X/minggu

54 55 70 > 71 4 4 4 4 4

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya. Berbagai kemajuan telah dicapai, antara lain program DOTS dimana Indonesia hamper mencapai target 70/85, artinya sedikitnya 70% pasien TB berhasil ditemukan dan sedikitnya 85% diantaranya berhasil disembuhkan. Di Indonesia juga diperkenalkan beberapa program seperti HDL (Hospital DOTS Linkage) yang melakukan program DOTS di RS, PPP (public private partnership) atau PPM (public private mix) yang melibatkan sektor private dalam penanggulangan TB di negara kita, Juga akan dilakukan program DOTS plus untuk menangani MDR TB. Kita tentu berharap agar berbagai upaya ini memberi hasil yang optimal dan untuk itu perlu melibatkan semua stake holder secara aktif dengan member peran dan kesempatan kepada semua pihak secara jelas(PPTI,2004).

J. Komplikasi Komplikasi dari tuberculosis primer yaitu (Alsagaff dan Abdul Mukty, 2009) : 1. Pembesaran kelenjar cervical superfisial Penyebaran langsung TB ke kelenjar limfe mediastinum bagian atas dan para trakhea berasal dari kelenjar hilus. Paling sering menyerang

kelenjar limfe supraclavicula dan cervical anterior. Kelainan di kelnjar ini bereaksi sangat lambat dengan OAT. Bila terjadi abses pada kelenjar dilakukan tindakan pembedahan. 2. Pleuritis tuberkulosis Kelainan pada pleura merupakan komplikasi dini dari TB primer dan terjadi 6-8bulan setelah seranagn awal. Sering disertai kelainan kulit yaitu eritema nodusum. 3. Efusi pleura Efusi pleura pada TB biasanya jernih. Prognosis masih baik. Reaksi terhadap OAT dapat memberi resolusi sempurna dalam 1-2 minggu, akan tetapi kemungkinan terjadi TB postprimer lebih besar. 4. TB milier Komplikasi ini terjadi paling awal dibanding lainnnya. Proses TB milier terjadi 8 bulan setelah terjadi TB primer. Gambaran radiologis tampak setelah 2 minggu setelah gejala klinis. Karena penyebaran yang meluas ke seluruh organ. Maka perlu dicari kemungkinan tuberkel di fundus okuli, sumsum tulang dan hati. 5. Meningitis tuberkulosis Meningitis TB adalah radang selaput otak akibat komplikasi TB primer(Donald and Johan F Schoeman, 2004). Meningitis

tuberculosis dapat terjadi sebagai akibat penyebaran hematogen atau fokus pengejuan yang pecah di rongga subarachnoid pada tahap akhir TB milier.

K. Prognosis Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika disebabkan oleh strain resisten obat atau terjadi pada pasien berusia lanjut, dengan debilitas, atau mengalami gangguan kekebalan, yang berisiko tinggi menderita tuberkulosis milier(robbins,2007)

BAB III KESIMPULAN

1. Tuberkulosis (TB) primer adalah peradangan yang terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil Mycobacterium tuberculosis 2. Tuberculosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini 3. Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). 4. Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi Hasil yang didapatkan dari hasil pemeriksaan patologi anatomi adalah : Gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Berwarna kekuningan yang letaknya subpleural disertai pembesaran kelenjar limfe di daerah hilus dekat bronkus yang berisi granuloma (Ghon complex). Ghon complex merupakan gambaran khas pada tuberculosis primer. Selang beberapa waktu granuloma akan mengecil dan mengalami perkapuran yang akan terlihat pada gambaran radiologi berupa bintik bintik kalsifikasi.

5. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan

DAFTAR PUSTAKA
Pedoman Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberculosis di Indonesia. Jakarta.

Kavita Modi-Parekh,et al. 2006.

A comparative study of the diagnosis of

pulmonary tuberculosis using conventional tools and polymerase chain reaction Indian Journal of Tuberculosis. Available at:

http://www.angelfire.com/indie/tbindia/jrnlapr2006.html

Sudoyo, W. Aru, Bambang Setiyohadi. 2007. Tuberkulosis Paru. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : FKUI; 988- 992.

DEPKES RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 8; 5 -19

Perhimpunan

Dokter

Paru

Indonesia. di

2003.

Tuberkulosis. Pedoman Perhimpunan

Diagnosis

dan Penatalaksanaan

IndonesiaJakarta:

Dokter Paru Indonesia;. 2-29.

Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 852-64 Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2009. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. Hal 2232.

Alsagaff, Hood dan Abdul Mukty. 2009. Tuberkulosis Paru. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 73-82.

Donald, Peter R and Johan F Schoeman. 2004. Tuberculosis Meningitis. The New England Journal of Medicine. 351:1719-1720. Available from URL :

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp048227

Ward, Jeremy et al. 2007. Tuberkulosis Paru. At a Glance Sistem Respirasi. Jakarta: Erlangga. Hal 81

Wallace RJ,Griffith DE. Antimycobacterial Agents. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,Hauser SL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. Volume I. 16th Edition. McGraw-Hill. New York. 2005 : 946-53.

Neil W. Schluger. 2005. American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology. 32: 251-256 . Available from URL : http://ajrcmb.atsjournals.org

Storla, D. G., Yimer, S., & Bjune, G. A. 2008. A systematic review of delay in the diagnosis and treatment of tuberculosis. BMC Public Health , 8:15, 1-9.

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia . 2004 . jurnal tuberkulosis indonesia. 3: 2

Herryanto, Musadad, Dede Anwar, Komalig, Freddy M. 2004. Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru Meninggal di Kabupaten Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan: Vol 3 No 1, April 2004 : 1- 6.

You might also like