You are on page 1of 55

Pengertian, Macam dan Jenis Hak Asasi Manusia /

HAM yang Berlaku Umum Global - Pelajaran Ilmu


PPKN / PMP Indonesia
Thu, 13/07/2006 - 12:17pm — godam64

Pengertian dan Definisi HAM :

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak
awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia
tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.

Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.


Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar
hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang
masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan
dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham
di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju
Belanda dari Indonesia.

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :

1. Hak asasi pribadi / personal Right


- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan
yang diyakini masing-masing

2. Hak asasi politik / Political Right


- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right


- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths


- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan
penyelidikan di mata hukum.

6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right


- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

• pmp dan ppkn

8 sikap/prilaku positif anak

1. Memilih makanan sehat/tak jajan makanan sembarangan.

Mulailah dari diri orangtua sendiri, yaitu dengan selalu menyediakan makanan
sehat di rumah, tidak memberikan contoh jajan makanan yang tak sehat semisal
beli makanan gorengan, dan sebagainya. Orangtua pun selalu menjelaskan pada
anak akan pentingnya makanan sehat serta bahayanya makanan tak sehat yang
mengandung pengawet, pewarna dan penambah rasa. Berikan contoh-contoh dari
dampaknya yang bisa anak ketahui. Penjelasan ini tentunya harus dilakukan
berulang-ulang sehingga anak mengerti. Dengan begitu, ia akan terbiasa dan tak
masalah jika tak diberi makanan yang tak dibolehkan.

Bagaimana jika dibuatkan jadwal tertentu? Misal, hanya pada saat weekend saja
atau saat berbelanja bulanan saja, sehingga anak tetap bisa merasakan makanan
tertentu tanpa harus memuasakannya sama sekali. Hal ini boleh saja tergantung
pada kebijakan masing-masing orangtua. Begitu pun bila orangtua
memberlakukan “larangan” secara ekstrem lantaran anaknya mengalami autisma,
misal.

2. Tak asal belanja barang/ mainan.

Sebetulnya hal ini tergantung bagaimana ketaatan orangtua dalam meluluskan


atau tidaknya permintaan anak. Ada tipe orangtua yang senang memberikan apa
pun yang dianggapnya menarik, lucu dan baik buat anak, meski si anak tidak
memintanya, Ada juga orangtua yang main gampang saja dan tak mau repot
dengan menuruti apa pun yang diminta anak daripada mendengar anaknya
merengek atau ngamuk lantaran tak dikabulkan. Nah, bila Ibu dan Bapak
termasuk orangtua tipe ini, tak heran bila si kecil akan terdorong untuk selalu
ingin membeli/belanja barang atau sesuatu sesuai keinginannya. Padahal,
dampaknya buruk buat anak. Salah satunya, anak jadi cenderung egois dan
manja. Orangtua pun akan terbebani dan tersusahkan oleh perilaku anaknya ini.

Jadi, orangtua perlu introspeksi diri dan segera mengubah perilakunya yang
merugikan itu. Hendaknya orangtua tidak selalu meluluskan permintaan anak.
Jika ia sudah punya barang yang sejenis/hampir sama dengan yang akan
dibelinya, jelaskan, ia sudah memiliki banyak barang tersebut. Ajarkan pula, ia
boleh membeli sesuatu yang memang dibutuhkannya. Ingatkan anak, semua
yang harus dibeli tentunya menggunakan uang yang didapat dari hasil kerja keras
orangtua. Anak harus bisa menghargainya dengan cara tidak menghamburkan
uang melainkan berhemat. Begitu pun dengan mainan/barang yang sudah
dimilikinya, anak harus bisa menghargainya dengan menjaga baik-baik dan tidak
merusaknya. Bahkan ajari anak untuk membagi barang yang dimilikinya kepada
anak-anak yang kurang beruntung.

Berikan pula pilihan pada anak untuk membeli sesuatu yang diinginkan atau memilih waktu bersama
orangtua, misalnya berenang. Umumnya, anak usia prasekolah—bila dibandingkan anak yang usianya
lebih besar—akan lebih memilih waktu bersama orangtua. Jika bukan itu pilihan anak, maka orangtua
perlu introspeksi diri.

3. Menahan emosi.

Perilaku agresif anak seperti memukul, mencubit, melempar dan sebagainya


bukanlah perilaku menyenangkan bagi semua orang. Jika anak bersikap agresif
dan tidak diatasi, akan menghambat anak dalam berhubungan dengan orang lain.
Bukankah orangtua pun akan merasa kesulitan? Karenanya, orangtua perlu
memberikan contoh perilaku baik yang diharapkan, selain juga menjelaskan
secara terus-menerus agar anak mengerti.

Ajari anak mengendalikan emosinya dengan cara paling efektif yaitu pemberian
time-out karena bisa menenangkan emosi anak, Jadi, saat anak dalam kondisi
marah, minta ia masuk ke dalam suatu ruangan. Pilihlah ruang yang nyaman
semisal ruang tidurnya atau lainnya. Diamkan anak dalam ruang tersebut.
Berikan waktu untuk anak mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya.
Lamanya tergantung pada tingkat usia anak, tingkat kemarahan dan juga
kemampuan mengatasinya. Jika anak sampai memberantakkan kamarnya, minta
dia untuk membereskan kembali. Selesai waktu time-out, beri penjelasan pada
anak tentang apa yang jadi harapan dan keinginan orangtua dari sikapnya. Juga
beri pujian atau ajak anak melakukan kegiatan bersama, semisal memasak
bersama.

4. Gosok gigi.

Tak ingin punya anak kecil-kecil sudah rusak giginya, bukan? Maka itu anak harus
diajarkan menjaga kesehatan giginya. Caranya antara lain dengan menyediakan
peralatan gosok gigi dan pasta gigi khusus anak yang menarik. Beri alasan pada
anak mengapa ia harus menggosok giginya setiap pagi sesudah makan dan
sebelum tidur malam. Efektifnya, orangtua memberikan contoh. Siapkan
peralatan gosok gigi sebelum mandi pagi dan lakukan kegiatan gosok gigi
bersama sebelum tidur. Bisa juga dengan menempelkan jadwal di papan. Jika
anak melakukannya maka akan mendapat stiker bintang/kupon kecil.
Stiker/kupon ini bisa ditukarkan dengan reward tertentu bila mencapai jumlah
tertentu. Misal, ditukarkan dengan nonton film di bioskop, buku cerita, dan
sebagainya.

5. Tidak nonton sinetron dengan muatan buruk.

Jika kedua orangtua bekerja, bisa saja pengaruh ini didapat dari kebiasaan
pengasuh menonton sinetron. Tentunya, harus
ada aturan jelas yang ditetapkan bagi orang di
rumah dan diperlukan kerja samanya. Selain
itu, berikan penjelasan pada anak mengapa ia
tidak dibolehkan menonton sinetron dewasa.
Katakan dengan bahasa yang mudah dicerna
dan dimengerti anak, semisal bahwa tontonan
tersebut tidak bagus dan bisa membuatnya
bodoh. Alihkan tontonan anak pada film-film
yang memang khusus untuk seusianya.
Orangtua bisa membelikan VCD atau berlangganan televisi kabel, umpamanya.
Dengan dibiasakan seperti ini anak juga lama-lama tak masalah bila tak
menonton televisi. Juga anak tak merasa suatu keharusan untuk menonton.

6. Bangun pagi sebelum berangkat sekolah.

Di usia prasekolah, kebanyakan anak sudah duduk


di TK dan mereka harus bisa bangun pagi untuk
bersiap berangkat sekolah. Nah, agar anak bisa
bangun pagi dan berangkat sekolah tanpa ada

masalah/hambatan, maka malamnya jangan biarkan


anak tidur larut. Kemudian paginya, bangunkan dia
dengan menyetelkan lagu-lagu anak yang
menyenangkan atau apa pun yang disukai anak di pagi
hari. Intinya, buatlah keramaian di pagi hari.
Perhatikan pula karakter masing-masing anak. Ada
anak yang butuh waktu lebih lama dari bangun pagi untuk mandi, ada juga yang
cepat. Lakukan pendekatan pada masing-masing anak. Motivasi bisa dilakukan
pula dengan pemberian stiker untuk kemudian ditukar dengan suatu reward.
Namun, jika anak selalu malas-malasan untuk berangkat ke sekolah apalagi
sampai mogok sekolah, orangtua perlu mencari penyebabnya. Mungkin ada
masalah di sekolahnya.

7. Punya waktu belajar.

Anak perlu memiliki sikap positif dengan mau belajar di jam-jam tertentu.
Memang, anak usia ini belum belajar dalam arti sesungguhnya dan juga belum
mendapat PR dari sekolahnya. Namun dengan dibiasakan belajar di waktu-waktu
tertentu akan mempermudah orangtua saat kelak anak di usia sekolah. Anak
akan terbiasa melakukan kegiatan belajar di jadwal tersebut.

Cara memotivasinya dengan memberikan aktivitas atau kegiatan belajar sambil


bermain di waktu khusus belajar. Orangtua harus terlibat di dalamnya,
menemani, membantu dan juga mengarahkan. Sediakan pula buku-buku
aktivitas, semisal buku aktivitas menggambar, mewarnai, berhitung, dan
sebagainya. Lakukan secara rutin aktivitas ini. Mengingat konsentrasi anak belum
terbentuk baik di usia ini, maka tingkatkan terus konsentrasinya dari waktu ke
waktu agar anak mau melakukan aktivitasnya dengan baik.

8. Mau membaca.

Tak menutup kemungkinan anak usia ini ada yang sudah bisa membaca.
kalaupun anak belum bisa membaca namun orangtua tetap perlu menanamkan
kebiasaan membaca sejak dini. Orangtua harus memberikan contoh dengan suka
membaca dan membacakan buku cerita atau dongeng sebelum tidur secara rutin
sehingga ada keinginan anak untuk mau bisa membaca sendiri. Bisa juga
orangtua membacakan cerita sambil bermain peran. Lama kelamaan anak akan
mau membaca. Lakukan pula kegiatan belajar membaca sambil bermain yang
bisa orangtua ciptakan secara kreatif.

Keamanan Sosial atas Sumber Penghidupan Manusia


(1/9)
Dr. Muhammad Emarah

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Yang dimaksud dengan sumber penghidupan manusia adalah: apa yang menjadi
sandaran kehidupannya. Termasuk di dalamnya dimensi waktu dan tempat yang
menjadi pokok kehidupannya. Seperti makan dan minuman, dan hal-hal lainnya yang
menjadi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, dalam Al Quran difirmankan:

"Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan." [An Naba: 11]. Artinya,
tempat untuk mencari penghidupan. Dalam Al Quran juga disebutkan:

"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami
adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan." [Al A'raaf: 10].

kata-kata ma'asy dan ma'iisyah itu maksudnya adalah: apa yang menjadi penopang
kehidupan manusia. [Lisan al Arab, dan Qamus al Musthalahat al Iqtishadiah fi al
Hadharah al Islamiah].

Untuk memahami pandangan Islam tentang keamanan manusia atas penghidupannya


dan kebutuhan-kebutuhan hidupanya, kita harus memahami dahulu pemahaman
tentang pemberian kedaulatan kekhalifahan oleh Allah SWT kepada manusia untuk
membangun bumi ini. Karena sikap Islam tentang hubungan antara manusia,
kekayaan, dan harta, serta hak-haknya untuk mendapatkan nikmat dan kekayaan yang
diciptakan oleh Allah SWT, yang disebarkan dalam alam ini, merupakan sikap Islam
yang dibangun di atas filsafat kekhalifahan dan istikhlaf ini.

Kata "istikhlaf" --dalam bahasa Arab-- adalah bentuk mashdar. Maknanya adalah:
menjadikan khalifah (pengganti), yang menggantikan dan menjalankan peran yang
diamanatkan dalam kerangka istikhlaf itu.

Ketika Allah SWT hendak menciptakan Adam a.s., Allah memberitahukan kepada
malaikat-malaikat-Nya bahwa Dia akan menjadikannya sebagai khalifah Allah di
muka bumi. Yang bertugas untuk mengemban amanat ilmu, berusaha, menanggung
beban dan responsibilitas, serta membangun bumi itu. Allah SWT berfirman kepada
para malaikat --seperti tertulis dalam Al Quran--:

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [Al Baqarah: 30].

Pemberian amanat kekhalifahan ini, yang dikehendaki oleh Allah SWT, kepada
manusia di muka bumi, adalah ungkapan yang paling tepat dan paling cocok untuk
menjelaskan tentang kedudukan manusia dalam wujud ini, tentang risalah manusia
dalam kehidupan dunia ini, dan tentang tugas Tuhan yang diemban manusia dalam
perjalanannya di muka bumi ini.

Seseorang yang memberikan suatu tugas perwakilan kepada orang lain untuk
menjalankan sesuatu hal, tentulah ia perlu memberikan batasan tentang tugasnya itu,
batasan wewenang yang ia emban, dan prinsip-prinsip utama yang harus diperhatikan
sebagai batasan kebebasannya dalam menjalankan tugas itu. Tugas kekhalifahan atau
perwakilan yang diemban itu hanya bersifat perantara, tidak mencapai tingkat sang
pemberi wewenang. Juga tidak sampai merendah hingga pada tingkatan seseorang
yang tidak mempunyai kewenangan sama sekali dalam tugasnya itu.

Dengan pengertian kekhalifahan seperti inilah Islam melihat kedudukan manusia


dalam wujud ini. Yaitu sebagai makhluk yang mengemban tugas kekhalifahan, yang
mendapatkan wewenang untuk membangun bumi ini, dan yang mempunyai kehendak
bebas untuk mengambil tindakan dalam batasan kewenangannya itu. Karena dengan
sifat kebebasan yang beraturan itulah manusia dapat mengemban tugas membangun
dunia ini. Namun demikian, kehendak bebas dan inisiatifnya itu harus tunduk dengan
aturan-aturan dan batasan-batasan kewenangan tugas kekhalifahan atau syari'ah
Ilahiah itu. Yang menjadi rambu-rambu, aturan, batasan dan skup operasional tugas
perwakilan dan amanah kekhalifahan itu.

Makna istikhlaf dan kedudukan khalifah (manusia) ini yang menjadi ciri filsafat
pandangan Islam terhadap kedudukan manusia di alam semesta ini (yaitu sebagai
pengemban tugas kekhalifahan dari Sang Pencipta semesta alam) adalah makna yang
tidak dapat dicapai oleh filsafat-filsafat materialis dan peradaban-peradaban yang
dibangun di atasnya. Karena mereka menuhankan manusia, dan menjadikan para
pahlawan mereka sebagai tuhan-tuhan. Atau mereka memanusiakan Tuhan, dan
berpendapat bahwa Tuhan telah merasuk dan telah berfusi dalam diri manusia.

Orang-orang Yunani (dalam peradaban Yunani kuno) menjadikan pahlawan-pahlawan


mereka, yang manusia itu, sebagai tuhan-tuhan. Ini adalah suatu tindakan
menuhankan manusia. Dan saat orang-orang Romawi memeluk Kristen, mereka
memasukkan pemahaman paganis ini ke dalam ajaran Kristen, sebagai ganti
pentauhidan terhadap Sang Khaliq dan penyucian-Nya dari segala keserupaan
terhadap alam. Mereka menuhankan Isa bin Maryam a.s. dengan alasan bahwa Lahut
telah merasuk dalam Nasut (Tuhan telah berfusi dengan makhluk)! Dua sikap tadi
(yaitu menuhankan manusia, atau memanusiakan Tuhan) amat berbeda jauh dengan
filsafat kekhalifahan. Sehingga mereka menjadikan manusia sebagai pemilik mutlak
semesta ini, bukan sebagai pengemban amanah kekhalifahan Tuhan di muka bumi ini.

Kesalahan dan penyelewengan terhadap filsafat kekhalifahan dan istikhlaf inilah yang
menjadikan manusia peradaban materialis, baik pada era Yunani-Paganis, atau pada
era Barat-Sekuler, mengumbar kebebasan kemanusiaan mereka dengan sebebas-
bebasnya. Tanpa ada ikatan, batasan, atau ruang lingkup yang diberikan oleh hukum
dari langit. Jika filsafat kekhalifahan dan istikhlaf itu lenyap, lenyap pulalah ikatan,
batasan, prinsip, serta sifat transaksasi dan pendelegasian kekhalifahan itu. Inilah
yang menjadikan kebebasan manusia, dengan pengertian Barat, dan selanjutnya
sistem demokrasi (dalam filsafat Barat) tidak patuh, dalam masalah-masalah
keduniaan, dengan batasan-batasan halal dan haram yang diberikan oleh agama, untuk
membatasi kebebasan manusia dan mengatur urusan-urusan duniawi mereka.

Sebaliknya dengan penyelewangan pandangan materialis ini (dalam melihat


kedudukan manusia dalam wujud) adalah filsafat-filsafat agama bumi. Seperti
Nirvana, dan sebagian aliran tasawuf-falsafi-bathini. Filsafat-filsafat ini membawa
ajaran yang menafikan kebebasan dan kemampuan apapun dari manusia. Sehingga ia
melihatnya sebagai suatu makhluk yang "hina dan fana", yang kebebasannya,
kesuciannya dan peningkatan derajatnya hanya dapat dicapai dengan "peleburan diri",
dan memfanakan jiwa dalam Yang Muthlaq, atau dalam Dzat "Allah"! Sikap ekstreem
dalam membelenggu dan menilai rendah manusia ini, serta penafian kebebasannya,
adalah juga suatu penyelewangan dari pandangan moderasi Islam. Yang melihat
manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang Allah berikan wewenang
kekhalifahan kepadanya untuk membangun bumi ini, Allah berikan kepadanya dasar-
dasar kebebasan, kemampuan dan kreatifitas, yang tidak mengeluarkannya dari
lingkup tugas kekhalifahan dan duta Tuhan. Manusia bukan tuan atau pemilik atas
alam ini, juga bukan sesuatu makhluk hina yang fana dalam dzat lainnya. Namun ia
adalah makhluk yang berada di tengah antara dua posisi itu --materialisme dan
bathini-- ia bertugas mengemban amanah kekhalifahan dari Tuhan semesta alam ini,
yang menjadikannya sebagai penguasa dalam dunia ini, namun bukan penguasa dan
pemilik dunia ini! Allah SWT menundukkan kekuatan-kekuatan alam dan kekayaan-
kekayaan bumi, dengan segala kandungannya. Manusia baginya --dalam ungkapan
Imam Syaikh Muhammad Abduh (1265-1323 H/ 1849-1905 M) adalah :

"Hamba bagi Allah SWT semata, dan penguasa bagi segala sesuatu selain Allah
SWT"!É Inilah pemahaman tentang istikhlaf, kekhilafahan dan kedudukan manusia
dalam wujud ini.

PENDIDIKAN KARAKTER:
PARADIGMA BARU DALAM PEMBENTUKAN
MANUSIA BERKUALITAS
(CHARACTER EDUCATION:
NEW PARADIGM TO HUMAN CAPACITY
BUILDING)
Oleh:

Dwi Hastuti Martianto


E-mail: tutimartianto@yahoo.com
ABSTRACT
Demoralization related by loss of individual self (the light side) and won of
individual ego (the darkness side). It is caused by the breakdown of family and the
weakness of moral standard and ethical instruction about right or wrong in family
and society. Although poverty and low law-enforcement also correlated with crime
and demoralization but the role of family and school are significantly important.
Character education have major role to develop individual man into a man that
knowing the good, feeling the good, loving the good, desiring the good, and acting
the good. Therefore family and school should give hand in hand through practice
and habituation instead of memorization to build human capacity building. In
light with this there should be a new paradigm in family and school in Indonesia to
educate individual into a man with character.
I. I. KEJAHATAN DAN
DEMORALISASI UMAT MANUSIA

Tinjauan Teoritis Kejahatan Umat Manusia


Individu disebut tidak bermoral (amoral) saat ia tidak mampu memberikan
penghargaan (respect) terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam perilaku
kehidupan sehari-hari. Para psikolog melihat penyimpangan perilaku individu
yang berbeda dengan norma umumnya ini sebagai suatu “deviant behavior”, atau
“delinquent”, misalnya ketika seseorang mempunyai tingkat agresifitas
(aggressive) yang amat tinggi disertai perilaku yang merusak (destructive) (Wade
and Tavris, 1990). Bentuk penyimpangan lainnya adalah ketika individu
mempunyai perilaku yang sangat berlawanan dengan lingkungannya sehingga
disebut perilaku antisosial (antisocial behavior), dimana sifat merusak terhadap
lingkungan sangat dominan, misalnya pada tingkat ringan dengan melakukan
coret-coretan di tempat umum (graffiti), pada tingkat menengah dengan
menganiaya orang lain, atau pada tingkat berat dengan membunuh makhluk
hidup lainnya tanpa rasa iba. Dengan kata lain penyimpangan perilaku yang
melawan nilai, norma dan hukum ini dikenal sebagai suatu kejahatan (crime).
Peperangan antara kebaikan dengan kejahatan telah berlangsung cukup lama
melalui periode pre modern, modern dan post modern saat ini. Pembunuhan
paling primitif pun telah dilakukan sejak periode Nabi Adam hingga pembunuhan
Nabi Isa pada periode kekaisaran Romawi. Kejahatan dan keborokan manusia
juga telah didokumentasikan oleh gereja katolik dan berbagai penulis misalnya
Dante atau C.S. Lewis yang menggolongkannya sebagai the capital of sin atau
the seven deadly sin. Dosa-dosa manusia ini meskipun dalam Bible terserak
dan bukan merupakan daftar yang formal namun dapat digolongkan pada tujuh
jenis yaitu sloth (malas), pride (membanggakan diri), gluttony (rakus), greed
(ketamakan) , envy (iri), , lust (nafsu, birahi) dan wrath (amarah). Sementara itu
kebajikan (virtue) sebagai perlambang dari lawan the seven sin masing-masing
adalah zeal (semangat), humility (kerendahan hati), faith and temperance
(kepercayaan, kesederhanaan, pantangan minuman keras), generosity
(dermawan), love (cinta), self control (kontrol diri), dan kindness
(kebaikan,kelembutan)
Dalam pandangan Nicolo Machiavelli (1469-1527) manusia itu pada dasarnya
adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Sementara itu
Thomas Hobes (1588-1679) , mengatakan bahwa manusia itu mempunyai sifat
dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia
lainnya (homo homini lupus)
Bapak Psikologi dinamika seperti Freud (1856-1939) memandang bahwa manusia
itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar
(“unconscious mind”), sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran
yang tidak disadarinya. Sebagai bapak psiko-sexual, Freud memandang bahwa
tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual (“sexual drive”) yang
mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dikendalikan oleh
id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan
terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas (reality principle),
sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia
atas dasar prinsip moral (morality principle) (Wade and Tavris, 1992; Craig, 1986;
Ross and Vasta, 1990). Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap
manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan
memainkan id-nya lebih dominan, sementara manusia yang cenderung pada
kebaikan akan memainkan super-egonya lebih dominan. Idenya yang
kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilku manusia yang menurutnya
didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan
pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression
pada masa kanak-kanaknya.
Secara spiritual maka kejahatan merupakan suatu bukti atas ketidakmampuan
manusia untuk mengendalikan nafsu (desires atau nafs), motif (motives) dan alam
bawah sadar (unconscious mind) yang secara naluriah dimiliki oleh setiap
manusia. Dalam pandangan agama kemenangan iblis atas manusia seringkali
dijadikan simbol kemenangan kejahatan, dimana hilangnya nurani (conscience)
dan lemahnya moral manusia merupakan hal yang menyebabkan terjadinya
kejahatan pada umat manusia. Padahal manusia juga memiliki nurani dan moral
sebagai simbol kebaikan (the basic goodness) yang secara naluriah dimiliki oleh
setiap manusia. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, yang pertama adalah
apakah yang menyebabkan manusia melakukan kejahatan, dan pertanyaan
berikutnya adalah apakah kejahatan merupakan kesalahan dari inividunya
ataukah merupakan kesalahan dari sistem dimana individu itu berada ?
Meluasnya Kejahatan dan Demoralisasi Umat Manusia
Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan
demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan
kualitas kehidupan suatu bangsa. Menurut Thomas Lickona (1992) terdapat
sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu
bangsa yaitu: meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang
membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan
figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya
kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahsa yang memburuk, penurunan etos
kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya
perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.
Di Amerika Serikat angka kejahatan dan demoralisasi dilihat dari berbagai
perspektif. Pickthal (2002) melaporkan bahwa di Amerika Serikat secara nasional
seperempat dari anak perempuan usia 15 tahun dan 30 persen dari anak laki-laki
usia 15 tahun telah berhubungan seksual, sehingga setiap tahunnya hampir satu
juta remaja perempuan di bawah usia 20 tahun hamil. Sementara satu dari 4
remaja yang aktif secara seksual terkena infeksi penyakit akibat hubungan seks
(sexually transmitted deseases) seperti chlamydia, gonorrhea, herpes dan genital
warts. Angka penggunaan narkoba pada remaja 12-17 tahun meningkat antara
tahun 1989 dan tahun 1995 dari 8.4 menjadi 18.8 orang per 1.000 pengguna
potensial. Lickona (1993) menyebutkan bahwa di Amerika tingkat bunuh diri pada
remaja laki-laki usia 15-24 tahun lebih tinggi 7 kali lipat dibandingkan Canada dan
40 kali dibandingkan Jepang. Pembunuhan di kalangan remaja (youth suicide)
juga meningkat 3 kali selama periode 25 tahun terakhir.
Namun yang lebih mengerikan adalah apa yang dilaporkan The Children’s
Defense Fund yang menyebutkan bahwa pada tahun 1983, 2 951 anak usia 20
tahun terbunuh karena senjata (gunfire), sedang pada tahun 1993 terdapat
sejumlah 5 751 anak remaja terbunuh. Jumlah ini tiga kali lebih besar dari jumlah
kasus pembunuhan yang terjadi di Australia, Belgia, Canda dan Inggris, Perancis,
Jerman, Belanda, Norwegia, Spanyol, Swiss dan Finlandia.
Antara tahun 1960 hingga 1990 Kilpatrik menganalisis di Amerika Serikat telah
terjadi kenaikan 560 persen dalam kejadian kriminalitas dengan kekerasan
(violent crime), kenaikan 419 persen dalam kelahiran di luar pernikahan
(illegitimate births) dan tingkat perceraian. Ia menilai bahwa dibandingkan
negara maju lainnya, Amerika Serikat tertinggi dalam tingkat perceraian,
kehamilan di kalangan remaja, tertinggi dalam tingkat aborsi, dan tertinggi pula
dalam kematian akibat kekerasan (violent death) di kalangan remaja.
Kejahatan dan penyimpangan dalam masyarakat Amerika juga dapat dilihat dari
tingginya statistik anak dan remaja berikut ini dimana setiap harinya lahir 2,500
bayi diluar pernikahan, 135,000 anak membawa senjata ke sekolah, 7,700 anak
remaja aktif secara seksual, 1,100 remaja melakukan aborsi, 600 remaja
terjangkit syphilis atau gonorrhea, dan 6 remaja bunuh diri. (Horn, 1991). Bisa
diperkirakan jumlah penyimpangan tersebut setiap tahunnya, yang akhirnya
membentuk masyarakat generasi baru Amerika yang berbeda dengan dekade
sebelumnya. Artinya dalam beberapa dekade saja Amerika telah berubah
menjadi negara industrialisasi dengan angka kejahatan tertinggi.
Negara-negara barat di Eropa yang dikenal sebagai negara Skandinavia juga
terkenal sebagai negara dengan tingkat perpecahan dan ketidakstabilan keluarga
yang tinggi, dimana angka perceraian tinggi, sementara angka perkawinan amat
rendah (Megawangi, 1999). Laporan The Economist (9/9/1995) menyebutkan
bahwa hal ini berdampak pada tingginya persentase anak yang dilahirkan di luar
pernikahan (50 persen), dibandingkan dengan Jepang yang angkanya hampir 0
persen. Menurut Megawangi (1999) angka kenakalan remaja di kawasan ini
memang meningkat dalam kurun waktu 20 tahun. Data dari Denmark, Norwegia,
dan Swedia memperlihatkan bahwa angka kriminalitas meningkat sebesar kira-
kira 400 persen antara tahun 1950-an dan 1970-an. Demikian pula angka anak-
anak yang bermasalah karena alkoholik, ketergantungan obat bius, dan terlibat
kekerasan yang telah meningkat 400 persen di Denmark dalam kurun waktu
1970-1980. Hal ini diduga ada kaitannya dengan adanya era child-gulag, yaitu
pengiriman anak secara besar-besaran ke day-care center.
Fakta-fakta yang terjadi di negara barat di atas bukan berarti bahwa di negara
timur yang notabene merupakan negara berkembang (developing country)
kondisinya jauh lebih baik. Dari sisi kriminalitas, angka statistik kejahatan dan
demoralisasi di kalangan remaja di negara seperti Thailand, Malaysia, atau
Vietnam, Cina dan Indonesia barangkali belum seburuk apa yang telah terjadi di
Amerika. Namun bukan tidak mungkin apa yang terjadi pada remaja Amerika
sebagian akan dan sudah terjadi di beberapa negara-negara berkembang
tersebut, hanya statistiknya mungkin masih underestimated atau belum dilakukan
survey secara nasional tentang kejahatan di kalangan remaja.
Kejadian tawuran di Indonesia, misalnya, begitu sering terjadi pada remaja di kota
besar Indonesia, terutama di Kota Jakarta dan Bogor sehingga telah berada pada
tahap yang mengkhawatirkan, dan telah memakan korban jiwa para remaja yang
seharusnya menjadi penerus bangsa. Di Bogor saja, telah dilaporkan bahwa
terjadinya tawuran seringkali merupakan aktivitas yang direncanakan sehingga
termasuk kejahatan yang terencana, dimana para pelajar ini membawa senjata
tajam aneka bentuk mulai dari gir sepeda, payung berbentuk pisau, golok,
samurai, clurit dan berbagai benda berbahaya lain untuk menganiaya musuhnya
dengan sengaja (Dina, Puspita, Tanjung dan Widiastuti, 2001). Di antara mereka
bahkan melakukan penganiayaan hingga menewaskan lawannya dengan
perasaan tidak bersalah dan berdosa.
Sementara itu kejadian seks di luar pernikahan juga telah menjadi trend di
kalangan remaja didorong oleh makin maraknya penyebaran kaset VCD, situs
porno, dan penggunaan narkoba serta minuman alkohol yang meluas sampai ke
pedesaan. Disamping itu etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan
kurangnya semangat untuk bekerja keras, keinginan untuk memperoleh hidup
yang mudah tanpa kerja keras, nilai materialisme (materialism, hedonism) menjadi
gejala yang umum dalam masyarakat. Hal ini tercermin pada tingginya praktek-
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di Indonesia, khususnya pada
lembaga pemerintahan sehingga mendapatkan gelar negara terkorup di dunia
sesuai laporan PERC pada tahun 2002.
II. AKAR PERMASALAHAN DEMORALISASI
Pertanyaannya tentu saja, apakah yang terjadi pada negara-negara barat maupun
timur, sehingga angka kejahatan dan penurunan moralitas telah meningkat
demikian tajam pada dekade terakhir ini? Brooks dan Goble (1997)
mengungkapkan bahwa meningkatnya kejahatan dan kriminalitas dalam
masyarakat seringkali dihubungkan dengan kemiskinan, pengangguran,
diskriminasi, kelemahan hukum dan sebagainya. Misalnya saja di Amerika
dengan meningkatnya statistik kriminalitas maka oleh para pemimpin negara ,
dengan berbekal asumsi bahwa kejahatan berakar dari permasalahan lemahnya
kontrol hukum, maka dibuatlah kebijakan peningkatkan jumlah polisi,
perbanyakan penjara, dan perpanjangan hukuman. Akan tetapi angka kriminalitas
tetap saja meningkat, hingga kemudian dilakukan upaya lainnya melalui
pengentasan kemiskinan, pemberian berbagai tunjangan, dan sebagainya yang
intinya guna menurunkan angka kemiskinan (poverty aveliation), namun angka
kejahatan pun tetap tinggi.
Dalam pandangan ideologis seperti Marx tentu saja kejahatan dan kriminalitas ini
dihubungkan dengan ketidakadilan sistem yang berakar dari permasalahan
ketimpangan atau diskriminasi dalam relasi produksi antara kelas borjuis dan
kelas proletar. Penindasan yang dibuat kaum borjuis atas kaum proletar,
penindasan laki-laki atas perempuan atau penindasan kelas elite atas kelas
bawah merupakan pencetus kemarahan dan konflik yang menjadi pendorong
kejadian kriminalitas. Karenanya untuk memperbaiki kondisi ini maka masyarakat
tanpa kelas (class-less society) merupakan solusi yang ditawarkan. Marx dan
pengikutnya (Marxis) percaya bahwa dengan perubahan sistem yang mendasar
dalam kehidupan dengan menciptakan masyarakat yang egaliter dan tanpa kelas
dan persamaan di semua bidang akan menghilangkan kecemburuan yang
menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Menurut Marxis adanya sistem patriarkhi
yang membuat masyarakat terbagi atas struktur merupakan sistem yang
memungkinkan terjadinya relasi yang tidak harmonis antara kelas atas sebagai
penguasa sumberdaya, dan kelas bawah sebagai buruh. Sebaliknya mereka
melihat bahwa sistem kapitalisme yang membuat masyarakat terbagi atas struktur
atas dan bawah merupakan ladang subur terjadinya penindasan oleh kelas
penguasa terhadap buruh. Dalam pandangan mereka ketimpangan atau gap
penguasaan sumberdaya yang tinggi antar kelas inilah yang menimbulkan
kemarahan dan menjadi pemicu mengapa di negara kapitalis seperti AS angka
kriminalitas menjadi begitu tinggi.
Kelemahan Institusi Keluarga
Tinjauan teori keluarga memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat
penyebab kriminalitas dan demoralisasi dalam masyarakat. Dalam pandangan
mereka keluarga tidak lagi menjadi wadah yang dapat menumbuhkembangkan
karakter manusia karena permasalahan yang dialami oleh pasangan suami dan
istri itu sendiri, disamping adanya tekanan dari lingkungan luar keluarga termasuk
dari media massa dan bekerjanya kaum perempuan di sektor publik. Menurut
Bronfenbrenner dalam teorinya tentang family ecology and the child development
dinyatakan bahwa anak merupakan suatu bagian dari sistem keluarga yang
pertumbuhan dan perkembangannya mendapatkan pengaruh terutama dari
keluarga kemudian dari lingkungan luar keluarga, mulai dari lingkungan mikro,
lingkungan messo, lingkungan exo dan lingkungan makro. Sehingga
penyimpangan yang terjadi pada individu merupakan suatu hasil pengaruh sistem
keluarga dan lingkungan luarnya ini.
Menurut Brooks dan Goble, keluarga Amerika berubah setelah perang dunia ke
dua (PDII) berakhir. Pada era sebelum PD II wanita umumnya merupakan ibu
rumahtangga sementara suami bekerja di sektor pertanian, sehingga ketika pecah
perang dan keluarga harus bertahan hidup maka perempuan mulai bekerja di luar
rumah untuk menggantikan peran suami yang pergi ke medan perang.
Kedatangan para suami dari perang kemudian melahirkan banyak bayi (dikenal
sebagai baby boom), sementara kaum ibu tidak berniat kembali ke rumah dan
meneruskan kerja di luar rumah bahkan ke sektor industri yang jenis
pekerjaannya lebih formal. Fenomena inilah yang mulai merubah keluarga
Amerika yang ditandai dengan tingginya tingkat perceraian setelah era ini.
Ahli lain menganggap bahwa kemiskinan moral juga berkaitan dengan kemiskinan
(poverty), dimana kasus kejahatan dan kriminalitas relatif lebih tinggi resiko nya
karena alasan kemiskinan. Tetapi setelah program-program anti kemiskinan
(poverty aveliation) ternyata juga tidak menurunkan angka kejahatan, maka faktor
penyebabnya terus dicari. Seperti diungkapkan oleh Fagan (1995) , bahwa
terjadinya kriminalitas harus dilihat pada akar permasalahannya. Menurut Fagan,
bukti-bukti telah menunjukkan bahwa tingginya angka kriminalitas di Amerika
Serikat pada tahun 1990-an bukanlah berakar dari kemiskinan semata. Yang
lebih menjadi penyebab adalah adanya ketidakstabilan keluarga dalam
masyarakat Amerika, dimana perceraian meningkat, keluarga dengan orang tua
tunggal menjadi trend, dan kurangnya hubungan intim dan kasih sayang dalam
perkawinan dan keluarga. Bahkan sebagaimana disinyalir oleh Judge L. Bazelon
of the US court of appeals in Washington, kriminalitas bukan hanya berhubungan
dengan kemiskinan saja, akan tetapi plus prejudice, plus perumahan yang buruk,
plus kurangnya pendidikan, plus kurangnya makanan dan kesehatan, serta plus
buruknya lingkungan keluarga, atau bahkan tidak punya keluarga sama sekali.
Para ahli keluarga, seperti Barbara Dafoe Whitehead, menyatakan bahwa
ketidaksahan (“illegitimacy”) bukan satu-satunya ancaman bagi anak. Dia melihat
bahwa budayaAmerika bukan saja budaya dengan ibu yang tidak menikah, tetapi
juga bercerai. Fenomena ini menurutnya, adalah hasil dari ideologi kebebasan
ekspresif individual yang mengunggulkan aktualisasi diri sendiri dibandingkan
kebutuhan anak-anaknya. Patrick Fagan percaya bahwa banyaknya keluarga
yang “broken” akan menyebabkan masyarakat menjadi buruk dan sakit, karena
dimulai dari cara yang salah atau keliru:
“whenever there is too high a concentration of such broken families in any
community, that community will disintegrate. Only so many dysfunctional families
can be sustained before the moral and social fabrics of the community itself
breaks down. Re-establishment of the basic community code of children within
marriage is necessary both for the future happiness of American families and for a
reduction in violent crime”
(ditempat dimana banyak keluarga “broken”, disitulah terdapat komunitas
yang terpecah. Ada keluarga “tak berfungsi” yang berusaha dipertahankan
selama produksi moral dan sosial belum mengalami kehancuran. Penetapan
kembali nilai anak dalam pernikahan adalah amat penting baik bagi masa depan
kebahagiaan bangsa Amerika maupun upaya penurunan kriminalitas dan
kejahatan).
Kelemahan Standar Moral
Sementara itu tinjauan agama melihat bahwa manusia terlalu lemah dalam
pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan
kekuasaan absolut Tuhan yang supranatural dan tidak diikat oleh kebiasaan baik
yang membentengi manusia dari pengaruh kejahatan. Lahirnya paham
positivism -dengan mengedepankan bukti nyata science hingga bukanlah
kebenaran jika tanpa bukti empirik- telah menggoyang keyakinan manusia tentang
keberadaan moral dan agama, seperti dituliskan oleh Wilson (1993):
"Why has moral discourse become unfashionable or merely partisan? I believe it
is because we have learned, either firsthand from intellectuals or secondhand
from the pronouncements of people influenced by intellectuals, that morality has
no basis in scince or logic. To defend morality is to defend the indefensible".
Beberapa ahli telah menilai bahwa demoralisasi ini berhubungan dengan
rendahnya standar moral dan lemahnya penetapan norma baik dan buruk serta
benar dan salah dalam masyarakat maju, yang menyebabkan berubahnya cara
pandang generasi muda terhadap kehidupan. Misalnya Brooks dan Goble (1997)
dalam bukunya :“The case for character education”, yang menyebutkan bahwa
gelombang kejahatan tersebut berhubungan erat dengan kurangnya standar
moral dalam masyarakat:
“…that the root cause of crime, violence, drug addiction, and other
symptoms of irresponsible behavior is, for the most part, the result of inadequate
or inaccurate ethical instruction”
Dikatakan oleh Benson dan Engemen dalam bukunya Amoral America yang
diterbitkan pada tahun 1975, bahwa ada hubungan erat antara kejahatan dengan
kurangnya instruksi moral dan ethic dalam masyarakat Amerika yang
menyebabkan terjadinya beragam kekerasan dan kejahatan di Amerika. Telah
lama diketahui bahwa Bangsa Amerika telah merubah orientasi pendidikannya
kepada pemisahan antara agama dengan pendidikan di sekolah negeri, dimana
seperti dikatakan Howard Kirschenbaum (1992) ia juga terlibat dalam penyusunan
kurikulum pendidikan moral di Amerika, bahwa pendidikan moral di Amerika telah
melarang siswa didik untuk melakukan praktek keagamaan di sekolah umum.
Menurutnya, hal ini diterapkan mengingat begitu beragamnya ras dan agama di
Amerika (pluralism), sehingga sistem kurikulum di sekolah negeri mengalami
kesulitan ketika harus mengajarkan tentang pendidikan moral, karena nilai-nilai
luhur siapakah yang harus diajarkan (whose values should be taught?) untuk
masyarakat yang sangat heterogen ini.
Kelahiran filsafat positivism yang mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science)
telah membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan
dengan ilmiah sehingga disebut kebenaran/the truth) dengan nilai (yang tidak
dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan/feeling, bukan
kebenaran) juga turut mendorong manusia untuk selalu mempertanyakan tentang
moral dan nilai yang bersifat abstrak. Kelahiran teori Darwin juga telah
merangsang manusia untuk mempertanyakan semua hal, tentang asal mula
manusia hidup, siapa yang menciptakan kehidupan, dan darimana asal kehidupan
itu. Oleh sebab itu kebenaran moral juga terus dipertanyakan dan moral dianggap
sebagai sesuatu yang terus menerus berubah (morality as being in flux) (Lickona,
1994).
Akibatnya, seperti dikutip dari Lickona, bangsa Amerika terutama generasi
mudanya mengalami penderitaan karena senantiasa mempertanyakan nilai dan
moral. Mereka juga kekurangan pelatihan etika individual karena sekolah-sekolah
tidak lagi mengajarkan dan melatih tentang moral. Ia menyatakan sebagai
berikut:
“contemporary western society, and especially American society, suffers
from inadequate training in individual ethics. Personal honesty and integrity,
appreciation of the interest of others, non-violence and abiding by the law are
examples of values insufficiently taught at the present time…The schools and
churches are well situated to teach individual ethical responsibility, but do not do
so”
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah mendorong manusia
untuk mempertanyakan tentang kehidupan termasuk nilai dan moral. Dampaknya
adalah manusia mulai merasionalisasikan segala sesuatu termasuk nilai dan
moral, sehingga sistem pendidikan Amerika yang semula memperhatikan nilai-
nilai tradisional pun telah berubah. Sehingga pendekatan yang dilakukan dalam
pendidikan moral di Amerika adalah dengan mengajarkan bagaimana menghargai
pandangan moral orang lain, dan menjelaskan bahwa tidak ada jawaban benar
dan salah dalam setiap permasalahan kehidupan. Pendekatan dengan
menampilkan moral dilemma ini menjadikan anak Amerika piawai dalam
memutuskan benar dan salah dari sisi pandangan pribadinya (personal point of
view).
Salah seorang pencetus values clarification yakni Sidney Simon dari School of
Education at the University of Massachusetts, menolak apa yang disebutnya
kesalahan fundamental dalam pendekatan tradisional untuk pendidikan moral
yakni dengan melakukan indoktrinasi. Karena menurutnya indoktrinasi dalam
pendidikan moral tradisional akan menyebabkan siswa didik tidak mampu untuk
menjelaskan pilihan keputusannya, dia mengatakan : none of us has the right set
of values to pass on to others people's children (Brooks and Goble). Oleh sebab
itu dalam pendekatan values clarification para siswa diajarkan tentang ethical
relativism dan bagaimana setiap manusia mengembangkan sistem nilainya
sendiri-sendiri. Para guru disodori oleh materi permasalahan atau dilema moral
yang dirancang sedemikian rupa hingga setiap siswa mampu menemukan
nilainya sendiri. Kohlberg juga sejalan dengan Simon dimana ia mengkritik cara
pendidikan moral tradisional yang dianggapnya sangat tidak berguna dan
totalitarian. Dia mengatakan bahwa pemaksaan nilai tersebut merupakan
pelanggaran terhadap kebebasan moral anak (child's moral freedom).
Bangsa Amerika dengan masyarakat yang begitu pluralistik juga telah
menyebabkan sistem pendidikannya mengakomodasi beragam keinginan
manusia yang sangat heterogen tersebut. Oleh sebab itu pendekatan moral
reasoning dan “values clarification” mulai diterapkan dalam pendidikan moral di
Amerika sejak tahun 60-an, yang dipelopori oleh sosiolog Louis E. Raths, Merrill
Harmin dan Sidney B. Simon. . Mulai periode ini sistem pendidikan Amerika
tidak lagi berfungsi membentuk moral dan karakter siswa didik. Sebaliknya siswa
didorong untuk tumbuh dan berkembang kebebasannya dengan mengenalkan
bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam kehidupan selama hati nurani
menyatakan benar sebagaimana dituliskan Brooks dan Goble:
“values clarification is concerned not with which values people develop but how
they develop their values. The approach seeks to promote growth, freedom, and
ethical maturity. It start with the recognition that there’s no right or wrong answer
to any question of value”
Kilpatrick (1992) menyebutkan bahwa pendekatan moral reasoning telah
mengakibatkan ketidakmampuan manusia untuk membedakan baik dan benar
karena setiap orang mempunyai pendapat sendiri-sendiri tentang baik dan
benar. Anak-anak Amerika telah terbiasa untuk diajarkan tentang kenapa dia
melakukan tindakan tersebut dan semua pendapat tersebut harus dihargai baik
oleh rekan lain maupun oleh guru. Misalnya ketika seseorang mencuri (shop-
lifting) di sebuah supermarket, maka pertanyaan guru kepada muridnya adalah
bagaimana pandangan anda terhadap kasus ini?
Generasi muda ini memandang bahwa segala sesuatu itu OK saja selama saya
dan kamu juga OK, seperti diilustrasikan Ryan dan Bohlin (1999): “Iam OK and
you’re OK, and different strokes for different folks, and that’s OK”. Dengan nilai-
nilai kebebasan dan kemerdekaan yang luar biasa ini maka masyarakat Amerika
telah berubah drastis selama 3 dekade mulai tahun 60-an hingga tahun 1990-an.
Secara tidak langsung pendekatan moral reasoning dan values clarification yang
sangat humanis telah merusak otoritas agama dan otoritas orangtua terhadap
anak yang selanjutnya meningkatkan demoralisasi atas bangsa Amerika, suatu
hal yang sangat tidak diharapkan bahkan oleh salah seorang pencetus
pendekatan ini yaitu Howard Kirschenbaum.
III. PEMBENTUKAN INDIVIDU BARU
Pendidikan moral adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas
nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi
manusia yang baik (good people) (Nord and Haynes, 2002). Tujuan lainnya
adalah membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi
muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab
(informed and responsible judgement) atas hal atau permasalahan rumit yang
dihadapinya dalam kehidupan.
Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman
kebiasaan (cultivation) yang menekankan pada mana benar dan salah secara
absolut. Hal yang diajarkan kepada siswa didik adalah mengenalkan pada
mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman dan sanksi secara
langsung maupun tak langsung manakala terjadi pelanggaran. Begitulah apa
yang telah dilakukan oleh agama manapun dalam membentuk karakter umatnya,
yaitu dengan janji pemberian hadiah atau pahala jika berbuat kebaikan dan
pemberian siksa dan dosa jika berbuat kejahatan.
Dalam pendidikan moral secara konvensional maka untuk membentuk moral yang
baik dari seseorang diperlukan latihan dan praktek yang terus menerus dari
individu seperti dikatakan oleh Jon Moline dalam Lickona (1992):
“As Aristotle taught, people do not naturally or spontaneously grow up to be
morally excellent or practically wise. They become so, if at all, only as the result
of a lifelong personal and community effort”.
Disamping itu kepercayaan bahwa kekuatan supranatural akan menolong dan
melakukan pengawasan merupakan inti dari pendidikan moral tradisional.
Sehingga manusia tidak hanya menjadi baik moralnya jika ada kehadiran guru
atau atasan, tetapi manusia menjadi baik moralnya secara konsisten meskipun
tanpa kehadiran pengawas atau orang lain di sekitarnya. Pada prinsipnya 'you
are what you are when nobody's arround'. Esensi perbuatan yang tanpa pamrih
(Ikhlas dalam Islam) ini menjadi ruh bagi tingginya derajat moral baik seseorang.
Untuk mencapai masyarakat yang harmoni, teratur, tertib dan aman, sebagai
suatu masyarakat yang diidam-idamkan setiap bangsa bukanlah pekerjaan yang
mudah. Meskipun demikian sejak jaman sebelum masehi para filosof dan pemikir
telah membuat suatu tanda dan prasyarat tentang bagaimana suatu bangsa
selayaknya diatur oleh negara guna mencapai masyarakat dan bangsa yang kuat,
secara fisik dan moralnya demi mencapai kesejahteraan bangsa.
Dikutip dari Brooks dan Goble (1997), Confucius, seorang filsuf Cina pada abad
ke lima sebelum masehi menyatakan bahwa manusia mempunyai moral alamiah,
tetapi walapun dia diberi secukupnya, secara hangat direngkuh, dan secara
nyaman dipenuhi, tanpa dibarengi oleh instruksi, maka manusia akan berubah
menjadi binatang (“beast”). Bahkan pada abad ke 27 sebelum masehi, seorang
filsuf Mesir, Ptah hotep, menulis bahwa yang paling berharga bagi seorang
manusia adalah kebajikan dari anak laki-lakinya, dan karakter baik yang paling
dikenang. Dwight D. Eisenhower presiden Amerika Serikat menyebutkan pula
bahwa tanpa moral dan spiritual, tidak akan ada harapan bagi bangsa Amerika:
“without a moral and spiritual awekening there is no hope for us”
Oleh sebab itu pendidikan moral kepada manusia merupakan prasayarat (pre-
requisite) bagi terciptanya masyarakat madani. Sejalan dengan itu adalah apa
yang tertulis dalam “Nortwest Ordinance enacted in 1787 yang menyatakan
bahwa:
“religion, morality, and knowledge being necessary to good government and
the happines of mankind, schools and the means of education shall forever be
encouraged”
Pembentukan Individu Baru Melalui Keluarga
Berbeda dari makhluk hidup lainnya, ketika dilahirkan manusia baru (newborn
baby) merupakan makhluk yang tidak berdaya, dan amat sangat tergantung
(dependence) pada pengasuhnya dalam hal ini pada ibunya. Menurut Neuman
(1990) hubungan ibu-anak bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan (intra-
uterine) yakni pada masa uroboric dimana terjadi kesatuan (unity) antara diri (the
self), ego dan kebenaran (ruh Tuhan, the light). Pada masa uroboric ini hingga
individu berusia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan
pembentukan diri individu, yang disebut Neuman sebagai primal relationship.
Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap
anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses social-
modelling. Bagaimana cara ibu mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan
dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan
membentuk perilaku manusia muda tersebut. Menurut Rohner dalam bukunya
the warmth dimension of parenting dikatakan bahwa seorang anak mempunyai
perilaku baik atau buruk didasarkan atas cara pengasuhan yang diberikan
ibunya. Anak-anak yang diasuh dengan cara diterima (acceptance) akan menjadi
anak yang tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan anak yang diasuh
dengan cara ditolak (rejection). Anak-anak yang diasuh dengan kekerasan juga
belajar kekerasan pertama kali dari ibunya, sehingga ia juga akan tumbuh menjadi
anak yang menolak (anti-social) dan seringkali diikuti oleh perilaku destruktif.
Sebaliknya anak-anak manusia yang diasuh dengan kasih sayang juga akan
memiliki ikatan kasih sayang yang kuat dengan ibunya (emotional bonding) dan
cenderung menjadi anak yang patuh (obedience) dibandingkan anak yang lemah
ikatan emosionalnya. Oleh sebab itu apa yang terjadi pada anak Jepang yang
diasuh ibu dan jarang dipisahkan dari ibunya memiliki ikatan emosional yang lebih
tinggi dibandingkan anak-anak barat (western society) pada umumnya, dan
ternyata anak-anak Jepang tersebut tumbuh menjadi anak yang patuh dan hormat
kepada orangtuanya serta memiliki prestasi akademik lebih baik dibandingkan
anak-anak barat (Schikendanz, 1986). .
Keharmonisan dalam keluarga sebagaimana dipercaya oleh para
environmentalism juga mempunyai kontribusi terhadap bagaimana perilaku anak
manusia. Hal ini telah dibuktikan oleh para ahli selanjutnya, seperti diungkapkan
Fagan (1995) bahwa anak-anak yang melakukan kenakalan dan pelanggaran
hukum dan norma adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak
harmonis, orangtua tunggal atau orangtua yang menikah kembali (step parent
family). Anak yang dibesarkan dari keluarga seperti itu juga cenderung memiliki
pengalaman pahit dan buruk dalam masa kecilnya, mereka seringkali disiksa
(physically or sexually abused), dan mengalami perceraian beberapa kali dalam
masa kanak-kanaknya, sehingga anak-anak tersebut belajar kekerasan dan
kekejaman dari orangtuanya dan tumbuh menjadi manusia yang keras dan kejam
pula.
Contoh yang buruk dari hubungan suami dan istri juga menjadi teladan yang
buruk bagi kehidupan pernikahan anak tersebut ketika menjadi dewasa. Mereka
kehilangan komitmen terhadap pasangan, sangat menjunjung tinggi aktualisasi
diri dan kebebasan, hingga angka perceraian di Amerika dan kebanyakan negara
maju lainnya meningkat tajam pada dekade ini. Karena itu anak-anak yang
berasal dari keluarga seperti ini akan menjadi manusia yang kehilangan nilai
konvensional dan tradisional tentang keluarga. Bagi mereka perceraian bukanlah
sesuatu yang salah, meskipun agama Katolik telah mengharamkan terjadinya
perceraian, dan agama Islam telah menyatakan bahwa Tuhan membenci
perceraian. Terlebih sistem hukum negara saat ini seperti di Amerika Serikat telah
memungkinkan terjadinya perceraian meski tanpa sebab adanya kesalahan (no
vault divorce). Dampaknya adalah pada menurunnya nilai komitmen dan
pengorbanan yang selayaknya ada pada sebuah keluarga. Hal ini secara tak
langsung dapat menggerus bukan saja nilai keluarga tetapi juga nilai pribadi saat
berhubungan dengan tanggungjawab sosial (civic responsibility). Kebanyakan
orang saat ini terlalu memperhitungkan untung dan rugi ketika berhubungan
dengan orang lain, termasuk dalam sebuah pernikahan.
Oleh sebab itu keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam
memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya.
Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan
di sekolah, maupun di institusi keagamaan.
Pembentukan Individu Baru Melalui Pendidikan Karakter
Sekolah merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk
meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi ia juga
bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab siswa dan kapasitas
pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti dikatakan Horace
Mann (1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut:
“the highest and noblest office of education pertains to our moral nature. The
common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge without virtue
poses its own dangers “(dikutip dari Admunson dalam Boyer, 1995).
Oleh sebab itu Horace Mann (1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa
sekolah negeri haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas
(free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak
memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann maupun
John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai
penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic
virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah
satu pihak tertentu (sectarian ends).
Kegagalan pendekatan moral reasoning dan values clarification yang mulai
dirasakan akibatnya pada demoralisasi masyarakat di era tahun 90-an telah
membuat titik balik dalam pendidikan moral di Amerika Serikat. Berdasarkan
kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja,
dan sarjana etik (ethics scholars) yang menaruh perhatian pada kondisi ini
melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen
yang berisi antara lain keyakinan bahwa generasi berikutnya adalah penentu bagi
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan
warga negara yang baik (caring citizenry) dengan karakter moral yang baik pula.
Mereka juga yakin bahwa seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter
moral yang baik sehingga perlu dipikirkan upaya untuk mendidik karakter secara
efektif (effective character education).

Untuk itulah kemudian disusun suatu model baru dalam pendidikan moral yang
berujung pada pendidikan karakter agar penyakit yang berada dalam masyarakat
Amerika maupun negara manapun di belahan bumi ini dapat diobati. Brooks dan
Goble menyarankan dalam bukunya The Case for Character Education agar
sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan
diajarkan pada siswa di sekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang
akan diajarkan pada siswa (what values should we teach?). Dia juga
menekankan bahwa agama-agama besar di Amerika telah memiliki kesamaan
dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat
ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya:
It is important to note that the authors' recent experience with groups of teachers
in different religious schools has clearly indicated that the various world religions
do have a common set of core values. Work with Muslim, 7th Day Adventist,
Lutheran, Jewish and Roman Catholic educators all resulteed in the generation of
a list of values that were overlapping. All groups listed such values as honesty,
respect, courage, perseverence, responsibility, and caring as common values that
must be taught in their school”
Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting
dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan
pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-
anak Amerika menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang
terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian
anak ketika dewasa kelak.
Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya
pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan
demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari
esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya
agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau
kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari
metode pendidikan pun tampaknya terrjadi kelemahan karena metode pendidikan
yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak
kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan siswa didik untuk mengetahui dan menghafal
(memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan
nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai
kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan
metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia. Karena itu
tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan
di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran
orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca:akhlak)
menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh
kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa
keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan
di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam
Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan
prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Karakter
Kilpatrick dan Lickona merupakan pencetus utama pendidikan karakter yang
percaya adanya keberadaan moral absolute dan bahwa moral absolute itu perlu
diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan
benar. Lickona (1992) dan Kilpatrick (1992) juga Brooks dan Goble tidak
sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values clarification yang
diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral
universal yang bersifat absolut (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari
agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the golden rule”. Contohnya
adalah berbuat jujur, menolong orang, hormat dan bertanggungjawab.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena
bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu
pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik
sehingga siswa didik menjadi faham (domein kognitif) tentang mana yang baik
dan salah, mampu merasakan (domein afektif) nilai yang baik dan mau
melakukannya (domein psikomotor). Seperti kata Aristotle, karakter itu erat
kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan
dilakukan.
Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to
mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang
yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang
berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong
dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat
kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa
disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai
dengan kaidah moral.

Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu


menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition)
menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja
perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan
karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika seseorang
berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan
karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh
sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein
affection atau emosi). Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam
pendidikan karakter disebut “desiring the good” atau keinginan utnuk berbuat
kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus
melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga
“desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling) dan “acting the good”
(moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang
terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
Karakter dan Keberhasilan Akademik Anak
Dalam bukunya yang membahas tentang kecerdasan emosi atau Emotional
Intelligence, Daniel Goleman (1995) mengungkapkan pentingnya kemampuan
untuk menguasai emosi (kecerdasan emosi) sebagai penentu keberhasilan
akademik anak, melebihi kemampuan intelektual (Intellectual Quotient=IQ) yang
selama ini diakui berhubungan nyata dengan prestasi akademik siswa. Bahkan
Goleman menyatakan bahwa 80 persen kesuksesan seseorang ditentukan oleh
kecerdasan emosinya (Emotional Quotient=EQ), sementara hanya 20 persen
ditentukan oleh IQ-nya.
Menurut Dorothy Rich (1997) terdapat nilai (values), kemampuan (abilities) dan
mesin dalam tubuh (inner engines) yang dapat dipelajari oleh anak dan
berperanan amat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah dan di masa
mendatang. Hal ini ia percaya dapat dipelajari dan diajarkan oleh orangtua
maupun sekolah yang dinamakannya Mega skills, meliputi :

1. percaya diri (confidence);


2. motivasi (motivation);
3. usaha (effort);
4. tanggungjawab (responsibility),
5. inisiatif (initiative),
6. kemauan kuat (perseverence),
7. kasih sayang (caring),
8. kerjasama (team work),
9. berpikir logis (common sense),
10. kemampuan pemecahan masalah (problem solving), serta
11. berkonsentrasi pada tujuan (focus).
Dilaporkan oleh Chicago Tribune dalam Megawangi (2002) bahwa US
Departement of Health and Human Services menyebutkan beberapa faktor resiko
tentang kegagalan sekolah pada anak. Faktor resiko tersebut bukan pada
kemampuan kognitif anak melainkan pada kemampuan psikososial anak,
terutama kecerdasan emosi dan sosialnya yang meliputi:
1. percaya diri (confidence),
2. kemampuan kontrol diri (self-control),
3. kemampuan bekerjasama (cooperation),
4. kemudahan bergaul dengan sesamanya (socializaation),
5. kemampuan berkonsentrasi (concentration),
6. rasa empati (empathy) dan
7. kemampuan berkomunikasi (comunication).
Nilai-nilai yang Diajarkan Dalam Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingya tiga
komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral
knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang
moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa
didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai
kebajikan.
Moral Knowing. Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral
knowing yaitu: 1) moral awereness, 2) knowing moral values, 3) persperctive
taking, 4) moral reasoning, 5) decision making dan 6) self-knowledge.
Moral Feeling. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus
mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni : 1)
conscience, 2) self-esteem, 3) empathy, 4) loving the good, 5) self-control dan 6)
humility.
Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua
komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang
dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari
karakter yaitu : 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will) dan 3) kebiasaan
(habit).
Untuk itu dalam Deklarasi Aspen dihasilkan enam nilai etik utama (core ethical
values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di
Amerika yang meliputi:
1) dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas
(integrity),
2) memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect),
3) bertanggungjawab (responsible),
4) adil (fair),
5) kasih sayang (caring) dan
6) warganegara yang baik (good citizen).
Ratna Megawangi sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah
menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang
kemudian disebut sebagai 9 pilar yaitu:
1. Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2. Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self
reliance, discipline, orderliness)
3. Amanah (trustworthiness, reliability, honesty)
4. Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience)
5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy,
generousity, moderation, cooperation)
6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness,
creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm)
7. Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9. Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Elemen dan Pendekatan Pendidikan Karakter
Menurut Brooks dan Gooble dalam menjalankan pendidikan karakter terdapat tiga
elemen yang penting untuk diperhatikan yaitu prinsip, proses dan prakteknya
dalam pengajaran. Dalam menjalankan prinsip itu maka nilai-nilai yang diajarkan
harus termanifestasikan dalam kurikulum sehingga semua siswa dalam sekolah
faham benar tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam
perilaku nyata. Untuk itu maka diperlukan pendekatan optimal untuk mengajarkan
karakter secara efektif yang menurut Brooks dan Goble harus diterapkan di
seluruh sekolah (school-wide approach). Pendekatan yang sebaiknya
dilaksanakan adalah meliputi:
1. sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang diibaratkan seperti
pulau dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun sekolah juga harus
memperluas pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa didik,
tetapi juga kepada keluarga/rumah dan masyarakat sekitarnya.
2. Dalam menjalankan kurikulum karakter maka sebaiknya: 1) pengajaran
tentang nilai-nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan; 2)
diajarkan sebagai subyek yang berdiri sendiri (separate-stand alone subject)
namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan; 3) seluruh staf
menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan.
3. Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa
menterjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro-sosial.
Mengingat moral adalah sesuatu yang bersifat abstrak maka nilai-nilai moral
kebaikan harus diajarkan pada generasi muda ini. Oleh sebab itu tema yang
sesuai dengan usia anak dalam berpikir konkrit perlu diakomodasi. Cerita-cerita
kepahlawanan dan kisah kehidupan yang perlu diteladani baik dari para orang
bijak, maupun para pejuang bangsa dan humanisme tetap diperlukan. Bahkan
imajinasi anak terhadap kehidupan yang ideal ini (meskipun apa yang dilihatnya
dari sekitarnya tidaklah demikian) perlu ditekankan kepada anak agar ia mencintai
kebajikan dan terdorong untuk berbuat hal yang sama.
Kritik para pendidik progresif tentang indoktrinasi nilai (Simon, Kirschenbaum,
dan lain-lain) sebagai sesuatu hal yang tidak boleh dipaksakan kepada anak
justru merupakan kelemahan dari mereka sendiri. Sebab pendidikan tanpa nilai
moral seperti yang mereka lakukan kepada siswa didik adalah merupakan nilai
sendiri. Karena itu dalam mendidik karakter pada anak pengenalan dini terhadap
nilai baik dan buruk sangat diperlukan. Namun sejalan dengan perkembangan
usia anak maka alasan (reason) atau mengapa (why) di balik nilai-nilai baik dan
buruk dapat mulai diajarkan kepada siswa didik. Sekali lagi perlu difahami benar
oleh para pendidik dan pemerhati kehidupan bangsa, bahwa pendidikan moral
dan karakter adalah seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi yang
memiliki tujuan mulia dalam membentuk moral manusia, sebab tanpa moral maka
manusia seperti dikatakan Wilson (1997) hanyalah seperti "social animal". Untuk
itu maka tugas para pendidik dan sekolah-lah untuk menjadikan manusia menjadi
makhluk baik yang beradab dan berbudi luhur, seperti dikatakan Lickona :
"Moral education is not a new idea. It is in fact, as old as education itself. Down
through history, in countries all over the world, education has had two great goals:
to help young people become smart and to help them become good"
IV. PENUTUP
Demoralisasi berkaitan dengan ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan
ego dan kontrol diri. Kebebasan ekspresi, kemerdekaan individu dan kelahiran
paham possitivism menyebabkan manusia senantiasa mempertanyakan
kebenaran dari perbuatan baik (the virtues, the goodness and the golden rule).
Padahal para filsuf pendidikan seperti Horace Mann dan John Dewey telah
meyakini perlunya kebajikan (virtues) dalam mendidik manusia selain
pengetahuan (knowledge). Kehancuran institusi keluarga dan lemahnya standar
moral dalam keluarga dan masyarakat dianggap sebagai salah satu penyebab
utama kejadian demoralisasi. Oleh karena itu dalam pembentukan manusia
berkualitas pendidikan karakter amat diperlukan agar manusia bukan hanya
mengetahui kebajikan (knowing the good) tetapi juga merasakan (feeling the
good), mencintai (loving the good), menginginkan (desiring the good) dan
mengerjakan (acting the good) kebajikan. Metode pendidikan melalui otak kiri
dengan hafalan konsep (memorization in learning) harus dirubah dengan metode
yang lebih menekankan pada otak kanan dengan perasaan, cinta, serta
pembiasaan dan amalan kebajikan di dalam keluarga maupun sekolah.
V. DAFTAR PUSTAKA
Bennet,W.J. 1991. Moral Literacy and the Formation of Character. In:
J.S.Bennigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the
Elementary School. Teachers College Press, New York.
Berkowitz,M.W. 1998. The Education of Complete Moral Person
Brooks,B.D. and F.G.Goble. the Case for Character Education: The Role of the
School in Teaching Values and Virtues. Studios 4 Productions.
Boyer,E.L. 1995. Character in the Basic School, Making a Commitment to
Character.
Dina,W.F., I.D.Puspita, E.Tanjung,R.Widiastuti. 2001. Laporan Karya Ilmiah
Produktif Bidang Sosial. Jurusan GMSK,Faperta, IPB.
Fagan,P.F. 1995. The Real Root Causes of Violent Crime: the Breakdown of
Marriage, Family and Community.
Goleman,D. 1995. Emotional Intelligence; Why It Can Matter More than IQ.
Bantam Books, New York.
Horn,W.F. 1991. Children and Family in America: Chalange for the 1990s.
Kilpatrick,W. 1992. Why Johny Can’t Tell Right From Wrong. Simon &
Schuster, Inc. New York.
Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect
and Responsibility. Bantam Books, New York.
_________. 1994. Raising Good Children: From Birth Through the Teenage
Years. Bantam Books, New York.
Mack,D. 1997. The Assault on Parenthood: How Our Culture Undermine the
Family.
Megawangi,R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender. Pustaka Mizan, Bandung.
Neuman,E. 1990. The Child. Shambala Publications,Inc., Massachusetts.
Nord,W.A. and C.C.Haynes. 2002. The Relationship of Religion to moral
Education in the Public Schools.
Pickthall,Y.A. 2002. Statistics of Teens. Dikunjungi di: Info@soundvision.com.
Pada bulan Oktober 2001.
Rich,D. 1997. Mega Skills, Building Children’s Achievement for the Information
Age. Houghton Mifflin Company, New York.
Rohner,R. 1986. The Warmth Dimension of Parenting: Parental Acceptance-
Rejection Theory. Sage Publications, California.
Ryan and Bohlin. 1999. Values, Views or Virtues?
Schikendanz,J. 1995. Family Socialization and Academic Achievement. Boston
University Press.
Vasta,R., M.M.Haith,S.A.Miller. 1992. Child Psychology: The Modern Science.
John Wiley & Sons Inc., New York.
Wade,C. and C.Tavris. 1990. Psychology. Harper & Row Publishers, New York.
Wilson,J.Q. 1993. The Moral Sense. Simon & Schuster Inc,New York.
Wynne,E.A. 1991. Character and Academics in the Elementary School. In J.S.
Benigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the Elementary
School. Teachers College Press, New York.
KETUA,
H. Harmoko

WAKIL KETUA,
Hari Sabarno, S.IP., M.B.A., M.M.

WAKIL KETUA,
dr. Abdul GafurWAKIL KETUA,
H. Ismail Hasan Metareum, S.H
WAKIL KETUA,
Hj. Fatimah Achmad, S.H.
WAKIL KETUA,
Poedjono Pranyoto
Topics List > Topic:
Database
TAP MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak
Asasi Manusia
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dianugerahi hak dasar yaitu hak asasi, untuk dapat
mengembangkan diri pribadi, peranan dan sumbangan
bagi kesejahteraan hidup manusia;
b. bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan
kehendak bagi pelaksanaan hak asasi manusia dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara;
c. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat
dunia patut menghormati hak asasi manusia yang
termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai
instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi
manusla;
d. bahwa berhubung dengan itu perlu adanya Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
tentang Hak Asasi Manusia.

Mengingat:
1. Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 18, Pasal 26, Pasal 27,
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan
Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Pernusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata
Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah dan
ditambah terakhir dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
I/MPR/I 998.

Memperhatikan:
1. Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 10/PIMP./1998
tentang Penyelenggaraan Sidang Istimewa Majelis
Perrnusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
2. Permusyawaratan dalam Sidang Istimewa Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 10
sampai dengan 13 November 1998 yang membahas
Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia tentang Hak Asasi Manusia yang
dipersiapkan oleh Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
I. PANDANGAN DAN SIKAP BANGSA INDONESIA TERHADAP HAK
ASASI MANUSIA

A. PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar
yang disebut hak asasi. tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya. Dengan hak asasi
tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan. dan sumbangannya
bagi kesejahteraan hidup manusia.

Manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara. dalam mengembangkan
diri, berperan dan memberikan sumbangan bagi kesejahteraan hidup manusia,
ditentukan oleh pandangan hidup dan kepribadian bangsa.

Pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia sebagai kristalisasi nilainilai


luhur bangsa Indonesia, menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai
makhluk pribadi dan juga makhluk sosial. sebagaimana tertuang dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.

Bangsa Indonesia menghormati setiap upaya suatu bangsa untuk menjabarkan dan
mengatur hak asasi manusia sesuai dengan sistem nilai dan pandangan hidup masing-
masing. Bangsa Indonesia menjunjung tinggi dan menerapkan hak asasi manusia
sesuai dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.

Sejarah dunia mencatat berbagai penderitaan. kesengsaraun dan kesen jangan sosial
yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik. ras, warna
kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin. dan status sosial lainnya.
Menyadari bahwa perdamaian dunia serta kesejahteraan merupakan dambaan umat
manusia, maka hal-hal yang menimbulkan pendentuan. kesengsaraan dan kesenjangan
serta yang dapat menurunkan harkat dan martabat manusia harus ditanggulangi oleh
setiap bangsa.

Bangsa Indonesia, dalam perjalanan sejarahnya mengalami kesengsaraan dan


penderitaan yang disebabkan oleh penjajahan. Oleh sebab itu Pembukaan
UndangUndang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala
bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Bangsa Indonesia bertekad ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
yang pada hakikatnya merupakan kewajiban setiap bangsa. sehingga bangsa Indonesia
berpandangan bahwa hak asasi manusia tidak terpisahkan dengan kewajibannya.

B. LANDASAN

1. Bangsa Indonesia mempunyai pandangan dan sikap mer~genai hak asasi manusia
yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya
bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Bangsa Indonesia sebagai anggota Peserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai
tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional
lainnya mengenai hak asasi manusia.

C. SEJARAH, PENDEKATAN; DAN SUBSTANSI

1. Sejarah

Dalam perjalanan sejarah, bangsa Indonesia sejak awal perjuangan pergerakan


kemerdekaan Indonesia sudah menuntut dihormatinya hak asasi manusia. Hal tersebut
terlihat jelas dalam tonggak-tonggak sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia melawan penjajahan sebagai berikut:

a. Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, yang diawali dengan lahirnya berbagai


pergerakan kemerdekaan pada awal abad 20, menunjukkan kebangkitan bangsa
Indonesia untuk membebaskan diri dari penjajahan bangsa lain.
b. Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, membuktikan bahwa bangsa
Indonesia menyadari haknya sebagai satu bangsa yang bertanah air satu dan
menjunjung satu bahasa persatuan Indonesia.
c. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan
puncak perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia diikuti dengan penetapan
Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dalam
Pembukaannya mengamanatkan: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa. Oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Undang-Undang Dasar 1945
menetapkan aturan dasar yang sangat pokok, termasuk hak asasi manusia.
d. Rumusan hak asasi manusia dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia secara
eksplisit juga telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Kedua konstitusi tersebut
mencantumkan secara rinci ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia. Dalam
sidang Konstituante upaya untuk merumuskan naskah tentang hak asasi manusia juga
telah dilakukan.
e. Dengan tekad melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka pada Sidang Umum MPRS tahun 1966 telah ditetapkan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sementara Nomor
XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk menyiapkan Dokumen
Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan Hakhak serta Kewajiban Warga Negara.
Berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS tanggal 6 Maret 1967 Nomor 24/B/1967,
hasil kerja Panitia Ad Hoc diterima untuk dibahas pada persidangan berikutnya.
Namun pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 Rancangan Piagam tersebut tidak
dibahas karena Sidang lebih mengutamakan membahas masalah mendesak yang
berkaitan dengan rehabilitasi dan konsolidasi nasional setelah terjadi tragedi nasional
berupa pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965, dan menata kembali kehidupan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
f. Terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 50 Tahun }993, yang mendapat tanggapan positif masyarakat
menunjukkan besarnya perhatian bangsa Indonesia terhadap masalah penegakan hak
asasi manusia, sehingga lebih mendorong bangsa Indonesia untuk segera merumuskan
hak asasi manusia menurut sudut pandang bangsa Indonesia.
g. Kemajuan mengenai perumusan tentang hak asasi manusia tercapai ketika Sidang
Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1998 telah
tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara secara lebih rinci.

2. Pendekatan dan Substansi

Perumusan substansi hak asasi manusia menggunakan pendekatan normatif, empirik,


deskriptif, dan analitik sebagai berikut:

a. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sitatnya
kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk
menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan
masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu-gugat oleh
siapapun.
b. Masyarakat Indonesia yang berkembang sejak masih sangat sederhana sampai
modern, pada dasarnya merupakan masyarakat kekeluargaan. Masyarakat
kekeluargaan telah mengenal pranata sosial yang menyangkut hak dan kewajiban
warga masyarakat yang terdiri atas pranata religius yang mengakui bahwa manusia
adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala hak dan kewajibannya; pranata
keluarga sebagai wadah manusia hidup bersama untuk mengembangkan keturunan
dalam menjaga kelangsungan keberadaannya; pranata ekonomi yang merupakan
upaya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan; pranata pendidikan dan pengajaran
untuk mengembangkan kecerdasan dan kepribadian manusia; pranata informasi dan
komunikasi untuk memperluas wawasan dan keterbukaan; pranata hukum dan
keadilan untuk menjamin ketertiban dan kerukunan hidup; pranata keamanan untuk
menjamin keselamatan setiap manusia. Dengan demikian substansi hak asasi manusia
meliputi: hak untuk hidup; hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; hak
mengembangkan diri; hak keadilan; hak kemerdekaan; hak berkomunikasi; hak
keamanan; dan hak kesojahteraan.
c. Bangsa Indonesia menyadari dan mengakui bahwa setiap individu adalah bagian
dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat terdiri dari individuindividu yang
mempunyai hak asasi serta hidup di dalam lingkungan yang merupakan sumber daya
bagi kehidupannya. Oleh karena itu tiap individu di samping mempunyai hak asasi,
juga mengemban kewajiban dan tanggupg jawab untuk menghormati hak asasi
individu lain, tata tertib masyarakat serta kelestarian fungsi, perbaikan tatanan dan
peningkatan mutu lingkungan hidup.

D. PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA BAGI BANGSA INDONESIA

1. Hak asasi merupakan hak dasar selurnh umat manusia tanpa ada perbedaan.
Mengingat hak dasar merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka
pengertian hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa
yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan
dengan harkat dan martabat manusia.

2. Setiap manusia diakni dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa
membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik,
status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian atau perampasannya,
mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang
dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh.

3. Bangsa Indonesia menyadari baLwa hak asasi manusia bersifat historis dan dinamis
yang pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

II. PIAGAM HAK ASASI MANUSIA

PEMBUKAAN

Bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang berperan sebagai
pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam ketaatan
kepadaNya. Manusia dianugerahi hak asasi dan memiliki tanggung jawab serta
kewajiban untuk menjamin keberadaan, harkat, dan martabat kemuliaan kemanusiaan,
serta menjaga keharmonisan kehidupan.

Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia
secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. meliputi
hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan. hak
kemerdekaan. hak berkomunikasi. hak keamanan. dan hak kesejahteruan. yang oleh
karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Selan jutnya manusia
juga mempunyai hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan
kehidupannya dalam masyarakat.

Bahwa didorong oleh jiwa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan Republik


Indonesia, bangsa Indonesia mempunyai pandangan mengenai hak asasi dan
kewajiban manusia. yang bersumber dari ajaran agama. nilai moral universal. dan
nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.

Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan Deklarasi


Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Oleh karena
itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai
tanggung jawab untuk menghormati ketentuan yang tercantum dalam deklarasi
tersebut.

Bahwa perumusan hak asasi manusia pada dasarnya dilandasi oleh pemahaman suatu
bangsa terhadap citra. harkat. dan martabat diri manusia itu sendiri. Bangsa Indonesia
memandang bahwa manusia hidup tidak terlepas dari Tuhannya. sesama manusia, dan
lingkungan

Bahwa bangsa Indonesia pada hakikatnya menyadari, mengakui, dan menjamin serta
menghormati hak asasi.manusia orang lain juga sebagai suatu kewajiban. Oleh karena
itu hak asasi dan kewajiban manusia terpadu dan melekat pada diri manusia sebagai
pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa dan warga
negara serta anggota masyarakat bangsa-bangsa.
Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, demi terwujudnya masyarakat Indonesia
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka bangsa Indonesia menyatakan
Piagam Hak Asasi Manusia.

BAB I
HAK UNTUK H1DUP

Pasal 1
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.

BAB II
HAK BERKELUARGA DAN MELANJUTKAN KETURUNAN

Pasal 2
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.

BAB III
HAK MENGEMBANGKAN DIRI

Pasal 3
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan da'sarnya uotuk tumbut berkembang
secara layak.

Pasal 4
Setiap orang berhak atas perlindungan dan kasih sayang untuk pengembangan
pribadinya, memperoleh, dan mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan
kualitas hidupnya.

Pasal 5
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi kesejahteraan umat manusia.

Pasal 6
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dengan memperjuangkan hal haknya
secara kolektif serta membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

BAB IV
HAK KEADILAN

Pasal 7
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlal hukum yang
adil.

Pasal 8
Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang san hadapan
hukum.

Pasal 9
Setiap orang dalam hubungan kerja berhak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak.

Pasal 10
Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Pasal 11
Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja.

Pasal 12
Setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

BAB V
HAK KEMERDEKAAN

Pasal 13
Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 14
Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati

Pasal 15
Setiap orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran.

Pasal 16
Setiap orang bebas memilih pekerjaan.

Pasal 17
Setiap orang bebas memilih kewarganegaraan.

Pasal 18
Setiap orang bebas untuk bertempat tinggal di wilayah negara, meninggalkannya, dan
berhak untuk kembali.

Pasal 19
Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.

BAB Vl
HAK ATAS KEBEBASAN INFORMASI

Pasal 20
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Pasal 21
Setiap orang herhak untuk mencari, rnemperoleh, mcmiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan intormasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.

BAB V11
HAK KEAMANAN

Pasal 22
Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbnat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 23
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan hak miliknya.

Pasal 24
Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari
negara lain.

Pasal 25
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia.

Pasal 26
Setiap orang berhak ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

BAB VIII
HAK KESEJAHTERAAN

Pasal 27
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin.

Pasal 28
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pasal 29
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Pasal 30
Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan kbusus di masa kanak-
kanak, di hari tua, dan apabila menyandang cacat.

Pasal 31
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Pasal 32
Setiap orang berhak rnempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Pasal 33
Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layal; bagi kemanusiaan.

BAB IX
KEWAJIBAN

Pasal 34
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Pasal 35
Setiap orang wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Pasal 36
Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

BAB X
PERLINDUNGAN DAN PEMAJUAN

Pasal 37
Hak untuk hidup. hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak. hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum. dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non -
derogable).

Pasal 38
Setiap orang berhak bebas dari dan mendapatkan perlindungan terh perlakuan yang
bersifat diskriminatif.

Pasal 39
Dalam pemenuhan hak asasi manusia, laki-laki dan perempuan be mendapatkan
perlakuan dan perlindungan yang sama.

Pasal 40
Kelompok masyarakat yang rentan, seperti anak-anak dan fakir miskin, be
mendapatkan perlindungan lebih terhadap hak asasinya.

Pasal 41
Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah u dilindungi, selaras
dengan perkembangan zaman.

Pasal 42
Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan
dilindungi.

Pasal 43
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi man terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah.

Pasal 44
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Keterangan Artikel
Sumber:
Tanggal: 29 Jun 02
Catatan:

KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT

Oleh: Sugeng Riyadi, S.Kep, Ns

A. Falsafah

Keyakinan terhadap nilai kemanusiaan yang menjadi pedoman dalam


melaksanakan asuhan keperawatan kesehatan masyarakat daik untuk individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat.

1. Perawatan Kesehatan Masyarakat adalah pekerjaan luhur dan


manusiawi yang ditujukan untuk klien.
2. Perawatan Kesehatan Masyarakat adalah upaya berdasarkan
kemanusiaan untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
bagi terwijudnya manusia sehat khususnya dan masyarakat yang sehat
pada umumnya.
3. Pelayanan Perawatan Kesehatan Masyarakat harus terjangkau dan
dapat diterima semua orang.
4. Upaya promotif dan preventif merupakan upaya pokok tanpa
mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.
5. Perawat Kesehatan Masyarakat sebagai provider dan masyarakat
sebagai consumer pelayanan kesehatan , menjamin suatu hubungan
yang saling mendukung dan mempengaruhi perubahan dalam
kebijakan dan pelayanan keearah peningkatan status kesehatan
masyarakat
6. Pengembangan tenaga kesehatan masyarakat secara
berkesinambungan..
7. Individu dalam suatu masyarakat ikut bertanggung jawab atas
kesehatan.

B. Pengertian
1. WHO (1959)

Lapangan perawatan khusus yang merupakan gabungan ketrampilan


ilmu keperawatan,ilmu kesehatan masyarakat dan bantuan sosial,
sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat secara keseluruhan
guna meningkatkan kesehatan, penyempurnaan kondisi sosial,
perbaikan lingkungan fisik, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan
bahaya yang lebih besar, ditujukan kepada individu, keluarga, yang
mempunyai masalah dimana hl itu mempengaruhi masyarakat secara
keseluruhan.

2. Ruth B Freeman

Suatu lapangan khusus bidang keperawatan dimana teknik


keperawatan, ketrampilan berorganisasi diterapkan dalam hubungan
yang serasi kepada ketrampilan anggota profesi kesehatan lain dan
kepada tenaga sosial lain demi untuk memelihara kesehatan
masyarakat.

3. American Nursing Association (ANA)

Suatu sintesa dari praktik kesehatan masyarakat yang diterapkan untuk


meningkatkan dan memelihara kesehatan penduduk.

4. Badan Kerja Keperawatan Kesehatan Masyarakat

Suatu bidang dalam keperawatan yang merupakan perpaduan antara


keperawatan dan kesehatan masyarakat dengan dukungan peranserta
aktif masyarakat.

Ilmu Keperawatan
Peran serta Masyarakat Kesehatan Masyarakat

Tiga komponen dasar ilmu Keperawatan Kesehatan Masyarakat

Konsep keperawatan dikarakteristikan oleh 4 konsep pokok yaitu:

1. Manusia

2. Kesehatan

3. Keperawatan

4. Lingkungan

MANUSIA

KESEHATAN

KEPERAWATAN

LINGKUNGAN

Gambar 2

Paradigma Keperawatan
1. Konsep manusia Manusia

Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosial dan spiritual yang


utuh dan unik, dalam arti merupakan satu kesatuan utuh dari aspek
jasmani dan rohani dan unik karena mempunyai berbagai macam
kebutuhan sesuai dengan tingkat perkembangannya. (Konsorsium Ilmu
kesehatan, 1992)

Manusia selalu berusaha untuk memahami kebutuhannya


melalui berbagai upaya antara lain dengan selalu belajar dan
mengembangkan sumber-sumber yang diperlukan sesuai dengan
potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Dalam kehidupan sehari-
hari, manusia secara terus menerus mengahadapi perubahan
lingkungan dan selalu berusaha beradaptasi terhadap pengaruh
lingkungan

INTELEKTUAL

FISIK

LINGKUNGAN

SOSIAL-BUDAYA
SPIRITUAL

EMOSI
Gambar. 3

Dimensi manusia sebagai satu kesatuan utuh antara aspek fisik,


intelektual, emosional, social-kultural, spiritual dan lingkungan
( Dikutip dari Taylor C. dkk. Fundamental of Nursing, 1989)

Manusia sebagai sasaran pelayanan atau asuhan keperawatan


dalam praktek keperawatan. Sebagai sasaran praktek keperawatan
klien dapat dibedakan menjadi individu, keluarga dan masyarakat.

a. Individu sebagai klien

Individu adalah anggota keluarga yang unik sebagai kesatuan


utuh dari aspek biologi, psikologi, social dan spiritual. Peran perawat
pada individu sebagai klien, pada dasarnya memenuhi kebutuhan
dasarnya mencakup kebutuhan biologi, social, psikologi dan spiritual
karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan,
kurang kemauan menuju kemandirian pasien/klien.

b. Keluarga sebagai klien

Keluarga merupakan sekelompok individu yang berhubungan


erat secara terus menerus dan terjadi interaksi satu sama lain baik
secara perorangan maupun secara bersama-sama, di dalam
lingkungannya sendiri atau masyarakat secara keseluruhan. Keluarga
dalam fungsinya mempengaruhi dan lingkup kebutuhan dasar manusia
dapat dilihat pada Hirarki Kebutuhan Dasar Maslow yaitu kebutuhan
fisiologis, rasa aman dan nyaman, dicintai dan mencintai, harga diri
dan aktualisasi diri.
Biologi/Fisiologi

Keamanan dan kenyamanan

Dicintai dan rasa memiliki

Harga diri

Aktualisasi diri
Gambar. 4

Hirarki Maslow tentang Kebutuhan Dasar manusia

Beberapa alasan yang menyebabkan keluarga


merupakan salah satu focus pelayanan keperawatan yaitu:

1) Keluarga adalah unit utama dalam masyarakat dan


merupakan lembaga yang menyangkut kehidupan
masyarakat

2) Keluarga sebagai suatu kelompok dapat menimbulkan,


mencegah, memperbaiki atau mengabaikan maslah
kesehatan dalam kelompoknya sendiri. Hampir setiap
masalah kesehatan mulai dari awal sampai pada
penyelesaiannya akan dipengaruhi keluarga. Keluarga
mempunyai peran utama dalam pemeliharaan kesehatan
seluruh anggota keluarga.

3) Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan.


Penyakit pada salah satu anggota keluarga akan
mempengaruhi seluruh anggota keluarga tersebut. Peran
dari anggota-anggota keluarga akan mengalami perubahan,
bila salah satu angota menderita sakit. Disisi lain status
kesehatan dari klien juga sebagian akan ditentkan oleh
kondisi keluarganya.

4) Dalam merawat

c. Masyarakat sebagai klien

Kesatuan hidup manusia yang brinteraksi menurut suatu


sistem adat istiadat tetentu yang bersifat terus menerus dan terikat
oleh suatu indentitas bersama

Ciri-ciri:

1) Interaksi antar warga

2) diatur oleh adat istiadat, norma, hukum dan peraturan yang


khas

3) Suatu komuniatas dalam waktu

4) identitas yang kuat mengikat semua warga

2. Kesehatan

Sehat didefinisikan sebagai kemampuan melaksanakan peran dan


fungsi dengan efektif (Parson).

Kesehatan adalah proses yang berlangsung mengarah kepada


kreatifitas, konstruktif dan produktif (Paplau).

Menurut HL Bloom ada 4 faktor yang mempengaruhi kesehatan

1) Keturunan

2) Perilaku

3) Pelayanan kesehatan

4) Lingkungan

Sehat merupakan tujuan dalam pemberian pelayanan


keperawatan , dimana kondisi sehat-sakit berada dalam suatu
rentang dari kondisi sehat optimal sampai dengan status kesehatan
yang terendah yaitu kematian dan kondisi normal berada di tengah.

SEHAT
OPTIMAL SEHAT NORMAL SAKIT

KEMATIAN

Gambar 5.

Rentang sehat-sakit

sebagai skala hipotesa kondisi sehat-sakit ( Taylor C. dkk )

3. Keperawatan

Pelayanan esensial yang diberikan oleh perawat terhadap


individu, keluarga , kelompok dan masyarakat yang mempunyai
masalah kesehatan meliputi promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif dengan menggunakan proses keperawatan untuk
mencapai tingkat kesehatan yang optimal.

Keperwatan adalah suatu bentuk pelayanan professional


sebagai bagian integral pelayanan kesehatan berbentuk pelayanan
biologi, psikologi, social dan spiritual secara komprehensif,
ditujukan kepada individu keluarga dan masyarakat baik sehat
maupun sakit mencakup siklus hidup manusia.
Asuhan keperawatan diberikan karena adanya kelemahan fisik
maupun mental, keterbatasan pengetahuan serta kurang kemauan
menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari
secara mandiri. Kegiatan ini dilakukan dalam upaya peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan , pemulihan serta
pemeliharaan kesehatan dengan penekanan pada upaya pelayanan
kesehatan utama (Primary Health care) untuk memungkinkan
setiap orang mencapai kemampuan hidup sehat dan produktif.
Kegiatan ini dilakukan sesuai dengan wewenang, tanggung jawab
serta etika profesi keperawatan.

Sebagai suatu profesi, keperawatan memiliki falsafah yang


bertujuan mengarahkan kegiatan keperawatan yang dilakukan.
Pertama, Keperawatan menganut pandangan yang holistic terhadap
manusia yaitu keutuhan sebagai makhluk bio-psiko-sosial-spiritual.
Kedua, kegiatan keperawatan dilakukan dengan pendekatan
humanistic dalam arti menghargai dan menghormati martabat
manusia, memberi perhatian kepada klien serta menjunjung tinggi
keadilan bagi semua manusia. Ketiga, keperawatan bersifat
universal dalam arti tidak membedakan atas ras, jenis kelamin,
usia, warna kulit, etnik, agama, aliran politik dan status ekonomi
social. Keempat, keperawatan adalah bagian integral dari
pelayanan kesehatan serta yang kelima, keperawatan menganggap
klien sebagai partne aktif dalam arti perawat selalu bekerjasama
dengan klien dalam pemberian asuhan keperawatan.

4. Lingkungan

Lingkungan dalam paradigma keperawatan berfokus pada


lingkungan masyarakat, dimana lingkungan dapat mempengaruhi
status kesehatan manusia. Lingkungan di sini meliputi lingkungan
fisik, psikologis, social budaya dan lingkungan spiritual. Untuk
memahami hubungan lingkungan dengan kesehatan masyarakat
(individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) dapat digunakan
model segitiga agen-hospes-lingkungan atau agent-host-
environment triangle model yang dikemukakan oleh
Leavelll,(1965), dimana ketiga komponen saling berhubungan dan
dapat berpengaruh terhadap status kesehatan penduduk.

C. Asumsi dasar
1. Sistem pelayanan adalah kompleks
2. Pelayanan kesehatan (primer, sekunder dan tertier) merupakan
komponen dari pelayanan kesehatan.
3. Keperawatan sebagai subsistem pelayanan kesehatan merupakan
hasilproduk pendidikan, riset yang dilandasi praktek.
4. Focus utama Perawatan Kesehatan Masyarakat adalah primery care.
5. Perawatan Kesehatan Masyarakat terutama terjadi ditatanan kesehatan
utama.

D. Pandangan /Keyakinan
1. Pelayanan kesehatan sebaiknya tersedia, dapat dijangkau, dapat
diterima oleh semua orang.
2. Penyusunan kebijaksanaan kesehatan seharusnya melibatkan penerima
pelayanan kesehatan.
3. Perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan klien sebagai
penerima pelayanan kesehatan dapat membentuk kerjasama untuk
mendorong dan mempengaruhi perubahan dalam kebijaksanaan dan
pelayanan kesehatan.
4. Lingkungan berpengaruh terhadap kesehatan penduduk, kelompok,
keluarga dan individu.
5. Pencegahan penyakit sangat diperlukan untuk peningkatan kesehatan.
6. Kesehatan merupakan tanggung jawab individu.
7. Klien merupakan anggota tetap team kesehatan. Individu dalam
komunitas bertanggung jawab untuk kesehatan sendiri dan harus
didorong serta dididik untuk berperan dalam pelayanan kesehatan.

E. Tujuan
1. Tujuan Umum

Meningkatkan derajat kesehatan dan memampuan masyarakat secara


meyeluruh dalam memelihara kesehatannya untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal secara mandiri.

2. Tujuan khusus

a. Dipahaminya pengertian sehat dan sakit oleh masyarakat.

b. Meningkatnya kemampuan individu, keluarga, kelompok dan


masyarakat untuk melaksanakan upaya perawatan dasar dalam
rangka mengatasi masalah keperawatan.

c. Tertanganinya kelompok keluarga rawan yang memerlukan


pembinaan dan asuhan keperawatan.

d. Tertanganinya kelompok masyarakat khusus/rawan yang


memerlukan pembinaan dan asuhan keperawatan di rumah, di
pandi dan di masyarakat.
e. Tertanganinya kasus-kasus yang memerlukan penanganan tindak
lanjut dan asuhan keperawatan di rumah.

f. Terlayaninnya kasus-kasus tertentu yang termasuk kelompok


resiko tinggi yang memerlukan penanganan dan asuhan
keperawatan di rumah dan di puskesmas.

g. Teratasi dan terkendalinya keadaan lingkungan fisik dan sosial


untuk menuju keadaan sehat yang optimal.

F. Ruang Lingkup

1. Promotif

Upaya promotif dilakukan untuk meningkatkan kesehatan individu,


keluarga, kelompok dan masyarakat dengan jalan

a. Penyuluhan kesehatan

b. Peningkatan gizi

c. Pemeliharaan kesehatan perorangan

d. Pemeliharaan kesehatan lingkungan

e. Olahraga teratur

f. Rekreasi

g. Pendidikan seks

2. Preventif

Upaya preventif untuk mencegah terjadinya penyakit dan gangguan


kesehatan terhadap individu, keluarga kelompok dan masyarakat melalui
kegiatan:

a. Imunisasi

b. Pemeriksaan kesehatan berkala melalui posyandu, puskesmas dan


ki\unjungan rumah

c. Pemberian vitamin A, Iodium

d. Pemeriksaan dan pemeliharaan kehamilan, nifas dan meyusui


3. Kuratif

Upaya kuratif bertujuan untuk mengobati anggota keluarga yang sakit atau
masalah kesehatan melalui kegiatan:

a. Perawatan orang sakit dirumah

b. Perawatan orang sakit sebagai tindak lanjut dari Pukesmas atau


rumah sakit

c. Perawatan ibu hamil dengan kondisi patologis

d. Perawatan buah dada

e. Perawatan tali pusat bayi baru lahir

4. Rehabilitatif

Upaya pemulihan terhadap pasien yang dirawat dirumah atau kelompok-


kelompok yang menderita penyakit tertentu seperti TBC, kusta dan cacat
fisik lainnya melalui kegiatan:

a. Latihan fisik pada penderita kusta, patah tulang dan lain


sebagainya

b. Fisioterapi pada penderita strooke, batuk efektif pada penderita


TBC dll

5. Resosialitatif

Adalah upaya untuk mengemabalikan penderita ke masyarakat yang


karena penyakitnya dikucilkan oleh masyarakat seperti, penderita AIDS,
kusta dan wanita tuna susila.

G. Sasaran

Individu, keluarga, kelompok dam masyarakat baik yang sehat atau sakit atau
yang mempunyai masalah kesehatan karena ketidaktahuan, ketidakmauan
serta ketidakmampuan.

Prioritas pelayanan Perawatan Kesehatan Masyarakat difokuskan pada


keluarga rawan yaitu :
1. Keluarga yang belum terjangkau pelayanan kesehatan, yaitu keluarga
dengan:

a. Ibu hamil tertenti yang belum ANC.

b. Ibu nifas yang persalinannya ditolong oleh dukun dan neonatusnya.

c. Balita tertentu.

d. Penyakit kronis menular yang tidak bisa diintervensi oleh program.

e. Penyakit endemis.

f. Penyakit kronis tidak menular.

g. Kecacatan tertentu (mental atau fisik).

2. Keluarga dengan resiko tinggi

a. Ibu hamil dengan masalah gizi.

1) anemia gizi berat (HB kurang dari 8 gr%)

2) Kurang Energi Kronis (KEK)

b. Ibu hamil dengan resiko tinggi lai (perdarahan, infeksi, hipertensi)

c. Balita dengan BGM

d. Neonatus dengan BBLR.

e. Usia lanjut jompo.

f. Kasus percobaan bunuh diri.

3. Keluarga dengan tindak lanjut perawatan

a. Drop out tertentu

1) Ibu hamil

2) Bayi

3) Balita dengan keterlambatan tumbuh kembang.

4) Penyakit kronis atau endemis.

b. Kasus pasca keperawatan


1) Kasus pasca keperawatan yang dirujuk dari institusi pelayanan
kesehatan.

2) Kasus katarak yang dioperasi di puskesmas.

3) Persalinan dengan tindakan.

4) Kasus psikotik.

5) Kasus yang seharusnya dirujuk yang tidak dilaksanakan


rujukannya.

4. Pembinaan kelompok khusus.

Kelompok yang rawan dan rentan terhadap masalah kesehatan

a. Terikat dalam institusi, misalnya

1) Panti

2) Rutan/lapas

3) Pondok pesantren

4) Lokalisasi/WTS.

b. Tidak terikat dalam institusi, misalnya:

1) Karang wredha

2) Karang balita

3) KPKIA

4) Kelompok pekerja informal

5) Perkumpulan penyandang penyakit tertentu (jantung, asma, DM


dan lain-lain ).

6) Kelompok remaja.

5. Pembinaan desa atau masyarakat bermasalah

1. Masyarakat di daerah endemis suatu penyakit misalnya endemis


malaria, filariasis, HHF, diare.

2. Masyarakat didaerah dengan keadaan lingkungan kehidupan buruk,


misalnya derah kumuh di kota besar.
3. Masyarakat di daerah yang mempunyai masalah yang menonjol
dibanding dengan daerah lain, misalnya daerah dengan AKB tinggi.

4. Masyarakat di daerah yang mempunyai masalah kesenjangan


pelayanan kesehatan lebih tinggi dari daerah sekitar, misalnya cakupan
ANC rendah, immunisasi rendah.

5. Masyarakat di daerah pemukiman baru, yang diperkirakan akan


mengalami hambatan dalam melaksanakan adaptasi kehidupannya,
seperti daerah transmigrasi, pemukiman masyarakat terasing.

H. Kegiatan

1. Memberikan asuhan keperawatan individu, keluarga dan kelompok khusus


melalui home care.

2. Penyuluhan kesehatan

3. Konsultasi dan problem solving

4. Bimbingan

5. Melaksanakan rujukan

6. Penemuan kasus

7. Sebagai penghubung antara masyarakat dengan unit kesehatan

8. Melaksanakan asuhan keperawatan komunitas

9. Melakukan koordinasi dalam berbagai kegiatan asuhan keperawatan


komunitas

10. Kerjasama lintas program dan lintas sektoral

11. Memberikan tauladan

12. Ikut serta dalam penelitian

I. Prinsip dasar dalam praktek perawatan kesehatan masyarakat adalah sebagai


berikut:

1. Keluarga adalah unit utama dalam pelayanan kesehatan masyarakat


2. Sasaran terdiri dari, individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

3. Perawat kesehatan bekerja dengan masyarakat bukan bkerja untuk


masyarakat.

4. Pelayanan keperawatan yang diberikan lebih menekankan pada upaya


pomotif dan preventif dengan tidak melupakan upaya kuratif dan
rehabilitatif.

5. Dasar utama dalam peayanan perawatan kesehatan masyarakat adalah


menggunakan pendekatan pemecahan masalah yang dituangkan dalam
proses keperawatan.

6. kegiatan utama perawatan kesehatan mayarakat adalah dimasyarakat dan


bukan di rumah sakit.

7. Pasien adalah masyarakat secara keseluruhan baik yang sakit maupun


yang sehat.

8. Perawatan kesehatan masyarakat ditkankan kepada pembinaan perilaku


hidup sehat masyarakat.

9. Tujuan perawatan kesehatan masyarakat adalah meningkatkan fungsi


kehidupan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan seoptimal
mungkin.

10. Perawat kesehatan masyarakat tidak bekerja secara sendiri tetapi bekerja
secara team.

11. Sebagian besar waktu dari seorang perawat kesehatan masyarakat


digunakan untuk kegiatan meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit,
melayani masyarakat yang sehat atau yang sakit, penduduk sakit yang
tidak berobat ke puskesmas, pasien yang baru kembali dari rumah sakit.

12. Home visite sangat penting.

13. Pendidikan kesehatan merupakan kegiatan utama.

14. Pelayanan perawatan kesehatan masyarakan harus mengacu pada sistem


pelayanan kesehatan yang ada.

15. Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan di institusi pelayanan


kesehatan yaitu puskesmas, institusi seperti sekolah, panti, dan lainnya
dimana keluarga sebagai unit pelayanan.

J. Pendekatan
Contoh pendekatan yang dapat digunakan:

1. Problem solving approach

Pendekatan pemecahan masalah yang dituangkan dengan menggunakan


proses keperawatan.

2. Family approach

Pendekatan terhadap keluarga binaan

3. Case Approach

Pembinaan dilakukan berdasar kasus yang datang ke puskesmas yang


dinilai memerlukan tindak lanjut.

4. Community approach

Pendekatan dilakukan terhadap masyarakat daerah binaan melalui survey


mawas diri dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

K. Peran perawat komunitas dalam asuhan keperawatan

Komunitas adalah kelompok sosial yang tingga dalam suatu tempat,


saling berinteraksi satu sama lain, saling mengenal serta mempunyai minat
dan interest yang sama. (WHO).

Komunitas adalah kelompok dari masyarakat yang tinggal di suatu lokasi yang
sama dengan dibawah pemerintahan yang sama, area atau lokasi yang sama
dimana mesekak tinggal, kelompok sosial yang mempunyai interest yang sama
(Linda Jarvis)

Komunitas dipandang sebagai target pelayanan kesehatan sehingga diperlukan


suatu kerjasama yang melibatkan secara aktif masyarakat untuk mencapai
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, untuk itu dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan perawat komunitas
merupakan suatu upaya yang esensial atau sangat dibutuhkan oleh komunitas,
mudah dijangkau, dengan pembiayaan yang murah, lebih ditekankan pada
penggunaan teknologi tepat guna.

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dimana individu, keluarga maupun


masyarakat sebagai pelaku kegiatan upaya peningkatan kesehatan serta
bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri berdasrkan azas kebersamaan
dan kemandirian.

Perawatan Kesehatan Masyarakat merupakan sintesa dari praktek keperawatan


dan praktek kesehatan masyarakat yang diaplikasikan untuk meningkatkan
kesehatan dan pemeliharaan kesehatan dari masyarakat. Perawatan Kesehatan
Masyarakat mempunyai tujuan membantu masyarakat dalam upaya
meningkatkan kesehatan dan pencegahan terhadap penyakit melalui:

1. Pemberian asuhan keperawatan secara langsung kepada individu,


keluarga, dan kelompok dalam masyarakat, dengan strategi intervensi
yaituproses kelompok, pendidikan kesehatan serta kerjasama
(partnership).

2. Memperhatikan secara langsung terhadap status kesehatan seluruh


masyarakat secara komprehensive.

Pada Perawatan Kesehatan Masyarakat harus mempertimbangkan


beberapa prinsip, yaitu:

1. Kemanfaatan

Semua tindakan dalam asuhan keperawatan harus memberikan manfaat


yang besar bagi komunitas.

2. Kerjasama

Kerjasaman dengan klien dalam waktu yang panjang dan bersifat


berkelanjutan serta melakukan kerja sama lintas program dan lintas
sektoral.

3. Secara langsung

Asuhan keperawatan diberikan secara langsung mengkaji dan


intervensi, klien dan lingkunganya termasuk lingkungan sosial,
ekonomi serta fisik mempunyai tujuan utama peningkatan kesehatan.

4. Keadilan

Tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan kemampuan atau


kapasitas dari komunitas itu sendiri.

5. Otonomi

Klien atau komunitas diberi kebebasan dalam memilih atau


melaksanakan beberapa alternatif terbaik dalam menyelesaikan
masalah kesehatan yang ada.

Perawat komunitas dapat bekerja diberbagai tatanan:


1. Klinik rawat jalan
2. Kantor kesehatan
3. Kesehatan kerja
4. Sekolah
5. Rumah
6. Perkemahan
7. Institusi pemeliharaan kesehatan
8. Tempat pengungsian

Perawat di komunitas dapat bekerja sebagai:

1. Perawat keluarga

2. Perawat sekolah

3. perawat kesehatan kerja

4. perawat gerontologi

Perawat keluarga

Keperawatan kesehatan keluarga adalah tingkat keperawatan


tingkat kesehatan masyarakat yang dipusatkan pada keluarga
sebagai satu kesatuan yang dirawat dengan sehat sebagai tujuan
pelayanan dan perawatan sebagai upaya (Bailon dan Maglaya,
1978).

Perawat keluarga adalah :

Perawat teregistrasi dan telah lulus dalam bidang keperawatan yang


dipersiapkan untuk praktek memberikan pelayanan individu dan
keluarga disepanjang rentang sehat sakit. Praktek ini mencakup
pengambilan keputusan independen dan interdependen dan secara
langsung bertanggung gugat terhadap keputusan klinis.
Peran perawat keluarga adalah melaksanakan asuhan keperawatan
keluarga, berpartisipasi dan menggunakan hasil riset,
mengembangkan dan melaksanakan kebijakan di bidang kesehatan,
kepemimpinan, pendidikan, case managemen dan konsultasi.

Perawat kesehatan sekolah

Keperawatan sekolah adalah: keperawatan yang difokuskan pada


anak ditatanan pendidikan guna memenuhi kebutuhan anak dengan
mengikutsertakan keluarga maupun masyarakat sekolah dalam
perencanaan pelayanan (Logan, BB, 1986)

Perawatan kesehatan sekolah mengaplikasikan praktek


keperawatan untuk memenuhi kebutuhan unit individu, kelompok
dan masyarakat sekolah.

Keperawatan kesehatan sekolah merupakan salah satu jenis


pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk mewujudkan dan
menumbuhkan kemandirian siswa untuk hidup sehat, menciptakan
lingkungan dan suasana sekolah yang sehat. Fokus utama perawat
kesehatan sekolah adalah siswa dan lingkunganya dan sasaran
penunjang adalah guru dan kader.

Perawat kesehatan kerja

Perawatan kesehatan kerja adalah penerapan prinsip-prinsip


keperawatan dalam memelihara kelestarian kesehatan tenaga kerja
dalam segala bidang pekerjaan (American Asociation of
Occupational Health Nursing)

Perawat kesehatan kerja mengaplikasikan praktek keperawatan


untuk memenuhi kebutuhan unik individu, kelompok dan
masyarakat di tatanan industri, pabrik, tempat kerja, tempak
konstruksi, universitas dan lain-lain.

Lingkup praktek keperawatan kesehatan kerja mencakup


pengkajian riwayat kesehatan, pengamatan, memberikan pelayanan
kesehatan primer konseling, promosi kesehatan, administrasi
management quality asurance, peneliti dan kolaburasi dengan
komunitas.

Perawat gerontologi
Perawatan gerontologi atau gerontik adalah ilmu yang mempelajari
dan memberikan pelayanan kepada orang lanjut usia yang dapat
terjadi di berbagai tatanan dan membantu orang lanjut usia tersebut
untuk mencapai dan mempertahankan fungsi yang optimal.

Perawat gerontologi mengaplikasikan dan ahli dalam memberikan


pelayanan kesehatan utama pada lanjut usia dank keluarganya
dalam berbagai tatanan pelayanan. Peran lanjut perawat tersebut
independen dan kolaburasi dengan tenaga kesehatan profesional.

Lingkup praktek keperawatan gerontologi adalah memberikan


asuhan keperawatan, malaksanakan advokasi dan bekerja untuk
memaksimalkan kemampuan atau kemandirian lanjuy usia,
meningkatkan dan mempertahankan kesehatan, mencegah dan
meminimalkan kecacatan dan menunjang proses kematian yang
bermartabat.

Perawat gerontologi dalam prakteknya menggunakan managemen


kasus, pendidikan, konsultasi , penelitian dan administrasi.

Kembali

You might also like