You are on page 1of 29

HUKUM INTERNASIONAL

KEDAULATAN NEGARA
DISUSUN OLEH:

Army Anggara Liely Noor Qadarwati Lasma Natalia Mayang Kemulandari Yamin Vicky Veronika Aruan Gita Santika Amalia Tri Nurul Widia Wardhani Saskia Wahyu Riani Mulyana

110110080085 110110080092 110110080096 110110080122 110110080128 110110080131 110110080134 110110080135 110110080138

DOSEN PENGAJAR: Prof. Dr. Eddy Damian, S. H. Idris, S. H., M. A. Diajeng Wulan Christianti, S. H., LL. M

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Negara merupakan pribadi terpenting dalam hukum internasional. Hukum internasional pada dasarnya merupakan produk dari hubungan antara negara-negara baik melalui praktek yang membentuk hukum internasional atau melalui kesepakatan (perjanjian) internasional negaranegara itu sendiri.1 Status dan peran suatu negara dalam dunia internasional merupakan hal yang utama. Dalam menjalin hubungan internasional dengan beberapa negara yang ada di dunia status negara sangat diperlukan apakah negara tersebut merupakan negara yang berdaulat, negara boneka, atau masih menjadi negara bagian dari suatu negara lain. Status suatu negara yang berdaulat memberikan kebebasan dalam menentukan kehidupan rumah tangga negara tersebut tanpa campur tangan dari negara lain demi tercapainya kehidupan rakyat yang damai dan sejahtera. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa syarat-syarat untuk menjadi suatu negara adalah adanya wilayah, rakyat, pemerintahan, dan pengakuan dari negara lain. Keempat syarat tersebut harus dipenuhi untuk berdirinya suatu negara. Jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka negara tersebut tidak dapat dikatakan suatu negara yang berdaulat. Sebagai contoh: Taiwan yang sudah memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintahan meskipun pemerintahan yang ada adalah pemerintahan darurat, namun pengakuan negara lain terhadap Taiwan masih sedikit yaitu hanya 25 negara kecil yang tidak memiliki pengaruh yang besar dalam dunia internasional. Adanya keinginan rakyat dari negara tersebut untuk menjadikan negaranya sebagai negara yang berdaulat bukan menjadi jaminan berdirinya suatu negara dalam dunia internasional. Harus ada pengakuan dari negara lain dan organisasi yang memegang peran

Rebecca M.M Wallace, Bambang Arumanadi, Hukum Internaisonal, IKIP Semarang Press, Semarang, 1993, hlm 63.

penting dalam hubungan internasional seperti PBB karena pengakuan ini akan mempengaruhi dapat tidaknya negara tersebut dalam menjalin hubungan internasional dengan bekerjasama dengan negara lain untuk meningkatkan kehidupan dalam negeri negara tersebut. Pengaruh negara maju terhadap negara berkembang dalam menentukan kebijakan dalam negeri dan luar negeri merupakan bentuk intervensi yang tersirat terhadap negara tersebut. Negara merupakan perwujudan kehidupan bersama masyarakat yang memiliki persamaan nasib dan sejarah dalam suatu daerah tertentu. Negara merupakan suatu organisasi yang terstruktur untuk mencapai tujuan kehidupan negara tersebut. Berdirinya suatu negara untuk menjadi negara yang berdaulat dapat melalui negara bekas kolonialisasi menjadi negara yang merdeka, perpecahan dari suatu negara, penggabungan beberapa negara menjadi suatu negara baru atau penggunaan kekerasan untuk menduduki suatu negara. Kedaulatan negara atas wilayah darat memiliki peran yang sangat penting dalam kedaulatan suatu negara itu sendiri diantara kedaulatan atas wilayah laut dan udara. Hal ini dikarenakan wilayah darat sebagai tempat tinggal masyarakat di negara tersebut sehingga perlu adanya pendayagunaan secara maksimal potensi sumber daya alam untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di negara itu. Selain itu juga, wilayah darat sangat berpengaruh dalam menjaga pertahanan dan keamanan suatu negara. Kedaulatan negara merupakan pencerminan terhadap jaminan hak asasi manusia dalam menentukan nasib suatu bangsa karena negara diberikan kebebasan dalam menentukan kebijakan untuk mensejahterkan kehidupan rakyat negara itu sendiri.

1.2 Identifikasi Masalah Pembuatan makalah ini tentu mesti didasari pada identifikasi secara khusus sehingga tidak mengalami penyimpangan dalam

pembahasan. Adapun identifikasi masalah pada makalah ini adalah :

a. Apakah yang menjadi batasan atau definisi dari negara? b. Apa sajakah yang menjadi syarat-syarat menjadi negara? c. Apakah yang dimaksud dengan kedaulatan dan hak berdaulat serta bagaimana pelaksanaannya? d. Apakah maksud dan bagaimana suatu negara dapat memperoleh kedaulatan atas wilayah darat ? e. Bagaimana keseluruhan teori teori yang ada dalam fakta dunia internasional sekarang ini?

1.3 Tujuan Penulisan Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan

sebelumnya, selain sebagai memenuhi tugas pada mata kuliah hukum internasional tujuan dari makalah ini adalah: a. Mengatahui batasan atau definisi dari negara. b. Mengatahui syarat-syarat terbentuknya negara. c. Mengetahui maksud dari kedaulatan dan hak berdautan serta pelaksanaannya. d. Mengetahui maksud dan cara negara untuk memperoleh

kedaulatan atas wilayah negara. e. Mengertahui dan memahami penempatan teori teori yang telah dikemukakan dalam fakta dunia internasional.

1.4 Kegunaan Penulisan Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah serta maksud dan tujuan penulisan, maka manfaat yang akan diperoleh dari penulisan ini adalah: kegunaan secara akademis, diharapkan hasil penulisan ini dapat menambah wawasan dan sebagai referensi tambahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum internasional khususnya mengenai kedaulatan suatu negara.

1.5 Metode Penulisan Metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah tinjauan kepustakaan melalui web research dan analisis data dan teori dari buku.

BAB II LANDASAN TEORI

1. Syarat-syarat Terbentuknya Negara Negara adalah subjek hukum internasional dan hal ini sudah ada sejak munculnya hukum internasional. Banyak para ahli yang telah memberikan berbagai definisi yang mengggambarkan negara. Pasal 1 Konvensi Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of States of 1933 mengenai hak -hak dan kewajibankewajiban negara mengemukakan karateristik-karateristik suatu negara. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: The states as a person of international law should prossess the following qualifications: (a) a permanent population; (b) a defined territory; (c) a government; (d) a capacity to enter into relations with other states. Berikut adalah uraian tentang masing-masing unsur tersebut. 1. Permanent population Harus ada rakyat yang permanen. Yang dimaksud dengan rakyat yaitu sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional. Sekumpulan manusia ini mungkin saja berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berbeda dan memiliki (kelompok) kepentingan yang saling bertentangan. Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir dengan baik (organised population). Sebab sulit dibayangkan, suatu negara dengan pemerintahan yang terorganisir dengan baik hidup berdampingan dengan masyarakat disorganised.2 Negara yang terdiri dari individu-individu tersebut, tidak diisyaratkan jumlah minimal penduduk. Naura, dengan jumlah penduduk 10.000 telah
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional: Edisi Revisi, RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2002, hlm 3.
2

dianggap sebagai satu negara, demikian pula Liechtenstein dengan jumlah penduduk 20.000.3 2. Defined Territory4 Harus ada wilayah atau daerah yang tetap, dimana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain (a wandering people) bukan termasuk ke dalam unsur ini. Tetapi tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil. Dapat saja wilayah tersebut hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak. Unsur ini tidak ada batas tertentu. Sebagai contoh, Nauru mempunyai penduduk 10.000 orang dengan luas negeri hanya 8 mil persegi. Vatikan lebih kecil lagi, baik penduduk maupun luas wilayah. Negeri-negeri kecil ini disebut juga dengan negara mini, mikro, atau sarjana lain menyebut juga sebagai negara liliput, dwarf, atau diminutive state. Untuk menjadi negara

tidaklah perlu memiliki wilayah yang tetap atau memiliki batas-batas negara yang tidak sedang dalam sengketa. Sebagai contoh, sejak merdeka hingga kini, RI masih memiliki batas-batas wilayah laut yang belum jelas, bahkan menjadi sengketa di pengadilan internasional. Dalam putusan pengadilan. lahir suatu prinsip bahwa suatu negara dapat diakui sebagi negara asalkan ia mempunyai wilayah betapapun besar kecilnya sepanjang wilayah tersebut cukup konsisten ( sufficient consistency). Selain itu, dalam keadaan tertentu suatu negara pun tetap diakui sebagai subjek hukum internasional, meskipun negara tersebut tidak memiliki wilayah yang tetap atau tidak mempunyai wilayah tertentu. Contoh adalah PLO. Setelah wilayah negeri ini (Palestina) diserobot Israel, praktis negeri ini tidak memiliki wilayah sama sekali. Namun demikian negara-negara masih menganggapnya sebagai negara,

menerima kantor perwakilan PLO di negaranya atau ikut serta dalam konperensi-konperensi atau perjanjian internasional.

3 4

Rebecca M.M Wallace, Op cit, hlm 64. Huala Adolf, Op cit, hlml 3-5.

Demikian pula perubahan-perubahan yang terjadi, baik menambah atau mengurangi luasnya wilyah negara tertentu, tidak dengan sendirinya mengubah identitas negara tersebut. Wilayah tersebut juga tidak perlu merupakan kesatuan geografis; suatu negara mungkin terdiri dari beberapa wilayah territorial, yang kurang berhubungan atau saling berjauhan satu sama lain.5 3. A government Harus ada pemerintah, yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat dan memerintah menurut hukum negaranya. Suatu masyarakat yang anarchis bukan termasuk negara. Bengt Broms menyebut kriteria ini sebagai organized government (pemerintahan yang terorganisir). Bentuk pemerintahan yang berlaku atau diterapkan

sepenuhnya bergantung kepada rakyat. Apakah itu berupa republic, kerajaan, atau bentuk lainnya yang rakyat kehendaki. Lauterpacht menyatakan unsur pemerintah merupakan syarata utama untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata kemudian secara hukum atau secara fakta menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai suatu negara. Sebagai contoh kasus adalah Manchukuo.6 4. A capacity to enter into relations with other states Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain merupakan hal yang sangat penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan ekstern

dengan negara-negara lain. Dalam realisasinya tergantung pada tanggapan dari pelaku-pelaku lain di atas panggung internasional. Pemenuhan ketiga kriteria pertama pada dasarnya faktual, tetapi pemenuhan kriteria ini tergantung pada pengakuan. Dengan kata lain, suatu satuan mungkin mempunyai kemampuan untuk menjalin hubungan luar negeri, tetapi jika negara-

J.G Starke QC, Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hlm 128. 6 Huala Adolf, Op cit, hlm 5.

negara lain menolak masuk dalam hubungan dengannya, satuan yang dimaksud itu ditolak untuk menunjukkan kapasitas dalam praktek.7

Dari ke empat unsur-unsur diatas, unsur yang ke empat menjadi hal yang penting. Mempunyai kapasitas untuk menjalin hubungan berarti akan dipengaruhi oleh pengakuan yang diberikan oleh negara-negara lain dalam dunia internasional. Negara-negara sebagai subjek hukum internasional bersifat dinamis, ada negara yang dikuasai negara lain, atau negara baru yang lahir. Perubahan-perubahan ini, anggota masyarakat dihadapkan dalam dua pilihan dalam menanggapinya. Pilihan tersebut adalah menyetujui atau menolaknya. Dalam hal ini lembaga pengakuan memainkan peranannya, dan peranan tersebut sangat penting. Tanpa mendapatkan pengakuan ini, negara tersebut sedikit banyak akan mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara lainnya. Brierly menyatakan bahwa pemberian pengakuan ini merupakan tindakan politik daripada tindakan hukum. Lauterpacht menegaskan bahwa pengakuan bukanlah masalah hukum. Ia menyatakan bahwa praktek negara-negara tidak beragam dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan. Walaupun lembaga pengakuan ini bersifat politik, konsekuensi yang ditimbulkan dapat berupa konsekuensi politis tertentu dan

konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan negara yang mengakui. Konsekuensi politis yang dimaksud misalnya saja kedua negara dapat dengan leluasa dapat mengadakan hubungan diplomatik. Sedangkan konsekuensi yuridis dapat berupa: Pertama, pengakuan

tersebut merupakan pembuktian atau keadaan yang sebenarnya dari lahirnya suatu negara atau pemerintahan baru. Kedua, pengakuan mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan diakui. Ketiga, pengakuan memeprkukuh status hukum negara yang diakui di hadapan pengadilan negara yang mengakui. Sehingga fungsi pengakuan
7

Rebecca M.M Wallace, Op cit, hlml 66-67.

ini untuk memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu negara atau pemerintahan baru sebagai anggota masyarakat internasional.

Teori Pengakuan Dalam pasal pengakuan terhadap negara baru terdapat dua teori pengakuan8 a. Teori Konstitutif Teori ini berpendapat bahwa suatu negara menjadi subjek hukum internasional hanya melalui pengakuan, jadi hanya dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima sebagai anggota masyarakat internasional. Dan karenanya memperoleh status sebagai subjek hukum internasional. Penganut teori ini, yaitu Oppenheim, Lauterpacht, Chen, Gugenheim, Anziloti, dan Hans Kelsen. Ada dua alasan yang

melatarbelakangi teori ini. Pertama, mereka berpendapat bahwa hukum internasional lahir karena kesepakatan negara-negara. Kedua, yaitu bahwa suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui tidak mempunyai status hukum sepanjang negara atau pemerintah itu berhubungan dengan negara-negara yang tidak mengakui. b. Teori Deklaratif Teori ini lahir sebagai reaksi dari teori konstitutif. Menurut teori ini pengakuan hanyalah merupakan penerimaan suatu negara baru oleh negara-negara lainnya. Suatu negara mendapatkan semuanya dalam hukum internasional bukan berdasarkan kesepakatan dari negara-negara yang telah ada terlebih dahulu, namun berdasarkan situasi-situasi nyata tertentu. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan oleh usahausahanya serta keadaan-keadaannya yang nyata dan tidak perlu menunggu negara lain mengakuinya. Negara tersebut mempunyai kompetensi menurut hukum internasionalnya.

Suatu negara atau pemerintah tidak akan mendapatkan status hukum di negara lain kecuali negara tersebut diakui oleh negara yang
8

Huala Adolf, Op cit, hlm 75-78.

bersangkutan (teori konstitutif). Namun hal ini tidak berarti bahwa negara atau pemerintah itu tidak ada sama sekali (teori deklaratif). Jadi suatu negara tetap ada meskipun tidak diakui namun negara tersebut hanya dapat mengadakan hubungan dengan negara yang mengakuinya.

Bentuk-Bentuk Pengakuan 1. Pengakuan Negara Baru Pada dasarnya pengakuan terhadap negara baru tidaklah sulit. Kebanyakan negara diakui setelah negara tersebut merdeka dan memenuhi empat unsur negara menurut hukum internasional. Akan menimbulkan masalah jika suatu negara lahir diperoleh dengan cara-cara damai. 2. Pengakuan Pemerintah Baru Dalam praktek pengakuan terhadap negara dan pemerintah biasanya berjalan bersama-sama. Namun karena adapula pengakuan terpisah maka pemberian atau penolakan pemberian pengakuan terhadap pemerintah baru tidak ada hubungannya dengan pengakuan negara. Sehingga jika suatu negara menolak pengakuan suatu pemerintahan baru yang berkuasa di suatu negara tidak mengakibatkan negara tersebut kehilangan statusnya sebagai subjek hukum internasional. Dalam memberikan pengakuan biasanya ada beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan negara untuk memutuskan mengakui atau tidak mengakui pemerintahan baru tersebut. Kriteria tersebut adalah pemerintah yang permanen, pemerintahan yang ditaati oleh rakyatnya, dan penguasaan wilayah secara efektif.

Macam-macam Pengakuan Negara 1. Pengakuan Kolektif Ada dua bentuk pengakuan yaitu pengakuan dalam bentuk deklarasi bersama oleh sekelompok negara dan pengakuan yang diberikan melalui penerimaan suatu negara baru untuk menjadi peserta atau pihak ke dalam suatu perjanjian multilateral.

2. Pengakuan Terpisah Pengakuan itu diberikan kepada suatu negara baru namun tidak kepada pemerintahannya atau sebaliknya pengakuan diberikan kepada suatu pemerintahan baru yang berkuasa namun tidak kepada negaranya. 3. Pengakuan Mutlak Yaitu suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu negara baru tidak dapat ditarik kembali. Institut hukum internasional dalam suatu resolusi yang disahakan pada tahun 1936 menyatakan pengakuan de jure suatu negara tidak dapat ditarik kembali. 4. Pengakuan Bersyarat Yaitu pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru yang disertai dengan syarat-syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara baru tersebut sebagai imbangan pengakuan. Ada dua macam, yaitu pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum

pengakuan diberikan dan pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi detelah pengakuan diberikan

Macam-Macam Pengakuan Pemerintahan Baru 1. Pengakuan de facto Yaitu pengakuan yang diberikan oleh suatu negara semata-mata didasarkan diwilayahnya. 2. Pengakuan de jure Yaitu pengakuan yang diberikan kepada suatu pemerintah baru apabila negara tersebut tidak ragu-ragu lagi terhadap eksistensi pemeirntah baru. Pengakuan diberikan berdasarkan atas penilaian faktorfaktor faktual dan faktor-faktor hukum. bahwa pemerintah tersebut secara nyata berkuasa

Cara-cara Pemberian Pengakuan 1. pengakuan yang tegas (express recognition) Deklarasi atau pernyataan umum (public statement or declaration)

Dilakukan dengan mengirimkan pernyataan pengakuan terhadap pemerintah atau negara baru. Dilakukan dengan hanya mengirimkan nota diplomatik dan biasanya oleh negara yang mengakui. Pengakuan oleh perjanjian Biasanya dipraktekan oleh Inggris di dalam memberikan

kemerdekaan kepada negara kolonial 2. Pengakuan diam-diam Tindakan-tindakan yang dapat menjadi indikasi bahwa suatu negara telah memberikan pengakuan secara diam-diam yaitu

pemnhiriman ucapan selamat kepada kepala negara yang baru, pengiriman perwakilan suatu negara untuk menghadiri pengangkatan atau pengambilan sumpah suatu negara yang baru, surat-menyurat untuk pembukaan tukar-menukar perwakilan diplomatik atau konsuler,

perpanjangan hubungan diplomatik, memberikan suara voting kepada negara baru agar dapat diterima sebgaia anggota PBB, dan membuat perjanjian dengan negara tersebut.

2. Kedaulatan Negara dan Hak Berdaulat Pengertian Unsur-unsur Negara Menurut Hendry C. Black, Negara yaitu sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum yang melalui pemerintahan, mampu

menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya. Unsur-unsur suatu negara diatur dalam Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of State of 1933. Disamping ke empat ciri yang telah disebutkan dalam Pasal 1 Konevensi Montevideo, ada dua ciri lain yang juga seyogyanya dimiliki oleh suatu negara. Ciri kelima, yakni bahwa negara tersebut harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan pejabatnya terhadap pihak/negara

lain. Ciri kelima demikian yakni bahwa negara tersebut harus mempunyai kemampuan international (international capacities). Ciri keenam, yakni bahwa negara-negara tersebut harus merdeka. Tanpa merdeka suatu negara bukan merupakan subjek hukum internasional. Menurut Craw Ford, kriteria ini merupakan kriteria sentral dari suatu negara. Parry and Grant juga mengatakan kriteria kemerdekaan merupakan kriteria sentral suatu negara disamping kemerdekaan. Ciri selanjutnya, yaitu derajat atau tingkat kelanggengan suatu negara tersebut (permanent), kesediaan atau kemampuan untuk menaati hukum internasional, tingkat peradaban negara itu, pengakuan negara lain, tertib hukum negara tersebut, keabsahan berdirinya negara itu dalam hukum internasional dan masalah penentuan nasib sendiri negara yang bersangkutan. Bentuk-bentuk Negara Dalam membahas bentuk-bentuk negara dalam hukum

internasional fokus bahasannya hanya tertuju pada bentuk-bentuk dibawah ini: a. Negara kesatuan Negara dengan bentuk ini (unitary states) yaitu suatu negara yang memiliki suatu pemerintah yang bertanggung jawab mengatur seluruh wilayahnya. Contohnya: Indonesia, Singapura. b. Dependent states Adalah negara-negara yang bertanggung jawab kepada negaranegara lain baik karena adanya perjanjian untuk menyerahkan hubungan luar negeri kepada negara lain atau karena adanya pendudukan sebagai akibat perang. Contoh: Negara Jerman. Ciri-ciri dependent states, diantaranya: 1. Tidak adanya sifat kenegaraan, terutama kemampuan untuk

mengadakan hubungan dengan negara lain. 2. Yurisdiksi dan pemerintahannya berada pada negara lain. 3. Kekuasaan luar negerinya ada pada perwakilan negara lain.

4. Adanya campur tangan dari negara lain secara politik. 5. Merupakan subjek hukum dengan ciri khusus (a legal person of a special type) yang dapat muncul dalam masyarakat internasional hanya untuk maksud-maksud tertentu saja. 6. Suatu negara yang tidak merdeka untuk melaksanakan suatu tindakantindakan tertentu oleh organ-organnya. Contoh Dependent States ini dengan membentuk negara

protektorat yaitu negara yang kekuasaan luar negerinya sepenuhnya berada di bawah kekuasaan negara lain. Selain itu ada namanya Wilayah Trust/Mandat (wilayah perwakilan) merupakan wilayah yang tidak mandiri yaitu wilayah yang tidak mampu mengadakan hubungan dengan pihak asing tanpa dukungan dari negara yang mendukungnya. Maksud dari pembentukan wilayah perwakilan ini untuk meningkatkan kemampuan politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan di wilayah tersebut. c. Federal states Salah satu bentuk negara yang cukup penting dewasa ini adalah negara federal (federasi). Negara yang menganut sistem ini adalah Amerika Serikat, India, Canada, Australia. Bentuk dasar dari negara federal ini yaitu bahwa wewenang terhadap urusan dalam negeri dibagi menurut konstitusi antara pejabat federal dengan anggota-anggota federasi. Sedangkan urusan luar negerinya biasanya dipegang oleh pemerintah federal pusat. Karena negara federasi ini dianggap sebagai suatu negara atau subjek hukum internasional, tetapi untuk anggotaanggota negara dari federasi ini tidak dianggap sebagai negara dalam arti sesungguhnya. Bentuk negara yang mirip dengan negara federal (federasi) ini adalah konfederasi. Kata konfederasi ini tidak lain adalah negara federal juga, tetapi kekuasaan anggota negara federal (provinsinya) lebih besar. d. Members of Commonwealth (Negara Persemakmuran) Persemakmuran dilatarbelakangi oleh adanya proses dekolonisasi pada negara-negara tersebut.Proses dekolonisasi terjadi karena ada 2 kemungkinan. Pertama, negara tersebut merdeka penuh, berdaulat, dan

terpisah dari negara yang pernah mendudukinya. Kedua, negara tersebut terpaksa tergantung kepada negara yang mendudukinya karena negara tersebut kecil atau terbelakang (miskin), sehingga memberinya

kemerdekaan bukanlah jalan yang terbaik. Untuk negara-negara ini kekuasaan untuk mengatur urusan dalam negerinya tetap berada pada kekuasaannya, namun ketergantungannya kepada negara yang pernah mendudukinya dalam beberapa urusan-urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada negara induknya. Contoh: Negara Inggris e. Negara netral Adalah suatu negara yang kemerdekaan, politik, dan wilayahnya dengan kokoh dijamin oleh suatu perjanjian bersama negara-negara besar dan negara-negara ini tidak akan pernah berpegang melawan negara lain, kecuali untuk pertahanan diri, dan tidak akan pernah mengadakan perjanjian aliansi yang dapat menimbulkan peperangan. Tujuan netralisasi ini adalah untuk memelihara perdamaian dengan cara: 1. Melindungi negara-negara kecil dari negara-negara kuat yang

berdekatan dengannya. 2. Melindungi dan menjaga kemerdekaan negara netral ini diantara negara negara kuat. Salah satu negara federal adalah Swiss. Swiss menerima jaminan sebagai negara netral pada kongres Wina tahun 1815 dan dikuatkan kembali dalam pasal 435 Perjanjian Versailles tahun 1919 dan dengan Pertukaran Nota antara Inggris dan Itali tahun 1938. Kewajiban negara netral diantaranya: 1. Tidak menyerang atau mengancam wilayah negara netral 2. melakukan intervensi dengan kekuasaan militer apabila negara netral ini diserang oleh negara lainnya dan negara-negara penjamin ini diminta pertolongannya. Doktrin Hak dan Kewajiban Dasar Negara Pembahasan tentang hal ini didasarkan pada aliran kontrak sosial, yaitu bahwa hak seseorang yang berkecimpung dalam masyarakat berada

diluar atau terlepas dari kekuasaan negara. Artinya bahwa suatu negara yang berkecimpung dalam pergaulan masyarakat internasional, hak dasarnya pun tidak dipengaruhi atau terlepas dari pengaruh negara lain. a) Hak-hak negara: 1. hak atas kemerdekaan 2. hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya 3. hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negara-negara lain 4. hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif. b) Kewajiban negara: 1. kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalahmasalah yang terjadi di negara lain 2. kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di negara lain 3. kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia. 4. kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional 5. kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai 6. kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata 7. kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan. Doktrin Monroe Doktrin ini berkaitan dengan pesan Presiden Amerika Serikat yang menyinggung soal ancaman pendudukan Soviet terhadap Alaskadan ancaman intervensi terhadap Aliansi Suci Amerika. Doktrin ini

mengandung dua prinsip penting sebagai berikut: 1. Prinsip nonkolonisasi, yaitu Amerika Serikat berkepentingan untuk menjamin bahwa tidak ada satu bagian pun dari Benua Amerika yang bersifat terra nullius (tidak ada yang memiliki) dan menjadi wilayah kolonisasi negara Eropa.

2. Prinsip nonintervensi yang pada pokoknya menetapkan bahwa setiap upaya negara asing untuk memperluas sistem politiknya ke Benua Amerika akan merupakan ancaman bahaya terhadap perdamaian dan keamanan Amerika. Doktrin Persamaan Kedudukan Negara Persamaan kedudukan negara merupakan refleksi dari salah satu bagian dari atribut dari negara, yaitu kedaulatan. Yang menjadi ciri utama dari topik ini yaitu adanya latar belakang pemikiran bahwa hukum internasional didasarkan pada kesepakatan bersama dari negara-negara yang berdaulat, yaitu masyarakat internasional yang sederajat satu sama lainnya sebagai subjek hukum internasional. Menurut J.L.Brierly

mengatakan bahwa kata persamaan (equality) disini harus dibaca sebagai persamaan didepan hukum (equality before the law). Ketentuan Hubungan Bertetangga Antar Negara Prinsip dari ketentuan hubungan bertetangga antara negara ini mempunyai kemiripan dengan larangan abuse of rights atau misbruik van recht. Prinsip yang dimaksud yaitu suatu negara dilarang untuk menggunakan wilayahnya yang dapat merugikan atau mengancam kepentingan negara lain. Hidup Berdampingan Secara Damai Berdampingan secara damai ini hanya terhadap kaidah-kaidah yang menjamin bahwa negara-negara dengan sistem politik dan ekonomi yang berbeda agar saling hormat-menghormati. Sebagai contoh konkret dari kristalisasi prinsip hidup seperti dalam bentuk keputusan penting. Misalnya: Dasa Sila Bandung Kedaulatan Negara Atas Kekayaan Alamnya Dalam membahas tentang kedaulatan negara, maka kedaulatan negara atas kekayaan alamnya pun dewasa ini menjadi sangat penting.

1. Dalam suatu resolusi Majelis Umum PBB 21 Desember 1952 Ditegaskan tentang prinsip penentuan nasib sendiri ekonomi setiap negara 2. Kedaulatan Permanen terhadap kekayaan alam di dasar laut dan tanah dibawahnya dan diperairan laut yang masih berada dalam yurisdiksi nasional suatu negara.

3. Kedaulatan Atas Wilayah Darat Kedaulatan Tertorial adalah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wilayahnya. D.P. O,Connell berpendapat, karena pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada wilayah, maka wilayah adalah konsep fundamental hukum internasional. Pada prinsipnya suatu negara hanya dapat melaksanakan jurisdiksi secara eksklusif dan penuh di dalam wilayahnya saja. Karena itu pula suatu negara yang tidak memiliki wilayah, tidaklah mungkin menjadi suatu negara.9 Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yang terdiri dari tanah atau daratan (yang mencakup segala yang ada di bawah dan di atas tanah tersebut, misalnya kekayaan tambang dan segala sesuatu yang tumbuh di tanah tersebut), laut dan udara. Dilihat dari segi wilayah, hukum mengenai 4 bentuk rezim pengaturan: a) kedaulatan teritorial b) wilayah yang tidak berada di bawah kedaulatan negara lain dan yang memiliki status tersendiri (misalnya mandat atau trust) c) res nullius, yaitu wilayah yang tidak dimiliki atau tidak berada dalam kedaulatan suatu negara d) res communis, yaitu wilayah yang tidak dapat berada di bawah suatu kedaulatan tertentu (no-States land)

Ibid, hlm 111-131.

Prinsip dan Cara Memperoleh Wilayah 1. Prinsip Efektivitas Prinsip ini diperkenalkan oleh Hans Kelsen bahwa kepemilikan negara atas suatu wilayah ditentukan oleh berlakunya secara efektif peraturan hukum nasional di wilayah tersebut. Disamping menggunakan prinsip ini, Martin Dixon juga memperkenalkan 2 prinsip lain, yaitu (a) adanya kontrol atau pengawasan dari negara terhadap suatu wilayah dan (b) adanya pelaksanaan fungsi-fungsi negara di wilayah tersebut secara damai. 2. Prinsip Uti Possidetis Menurut prinsip ini, pada prinsipnya batas-batas wilayah suatu negara baru akan mengkuti batas-batas wilayah dari negara yang mendudukinya. Dinyatakan pada prinsipnya karena dalam kenyataannya batas-batas wilayah suatu negara (yang atau yang baru) dapat saja berubah. Karena cukup banyaknya sengketa perbatasan diselesaikan dengan menerapkan prinsip ini, Martin Dixon berpendapat bahwa prinsip usi possidetis sudah menjadi suatu prinsip hukum kebiasaan yang berlaku umum (a principle of cutomary law of general application) a. Pendudukan (Occupation) Pendudukan adalah pendudukan terhadap terra nullius, yaitu wilayah yang bukan dan sebelumnya pun belum pernah dimiliki oleh suatu negara ketika pendudukan terjadi. Pendudukan mengandung dua unsur pokok: yaitu penemuan (discovery) atau the taking of Possesion, dan pengawasan yang efektif (effective control). Kriteria lebih lanjut untuk menentukan efektifitas occupation: Penemuan harus diikuti dengan tindak lanjut untuk membuktikan telah dilaksanakannya kedaulatan di wilayah yang diduduki. Penemuan suatu wilayah harus diikuti oleh pengawasan terhadapnya. Adanya niat dari suatu negara untuk mendudukinya. Tindakan yang tidak sah bukan syarat pendudukan. Klain untuk memelihara status terra nullis.

b. Penaklukan atau Aneksasi (Annexation) Penaklukan atau penulis lain menyebutnya pula sebagai subjugasi (subjugation) adalah suatu cara pemilikan suatu wilayah berdasarkan kekerasan (penaklukan). Cara ini umumnya baisa terjadi dan diakui ssebelum tahun 1928 ketika the Briand-Kellog Pact ditandatangani. Saat ini hukum internasional melarang keras cara-cara penggunaan kekerasan (militer) untuk mendapatkan suatu wilayah. c. Akresi atau Pertambahan (Accretion dan Avulsion) Akresi adalah cara perolehan suatu wilayah baru melalui proses alam (geografis). Melalui proses ini suatu tanah (wilayah) baru terbentuk dan menjadi bagian dari wilayah yang ada. Misalnya, pembentukan pulau di mulut sungai atau perubahan arah suatu sungai yang menyebabkan tanah menjadi kering yang sebelumnya dilalui oleh air. d. Preskripsi (Prescription) Preskripsi adalah pemilikan suatu wilayah oleh suatu negara yang telah didudukinya dalam jangka waktu yang lama dengan sepengetahuan dan tanpa keberatan dari pemiliknya. Preskripsi sebenarnya adalah tindakan yang melanggar hukum internasional. Namun sifat pelanggaran ini tampaknya menjadi hilang (dibenarkan) karena adanya sepengatahuan atau pengakuan dari pemilik yang seolah-olah menyetujui perbuatan tersebut. e. Cessi (Cession) Cessi adalah pengalihan wilayah secara damai dari suatu negara lain dan kerapkali berlangsung dalam rangka suatu perjanjian (treaty of cessio) yang biasanya berlangsung setelah usainya perang. Prinsip yang penting dalam cessi ini yaitu: pertama, bahwa dalam pengalihan, hak yang diserahkan tidak boleh melebihi hak yang dimiliki oleh si pengalih (pemilik). Kedua, di dalam pengalihan suatu wilayah, negara yang mengalihkan wilayah harus pemilik sah atas wilayah tersebut.

f. Plebisit (Plebiscite) Plebisit adalah pengalihan suatu wilayah melalui pilihan

penduduknya, menyusul dilaksanakannya pemilihan umum, referendum, atau cara-cara lainnya yang dipilih oleh penduduk.

BAB III PEMBAHASAN

Bagian pembahasan bab ini akan dibahas hubungan landasan teori yang telah dikemukan dalam bab sebelumnya dengan permasalahan mengenai kedaulatan negara yang terjadi saat ini. Penulis akan membahas Taiwan yang saat ini masih dipermasalahkan kedaulatannya sebagai suatu negara dalam dunia internasional. Meskipun Taiwan sudah memenuhi empat syarat berdirinya suatu negara menurut Konvensi Montevideo 1933, secara de facto Taiwan telah memenuhi seluruh kriteria tersebut berdasarkan Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of State of 1933. Pasal tersebut berbunyi: The State as a person of international law should possess the following qualifications: a) a permanent population b) a defined territory c) a government d) a capacity to enter into relations with other states Namun secara de jure Taiwan belum dapat disebut sebagai negara karena Taiwan saat ini belum diakui sebagai sebuah negara oleh dunia internasional termasuk PBB, walaupun terdapat sebagian kecil negara yang mengakui Taiwan sebagai sebuah negara. Oleh karena itu mungkin tampak bahwa sebutan de jure dan de facto secara tegas tidak merupakan deskripsi atas proses pengakuan itu sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan status negara atau pemerintah tertentu untuk siapa pengakuan itu dikeluarkan.10 Proses berdirinya Taiwan dapat dilihat dari terjadinya perang saudara di Cina antara partai Komunis dengan partai Kuomintang. Partai Komunis yang memenangkan perang saudara tersebut mendirikan negara Republik Rakyat Cina pada tahun 1949. Kemudian partai Kuomintang beralih ke Provinsi Taiwan yang terdiri dari beberapa pulau, pulau yang
10

J.G Starke QC, Op cit, hlm 187.

teresar adalah Formosa dan mendirikan pemerintahan yang baru. Sampai saat ini Republik Rakyat Cina yang memerintah di Cina daratan tidak mau mengakui Taiwan sebagai negara, RRC menganggap Taiwan masih bagian dari salah satu provinsi negara tersebut. Berbagai upaya damai telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah Taiwan dengan Cina mulai dari penyelesaian dengan Satu Negara Dua Sistem namun hingga saat ini masalah tersebut belum terselesaikan karena perbedaan ideologi, ekonomi, politik maupun sistem keamanan di dua wilayah tersebut. Taiwan hanya diakui oleh 25 negara yang mayoritas adalah negara-negara kecil yang tidak mempunyai pengaruh yang besar di dunia internasional. Diperlukan suara dari negara-negara anggota PBB yang mengakui Taiwan sebagai suatu negara yang berdaulat. Kurangnya pengakuan dari negara-negara lain mengakibatkan kerjasama Taiwan di dunia internasional menjadi terhambat. Berikut beberapa kelemahan hukum yang utama bagi Taiwan bila tidak diakui sebagai suatu negara adalah: a. Taiwan tidak dapat berpekara di pengadilan negara-negara yang belum mengakuinya. b. Tindakan dari pemerintah Taiwan tidak akan berakibat hukum di pengadilan negara yang tidak mengakuinya sebagaimana yang biasa diberikan menurut aturan komitas. c. Perwakilan Taiwan tidak dapat menuntut imunitas dari proses peradilan. d. Harta kekayaan Taiwan sesungguhnya dapat dimiliki oleh wakil-wakil dari rezim yang telah digulingkan. Masa depan Taiwan sebenarnya tidak dapat ditentukan oleh rakyatnya sendiri karena menyangkut stabilitas regional Asia Timur dan Pasifik. Negara-negara yang sangat menaruh perhatian dan terlibat langsung atas masalah Taiwan adalah Amerika Serikat dan Cina. Amerika Serikat berpengaruh langsung terhadap masalah Taiwan karena posisi Amerika Serikat yang memberikan perlindungan kepada Taiwan dari serangan Cina. Tujuan Amerika Serikat melindungi Taiwan adalah

menjadikan Taiwan sebagai negara kedua di Asia Pasifik sebagai tempat pertahanan terhadap pengaruh Cina terhadap dunia baik dari segi ekonomi maupun militer. Sedangkan yang terlibat secara tidak langsung adalah Jepang. Saat ini, Taiwan hanya mempunyai 3 kemungkinan masa depan: Reunifikasi damai dengan Cina Sistem persekutuan (Uni Cina-Taiwan) Satu negara dua sistem (model Hong Kong) Kemerdekaan Taiwan yang mungkin berdarah-darah melalui jalan damai seperti referendum Republik Taiwan Status quo Republik Cina yang tidak mempunyai kedaulatan internasional. Menurut pendapat Lauterpacht, pemberian pengakuan itu

merupakan suatu keharusan sebagai kewajiban hukum. Pendapat ini menekankan bahwa suatu negara tidak dapat ada sebagai subjek hukum tanpa adanya pengakuan ini. Maka hukum internasional membebankan kewajiban kepada negara-negara yang telah ada untuk memberikan pengakuannya agar negara baru itu ada. Dengan nada yang sama namun berbeda dengan redaksinya, Chen berpendapat bahwa karena negara baru itu ada dan mempunyai hak maka suatu kewajiban bagi negara-negara lain untuk mengakuinya agar hak negara tersebut berlaku. Namun pendapat ini ditentang keras oleh pendapat Ian Brownlie dengan alasan bahwa pengakuan yang merupakan tindakan publik negara adalah suatu tindakan pilihan atau opsional atau bersifat politis karena tidak ada kewajiban suatu negara untuk melaksanakannya11. Brierly pun menyatakan bahwa pemberian pengakuan ini merupakan tindakan politik dari pada tindakan hukum. Yang lebih tepat untuk menentukan apakah pengakuan ini merupakan suatu keharusan atau bukan, nampaknya, tepat apa yang dikatakan oleh Podesta Costa, bahwa tindakan pengakuan ini merupakan tindakan fakultatif artinya suatu negara bebas untuk mengakui lahirnya suatu

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford University Press, 1975, Hlm 95.

11

negara baru tanpa adanya keharusan untuk melakukannya atau larangan untuk tidak melakukannya. Konsekuensi yang akan ditimbulkan dapat berupa konsekuensi politis dan konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan negara yang mengakui. Konsekuensi politis dimaksud misalnya saja, kedua negara kemudian dapat dengan leluasa mengadakan hubungan

diplomatik sedangkan konsekuensi yuridisnya dapat berupa : Pertama, pengakuan tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang

sebenarnya (evidence of the factual situation). Kedua, pengakuan mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diakui. Ketiga, pengakuan memperkukuh status hukum (judicial standing) negara yang diakui dihadapan pengadilan negara yang mengakui12. Menurut J.B. Moore makna pengakuan itu sebagai suatu jaminan yang diberikan kepada suatu negara baru bahwa negara tersebut diterima sebagai anggota masyarakat internasional. Dari fakta dan definisi tersebut pula, maka dapat ditarik fungsi pengakuan ini yaitu untuk memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu negara atau pemerintah baru sebagai anggota masyarakat Internasional. Melihat empiris yang terjadinya, Kemerdekaan Taiwan ini

terkendala oleh Negara Cina itu sendiri yang tidak mau mengakui kemerdekaan Taiwan sebagai negara baru. Selain itu juga, Taiwan mempunyai bargaining power yang lemah untuk melakukan lobi-lobi

politik dalam mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain dikarenakan Cina memperingatkan atau memberikan peringatan kepada negara-negara lain untuk tidak memberikan pengakuan kemerdekaan kepada Taiwan. Hal ini menjadikan negara-negara lain mengurungkan niatnya untuk memberikan pengakuan kedaulatan kemerdekaan kepada Taiwan yang secara nyatanya Taiwan sudah mampu dan sudah terpenuhinya syarat-syarat menjadi menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri. Sehingga sekarang ini Taiwan diibaratkan sebagai negara semu
12

D.W.Greig, International Law, London:Butterworths, edisi ke-2, 1976, hlm.120.

yang secara de facto bisa disebut sebagai suatu negara yang merdeka tetapi secara de jure belum memenuhi sebagai suatu negara yang merdeka penuh dikarenakan belum mendapat pengakuan kedaulatan dari Negara Cina itu sendiri dan Negara-negara lain, serta yang tidak kalah pentingnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya yaitu pengakuan Taiwan sebagai negara belum memenuhi syarat minimal negara baru yang oleh PBB harus mendapatkan dari negara-negara anggota PBB.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Untuk berdirinya suatu negara harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian internasional yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Konvensi Montevideo 1923. Negara merupakan sujek hukum internasional yang terpenting dalam menjalin hubungan kerjasama internasional dengan negara lain. Akan tetapi kita juga menyadari bahwa sekadar terpenuhinya syarat-syarat tersebut juga belum ada jaminan pengakuan sehingga kedaulatan suatu negara tidak memiliki eksistensi dalam dunia

internasional. Inilah yang dimaksud sesuai dengan teori politis dari Lautrpacht. Kepentingan politik yang lebih dominan menguasai dunia internasional. Meski demikian dalam kasus Taiwan, dalam teori deklaratif keberadaan Taiwan sebagai negara tetaplah ada. Dengan penjelasan bahwa Taiwan dianggap ada bagi negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengannya.

4.2 Saran Makalah ini tentulah sangat terbatas untuk dapat memberikan masukan dengan pertimbangan fakta dalam dunia internasional mengenai kekuasaan dan kepentingan politik. Namun demikian sebagai bahan pembelajaraan tentu hukum internasional perlu memiliki suatu

perkembangan lebih mengenai kepastian hukum. Terutama dalam memberikan hak berdaulat bagi negara baru atau dengan kata lain kepastian hukum terhadap pengakuan berdirinya negara baru.

Daftar Pustaka

Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, Oxford University Press, 1975. Greig, D.W, International Law, London: Butterworths, 1976. Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Rebecca M.M Wallace, Bambang Arumanadi, Hukum Internaisonal, Semarang: IKIP Semarang Press, 1993. J.G Starke QC, Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

You might also like