You are on page 1of 17

Pengertian Flu Burung (H5N1) adalah suatu jenis influenza tipe A yang menyerang hewanunggas terutama ayam yang

dapat menyerang menusia. Nama lain dari penyakit iniantara lain Avian Influenza. Etiologi Virus influenza tipe A merupakan anggota keluarga orthomyxoviridae. Pada permukaan virus tipe A, ada 2 glikoprotein, yaitu hemagglutinin (H) dan neuraminidase (N). Subtipe berdasarkan sifat H (H1 sampai H16) dan N (N1 sampai N9). Virus influenza pada unggas mempunyai sifat dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 220 C dan lebih dari 30 hari pada suhu 00 C. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas sakit, dapat hidup lama, tetapi mati pada pemanasan 600 C selama 30 menit, 560 C selama 3 jam dan pemanasan 800 C selama 1 menit. Virus akan mati dengan deterjen, desinfektan misalnya formalin, cairan yang mengandung iodin atau alkohol 70%. Virus H5N1 dapat bermutasi sehingga dapat menjadi virus penyebab pandemi. Etiologi dan Patogenesis Virus flu burung termasuk ke dalam genus influenza dan famili Orthomyxoviridae. Virus influenza terdiri dari beberapa tipe antara lain tipe A, B dan C. Virus flu burung/avian influenza merupakan virus influenza tipe A sedangkan virus influenza B dan C hanya menginfeksi manusia. Virus influenza tipe A memiliki dua jenis glikoprotein permukaan yaitu Hemaglutinin (H) dan Neuraminidase (N), kedua protein permukaan ini akan menentukan subtipe virus flu burung yang banyak jenisnya. Virus influenza tipe A memiliki 16 subtipe H dan 9 subtipe N. Virus penyebab Flu Burung di Indonesia adalah Virus Influenza A subtipe H5N1. Virus Influenza A subtipe H5N1 adalah salah satu virus tipe A yang dikenal sebagai virus influenza unggas yang sangat patogen (Highly Pathogenic Avian Influenza - HPAI). Di dalam virus influenza tipe A dapat terjadi perubahan besar pada komposisi antigeniknya yang disebut antigenic shift atau terjadi perubahan kecil komposisi antigenik yang disebut antigenic drift. Perubahan perubahan inilah yang bisa menyebabkan epidemi atau bahkan pandemi.

Sifat Virus Influenza A : a. Dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 C dan lebih dari 30 hari pada 0 C. b. Virus akan mati pada pemanasan 80 C selama 1 menit, 60 C selama 30 menit atau 56 C selama 3 jam. c. Di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama. d. Mati dengan sinar UV, detergen, desinfektan (seperti formalin), cairan yang mengandung iodin serta natrium kalium hipoklorit (contohnya pemutih baju). Untuk seasonal influenza komplikasi banyak terjadi pada anak-anak dan orang tua, namun pada flu burung komplikasi justru banyak terjadi pada manusia dengan status imunitas tinggi karena virus flu burung menyebabkan respon bunuh diri dari imunitas sehingga menimbulkan cytokine storm pada paru-paru. Etiologi dan Morfologi Virus AI Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Perrocito pada tahun 1887 di Italia Utara dan dikenal dengan Fowl Plaque (Easterday and Beard,1984). Tahun 1955 para ahli membuktikan bahwa penyebab Fowl Plaque adalah virus AI. Pada simposium yang dilakukan tahun 1981 diusulkan agar nama Fowl Plaque diganti dengan istilah Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) karena menyebabkan kematian sangat tinggi pada unggas (Tabbu, 2000). Virus Influensa dibagi menjadi tipe yaitu A, B, dan C. sedangkan virus Avian influensa masuk ke dalam tipe A. ketiga tipe itu masuk dalam family Orthomyxoviridae, yang menjadi pembeda di antara ketiga virus itu adalah sifat antigenic yang terdapat pada Nukleoprotein (NP) dan matrik (M) (Harimoto dan Kawaoka, 2001; Whittaker, 2001). Setiap tipe dari virus influenza ditentukan oleh struktur antigenic protein nuclei dan matrik antigen yang saling berhubungan erat di antara virus tertentu (Beard, 1998). Virus influenza A ditemukan pada ayam, babi, kalkun, bebek, mentok, angsa, burung dan ikan paus. Virus influenza A ditemukan pada manusia. Virus influenza C ditemukan pada manusia dan babi (Rantam, 2004). Virus ini memiliki amplop dan memiliki genom ssRNA bersegmen sehingga dapat terjadi genetic reassortment (pertukaran segmen) (Rahardjo, 2004). Epidemiologi Virus Influenza A/H5N1 di Indonesia Pada tahun 1997 dunia dikejutkan dengan adanya wabah HPAI di Hongkong yang disebabkan oleh virus influenza yang sangat patogen, subtype H5N1, dan menular pada manusia dengan enam kasus meninggal (Suarez et al. (1998). Menyatakan strain virus influenza pada manusia berasal dari strain virus influenza unggas yang mengalami evolusi pada induk semang perantara (Gorman et al., 1992). Influenza unggas di Indonesia ditemukan pertama kali pada tahun 1983 (Ronoharjo, 1983) dengan angka prevalensi 6,76 -100% pada itik, Lama setelah tidak terdengar adanya serangan wabah ini pada bulan September oktober 2003 di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa barat terjadi wabah penyakit ayam dengan mortalitas 100%. Serangan AI di Indonesia pertama kali terjadi di Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang. Kemudian disusul penyebaran ke Sumatra, Kalimantan dan Bali. Sedangkan di Asia pada tahun 2004 juga menyerang di Vietnam dengan enam orang meninggal dunia, sedangkan Thailand menyebabkan satu orang meninggal dunia dan melalui identifiksi penyebab serangan penyakit itu dalan virus Avian Influenza A subtype H5N1 (Cidrap, 2004).

LANGKAH DIAGNOSTIK

1. Gejala Klinis Pada umumnya gejala klinis flu burung yang sering ditemukan adalah demam > 380 C, batuk dan nyeri tenggorok. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna. Bila ditemukan gejala sesak menandai terdapat kelainan saluran napas bawah yang memungkinkan terjadi perburukan. Jika telah terdapat kelainan saluran napas bawah akan ditemukan ronki di paru dan bila semakin berat frekuensi pernapasan akan semakin cepat. 2. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik a. Pemeriksaan Laboratorium Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti di atas dianjurkan untuk sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin (Hb, Leukosit, Trombosit, Hitung Jenis Leukosit), spesimen serum, aspirasi nasofaringeal, apus hidung dan tenggorok untuk konfirmasi diagnostik. Diagnosis flu burung dibuktikan dengan : 1. Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk H5. 2. Biakan dan identifikasi virus Influenza A subtipe H5N1. 3. Uji Serologi : 3.1.Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut ( diambil <7 hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80. 3.2.Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5 positif. Pemeriksaan lain dilakukan untuk tujuan mengarahkan diagnostik ke arah kemungkinan flu burung dan menentukan berat ringannya derajat penyakit . Pemeriksaan yang dilakukan adalah : Pemeriksaan Hematologi : Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total. Umumnya ditemukan leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni. Pemeriksaan Kimia darah : Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah. Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin, peningkatan Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah dapat normal atau abnormal. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan. b. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka flu burung. Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk kasus dengan gejala klinik flu burung tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah diagnostik dini. c. Pemeriksaan Post Mortem Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu burung tertegakkan, dianjurkan untuk mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat (necropsi), specimen dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR.

Gejala Klinis dan Gambaran Patologis Penyakit AI

Masa inkubasi AI beragam, mulai beberapa jam sampai beberapa hari tergantung pada dosis virus, virulensi galur dan spesies inang (Fenner et al, 1995). Tanda tanda klinis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor lain seperti jenis virus yang menginfeksinya, jenis unggas yang terinfeksi, umur unggas, penyakit penyakit lain yang ada pada saat itu dan lingkungannya. Penyakit dapat muncul tibatiba pada sekelompok ternak dan banyak unggas yang mati. Kematian bisa dengan sangat cepat tanpa menunjukkan tanda tanda sakit, atau hanya dengan menunjukkan sedikit depresi, bulu rontok dan suhu badan tinggi. Unggas lainnya menunjukkan kondisi yang lemah dan jalannya sempoyongan. Unggas yang sakit sering kali duduk dan berdiri dalam keadaan setengah tidur atau mengantuk dengan kepala menyentuh tanah. Pada unggas yang masih muda memperlihatkan gejala sakit pada saraf. Jengger dan pial berwarna merah kehitaman sampai biru dan bengkak, dan dapat juga disertai perdarahan kental di ujung ujungnya, nafas cepat dan sulit. Perdarahan bisa terjadi pada daerah kulit yang tidak ditumbuhi bulu, khususnya tulang kering pada kaki (UGM.org.com,2006). Gambaran patologi yang ditemukan berupa lisis pada banyak organ seperti hati, limpa, paru paru, otak, saluran pencernaan ginjal dan otot skeletal tampak adanya eksudasi, hemorragi, necrosis dan inflamasi, oedema dan kongesti (Perkin and Sweyne, 2001) Bentuk ringan atau LPAI pada unggas akan terlihat adanya penurunan produksi telur atau produksi telur berhenti, gangguan pernafasan, anoreksia, depresi, sinusitis dan mortalitas yang rendah. Selain itu juga ditemukan trakheitis atau rinitis kataralis, leleran pada mata, air sacculitis, ovarium tidak berkembang, haemorragi dan ginjal bengkak. Jika terdapat infeksi sekunder oleh bakteri atau ayam dalam keadaan stres akibat lingkungan, gejala klinis dapat menjadi parah (Tabu, 2000:Gharaibeh,2002). Bentuk Low Pathogenic dari virus H5 dan H7 potensial untuk berkembang menjadi bentuk Highly Patogenic (Khayam, 2004). Sumber dan Cara Penularan Penyakit AI Virus influenza A disekresikan melalui hidung, mulut, konjungtiva dan kloaka unggas yang terinfeksi. Virus influenza A bereplikasi pada saluran pencernaan, selain itu AI juga dapat berkembang biak dengan baik pada saluran pernafasan, ginjal, dan sistem reproduksi bahkan dapat mencapai ke sistem saraf pusat (APHIS news, 2004). Transmisi melalui air mungkin mekanisme yang terpelihara dari tahun ke tahun sebagai pelestari virus AI di habitat alami burung air. Kenyataannya, burung air yang terinfeksi virus influenza jarang menunjukkan gejala penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa virus influenza mengalami adaptasi optimal pada burung ini. (Harimoto dan Kawaoka, 2001). Burung domestik dapat terinfeksi virus AI melalui kontak langsung dengan burung liar yang terinfeksi atau unggas lain yang terinfeksi, melakukan kontak dengan permukaan atau materi yang terkontaminasi virus, seperti kotoran, air dan makanan. Manusia, kendaraan dan benda lain seperti kandang dapat menjadi vektor penyebar virus dari satu peternakan ke peternakan yang lainnya (Khayam, 2004). Dari observasi yang telah dilakukan dari air minum di kandang itik yang terinfeksi virus AI menunjukkan adanya virus dalam jumlah tinggi yang menyebabkan terjadinya penularan secara oropharingeal, dan itik dapat terus menyebarkan virus sampai 10 hari setelah infeksi. Kebanyakan kasus AI yang menginfeksi manusia disebabkan oleh kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi atau kontak dengan permukaan yang terkontaminasi (Strum- Ramires et al., 2002).

Diagnosis Banding Diagnosis banding disesuaikan dengan tanda dan gejala yang ditemukan. Penyakit dengan gejala hampir serupa yang sering ditemukan antara lain: - Demam Dengue - Infeksi paru yang disebabkan oleh virus lain, bakteri atau jamur - Demam Typhoid - HIV dengan infeksi sekunder - Tuberkulosis Paru Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding tergantung indikasi, antara lain: - Dengue blot : IgM, IgG untuk menyingkirkan diagnosis demam dengue - Biakan sputum dahak, darah dan urin. - Biakan Salmonella, uji Widal untuk menyingkirkan diagnosis demam tifoid. - Pemeriksaan anti HIV . - Pemeriksaan dahak mikroskopik Basil Tahan Asam (BTA) dan biakan mikobakterium, untuk menyingkirkan TB Paru. TATALAKSANA MEDIK Pada dasarnya penatalaksanaan flu burung (AI) sama dengan influenza yang disebabkan oleh virus yang patogen pada manusia. A. Penatalaksanaan Umum 1. Pelayanan di Fasilitas Kesehatan non Rujukan Flu Burung Pasien suspek flu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukan flu burung. Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir sesuai skoring di bawah ini, sementara pada puskesmas yang tidak terpencil pasien langsung dirujuk ke RS rujukan. Pasien ditangani sesuai dengan kewaspadaan standar 2. Pelayanan di Rumah Sakit Rujukan Pasien Suspek H5N1, Probabel, dan Konfirmasi dirawat di Ruang Isolasi. Petugas triase memakai APD, kemudian segera mengirim pasien ke ruang pemeriksaan. Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan tetap mengunakan APD dan melakukan kewaspadaan standar. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium sesuai dengan bab III.B.2.a, dan foto toraks. Setelah pemeriksaan awal, pemeriksaan rutin (hematologi dan kimia) diulang setiap hari sedangkan HI diulang pada hari kelima dan pada waktu pasien pulang. Pemeriksaan PCR dilakukan pada hari pertama, kedua, dan ketiga perawatan. Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari pertama dan diulang setiap lima hari. Penatalaksanaan di ruang rawat inap Klinis 1. Perhatikan :

- Keadaan umum - Kesadaran - Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu). - Bila fasilitas tersedia, pantau saturasi oksigen dengan alat pulse oxymetry. 2. Terapi suportif : terapi oksigen, terapi cairan, dll. B. Profilaksis Menggunakan Oseltamivir Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya penularan dari manusia ke manusia, namun penggunaan profilaksis oseltamivir sebelum terpajan tidak dianjurkan. Rekomendasi saat ini oseltamivir diberikan pada petugas yang terpajan pada pasien yang terkonfirmasi dengan jarak < 1 m tanpa menggunakan APD. Bagi mereka yang terpajan lebih 7 hari yang lalu, profilaksis tidak dianjurkan. Kelompok risiko tinggi untuk mendapat profilaksis adalah Petugas kesehatan yang kontak erat dengan pasien suspek atau konfirmasi H5N1 misalnya pada saat intubasi atau melakukan suction trakea, memberikan obat dengan menggunakan nebulisasi, atau menangani cairan tubuh tanpa APD yang memadai. Termasuk juga petugas lab yang tidak menggunakan APD dalam menangani sampel yang mengandung virus H5N1. Anggota keluarga yang kontak erat dengan pasien konfirmasi terinfeksi H5N1. Dasar pemikirannya adalah kemungkinan mereka juga terpajan terhadap lingkungan atau unggas yang menularkan penyakit. C. Antiviral 1. Pengobatan Antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam pertama) : Dewasa atau anak 13 tahun Oseltamivir 2x75 mg per hari selama 5 hari. Anak > 1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 5 hari. Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sbb : > 40 kg : 75 mg 2x/hari > 23 40 kg : 60 mg 2x/hari > 15 23 kg : 45 mg 2x/hari 15 kg : 30 mg 2x/hari Pada percobaan binatang tidak ditemukan efek teratogenik dan gangguan fertilitas pada penggunaan oseltamivir. Saat ini belum tersedia data lengkap mengenai kemungkinan terjadi malformasi atau kematian janin pada ibu yang mengkonsumsi oseltamivir. Karena itu penggunaan oseltamivir pada wanita hamil hanya dapat diberikan bila potensi manfaat lebih besar dari potensi risiko pada janin. 2. Profilaksis Profilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok risiko tinggi

terpajan sampai 7-10 hari dari pajanan terakhir. Penggunaan profilaksis jangka panjang dapat diberikan maksimal hingga 6-8 minggu sesuai dengan profilaksis pada influenza musiman. D. Pengobatan lain Antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipikal dan atipikal (lihat lampiran 2 petunjuk penggunaan antibiotik). Metilprednisolon 1-2 mg/kgBB IV diberikan pada pneumonia berat, ARDS atau pada syok sepsis yang tidak respons terhadap obat-obat vasopresor. Terapi lain seperti terapi simptomatik, vitamin, dan makanan bergizi. Rawat di ICU sesuai indikasi. E. Perawatan Intensif Kriteria pneumonia berat; jika dijumpai salah satu di bawah ini : 1. Frekuensi napas > 30 menit. 2. PaO2/FiO2 < 300. 3. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral 4. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus 5. Tekanan sistolik < 90 mmHg 6. Tekanan diastolik < 60 mmHg 7. Membutuhkan ventilasi mekanik 8. Infiltrat bertambah > 50% 9. Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok) 10. Serum kreatinin 2 mg/dl. Kriteria perawatan di ruang rawat intensif. ( ICU ) a. Gagal Napas Kalau terjadi gangguan ventilasi dan perfusi, jika pada pemeriksaan AGD ( Analisis Gas Darah ) ditemukan : - PaCO2 > 60 torr - Ratio Pa O2/Fi O2 : < 200 untuk ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) < 300 untuk ALI (Acute Lung Injury) - Frekuensi napas > 30 X menit b. Syok (dapat hipovolemik, distributif, kardiogenik ataupun obstruktif ) Tekanan darah sistolik < 90 mmHg (dewasa) atau untuk anak Tekanan Arteri Rata-rata (TAR) < 50 mmHg, yang telah dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan inotropik/ vasopresor > 4 jam. Sebaiknya dengan menggunakan kateter vena sentral. c. a + b memerlukan bantuan ventilator mekanik. d. Jika memakai ventilator mekanik, maka dianjurkan dengan menggunakan respirator dengan pressure cycle, dengan pengaturan awal : Mode : Pressure Control Ventilation Volume Tidal : 6 8 cc / kg Berat Badan

PEEP > 5 Cm H20 Frekuensi Napas : 12 X /menit Fi O2 : 1.0 (100 %) P insp (Tekanan Inspirasi) : Mulai dari 10 Cm H20 Mutlak dilakukan pemeriksaan AGD 30 menit setelah setting awal. Sasaran yang ingin dicapai adalah mempertahankan PaO2 di atas 100 torr dan Sat O2 diatas 95% dengan FiO2 dibawah 60%. e. Dapat juga digunakan NIPPV (Non Invasive Positive Pressure Ventilation), pada pasien dengan kesadaran compos mentis. f. Dapat disapih dari respirator kalau: 1. Keadaan Umum pasien sudah membaik, kesadaran membaik tanpa sedasi. 2. Nutrisi adekuat dengan status cairan adekuat. 3. Bebas infeksi. 4. Hemodinamik stabil tanpa inotropik atau vasopressor. 5. Status asam basa dan elektrolit stabil. 6. Tidak ada bronkospasme. 7. Oksigenasi baik dengan FiO2< 0.5 dengan PEEP < 5 CmH2O 8. Weaning Parameter : - Frekuensi Pernapasan/Vt < 100. - Frekuensi Pernapasan : 30 X/menit. - Vt : 6 8 CC/kgbb. Indikasi keluar dari ICU. Setelah 24 jam setelah pasien disapih dan diekstubasi tanpa adanya kelainan baru maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan. F. Kriteria pindah rawat dari ruang isolasi ke ruang perawatan biasa : - Terbukti bukan kasus flu burung. - Untuk kasus PCR positif dipindahkan setelah PCR negatif. - Setelah tidak demam 7 hari. - Pertimbangan lain dari dokter. G. Kriteria kasus yang dipulangkan dari perawatan biasa : - Tidak panas 7 hari dan hasil laboratorium dan radiologi menunjukkan perbaikan. - Pada anak 12 tahun dengan PCR positif, 21 hari setelah awitan (onset) penyakit. - Jika kedua syarat tak dapat dipenuhi maka dilakukan pertimbangan klinik oleh tim dokter yang merawat. H. Perawatan Tindak Lanjut - Pasien yang sudah pulang ke rumah diwajibkan kontrol di poliklinik Paru / Penyakit Dalam / Anak RS terdekat. - Kontrol dilakukan satu minggu setelah pulang yaitu foto toraks dan laboratorium dan uji lain yang ketika pulang masih abnormal.

Penyebaran dan Penularan Flu Burung Proses penyebaran flu burung belum sepenuhnya dipahami. Bebek dan angsa yang merupakan ordo Anseriformes serta flu burung camar dan burung laut dari ordo Charadriiformes adalah pembawa (carrier) virus influenza A subtipe H5 dan H7. Virus yang dibawa oleh unggas ini umumnya kurang ganas (LPAIV). Unggas air liar ini juga menjadi reservoir alami untuk semua virus influenza. Diperkirakan penyebaran virus flu burung karena adanya migrasi dari unggas liar tersebut. Beberapa cara penularan virus flu burung yang mungkin terjadi : A. Penularan Antar Unggas Flu burung dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran unggas yang sakit. Penularan juga bisa terjadi melalui air minum dan pasokan makanan yang telah terkontaminasi oleh kotoran yang terinfeksi flu burung. Di peternakan unggas, penularan dapat terjadi secara mekanis melalui peralatan, kandang, pakaian ataupun sepatu yang telah terpapar pada virus flu burung (H5N1) juga pekerja peternakan itu sendiri. Jalur penularan antar unggas di peternakan, secara berurutan dari yang kurang berisiko sampai yang paling berisiko adalah melalui : i. Pergerakan unggas yang terinfeksi ii. Kontak langsung selama perjalanan unggas ke tempat pemotongan iii. Lingkungan sekitar (tetangga) dalam radius 1 km iv. Kereta/lori yang digunakan untuk mengangkut makanan, minuman unggas dan lain-lain v. Kontak tidak langsung saat pertukaran pekerja dan alat-alat B. Penularan dari Unggas Ke Manusia Penularan virus flu burung dari unggas ke manusia dapat terjadi ketika manusia kontak dengan kotoran unggas yang terinfeksi flu burung, atau dengan permukaan atau benda-benda yang terkontaminasi oleh kotoran unggas sakit yang mengandung virus H5N1. Orang yang berisiko tinggi tertular flu burung adalah : Pekerja di peternakan ayam Pemotong ayam Orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu burung Orang yang menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung Populasi dalam radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung C. Penularan Antar Manusia Pada dasarnya sampai saat ini, H5N1 tidak mudah untuk menginfeksi manusia dan apabila seseorang terinfeksi, akan sulit virus itu menulari orang lain. Pada kenyataannya, penularan manusia ke manusia, terbatas, tidak efisien dan tidak berkelanjutan. Menurut WHO, pada 2004 di Thailand dan 2006 di Indonesia, diduga terjadi adanya penularan dari manusia ke manusia tetapi belum jelas. 3 Model penularan ini perlu diantisipasi secara serius karena memiliki dampak yang sangat merugikan dan mengancam kesehatan, kehidupan sosial, ekonomi dan keamanan manusia. Hal ini sangat mungkin terjadi karena virus flu burung memiliki kemampuan untuk menyusun ulang materi genetik virus flu burung dengan virus influenza manusia sehingga timbul virus Influenza subtipe baru yang sangat mudah menular (reassortment). D. Penularan dari Lingkungan ke Manusia

Secara teoritis, model penularan ini dapat terjadi oleh karena ketahanan virus H5N1 di alam atau lingkungan. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mekanisme penularan flu burung pada manusia namun diperkirakan melalui saluran pernapasan karena dari hasil penelitian didapatkan reseptor H5N1 pada saluran napas manusia terutama saluran napas bagian bawah dan setiap orang memiliki jumlah reseptor yang berbeda-beda, sedangkan pada saluran percernaan ditemukan reseptor dalam jumlah yang sangat sedikit namun belum bisa dibuktikan penularan flu burung melalui saluran pencernaan dan ada referensi yang mengatakan bahwa reseptor H5N1 pada manusia hanya terdapat pada saluran pernapasan jadi hal ini masih diperdebatkan. Kotoran unggas, biasanya kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk, menjadi salah satu faktor risiko penyebaran flu burung. Penyakit ini dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekret burung/unggas yang menderita flu burung. Penularan unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia telah menghirup udara yang mengandung virus flu burung (H5N1) atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung. E. Penularan ke Mamalia Lain Virus flu burung (H5N1) dapat menyebar secara langsung pada beberapa mamalia yang berbeda yaitu babi, kuda, mamalia yang hidup di laut, familia Felidae (singa, harimau, kucing) serta musang (stone marten). 2.3 Masa Inkubasi dan Gejala a. Masa Inkubasi - Pada Unggas : 1 minggu - Pada Manusia : 1 7 hari (rata-rata 3 hari.) Masa infeksi 1 hari sebelum, sampai 3 - 5 hari sesudah timbul gejala, pada anak sampai 21 hari. b. Gejala flu burung pada unggas dan manusia : i . Gejala pada unggas Jengger berwarna biru Pendarahan merata pada kaki yang berupa bintik-bintik merah atau sering terdapat borok di kaki yang disebut dengan kaki kerokan. Adanya cairan pada mata dan hidung sehingga terjadi gangguan pernapasan Keluar cairan jernih sampai kental dari rongga mulut Diare Haus berlebihan dan cangkang telur lembek Kematian mendadak dan sangat tinggi jumlahnya mendekati 100% dalam waktu 2 hari, maksimal 1 minggu ii. Gejala pada manusia Gambaran klinis pada manusia yang terinfeksi flu burung menunjukkan gejala seperti terkena flu biasa. Diawali dengan demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, batuk, sakit kepala dan pilek. Dalam perkembangannya kondisi tubuh sangat cepat menurun drastis. Bila tidak segera ditolong, korban bisa meninggal karena berbagai komplikasi misalnya terjadinya gagal napas karena pneumonia dan gangguan fungsi tubuh lainnya karena sepsis. Diagnosis ditegakkan dengan : 1. Anamnesis tentang gejala yang diderita oleh penderita dan adanya riwayat kontak atau adanya faktor risiko, seperti kematian unggas secara mendadak, atau unggas sakit di peternakan/dipelihara di rumah, atau kontak dengan pasien yang didiagnosis avian influenza

(H5N1), atau melakukan perjalanan ke daerah endemis avian influenza 7 hari sebelum timbulnya gejala . 2. Pemeriksaan fisik: suhu tubuh > 38 C, napas cepat dan hiperemi farings (farings kemerahan). 3. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) diperoleh leukopenia, limfopenia, trombositopenia ringan sampai sedang dan kadar aminotransferase yang meningkat sedikit atau sedang, kadar kreatinin juga meningkat. 4. Pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit diperlukan untuk mengetahui status oksigenasi pasien, keseimbangan asam-basa dan kadar elektrolit pasien. 5. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya avian influenza H5N1 a.l. dengan Immunofluorescence assay, Enzyme Immunoassay, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Real-time PCR assay, Biakan Virus. Dari hasil pemeriksaan ini dapat ditentukan status pasien apakah termasuk curiga (suspect), mungkin (probable) atau pasti (confirmed). 6. Pada pemeriksaan radiologi dengan melakukan X-foto toraks didapatkan gambaran infiltrat yang tersebar atau terlokalisasi pada paru. Hal ini menunjukkan adanya proses infeksi oleh karena virus atau bakteri di paru-paru atau yang dikenal dengan pneumonia. Gambaran hasil radiologi tersebut dapat menjadi indikator memburuknya penyakit avian influenza. FARMAKOTERAPI Seperti penyakit virus lainnya, sebenarnya penyakit ini belum ada obat yang efektif. Penderita hanya akan diberi obat untuk meredakan gejala yang menyertai penyakit flu itu, seperti demam, batuk atau pusing. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat telah merekomendasikan 4 (empat) jenis obat antiviral untuk pengobatan dan pencegahan influenza A. Jenis obat tersebut diantaranya adalah M2 inhibitors (amantadin dan rimantadin) dan neuraminidase inhibitors (oseltamivir dan zanamivir). Keempat obat ini dapat digunakan yang biasa kita kenal (seasonal influenza). Akan tetapi, tidak semua obat antivirus ini dapat digunakan untuk mengobati penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H5N1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, virus H5N1 sudah resisten terhadap amantadin dan rimantadin. Oseltamivir yang diberikan secara oral dan zanamivir secara inhalasi (dihirup) efektif melawan virus H5N1. Selain digunakan dalam pengobatan, oseltamivir juga dapat dimanfaatkan sebagai profilaksis atau pencegahan terhadap penyakit flu burung. 3.1 OSELTAMIVIR FOSFAT 10 Bentuk sediaan oseltamivir adalah kapsul (75 mg) dan suspensi (12 mg/mL). INDIKASI Infeksi influenza Pengobatan : pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai komplikasi yang disebabkan oleh infeksi influenza pada pasien yang berusia lebih dari 1 tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari 2 (dua) hari. Profilaksis : untuk profilaksis influenza pada dewasa dan anak yang lebih dari 13 tahun. Oseltamivir tidak digunakan sebagai pengganti vaksinasi. DOSIS DAN PENGGUNAAN Oseltamivir dapat digunakan tanpa memperhatikan makanan. Jika digunakan bersamaaan dengan makanan, toleransi dapat meningkat. Pengobatan influenza : Dewasa dan Anak lebih dari 13 tahun : dosis oral yang direkomendasikan adalah 75 mg dua kali sehari selama 5 hari. Pengobatan dimulai setelah timbul gejala influenza dalam dua hari.

Anak anak : dosis oral suspensi yang direkomendasikan untuk anak di atas 1 tahun dan dewasa yang tidak dapat menelan kapsul adalah sebagai berikut: DOSIS SUSPENSI ORAL OSELTAMIVIR Berat Badan (kg) Dosis yang Volume direkomendasikan untuk 5 hari < 15 30 mg dua kali sehari 2,5 mL (1/2 sdt) >15 - 23 45 mg dua kali sehari 3,8 mL (3/4 sdt) >23 - 40 60 mg dua kali sehari 5 mL (1 sdt) >40 75 mg dua kali sehari 6,2 mL (1 1/4 sdt) Profilaksis Influenza : Dosis oseltamivir oral yang direkomendasikan untuk profilaksis influenza pada dewasa dan anak di atas 13 tahun yang telah mengalami kontak langsung dengan individu yang terinfeksi adalah 75 mg sekali sehari, sekurang-kurangnya selama 7 hari. Terapi sebaiknya dimulai setelah 2 hari terpajan. Dosis yang direkomendasikan untuk profilaksis selama terjadi wabah influenza adalah 75 mg sekali sehari. Gangguan fungsi ginjal : Pengobatan influenza : penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien dengan kreatinin klirens 10-30 mL/menit. Pada kondisi ini, direkomendasikan penurunan dosis menjadi 75 mg sekali sehari selama 5 hari. Profilaksis : untuk profilaksis, penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien dengan kreatinin klirens 10 30 mL/menit. Pada kondisi ini, direkomendasikan penurunan dosis menjadi 75 mg pada waktu tertentu. MEKANISME KERJA Farmakologi : oseltamivir adalah suatu bentuk etil ester yang memerlukan perubahan menjadi bentuk aktif oseltamivir karboksilat. Mekanisme kerja dari oseltamivir adalah inhibisi neuraminidase virus influenza yang menyebabkan perubahan agregasi dari partikel virus untuk selanjutnya menjadi bebas. Farmakokinetik : Absorpsi : oseltamivir fosfat diabsorpsi melalui saluran pencernaan setelah pemberian secara oral. Konsentrasi puncak rata-rata dari oseltamivir dan oseltamivir karboksilat adalah 65,2 ng/mL dan 348 ng/mL, setelah pemberian 75 mg, dua kali sehari. Area di bawah kurva (AUC) dari 0-12 jam adalah 112 ng/mL untuk oseltamivir dan 2719 ng/mL untuk oseltamivir karboksilat. Pemberian oseltamivir bersamaan dengan makanan tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap konsentrasi plasma puncak dan area bawah kurva. Distribusi : ikatan oseltamivir karboksilat terhadap protein plasma manusia adalah rendah (3%). Ikatan oseltamivir terhadap protein plasma adalah 42% artinya belum cukup mampu untuk menyebabkan pergeseran yang signifikan dalam interaksi obat. Metabolisme : oseltamivir secara ekstensif berubah menjadi oseltamivir karboksilat melalui proses esterase yang berlangsung di liver. Baik oseltamivir maupun oseltamivir karboksilat merupakan substrat untuk atau inhibitor dari isoform sitokrom P450. Ekskresi : oseltamivir yang diabsorsi, secara umum (sekitar 90 %) dieliminasi melalui konversi menjadi oseltamivir karboksilat. Konsentrasi plasma oseltamivir menurun dalam waktu paruh 12 jam pada kebanyakan subjek percobaan setelah pemberian oral. Oseltamivir karboksikat tidak mengalami perubahan metabolisme lebih lanjut dan dieliminasi melalui urin. Konsentrasi plasma

dari oseltamivir karboksilat akan menurun dalam waktu paruh 6-10 jam pada kebanyakan subjek percobaan. Oseltamivir karboksilat dieliminasi secara keseluruhan (99%) melalui ekskresi ginjal. Klirens ginjal (18,8 L/jam) melebihi kecepatan flitrasi glomerulus (7,5 L/jam) menunjukkan terlibatnya sekresi tubulus, sebagai tambahan dari flitrasi glomerulus. Kurang dari 20% dosis oral dieliminasi melalui feces. KONTRA INDIKASI Oseltamivir dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap komponen yang ada di dalam produk. PERHATIAN Gangguan fungsi ginjal : penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien dengan klirens kurang dari 30 mL/menit (lihat bagian dosis dan pemberian). Kondisi menyusui : belum diketahui apakah oseltamivir dan oseltamivir karboksilat diekskresikan ke dalam air susu. Dengan demikian, oseltamivir hanya digunakan jika manfaat lebih besar daripada risikonya. Anak anak : keamanan dan efikasi oseltamivir pada anak kurang dari 1 tahun belum diketahui. PERINGATAN Infeksi bakteri : infeksi bakteri serius mungkin terjadi dengan gejala mirip influenza atau mungkin mengikuti atau terjadi sebagai komplikasi dari influenza. Penyakit lain : belum ada bukti efikasi untuk oseltamivir terhadap infeksi lain yang disebabkan oleh agen penyebab lain kecuali oleh virus influenza tipe A dan B. Mulai pengobatan : efikasi dari oseltamivir pada pasien yang mulai diobati setelah 40 jam gejala tidak diketahui. Pasien risiko tinggi : efikasi dari oseltamivir pada pasien dengan penyakit jantung kronis atau penyakit pernapasan tidak diketahui. Pencegahan influenza : penggunaan oseltamivir seharusnya tidak mempengaruhi evaluasi dari seseorang untuk diberikan vaksinasi influenza rutin. Efikasi oseltamivir untuk penggunaan profilaksis dalam pencegahan influenza belum diketahui). INTERAKSI OBAT Probenecid : penggunaan bersama oseltamivir dan probenecid akan menghasilkan peningkatan konsentrasi oseltamivir karboksilat kira-kira sebesar 2 kali karena adanya penurunan sekresi tubular anionik di ginjal. EFEK SAMPING Efek samping yang terjadi pada sekitar 3 % pasien adalah sakit perut, batuk, diare, sakit kepala, mual dan muntah. CATATAN Belum ada kebijakan Departemen Kesehatan RI untuk menggunakan oseltamivir sebagai profilaksis. 3.2 ZANAMIVIR Bentuk sediaan zanamivir adalah serbuk inhalasi dalam bentuk blister 5 mg. INDIKASI Infeksi influenza Pengobatan : pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai komplikasi yang disebabkan oleh infeksi virus influenza A dan B pada pasien dewasa dan anak lebih dari 7 tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari 2 (dua) hari. Zanamivir tidak direkomendasikan untuk pasien

yang mengalami penyakit kerusakan saluran pernapasan seperti asma atau penyakit kerusakan paru-paru kronik (COPD). DOSIS DAN PENGGUNAAN Zanamivir digunakan untuk saluran pernapasan melalui inhalasi oral dengan menggunakan alat diskhaler yang disertakan bersama obat. Pasien harus diberi penjelasan tentang cara penggunaan obat, jika mungkin disertai demonstrasi cara pemakaian obat. Jika zanamivir diresepkan untuk anak-anak, pemakaiannya harus dalam pengawasan dan instruksi orang dewasa. Orang dewasa yang dimaksud disini adalah orang dewasa yang telah diberi penjelasan tentang cara pemakaian obat. Dosis zanamivir yang direkomendasikan untuk perawatan influenza pada pasien yang berusia lebih dari 7 tahun dan lebih adalah 2 inhalasi (per inhalasi adalah 5 mg blister, jadi dosis total adalah 10 mg) dua kali sehari (jarak pemakaian 12 jam), selama 5 hari. Dua dosis ini harus digunakan pada pengobatan awal, jika mungkin jarak pemberian adalah 2 jam. Pada hari berikutnya, jarak pemberian adalah 12 jam (misalnya pada malam dan siang hari), waktu pemberian ini hendaknya sama setiap hari. Tidak ada data tentang keefektifan dari pengobatan dengan zanamivir jika dimulai lebih dari dua hari setelah timbul tanda atau gejala. Pasien yang menggunakan bronkodilator bersamaan dengan zanamivir, harus menggunakan bronkodilator terlebih dahulu. MEKANISME KERJA Farmakologi : Mekanisme kerja dari zanamivir adalah inhibisi neuraminidase virus influenza yang menyebabkan perubahan agregasi dari partikel virus untuk selanjutnya menjadi bebas. Resistensi obat : virus influenza dengan kepekaan yang menurun terhadap zanamivir telah diketahui secara in vitro dengan cara melewatkan virus pada konsentrasi obat yang meningkat. Analisis genetik terhadap virus-virus ini menunjukkan bahwa kepekaan virus yang berkurang secara in vitro terhadap zanamivir berhubungan dengan mutasi yang menghasilkan perubahan asam amino pada neuraminidase atau hemaglutinin atau keduanya. Resistensi silang : resistensi silang telah dipelajari antara virus influenza mutan yang resisten terhadap zanamivir dan resisten terhadap oseltamivir secara in vitro. Farmakokinetik : Absorpsi : sekitar 4% - 17% dari dosis inhalasi akan terabsorbsi secara sistemik. Konsentrasi serum puncak bervariasi antara 17 42 ng/mL, dalam 1-2 jam setelah pemberian dosis 10 mg. Distribusi :zanamivir memiliki ikatan terhadap protein plasma yang sangat terbatas (kurang dari 10%) Metabolisme : zanamivir diekskresi melalui ginjal dalam bentuk yang tidak berubah. Tidak ada metabolit yang terdeteksi. Ekskresi :waktu paruh dari zanamivir setelah pemberian melalui inhalasi oral bervariasi antara 2,5 -5,1 jam. Zanamivir akan diekskresi dalam bentuk yang tidak berubah dalam urin dengan ekskresi dari dosis tunggal utuh dalam waktu 24 jam. Total klirens adalah 2,5 10,9 L/jam. Obat yang tidak diabsorbsi akan diekskresi melalui feces. KONTRA INDIKASI Zanamivir dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap komponen yang ada di dalam produk. PERHATIAN Pasien dengan penyakit pernapasan : Zanamivir tidak menunjukkan efektif dan mungkin berisiko untuk pasien dengan penyakit saluran pernapasan parah seperti asma dan penyakit

pernapasan serius lainnya. Dengan demikian, zanamivir tidak direkomendasikan untuk pasien dengan gangguan saluran pernapasan seperti asma. Kehamilan : Kategori C. Tidak ada penelitian yang cukup atau terkontrol dengan baik pada wanita hamil. Penggunaan saat hamil hanya jika manfaat lebih besar daripada risikonya. Kondisi menyusui : belum diketahui apakah zanamivir diekskresikan ke air susu. Harus disertai perhatian jika memberikan zanamivir untuk pasien yang menyusui. Anak anak : keamanan dan efikasi zanamivir pada anak kurang dari 7 tahun belum diketahui. PERINGATAN Mulai pengobatan : tidak ada data untuk mendukung keamanan dan efikasi pada pasien yang memulai pengobatan setelah 48 jam timbulnya gejala. Serangan berulang : keamanan dan efikasi dari penggunaan untuk serangan berulang belum diketahui. Reaksi alergi : reaksi seperti alergi, termasuk edema oropharyngeal dan gangguan kulit serius telah diketahui dari hasil penelitian post marketting zanamivir. Penggunaan zanamivir harus dihentikan dan dimulai pengobatan yang sesuai jika dicurigai akan terjadi reaksi alergi. Infeksi bakteri : infeksi bakteri serius mungkin terjadi dengan gejala mirip influenza atau mungkin mengikuti atau terjadi sebagai komplikasi dari influenza. Zanamivir tidak diketahui dapat mencegah komplikasi-komplikasi ini. Penyakit lain : belum ada bukti efikasi untuk zanamivir terhadap infeksi lain yang disebabkan oleh agen penyebab lain kecuali oleh virus influenza tipe A dan B. Pencegahan influenza : keamanan dan efikasi dari zanamivir untuk penggunaan profilaksis untuk mencegah influenza tidak diketahui. penggunaan oseltamivir seharusnya tidak mempengaruhi evaluasi dari seseorang untuk diberikan vaksinasi influenza rutin. Efikasi oseltamivir untuk penggunaan profilaksis dalam pencegahan influenza belum diketahui). Pasien risiko tinggi : efikasi dari oseltamivir pada pasien dengan penyakit jantung kronis atau penyakit pernapasan tidak diketahui. INTERAKSI OBAT Zanamivir bukan merupakan substrat dan tidak mempengaruhi isoenzim sitokrom P450 (CYP) : CYP1A1/2, 2A6, 2C9, 2C18, 2D6, 2E1, dan 3A4) pada mikrosom liver manusia. EFEK SAMPING Efek samping yang terjadi pada sekitar 3 % pasien adalah diare, gangguan hidung, mual, sinusitis, infeksi telinga, hidung dan tenggorokan. Hasil laboratorium : terjadi peningkatan enzim liver, CPK, lymfopenia, neutropenia. Hasil yang diperoleh antara pemberian zanamivir dan plasebo menunjukkan hasil yang mirip. 3.3 Obat Obat Penunjang Analgesik-antipiretik, antibiotik, vitamin, kortikosteroid, simpatomimetik, cairan elektrolit dan nutrisi. 3.4 Ketersediaan Obat Flu Burung Ketersediaan obat flu burung mengacu pada Pedoman Pengelolaan Tamiflu Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 3.5 Vaksin Flu Burung Departemen Kesehatan RI masih dalam persiapan untuk memproduksi vaksin flu burung dari strain virus H5N1 asal Indonesia karena hasil pengujian rantai RNA menunjukkan bahwa virus H5N1 yang menginfeksi warga Indonesia merupakan virus asli Indonesia. PT. Biofarma, Badan

Usaha Milik Negara yang menjadi mitra pemerintah dalam penyediaan vaksin hingga saat ini masih melakukan berbagai pembicaraan dengan pihak Baxter Bioscience. Pihak PT. Biofarma sendiri tetap menyiapkan berbagai sarana produksi yang diperlukan dalam pembuatan vaksin tersebut. 3.6 Catatan Khusus Asetosal sebaiknya tidak diberikan pada anak-anak dan remaja karena dapat menyebabkan Reye Syndrome. PENCEGAHAN (TINDAKAN PENGAMANAN) Pengendalian atau penanggulangan flu burung yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penularan baik itu ke hewan maupun manusia. Berikut adalah hal hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan flu burung: Hindarilah terpapar/terkena cairan yang ada pada paruh, hidung dan mata unggas yang sakit. Anak-anak mudah tertular flu burung. Jauhkan dan jangan dibiarkan bermain dengan unggas, telur, bulu unggas, dan lingkungan yang tercemar kotoran unggas. Buang dan timbunlah dengan tanah, kotoran unggas yang ada disekitar rumah. Jangan memegang unggas yang mati mendadak tanpa sarung tangan, penutup hidung/mulut,sepatu/penutup kaki. Sebaiknya segera kubur unggas itu. Cuci daging dan telur unggas sebelum dimasak atau disimpan di kulkas. Masaklah daging dan telur unggas sampai matang sebelum dimakan. Virus flu burung bisa menular melalui telur atau daging unggas yang tidak dimasak sampai matang. Jangan mengkonsumsi daging unggas yang terkena flu burung. Bangkai unggas jangan dijual/dimakan. Segera kubur agar penyakitnya tidak menular ke unggas lain, anda sendiri, keluarga dan tetangga serta masyarakat luas. Jauhkan kandang unggas dari rumah tinggal. Kandangkan unggas dalam kurungan agar tidak tertular penyakit dari unggas lain. Pakai penutup hidung/masker dan kacamata renang (goggle) jika berada dipeternakan ayam atau unggas berkumpul. Cuci tangan dengan sabun setelah memegang unggas atau telur. Mandi dan cuci pakaian setelah mengubur unggas mati. Bila ada yang merasa terkena flu, badan panas, pusing, sesak napas setelah ada unggas mati mendadak, segera pergi ke Puskesmas atau dokter. Jangan sampai terlambat

Pathogenesis Penyebaran virus Avian Influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet infection)dimana virus dapat tertanam pada membrane mukosa yang melapisi salurannafas atau langsung memasuki alveoli (tergantung ukuran droplet). Virus yangtertanam pada membran mukosa akan terpajan mukoprotein yangmengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Res eptor spesifik yangdapat berikatan dengan virus influenza berkaitan dengan spesies darimanavirus berasal. Virus avian influenza manusia (human influenza viruses) dapat berikatandengan alpha 2,6 sialiloligosakarida yang berasal dari membrane sel dimanadidapatkan residu asam sialat yang dapat berikatan dengan residu galaktosamelalui ikatan 2,6 linkage.Virus A1 d apat berikatan dengan berikatan dengan membrane sel mukosamelalui ikatan yang berbeda yaitu 2,3

linkage. Adanya perbedaan padareseptor yang terdapat pada membrane mukosa diduga sebagai penyebabmengapa virus A1 tidak dapat mengadakan replikasi secara efisien padamanusia.Mukoprotein yang mengandung reseptor ini akan mengikat virus sehinggaperlekatan virus dengan sel epitel saluran napas dapat dicegah. Tetapi virusyang mengandung protein neuraminidase pada permukaannya dapatmemecah ikatan tersebut. Virus selan jutnya akan melekat pada epitelpermukaan saluran napas untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut.Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virusdapat menyebar ke sel-sek didekatnya.Masa inkubasi virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu padasel -sel kolumnar yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak danintinya mengkerut dan kemudian mengalami piknosis. Bersamaan denganterjadinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan inklusi.

You might also like