You are on page 1of 18

Metode Tafsir dalam Islam

Oleh: Nadirsyah Hosen

Secara umum ada dua metode tafsir dalam Islam. Pertama, tafsir bir riwayah dan kedua tafsir bir ra'yi. Kita akan bahas satu persatu. 1. Tafsir bir riwayah Maksudnya adalah tafsir yang dalam memahami kandungan ayat al-Qur'an lebih menitikberatkan pada ayat al-Qur'an dan riwayat hadis. Isi tafsir dengan metode ini penuh dengan riwayat hadis dan jarang sekali pengarang tafsir tsb menaruh pemikirannya. Tafsir at-Thabari misalnya dianggap mewakili corak penafsiran model ini. Yang paling baik dari tafsir jenis ini adalah mufassir yang menggunakan ayat qur'an untuk menafsirkan ayat Qur'an yang lain. Atau dalam ungkapan bahasa arab disebut "AlQur'an yufassiruhu ba'dhuhu ba'dhan" (al-Qur'an itu menafsirkan sebagian ayatnya dengan sebagian ayat yang lain). Dari model tafsir bir riwayat dikelompokkan lagi dua macam bentuk penafsirannya: a. tafsir at-tahlili, artinya mufassir (ahli tafsir) memulai kitab tafsirnya dari al-Fatihah sampai surat an-nas. Ia uraikan tafsirnya menurut urutan surat dalam al-Qur'an. Semua kitab tafsir klasik mengikuti model ini. b. Tafsir maudhu'i (tematis), artinya mufassir tidak memulai dari surat pertama sampai surat ke-114, melainkan memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Ambil contoh, kita ingin tahu apa makna Islam dalam al-Qur'an. Maka kita himpun semua ayat yang berisikan kata Islam (dan segala derivasinya) lalu kita tafsirkan. Jadi, tafsir model ini bersifat tematis. Konon metode seperti ini dimulai oleh Muhammad al-Biqa'i. Dari kalangan Syi'ah yang menganjurkan metode model ini adalah Muhammad Baqir as-Shadr. Pak Quraish Shihab adalah ahli tafsir Indonesia yang pertama kali memperkenalkan metode ini dalam tulisantulisannya di tanah air. Bukunya Wawasan al-Qur'an berisikan tema-tema penting dalam al-Qur'an yg dibahas dengan metode maudhu'i ini. 2. Tafsir bir ra'yi. Dari namanya saja terlihat jelas bahwa tafsir model ini kebalikan dengan tafsir bir riwayah. Ia lebih menitikberatkan pada pemahaman akal (ra'yu) dalam memahami kandungan nash. Tetap saja ia memakai ayat dan hadis namun porsinya lebih pada akal. Contoh tafsir model ini adalah Tafsir al-kasysyaf karya Zamakhsyari dari kalangan Mu'tazilah, tafsir Fakh ar-Razi, Tafsir al-Manar. de el el

Kalau mau dipilah lagi maka tafsir model ini bisa dibagi kedalam: a. tafsir bil 'ilmi (seperti menafsirkan fenemona alam dengan kemudian merujuk ayat Qur'an) b. tafsir falsafi (menggunakan pisau filsafat utk membedah ayat Qur'an) b. Tafsir sastra. Lebih menekankan aspek sastra dari ayat al-Qur'an. Model tafsir ini pada masa sekarang dikembangkan oleh Aisyah Abdurrahman (dia perempuan lho) atau terkenal dengan nama Bintusy Syathi. Alhamdulillah karya Bintusy Syathi ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai catatan, untuk kajian modern sekarang, sesungguhnya penggolongan secara kaku dan ketat tafsir bir riwayah dan bir ra'yi itu tak lagi relevan. Seperti tafsir-nya Bintusy Syathi setelah saya simak ternyata penuh dengan kandungan ayat Qur'an untuk memahami ayat lain. Begitupula tafsir al-Manar, pada sebagian ayatnya terlihat keliberalan penulisnya tapi pada bagian ayat lain justru terlihat kekakuan penulisnya. Tafsir model maudhu'i (tematis) juga tak bisa secara kaku dianggap sebagai tafsir bir riwayah semata. Lalu yang mana metode tafsir yang terbaik? Kitab tafsir mana yang paling baik? Syeikh Abdullah Darraz berkata:"Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya. Kalau saja anda berikan kesempatan pada rekan anda untuk melihat kandungan ayat Qur'an boleh jadi ia akan melihat lebih banyak dari yang anda lihat." Jadi? Tak usah khawatir mana yang terbaik....Semua metode tafsir bertujuan menyingkap cahaya al-Qur'an. Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Makna ini tampak sesuai dengan Surat Al Furqan ayat 33: wa laa ya`tuunaka bimatsalin illaa ji`naaka bil haqqi wa ahsana tafsiiran Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukumhukumnya.

Urgensi Tafsir Al-Qur'an dalam Islam


Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat

penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal AlQuran yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.innalloha ma'assobirin

Sejarah Tafsir Al-Qur'an


Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an : 1. Al-Qur'an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain. 2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya. 3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki rayi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW. Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Masud, Ibn Abbas, Ubai bin Kab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits. Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabiin yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Kaab dengan murid-murid Muhammad ibn Kaab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Masud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibnDiamah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani. Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai

masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.

Bentuk Tafsir Al-Qur'an


Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:

[sunting] Tafsir bi al-Matsur


Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan AlQur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat. Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain: "wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri...." (Surat Al Baqarah:187) Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi. Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain: "alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin......" (Surat Al An'am: 82) Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat : "innasy syirka lazhulmun 'azhiim" (Surat Luqman: 13) Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.

Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).

Tafsir bi ar-Rayi
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain: khalaqal insaana min 'alaq (Surat Al Alaq: 2) Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental. Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.

Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat: '.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah..... (Surat Al Baqarah: 67) Yang mempunyai makna zhahir adalah ......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina... tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan ....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah.... Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.

Metodologi Tafsir Al-Qur'an


Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlui.

[sunting] Metode Tahlili (Analitik)


Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam al-Qur`an. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsurunsur Ijaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syari, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya. Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan AlQur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu mengikat generasi berikutnya.

[sunting] Metode Ijmali (Global)


Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

[sunting] Metode Muqarin


Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

[sunting] Metode Maudhui (Tematik)


Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

[sunting] Macam Tafsir Al-Qur'an


Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba al-Azhim sebagai berikut:

Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.

Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :

Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang nonArab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini. Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka. Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi. Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhabmahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula

tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf. Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.

[sunting] Perkembangan
Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai AlQur'an. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.

Memahami Metode Tafsir Yang Benar


Rabu, 19 Agustus 2009 14:24 Opini
Oleh Bahrul Ulum Sebagian orang berpendapat bahwa penafsiran ulama terdahulu terhadap Al Quran sudah tidak sesuai dengan konteks dan kondisi sekarang. Karenanya, perlu ada penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Al Quran agar sesuai dengan konteks kekinian. Dasar mereka, kaidah ushul fiqih yang berbunyi, Alhukmu yataghoiyaru bi taghoiyuril amkinati wal azminati (Hukum itu berubah berdasarkan perubahan tempat dan jaman). Berdasar kaidah ini mereka berpendapat bahwa upaya tafsir ulang, walau terhadap ayat-ayat muhkamat sekalipun, dianggap sebagai dinamisasi ayat-ayat Al Quran dan prestasi akal yang brilyan. Dengan demikian, metode tafsir para ulama Salaf (Ahlussunnah) mereka anggap usang dan tidak kontemporer karena hanya membuat banyak pesan ayat Al Quran terpasung oleh penafsiran tekstual. Sementara konteks peradaban menuntut adanya berbagai penyesuaian signifikan. Karenanya, menurut mereka, kaum Muslimin harus membebaskan diri dari metode penafsiran para ulama klasik. Bahkan mereka menilai metode penafsiran itu sengaja dibikin oleh para ulama agar kaum Muslimin tergantung kepada mereka. Pendapat di atas sepintas lalu terkesan benar, tetapi bathil (menyesatkan). Mereka juga terlalu suudhan (berburuk sangka) kepada para ulama yang susah payah mengkaji dan mengajarkan agama ini kepada ummat. Para ulama membikin metode penafsiran semata-mata untuk menjaga kemurnian ajaran Islam. Mereka tidak ingin ajaran Islam yang luhur dan suci itu bernasib sama dengan ajaran-ajaran Nabi terdahulu seperti Yahudi dan Kristen. Sebagaimana kita ketahui, ajaran Nabi Isa rusak karena penafsiran Paulus yang seenaknya terhadap Injil. Ia yang tidak pernah berguru kepada Nabi Isa telah melakukan penafsiran yang berbeda dengan para murid Nabi Isa. Misalkan ia membuat tafsiran bahwa orang-orang Kristen yang bukan berasal dari latar belakang Yahudi tidak diwajibkan mengikuti tradisi dan pantangan Yahudi seperti sunat dan memakan makanan yang diharamkan.

Padahal ajaran Nabi Isa yang benar yaitu sunat hukumnya wajib dan adanya larangan memakan makanan haram. Demikian juga dalam menafsiri Injil Yohanes 10:30 yang berbunyi (Kata Isa Al-Masih) Aku dan Bapa adalah satu. Ayat ini oleh Paulus ditafsiri secara harfiah sehingga lahirlah ajaran Trinitas, yaitu ajaran yang meyakini bahwa dzat Allah dengan Yesus (Nabi Isa) menyatu. Tentu saja penafsiran ini ditentang oleh para murid Yesus sehingga mereka meninggalkannya. Penafsiran Paulus yang berbeda itu karena minimnya pemahaman terhadap ajaran Nabi Isa. Ia menafsiri Injil hanya berdasar pada tipu daya syaitan. Baiklah, aku sendiri tidak merupakan suatu beban bagi kamu, tetapi dalam kelicikanku aku telah menjerat kamu dengan tipu daya." (2 Korintus 12:16). Para ulama membikin metode penafsiran itu juga semata-mata untuk menjaga tradisi yang telah dipegang teguh oleh para sahabat Rasulullah yang sangat hati-hati dalam menafsirkan isi Al Quran. Mereka tidak berani menafsirkan Al Quran dengan akal murni. Abu Bakar Ash-Shiddieq berkata, ''Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan kuinjak, andaikata aku menafsirkan Al Quran dengan akalku?'' Artinya, para ulama Salaf sepakat bahwa jika menafsirkan Al Quran hanya dengan akal, walaupun tafsirnya mungkin benar, tetap sebuah kesalahan! Sebab itu, mereka menetapkan manhaj (metode) menafsirkan Al Quran demi menghindari kesalahan tersebut. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah, mewanti-wanti kaum Muslimin agar tidak terjebak dalam penfasiran yang tercela. Tafsir yang tercela adalah tafsir yang berdasarkan pada pandangan akal semata atau periwayatan yang tidak jujur. Karenanya ia menolak mentah-mentah penafsiran Al Quran berdasarkan periwayatan lemah atau dusta yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Metode Tafsir Salafus Shalih Berdasar alasan tersebut kemudian para ulama salafus shalih membikin metode tafsir demi menjaga kemurnian ajaran Islam dari tangan-tangan jahil yang tidak berilmu sebagaimana Paulus. Metode tersebut meliputi: Pertama, untuk menafsirkan sebuah ayat harus terlebih dulu dicari tafsirnya dengan ayat yang lain. Cara penafsiran ini disebut juga tafsir ayat bil ayat dan merupakan metode tertinggi tafsir Al Quran. Kedua, bila tidak ada ayat yang menafsirkan ayat tersebut, maka harus dicari sunnah (hadits) Nabi SAW karena ia merupakan penjelasan terhadap makna Al Quran sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: ''Dan ingatlah, ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): 'Hendaklah kamu (Muhammad) menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya', lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.'' (QS 3:187). Ketiga, bila tidak juga ditemukan sunnah yang menerangkan ayat tersebut, maka langkah selanjutnya dicarikan perkataan dari sahabat, misalnya dari tim pencatat wahyu yang memang diakui Nabi SAW sebagai hablul ummah (penyambung ummat) yaitu Abdullah bin Abbas (Tafsir Ibn Abbas), juga sahabat yang lain seperti Abdullah bin Mas'ud dan lain-lain. Para sahabat adalah orang yang mengetahui betul teks dan konteks ayat diturunkan. Mereka juga generasi pertama penghafal Al Quran yang tsubut (percaya). Mengingkari peranan para sahabat sama saja memotong mata rantai tafsir Al Qur'an. Keempat, bila tidak ada perkataan sahabat mengenai tafsir sebuah ayat, maka kita melacaknya dari perkataan para tabi'in, seperti Hasan Basri, Ibnu Qatadah, Mujahid, dan lain-lain. Mereka adalah para pengikut sahabat yang setia sehingga kepercayaannya terjamin dan pantas diikuti oleh generasi kemudian. Kelima, setelah perkataan generasi tabi'in pun tidak ada, baru dicarikan pendapat para imam, seperti Syafi'i, Maliki, Hanbali, Hanafi, dll. Terakhir, bila semua sandaran di atas juga tidak ditemukan, maka baru ayat tersebut ditafsirkan secara lughah (bahasa). Jadi menafsirkan Al Quran secara bahasa (leksikal) itu merupakan tingkat penafsiran terendah. Di luar di atas, metode tafsir yang berlaku berarti tafsir birrayi (dengan akal semata).

METODE PENAFSIRAN AL-QURAN

Sebelum berbicara tentang metode penafsiran al-Quran, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang pengertian metode itu sendiri. Apakah ada perbedaan antara metode dengan bentuk, dan atau dengan corak? Metode adalah : Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud[6]. Dalam Ensiklopedi Indonesia Metoda adalah : cara melakukan sesuatu ata cara mencapai pengetahuan[7] Bentuk adalah : Sistem, susunan, pendekatan.[8] Dalam hal ini berarti berbicara menganai hubungan tafsir al-Quran dengan media atau alat yang digunakan dalam menafsirkan al-Quran. Media untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman teks-teks atas nash al-Quran dapat berupa; nash (al-Quran dan al-Hadits), akal, ataupun intuisi.[9] Sedangkan Corak adalah : Paham atau macam.[10] Dalam hal ini corak penafsiran adalah sekitar hubungan tafsir al-Quran dengan kecenderungan yang dimiliki mufasir yang bersangkutan. 1) Bentuk Penafsiran Yang dimaksud dengan bentuk penafsiran disini ialah naw (macam atau jenis) penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran Al-Quran, paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama yaitu al-matsur (riwayat) dan al-ray (pemikiran). a. Bentuk Riwayat (Al-Matsur) Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan tafsir bi almatsur adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir al-Thabari, Tafsir ibn Katsir, dan lainlain. Dalam tradisi studi Al-Quran klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam pemahaman teks Al-Quran. Sebab, Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai penafsir pertama terhadap Al-Quran. Dalam konteks ini, muncul istilah metode tafsir riwayat. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Quran klasik, merupakan suatu proses penafsiran Al-Quran yang menggunakan data riwayat dari Nabi SAW. dan atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses penafsiran Al-Quran. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat. Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat. AlZarqani, misalnya, membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang diberikan oleh ayat Al-Quran. Sunnah Nabi, dan para sahabat.[11] Ulama lain, seperti Al-Dzahabi, memasukkan tafsir tabiin dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung ari Nabi Muhammad SAW. Tapi, nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti Tafsir Al-Thabari.[12] Sedang Al-Shabuni memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya tafsir riwayat adalah model tafsir yang

bersumber dari Al-Quran, Sunnah dan atau perkataan sahabat.[13] Definisi ini nampaknya lebih terfokus pada material tafsir dan bukan pada metodenya. Ulamat Syiah berpandangan bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt. Hal-hal yang dikutib dari para sahabat dan tabiin, menurut mereka tidak dianggap sebagai hujjah.[14] Dari segi material, menafsirkan Al-Quran memang bisa dilakukan dengan menafsirkan antarayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun secara metodologis bila kita menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat lain dan atau dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat dan atau hadits Nabi dalam menafsirkan AlQuran, tentu ini secara metodologis tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat. Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran Nabi Muhammad SAW. yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk asbab al-nuzul sebagai satu-satunya sember data otoritatif. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbab al-nuzul.[15]

b. Bentuk Pemikiran (Al-Ray) Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat. Masingmasing golongan berusaha menyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Quran dan HaditsHadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembangnya bentuk penafsiran al-ray (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Melihat berkembang pesatnya tafsir bi al-ray, maka tepat apa yang dikatakan Manna alQaththan bahwa tafsir bi al-ray mengalahkan perkembangan tafsir bi al-matsur. Meskipun tafsir bi al-ray berkembang dengan pesat, namun dalam penerimaannya para ulama terbagi menadi dua : ada yang membolehkan ada pula yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ray (pemikiran) semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya, keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Quran dengan sunnah Rasul serta kaedah-kaedah yang mu;tabarah (diakui sah secara bersama).[16] Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai

sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-matsur (melalui riwayat) dan bi al-ray (melalui pemikiran atau ijtihad).

2) Metode Penafsiran Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat A;-Quran sesuai kemampuan manusia. Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran Al-Quran. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu muncul. [17] Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Quran sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Quran ini dilakukan dalam empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhuiy (tematik).[18] Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan keempat metode tafsir tersebut secara rinci, yaitu : [19] (a) Metode Ijmali (Global) Pengertian Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan cara mengemukakan makna global.[20] Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Quran secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Quran sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Quran padahal yang didengarnya itu tafsirnya. [21] Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain : Kitab Tafsir AlQuran al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad Utsman al-Mirghani. Ciri-ciri Metode Ijmali Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Quran dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam

metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ideidenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Quran padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.

(b) Metode Tahliliy (Analisis) Pengertian Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat AlQuran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu : [22] Al-Tafsir bi al-Matsur, Al-Tafsir bi al-Rayi, Al-Tafsir alFiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtimai. Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan bentuk Al-Tafsir bi alMatsur (Penafsiran ayat dengan ayat lain), misalnya : kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 1 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :

Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung.

Ciri-ciri Metode Tahlili

Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Quran secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-matsur, maupun al-ray, sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, Al-Quran ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk matsur (riwayat) atau ray (pemikiran). Diantara kitab tahlili yang mengambil bentuk matsur (riwayat) adalah : Jami al-Bayan an Tawil al-Quran al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) dan terkenal dengan Tafsir al-Thabari. Maalim al-Tanzil, karangan al-Baghawi (w. 516 H) Tafsir al-Quran al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan Al- Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Matsur, karangan al-Suyuthi (w. 911 H) Adapun tafsir tahlili yang mengambil bentuk ray banyak sekali, antara lain : Tafsir al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H) Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tawil, karangan al-Baydhawi (w. 691 H) Al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H) Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran, karangan al-Syirazi (w. 606 H) Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-Razi (w. 606 H) Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran, karangan Thanthawi Jauhari; Tafsir al-Manar, karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); dan lain-lain

(c) Metode Muqarin (Komparatif) Pengertian Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut : a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda

bagi satu kasus yang sama; b. Membandingkan ayat Al-Quran dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan; c. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Quran.

Home Makalah Info Video

Mengenal Metode Tafsir Birra'yi


Berdasarkan etimologi, Rayi berarti keyakinan (I'tiqad), dan Ijtihad. Rayi dalam terminologi tafsir adalah Ijtihad. Sedangkan menurut terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Manna Qathan, ialah: - Tafsir Birrayi ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada rayu semata yakni bukan pemahaman yang sesuai dengan ruh syariah. Dengan demikian, tafsir birrayi sebagaimana didefinisikan Husen Adz-dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir yang telah mengetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul, nasakh-mansukh, dan sebagainya. Al-farmawi mendefinisikan tafsir birrayi sebagai penafsiran al-Quran dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang arab ketika berbicara dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya. Sebab Munculnya Tafsir Birrayi Tafsir birrayi muncul sebagai corak penafsiran setelah tafsir bilmatsur muncul, walaupun sebelum itu rayu dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan al-Quran. Apalagi kalau kita menilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad. Di antara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir birrayi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karyakarya para ulama, berbagai metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masingmasing. Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang ilmu yang dikuasainya. Di antara mereka, ada yang lebih menekankan telaah balaghah seperti az-Zamakhsyari, telaah hukum-hukum syara seperti al-Qurthubi, telaah keistimewaan bahasa, seperti as-Suud, atau qiraah, seperti an-Naisaburi dan anNasafi, telaah madzhab-madzhab kalam dan filsafat, seperti ar-Razi dan telaah lainnya. Hal tersebut dapat dipahami sebab disamping sebagai seorang mufassir, seseorang dapat saja ahli dalam bidang fiqh, bahasa filsafat, astronomi, kedokteran, atau kalam. Kemunculan tafsir birrayi dipicu pula oleh hasil interaksi ummat Islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, dalam tafsir birrayi, peranan akal sangat dominan.

Tafsir berdasarkan metodologi Selama ini sering terjadi kerancuan pemakaian istilahmanhaj/metode dengan nazah/ittijah (kecenderungan /aliran). Berbeda dengan dengan pembagian Prof. Dr. H. Abdul Jalil, HA dengan menambah satu dimensi lagi yaitu dari segi sumbernya. Metode dalam bahasa arab disebut dengan al-manhaj atau at-thariqat al-tanawih. Metode menurut Dr. Ibrohim Syarif adalah suatu cara atau alat untuk merealisasaikan tujuan aliran-aliran tafsir (Ibrohim Syarif), 1982 : 68) Yang dimaksud dengan metode Al-Quran ialah cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, baik didasarkan atas pemakain sumber-sumber penafsirannya, atau sistem penjelasan tafsiran-tafsirannya, keluasan penjelasan tafdsirannya, maupun didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan. Metode tafsir secara klasik dapat dibedakan jadi dua macam, (1) bi al-matsur dan (2) bi al-royi (Subhi as-Shalih,1977:290-291). Metode tafsir ditinjau dari segi sumber penafsirannya, ada 3 macam, yyaitu : a. metode tafsir bi al-matsur / bi al-Riwayah / bi al-Manqul, tata cara penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang didasarkan atas sumber penafsirn Al-Quran, dari AlHadits, dari riwayat sahabat dan tabiin. diantaranya : jamial Bayan fi tafsiri Al-Quran ; Ibnu jarir atThobari (wafat 310 H) Al-Kasyfu wa al bayan fi tafsiri Al-Quran : Ahmad Ibnu ibrohim (427 H) Maalimu Al Tanzil : imam al-Husain Ibnu Masud al Baghawi (516 H)

b.metode tafsir bi al-Rayi / bi al-dirayah bi al-maqul, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang didsrkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufasir terhadap tuntutan kaidah bahasaarab dan kesusastraannya, tiori ilmu pengetahuan setelah dia menguasai sumber-sumber tadi. Di antaranya : -mafatihu al ghaib : fahruddin ar-rozi (wafat 606 H) -Anwaru al tanzil wa haqaiqu al-tawil : Imam al-Baidhawi (692 H) c. metode bil iqtironi (perpadun antara bi al-manqul dan bi al-maqul), adalah cara menafsirkan Al-Quran yang didasarkan atas perpaduan antara sunber tafsir riwayah kuat dan shahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat. Di antaranya : - Tafsir al-manar : syaikh muhammad abduh dan syaikh rasyid ridla (W 1354 H/1935 M) -Al-Jawahiru fi tafsiri Al-Quran : Thanthawi al jauhari (W 1358 H)

Metode tafsir ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap ayat-ayat Al;-Quran, maka metode tafsir ada 2 macam : a. metode bayani / metode deskripsi, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayatayat Al-Quran hanya dengan memberikan keterangan secara deskripsi tanpa membandingkan riwayat/pendapat dan tanpa menilai (tarjih) antar sumber. maalimu al tanzil : imam al-husain ibnu masud al baghawi (516 H) berbiscara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadits (isi dan matan), antara pendapoat mufasir dengan mufasir lain dengan menonjolkan segi-segi perbedaan. Al Jami li Ahkam AL- Quran : imam Qurthubi (wafat 671 ) Metode tafsir bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan tafsirannya, maka ada 2 macam : a. Metode tafsir ijmaly, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran hanya secara global saja yakni tidak mendlam dan tidak secara panjang lebar, sehingga bagi orang awm akan lebih mudah untuk memahaminya. Tafsir Al-Quran al Karim : M. Farid Wajdi Tafsir Wasith : Majma al bukhutsil islamiyah. b. metode tafsir muqarin / komparasi, yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang

b. metode tafsir iuthnabi, yaitu penafsiran dengan cara-cara menafsirkan ayat-ayat AlQuran secara mendetail / rinci, dengan uraian-uraian yang panjang lebar, sehimngga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para orang cerdik pandai. -Tafsir Al Manar :Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha (W 14H). -Tafsir Al Maraghi : Ahmad Musthafa Al Maraghi (W 137 H/ 1952 M). -Tazfsir fi Dhilalil Quran : Sayyid Qutub (W 1966 M). Metode tafsir ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan, maka metode metode penafsiran ada 3 macam yaitu: a. Metode tafsir tahlily, yaitu menafsirkan ayat-ayat al Quran dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al fatihah hingga akhir surat an Naas. b. Metode tafsir maudhuiy. Yaitu suatu penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat-ayat mengenai satu judul / topik tertentu, dengan memeperhatikan masa turunnya dan asbabunnuzul ayat, serta mempelajari ayat-ayat tersebut secara

cermat dan mendalam, dengan memperhatikan hubungan ayatayat yang satu dengan ayat yang lainnya didalam menunjuk suatu masalah, kemudian mentimpulkan masalah yamg dibahas dari dailalah ayat-ayat yang ditafsirkan secara terpadu. -Al Maratu fi Al quran al Karim :Abbas Al Aqqad. -Ar Riba Fi AL Quran Al Karim : Abu Ala Al Maududi -Al Mahdatu Al Mankhiyah : Dr. Muh Hijazi -Ayat Al Kauniyah : Dr. Abdullah Syahhatah. c. Metode tafsir Nuzuly : yaitu menafsirkan ayat-ayat al Quran dengan cara urut dan tertib sesuai dengan urutan turunnya ayat al Quran Al Tafsir AL BayaniLi al Quran al Karim Binti Asy Syathi. Suratu ar Rahman wa suearu qishar karya Syauqi Dhaif. Tafsir al Quran al Karim karya Prof. Dr. H. Quraish Syihab, MA.

You might also like