You are on page 1of 17

http://arekngantukan.wordpress.

com

PENDEKATAN PEMBELAJARAN

MACAM MACAM PENDEKATAN PEMBELAJARAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pendekatan Kontekstual Pendekatan Konstruktivisme Pendekatan Deduktif Induktif Pendekatan Konsep dan Proses Pendekatan Sains, Tekhnologi dan Masyarakat Implikasi Pendekatan Andragogis

1. Pendekatan Kontekstual Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa. Borko dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru memilih konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana anak hidup dan berada serta dengan budaya yang berlaku dalam masyarakatnya (http.//www.contextual.org.id). Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan dengan apa yang dipelajari dalam kelas dan dengan kehidupan sehari-hari (Dirjen Dikdasmen, 2001: 8). Dengan memilih konteks secara tepat, maka siswa dapat diarahkan kepada pemikiranagar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di lingkungan kelas saja, tetapi diajak untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan masyarakat luas. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.Guru bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk merumuskan, menemukan sesuatu yang baru bagi kelas yang dapat berupa pengetahuan, keterampilan dari hasil menemukan sendiri dan bukan dari apa kata guru. Penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya untuk mengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga untuk mengembangkan sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesame teman, misalnya melalui pembelajaran kooperatif, sehingga juga mengembangkan keterampilan sosial (social skills) (Dirjen Dikmenum, 2002:6). Lebih lanjut Schaible,

http://arekngantukan.wordpress.com

Klopher, dan Raghven, dalam Joyce-Well (2000:172) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual melibatkan siswa dalam masalah yang sebenarnya dalam penelitian dengan menghadapkan anak didik pada bidang penelitian, membantu mereka mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bidang penelitian dan mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah. Pendekatan kontekstual sering kita kenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning). Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Doantara, 2008). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapainya. Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. (Suryati, 2008) Ciri-ciri suatu pembelajaran yang kontekstual adalah sebagai berikut a. b. c. d. e. f. g. Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran Siswa belajar dari temen melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan Perilaku dibangun atas kesadaran diri Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar itu keliru dan merugikan

h. Bahasa yang diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata i. Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa

j. Pemahaman rumus itu relatif berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan skemata siswa (on going prosecess of development) k. Siswa menggunakan kemampuan berfikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses

http://arekngantukan.wordpress.com

pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran l. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri.

m. Karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative and incomplete) n. Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing o. Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan

p. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara; proses kerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes dll q. r. s. Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks, dan setting Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek Perilaku baik berdasar motivasi intrinsic

t. Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat. seseorang berperilaku baik karena dia terbiasa melakukan begitu

2. Pendekatan Konstruktivisme Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba (Suwarna,2005). Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999) kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar. Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina konsep dalam struktur kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia ada padanya dan proses ini dikenali sebagaiaccretion. Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning. Seseorang juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan analogi, iaitu berdasarkan pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993) konsep baru juga boleh dibina

http://arekngantukan.wordpress.com

dengan menggabungkan konsep-konsep yang ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing. Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran kerana pelajar digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkaitkan hal -hal yang dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada pada mereka. Dalam proses ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu hal. Pendekatan konstruktivisme berasumsi bahwa siswa belajar sedikit demi sedikit dari konteks yang terbatas kemudian siswa mengkonstruksi sendiri pemahamannya dan pemahaman tersebut diperoleh dari pengalaman belajar yang bermakna. (Rmakoe,2009) Pendekatan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa proses belajar diawali dengan terjadinya konflik kognitif (Sitanto,2009) Pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran merupakan pendekatan pembelajaran dimana pengetahuan baru tidak diberikan dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa membentuk sendiri pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya dalam proses asimilasi dan akomodasi. (Kusuma,2003). Kajian Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999) membuktikan kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat membantu pelajar untuk mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.

3. Pendekatan Deduktif Induktif a. Pendekatan Deduktif Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila siswa telah mengetahui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya (Suwarna, 2005). Pendekatan deduktif merupakan pendekatan yang mengutamakan penalaran dari umum ke khusus. Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: All new learning involves transfer of information based on

http://arekngantukan.wordpress.com

previous learning, artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya. Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan.

Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam model pembelajaran dengan pendekatan deduktif dijelaskan sebagai berikut (1) guru memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan, (2) guru menyajikan aturan, prinsip yang berifat umum, lengkap dengan definisi dan contoh-contohnya, (3) guru menyajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus dengan aturan prinsip umum yang didukung oleh media yang cocok, (4) guru menyajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan umum itu merupakan gambaran dari keadaan khusus. Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah dengan pendekatan induktif.

b. Pendekatan Induktif Ciri utama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah menggunakan data untuk membangun konsep atau untuk memperoleh pengertian. Data yang digunakan merupakan data primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi dilingkungan. Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran inquiri (penyelidikan), pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktifdimulai dengan melakukan pengamatan terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri. Pendekatan induktif dikembangkan oleh filosof Perancis Bacon yang menghendaki penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang kongkrit sebanyak mungkin. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam model pembelajaran dengan pendekatan induktif yaitu: (1) guru memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif (2) guru menyajikan contoh-contoh khusus, prinsip, atau aturan yang memungkinkan siswa memperkirakan sifat umum yang terkandung dalam contoh, (3) guru menyajikan bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau mengangkat perkiraan, (4) menyimpulkan, memberi penegasan dari beberapa contoh kemudian disimpulkan dari contoh tersebut serta tindak lanjut. Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan konsep atau generalisasi.Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-

http://arekngantukan.wordpress.com

contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati. Dalam fase pendekatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai ilmu hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus Soedjadi (2000: 16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara bergantian. (http://rochmad-unnes.blogspot.com/08 penggunaan-pola-pikir-induktif deduktif.html)

4. Pendekatan Konsep dan Proses a. Pendekatan Konsep

Pendekatan konsep adalah suatu pendekatan di mana siswa dibimbing memahami suatu bahasan dengan memahami konsep-konsep yang terkandung didalamnya. (Amiruddin, 2009). Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi sasaran utama pembelajaran. Pendekatan ini kurang memperhatikan aspek student centre. Guru terlalu dominan dalam membimbing siswa untuk memahami konsep. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa lebih banyak dibimbing untuk memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. b. Pendekatan Proses

Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar. Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan.Pertama, proses mengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagi peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagian integral dari diri peserta didik; bukan lagi potonganpotongan pengalaman yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sendiri. Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik dalam setiap proses pendidikan yang dialaminya.

5. Pendekatan Sains, Tekhnologi dan Masyarakat

http://arekngantukan.wordpress.com

National Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1) memandang STM sebagai the teaching and learning of science in the context of human experience. STM dipandang sebagai proses pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks pengalaman manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk meningkatakan kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan sehari-hari. Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN STATE (2006:1) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach which reflects the widespread realization that in order to meet the increasing demands of a technical society, education must integrate across disciplines. (Gambaran sebuah Pendekatan antar disiplin ilmu yang tersebar luas dalam rangka memenuhi meningkatnya permintaan dari masyarakat teknis, pendidikan harus menggabungkan antar disiplin ilmu). Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan STM haruslah diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan berbagai disiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yang terjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalam pengembangan pembelajaran di era sekarang ini. Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006: 1), bahwa STM merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a understand the many ways that scinence and technology shape culture, values, and institution, and how such factors shape science and technology. STM dengan demikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah prosesproses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi. Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek: kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari hari.

IMPLIKASI PENDEKATAN ANDRAGOGIS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA I NGGRISSEBAGAI BAHASA ASING

A. Pendahuluan

Out put atau hasil belajar yang kurang optimal adalah permasalahan yang sangat sering muncul dari sebuah pelaksanaan proses pembelajaran. Ketidakmampuan siswa untuk memahami dan menguasai berbagai kompetensi dalam bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diharapkan muncul dari sebuah proses pembelajaran merupakan indikasi

http://arekngantukan.wordpress.com

ketidakberhasilan proses pembelajaran itu. Salah satu penyebab ketidakberhasilan sebuah proses pembelajaran itu adalah metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru di kelas tidak banyak merangsang dan mendorong siswa untuk mampu secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Para guru lebih banyak menempatkan dirinya sebagai orang yang paling tahu segalanya dan menempatkan siswa sebagai individu-individu yang tidak banyak tahu tentang suatu hal. Dengan demikian peran guru hanya semata-mata sebagai transmitter pengetahuan dan siswa sebagai penerima pengetahuan tanpa ada keleluasaan untuk memilih dan menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dari sebuah proses pembelajaran.

Ada kontras yang sangat mencolok antara pendekatan proses pembelajaran yang terjadi di negara-negara barat (Amerika, Australia, Belanda, dll) dengan pendekatan proses pembelajaran yang terjadi di Indonesia. Proses pembelajaran di negara-negara barat lebih banyak menerapkan pendekatan pembelajaran demokratis kolaboratif dengan banyak menempatkan siswa dan guru pada posisi setara.Siswa dan guru secara bersama-sama menentukan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Kondisi pembelajaran semacam ini menekankan segi humanistik, karena guru bukan merupakan satu-satunya penentu segala aktivitas pembelajaran. Selanjutnya peran guru lebih banyak sebagai fasilitator. Sebaliknya proses pembelajaran di Indonesia tampak sangat mekanistik dan tidak mengarahkan siswa untuk berpikir pada tataran tingkat tinggi, karena guru lebih banyak berperan sebagai transmitter pengetahuan dan siswa semata-mata menerima pengetahuan dari guru. Peran guru yang hanya sebagai transmitter pengetahuan ini pada akhirnya kurang mendorong siswa untuk kreatif dan tidak banyak terlibat baik secara fisik maupun mental dalam proses pembelajaran.

Permasalahan di atas banyak pula terjadi dalam proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing (Teaching English as Foregin Language; TEFL) di Indonesia. Pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah, lebih menekankan pada aspek pengetahuan bahasa, pemahaman isi wacana, juga lebih banyak hanya berorientasi pada hasil ujian yang ingin dicapai (ujian semester, ujian nasional, dsb), tetapi justru lebihbanyak mengabaikan penguasaan aspek keterampilan komunikasi baik lisan maupun tulisan dalam bahasa Inggris. Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas sangat berpusat pada guru (teacher-centered classroom). Hal ini berbeda dengan negara-negara barat yang menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (English as Second Language; ESL), seperti Perancis, Jerman, Italia dan sebagainya. Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang mereka terapkan banyak menekankan pada kemampuan berfikir kritis, penggunaan bahasa yang realistis, pembelajaran bahasa yang berpusat pada siswa (student-centered classroom) dan menekankan pula pada kualitas proses pembelajaran (Wang:2006). Secara lebih spesifik, pembelajaran bahasa Inggris di dunia barat tidak banyak menekankan pada aspek hafalan dan transfer pengetahuan bahasa seperti yang terjadi di Indonesia. Para guru di negara-negara barat lebih banyak percaya bahwa pendekatan yang mereka gunakan itu akan menkondisikan siswa untuk berfikir kritis yang memungkinkan untuk menciptakan banyak pengetahuan baru bagi siswa.

http://arekngantukan.wordpress.com

Dikotomi (pembagian dalam dua bagian) pendekatan pemebelajaran bahasa Inggris di atas merupakan sesuatu yang menarik untuk dicermati. Dalam konteks psikologi, pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered learning) diidentifikasi sebagai proses pembelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip pendagogy, sedangkan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning) merupakan pendekatan pembelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip andragogy. Selanjutnya dalam makalah ini akan membahas implementasi prinsip-prinsip andragogy dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing diIndonesia. Sebagaimana banyak diketahui bahwa guru-guru bahasa Inggris di Indonesia dalam mengajarkan bahasa Inggris kepada siswa lebih banyak berorientasi pada hasil ujian formal (ujian semester, ujian nasional, dsb) dan kurang banyak memperhatikan penguasaan kompetensi berbahasa siswa. Paradigma pembelajaran ini terkesan kaku dan tidak banyak mengeksplorasi potensi siswa dalam belajar bahasa Inggris. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran yang demikian harus segera dirubah ke paradigma pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran kolaboratif.

B. Filosofi Andragogy vs Pedagogy dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Seperti telah sedikit disinggung di depan bahwa ada perbedaan pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang terjadi di Indonesia dan termasuk juga di Cina dengan yang terjadi di negara-negara barat. Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang terjadi di negara-negara barat cenderung membedakan antara pembelajaran untuk orang dewasa dengan pembelajaran untuk anak-anak; sedangkan pendekatan pembelajaran di negara-negara timur (Indonesia, Cina, dll.) menganggap tidak ada perbedaan yang mencolok diantara dua kelompok pembelajar tersebut dalam proses pembelajaran. Pendidikan untuk anak didefinisikan sebagai pedagogy karena sebenarnya pedagogy merupakan seni dan ilmu untuk mengajar anak-anak. Di dalam pedagogy, guru banyak berperan untuk mengontrol dan memutuskan apa saja yang akan dipelajari dalam sebuah proses pembelajaran, bagaimana suatu materi pelajaran itu harus dipelajari (menentukan metode belajar), dan kapan harus dilakukan proses pengukuran (assessment) hasil belajar. Siswa semata-mata tunduk dan mengikuti apa yang diajarkan oleh gurunya. Sebaliknya Knowles (1998) menyatakan bahwa andragogy didefinisikan sebagai suatu pendekatan pembelajaran untuk orang dewasa. Lebih lanjut andragogy dikarakteristikkan sebagai proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning), karena pembelajar, menurut pendekatan ini, dipercaya sebagai individu yang termotivasi untuk belajar secara internal (self-directed leaners). Ketika pembelajar termotivasi secara internal untuk belajar, maka guru harus memposisikan dirinya sebagai fasilitator dari sebuah proses pembelajaran. Karena posisinya sebagai fasilitator pembelajaran, maka guru tidak perlu mengontrol segala aktivitas pembelajaran yang sedang berlangsung. Malahan, fasilitator pembelajaran perlu menegosiasikan prioritas kurikuler apa yang perlu dicapai dari sebuah proses pembelajaran dengan para siswanya. Seorang fasilitator bisa saja memberikan kontrak pembelajaran kepada siswa. Seorang fasilitator perlu memposisikan dirinya sebagai pembantu belajar siswa (coleaner) dan menganggap dirinya sebagai teman sejawat (peer) para siswanya.

http://arekngantukan.wordpress.com

Pendekatan pembelajaran andragogis memandang pendidikan sebagai suatu kesataraan. Artinya guru dan siswa dalam suatu proses pembelajaran berada pada posisi yang setara. Hal mendasar yang perlu dipahami adalah pendekatan andragogis memandang seluruh siswa mempunyai potensi untuk termotivasi dan terdorong secara internal (selfmotivated and self-directed) untuk belajar guna memuaskan minat dan pengalamannya; memandang siswa mampu berfikir rasional dan besikap empatik dalam proses pembelajaran; memandang seluruh siswa mampu berpartisipasi dalam wacana kerja kolaboratif; memandang siswa mempunyai kemampuan berlatih secara mandiri; dan juga memandang siswa mampu bertindak secara reflektif (Mezirow, 2000; King and Wright, 2003; Merriam, 2004 di dalam Wang, 2006). Secara filosofis aplikasi pendekatan pedagogis dan andragogis mempuyai konsep yang berbeda dalam sebuah proses pembelajaran bahasa Inggris.Di satu sisi, pendekatan pedagogis lebih menekankan pada upaya mentransmisikan sejumlah pengetahuan dan keterampilan berbahasa Inggris dalam rangka mempersiapkan siswa untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Sebaliknya pendekatan andragogis lebih menekankan pada membimbing dan membantu siswa untuk menemukan pengalaman, pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam berbahasa Inggris dalam rangka memecahkan masalahmasalah yang dihadapinya. Secara lebih konkrit, pendekatan andragogis memposisikan kegiatan pembelajaran bahasa Inggris harus:

1) Berpusat pada masalah; 2) Menuntut dan mendorong siswa untuk aktif dalam berbahasa Inggris secara realistis;

3) Mendorong siswa untuk mengemukakan pengalamannya sehari-hari dalam bahasa Inggris;

4) Menumbuhkan kerja sama, baik antara sesama siswa dan antara siswa dengan gurunya dalam mencari solusi permasalahan komunikasi berbahasa Inggris; dan

5) Lebih bersifat memberikan pengalaman berkomunikasi bahasa Inggris, bukan merupakan transformasi atau penyerapan materi bahasa Inggris semata.

C. Aplikasi Pendekatan Andragogis dalam Pembelajaran Bahasa Inggris Pembelajaran bahasa Inggris bukanlah semata-mata mengajarkan kepada siswa unsur-unsur pengetahuan bahasa, seperti tata bahasa (grammar), pelafalan (pronunciation), pilihan kata (diction), intonasi (intonation) dan daftar kosa kata (vocabulary), dan bukan pula pembelajaran yang hanya berorientasi pada hasil ujian (ujian semester, ujian nasional, dsb).

http://arekngantukan.wordpress.com

Pembelajaran bahasa Inggris mestinya harus menekankan pada penguasaan kompetensi berbahasa oleh siswa dalam bentuk empat keterampilan berbahasa, yaitu membaca (reading), menyimak (listening), menulis (writing) dan berbicara (speaking). Dengan kata lain, kemampuan komunikatif harus menjadi fokus dalam pembelajaran bahasa Inggris. Ketika kemampuan komunikatif menjadi fokus dalam pembelajaran bahasa Inggris, maka pembelajaran tidak lagi semata-mata mentransfer pengetahuan bahasa secara parsial berupa unsur-unsur bahasa, seperti grammar, kosa kata dan sebagainya, tetapi pembelajaran bahasa Inggris harus mampu memberikan pengalaman bagi siswa untuk mampu menggunakan bahasa Inggris itu sebagai alat komunikasi nyata.

Pembelajaran bahasa Inggris yang menekankan pada kemampuan komunikatif ini tampaknya dapat dilakukan melalui pendekatan andragogis, karena pendekatan ini mensyaratkan adanya proses kolaboratif dalam proses pembelajaran guna menciptakan pengalaman berkomunikasi nyata. Hal ini sejalan dengan pendapat banyak pakar yang menyatakan bahwa guru-guru bahasa Inggris seharusnya mengikuti proses pembelajaran kolaboratif dalam menciptakan konteks komunikasi nyata, sehingga hasil proses pembelajaran bahasa itu menjadi optimal. Pendekatan andragogis dipercaya mampu menguatkan gerakan komunikatif dan proses pembelajaran kolaboratif. Sebagai contoh, pada saat pembelajaran reading comprehension. Ketika siswa diminta untuk memahami makna yang tersirat (reading between the lines) dari suatu teks, sering sekali siswa mengalami kesulitan. Pada saat siswa mendapatkan kesulitan dalam menemukan makna tersirat itu, guru tidak perlu menunjukkan makna atau informasi tersirat itu secara langsung kepada para siswa. Biarkan para siswa melalui keingintahuannya itu bekerja sama dengan kelompoknya untuk menemukan informasi yang diinginkan. Guru yang berperan sebagai fasilitator cukup memberikan petunjuk (clue), sehingga siswa mampu menemukan sendiri informasi yang tersirat dari teks atau wacana yang dihadapi. Konsep ini merupakan pendekatan pembelajaran bahasa Inggris berbasis andragogis yang berangkat dari permasalahan berkomunikasi dan kemudian dipecahkan secara kolaboratif.

Contoh lain yang menarik dalam pembelajaran bahasa Inggris berbasis andragogis adalah pada saat guru mengajarkan kemampuan menulis (writing skill). Pada saat guru meminta siswa untuk menulis sebuah jenis teks tertentu dalam bahasa Inggris, guru tidak perlu menentukan batasan tema yang harus ditulis oleh siswa. Perlu dipahami bahwa pembelajaran bahasa Inggris menurut kurikulum yang berlaku saat ini harus selalu berangkat dari jenis teks (genre), misalnya jenis teks recount, narrative, discussion, procedure, analitical exposition, exploratory exposition, dsb, maka guru cukup memberikan batasan pada jenis teks apa yang harus ditulis oleh siswa. Sedangkan tema apa yang harus ditulis oleh siswa diserahkan sepenuhnya kepada siswa itu sendiri. Kemudian berdasarkan minat dan pengalaman yang dimilikinya, siswa memilih salah satu tema yang akan dikembangkan dalam tulisannya. Misalnya guru menginginkan siswa mampu menulis jenis teks procedure yang berbicara mengenai langkah-langkah atau skuensi dalam melakukan suatu aktivitas tertentu, maka siswa berdasarkan pengalaman dan minatnya bisa memilih tema bagaimana posedur memasak nasi goreng, prosedur mengoperasikan komputer, prosedur merakit alat bermainnya, prosedur membuat alamat email di internet dan sebagainya. Siswa tidak akan mampu menulis dengan baik berbagai prosedur itu apabila tidak didasari pengalaman dan minatnya yang mendalam mengenai hal-hal tersebut. Proses pembelajaran menulis bahasa

http://arekngantukan.wordpress.com

Inggris seperti ini akan lebih berhasil dibandingkan apabila guru harus memaksa dan menentukan tema tertentu yang harus ditulis oleh siswa, sedangkan siswa tidak mempunyai banyak pengalaman dan minat tentang tema yang harus ditulis itu. Pendekatan pembelajaran menulis seperti di atas sesuai dengan prinsip-prinsip andragogis yang menempatkan pengalaman dan minat siswa sebagai sumber belajar yang bermakna.

Relevansi pendekatan andragogis dalam pembelajaran bahasa Inggris juga bisa diterapkan dalam mengajarkan kemampuan berbicara (speaking skill). Ketika guru mengajarkan kepada siswa kemampuan berkomunikasi lisan dalam bahasa Inggris, guru tidak perlu menentukan batasan-batasan mengenai apa yang harus dibicarakan, kosa kata apa yang digunakan oleh siswa dalam berkomunikasi lisan, dan jenis grammar apa yang harus muncul dalam komunikasi lisan itu. Batasan-batasan yang ditentukan itu telah merefleksikan bahwa guru banyak mengontrol proses berfikir dan berkomunikasi siswa dan hal ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip andragogis yang menuntut siswa untuk berfikir kreatif. Siswa harus diberi keleluasaan untuk memformulasikan pengalaman masa lalunya dan menghubungkannya dengan pengalaman barunya dan kemudian diminta untuk mengkomunikasikan dalam bahasa lisan. Keterbatasan siswa dalam menguasai kosa kata dan lafal (pronunciation) kata jangan dianggap sebagai kendala komunikasi. Guru sebagai fasilitator harus menjembatani keterbatasan kemampuan komunikasi lisan yang dimiliki siswa dengan kemampuan yang sebenarnya harus dimiliki siswa dengan cara memberikan motivasi untuk berkembang.

Dalam membantu siswa untuk berkembang dalam komunikasi lisan itu, guru perlu menciptakan iklim pembelajaran kesetaraan. Maksudnya guru harus memposisikan dirinya sebagai teman belajar siswa yang senantiasa siap membantu siswa menemukan solusi dari kendala komunikasi yang muncul. Kendala komunikasi lisan yang dimiliki oleh siswa harus dieliminasi dengan cara-cara yang ramah. Kesalahan komunikasi lisan yang dilakukan oleh siswa harus dianggap sebagai proses alamiah dari sebuah proses pembelajaran bahasa Inggris.

D. Penciptaan Konteks Pembelajaran Bahasa Inggris Berbasis Andragogy Seperti telah disinggung di bagian sebelumya bahwa filosofi pembelajaran berbasis andragogy berakar dari pembelajaran yang didasari oleh pengalaman dan minat yang dimiliki oleh peserta didik. Dengan pengalaman dan minat yang dimiliki oleh peserta didik itu, pembelajaran akan lebih bermakna dalam membentuk komptensi yang diharapkan dikuasai oleh peserta didik itu. Hal ini senada dengan pendapat Hansman (2001) yang menyatakan bahwa belajar yang sebenarnya adalah belajar melalui pengalaman. Tanpa dilandasi pengalaman dan minat yang melatarbelakangi, proses pembelajaran akan sulit berkembang dan akhirnya hasil dari proses pembelajaran itu juga akan kurang optimal. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana apabila peserta didik itu benar-benar tidak mempunyai pengalaman yang melatarbelakangi apa yang hendak dipelajari?. Apakah guru harus membiarkan begitu saja siswa yang tidak mempunyai latar belakang pengalaman itu dan langsung meberikan bahan ajar yang harus dikuasai siswa? Bagaimana guru seharusnya mengatasi permasalahan ini?

http://arekngantukan.wordpress.com

Prinsip pembelajaran berbasis andragogy mensyaratkan bahwa guru tidak boleh begitu saja mengabaikan aspek pengalaman yang harus dimiliki oleh siswa, karena pengalaman merupakan sumber belajar yang sangat bermakna. Ketika sebagian atau keseluruhan dari peserta didik itu tidak mempunyai latar belakang pengalaman yang menunjang proses pembelajaran, guru harus terlebih dahulu memberikan pengalaman imitatif melalui penciptaan konteks. Gagasan mengenai konteks yang dijadikan sentral dari sebuah proses pembelajaran menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk didiskusikan. Wilson (1993) menyatakan bahwa pembelajaran yang terjadi dalam suatu konteks tertentu akan mengarahkan siswa menjadi lebih tertantang untuk aktif berinteraksi dengan siswa lain dalam suasana belajar lebih menyenangkan. LeGrand Brandt, Farmer, dan Buckmaster dalam Hansman (2001) menyatakan bahwa upaya guru dalam menciptakan konteks untuk membentuk pengalaman siswa dapat dilakukan diantaranya melalui pemodelan (modeling), karena pemodelan ini mampu mengarahkan siswa untuk mengamati performa dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai pengalaman nyata. Kegiatan pemodelan oleh orang yang berpengalaman ini akan memberikan topangan (scaffolding) bagi siswa untuk berkreasi dalam belajar. Penciptaan konteks dapat pula dilakukan oleh guru melalui berbagai alat bantu pembelajaran, misalnya komputer, peta, gambar-gambar, gelas ukur dan sebagainya. Kaitannya dengan pembelajaran bahasa Inggris, ketika guru ingin mengajarkan kemampuan berbicara (speaking skill), guru bisa meminta siswa untuk bermain peran yang anggotanya terdiri dari beberapa siswa. Sebagai ilustrasi, misalnya sesuatu yang ingin diperankan siswa adalah suasana kesibukan di bandara bagi para penumpang yang ingin melakukan perjalanan jauh. Sedangkan beberapa di antara siswa belum pernah sama sekali naik pesawat. Ini berarti bahwa siswa itu tidak mempunyai pengetahuan sama sekali bagaimana kesibukan penumpang yang terjadi di bandara. Dengan demikian ada kesenjangan (gap) pengalaman yang dialami oleh sesama siswa. Permasalahan ini bisa diatasi oleh guru dengan memberikan pengalaman melalui penciptaan konteks. Guru perlu menyusun setting ruang belajar itu menjadi bagianbagian mirip seperti yang ada di bandara, mulai dari ticketting counter, security checking, waiting room dan sebagainya, kemudian guru perlu menjelaskan fungsi dari masing-masing bagian dalam bandara tersebut. Dengan demikian siswa akan terbangun pengalamannya dan akhirnya siswa mampu melakukan dialog berbahasa Inggris dalam konteks kesibukan penumpang di bandara. Pada dasarnya kemampuan berbicara (speaking skill) dan kemampuan menulis (writing skill) dalam pembelajaran bahasa Inggris dikategorikan sebagai kemampuan poduktif (productive skill). Maksudnya adalah siswa diminta memproduksi dan menuangkan gagasan, pikiran dan perasaannya dalam ungkapan yang bermakna dengan bahasanya sendiri. Kemampuan produktif ini tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak didukung pengalaman memadai yang dimiliki oleh siswa. Dalam hal ini peran guru menjadi sangat penting dalam upaya penciptaan konteks dalam rangka membentuk pengalaman imitatif siswa agar mampu menghasilkan berbagai ungkapan komunikatif yang bermakna. Sebagai upaya dalam menciptakan konteks dalam pembelajaran bahasa Inggris berbasis andragogi, ada beberapa aktivitas pembelajaran bahasa Inggris yang bisa dilakukan, yaitu:

http://arekngantukan.wordpress.com

1. Bermain Peran (Role-Plays) Role-plays merupakan proses pembelajaran kolaboratif dan merupakan metode yang sangat baik dalam upaya menciptakan konteks komunikasi. Tetapi, banyak siswa yang sering mengalami hambatan ketika diminta bermain peran (yaitu, memerankan orang lain) untuk menciptakan konteks berkomunikasi yang realistis. Alasannya adalah aktivitas ini memerlukan acting dan improvisasi yang oleh beberapa siswa dianggap memerlukan bakat khusus. Kondisi ini perlu dipahami oleh guru, tetapi tidak selanjutnya harus meniadakan kegiatan ini. Dalam konteks pembelajaran bahasa, bermain peran hanya dimaksudkan untuk menciptakan pengalaman siswa untuk berkomunikasi dalam dunia nyata, bukan mementingkan aspek pertunjukan dari peran siswa itu. Permasalahan tersebut bisa diatasi dengan memberikan penjelasan singkat mengenai peran masing-masing siswa dalam role-plays itu dan perlu dijelaskan pula bahwa yang dipentingkan dalam bermain peran itu adalah keberanian siswa dalam memproduksi ungkapan-ungkapan komunikatif . Proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing tidak akan banyak berhasil apabila proses pembelajaran itu tidak dikaitkan dengan konteks yang mampu merangsang siswa untuk mampu memproduksi ungkapan-ungkapan yang bermakna. Seperti Byrne (1976) yang mengatakan bahwa: Di dalam role-plays, guru tidak perlu banyak memperhatikan aspek penampilan siswa dalam kegiatan itu, tetapi yang penting adalah guru bisa menciptkan konteks situasi yang bermakna yang mampu memberikan pengalaman bagi siswa untuk berkomunikasi dalam konteks yang realistis

2. Pelatihan (drilling) Komunikasi Sering sekali ditemui bahwa ketika guru bahasa Inggris mengajarkan grammar kepada para siswa, mereka sering meminta siswa menghafal berbagai istilah, misalnya berbagai tenses, concord, subjunctive, dangling, conditional sentence dan sebagainya, yang justru menambah kesulitan siswa dalam belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Proses pembelajaran ini tampaknya sangat mekanistik dan lebih mementingkan aspek kognitif daripada psikomotorik. Pembelajaran grammar dapat pula dilakukan dengan memberikan konteks yang mampu mendorong siswa untuk berfikir kritis dalam berkomunikasi dengan menggunakan grammar yang diharapkan dikuasai oleh siswa. Dalam memecahkan permasalahan belajar yang berkaitan dengan penggunaan grammar tertentu, siswa perlu banyak diberi latihan untuk mengaplikasikan grammar itu dalam komunikasi yang realitis tidak sekedar mengetahui aspek-aspek grammar itu saja. Konteks yang bisa digunakan untuk merangsang minat dan pengalaman siswa itu di antaranya dapat dilakukan dengan mendesign aktivitas kolaboratif seperti menjawab pertanyaan yang bersifat open-ended, mendeskripsikan gambar atau kartun dan sebagainya. Kegiatan lain yang bisa dilakukan adalah latihan menerjemahkan beberapa kalimat atau teks yang mengandung struktur kalimat yang perlu dikuasai siswa. Kegiatan-kegiatan ini tentu saja menghendaki daya pikir kritis siswa yang merupakan karakteristik dari pengajaran berbasis andragogi.

http://arekngantukan.wordpress.com

3. Penugasan Untuk merangsang siswa mampu mengaplikasikan bahasa Inggris dalam komunikasi yang lebih realistis, siswa perlu ditugasi untuk mengaplikasikan kemampuannya dalam berbahasa Inggris dalam situasi nyata. Misalnya, siswa diminta datang ke berbagai tempat wisata dan bertemu dengan beberapa turis asing yang berbahasa Inggris untuk diwawancarai. Hasil wawancara itu harus direkam dan pada kesempatan lain harus dilaporkan kepada guru. Kegiatan ini selain melatih tingkat kepercayaan siswa akan kemampuan bahasa Inggrisnya, juga mampu memberikan pengalaman bagi siswa itu untuk beromunikasi bahasa Inggris dalam konteks yang sangat realistis. Tugas lain bisa pula dalam bentuk browsing internet untuk mencari informasi tertentu yang berkaitan dengan tema yang dibicarakan di kelas. Kerja ini perlu dilakukan secara kelompok, sehingga setiap anggota bisa saling berdiskusi untuk menyamakan persepsi mereka berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Pada tahap selanjutnya siswa harus melaporkan hasil browsing atau pencarian itu di muka kelas yang tentu saja dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini diharapkan mampu memberikan wacana pengalaman bagi siswa tentang sesuatu masalah yang belum diketahui sebelumnya. Dengan demikian, siswa dapat dengan mudah mndapatkan materi yang bisa dilaporkan di muka kelas.

E. Penutup Model pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terkesan mekanistis dengan menempatkan guru sebagai orang yang paling banyak tahu dan menempatkan siswa sebagai kelompok individu penerima pengetahuan dari guru dipercayai kurang banyak berhasil. Ketidakberhasilan itu ditandai dengan ketidakmampuan siswa untuk berfikir kritis dalam menciptakan suasana komunikasi bahasa Inggris yang bermakna. Bahkan proses pembelajaran seperti itu tidak mampu mendorong siswa untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Kemampuan guru dalam mendesign proses pembelajaran yang menarik, inovatif dan menantang merupakan kunci keberhasilan dari proses pembelajaran itu. Pendekatan andragogis merupakan suatu pendekatan yang perlu dicoba dan diimplementasikan dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Pendekatan ini mensyaratkan guru dan siswa secara bersama-sama menentukan aktivitas pembelajaran yang bermakna, sehingga mampu mendorong siswa untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Pada dasarnya keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran merupakan kunci keberhasilan dalam pembelajaran bahasa Inggris. Semakin aktif keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran bahasa Inggris, maka akan semakin berhasil suatu proses pembelajaran itu. Pendekatan andragogis, walaupun mungkin baru sekedar impian, merupakan sebuah solusi untuk meningkatkan efektivitas keberhasilan proses pembelajaran bahasa Inggris itu. Daftar Referensi

http://arekngantukan.wordpress.com

Abdul Rahim Rashid. (1998). Ilmu Sejarah: Teori dan amalan dalam pengajaran dan pembelajaran Sejarah. Kertas kerja yang dibentangkan dalam Simposium Sejarah,Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 3031 Oktober. Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Bandung: Penerbit Alfabeta. Ausubel, D. P. (1963). The psychology of meaningful verbal learning. New York: A Grune & Stratton Inc. Bybee, R. W. (1993). Leadership, responsibility and reform in science education. B Science Educator, 2,19. Depdiknas. (2002). Pengembangan Pelaksanaan Broad-Based Education, HighBased Education, dan Life Skills di SMU. Jakarta: Depdiknas. Firdaus M Yunus. (2004). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo freire-Y.B Mangunwijaya. Yogyakarta: Logung Pustaka (http.//www.contextual.org.id) (http://rochmad-unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html) (ilmiahhttp://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metodepembelajaran/). IOWA State University. (2003). Incorporating Developmentally Appropriate Learning Opportunities to Assess Impact of Life Skill Development. Lifeskills4kids. (2000). Introduction & F.A.Q. Ngalim Purwanto. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya Lee, Kwuang-wu. 2000. English Teachers Barriers to the Use of Computer assisted Language Learning. The Internet TESL Journal, Vol. VI, No. 12, December 2000. http:/www..aitech.ac.jp/~iteslj/ (Frequently Asked Questions). kdavis@LifeSkills4Kids.com Suhandoyo (1993). Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Interaksi Positif dengan Lingkungan. Yogyakarta: PPM IKIP Yogyakarta. Supriyadi. (1999). Buku Pegangan Perkuliahan Teknologi Pengajaran Fisika. Yogyakarta: Jurdik Fisika FMIPA UNY

http://arekngantukan.wordpress.com

Suyoso. (2001). Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Trowbidge dan Byebee. (1986). Becoming a Secondary school science Teacher. London: Merill Publishing Company. Utah State Board of Education. (2001). Life Skills. www.caseylifeskills.org Barnes, Douglas. 1975. From Communication to Curriculum. Harmonsworth Middlesex: Penguin Publisher Hansman, Chaterine A. 2001. Context-Based Adult Learning in S. Meriam (ed), An Update on Adult Learning Theory. New Directions for Adult and Continuing Education, no. 57. San Fransisco: Jossey-Bass. Knowles, Malcolm. 1978. The Adult Leaner: A Neglected Species (2nd Ed). Houston: Gulf PublishingCompany. Knowles, M.S., Holton, E., & Swanson, A. 1998. The adult Learner. Houston. TX: Gulf Publishing Company Salovey, Peter et al. 2004. Emotional Intellegence. New York: Dude Publishing Sarjilah. 2006. Makna Pengembangan Manusia pada Pelatihan Guru. LPMP D.I. Yogyakarta Wang, Victor C.X. 200. Implementing Andragogy in Teaching English as a Foreign Language (TEFL) in China: A Dream yet to be Realized. Long Beach, USA:California State University Wilson, A.L. 1993. The Promise of Situated Cognition in S. Meriam (ed), An Update on Adult Learning Theory. New Directions for Adult and Continuing Education, no. 57. San Fransisco: Jossey-Bass.

You might also like