You are on page 1of 72

5 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

KEPENDUDUKAN Pendahuluan Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota telah menjadi bagian yang penting dalam pembangunan di Indonesia pada beberapa dekade terakhir. Berdasarkan definisi dari Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk kota meningkat dari 32,8 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 55,4 juta jiwa pada tahun 1990 dan meningkat kembali menjadi 86,4 juta jiwa pada tahun 2000. Pada saat yang sama, jumlah penduduk desa meningkat dari 114,5 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 122,8 juta jiwa pada tahun 1990. Namun, jumlah tersebut kemudian menurun menjadi 119,4 juta jiwa pada tahun 2000. Pada akhirnya, proporsi penduduk kota meningkat tajam dari 22 persen pada tahun 1980 menjadi 42 persen pada tahun 2000 (TABEL 5 - 1).1 Jumlah tersebut menunjukkan terjadinya transformasi yang besar dalam masyarakat Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, dari yang masyarakat berciri desa, yang terlihat dari sistem pemerintahan dan perdagangannya (terutama adalah komoditas pertanian) yang mendukung pengembangan kota secara terbatas, menjadi masyarakat kota, gaya hidup kota dan yang paling penting adalah keterkaitan penduduk dengan ekonomi kota yang akan membentuk pola pembangunan dan pertumbuhan kota. Dalam hal ini, tingkat pertumbuhan penduduk desa yang rendah (berangka negatif pada tahun 1990-an) pada TABEL 5 - 1 tidak menunjukkan penurunan angka pada pertumbuhan penduduk desa yang sebenarnya, akan tetapi karena terjadinya perubahan dari tempat dengan karekateristik desa menjadi tempat dengan karakteristik kota walaupun jumlah penduduknya tetap statis.

1 Karena beberapa masalah pada sensus tahun 2000, jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar 459.557 jiwa (kota) dan 1.857.659 jiwa (desa). Tambahan sebesar 566.403 jiwa penduduk kota dan 1.717.478 jiwa penduduk desa dihitung secara formal tetapi tidak menjawab karakteristik individual.

126

Metropolitan di Indonesia

TABEL 5 - 1 Jumlah dan Tingkat Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Kota/Desa di Indonesia Tahun 1980, 1990 dan 2000
Tahun Kota Desa Jumlah % Kota

1980 1990 2000 1980-1990 1990-2000

Jumlah Penduduk 32.845.829 114.485.994 147.331.823 55.389.171 123.805.052 179.194.223 86.406.587 119.436.609 205.843.196 Tingkat Pertumbuhan Penduduk (%) 5,23 0,78 1,96 4,58 -0,37 1,43

22,3 30,9 42,0

Catatan: (1) Jumlah penduduk kota tidak memasukkan penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (tuna wisma, penduduk yang tinggal di atas perahu, dll.) yang memiliki jumlah sekitar 158 ribu pada tahun 1980 dan 127 ribu pada tahun 1990. Jumlah penduduk tersebut pada tahun 2000 tidak diketahui. (2) Tingkat pertumbuhan dihitung berdasarkan rumus P(t)=P(0)ert Sumber: Biro Pusat Statistik (1991), Badan Pusat Statistik (2001)

Bagian ini akan menjelaskan secara singkat karakteristik urbanisasi di Indonesia berdasarkan kependudukannya yang dipusatkan pada lima kota besar yang secara umum didefinisikan sebagai kawasan metropolitan antara lain: (1) Mebidang yaitu Kawasan Metropolitan Medan yang meliputi Kota Medan dan sekitar Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang; (2) Kawasan Metropolitan Jabodetabekjur, meliputi Ibukota Jakarta dan kawasan sekitar Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota dan Kabupaten Tangerang, dan Kota dan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Cianjur; (3) Kawasan Bandung Metropolitan meliputi Kota dan Kabupaten Bandung dan sebagian dari Kabupaten Sumedang; (4) Kawasan Metropolitan Gerbangkertosusila yang terdiri dari Kota Surabaya sebagai pusat, kawasan sekitar meliputi Kabupaten Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, dan juga Kota Mojokerto; (5) Kawasan Metropolitan Mamminasata meliputi Kota Makassar dengan Kabupaten di sekitarnya, yaitu Maros, Takalar dan Gowa (dulunya bernama Sungguminasa). Tulisan ini akan melihat pola urbanisasi, yang menekankan pada pengelompokan kembali2 beberapa karakteristik sosial ekonomi penduduk dalam ruang lingkup metropolitan dan beberapa diskusi mengenai bagaimana terjadinya perubahan pola tersebut. Definisi Kota Bagaimanapun juga perlu kehati-hatian dalam menganalisis pola pertumbuhan penduduk kota. Ada dua alternatif definisi kota di Indonesia. Pertama adalah definisi secara administratif, yaitu berdasarkan unit pemerintah lokal yang otonomi yang disebut Kotamadya yang setara dengan status hukum pemerintahan kota. Kedua adalah secara
2

Pendekatan ini digunakan karena kurangnya data rinci mengenai penduduk untuk menghitung perubahan penduduk berdasarkan demografi-pertumbuhan alami (perbedaan antara kelahiran dan kematian) dan net-migrasi (perbedaan antara migrasi masuk dan keluar).

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

127

fungsional, yaitu setiap unit pemerintahan terkecil yang memiliki kesetaraan dengan status desa atau kota yang fungsional berdasarkan karakteristiknya. Ciri utama dalam definisi fungsional yang digunakan oleh BPS yaitu status desa/kelurahan dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan kota. Pengelompokan kembali (secara jelas antara desa dan kota) menjadi faktor utama dalam menjelaskan pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang cepat, yaitu membandingkan 30-35 persen dari pertumbuhan kota pada tahun 1990an dengan jumlah migrasi desa-kota sebesar 20-25 persen (World Bank 2003).
TABEL 5 - 2 Perubahan Definisi Kota Sebelum dan Sesudah Podes 2000
Kepadatan Penduduk (per Km2) 19802000Nilai 1990 Sekarang <500 500-999 1000-1499 1500-1999 2000-2499 2500-2999 3000-3499 3500-3999 4000-4999 5000+ <500 500-1249 1250-2499 3500-3999 4000-5999 6000-7499 7500-8499 8500+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Persentase Rumah Nilai terhadap Tangga Pertanian Jumlah Fasilitas Umum 1980 2000 Keter- KeterNilai Nilai 1990 sekarang sediaan jangkauan >95 91-95 86-90 76-85 66-75 56-65 46-55 36-45 26-35 2570,0 50-69 30-49 20-29 15-19 10-14 5-9 51 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Catatan: Definisi Kota tahun 2000 berdasarkan data PODES 2000 (a) dapat digunakan dari tahun 1980 sampai 1990-an; (b) dapat digunakan sejak tahun 2000 Tipe-tipe fasilitas publik: (a) Skor hanya untuk ketersediaan: SD, SMP, SMA, rumah sakit, klinik ibu dan anak, pusat kesehatan, jalan yang dapat digunakan kendaraan roda 3 atau 4, kantor pos, pasar permanen, pusat perbelanjaan, bank, pabrik, restoran, pelayanan umum listrik dan jasa penyewaan. (b) Skor untuk keterjangkauan (1 atau 0): TK (1 jika 2,5 Km), SMP dan SMA ((1 tiap 2,5 Km), pasar (1 jika 2Km), bioskop (1 jika 5 Km), pertokoan (1 jika 2 Km), rumah sakit (1 jika 5 Km), hotel/bilyard/diskotek/salon (1 jika tersedia), % rumah tangga yang memiliki telepon (1 jika 8%), dan % rumah tangga yang menggunakan listrik (1 jika 90%) Sumber: Definisi awal berasal dari Sigit dan Sutanti 1983 dalam Peter Gardiner 1993 dan juga pada BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 1990an. Definisi berdasarkan PODES 2000 didapatkan dari BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2000an.

Perubahan definisi fungsional BPS menganggap status kota berdasarkan sistem penilaian yang melibatkan kriteria kepadatan penduduk, proporsi rumah tangga pertanian dan jumlah fasilitas kota dapat dilihat pada TABEL 5 - 2. Definisi kota fungsional yang dikembangkan pada dekade 1970-an diterapkan pertama kali secara nasional pada Sensus Penduduk tahun 1980 dan dipertahankan sampai tahun 1990an. Perubahan yang

128

Metropolitan di Indonesia

signifikan diperkenalkan berdasarkan PODES (Potensi Desa) 2000.3 Definisi terkini sangat berbeda dengan definisi sebelumnya dalam hal isi (walaupun metodologi yang digunakan, indeks komposit dan skor masih tetap sama). Berdasarkan definisi baru tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk desa meningkat secara signifikan dan proporsi rumah tangga pertanian menurun. Definisi baru juga memperkenalkan perubahan pada jenis fasilitas publik dan pada apa yang diukur. Definisi awal hanya mempertimbangkan ketersediaan sebagai ukuran, sementara definisi terkini mempertimbangkan akses yang kebanyakan diukur berdasarkan jarak capai. Sebagai contoh, perhitungan berdasarkan data pada tingkat desa/ kelurahan menunjukkan bahwa perubahan pada Jabotabek dan Metropolitan Bandung selama tahun 1980-an telah berkontribusi secara signifikan pada pertumbuhan jumlah penduduk di kawasan metropolitan. Setiap tahun penduduk kota di Jabotabek dan Metro Bandung masing-masing tumbuh sebesar 5,8 persen dan 4,8 persen dan jumlah penduduk desa menurun dengan rata-rata per tahun sebesar 1,4 persen dan 0,4 persen. Di dalam kawasan kota inti, pertumbuhan penduduk per tahun pada dua kawasan metropolitan tersebut masing-masing adalah sebesar 2,3 persen dan 1,6 persen, sementara pertumbuhan penduduk pada wilayah yang lebih luas meningkat lebih tinggi yaitu sebesar 7,9 persen di Jabotabek dan 5,2 persen di Metro Bandung sehingga masingmasing berkontribusi sebesar 41 persen dan 31 persen dari seluruh pertumbuhan penduduk di kawasan metropolitan tersebut (Gardiner 1993).
TABEL 5 - 3 Dekomposisi Pertumbuhan Penduduk di Jabotabek dan Metropolitan Bandung tahun 1980 1990
Kawasan Jabotabek Tingkat Jumlah Penduduk Pertumbuhan (ribu jiwa) (%/th) 1980 1990 Metro Bandung Tingkat Jumlah Penduduk Pertumbuhan (ribu jiwa) (%/th) 1980 1990

Yang terdata Kota desa Total Kawasan stabil 1980 Kota Perluasan 1990 Kota Desa

7.337 4.558 11.895 7.337 1.730 9.067 2.828

13.050 3.946 16.996 9.220 3.830 13.050 3.946

5,8 (1,4) 3,6 2,3 7,9 3,6 3,3

2.063 2.068 4.131 2.063 544 2.607 1.524

3.322 1.987 5.309 2.411 911 3.322 1.987

4,8 (0,4) 2,5 1,6 5,2 2,4 2,7

Sumber: Peter Gardiner (1993), berdasarkan analisis dari data-data tahun 1980 dan 1990 pada tingkat desa yang menjelaskan perubahan-perubahan nama, kode dan batas wilayah.

Pentingnya pengelompokan dalam menghitung pertumbuhan penduduk kota tidak dapat diabaikan, khususnya di Pulau Jawa yang pemerintah dan kegiatan ekonominya sangat berperan dalam konversi guna lahan dan untuk kepentingan pengelompokan yang
3

PODES (Potensi Desa) dilakukan untuk mempersiapkan tiga sensus utama yaitu. Sensus Penduduk pada tahun yang berakhiran 0. Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 3. dan Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 6.

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

129

lain. Pengelompokan tersebut memberi kesan bahwa urbanisasi mempercepat peran parameter demografi, pertumbuhan alami dan migrasi dalam pertumbuhan penduduk metropolitan yang akan dikelompokkan dan dikembangkan kembali. Pola Permukiman Penduduk dan Pertumbuhan Kota Pola ekologi urbanisasi di Indonesia ditunjukkan oleh perkembangan Kawasan Metropolitan Jabodetabek yang semakin besar. Walaupun pada awalnya terlihat seperti pola konsentrik4, tetapi belakangan ini perkembangan pergerakan penduduk menunjukkan fenomena seperti pada teori kombinasi antar sektor5 dan pola konsentrik6, sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan pengembangan wilayah dan jalur transportasi. Secara demografis, ciri utama kota-kota besar di Indonesia adalah tingkat pertumbuhan penduduk yang didefinisikan untuk kawasan inti kota yang sebagian besar proporsi guna lahan pada kawasan tersebut dimanfaatkan terutama untuk, atau mengalami perubahan, dari permukiman menjadi non-permukiman khususnya untuk kegiatan komersial; dan kawasan pinggiran kota digunakan sebagai perluasan permukiman penduduk. Kawasan inti dicirikan dengan berbagai faktor antara lain penurunan penduduk absolut, tingkat migrasi keluar yang tinggi, sedangkan kawasan pinggiran kota dicirikan dengan tingkat migrasi ke dalam yang tinggi dan sebagai akibatnya adalah meningkatnya jumlah penduduk absolut. Walaupun akhir-akhir ini (khususnya setelah krisis moneter) muncul perubahan ke arah jentrifikasi7 pada kawasan inti di beberapa kawasan metropolitan melalui peningkatan pembangunan apartemen dan town house yang sering kali dengan standar kenyamanan internasional, tetapi hal tersebut tidak akan menyebabkan perubahan besar pada pertumbuhan penduduk di pusat kota karena pembangunan di pusat kota tersebut seringkali tidak menggantikan permukiman kumuh (untuk masyarakat miskin) sebelumnya yang lebih padat; dan karena pembangunan di kawasan pusat kota tersebut juga memerlukan fasilitas, bukan permukiman yang cukup luas, seperti pusat perbelanjaan dan supermarket mewah.

4 Berdasarkan Ernest Burgess tahun 1925 dengan judul the pattern of growth of American cities (Chinoy 1967, hal. 279). 5 Dikemukakan oleh Homer Hoyt tahun 1939 yang memodifikasi rencana Burgess dengan memfokuskan pada pergerakan-pergerakan antar sektor yang didesak dari arah luar dengan mengikuti jaringan jalan utama (Chinoy 1967: 279) 6 Dikembangkan oleh Edward Ullman dan Chauncey Harris yang mengidentifikasi pertumbuhan khusus di daerah inti yang mengalami perubahan karena fungsinya seperti komersial, industri ringan, industri berat, dan perluasan kawasan permukiman. 7 jentrifikasi (gentrification) adalah perubahan sosial ekonomi kawasan pusat kota karena berpindahnya penduduk miskin digantikan oleh penduduk dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi.

130

Metropolitan di Indonesia

TABEL 5 - 4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan Metropolitan Jabotabek Tahun 1990-2000
Kawasan Luas (Km2) Jumlah Penduduk (Juta jiwa) 1990 1995 2000 Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 1990 1995 2000 2,769 3,265 3,432

JABOTABEK 6.174,7 17,10 20,16 21,19 Core Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Inner Zone Bogor Bekasi Tangerang Outer Zone Bogor Bekasi Tangerang 662,0 145,7 187,7 8,22 9,11 2,03 2,04 2,01 2,38

8,35 12,421 13,765 12,609 1,78 13,922 14,008 12,245 2,35 10,701 12,698 12,509 0,87 24,021 20,267 18,108 1,90 13,246 17,011 15,089 1,44 9,44 3,58 2,71 3,15 3,41 1,83 0,62 0,96 8,785 10,140 2,289 2,235 2,345 2,317 1,097 798 1,560 3,065 2,435 3,526 3,551 1,201 1,024 1,416 9,321 3,975 3,507 4,471 4,212 1,085 843 1,422 1,787

48,3 1,16 0,98 126,2 1,67 2,15 154,1 1,35 1,56 2.373,8 1.020,3 606,1 747,4 3.138,9 2.164,2 437,9 536,8 5,43 7,28 2,28 2,48 1,42 2,14 1,73 2,65 3,44 3,77 1,73 2,22 0,68 0,62 1,03 0,93

1,925 1,742

Catatan: Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan data survey penduduk desa tahun 1995 Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang)

Mamas dan Komalasari (akan datang)8 membagi Kawasan Metropolitan Jabodetabek menjadi core, inner dan outer fringe, serta menunjukkan bahwa kawasan fringe yang sebagian besar masih merupakan kawasan perdesaan masih berada di dalam kawasan metropolitan yang besar dan menunjukkan bahwa perubahan ke arah kota sedang berjalan atau baru akan dimulai9. Dinamika perubahan kawasan di core Jabotabek yang akan datang dapat menjadi indikasi pola pertumbuhan dan penurunan jumlah penduduk di kawasan metropolitan di Indonesia. Pertumbuhan dan penurunan penduduk di kawasan core Jakarta menunjukkan pola konsentrik/memusat dengan Jakarta Pusat sebagai the inner core dan kawasan lain di dalam Jakarta sebagai lapisan
8 Sangat disayangkan pekerjaan Mamas dan Komalasari ini tidak dapat diulangi untuk tulisan ini karena memerlukan pemakaian data pada tingkat desa yang tidak bisa didapatkan. 9 Sebagai ibukota negara. yang memiliki keistimewaan dibandingkan kota-kota lain. peran Jakarta di dalam negara maupun di dunia internasional menjadi menarik untuk diteliti seperti yang telah dilakukan oleh T. Firman (1998. 1999 dan 2004).

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

131

pertama yaitu outer zone, bergerak ke luar dari Jakarta Pusat sebagai inner core ke daerah sekitarnya yang disebut outer zone disebabkan kepadatan permukiman yang rendah. Di Jakarta Pusat, kepadatan penduduk mencapai 18 ribu jiwa/km2 sedangkan di kawasan outer fringes, khususnya daerah Bogor, kepadatan penduduknya masih kurang dari 1000 jiwa/km persegi (TABEL 5 - 4).
TABEL 5 - 5 Rata-rata dari Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Alami dan Migrasi di Jabotabek Tahun 1990-1995 dan 1995-2000
Kawasan JABOTABEK Core Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Inner Zone Bogor Bekasi Tangerang Outer Zone Bogor Bekasi Tangerang Rata-Rata Pertumbuhan Penduduk (%) 1990-1995 1995-2000 3,35 1,00 2,08 -1,74 0,12 -0,30 3,48 -3,34 5,13 2,91 6,01 1,73 8,50 8,91 1,84 5,12 -1,91 -1,98 -2,23 -2,37 -1,67 -1,74 5,33 7,56 4,86 3,47 -2,01 -3,80 0,07 0,52 Rata-rata Rata-rata Pertumbuhan Alami Net-migrasi (per 000) (per 000) 1990-1995 1995-2000 1990-1995 1995-2000 1,82 16,9 6,1 -7,4 16,1 16,0 3,5 -34,1 15,5 15,6 -14,3 -44,4 17,0 13,7 15,6 17,3 19,7 15,9 24,9 19,5 22,8 23,9 18,8 23,3 16,9 14,0 15,8 15,5 17,6 17,1 17,8 17,8 18,8 19,2 16,9 19,6 14,4 -50,7 28,6 9,4 30,8 0,5 42,0 50,0 - 5,4 20,3 -39,0 -44,3 -19,9 -37,8 -41,2 -33,0 28,2 44,0 24,4 13,5 -40,2 -62,0 -16,1 -14,5

Catatan : Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan data Survey Penduduk Tahun 1995. Tanda positif menyatakan migrasi masuk dan tanda negatif menyatakan migrasi keluar. Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang)

Untuk mengetahui penyebab pertumbuhan penduduk, tulisan ini melihat komponenkomponen pertumbuhan penduduk tersebut dari pertumbuhan alami dan net-migrasi (TABEL 5 - 5). Perubahan pola pertumbuhan penduduk penting untuk dicatat. Secara umum, tingkat pertumbuhan penduduk di Jabodetabek pelahan-lahan menurun secara signifikan sepanjang dekade 1990-an dari 3,35 persen per tahun selama paruh pertama menjadi hanya 1 persen selama paruh kedua sampai akhir abad ini. Penurunan tingkat pertumbuhan penduduk terjadi meskipun pertumbuhan alami meningkat secara positif (selisih antara kelahiran dan kematian) ketika tingkat migrasi masuk menurun secara signifikan dari 6,1persen (positif) selama paruh pertama menjadi -7,4 persen (negatif) selama paruh kedua dekade 1990-an. Dengan kata lain, secara umum Jabotabek ditandai

132

Metropolitan di Indonesia

dengan jumlah migrasi masuk selama paruh pertama dari dekade terakhir yang kemudian ditandai dengan migrasi keluar pada paruh akhir dekade tersebut. Pada tingkat lokal, perubahan pertumbuhan penduduk terjadi karena beberapa alasan. Pada kawasan core Jakarta, peningkatan harga lahan untuk kegiatan komersial dan permukiman mewah seperti mall, bangunan-bangunan perkantoran bertingkat, dan apartemen, menggantikan villa dan rumah tinggal yang hanya satu lantai, yang menyebabkan pertumbuhan negatif yang ditunjukkan dengan tingginya angka migrasi keluar. Dengan kata lain, pada kawasan luar kota (outer fringe) Jabotabek, khususnya Bekasi dan Tangerang, orang-orang membangun kawasan industri pada pertengahan pertama 1990-an yang menyebabkan angka migrasi keluar tinggi. Di antara dua kawasan ekstrim Jabotabek yaitu kawasan core dan outer, penduduk di inner zone akan meningkat karena banyaknya migrasi yang masuk ke kawasan tersebut. Walaupun demikian, tingkat pertumbuhan penduduk di inner zone perlahanlahan menurun, dari 6,01 persen menjadi 5,33 persen per tahun selama pertengahan awal dan akhir tahun 1990-an. Penurunan ini diakibatkan oleh seluruh penurunan pada pertumbuhan alami dan net-migrasi. Gambaran pertumbuhan penduduk di Jabotabek tersebut menunjukkan bahwa sebagai sebuah kawasan metropolitan, pertumbuhan penduduk di Jabodetabek cenderung didorong oleh kekuatan pasar dan pemanfaatan lahan. Harga dan guna lahan mempengaruhi tingkat migrasi yang masuk dan keluar. Metropolitanisasi Lima Kawasan Metropolitan Tahun 1980-an dan paruh pertama dekade 1990-an (sampai krisis ekonomi) merupakan periode pengembangan metropolitan secara besar-besaran, khususnya di Pulau Jawa. Secara demografis, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk yang relatif cepat di beberapa kota utama, lebih cepat lagi di kota-kota besar Jabotabek (sekarang Jabodetabekjur), Surabaya dan Bandung jika dibandingkan dengan daerah lain (baik desa maupun kota) yang berada di dalam kawasan tersebut. Cepatnya perluasan kawasan perkotaan (urbanized area) ke kawasan-kawasan yang berdekatan merupakan salah satu ciri proses tersebut, yang berarti bahwa reklasifikasi merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan pertumbuhan kota secara keseluruhan. Net-migrasi juga merupakan penyebab meluasnya kawasan metropolitan ini. Bagaimanapun juga, sebagian besar migrasi sebenarnya terjadi di dalam metropolitan itu sendiri yaitu penduduk yang bergerak keluar dari kota induk (core) sekarang ke daerah-daerah lain di pinggiran atau perbatasan kota. Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek-aspek penting yang terjadi di Kawasan Metropolitan Jabotabek menjadi ciri perubahan yang juga terjadi pada kawasan-kawasan metropolitan lain. Perubahan Jabotabek menunjukkan sebuah kombinasi tiga pola pertumbuhan kota konsentrik, sektoral dan banyak pusat dimulai dengan sebuah pusat atau core yang terdiri dari kota utama dan dikelilingi daerah-daerah yang sedang mengalami proses urbanisasi. Lima Kawasan Metropolitan yang menarik untuk diteliti antara lain: (1) Mebidang. yang terdiri dari Kota Medan dan Binjai serta Kabupaten Deli Serdang; (2) Jabodetabekjur terdiri dari DKI Jakarta dan Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta Kabupaten Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur; (3) Bandung Raya terdiri dari Kota Bandung dan Cimahi, serta Kabupaten Bandung dan Sumedang; (4)

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

133

Gerbangkertosusila terdiri dari Kota Surabaya dan Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan; (5) Mamminasata terdiri dari Kota Makassar dan Kabupaten Takalar, Goa dan Maros.
TABEL 5 - 6 Pertumbuhan Penduduk Desa di beberapa Kawasan Metropolitan
Kawasan Metropolitan Jumlah 1995 1999 2005 Jumlah Penduduk Kota (%) 1995 1999 2005

Jumlah Penduduk Desa (ribu) Mebidang Jabodetabekjur Bandung Raya Gerbangkertosusila Mamminasata 825 1,762 855 1,951 447 825 1,829 859 1,949 448 827 1,847 863 1,949 473 30,4 39,9 30,6 22,7 36,9 32,5 39,9 31,0 22,5 35,0 41,8 56,0 47,7 40,0 37,6

Total Penduduk (juta) Mebidang Jabodetabekjur Bandung Raya Gerbangkertosusila Mamminasata 3,3 18,8 5,9 7,2 2,1 3,6 20,6 6,4 7,5 2,1 4,2 23,9 7,3 8,1 2,2 65,2 69,8 53,6 48,5 60,8 66,5 67,4 52,0 48,3 57,7 76,3 79,0 67,7 63,3 61,5

Catatan: Mebidang terdiri dari: Kota Medan dan Binjai; Kabupaten: Deli Serdang Jabodetabekjur terdiri dari: Semua Kota di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, dan Bekasi; Kabupaten: Bogor, Tangerang, Bekasi dan Cianjur. Bandung Raya terdiri dari: Kota Bandung dan Cimahi; Kabupaten: Bandung dan Sumedang Gerbangkertosusila terdiri dari: Kota Surabaya dan Mojokerto; Kabupaten: Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan Mamminasata terdiri dari: Kota Makassar; dan Kabupaten: Takalar, Goa dan Maros. Jumlah Penduduk dari data Podes yang didapat dari kepala desa, unit data lebih kecil dari penelahan khusus oleh IHS berdasarkan data dari BPS Podes (Potensi Desa) dalam beberapa tahun.

Data Podes (Potensi desa) BPS saat ini memungkinkan untuk dianalisis dengan memperhatikan sejarah perkembangan secara terbatas dalam memahami proses urbanisasi dengan memfokuskan pada tiga periode terakhir, yaitu tahun 1995, 1999 dan 200510. Dengan menggunakan delineasi desa, desa-desa yang dapat dikelompokkan sebagai kota dan penduduk yang bertempat tinggal di desa tersebut diidentifikasi sebagai dasar untuk menghitung persentase desa-desa yang menjadi kota dan persentase jumlah penduduk kota yang tinggal di desa tersebut (TABEL 5 - 6).
10

Seperti penjelasan sebelumnya. Podes dilibatkan dalam persiapan sensus utama: Podes tahun 1995 sebagai persiapan Sensus Pertanian tahun 1996. Podes tahun 1999 sebagai persiapan Sensus Penduduk tahun 2000 dan Podes tahun 2005 untuk Sensus Ekonomi tahun 2006. Pemakaian tahun dalam Podes oleh BPS berdasarkan tujuan tertentu. Tahun yang menjadi referensi disini menggambarkan tahun pengumpulan data

134

Metropolitan di Indonesia

Pembahasan selanjutnya perlu diperhatikan dengan seksama. Pertama, tanpa kecuali, proses urbanisasi secara ekologis di lima kawasan metropolitan jauh lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan demografisnya. Perluasan kawasan metropolitan menunjukkan bahwa kecuali Jabodetabekjur, kawasan metropolitan lainnya secara ekologis masih lebih berciri desa daripada kota. Contohnya, hanya kurang dari setengah desa-desa tersebut sudah dikelompokkan menjadi kota. Dengan kata lain, dari perspektif kependudukan, kecenderungan untuk mengkategorikan penduduk desa-desa tersebut menjadi penduduk kota secara umum meningkatkan tingkat urbanisasi secara tajam. Dari lima kawasan metropolitan tersebut, Mebidang dan Jabodetabekjur memiliki lebih dari 3 dari 4 rumah tangga penduduk di desa yang berciri kota (urban village), sedangkan tiga kawasan metropolitan lainnya antara 6 dan 7 dari 10 penduduk yang tinggal di desa berciri kota. Kedua, proses urbanisasi menjadi semakin cepat dan terlihat jelas bahkan dalam periode pendek selama sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1995 sampai tahun 2005. Kecenderungan ini terjadi meskipun definisi desa yang menjadi kota tersebut lebih ketat (lihat TABEL 5 - 2). Kecenderungan ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekologi tetapi juga dari sisi demografi. Pada lima kawasan metropolitan tersebut, wilayah desa berciri kota serta jumlah penduduknya meningkat secara signifikan selama lima tahun terakhir dalam abad ini dibandingkan abad sebelumnya sedangkan secara anekdot dirasakan bahwa ketika bergerak keluar dari pusat kota dan melihat iklan-iklan untuk komplek perumahan, dimana proses urbanisasi terjadi. Lebih lanjut, perlu diingat bahwa kecenderungan percepatan urbanisasi pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 terus berlangsung dan tetap bertahan. Pada saat itu, krisis pertama kali mempengaruhi dinamika sektor konstruksi yang menyebabkan pembuat kebijakan menjadi khawatir akan dampak sosialnya berupa demonstrasi para pekerja yang di-PHK di jalan-jalan Jakarta. Data ini menunjukkan adanya kemungkinan sektor konstruksi kembali menjadi penggerak urbanisasi yang terjadi di semua kota-kota besar di negeri ini. Kondisi pada tahun 2005 digambarkan oleh peta pada gambar-gambar di bawah. Peta tersebut menunjukkan penyebaran desa berciri kota (urban village) dan desa berpenduduk paling sedikit 2000 jiwa atau lebih di lima kawasan metropolitan. Berdasarkan data kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan pulau lainnya. Kawasan metropolitan terbesar berada di Pulau Jawa. Dari lima kawasan metropolitan yang diteliti, terdapat tiga kawasan metropolitan besar yang terletak di Pulau Jawa Jabodetabekjur yang memiliki keistimewaan dibandingkan kawasan metropolitan lain, diikuti oleh Gerbangkertosusilo, dan Metropolitan Bandung yang keempat adalah Mebidang di Sumatera Utara, dan yang kelima adalah Mamminasata, dengan Kota Makassar sebagai core-nya. Kawasan Metropolitan di Pulau Jawa lebih besar secara ekologis (jumlah desa) dan secara demografis (jumlah penduduk). Jabodetabekjur memiliki keistimewaan tidak hanya dalam cakupan wilayahnya tetapi juga dalam hal jumlah penduduknya. Berdasarkan data Podes tahun 2005, Jabodetabekjur memiliki jumlah penduduk sebanyak 23,9 juta jiwa11 sedangkan kawasan metropolitan terbesar
11

Angka penduduk dalam Podes didapatkan dari wawancara kepada kepala desa. Walaupun ada kecenderungan dalam pengambilan data podes kurang sistematis. Namun hasilnya masuk akal untuk membandingkan dengan proyeksi penduduk yang digunakan untuk SUSENAS (Survei Sosial-Ekonomi Nasional).

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

135

kedua, Gerbangkertosusila hanya memiliki 8,1 juta jiwa, yaitu kurang dari sepertiga jumlah penduduk di Jabodetabekjur, dan Metropolitan Bandung dengan 7,3 juta jiwa. Kawasan metropolitan di luar Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit, dengan Penduduk Mebidang hanya sebesar 4,2 juta jiwa dan Mamminasata hanya sebesar 2,2 juta jiwa (TABEL 5 - 6).12 Disamping itu, peta-peta tersebut juga menunjukkan koridor perkotaan, bermula pada daerah inti yang berkembang menjadi lebih terbangun dan proses urbanisasi terus meluas, biasanya perluasan itu mengikuti jaringan transportasi utama khususnya pada jalan utama. Urbanisasi merupakan suatu bentuk pencarian atas pelayanan sosial dan ekonomi serta penghidupan yang lebih baik, yang selanjutnya ditunjang dengan pembangunan jalan-jalan arteri utama. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Jabotabek yang perkembangan kotanya terjadi di sepanjang koridor arteri timur barat. Oleh karena itu, jika pembangunan jalan arteri utama dibangun berdasarkan keputusan pemerintah maka perkembangan perkotaan juga ditentukan secara langsung oleh pemerintah. Pihak swasta dan pengembang merespon terhadap inisiatif-inisiatif tersebut dengan membangun lingkungan perkotaan dan kawasan tertutup (enclave) berupa real estate baik yang berskala besar maupun kecil. Pihak swasta membangun perumahan untuk golongan ekonomi menengah ke atas dengan mengesampingkan masyarakat miskin. Masyarakat miskin dengan sendirinya mengisi ruang-ruang antara yang tersisa baik yang legal maupun ilegal.

GAMBAR 5 - 1 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Mebidang

Data SUSENAS 2004, proyeksi penduduk di lima wilayah metropolitan sebagai berikut: Mebidang 4.3 juta jiwa. Jabodetabekjur 25,3 juta jiwa. Metropolitan Bandung 7,8 juta jiwa.

12

136

Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 2 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Jabodetabekjur

GAMBAR 5 - 3 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Bandung Raya

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

137

GAMBAR 5 - 4 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Gerbangkertosusila

GAMBAR 5 - 5 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Mamminasata

138

Metropolitan di Indonesia

Perbandingan pola kepadatan dan penyebaran desa-kota dan kota pada lima kotakota metropolitan ditunjukkan oleh TABEL 5 - 7 yang mengkombinasikan perbedaan mencolok antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Kota-kota metropolitan di Pulau Jawa biasanya lebih besar, seperti Jabodetabekjur, yang memiliki primacy rate13 yang besar mengungguli kota-kota metropolitan lainnya. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak hanya dalam arti wilayah ataupun karakteristik desa-kotanya, tetapi terutama dalam hal penduduk. Kenyataan ini dapat dimaklumi karena Pulau Jawa sejak dahulu memiliki penduduk yang lebih besar jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, sehingga kota-kota metropolitan di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih besar. Pembangunan di masa lalu pun cenderung terpusatkan pada wilayah barat Indonesia, sehingga tidak mengherankan jika kota metropolitan pertama di luar Pulau Jawa adalah Kota Medan, Pulau Sumatera. Kota metropolitan terkecil yang dibahas dalam bab ini adalah Mamminasata yang relatif kurang terbangun. Mengapa Tinggal di Kota-Kota Metropolitan? Pembahasan mengenai proses urbanisasi dan metropolitanisasi serta pertumbuhan dan penurunan penduduk di atas terlepas dari penilaian baik atau buruk. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa penilaian dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang tertentu. Jika dilihat dari sudut pandang perencana atau pengelola kota, kedatangan penduduk, terutama mereka yang miskin, merupakan suatu masalah. Para pendatang dituding sebagai penyebab meningkatnya kemacetan dan mereka menggunakan fasilitas dan pelayanan kota yang tidak direncanakan untuk mereka. Bagaimanapun mereka terlalu menggantungkan pada kondisi fisik dan sosial infrastruktur kota yang juga menyebabkan keterpurukan mereka. Namun, pendatang juga membayar pajak yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki infrastruktur fisik dan sosial perkotaan.

Angka yang menunjukkan daya tarik kota besar yang didapatkan dari perbandingan jumlah penduduk kota besar tersebut dengan jumlah penduduk di dua kota berikutnya

13

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

139

TABEL 5 - 7 Sudut Pandang Ekologi dan Kependudukan Metropolitanisasi


Penyebaran Kawasan Perkotaan Mebidang Berawal dari Kota Medan sebagai kota inti, secara dominan berkembang sepanjang koridor barat timur . Perkembangan ke arah barat menghubungkan Kota Medan dengan Kota Binjai. Ke arah timur Kabupaten Deli Serdang yang merupakan daerah pantai. Mebidang bukan merupakan kawasan terbangun yang padat melainkan bentuk penyebaran desa-kota hingga ke wilayah kabupaten Deli Serdang Jabodetabekjur Lima wilayah kota di DKI Jakarta merupakan kawasan inti perkotaan dengan kepadatan tinggi yang terus berkembang ke arah utara selatan dan timur barat hingga ke wilayah Tangerang di bagian barat. Bekasi di bagian timur dan Bogor di bagian selatan. Bandung Perkembangan kawasan perkotaan di Metropolitan Bandung berawal dari pusat Kota Bandung ke wilayah sekitarnya hingga ke wilayah Kabupaten Bandung. Gerbangkertosusila Perkembangan kawasan perkotaan di Gerbangkertosusila berawal dari pusat Kota Surabaya, meliputi sebagian besar wilayah Sidoarjo dan desa-desa sekitarnya hingga terhubung dengan Kota Mojokerto. Mamminasata Mamminasata merupakan kawasan metropolitan yang kurang terbangun dibandingkan dengan lima kota metropolitan yang dibahas disini, kawasan terbangun masih terpusat pada daerah inti dengan beberapa kantungkantung pertumbuhan disekitarnya. Dibandingkan dengan lima kota metropolitan lain yang dibahas di sini. Mamminasata merupakan kawasan metropolitan yang kurang terbangun.

Tingkat Ekologi Perkotaan

Tingkat Urbanisasi Penduduk

Kepadatan desa-kota dengan populasi lebih dari 2000 jiwa tidak terlalu banyak dan di wilayah luar Kota Medan desa-desa ini lebih tersebar.

Seluruh wilayah Jakarta merupakan kawasan terbangun. Tangerang dan Bekasi pada proses terbangun dengan tingkat yang tinggi sedangkan Bogor masih memiliki wilayah pedesaan yang lebih luas. Pola urbanisasi ditunjukkan sebagai desa-kota dan desa dengan populasi 2000 jiwa atau lebih merupakan patokan yang dapat

Diluar Kota Bandung, daerah sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang memiliki kawasan terbangun yang terbatas.

Desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih tersebar hampir diseluruh kawasan metropolitan Bandung, tetapi lebih terpusat di sekitar Kota

Tingkat desa-kota yang tinggi tentu saja ditemukan di Kota Surabaya dan Kota Mojokerto bahkan juga di Kabupaten Sidoarjo. Di Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Lamongan desa-kota nya lebih tersebar. Gerbangkertosusila memiliki karakteristik tingkat urbanisasi penduduk yang tinggi yang dapat dilihat dari persebaran desa-desa dengan jumlah penduduk

Hal yang sama, angkaangka menunjukkan tingkat urbanisasi penduduk di kawasan metropolitan ini masih rendah.

140

Metropolitan di Indonesia

Mebidang Perluasan Ekologi Perkotaan Perluasan kawasan metropolitan ke wilayah Kabupaten Deli Serdang menunjukkan tingkat kawasan terbangun yang relatif rendah. Penyebaran desa-desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih menyerupai perluasan desa-kota, melalui Kota Medan menuju Kota Binjai dan ke arah selatan sepanjang pantai.

Penyebaran Urbanisasi Penduduk

Jabodetabekjur dibandingkan. Penambahan wilayah Cianjur yang memiliki kawasan terbangun rendah ke dalam kawasan metropolitan mempengaruhi tingkat kawasan terbangun secara keseluruhan. Desa-desa di Pulau Jawa, termasuk Bogor dan Cianjur, memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak, sebagian besar memiliki penduduk lebih dari 2000 jiwa.

Bandung Bandung. Kawasan terbangun masih terjadi di sekitar Kota Bandung, sedangkan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang masih terdapat banyak kawasan pedesaan. Desa-desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih, terpusat di sekitar Kota Bandung, dapat juga ditemukan pada sebagian besar wilayah metropolitan.

Gerbangkertosusila 2000 jiwa atau lebih Desa-kota di kawasan metropolitan ini cenderung untuk mengelompok keluar dari wilayah inti Kota Surabaya menuju kabupaten-kabupaten sekitarnya. Seperti kawasan metropolitan lainnya di Pulau Jawa yang penduduknya sangat besar, dalam hal kependudukan wilayah ini sangat terbangun karena desa-desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih secara luas tersebar di seluruh wilayah ini.

Mamminasata Masih serupa dengan Makassar dan menyebar secara lambat ke desa-desa sekitarnya.

Dalam hal urbanisasi penduduk, desa-desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih tidak tersebar secara luas di wilayah metropolitan ini.

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

141

Seringkali orang ditanya mengapa ingin tinggal di Jakarta, atau di kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia, padahal kota-kota metropolitan itu identik dengan masalah kemacetan, polusi dan banyak terdapat penyakit-penyakit perkotaan lainnya. Jawabannya sangatlah sederhana. Di kota-kota itulah terdapat banyak aktivitas, meskipun orang tahu bahwa jalan-jalan tidak berlapis emas, tetapi disitulah tempat orang dapat menemukan susu dan madu walaupun tidak berlimpah. Hal yang sama juga dilihat oleh golongan kaya dan miskin, golongan kuat dan lemah, pria dan wanita, muda dan tua. Para politisi akan berada di ibu kota yang merupakan pusat kekuasaan dan keuangan. Bisnis, terutama bisnis skala besar, akan tinggal di metropolitan yang merupakan pusat bisnis yang merupakan tempat kehidupan bagi mereka. Bahkan, pemulung yang sangat miskin pun masih menganggap kehidupan di kota besar lebih baik daripada di tempat asal mereka yang memiliki peluang ekonomi terbatas atau bahkan sama sekali tidak ada karena mereka tidak memiliki lahan. Keberuntungan masih dapat ditemukan di kota-kota besar di kawasan metropolitan. Generasi muda dapat memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang lebih baik dan memperoleh kebebasan berekspresi termasuk dalam hal berbusana, jauh dari pengawasan sosial keluarga serta fasilitas-fasilitas hiburan yang banyak dan beragam. Kemacetan, polusi, kriminalitas dan hal-hal negatif lainnya menjadi konsekuensi yang dapat diterima untuk mendapatkan semua keuntungan tersebut.

TABEL 5 - 8 Daya Tarik Permukiman di Kawasan Metropolitan


Mebidang Indikator Kota Rasio Ketergantungan Rasio Registrasi Sekolah usia 16-18 tahun % populasi penduduk usia di atas 15 tahun lulusan SMA % Tenaga Kerja di Bidang Pertanian % Tenaga Kerja di Bidang Industri % Tenaga Kerja di Bidang Jasa Tingkat Pengangguran 49 72 Desa 60 59 Jabodetabekjur Kota Desa 42 65 63 27 Bandung Raya Kota Desa 47 59 54 40 Gerbangkertosusila Kota Desa 42 72 49 52 Mamminasata Kota Desa 47 66 59 39

47

29

48

16

38

18

48

30

55

38

7 29 64 19

59 17 34 16

3 33 65 17

45 17 39 17

8 36 56 21

39 27 34 15

6 33 61 13

58 17 26 12

4 18 77 20

58 13 29 17

Catatan: Rasio Ketergantungan merupakan pembagian antara jumlah penduduk usia 0 -14 tahun ditambah dengan usia diatas 65 tahun dengan jumlah penduduk usia 15 64 tahun (usia produktif). Rasio Registrasi Sekolah adalah perbandingan antara penduduk yang bersekolah dengan jumlah penduduk pada rentang umur tertentu. Bidang Pertanian mencakup pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Bidang Industri meliputi industri manufaktur, pertambangan dan penggalian, dan konstruksi. Bidang Jasa mencakup perdagangan, transportasi, keuangan, pelayanan sosial dan lain-lain. Sumber : Tabulasi khusus oleh IHS berdasarkan data Susenas BPS 2004

142

Metropolitan di Indonesia

Kenyataan di atas didukung oleh beberapa fakta dalam hal pendidikan dan pekerjaan, sebagaimana ditunjukkan dengan perbandingan indikator kependudukan antara kota dan desa di beberapa metropolitan yang dibahas (TABEL 5 - 8). Secara khusus, wilayah terbangun metropolitan dihuni oleh penduduk usia produktif yang dapat menikmati pendidikan yang lebih baik dan menemukan pilihan pekerjaan yang beragam meskipun di tengah-tengah ancaman pengangguran. Rasio ketergantungan (perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 dan >65 tahun dengan jumlah penduduk berumur 15-64 tahun) lebih rendah di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan di wilayah metropolitan yang menggambarkan dinamika pola ruang. Ini menunjukkan bahwa penduduk kota memiliki beban tanggungan lebih ringan yang biasanya memiliki jumlah anak yang membutuhkan investasi sosial berupa kesehatan dan pendidikan yang lebih sedikit. Sebagaimana kita ketahui, fasilitas dan pelayanan pendidikan, dan terutama dari segi jumlahnya, lebih banyak tersedia di daerah perkotaan daripada daerah perdesaan. Kami telah memilih dua indikator pendidikan, yaitu tingkat registrasi penduduk usia sekolah menengah atas dan persentase penduduk dewasa (di atas 15 tahun) yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan menengah atas. Hasilnya di beberapa metropolitan terpilih menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Dengan kata lain, penduduk kota jauh lebih terdidik daripada penduduk desa. Lebih beragamnya jenis pekerjaan dan peluang penghidupan di kota dibandingkan di desa adalah penyebab dan akibat dari kesemerawutan kota. Sebaliknya, hanya sebagian kecil penduduk perkotaan yang bekerja atau terpaksa bekerja di sektor pertanian mengingat mereka memiliki pilihan kerja yang lebih luas. Penyerapan tenaga kerja di bidang industri, termasuk industri skala kecil dan menengah, masih merupakan fenomena perkotaan daripada perdesaan. Ketimpangan yang lebih signifikan terjadi pada sektor jasa, meskipun termasuk perdagangan skala kecil yang dikenal sebagai sektor informal. Namun, mall hanya dibangun di daerah padat dimana penjual dapat menemukan sumber penghidupannya. Sektor transportasi, termasuk angkutan kendaraan bermotor roda dua yang dikenal dengan nama ojek masih lebih banyak tersedia di daerah permukiman padat. Inovasi terbaru tentu saja berupa bus way Jakarta, yang merupakan satu-satunya sistem transportasi yang diterapkan di negara yang membayar sopir dengan gaji tetap dan terbuka baik bagi pria maupun wanita. Sektor keuangan atau perbankan biasanya ditemukan di perkotaan yang memiliki peluang bisnis. Hal yang sama juga terjadi pada sektor pemerintahan yang terletak di kota pusat pemerintahan. Terdapat beberapa peluang penghidupan di perkotaan, namun, tidak semuanya membawa sukses. Dengan harapan dapat memenuhi keinginan, menjadi pengangguran pun tidak masalah sekalipun kemungkinannya tinggi, karena ini hanyalah sementara. Di samping itu, seiring dengan semakin orang miskin lebih memilih tinggal di perdesaan dan status pengangguran seringkali menjadi sesuatu yang sulit diterima, satu-satunya perbedaan tipis antara tingkat pengangguran yang tinggi di kota dan di desa menjadi tanda perlunya perhatian, yang biasanya menyulut gejolak sosial.

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan TABEL 5 - 9 Ketersediaan Fasilitas dan Pelayanan


Mebidang Kota 89 Desa 85 Jabodeta bekjur Kota Desa 93 69 Bandung Raya Kota Desa 86 74 Gerbangkertosusila Kota Desa 88 69

143

Mamminasata Kota 91 Desa 67

% Rumah Tangga dengan Listrik Rumah Sakit Puskesmas Praktek Dokter Sumber air minum/masak dari PAM. pompa atau sumur Jalan beraspal Kantor Pos Telepon Umum/Wartel Pusat Perbelanjaan Pasar Permanen/ Semi-permanen Hotel/guest house Bank Supermarket

34 44 3 99

143 31 21 75

Fasiltas/1000 penduduk 85 263 121 2370 38 56 33 44 4 32 3 24 % Desa-desa dengan fasilitas 98 82 88 52

73 35 3 90

55 21 74

51 33 4 99

23 33 71

82 13 89 42 26 20 30 30

41 2 30 1 5 3

92 32 99 60 34 24 42 64

59 3 70 7 7 4 1 4

93 23 99 51 26 23 35 48

81 4 65 6 9 4 2 3

91 13 97 39 26 13 24 32

53 1 67 6 12 1 2 1

95 15 98 52 24 29 32 19

62 2 59 5 21 2 4 1

Sumber : Tabulasi Khusus oleh IHS berdasarkan data PODES 2005 BPS

Penegasan mengenai keberutungan di kota secara jelas ditunjukkan pada TABEL 5 9. Tabel itu memperlihatkan bahwa secara umum proporsi rumah tangga yang memiliki akses listrik di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan di beberapa kawasan metropolitan yang dibahas. Hal yang sama juga terjadi dalam hal ketersediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan serta fasilitas dan infrastruktur yang mempengaruhi kualitas kehidupan. Akses terhadap air bersih, jalan dan infrastruktur ekonomi (kantor pos, wartel, pusat perbelanjaan, pasar, hotel, bank dan supermarket) lebih besar di perkotaan dibanding di pedesaaan. Tantangan Urbanisasi bukan hanya fakta kehidupan tetapi juga terus meningkat. Proyeksi BPS menunjukkan bahwa jumlah total penduduk Indonesia terus bertambah dari 206 juta pada tahun 2000 menjadi 275 juta pada tahun 2025 (TABEL 5 - 10). Sementara 4 dari 10 orang tinggal di kota pada tahun 2000, dalam dua dekade ke depan diperkirakan bahwa hampir 7 dari 10 orang akan tinggal di kota. Yang terpenting untuk dicatat adalah, walau bagaimanapun, tingkat urbanisasi nasional terutama dipengaruhi oleh kondisi Pulau Jawa. Menurut sensus penduduk tahun 2000, hampir separuh (49 persen) jumlah penduduk Pulau Jawa tinggal di perkotaan dan diperkirakan pada tahun 2025 hampir 8 dari 10 penduduk Pulau Jawa akan tinggal di perkotaan. Dengan perkiraan jumlah penduduk Jawa akan mencapai 151 juta pada tahun 2025, berarti 120 juta akan tinggal di aglomerasi perkotaan. Hal ini mengingatkan pengelola kota dan perencana tata ruang

144

Metropolitan di Indonesia

akan tantangan yang akan mereka hadapi. Peran apa yang ingin mereka mainkan? Apakah mereka akan berperan sebagai fasilitator atau justru berupaya menghalau kecenderungan ini?
TABEL 5 - 10 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Proporsi Penduduk Perkotaan Indonesia Menurut Pulau-pulau Utama Tahun 2000 - 2025
2000 2005 2010 2015 2020 2025 Jumlah Penduduk (juta) Sumatra Jawa Bali & Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku & Papua INDONESIA 43 47 51 121 128 134 11 12 13 11 13 14 15 16 17 4 4 5 206 220 234 Penduduk Perkotaan (juta) 33,7 48,8 32,3 35,4 27,6 24,3 42,0 38,8 56,5 38,1 40,0 30,8 24,9 48,3 44,1 63,6 43,5 44,8 34,1 25,6 54,2 55 141 14 15 18 5 248 59 147 14 17 19 5 262 63 151 15 18 20 6 274

Sumatra Jawa Bali & Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku & Papua INDONESIA

49,3 69,7 48,6 49,4 37,5 26,3 59,5

54,4 74,8 53,1 54,0 41,1 27,1 64,2

59,3 79,0 57,0 58,5 44,8 28,0 68,3

Sumber: BPS, BAPPENAS, UNFPA, Proyeksi Penduduk Indonesia 20002025

Penutup Secara jelas telah dinyatakan bahwa metropolitanisasi menguntungkan, atau bukan suatu masalah, paling tidak bagi mereka yang gaya hidupnya terpenuhi oleh fasilitas-fasilitas dan pelayanan yang tersedia. Dengan kata lain, jika ada permasalahan yang diidentifikasi oleh perencana dan pengelola kota, solusinya harus ditujukan untuk mereka yang menikmati berbagai macam aktivitas kehidupan metropolitan karena mereka tidak meninggalkan metropolitan tetapi justru terus mengajak orang lain untuk tinggal di kota. Atau mungkin sudut pandang lain harus juga diperhatikan, perencana kota harus merencanakan masa depan dan masa depan berarti meningkatnya kawasan terbangun dan meluasnya kawasan metropolitan yang ada saat ini. Pembangunan infrastruktur fisik perkotaan harus direncanakan sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk yang akan berlangsung terus menerus dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik di kawasan metropolitan. Indikator-indikator yang ditunjukkan TABEL 5 - 8 dan TABEL 5 - 9 memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada menyediakan jawaban. Seseorang bisa hanya mengasumsikan mengapa desa tumbuh menjadi kota yang terus meluas kemudian

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

145

bersama-sama dengan desa disekitarnya berubah menjadi permukiman perkotaan. Pertanyaan-pertanyaan berikut juga mengandung rekomendasi untuk diteliti lebih lanjut. Mengapa pola pertumbuhan kota metropolitan menjadi seperti yang selama ini terjadi, apakah ada invisible hand yang mengarahkan proses itu? Apa peran dan tanggung jawab pemerintah? Pemerintah pada tingkat mana? Bagaimana dengan peraturan zoning? Apakah ada dan dijalankan? Apakah pemerintah mengarahkan di mana seharusnya pihak swasta harus membangun atau sebaliknya? Apakah proses urbanisasi dan metropolitanisasi merupakan proses alami dengan pasar merupakan kekuatan satu-satunya? EKONOMI PERKOTAAN14 Pendahuluan Pertumbuhan kota-kota selalu berbasis pada faktor ekonomi. Titik tolaknya selalu terkait dengan keuntungan lokasi kota bersangkutan. Kota-kota yang cepat berkembang pada dua dekade terakhir ini dapat ditengarai adanya potensi lokasi yang sangat menonjol. Semua ini berwujud kegiatan ekonomi riil baik ekonomi formal maupun informal. Kota-kota besar yang ada sekarang ini, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar yang sering disebut dengan metropolitan menunjukkan kekuatan lokasi yang strategis sehingga terus tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan ini dapat diwakili oleh pertumbuhan penduduk yang pesat dan sekaligus pertumbuhan ekonominya. Dibandingkan dengan kota-kota atau daerah-daerah lain, ada beberapa kota di Indonesia mempunyai ukuran besar dengan penduduk lebih dari 700 ribu jiwa15. Jumlah kota-kota besar ini ada sekitar 14 kota, yang paling kecil adalah Kota Padang dengan penduduk 702 ribu jiwa (tahun 2000). Sebagai kota besar dengan jumlah penduduk yang besar, kota-kota tersebut mengalami berbagai persoalan, utamanya dalam pelayanan. Persoalan ini semakin kronis ketika jumlah penduduk terus meningkat yang umumnya berasal dari migrasi masuk ke kota yang disebut dengan urbanisasi.

Catatan editor: Analisis ekonomi di bab ini menggunakan batasan jumlah penduduk perkotaan yang berbeda dengan analisis kependudukan di bab sebelumnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi pesan yang disampaikan oleh buku ini. 15 Hasil penelitian empiris oleh Bambang dan Ringgi (2003) dalam pengelompokan besaran kota-kota di Indonesia ditemukan 3 kelompok, yaitu: kota besar/metropolitan mempunyai penduduk lebih dari 700 ribu jiwa. Kota sedang berpenduduk antara 200 ribu jiwa dan 700 ribu jiwa, sedangkan kota kecil berpenduduk kurang dari 200 ribu jiwa.

14

146

Metropolitan di Indonesia

TABEL 5 - 11 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota 1980-1990 dan 1990-2000 1980-1990 (%) 1990-2000 (%) Kota Besar (>700 ribu) 2,7 1,1* Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) 2,2 1,5 Kota Kecil (<200 ribu) 2,4 0,07 Rata-rata Kota 2,4 1,3
Sumber: Hasil Analisis *) Secara fungsional, pertumbuhan kota besar jauh lebih besar dari angka 1,1persen. Baca penjelasan TABEL 5 - 13.

Pertumbuhan penduduk kota yang paling dramatis terjadi pada periode 1980-1990 dengan laju pertumbuhan 2,4 persen16, sedangkan kota-kota besar sekitar 2,7 persen, Lihat TABEL 5 - 11. Namun kemudian pada periode berikutnya, yaitu 1990-2000, terjadi penurunan drastis dari 2,4 persen menjadi 1,3 persen (hampir sama dengan laju pertumbuhan penduduk nasional). Dengan demikian, pada periode 1990-2000 terjadi penurunan urbanisasi. Diduga, menurunnya tingkat urbanisasi ini selain dampak menurunnya tingkat ekonomi kota akibat krisis ekonomi 1998 yang lalu, juga karena adanya alternatif bagi migran untuk menjadi TKI di luar negeri (menurut informasi dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah TKI di Luar Negeri sekitar 5 juta jiwa). TABEL 5 - 12 di bawah ini menunjukkan kemungkinan tersebut.
TABEL 5 - 12 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota dan Nasional Sebelum dan Pasca Krisis Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) Skala Wilayah Kota Kecil (<200 ribu) Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) Kota Besar + Metropolitan(>700 ribu) Rata-rata Kota Nasional 1996 7,4 9,3 11,0 8,9 5,6 1998 -5,1 -6,9 -13,9 -6,0 -13,0 1999 -0,2 -0,0 -1,5 -0,4 3,5 2002 1,8 6,4 3,1 5,1 4,0

Sumber: Hasil analisis. Data PDRB Kabupaten/Kota. BPS

Pada TABEL 5 - 12 di atas juga dapat dikenali karakteristik kota-kota besar yang berbeda dengan kota-kota ukuran lebih rendah yaitu : 1. Kota-kota besar/metropolitan mempunyai tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi, tetapi bila terjadi krisis ekonomi, maka kota-kota besar/metropolitan mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam. Seperti yang bisa disimak pada
Perhitungan laju pertumbuhan pada periode 1980-1990 sebesar 2,4 persen adalah hasil penelitian oleh penulis. Selama ini laju pertumbuhan yang diakui pada periode tersebut sebesar 3,4 persen. Menurut penulis angka pertumbuhan 3,4 persen tersebut terdapat kesalahan yaitu memasukkan desa-desa yang menjadi kota dan memasukkan daerah-daerah perluasan kota dalam perhitungan pertumbuhan.
16

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

147

TABEL 5 - 12, pada periode 1996 pertumbuhan ekonomi sebesar 11 persen, tetapi

pasca krisis tahun 1997 yang lalu, laju pertumbuhan ekonomi mendadak kontraksi (minus) 13 persen. Namun demikian, ketika kondisi normal, maka laju pertumbuhan ekonomi kota-kota besar/metropolitan kembali leading. Ini menunjukkan bahwa ekonomi kota-kota besar/metropolitan cukup vulnerable. 2. Bandingkan dengan kota-kota kecil yaitu ketika situasi normal mempunyai laju pertumbuhan moderat sebesar 7,4 persen dan ketika terjadi krisis hanya mengalami kontraksi sebesar 5,1 persen. Kemudian ketika situasi normal hanya terangkat menjadi 1,8 persen. Perbandingan ini menunjukkan bahwa kota-kota kecil kelihatannya sudah steady atau mungkin terhambat.
TABEL 5 - 13 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota Metropolitan
Laju Pert. Penddk 1980-1900 (%) 2,41 4,13 Laju Pert. Penddk 1990-2000 (%) 0,16 2,25

No. 1.

Nama Kota Jakarta Kab. Bogor

Kota Bogor Kota Depok Kab. Tangerang Kota Tangerang Kab. Bekasi Kota Bekasi 2. Surabaya

0,94 6,10 6,29 2,05

10,97 4,12 4,70 0,43

3.

Kab. Sidoarjo Medan Kab. Deliserdang Bandung

3,17 2,30 2,59 3,47

2,97 0,97 2,09 0,41

Keterangan Terjadi penurunan laju pertumbuhan karena kejenuhan Terjadi pengurangan wilayah akibat pemekaran kota Bogor dan kota Depok. Terjadi pemekaran wilayah kota Belum terbentuk. Laju pertumbuhan tetap tinggi Belum terbentuk kota, belum ada data Laju pertumbuhan tetap tinggi Belum terbentuk kota, belum ada data Terjadi penurunan laju pertumbuhan karena kejenuhan. Laju pertumbuhan tetap tinggi Terjadi penurunan laju Pertumbuhan karena kejenuhan Laju pertumbuhan tetap tinggi

Terjadi penurunan laju Pertumbuhan karena kejenuhan. Kab. Bandung 1,83 2,71 Kenaikan laju pertumbuhan Sumber: Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2000, BPS

4.

Berdasarkan kajian di atas memperteguh kesimpulan bahwa : 1. Kota-kota besar/metropolitan sangatlah lentur dalam menanggapi pertumbuhan, sementara kota-kota kecil terlalu kenyal. Dengan sifat yang lentur, maka kota-kota besar/metropolitan akan selalu menghadapi dinamika pertumbuhan dan sekaligus menghadapi dampak pertumbuhan itu sendiri.

148

Metropolitan di Indonesia

2. Dampak dari pertumbuhan yang mulai meningkat lagi pada pasca krisis adalah meningkatnya lagi urbanisasi pada pasca tahun 2000 walaupun tidak sedramatis tahun sebelum 1990 yang lalu. Angka-angka urbanisasi memang sulit diidentifikasi, tetapi bisa ditandai dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi pada kota bersangkutan. Namun demikian, perkembangan kota-kota besar/metropolitan umumnya sudah melampaui batas administrasinya atau mengalami kejenuhan sehingga laju pertumbuhan penduduk (dengan data penduduk sesuai dengan batas administrasi) akan terdata rendah (karena sedikitnya pemukiman baru). Dengan demikian, pertumbuhan penduduk di kota-kota besar/metropolitan akan terdata rendah dan kecenderungan urbanisasi itu akan terdata pada daerah-daerah/kota-kota yang berada di sekitar kota metropolitan bersangkutan dengan laju pertumbuhan yang tinggi. Hal ini dapat dikaji pada beberapa kota besar/ metropolitan seperti Jakarta dengan Bodetabek, Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo, Medan dengan Deli Serdang dan Binjai, atau Bandung dengan Kabupaten Bandung sebagaimana yang bisa diteliti pada TABEL 5 - 13. Pertumbuhan penduduk kota-kota metropolitan tersebut akan berimplikasi pada corak ekonomi kota-kota bersangkutan. Secara agregat, pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah bersangkutan. Seberapa jauh pertumbuhan penduduk kota-kota besar dibarengi oleh pertumbuhan ekonominya. maka bisa dikaji bagaimana corak PDRB perkapita dengan data-data PDRB tahun 1998 dan 2002 atas dasar harga tetap (1993) dan estimasi data penduduk tahun 1998 dan 200217 sehingga dapat dihitung PDRB per kapita dan laju pertumbuhan PDRB per kapita sebagaimana yang dapat disimak pada TABEL 5 - 14 di atas. Dengan demikian, ada empat kategori pertumbuhan ekonomi yang dapat diberikan sebutan sebagai berikut: a. Kota besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB per kapita juga lebih tinggi dari rata-rata. Kota seperti ini disebut sebagai kota star. Hanya Jakarta Pusat dan Jakarta Utara yang pertumbuhan leading dan termasuk kota star;

b. Kota besar dengan PDRB per kapita lebih rendah dari rata-rata tetapi pertumbuhan PDRB perkapitanya lebih tinggi dari rata-rata, disebut sebagai kota growing. Kota Bandung, Padang, dan Palembang termasuk kota yang sedang tumbuh atau growing. c. Kota Besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB perkapitanya juga lebih rendah dari rata-rata, disebut Kota steady. Ada sembilan kota dari 19 kotakota besar/metropolitan yang termasuk dalam kota teady atau kota yang pertumbuhan ekonominya terhambat.

d. Kota Besar dengan PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata, tetapi pertumbuhan PDRB per kapitanya lebih rendah dari rata-rata disebut sebagai Kota mature. Yang termasuk dalam kategori ini adalah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Surabaya.
Data PDRB tahun 1998 digunakan atas pertimbangan linearitas. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1997 terjadi krisis dan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi yang drastis sehingga data-data tahun 1997 dan sebelumnya tidak bisa dibandingkan atau tidak linear. Data PDRB tahun 2002 digunakan karena data ini sudah merupakan data final.
17

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

149

TABEL 5 - 14 PDRB Per kapita dan Laju Pertumbuhannya


PDRB 1998 (juta) (1) 4.833.911,19 2.321.172,65 2.652.629,00 1.584.900.00 12.264.754,68 16.074.778,28 6.109.404,20 13.074.022,33 9.857.557,04 5.680.177,00 5.294.952,14 3.060.637,00 1.327.648,33 915.583,00 4.737.732,57 2.323.694,19 15.429.196,46 2.589.506,89 JML PDDK 1998 (2) 1.881.080 702.638 1.406.774 731.406 1.783.298 2.337.276 888.309 1.900.966 1.433.291 1.259.840 2.133.091 1.565.698 1.120.836 727.118 1.335.042 743.965 2.577.732 1.075.404 PDRB/ KAPITA 1998 Po (3) = (1)/(2) 2,570 3,304 1,886 2,167 6,878 6,878 6,878 6,878 6,878 4,509 2,482 1,955 1,185 1,259 3,549 3,123 5,986 2,408 PDRB 2002 (juta) (4) 5.799.222,07 2.682.462,36 3.179.588,00 1.815.272,00 11.644.849,21 12.305.853,81 15.929.738,60 10.353.071,91 14.050.749,60 6.616.456,50 6.694.331,05 3.732.084,00 1.459.981,62 1.279.881,96 5.626.854,73 2.692.919,81 14.565.521,28 3.205.558,44 JML PDDK 2002 / 2003 (5) 1.993.602 765.450 1.339.315 790.895 1.707.093 2.103.525 893.195 1.565.708 1.182.749 1.416.840 1.867.010 1.809.306 1.247.233 789.423 1.350.002 772.642 2.659.566 1.148.312 Rata-rata PDRB/ KAPITA Pt (6) = (4)/(5) 2.909 3.504 2.374 2.295 6.821 5.850 17.835 6.612 11.880 4.670 3.586 2.063 1.171 1.621 4.168 3.485 5.477 2.792 4.950 LAJU PERTBH PDRB / KAPITA 1998 - 2002 =(Pt/Po) -1 (7) 0.0315 0.0149 0.0593 0.0145 -0.0020 -0.0396 0.2690 -0.0098 0.1464 0.0088 0.0963 0.0135 -0.0030 0.0652 0.0410 0.0278 -0.0220 0.0376 0.0416

NAMA KOTA (0) Medan Padang Palembang Bandar Lampung Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Tangerang Bandung Bekasi Depok Bogor Semarang Malang Surabaya Makassar

150

Metropolitan di Indonesia

Berdasarkan kategori di atas maka implikasi pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Kota-kota star seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Utara merupakan kota yang ekonominya terus berkembang dan sangat dinamis. Karena terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka terjadi desakan-desakan pemanfaatan ruang ke arah penggunaan yang lebih komersial. Dalam banyak kasus yang mengalami tekanan seperti ini adalah peruntukan perumahan. Dengan demikian secara berangsur dan cepat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara akan menjadi kawasan komersial. 2. Kota-kota rowing seperti Bandung, Padang, dan Palembang sedang mengalami perkembangan yang sangat cepat, termasuk implikasinya terhadap pergeseran tata ruang (perumahan menjadi komersial), hanya saja modal ekonominya masih rapuh. 3. Kota-kota steady yang merupakan sebagian besar kota-kota besar/metropolitan ini walaupun sedang tumbuh, tetapi masih banyak hal yang menghambat, sehingga pertumbuhannya relatif melambat. Diperkirakan masih banyak faktor-faktor percepatan ekonomi yang belum kondusif. 4. Kota-kota mature seperti Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Surabaya mempunyai fenomena yang sama dengan star di atas, tetapi masih mengalami hambatan karena layanan prasarana dan fungsi perumahan yang masih kuat. Akibat dari hambatan ini, pertumbuhannya tersendat dan berjalan tidak secepat kota-kota star. Posisi pertumbuhan ekonomi kota-kota besar/metropolitan tersebut ditunjukan dalam GAMBAR 5 - 6. Dari kategorisasi kota-kota besar/metropolitan tersebut di atas, walaupun sebagian besar dikategorikan sebagai steady, tetapi tetap kota-kota besar/metropolitan mempunyai posisi pertumbuhan PDRB per kapita yang rata-ratanya 4,16 persen (lihat TABEL 5 - 14) adalah jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan PDRB per kapita total kota-kota yang sebesar 2,3 persen18. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi kota-kota besar/metropolitan di Indonesia mempunyai implikasi sosial dan fisik sebagai berikut: 1. Tetap mempunyai daya tarik ekonomi dan akan menarik kembali tingkat urbanisasi. 2. Terjadinya pergeseran peruntukan lahan kota dari perumahan menjadi kawasan komersial dengan tingkat perubahan yang berbeda-beda. 3. Kembalinya urbanisasi yang meningkat (butir 1). Karena tidak didukung oleh ketersediaan lahan yang mencukupi maka perkembangan kota akibat tekanan pertumbuhan ekonomi ini akan berimbas pada kawasan sekitar kota besar/ metropolitan yang bersangkutan (spread development). 4. Pertumbuhan spread adalah pertumbuhan kota yang tidak efisien dan menimbulkan banyak dampak antara lain: kemacetan lalu lintas, berkurangnya
18

PDRB Per Kapita dan pertumbuhannya secara nasional dari sumber: Kajian Pertumbuhan Kota-kota Dalam Rangka Pembangunan Prasarana Ke-PU-an. PUSTRA. Kegiatan TA 2005.

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

151

fungsi kawasan lindung akibat dimanfaatkan untuk perumahan, dan sulitnya mengembangkan jaringan prasarana secara terpadu.
Lj. Pert. PDRB/Kap.

growing

star

Palembang, Bandung, Bogor, dan Makassar

Jakarta Pusat dan Jakarta Utara

PDRB/Kap. Medan, Padang, Bd.Lampung,Tangerang, Bekasi, Depok, Semarang. Malang, dan Makassar Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Surabaya

steady

mature

GAMBAR 5 - 6 Kategorisasi Kota-kota Besar/Metropolitan


Cat: Analisis berdasarkan TABEL 5 - 14

Bagaimanapun juga kota-kota besar/metropolitan tetap tumbuh leading dibandingkan kota-kota lain yang kesemuanya didorong oleh fungsi ekonomi dan peranan ini tentunya juga leading bagi perekonomian nasional. Tantangan Kota sebagai pusat aglomerasi ekonomi dengan pola pertumbuhan sebagaimana diuraikan sebelumnya diakui mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekonomi kota masing-masing dan ekonomi secara nasional karena: 1. Sekitar 40-50 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional disumbang oleh 90 kota19 atau sekitar 20 persen dari sekitar 430 kabupaten/ kota di Indonesia;

19

Yang dimaksud kota adalah kota otonom, tidak termasuk kota-kota kabupaten yang tidak otonom.

152

Metropolitan di Indonesia

2. Peranan ekonomi kota ini semakin menonjol pada kota-kota besar/metropolitan. Sekitar 14 kota-kota metropolitan atau 3 persen dari total daerah menyumbang 30 persen PDB Nasional20; 3. Selain penting dalam perekonomian nasional, kota-kota metropolitan juga mempunyai peranan bagi sumber fiskal nasional. Seperti diketahui 80 persen APBN berasal dari pajak dan dari 80 persen pajak ini, sekitar 70 persen berasal dari pajak badan, pajak pribadi, PPN, pajak final yang kesemuanya bersumber dari perkotaan; dan 4. Diperkirakan 50 persen dari APBN berasal dari pajak kota-kota besar/ metropolitan21. Walaupun kota-kota metropolitan secara agregat merupakan sumber ekonomi dan keuangan nasional, tetapi secara kapita kinerjanya lebih rendah dibandingkan kapita nasional yang dapat ditunjukkan bahwa : 1. PDRB per kapita kota-kota besar/metropolitan rata-rata Rp 4,5 juta. 2. Sedangkan PDRB Nasional per kapita sebesar Rp 6,7 juta. 3. Angka-angka per kapita kota-kota besar/metropolitan ini (yaitu Rp 4,5 juta) yang rendah ini dibandingkan dengan nasional (Rp 6,7 juta) menunjukkan 3 kemungkinan 22, yaitu: a. Kemungkinan pertama: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan yang masih miskin dan tinggal di kawasan-kawasan kumuh dan juga berarti terdapat kesenjangan kesejahteraan yang besar di kota-kota metropolitan.

b. Kemungkinan kedua: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan bekerja di ekonomi informal sementara angka PDRB tidak memasukkan kegiatan ekonomi informal. c. Kemungkinan ketiga: kemungkinan butir 1 dan 2 ada semua. Ini berarti tumbuhnya kota-kota besar/metropolitan selalu diikuti dengan jumlah kemiskinan yang besar dan berkembangnya ekonomi informal seiring dengan besaran PDRB itu sendiri. Semakin besar PDRB sebagai indikator ekonomi formal, semakin berkembang pula kegiatan ekonomi informalnya.

Kota-kota besar/metropolitan dengan kompleksitas dan intensitas yang demikian tinggi serta merupakan focal point ekonomi yang potensial itu, selain menjadi pusat pertumbuhan utama, juga membawa resiko beban-beban berat yang selalu mengiringi potensi-potensi pertumbuhannya. Potensi pertumbuhan yang sedang berlangsung itu tampaknya sulit dihentikan dan serta-merta beban-beban yang mengiringi juga terus menggelanjut.

20 21

Berdasarkan data-data PDRB 1999 2003. Berdasarkan perkiraan perhitungan APBN 2005. 22 Data-data APBD dan PDB dari BPS.

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

153

Dengan kemungkinan masalah perekonomian seperti kemiskinan dan kesenjangan kesejahteraan serta corak ekonomi informal yang mewarnai kehidupan kota-kota besar/ metropolitan sebagaimana yang diperkirakan di atas, maka keluaran persoalan yang muncul utamanya pada persoalan fisik klasik menyangkut soal kemacetan lalu lintas, kawasan kumuh, persampahan, kekurangan prasarana pada umumnya, dan menurunnya tingkat kualitas lingkungan. Semua ini menengarai bahwa perekonomian kota yang tumbuh selama ini ditopang oleh tulang-tulang penyangga yang rapuh. Dalam situasi ini kota-kota besar/metropolitan seolah mengalami obesitas yang beresiko tinggi, atau sensitif terhadap persoalan-persoalan yang mengiringi pertumbuhannya. Sebagaimana telah diungkap di atas tentang adanya kemungkinan konsentrasi kemiskinan yang tinggi dengan corak praktik ekonomi informal yang berserak maka ada kesulitan bagi pemerintah kota-kota metropolitan untuk menanganinya. Namun demikian, adanya kemiskinan adalah kenyataan dan menjadi tugas pemerintah daerah bersama masyarakat untuk mengentaskannya; dan adanya ekonomi informal adalah kenyataan lain yang harus diatur agar menjadi kekuatan ekonomi alternatif. Cara pengentasan kemiskinan dan pengaturan ekonomi informal oleh pemerintah daerah dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal daerah dengan kapasitas yang dimilikinya. Pada umumnya kapasitas fiskal kota-kota besar/metropolitan cukup potensial yang diperoleh melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak-pajak (BHP) yang ada (yang dikelola oleh Pemerintah), Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP), dan bantuan Pemerintah melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Penjumlahan penerimaan tersebut terangkum dalam APBD. Adapun belanja APBD yang dikeluarkan setiap tahun akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kota. Namun bagi kota-kota besar/ metropolitan, jumlah kapasitas fiskal berupa APBD ini dibandingkan dengan kapasitas ekonomi daerah ternyata tidaklah seberapa. Rasio APBD terhadap PDRB bagi kota-kota besar/metropolitan rata-rata hanya 4 persen. Artinya bahwa peranan fiskal daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah hanya 4 persen dan 96 persen berasal dari sektor riil atau ekonomi masyarakat (Lihat TABEL 5 - 15). Porsi APBD terhadap PDRB sebesar 4 persen ini sangat kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 23 persen23. Mengingat bahwa porsi fiskal terhadap ekonomi kota ternyata sangat tidak signifikan dengan rasio yang hanya 4 persen, maka sebenarnya upaya fiskal melalui belanja langsung APBD berupa belanja barang, kenaikan gaji, bantuan tunai, dan semacam itu kemungkinan besar tidak memberikan tambahan nilai yang berarti; yang mungkin bermanfaat adalah belanja modal berupa prasarana yang bisa lebih memacu ekonomi riil masyarakat serta memicu investasi langsung. Dengan demikian, tantangan utama dalam pengelolaan kota-kota besar/metropolitan adalah strategi pembangunan prasarana yang memberi kemungkinan tumbuhnya investasi langsung baik dalam negeri maupun luar negeri (Foreign Direct Investment). Dalam rangka menyongsong investasi itu, masing-masing kota haruslah meningkatkan daya saing. Laporan penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), menyatakan bahwa daya saing kota-kota besar/metropolitan secara

Rasio APBD/ PDRB secara nasional 23 persen, kota-kota ukuran sedang 9,8 persen, dan kota-kota kecil sebesar 20 persen (Samiaji 2003).

23

154

Metropolitan di Indonesia

umum semakin meningkat. Daya saing kota-kota besar/metropolitan berdasarkan penelitian KPPOD secara berurutan adalah disajikan pada TABEL 5 - 16.
TABEL 5 - 15 Rasio APBD terhadap PDRB (Harga Berlaku) PDRB (2004) No. Nama Kota APBD (2003) Dlm. Milyar Dlm. Milyar (2) (1) 1. Medan 1.168 33.078 2. Palembang 547 14.360 3. Padang 397 11.507 4. Bd. Lampung 369 6.022 5. DKI Jakarta 9.982 375.825 6. Bandung 962 27.977 7. Bogor 342 4.051 8. Depok 390 6.314 9. Tangerang 523 20.812 10. Bekasi 542 14.399 11. Semarang 638 20.250 12. Surabaya 1.320 59.290 13. Malang 336 9.745 14. Makassar 531 13.127 Rata-rata

Rasio (1)/(2) 0,04 0,04 0,03 0,06 0,03 0,03 0,08 0,06 0,02 0,04 0,03 0,02 0,03 0,04 0,04

Sumber : Hasil Analisis dari Data Keuangan SIKD Dep. Keuangan dan Data PDRB (atas Harga Berlaku) - BPS

TABEL 5 - 16 Peringkat Daya Tarik Investasi Kota-kota Besar/Metropolitan Tahun 2004 Peringkat Peringkat No. Nama Kota 2003 2004 Keterangan 1. Malang C AAA Kenaikan 2. Jakarta C AA Kenaikan 3. Palembang C AA Kenaikan 4. Makassar AA 2003 belum diteliti 5. Surabaya B BBB Kenaikan 6. Semarang BB BB Tetap 7. Padang B BB Kenaikan 8. Bandar Lampung C BB Kenaikan 9. Medan C BB Kenaikan 10. Tangerang C BB Kenaikan 11. Bandung BB C Penurunan 12. Bogor C C tetap 13. Bekasi D C Kenaikan 14. Depok Belum diteliti.
Sumber: KPPOD

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

155

Peringkat di atas berbeda dengan TABEL 5 - 15 yang mengkategorikan Kota Malang sebagai kota steady. Pada tabel di atas, Kota Malang malahan mempunyai daya saing yang paling tinggi di antara kota-kota besar/metropolitan lainnya. Perbedaan ini terjadi karena pemantauan dan penilaian daya saing yang dilakukan oleh KPPOD adalah potret sesaat dengan kemungkinan setiap tahun peringkatannya bisa berbeda, sementara hasil analisis di TABEL 5 - 16 menunjukkan kualitas yang konstan. Sebagai contoh: Semarang, di peringkat KPPOD, pada dua tahun lalu ada di peringkat pertama, namun belum sempat menikmati datangnya investasi, pada tahun 2003 peringkatnya turun menjadi peringkat sepuluh dan pada tahun 2006 terperosok ke peringkat sembilan belas. Bagaimanapun juga, daya tarik investasi akan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor prasarana dan faktor kelembagaan. Hubungan antara prasarana dan kelembagaan adalah: 1. Walaupun unsur kelembagaan juga menentukan, tanpa kelengkapan prasarana tetap saja tidak akan mengundang investasi. 2. Walaupun prasarana suatu kota telah lengkap, tanpa pengembangan kelembagaan, maka pemanfaatan prasarana tidaklah optimal. 3. Oleh karena itu bagi kota-kota besar/metropolitan yang memiliki prasarana yang lebih lengkap dan kinerja ekonomi yang dinamis, apabila ada upaya peningkatan kualitas kelembagaan, maka daya tarik terhadap investasi akan lebih nyata. Dengan demikian, untuk meningkatkan daya tarik investasi kota-kota besar/ metropolitan diperlukan pengembangan kelembagaan yang lebih dinamis. Sebagai kota besar/metropolitan dengan karakteristik perkembangan spread dan bergabung dengan daerah-daerah di sekitarnya maka daya saing akan lebih mantap apabila ada sinerji antara kota besar/metropolitan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Untuk itu, pengembangan kelembagaan melalui kerja sama antar daerah khususnya dalam bidang pembangunan prasarana akan meningkatkan daya saing dan mampu mengundang investor untuk menanamkan modalnya di kota-kota metropolitan dan daerah-daerah yang berbatasan dengannya. Implikasi Tata Ruang Sebagian besar pertumbuhan dan perkembangan kota-kota besar secara fisik telah melampaui batas administrasi sehingga ada tanda bahwa telah terjadi dua pola pertumbuhan fisik kota-kota besar sebagai berikut: 1. Perkembangan ke luar yang terus melebar sehingga mulai menyatu secara fisik dengan daerah yang berbatasan. 2. Perkembangan ke dalam, yaitu pergeseran di dalam kawasan terbangun kota. Umumnya yang terjadi adalah pergeseran atau transformasi dari kegiatan perumahan menjadi kegiatan komersial. Perkembangan kota yang bersifat ke luar dan ke dalam di kota-kota besar/ metropolitan ini sampai sekarang belum bisa dikendalikan baik melalui instrumen rencana tata ruang maupun melalui pengendalian tata ruang, termasuk zoning regulation. Kegagalan pengendalian tersebut diduga terjadi karena:

156

Metropolitan di Indonesia

1. Property Right pemilik lahan lebih kuat daripada Development Right pemerintah daerah. 2. Kurangnya kapasitas pengawasan terhadap perubahan guna lahan dan kurangnya sistem data dan informasi geografi kota yang terbaharui untuk mendukung pengawasan. 3. Tidak adanya kerja sama antar daerah yang solid di antara kota besar/metropolitan dan daerah yang berbatasan. 4. Persepsi terhadap nilai-nilai ekonomi jangka pendek lebih kuat daripada nilai-nilai kelestarian yang efisien. Sebagai akibat dari pola perubahan tata ruang dari dua sumber, yaitu ke dalam dan ke luar tersebut, maka kota menjadi terus meluas. Berbagai kebijakan pengembangan tata ruang malahan semakin memicu dan memacu perkembangan kota yang meluas, seperti: 1. Pengembangan struktur kota seperti: a. Pembentukan sub-pusat sub-pusat kota mendorong munculnya permukimanpermukiman baru;

b. Zonasi-zonasi guna lahan, terutama pemisahan zona bisnis dan zona industri dengan permukiman semakin memperbesar jarak antara kedua fungsi sehingga tidak efisien baik dalam pelayanan maupun pembangunan prasarana. 2. Pembangunan perumahan murah, yang harga jualnya ditentukan oleh pemerintah, menyebabkan pengembang mencari lokasi yang harga tanahnya murah dan tentunya lokasinya jauh dari tempat kerja; 3. Penyebaran fasilitas-fasilitas sosial-ekonomi seperti rumah sakit, sekolah, dan pasar semakin memberi kemudahan bagi lokasi perumahan yang berada di luar lota; 4. Pembangunan outer ring road akan merangsang tumbuhnya permukimanpermukiman baru. Penutup Kebijakan tata ruang menyebabkan kota besar semakin membesar dan meluas semacam Kota Obesitas. Kota yang mengalami obesitas ini merupakan akibat langsung dari perkembangan ekonomi kota yang maju, tetapi tergambarkan dalam perkembangan tata ruang yang justru tidak efisien. Dengan demikian, nilai-nilai tambah ekonomi yang diciptakan oleh kota besar itu dikurangi sendiri oleh kebijakan tata ruang yang tidak efisien itu. Jika kebijakan pengembangan tata ruang masih berkutat pada pola pikir yang lama, tanpa berupaya reorientasi terhadap masalah melalui terobosan-terobosan baru dan jitu, maka pada masa datang kota besar/metropolitan yang mengalami obesitas akan selalu beresiko (seperti manusia kegemukan yang beresiko tinggi terhadap penyakit degeneratif).

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

157

GLOBALISASI DAN METROPOLITAN DI INDONESIA Pendahuluan Walau sudah sering menjadi topik pembicaraan dalam, kurang lebih, seperempat abad terakhir inibahkan cenderung menjadi jargon yang kliseistilah globalisasi yang mulai dikenal pada awal 1980-an masih belum memiliki definisi yang disepakati bersama (Centre for Developing Cities 2006). Padahal, pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan globalisasi akan mempengaruhi sikap terhadap globalisasi tersebut. Lebih-lebih, globalisasi dalam pengertian yang luas sebagai suatu fenomena interaksi dan proses pengaruh-mempengaruhi secara sosial-ekonomi-budaya-demografi dari bagian bumi yang satu ke bagian yang lain pun dapat dikatakan telah berlangsung selama berabad-abad sebagaimana yang tergambarkan dalam kisah Marco Polo atau Admiral Cheng Ho. Hanya saja, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang pesat dalam dua puluh lima tahun terakhir telah membuat fenomena tersebut saat ini berlangsung jauh lebih cepat dan dalam skala yang jauh lebih besar, dengan lingkup yang lebih luas menjangkau berbagai bidang, serta memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi (UN-Habitat 2004). Terlepas dari perdebatan akademik tentang arti globalisasi, fenomena intensifikasi keterkaitan yang semakin mendunia sebenarnya dapat dirasakan oleh sebagian besar orang, khususnya mereka yang tinggal atau bekerja di kota-kota besar atau metropolitan. Sungguh, globalisasi dan kota adalah dua konsep yang tak terpisahkan. Di satu sisi kota hampir selalu menjadi sumber, simpul dan penggerak dari berbagai perubahan, di sisi lain kota pun merupakan bagian bumi yang paling cepat dipengaruhi oleh berbagai perubahan global. Proses urbanisasi (baik karena migrasi desa-kota ataupun akibat pengalihan fungsi lahan) pun menjadi atribut yang tidak terpisahkan dari globalisasi. Implikasinya, kemampuan suatu bangsa dalam mengelola kota-kotanya sesuai dengan tuntutan global (yang bisa bersifat eksternal maupun internal) akan mempengaruhi kemajuan relatif bangsa tersebut di tengah-tengah masyarakat global yang semakin kompetitif. Demikian pula, kemampuan pengelola kota dalam memahami berbagai perubahan globalyang bersifat terus menerusserta pengaruhnya terhadap kehidupan kota yang dikelolanya akan sangat mempengaruhi kemampuan kota tersebut untuk berkembang dan bersaing dengan kota-kota lain di dunia yang semakin saling tergantung satu sama lain. Dalam konteks inilah pembahasan globalisasi dan kota-kota metropolitan di Indonesia masih (dan selalu akan) dianggap perlu. Mengunjungi Kembali Globalisasi Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita kunjungi kembali globalisasi sebagai suatu fenomena sosial-ekonomi-budaya dan demografi, yang menyebabkan semakin hari semakin banyak bagian dari bumi yang semakin terkait dan saling mempengaruhi. Jan Art Scholte (2000, sebagaimana disarikan oleh Smith 2002) melihat setidaknya ada lima jenis pemahaman tentang globalisasi: 1. Globalisasi dilihat sebagai internasionalisasi: yaitu proses meningkatnya hubungan antar-negara, pertukaran antar-negara (international exchange) serta kesalingtergantungan. Dalam konteks inilah globalisasi dianggap telah terjadi selama berabad-abad walaupun kecepatan, besaran, lingkup dan kompleksitas

158

Metropolitan di Indonesia

perubahannya berbeda. Namun pada kurun waktu setengah abad terakhir ini terjadi pula proses multilateralisasi yang lebih mendasar, akibat peran penting lembagalembaga seperti PBB, Bank Dunia, IMF, Mahkamah Internasional dan belakangan WTO dan terkadang bahkan dapat mendikte kebijakan suatu negara24, khususnya yang berkaitan dengan penyesuaian struktural (structural adjustment) negara-negara berkembang terhadap sistem ekonomi neo-klasik yang dipercaya oleh lembagalembaga multilateral tersebut sebagai pilihan terbaik dalam menghadapi globalisasi. Termasuk dalam kategori pemahaman ini adalah konsep kesaling-tergantungan (inter-dependency) yang juga merupakan ciri globalisasi. 2. Globalisasi dilihat sebagai liberalisasi; yaitu sebagai proses terhapusnya secara gradual hambatan-hambatan yang ditetapkan oleh masing-masing negara bagi pergerakan barang, jasa, informasi dan manusia sehingga akan terbentuk suatu ekonomi dunia yang tanpa batas. Termasuk dalam hal ini adalah penerimaan atau imposisi model ekonomi neo-klasik sebagai paradigma dominan (kalau tidak mau mengatakannya sebagai paradigma tunggal) untuk pembangunan ekonomi, dan oleh karenanya sistem ekonomi nasional pun harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip ekonomi neo-klasik. 3. Globalisasi dilihat sebagai universalisasi; yaitu sebagai proses terbentuknya kesamaan nilai-nilai, norma-norma, cara-pandang serta perilaku ke segala penjuru dunia akibat persebaran informasi, pengalaman, barang, orang dan lain-lain. Peran globalisasi pendidikan semakin banyaknya orang yang bersekolah di negaranegara lain, khususnya di negara-negara Barat yang dianggap majuserta perkembangan teknologi komputer dan internet, serta televisi dan film dilihat sebagai sangat kuat mempengaruhi universalisasi tata-nilai ini. 4. Globalisasi dilihat sebagai modernisasi dan, secara lebih sempit, pembaratan (westernization): yaitu sebagai dinamika, ditunjukkan oleh struktur dan atribut sosial modern (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme dan lain-lain) yang tersebar ke berbagai penjuru dunia. Seringkali dalam proses memoderenisasi ini menghancurkan budaya serta atribut dan bahkan keswadayaan lokal yang ada. Karena Amerika Serikatbeserta budaya kontemporernyasering dilihat sangat mendominasi proses-proses yang ada, salah satu pandangan yang masuk dalam kategori ini melihat globalisasi secara lebih sempit lagi sebagai Amerikanisasi (sebagaimana merebaknya model celana jeans, gerai makan cepat saji ala McDonald atau KFC, minuman ala Coca Cola, media berita ala CNN, bisnis multi-level marketing ala Amway dan lain-lain). 5. Globalisasi dilihat sebagai de-teritorialisasi (atau malah terbentuknya suatu suprateritorial); yaitu proses rekonfigurasi geografis yang menyebabkan ruang-ruang sosial tidak lagi selalu diartikan secara fisik-teritorial. Pernyataan-pernyataan yang agak berlebih seperti terjadinya death of distance atau bahkan death of geography25 pun muncul sebagai salah satu penekanan cerminan sudut pandang ini.
24 25

Sebagai salah satu contoh baca Kwik 2006. Pernyataan death of geography sebagaimana dikutip dalam Smith 2000 tentunya terlalu berlebihan,apalagi mengingat bahwa justru banyak ahli geografi yang menekuni persoalan globalisasi.

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

159

Dengan pemahaman semacam ini, Anthony Giddens (1990, sebagaimana dikutip oleh Smith 2002) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubunganhubungan sosial yang menyeluruh dunia dan menghubungkan tempat-tempat yang berjauhan sedemikian sehingga apa yang terjadi di suatu tempat dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain yang berjauhan. Lebih lanjut lagi, perusahaan-perusahaan atau produk-produk tertentu tidak lagi dapat diasosiasikan dengan suatu negara karena baik kepemilikan atau proses pembuatannya tidak lagi terbatas pada pihak-pihak dari satu negara. Demikian pula dengan timbulnya komunitas-komunitas maya (virtual) yang terbentuk melalui media internet dan tidak mengenal batas-batas geografis. Salah satu fenomena menarik yang terjadi akhir-akhir ini adalah apa yang disebut e-tutoring; banyak murid-murid di Amerika Serikat mengambil semacam les dari guru-guru sekolah di India yang bisa menawarkan jasanya jauh lebih murah daripada guru-guru di Amerika Serikat (Hal ini bisa dianggap sebagai bentuk lain dari fenomena e-subcontracting; perusahaan-perusahaan software di negara maju mensubkontrakkan sebagian pekerjaannya kepada perusahaan atau individu di negara berkembang mungkin tanpa harus bertemu mukademi menghemat biaya, atau bisa juga merupakan bentuk lain dari kursus-kursus melalui internet yang ditawarkan sekolahsekolah di negara-negara maju kepada murid-murid di negara berkembang). Berbagai ilustrasi di atas menggambarkan karakteristik kesaling-terkaitan (interconnectedness) dari globalisasi. Walaupun Scholte lebih cenderung menggunakan pemahaman yang terakhir (deteritorialisasi) sebagai penjelasan globalisasi, namun sebenarnya masing-masing pemahaman di atas memiliki kandungan kebenaran jika dikaitkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi, hanya berbeda aspek atau sudut pandang. Oleh karenanya tulisan inidalam melihat pengaruh globalisasi kepada kota-kotajustru akan menggunakan secara komprehensif kelima pemahaman di atas secara lebih bebas sebagai atribut dari globalisasi, yaitu: (i) meningkatnya interaksi global. (ii) berkurangnya batas-batas bagi mobilitas barang, jasa, informasi dan manusia. (iii) merebaknya tata-nilai universal. (iv) industrialisasi barang dan jasa, dan (v) de-teritorialisasi. Apapun definisinya, globalisasi sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang telah mempermudah dan mempercepat arus informasi, barang, jasa dan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Akses ke informasi pun semakin terbuka bagi semakin banyak orang. Orang-orang di desa, misalnya, mungkin saja memperoleh informasi tentang pasar global komoditasnya bahkan secara real-time melalui internet, telepon genggam atau media lainnya. Suatu unit usaha di suatu negara bisa saja melakukan suatu sub-kontrak dengan suatu pihak dari belahan bumi yang lain tanpa harus bertemu muka. Dan hal-hal seperti ini mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia, baik dalam bekerja, belajar, bertinggal, berbelanja, berlibur, bersosialisasi dan bahkan dalam berpikir. Sebaliknya, perluasan pasar yang semakin mengglobal mengakibatkan timbulnya perusahaan-perusahaan berskala besar yang mampu mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk penelitian dan pengembangan produknya. Hal ini, dikombinasikan dengan perkembangan pasar yang juga semakin kompetitif menyebabkan percepatan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (misalnya pada perangkat lunak

160

Metropolitan di Indonesia

maupun keras bagi komputer, telepon genggam, televisi dan lain-lain). Jadi keterkaitan antara globalisasi dan perkembangan teknologi adalah hubungan yang bersifat timbal balik dan saling mendorong. Globalisasi juga dipahami tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi saja; proses yang sangat kompleks ini juga menyangkut dimensi sosial (misalnya dengan berubahnya struktur dan tingkat kerekatan komunitas di dalam masyarakat); budaya (misalnya dengan kemunculan generasi MTV di kalangan generasi muda di belahan bumi mana pun dan merasa lebih memiliki kesamaan di antara mereka dibanding dengan generasi orang tua di negara yang sama); politik-kelembagaan (misalnya dengan semakin diadopsinya sistem demokrasi ala Barat, yang seringkali diterapkan hanya secara prosedural, jauh dari kultur setempat, di berbagai belahan dunia); lingkungan hidup (misalnya polusi antar-bangsa dalam bentuk asap dari kebakaran hutan di Indonesia yang diderita warga di Singapura, Malaysia dan lainnya); dan juga spatial atau tata-ruang (termasuk di dalamnya proses migrasi yang semakin meningkat sehingga menyebabkan tumbuh dan semakin beragamnya urban ethnic space atau bagian-bagian kota yang dihuni oleh berbagai suku-bangsa secara mengelompok26) (Habitat, 2004; Soegijoko, 2005). Di sini aspek multi-kulturalisme menjadi atribut yang sangat kental bahkan menjadi ciri dari kota-kota global yang kosmopolitan. Globalisasi pun dipengaruhi oleh perubahan atau pergeseran cara pandang atau cara berpikir, yang kemudian mempengaruhi perilaku di berbagai bidang. Richard Norgaard (1994) melihat, di dunia ini, setidaknya terjadi lima pergeseran cara pandang. Pertama adalah pergeseran dari cara pandang yang bersifat atomistic (dengan mana keseluruhan sistem dianggap sama dengan jumlah total dari bagian-bagiannya) ke cara pandang holistic (dengan mana keseluruhan sistem tidak selalu dianggap sama dengan jumlah total dari bagian-bagiannya, bisa lebih besar/kuat atau lebih kecil/lemah tergantung bagaimana berhubungan antar-bagian yang ada). Dengan pengertian ini, konsep modal sosial menjadi lebih mudah dipahami. Masyarakat yang memiliki modal sosial besar walau secara individu mungkin memiliki kapasitas terbatas bisa saja lebih maju dan berkembang daripada masyarakat yang secara individu memiliki kapasitas tinggi tetapi secara kesuluruhan memiliki modal sosial yang lemah. Kedua adalah pergeseran dari cara pandang yang mekanistik (Newtownian) yang menganggap suatu sistem selalu mempunyai ekuilibrium, ke cara pandang yang lebih mengakui kemungkinan terjadinya ketidakpastian, diskontinuitas dan bahkan chaos yang tak terjelaskan. Termasuk dalam hal ini adalah pengakuan terhadap eksistensi ekonomi informal perkotaan yang seringkali sulit dijelaskan dan didekati secara formal. Ketiga adalah dari cara pandang universal, yang melihat prinsip-prinsip universal sebagai sesuatu yang tak terbantahkan, ke cara pandang kontekstualistik yang mengakui konteks lokal, waktu dan budaya sebagai faktor yang tidak hanya harus dipertimbangkan tetapi justru harus dominan. Pergeseran dalam hal ini tidak bisa
26 Urban ethnic space sebagaimana yang dikemukakan dalam Habitat 2004 sebenarnya juga sudah terjadi sejak adanya proses migrasi besar-besaran selama berabad-abad. Kota-kota besar di Nusantara seperti Jakarta misalnya,pernah memiliki sudut-sudut kota yang dihuni oleh migran dari berbagai tempat di Nuantara secara berkelompok-kelompok (Kampung Ambon,Kampung Bali,Kampung Jawa,Kampung Bugis,dan lain-lain). Demikian halnya dengan kota-kota dunia (global cities) seperti London. New York atau Paris.

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

161

dikatakan tuntas karena masih banyak pelaku pembangunan dunia yang sangat percaya dengan nilai-nilai yang sifatnya universal dan berusaha mempromosikan hal tersebut namun di sisi lain juga cukup banyak pelaku pembangunan yang selalu menekankan pentingnya konteks lokal. Keempat adalah pergeseran dari cara pandang (umumnya di dunia penelitian atau keilmuan) yang mengagung-agungkan objektivitas positivisme ke cara pandang yang mengakui kemungkinan adanya subyektivitas atau keberpihakan di dalam ilmu (yang bisa dianggap sebagai konstruksi sosial). Oleh karenanya, tuntutan akan partisipasi masyarakat menjadi lebih tinggi, terutama untuk mengurangi bias dari si pengambil keputusan. Pendekatan dalam penelitian maupun perencanaan yang diakui pun tidak lagi harus yang bersifat positivistik dan bebas-nilai tetapi mencakup pendekatan penelitian participant-observation dan pendekatan perencanaan melalui proses-proses komunikasi (planning through communication). Kelima, Norgaard melihat adanya pergeseran dari cara pandang yang monistik yang hanya mengakui satu kebenaran atau penjelasan akan suatu fenomena ke cara pandang yang pluralistik yang mengakui kemungkinan adanya beberapa kebenaran atau penjelasan. Kini lebih banyak orang yang bisa (atau terpaksa) menerima perbedaan pendapat dibanding di masa lalu. Terkandung di dalam pergeseran paradigma yang kelima ini adalah multi-kulturalisme sebagai pengakuan bahwa duniakhususnya kotakota besartidak hanya dihuni oleh manusia-manusia yang berbudaya sama. Namun pada saat yang hampir bersamaan bisa saja terjadi pula penguasaan cara pandang (misalnya pandangan neo-klasik sebagai paradigma dominan ekonomi dunia) atau pemaksaan cara pandang tertentu oleh kekuasaan adidaya (misalnya dalam hal terorisme global). Pada tataran yang lebih praktis, di dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan publik sehari-hari pun telah terjadi pula pergeseran yang cukup berarti. Di masa lalu, pada umumnya pembangunan maupun pengelolaan publik sangat didominasi oleh pemerintah (dan seringkali pemerintah pusat). Kemudian disadari bahwa pemerintah tidak akan mampu mengerjakan semua hal. Ada hal-hal yang dikenal sebagai government failures seperti ketidakefisienan, kekakuan birokrasi, kelembaman untuk berubah dan lain-lain. Memang ada hal-hal yang lebih baik diserahkan kepada pihakpihak yang dapat bekerja lebih efisien, cepat dan sangat berorientasi pada hasil. Maka timbul era yang menganggap sektor swasta lebih mampu menyediakan berbagai pelayanan maupun melaksanakan pembangunan, sehingga tidak hanya penyediaan air minum yang diswastakan tetapi bahkan terdapat kota-kota yang hampir sepenuhnya dibangun oleh swasta. Terjadilah gelombang privatisasi di berbagai sektor sebagai bagian dari perubahan pola berpikir global. Di era ini pemerintah diharapkan untuk berperan sebagai regulator saja. Namum pendekatan yang berorientasi swasta seperti ini pun tidak lepas dari berbagai persoalan, khususnya yang berkaitan dengan kegagalan pasar, swasta tidak akan pernah mampu menyediakan barang atau pelayanan yang sepenuhnya bersifat publik (public goods) yang bisa dinikmati oleh semua orang tanpa harus membayar. Swasta pun cenderung tidak mau menyediakan barang atau pelayanan bagi kaum yang

162

Metropolitan di Indonesia

sangat miskin di mana marjin keuntungan dianggap sangat tipis atau bahkan tidak ada27. Swasta juga cenderung tidak mau melakukan investasi dengan modal yang sangat besar dengan pengembalian modal yang berjangka sangat panjang serta beresiko tinggi. Maka pada tahap berikutnya, pergeseran peran-peran dalam pembangunan ini,peran (atau tuntutan akan peran) masyarakat madani semakin meningkat untuk mengimbangi baik kegagalan pemerintah (government failures) maupun kegagalan pasar GAMBAR 5 - 7.

tahap 1
Pemerintah dianggap paling mengetahui apa yang dikehendaki rakyat

tahap2
Sistem pasar dianggap paling efisien dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

tahap 3
Kemitraan yang setara dianggap sebagai cara terbaik

swasta

swasta

swasta

pemerintah

Masyarakat

pemerintah

Masyarakat

pemerintah

Masyarakat

Terjadi kegagalan pemerintah; masyarakat kehilangan kepercayaan

Terjadi kegagalan pasar; penurunan kualitas ruang publik

GAMBAR 5 - 7 Diagram Pergeseran Peran Pelaku dalam Pembangunan/ Pengelolaan Publik

Perubahan-perubahan semacam di atas terjadi di mana-mana, baik di negara maju maupun di negara berkembangtermasuk Indonesiabaik pada tingkatan negara, regional, lokal, komunitas maupun individutentunya dengan tahap dan skala maupun intensitas yang berbeda-beda. Salah satu implikasi dari situasi seperti ini adalah timbulnya berbagai ketegangan (tensions), baik yang bersifat global, regional maupun lokal dan bahkan pada tataran komunitas dan keluarga. Ketegangan sendiri sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan (embedded) dalam globalisasi. Di satu sisi globalisasi membuat batas-batas negara semakin menipis, namun di sisi lain juga terjadi pula gelombang desentralisasi atau lokalisasi di mana timbul tuntutan agar sebanyak mungkin keputusan publik dan pelaksanaannya di lakukan ditingkat lokal/komunitas

Padahal Prahalad (2004) justru melihat potensi investasi di tengah-tengah masyarakat yang paling miskin sekalipun.

27

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

163

(atau bahkan primordialisme; putra daerah dianggap punya hak lebih dalam banyak hal daripada pendatang). Timbul fenomena globalization yang penuh ketegangan atau tarik ulur antara kekuatan-kekuatan global dan kekuatan-kekuatan lokal. Ketegangan (tension) juga timbul manakala produk-produk import yang bisa masuk secara lebih mudah ternyata mematikan atau melemahkan usaha lokal/domestik yang menghasilkan produk-produk sejenis. Simbol-simbol globalisasi seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Walmart atau Carrefour sering mendapat tentangan dari komunitas lokal yang tidak menghendaki bisnis-bisnis kecil dan khas tergusur oleh perusahaan global tersebut. Bahkan tentangan terhadap lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF sudah merupakan berita sehari-hari. Lembaga-lembaga global ini sering dilihat sebagai simbol neo-kolonialisme, baik melalui pemaksaan perubahan cara berpikir, kebijakan sosial-ekonomi dan lain-lain melalui persyaratan-persyaratan hutang yang seringkali dibutuhkan oleh negara yang sedang berkembang. Ketegangan juga timbul akibat dari semakin menguatnya proses privatisasi yang bahkan masuk ke ruang-ruang yang selama ini merupakan domain publik: taman-taman, ruang kota untuk bersosialisasi, penyediaan rumah-rumah, prasarana air minum, jalan utama bahkan pembangunan seluruh kota. Salah satu implikasi dari privatisasi adalah sulitnya dipenuhi kebutuhan kaum miskin karena pihak swasta tentunya lebih memberi perhatian kepada mereka yang mampu membeli layanan atau barang komoditasnya. Selanjutnya, banyak pengusaha-pengusaha kecil yang tidak terlindungi oleh pemerintah lokal terpaksa tergusur oleh toko-toko wholesale global seperti Walmart atau Carrefour. Demikian pula dengan bertumbangannya tingkat keswadayaan lokal dan meningkatnya ketergantungan pada faktor-faktor eksternal yang lebih jauh dapat dianggap mengancam keberlanjutan pembangunan di tingkat lokal. Pada intinya, selama akses kepada sumberdaya (termasuk teknologi dan informasi) masih belum meratadan prospek untuk terjadi pemerataan belum terlihat jelasmaka distribusi manfaat dan biaya dari globalisasi masih akan selalu timpang28. Terdapat pihak-pihak yang harus turut menanggung biaya tetapi tidak menikmati manfaat dari proses yang sedang berlangsung. Atas dasar pertimbangan inilah kemudian timbul gerakan anti-globalisasi yang kemudian berubah menjadi globalisasi dari bawah dan menuntut adanya keadilan global. Karena hal tersebut di ataslah globalisasi tidak selalu dianggap sebagai suatu yang positif. Bagi mereka yang memiliki akses kepada teknologi dan informasi serta sumberdaya finansial atau lainnya untuk berkompetisi maka globalisasi dapat dianggap sebagai menguntungkan (beneficial) secara ekonomi. Demikian pula bagi mereka yang ingin memajukan nilai-nilai seperti demokratisasi, maka proses globalisasi dianggap dapat menyebarkan tata-nilai yang dianggap baik tersebut. Namun proses-proses ini terjadi tidak tanpa ongkos, yang seringkali harus dipikul oleh pihak-pihak yang tidak menikmati, sehingga timbul penentangan-penentangan sebagaimana diilustrasikan di atas. Memang, ketegangan atau bahkan konflik sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari globalisasidengan skala, intensitas dan kompleksitas konflik yang
28 Kenyataan ironis di era yang sangat berorientasi kepada teknologi informasi adalah angka yang menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penduduk dunia belum pernah menggunakan sarana telepon (lihat misalnya Jakarta Post. September 21. 2006. hal. 17).

164

Metropolitan di Indonesia

lebih tinggi dibanding dengan apa yang terjadi di era pra-kontemporer. Upaya mengantisipasi dan merespon pun perlu memasukkan pertimbangan adanya keteganganketegangan atau konflik ini. Implikasi bagi Kota-kota Metropolitan Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, globalisasi dan urbanisasi merupakan dua konsep yang tidak terpisahkan. Kota-kota, khususnya kawasan metropolitan, merupakan sumber, simpul dan penggerak berbagai perubahan yang kemudian menggelinding menjadi apa yang disebut globalisasi. Sebaliknya pengaruh globalisasi paling cepat dan paling besar dirasakan di kota-kota (oleh masyarakat kota). Dan karena seringkali kotakota besar atau metropolitan memiliki keunggulan infrastruktur dibanding kota-kota yang lebih kecil, maka terjadi proses pelebaran kesenjangan penerimaan manfaat globalisasi antara kota-kota besar dan kota-kota yang lebih kecil atau kawasan perdesaan. Pengusaha-pengusaha global cenderung memilih kota-kota besar sebagai pusat dan simpul operasinya, terutama karena keunggulan dalam ketersediaan sarana dan prasarana yang bersifat global (misalnya jaringan telekomunikasi global), tempat berkumpulnya berbagai bisnis sejenis atau terkait yang dapat menciptakan apa yang agglomeration of economies (pengumpulan berbagai ekonomi terkait). Kota-kota besar umumnya juga menawarkan pasaratau akses ke pasaryang relatif lebih besar daripada yang ada pada kota-kota yang lebih kecil. Demikian pula, kota-kota besar juga cenderung memiliki pool yang lebih besar akan tenaga ahli dengan pendidikan atau keterampilan yang sesuai dengan kebutuhannya. Lebih jauh lagi, Manuel Castells menekankan pentingnya suatu milleu of innovation atau suatu kumpulan komunitas manusia yang berorientasi ke inovasi bagi perusahaanperusahaan yang berorientasi teknologi informasi untuk dapat selalu memiliki keunggulan komparatif di era globalisasi ini (Castells 1986). Milleu of innovation semacam ini cenderung terbentuk di sekitar perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga risetnya; dan umumnya perguruan tinggi tersebut berada di dekat kota besar. Contoh yang sering dirujuk adalah kota San Francisco dengan Bay Area-nya (tempat Silicon Valley berada) yang merupakan tempat bagi Stanford University, University of California at Berkeley dan berbagai universitas lain, atau Boston Metropolitan Area (tempat Route 128 berada) dengan Harvard University dan Massachussett Institute of Technology dan berbagai universitas terpandang lainnya. Berbagai inovasi yang kemudian mendunia sering muncul dari kedua kawasan perkotaan tersebut maupun dari tempat-tempat lain yang sejenis. Namun dalam perkembangan paling akhir, sebagaimana dilaporkan dalam Newsweek July 3-10, 2006, telah terjadi pergeseran pilihan lokasi investasi (khususnya di sektor jasa dan industri informasi-telekomunikasi) dengan adanya kecenderungan untuk memilih kota-kota kedua (secondary cities) yang dianggap lebih nyaman ditinggali daripada kota-kota metropolitan yang ditandai dengan harga properti yang semakin mahal, kemacetan lalu-lintas yang semakin parah, polusi yang semakin menyesakkan serta kriminalitas yang semakin mengkhawatirkan. Namun pergeseran seperti ini hanya terjadi pada secondary cities yang memiliki akses teknologi komunikasi informasi serta amenities (atribut untuk kenyamanan, baik secara fisik maupun sosiokultural) yang baik dan tidak kalah dengan kota-kota besar. Dengan perkembangan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

165

terakhir seperti ini, kota-kota metropolitan pun bersaing dengan kota-kota yang lebih kecil dalam upaya mendatangkan investasi yang lebih memiliki nilai tambah relatif lebih besar yang ada pada sektor-sektor yang terkait dengan teknologi-telekomunikasiinformasi (dibanding pada sektor-sektor manufaktur konvesional yang sering lebih mengandalkan tenaga buruh murah sebagai basis pilihan lokasi). Globalisasi pun dapat mempengaruhi struktur tata ruang internal kawasan metropolitan. Walaupun pola aktifitas ekonomi yang berpusat pada kawasan pusat kota masih tetap mendominasi kegiatan sehari-hari di berbagai kota metropolitan di dunia (sehingga menimbulkan arus penglaju yang sangat besar dari pinggiran kota ke pusat kota di pagi hari dan sebaliknya di sore hari), namun perkembangan teknologi-informasi telah sedikit-banyak mengurangi ketergantungan untuk aktifitas tatap-muka sehingga timbul pusat-pusat baru di pinggiran kota, baik yang berskala kota-baru atau kota satelit maupun yang hanya berupa warung-warung telekomunikasi di kawasan-kawasan permukiman pinggiran. Di banyak kota-kota besar dunia, misalnya, perusahaan-perusahaan tertentu membolehkan karyawannya untuk datang ke kantor pusat hanya dua atau tiga hari seminggu, sisanya mereka dapat berkantor di kantor-kantor cabang di pinggiran kota atau di fasilitas semacam warung telekomunikasi di dekat mereka tinggal, atau bahkan dari rumah mereka masing-masing. Toh mereka tetap bisa mengerjakan banyak hal, termasuk berkomunikasi dengan mitra usaha di mancanegara dari rumah atau kantor di pinggiran atau warung telekomunikasi terdekat. Hal seperti ini tentunya dapat mengurangi biaya transportasi dan jumlah penglaju harian di kawasan kota metropolitan sekaligus mempengaruhi tata-ruang yang ada. Kecenderungan yang terjadi di banyak kawasan metropolitan di duniakhususnya di negara-negara majuadalah terbentuknya apa yang sering disebut sebagai decentralized concentration atau konsentrasi yang terdesentralisasi. Sementara di kota-kota besar di negara berkembang yang berpenduduk besar tetapi memiliki keterbatasan infrastruktur seperti Indonesia yang umumnya terjadi justru suatu mega urban sprawl; kawasan perkotaan menyambung menjadi satu (walaupun mungkin saja masih terdapat kawasan berkarakter perdesaan di dalamnya), yang seringkali tumbuh tidak teratur. Secara terstruktur, pengaruh globalisasi terhadap kota-kota, khususnya kota metropolitan dapat dilihat sebagai memiliki tiga tataran atau aras: [1] Pengaruh globalisasi pada sistem perkotaan global; menurut Sassen (1994), terdapat kota-kota global tingkatan pertama seperti New York, London dan Tokyo, serta tingkatan-tingkatan di bawahnya yang menunjukkan besarnya/luasnya cakupan pengaruh kota-kota tersebutkhususnya di bidang ekonomi-finansialbaik di tingkat global maupun regional. Walau di tingkat teratas sistem perkotaan global mungkin tidak banyak terjadi perubahan (ketiga kota yang disebut di atas masih belum tergoyahkan oleh kotakota lainnya), namun pada tingkatan-tingkatan di bawahnya susunan kota-kota lebih mudah berubah. Tersirat di sini adalah adanya kompetisi antar-kota untuk menjadi semacam pusat atau hub (simpul) kegiatan ekonomi dari suatu regionkalau bukan duniasebagaimana yang terlihat pada persaingan yang cukup ketat antara Singapura dan Bangkok dalam upaya mereka menjadi hub bagi lalu-lintas udara di Asia Tenggara. [2] Pengaruh globalisasi pada hubungan yang juga dinamis (selalu berubah) antara kota-kota utama atau metropolitan dan kota-kota sekunder di sekitarnya. Kalau di masa lalu kota-kota sekunder sering dilihat hanya sebagai pendukung bagi kota-kota

166

Metropolitan di Indonesia

metropolitan, khususnya dalam penyediaan hunian yang murah dan nyaman, atau setidaknya sebagai kota-kota pinggiran (edge cities), maka dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi banyak kota-kota sekunder yang kemudian berkembang menjadi kota-kota yang lebih mandiri (self-sustained) dan mempunyai aktifitas-aktifitas yang berhubungan langsung ke bagian dunia yang lain tanpa harus tergantung pada atau melalui kota metropolitan terdekat. Sebagaimana yang diuraikan di atas, terdapat pula kecenderungan pelaku dunia usaha global justru untuk memilih kota-kota sekunder yang memiliki amenities yang baik namun terbebas dari kemacetan dan polusi kota-kota metropolitan. Namun pergeseran semacam ini tidak bisa dibilang permanen. Perkembangan ke depan akan sangat tergantung pada perkembangan teknologi telekomunikasi-informasi dan pola aktifitas sosial-ekonomi. [3] Pengaruh globalisasi pada tata-ruang internal suatu kawasan metropolitan. Dalam hal ini, yang terjadi di suatu kota metropolitan tidak sama dengan yang terjadi di kawasan metroplitan lain, sangat tergantung kepada seberapa jauh kota metropolitan tersebut terbuka (exposed) terhadap globalisasi serta faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, budaya dan geografis yang ada serta seberapa jauh pemerintah dan warga kota metropolitan tersebut mampu mempertahankan ciri-ciri khasnya. Namun secara umum terdapat pola perubahan tata-ruang yang sangat dipengaruhi oleh berubahnya sistem ekonomi-bisnis dunia. Sebagai contoh, dengan banyaknya industri manufaktur yang pindah dari negara-negara dengan biaya buruh tinggi (umumnya di negara maju) ke negara-negara dengan biaya buruh rendah (umumnya di negara berkembang) seringkali masih menyisakan kantor pusatnya di kota asal, tetapi banyak pula yang memindahkan kantor pusatnya ke kota lain yang lebih strategis. Akibatnya, banyak kotakota di negara maju yang harus berjuang untuk mengisi kekosongan sosial-ekonomi yang diakibatkan oleh perginya tempat-tempat usaha (dan sumber-sumber pekerjaan) tersebut; ada yang berhasil mendapatkan basis ekonomi baru namun banyak juga yang masih struggling hingga kini. Sementara kota-kota di negara berkembang pun tidak luput dari ancaman yang sama dari apa yang disebut footloose industries tersebut, karena seiring dengan kemajuan ekonomi negara berkembang tersebut, maka ongkos buruh akan semakin meningkat dan selalu ada saja negara atau kota lain yang dapat menawarkan lingkungan usaha dengan ongkos yang lebih murah. Dari sudut berbagai dimensi yang ada, pengaruh globalisasi pada kota-kota metropolitan dapat disusun ke dalam suatu matriks atau kerangka analisis sebagai ditunjukan dalam tabel TABEL 5 - 17 berikut:
TABEL 5 - 17 Pengaruh Globalisasi Pada Umumnya dan Terhadap Tata Ruang Kota
Dimensi Dimensi EkonomiFinansial Pengaruh Umum Paradigma neo-klasik sebagai paradigma tunggal/dominan. Pasar bebas diagung-agungkan, hambatan dan tarif perdagangan dikurangi. Tumbuh dan tersebarnya perusahaan global seperti McDonald, Walmart, Carrefour, dll. yang mendesak atau mematikan usaha-usaha lokal yang Pengaruh pada Tata Ruang Kota (Dimensi Spasial) Privatisasi ruang-ruang publik serta berbagai pelayanan umum seperti penyediaan air, pengelolaan sampah, pendidikan dan kesehatanyang di masa lalu lebih banyak diasosiasikan sebagai pelayanan publik. Konflik keruangan antara tekanan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

167

Dimensi

Pengaruh Umum kecil. Pembagian kerja yang bersifat global (komponen-komponen bisa dibuat terpisah, tergantung pengaturan mana yang paling menguntungkan). Banyak pula perusahaan-perusahaan global yang bersifat footloose atau mudah berpindah tempat usaha (biasanya meninggalkan mitra lokal begitu saja). Arus aliran modal, barang dan jasa (serta manusia) yang semakin deras meningkat Kesenjangan ekonomi cenderung melebar (lebih terasa di kota-kota negara berkembang, tetapi juga terjadi di kota-kota negara maju).

Pengaruh pada Tata Ruang Kota (Dimensi Spasial) ekonomi global dan keinginan untuk mempertahankan usahausaha yang bersifat lokal. Berkembangnya kegiatankegiatan usaha di tempat-tempat tinggal (banyak yang bekerja dari rumah) atau di warung telekomunikasi terdekat. Salah satu akibatnya adalah pola commuting menjadi tidak sejelas pada tatanan yang konvensional (pagi berangkat sore pulang, sama setiap hari kerja). Kontras yang semakin lebar antara kawasan bagi orang-orang yang berpenghasilan menengah/tinggi (punya akses ke jaringan global) dan kawasan bagi mereka yang tidak punya akses ke jaringan global atau yang terdesak oleh globalisasi ekonomi. Di sisi lain terdapat pula pengakuan (secara parsial) terhadap aktifitas ekonomi perkotaan informal, termasuk akomodasi spasialnya.

Dimensi SosialBudaya Demografis

Tumbuhnya budaya-budaya dan nilai-nilai sosial yang bersifat mendunia (diakui dan diadopsi di berbagai tempat di dunia),baik yang bersifat positif (saling memahami perbedaan, demokratis, dll.) maupun yang bersifat negatif (hilangnya atau berkurangnya ke-khasan lokal) Arus migrasi yang semakin pesat dan semakin menglobal (semakin banyak orang yang tidak hanya berpindah dari desa ke kota tapi juga dari suatu negara ke negara lain). Tumbuhnya multikulturalisme, tapi juga disertai dengan konflik antar budaya.

Wajah kota moderen yang hampir sama di mana-mana (termasuk dalam wujud shopping mall atau pusat belanja yang tidak berbeda secara signifikan antara mall di Jakarta atau mal di Bangkok atau di Buenos Aires). Tumbuhnya ruang-ruang kota yang terkait dengan etnik atau bangsa-bangsa tertentu dalam satu kota metropolitan (sesuai dengan negara atau tempat asal-usul dari para migran kota tersebut).

Dimensi PolitikKelembagaan

Peran atau pengaruh negara semakin berkurang seiring dengan menguatnya peran dan pengaruh lembaga-lembaga multi-lateral dan MNCs.

Peran negara dalam pengelolaan kota semakin berkurang, diambil alih oleh peran pemerintah kota, masyarakat kota dan swasta (termasuk swasta yang bersifat

168

Metropolitan di Indonesia

Dimensi

Pengaruh Umum Namun pada saat yang sama juga terjadi desentralisasi; peran pemerintah dan masyarakat daerah/kota semakin besar. Peran partisipasi masyarakat yang semakin penting (atau tuntutan akan partisipasi yang semakin besar), namun pada saat yang bersamaan, pendidikan yang umumnya belum merata di masyarakat juga menyebabkan proses demokratisasi yang lebih prosedural daripada substantif.

Pengaruh pada Tata Ruang Kota (Dimensi Spasial) global). Tumbuhnya kerekatan komunitas yang tidak sepenuhnya berdasarkan kesamaan tempat, tetapi lebih berdasarkan kesamaan profesi, hobby atau lainnya. Tuntutan akan pengelolaan kota yang demokratik dan terbentuknya wujud kota yang berkeadilan (pada saat yang bersamaan dengan semakin melebarnya kesenjangan sosialekonomi).

Dimensi Lingkungan (Ekologis)

Dampak lingkungan suatu kegiatan yang bisa bersifat antar-negara seperti dalam pembuangan sampah baik yang bersifat berbahaya maupun yang tidak (umumnya dari negara lebih maju ke negara berkembangseringkali tidak terbatas pada yang bertetangga). Secara umum ecological footprints (tapak ekologis) yang semakin meluas dan bahkan mengglobal. Berkembangnya kesadaran akan pentingnya lingkungan alam (termasuk taman-taman dan kehijauan) dalam mendukung keberlanjutan lingkungan binaan.

Tuntutan akan kerjasama antarkota (tidak terbatas pada kotakota yang berada dalam suatu region) semakin meningkat. Tuntutan akan perhatian pemerintah kota kepada aspekaspek lingkungan dalam tata ruang kota seperti jumlah ruang hijau, kebun kota dan lain-lain. Pemerintah kota tidak lagi dapat dengan mudah mengurangi ruang hijau tanpa mendapat resistensi dari masyarakat. Investor global pun turut memperhatikan kualitas lingkungan kota yang ada (terutama dalam kaitannya dengan kompetisi antar-kota yang sejenis).

Implikasi dan Tantangan bagi Kota-kota Metropolitan di Indonesia Di Indonesia, karena tingkat ketersediaan infrastruktur yang terkait dengan berbagai aspek globalisasi di atas sangat timpang antara kawasan metropolitan Jabodetabek dengan kawasan-kawasan metropolitan lainnya (Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, masing-masing dengan kota dan kabupaten di sekitarnya) dan apalagi dengan sekian banyak kota-kota kecil yang ada, maka tingkat keterbukaan (exposure) dan saling pengaruh-mempengaruhi antara kota dan globalisasi pun sangat berbeda. Bahkan di dalam kawasan Jabodetabek pun, tingkat keterbukaan terhadap globalisasi tidak merataada bagian-bagian kawasan yang sangat mencerminkan kota global (misalnya di Jakarta; kawasan Kemang, Thamrin-Sudirman-Kuningan, atau bahkan Jalan Jaksa),

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

169

namun masih banyak pula bagian-bagian kawasan yang seolah-olah tidak atau sangat sedikit tersentuh oleh globalisasi (misalnya di beberapa perkampungan-perkampungan kumuh)29. Ketimpangan tersebut membuat generalisasi menjadi sesuatu hal yang sulit. Ketika membicarakan pengaruh globalisasi pada kota-kota metropolitan di Indonesia, apa yang dialami oleh Jakarta dan sekitarnya tidak sama dengan apa yang dialami oleh kota-kota metropolitan lainnya. Jakartabeserta wilayah di sekitarnyadapat dikatakan merupakan kawasan metropolitan yang paling mendalam dan langsung bersinggungan (exposed) oleh globalisasi30. Hampir seluruh pusat perwakilan badan usaha internasional (perusahaan multinasional, bank internasional, perwakilan kamar dagang asing dll.) di Indonesia berlokasi di Jakarta; demikian pula untuk aspek-aspek non-ekonomi seperti pusat kebudayaan asing, perpustakaan asing dan lain-lain. Kawasan industri yang menampung berbagai industri yang bersifat internasionalkalau belum bisa dikatakan globalpun lebih banyak berada di sekitar Jakarta daripada di sekitar kota-kota metropolitan lain di Indonesia. Bagi Indonesia, bandar udara Soekarno-Hatta pun merupakan bandara yang paling banyak melayani penerbangan internasional. Namun demikian, di tingkat global atau bahkan regional peran Jakarta masih sangat terbatas. Di Asia Tenggara saja, Jakarta bisa dikatakan masih kalah dari Singapura dan Bangkok sebagai pusat aktifitas internasionalbaik yang bersifat ekonomi-finansial, politik-kelembagaan (tempat lembaga-lembaga internasional dengan salah satu perkecualian Sekretariat ASEAN yang berada di Jakarta), budaya, pendidikan maupun sebagai hub lalu-lintas udara dan laut. Apalagi kalau diangkat ke tingkat Asia di mana terdapat Tokyo, Hong Kong dan Shanghai maupun Mumbai (khususnya untuk Asia Selatan). Kota-kota metropolitan Indonesia lain tentunya punya peran dan ketersinggungan dengan globalisasi yang jauh lebih kecil daripada Jakarta. Sementara itu, sebagaimana yang sudah ditulis di atas, pada tataran nasional Jakarta masih merupakan kawasan perkotaan yang paling berpengaruh, jauh melampaui kotakota dengan pengaruh besar berikutnya, yaitu Surabaya, Bandung dan Medan. Fenomena global di mana kota-kota sekunder (bukan metropolitan) mulai bersinggungan dengan globalisasi belum cukup terasa di Indonesia, terutama karena ketersediaan infrastruktur yang masih sangat terbatas. Kawasan perkotaan Denpasar-Kuta-Nusa Dua di Bali dan kota Yogyakarta mungkin secara nyata juga memiliki exposure internasional yang sangat besar, namun terkonsentrasi pada satu sektor utama yaitu pariwisata, dan dalam taraf tertentu pendidikan (khusus untuk Yogyakarta). Sehingga boleh dikatakan bahwa globalisasi belum mempengaruhi, apalagi mengubah, sistem kota-kota yang ada di Indonesia. Dengan tingkat exposure yang masih sangat terbatas tersebut, dapat dikatakan bahwa globalisasi juga belum secara signifikan mempengaruhi tata ruang perkotaan metropolitan di Indonesia, masih terbatas pada tumbuhnyasecara sporadiskawasan29

Dapat pula kita cermati bahwa di beberapa perkampungan kumuh pun terdapat berbagai aktivitas yang memiliki nuansa globalisasi seperti produksi kerajinan dari fiberglass di kawasan Prumpung yang sudah menjual produksi hingga ke Malaysia dan Timur Tengah. 30 Sebenarnya Balipun merupakan bagian Indonesia yang sangat terimbas dan bersinggungan langsung dengan globalisasi (dalam arti internasionalisasi maupun lainnya), namun sangat spesifik berkaitan dengan satu sektor ekonomi-budaya yaitu pariwisata.

170

Metropolitan di Indonesia

kawasan industri yang melayani unit-unit usaha internasional atau melakukan subkontrak dari jaringan usaha internasional. Seringkali jenis usaha dan sistem kerjasamanya memudahkan pemilik jaringan usaha internasional untuk memindahkan usahanya kemanapun mereka ingin lakukan (umumnya bargaining position pihak Indonesiaatau tuan rumah di mana pun di negara berkembang lainnyadalam hal ini relatif rendah). Hal di atas dapat disimpulkan kalau kita hanya melihat globalisasi dari sudut pandang internasionalisasi saja. Dari sudut pandang lain, mungkin kita bisa mendapatkan gambaran yang agak berbeda. Dalam konteks liberalisasi misalnya, secara keseluruhan Indonesia sebenarnya sudah sangat terbuka. Kita dapat menemui gerai-gerai internasional seperti McDonalds atau KFC tidak hanya di Jakarta tetapi bahkan hingga di kota-kota sekunder (sebagai perbandingan, Hanoi hingga tulisan ini dibuat masih belum mengijinkan adanya gerai-gerai internasional semacam itu). Wholesale retailers seperti Carrefour pun memiliki cukup banyak outlets di Jakarta. Berbagai merek internasional mewarnai pusat-pusat perdagangan baik di Jakarta maupun di kota-kota besar lain. Privatisasi pun telah berjalan cukup lama. Bahkan sejumlah kota baru seperti Bumi Serpong Damai, Lippo Karawaci, Bintaro Jaya, Bukit Sentul, Kota Wisata dan lain-lain hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta. Di kota-kota metropolitan lain pun terdapat kawasan hunian cukup luaskalau belum bisa disebut kotayang hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta. Sudut pandang bernuansa universalisasi dan modernisasi pun sudah banyak merasuk ke dalam pola berpikir masyarakat kota, baik di pejabat pemerintah maupun pelaku swasta. Proses pergeseran peran dari situasi pemerintah mendominasi ke situasi swasta mengambil peran cukup signifikan dalam pembangunan hingga situasi di mana tuntutan akan peran masyarakat yang semakin besar pun terjadi di kota-kota di Indonesia. Implikasi peran besar swasta dalam tata ruang kota dapat dilihat dari banyaknya bagian-bagian kota yang mengalami proses urban renewal seperti misalnya kawasan Segitiga Emas (Sudirman-Kuningan-Gatot Subroto) yang kemudian diikuti oleh proses jentrifikasi masyarakat berpenghasilan rendah ke daerah-daerah pinggiran (GAMBAR 5 - 8).

GAMBAR 5 - 8 Kawasan Segitiga Emas di Jakarta

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

171

Atribut de-teritorialisasi dari globalisasi pun dalam skala yang relatif kecil dan terpisah-pisah telah terjadi di kota-kota besar Indonesia, khususnya di Jakarta, lebih khusus lagi pada segmen-segmen masyarakat yang memiliki akses ke jaringan global secara mudah. Ada sajawalaupun mungkin belum tersebar luaskegiatan-kegiatan yang mencerminkan ketiadaan batas-batas negara atau kota seperti terlihat pada kegiatan-kegiatan sub-kontrak pembuatan software, animasi, gambar rancang-bangun dan lain-lain yang didapat dari perusahaan-perusahaan besar di negara maju untuk proyek-proyek yang mungkin di negara lainnya. Sebagaimana yang terjadi di banyak negara berkembang lain, kota-kota besar di Indonesia juga mencerminkan kontras yang sangat tajam. Ada bagian-bagian kota atau anggota masyarakat kota yang sudah sangat ter-exposed oleh globalisasi, dan sebagian dari kelompok ini mampu memanfaatkan exposure ini secara baik, namun ada pula bagian-bagian kota atau anggota masyarakat kota yang sama sekali belum tersentuh oleh globalisasi. Demikian pula dengan cara berfikir, cara pandang, terhadap berbagai persoalan. Ada yang sudah membuka wawasannya dengan cara-pandang yang baru seperti yang bersifat holistik, kontekstual dan pluralistik, sementara tidak sedikit yang masih berfikir dengan cara-pandang yang atomistik, Newtonian, positivistik dan monistik. Hal ini tentunya mengakibatkan berbagai ketegangan yang semakin terasa dengan semakin besar dan terbukanya suatu kota. Penutup Secara umum dapat disimpulkan bahwa kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya sudah mulai bersinggungan dengan globalisasi dengan derajat yang berbeda-beda. Namun kecuali kawasan metropolitan Jakarta, persinggungan dengan globalisasi masih sangat terbatas. Di dalam suatu kawasan metropolitanpuntermasuk Jakarta ketimpangan globalisasi sangat besar. Seringkali, mereka yang tidak turut mendapat manfaat dari globalisasi harus turut menanggung biaya atau beban yang ditimbulkan oleh globalisasi. Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah bagaimana mengambil manfaat sebesar mungkin dan secara merata dari proses-proses globalisasi dan mengurangi sejauh mungkin dampak negatifnya, termasuk implikasinya dalam tata-ruang. Jika Indonesia tidak mau ketinggalan di era globalisasi yang semakin kompetitif, konsentrasi pembangunan yang terlalu terpusat di Jakarta harus dikurangi. Kawasan-kawasan metropolitan lainnya harus mendapat dukungan infrastruktur secara lebih memadai sehingga tidak terlalu ketinggalan dan dapat turut berkompetisi di tingkat internasional. Peran kota-kota sekunder pun tidak dapat diabaikan, apalagi jika dikaitkan dengan keinginan untuk memajukan sektor pertaniankota-kota sekunder tersebut dapat menjadi pusat koleksi dan distribusi komoditas pertanian (konsep agropolitan)namun tidak harus terbatas pada konsep itu. Persebaran pusat-pusat kegiatan pun menjadi sangat penting, tanpa mengurangi kecenderungan pasar untuk membentuk apa yang disebut agglomeration of economies. Secara internal, tata ruang kawasan metropolitan pun harus mampu mengikuti dinamika globalisasi tanpa harus mengabaikan kepentingan konteks dan kekhasan lokal.

172

Metropolitan di Indonesia

SOSIO-KULTURAL Sudah semenjak beberapa abad yang silam sastrawan Inggris Shakespeare menyatakan What is a city but its people, apalah artinya kota tanpa penduduknya? Kota dan warga dapat diibaratkan seperti cangkang dengan kerangnya yang tumbuh kembang bersamasama. Ditilik dari segi etimologi pun, city dekat sekali kaitannya dengan citizen. Dalam buku terbarunya berjudul Recombinant Urbanism (2005 : 19). David Graham Shane mengutip pendapat Louis Wirth bahwa A city is a relatively large. dense. and permanent settlement of socially heterogenous individuals. Kota merupakan produk sosio-kultural, perilaku dan gaya hidup manusia yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi penduduknya, Meminjam kata kata Malcolm Miles et al dalam bukunya The City Cultures Reader (2000 : 2): Cities are sites of constant flux. their built form mediated by successive acts of destruction and creation affected by social factors such as gender, class and ethnicity. Semakin besar kotanya semakin kompleks penduduknya semakin rumit masalahnya dan semakin banyak konflik yang dihadapinya. Saat ini kita sudah memasuki era perkotaan abad ke-21 atau milenium ketiga. Ditilik dari sisi positifnya, kota metropolitan merupakan mesin pertumbuhan dan inkubator peradaban, sebagai pusat persilangan ide dan wadah inovasi. Namun, seperti pernyataan Kofi Annan selaku Sekjen PBB yang dikutip oleh Girarde (2004: 86) Cities can also be places of exploitation. disease violent crime, unemployment, and extreme poverty. Hampir seluruh metropolis atau mega-cities di dunia menghadapi masalah infrastruktur, kemiskinan, disilusi politik, ketidakadilan dan keterasingan sosio-budaya atau socio-cultural alienation (baca tulisan Badshah & Parlman berjudul Mega-cities and The Urban Future dalam buku suntingan Bridge & Watson The Blackwell City Reader 2004: 549). Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kota kota yang sudah termasuk kategori metropolitan di tanah air kita (Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar) cenderung semakin tidak manusiawi, tidak nyaman, tidak menyenangkan untuk kehidupan manusia yang berbudaya. Fenomena dehumanisasi metropolitan di Indonesia merebak antara lain karena perhatian para pengelola dan aktor aktor pembangunannya terlalu tercurah pada aspek fisik, tata ruang, dan pergulatan kepentingan ekonomi. Dimensi sosio-kultural di hampir seluruh kota metropolitan di segenap pelosok tanah air nyaris terabaikan. Banyak yang tidak memahami betul bahwa berbeda dengan metropolitan di negara maju yang sudah affluent, kota kota metropolitan di tanah air kita yang sedang berkembang ini merupakan kota kota yang bersifat dualistik. Di satu sisi, sebagian warganya sudah mulai berubah menjadi modern, di sisi lain sebagian besar warganya masih berperilaku tradisional. Pembangunan shopping centres, department stores, malls, super-malls marak di segenap penjuru kota, namun pasar tradisional, toko toko kecil, warung, pedagang kaki lima juga tidak berkurang. Apartemen, flats atau rumah susun sudah mulai digalakkan pembangunannya, namun perumahan kampung juga masih terus bertahan. Sektor formal dan sektor informal berkembang terus, kendati tokoh tokoh di puncak kekuasaan cenderung lebih mengakomodasi kepentingan sektor formal yang modern. Tidak heran bila sampai saat ini selalu saja terjadi kisah-kisah penggusuran atau pembongkaran permukiman kumuh dan kios-kios pedagang kaki lima.

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

173

Sebagai kota yang dualistik, mestinya sikap yang diambil oleh penentu kebijakan pembangunan kota metropolitan adalah sikap Yin-Yang atau Both-And. Keduanya mesti dirangkul dan dikembangkan bersama sama, jadi tidak Either-Or atau mementingkan salah satu pihak saja. Dari sebutannya, sektor informal mengandung konotasi tidak sah, tidak layak berada di kota metropolitan yang serba formal. Selain itu, gagasan, ide, dan upaya-upaya untuk memadukan kota-kota metropolitan dengan daerah di sekitarnya dalam wujud conurbation (lihat pembahasan mengenai kependudukan dan bagian 1 buku ini), seperti Jabodetabek, Gerbang Kertasusilo, Kedungsepur, dan lain-lain masih sulit diimplementasikan karena masih kentalnya sikap primordial dan sektoral dari para pimpinan daerah atau penentu kebijakan. Itu pula sebabnya metropolis di Indonesia lantas diledek dan dipelesetkan menjadi metropolost alias kota ibu yang hilang. Kebijakan pembangunan kota metropolitan yang keliru, elitis, dan tidak pro-poor itu akan menjadikan metropolitan kita menjadi kota yang menyengsarakan warga kotanya. Itu pula sebabnya muncul tudingan bahwa kota metropolitan negara berkembang, seperti Indonesia, di masa depan akan menjadi miseropolitan atau kota yang menyengsarakan. City of tomorrow pun jangan jangan akan menjadi City of sorrow alias kota yang sarat dengan kesedihan. Kota kota metropolitan di era globalisasi yang tidak memperhatikan dimensi sosio-kultural dari warganya, diduga akan terlanda arus McWorld, McDonaldization, atau Manhattanization. Memang, aneka pengaruh globalisasi akan sulit ditangkal sehingga seperti dikatakan Manuel Castells: Globalization must be understood in relation to an historical, processual analysis of labour in relation to the state and the regulation of the variable incursions, inclusions, or exclusions of the global networks. (Susser 2002: 11). Pernik-pernik tata nilai, norma, perilaku, dan artefak bersejarah yang amat kaya dan beragam di kota kota metropolitan di tanah air kita bila tidak dijaga akan tergerus, luntur, dan hilang. Padahal bila diingat kembali bahwa kota merupakan karya seni sosial (a social work of art), model model penyeragaman, apalagi yang bercitra Barat, pasti akan meluluhlantakkan identitas, jati diri, kekhasan, atau karakter dari kota kota metropolitan. Memang perkembangan teknologi abad 20 dan 21 seperti yang terwujud dalam bentuk mobil, pendingin ruangan, televisi, komputer, dan lain lain tak akan bisa dihambat. Pasti akan besar pengaruhnya terhadap pola habitat manusia, tak terkecuali di kota metropolitan. Namun, jangan sampai kekhawatiran Daniel Solomon (Global City Blues. 2003: xi) mengejawantah menjadi kenyataan: We obliterate the distinctiveness of places and create new forms of metropolitan confusion. Jangan sampai obsesi terhadap modernitas dan teknologi lantas melunturkan atau bahkan menghancurkan kearifan tradisional dan budaya lokal yang ikut mewarnai wajah metropolitan kita. Martin Heidegger sebagai seorang filsuf kelas dunia menyebutnya dengan istilah cultural malaise dan loss of nearness, yang mengakibatkan xenophobia, psikosis, kebencian, panik, dan bahkan teror. Sedangkan Rem Koolhas sebagai arsitek dan perencana kota mengungkapkannya dengan frasa globalizing modernism dan cultural homogenization yang secara sistematik menghancurkan pusaka budaya atau warisan budaya yang unik. Rasa tempat atau sense of place yang tercipta dari keunikan budaya setempat mesti dipertahankan, jangan sampai punah atau lenyap.

174

Metropolitan di Indonesia

Kota kota metropolitan yang berkembang tak terkendali, memarjinalkan manusia dengan mengabaikan dimensi sosial-budayanya, akan menjadikannya sebagai monster yang mengerikan. Dalam kiprah pembangunan kota kota metropolitan di Indonesia seyogianya segenap pihak mengambil pelajaran dari kisah-sukses maupun kegagalan dari pembangunan kota kota di negara maju. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama, yang telah disesali di negara maju. Misalnya di kota Houston yang angka kriminalitasnya meningkat sehingga orang orang kaya di Houston sampai ketakutan dan membuat jalur khusus di bawah tanah yang diberi nama Connexion yang menghubungkan kawasan pemukiman mewah dengan down-town. Houston pun lantas memperoleh nick name Ghost-town. Kita juga jangan mengulangi kesalahan serupa seperti yang terjadi di kota Chicago ketika bangunan kuno bersejarah dihancurkan untuk memberi tempat pada bangunan pencakar langit yang modern, sampai muncul ledekan dengan nama paraban Sickago alias kota yang sakit. Dalam buku terbarunya berjudul Sociopolis: Project for a City for the Future (2004:9), Vicente Guallart dkk mengungkapkan tentang kota metropolitan masa depan di Eropa dan Amerika yang selalu saja menghadapi persaingan antara The Old dengan The New, pertempuran kepentingan antara The Rich melawan The Poor, tarik-menarik antara city centre dengan urban agglomerations. Muncullah gagasan tentang Sociopolis yang disebutkannya sebagai A truly integrative and hybrid version of the metropolis for the future setting new standards by realizing a dream of social balance. where all citizens potentially have the same opportunities. Aneka bencana perkotaan yang telah terjadi di masa silam akibat kurangnya perhatian terhadap isu-isu sosio-kultural, keadilan, demokratisasi, keberlanjutan, dan lain-lain tak seyogianya terulang di masa depan sebagaimana disebutkan oleh Raffacle Poloscia dalam bukunya The Contested Metropolis (2004: 14), bahwa bagaimana pun juga Metropolises are containers of dreams, desires, and hopes. Ke depan, ada baiknya kita merenungkan kaidah kaidah pembangunan kota termasuk kota metropolitan yang antara lain dikemukakan oleh tokoh tokoh garda depan gerakan New Urbanism yang berupaya menangkal kecenderungan social-cultural disintegration, urban sprawl, dan placelessness. Sebetulnya keseluruhannya ada 27 butir, tapi saya peras menjadi 10 saja sehingga bisa disebut sebagai The Ten Commandments atau Sepuluh Perintah Tuhan dalam pembangunan kota metropolitan abad ke-21 atau di era milenium ketiga yang berwajah manusia dan berkelanjutan. Pertama, dengan prinsip change without loss mengakomodasi evolusi dan kesinambungan kehidupan warga metropolitan yang multikultur. Konservasi dan pembangunan, struktur dan kultur, pusat dan periferi merupakan dua muka dari keping uang yang sama. Kedua, tanpa henti mencoba menciptakan progressive identity dari kota metropolitan, melepaskan diri dari telikungan regressive identity melalui pengembangan budaya demokrasi, transportasi, akuntabilitas, dan partisipasi segenap pemangku kepentingan sesuai tuntutan zaman. Ketiga, mengupayakan pusat pusat pertumbuhan jamak (multiple centres atau polynuclei) untuk mencegah kecenderungan centremania agar terjadi penyebaran aktivitas pada berbagai pelosok kota metropolitan secara lebih merata dengan keunikan sendiri-sendiri sehingga tercipta mosaik perkotaan yang indah. Keempat, menjaga eksistensi pusaka budaya sebagai historical precedents, dilandasi prinsip kota sebagai panggung kenangan. Mesti selalu ditanamkan di benak kepala bahwa kota tanpa bangunan kuno bersejarah serupa saja dengan manusia tanpa

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

175

ingatan alias gila. Membongkar warisan budaya bukanlah dosa kecil. Kelima, memelihara taman dan ruang terbuka dalam berbagai level sebagai shared public spaces yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa aman. Perlu dicamkan bahwa taman adalah sorganya perkotaan. Keenam, penyediaan affordable housing pada lokasi yang tepat untuk mencegah konsentrasi kemiskinan. Perumahan jangan sekadar dilihat sebagai komoditas ekonomi, melainkan lebih merupakan fenomena sosio-kultural sebagai instrumen pembangunan manusia. Ketujuh, mengupayakan interconnected networks of streets yang menghargai pedestrian dan memberikan rasa nyaman serta arah yang jelas. Perhatian pada public transport, terutama mass rapid transit, mesti lebih ditingkatkan. Kedelapan, menyediakan fasilitas sosial dan infrastruktur atau prasarana umum yang memadai untuk segenap lapisan warga metropolitan tanpa terkecuali. Segenap agen pembangunan kota metropolitan dituntut untuk menyediakan fasilitas dan prasarana umum sesuai standar pelayanan minimum. Kesembilan, menata kawasan pinggiran secara dini untuk mencegah urban sprawl yang tidak terkendali. Kawasan pinggiran mesti disiapkan dengan prinsip kemandirian agar bisa self sufficient, tidak tergantung pada pusat kota dan tidak sekadar sebagai bedroom community. Kesepuluh, pelibatan masyarakat dan segenap pemangku kepentingan dalam pembangunan untuk menciptakan kota metropolitan yang otentik dan rasa paguyuban (sense of community) yang kental. Tanpa rasa memiliki kota metropolitan, tidak dapat diharapkan tumbuh kembangnya secara berkelanjutan. Melalui penerapan dan pengejawantahan sepuluh butir panduan pembangunan seperti tersebut di atas, diharapkan bahwa penduduk atau warga kota metropolitan di masa depan akan termotivasi untuk ikut aktif berkiprah secara kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab atas keberlanjutan pembangunan kota metropolitan tempat mereka tinggal, bekerja, belanja, bersantai, dan beraktivitas budaya sebagai cerminan masyarakat yang beradab. KETERKAITAN DESA KOTA Pendahuluan Kinerja kota-kota di abad 21 akan menjadi perhatian global karena pesatnya peningkatan penduduk perkotaan. Pada tahun 2030, minimal 61persen penduduk dunia akan tinggal di kota-kota. Pada tahun 2060, lebih dari 80 persen penduduk dunia akan tinggal di kotakota (Cities Alliance 2006). Kawasan perkotaan akan menjadi lebih penting karena lebih dari 80 persen pertumbuhan ekonomi global terjadi di kota-kota. Selain itu, kota-kota mempunyai produktivitas yang tinggi karena kepadatan penduduknya menciptakan lingkungan transaksi yang tinggi. Hal ini meningkatkan pendapatan rumah tangga, lebih dari di kawasan-kawasan non-urban. Kota-kota juga menggunakan energi lebih rendah per unit output ekonomi, dan biaya per kapita pembangunan infrastruktur lingkungan juga lebih rendah. Kawasan perkotaan merupakan tempat berkembangnya kegiatan industri manufaktur dan jasa, yang akan meningkatkan nilai tambah perekonomian secara keseluruhan. Perkembangan kawasan perkotaan selalu diiringi arus transformasi, yaitu meningkatnya jumlah penduduk perkotaan dan meningkatnya kontribusi sektor-sektor industri manufaktur dan jasa. Perkembangan kawasan perkotaan terutama akan terjadi di kotakota besar dan metropolitan, yang selanjutnya akan memicu pemanfaatan kawasan-

176

Metropolitan di Indonesia

kawasan di sekitarnya. Meluasnya pemanfaatan ruang di sekitar kota-kota besar dan metropolitan akan mewujudkan keterhubungan dari kota inti dengan kawasan-kawasan baru dan kota-kota satelit di sekitarnya. Terjadilah penyatuan kawasan-kawasan terbangun tersebut. Perkembangan kawasan perkotaan juga terjadi di Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah penduduk perkotaan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat31. Sebagaimana halnya di dunia, di Indonesia, pertambahan penduduk perkotaan yang terjadi tidak tersebar secara merata, terjadi pemusatan di beberapa lokasi, cenderung di kota-kota besar dan metropolitan, mengakibatkan meningkatnya perkembangan kotakota ini, meluap ke kawasan pinggirannya. Secara lebih khusus di Indonesia akan berkonsentrasi di Jawa, terutama di Jabodetabek. Kawasan pinggiran ini perlu mendapat perhatian karena di sana telah terjadi perkembangan yang campur aduk dan tidak terkendali. Guna lahan juga berubah dari yang tadinya bersifat desa menjadi bersifat kota. Hilanglah lahan-lahan pertanian, perkebunan, empang-empang, permukiman berkepadatan rendah menjadi perumahan berkepadatan tinggi memenuhi kebutuhan kota inti dan untuk pembangunanpembangunan industri yang membutuhkan lokasi mendekati kota inti. Ini semua terjadi secara acak, sendiri, dan terpisah-pisah. Tidak mengacu pada suatu rencana tata ruang yang disepakati. Akibatnya, kawasan-kawasan perdesaan mengalami transformasi yang tidak terarah dan terkendali. Tata guna lahan, pola hidup penduduknya, perekonomian, dan lapangan kerja dapat memicu pengangguran yang pada gilirannya memicu penduduk masuk ke kota inti. Kawasan yang baru terbentuk, yaitu dari yang bersifat desa menjadi bersifat kota, juga akan mengalami kondisi yang jauh dari ideal. Antara lain karena tak tersedianya perumahan dan infrastruktur yang memadai. Kepadatan tinggi, keterbatasan infrastruktur lingkungan dasar, keterbatasan akses ke kota inti membebani jaringan transportasi yang telah ada serta membebani fasilitasfasilitas, seperti pendidikan dan kesehatan. Pada gilirannya hal ini akan menambah beban kota inti, membebani jaringan transportasi dan membebani biaya hidup penghuni kawasan pinggiran. Belum lagi dampak pada lingkungan alamnya polusi udara (karena transportasi), polusi sungai (karena pembuangan limbah dan sampah), polusi air tercemarnya air bersih oleh limbah cair permukiman, perusakan ruang-ruang terbuka hijau, dan sebagainya. Diperlukan program dan intervensi untuk menangani kawasan pinggiran kota, baik yang berkarakteristik desa maupun kota. Kawasan pinggiran dikelompokkan dalam tiga tipologi untuk dapat mengembangkan program intervensi penanganan kawasan pinggiran. Tipologi ini dirumuskan berdasarkan karakteristik kekotaannya karena akan dapat menggambarkan isu atau masalah yang dihadapi. Berdasarkan itu dapat diperkirakan program dan intervensi yang sesuai. Ketiga tipologi tersebut adalah: (a) kawasan pre dominantly urban; (b) kawasan semi urban; (c) kawasan potential urban. Program intervensi dan keterkaitan dengan kota inti dapat diturunkan berdasarkan ketiga tipologi tersebut. Di kawasan pinggiran ini dapat diobservasi desa dan kota serta peranannya di kawasan metropolitan.

31

Lihat uraian di Bab 5

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

177

Kawasan Metropolitan Kawasan metropolitan adalah kawasan yang terdiri dari kota inti dengan kawasan di sekitarnya yang mempunyai keterkaitan erat dengan kota inti dan berfungsi menerima luapan kegiatan atau kebutuhan permukiman dan kegiatan dari kota inti. Kawasan sekitarnya ini dapat meliputi kawasan permukiman skala besar atau skala menengah, permukiman baru yang tersebar, kota-kota baru, atau kota-kota kecil lainnya. Kawasan ini sering disebut sebagai urban fringe. Untuk menggambarkan karakteristik kawasan metropolitan ini akan digunakan kawasan metropolitan Jabodetabek sebagai contoh. Sebagai tambahan dari analisis kependudukan yang telah dijelaskan di bagian depan bab ini, akan dibahas di sini mengenai guna lahan: dominasi, persebaran, serta pola perubahannya. Selanjutnya, dibahas pola pengembangan kawasan-kawasan permukiman: pembangunan baru berskala besar, kota-kota baru, dan kota-kota kecil sekitarnya yang tumbuh dengan pesat. Ini semua akan membangkitkan pola pergerakan ulang alik ke kota inti (dalam hal ini DKI Jakarta) dan menggunakan jaringan transportasi yang ada. Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan infrastruktur biasanya merupakan permasalahan utama kawasan pinggiran. Struktur Ruang dan Pergerakan Penduduk Struktur ruang kawasan Jabodetabek dibentuk oleh jaringan jalan dan kereta api serta pusat-pusat permukiman, seperti kota baru atau permukiman skala besar. a. Sampai paruh kedua dekade 1990-an (+ 1996) ratusan kawasan permukiman baru dibangun di wilayah Jabodetabek, yaitu 103 kawasan di DKI Jakarta, 130 di Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Kabupaten dan Kodya Bekasi, dan 152 di Kabupaten dan Kodya Tangerang (Uguy 2006). Kawasan permukiman baru ini kebanyakan bukan merupakan kawasan permukiman skala besar. Baru mulai akhir tahun 1900-an mulai dibangun permukiman skala besar (> 500 ha) dan kota-kota baru oleh pengembang swasta. Pembangunan kota baru dimulai sekitar tahun 1989 dengan Kota Baru Mandiri BSD (Bumi Serpong Damai), diikuti dengan Bintaro Jaya, Lippo Cikarang, Lippo Karawaci, Tiga Raksa, Kota Legenda (Bekasi 2000), dan sebagainya. Selanjutnya, di Kabupaten Bogor ada lima wilayah baru, yaitu Rancamaya (550 ha). Royal Sentul (2000 ha), Kota Cileungsi (2000 ha). ditambah dengan Lido Lake Resort dan Jonggol. Di Tangerang, selain Bumi Serpong Damai (6000 ha) dan Tiga Raksa (3000 ha), banyak perumahan lain, seperti Citra Karya, Bintaro Jaya, Gading Serpong, Pantai Indah Kapuk, Lippo Karawaci, Alam Sutra, dan Perumahan Modern. Di Bekasi ada Lippo Cikarang (5000 ha), Kota Legenda, Cikarang Baru, dan lain-lain. Tabel 4 memberikan luas kawasan-kawasan permukiman skala besar ini (> 500 ha). b. Kawasan Jabodetabek dilayani jaringan jalan dan jaringan kereta api. Panjang jaringan jalan yang ada di wilayah Jabodetabek adalah 11.344 km, lebih dari 50 persen jaringan jalan berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Sisanya tersebar merata di seluruh kota/kabupaten di sekitarnya (1.450 km di Kabupaten/Kota Bekasi, 1.358 km di Kota/Kabupaten Tangerang, 1.763 km di Kota/Kabupaten

178

Metropolitan di Indonesia

Bogor, dan 245 km di Depok). Panjang jalan tol di DKI Jakarta juga mencapai lebih dari 50 km dari total panjang jalan tol (lihat TABEL 5 - 19).
TABEL 5 - 18 Kawasan Permukiman Skala Besar (>500 ha) di Jabotabek
No. Nama 1 Milik PT Pembangunan Delta Bekasi 2 Milik PT Lippo City Development 3 Milik PT Pura Delta Bekasi 4 Cikarang Baru 5 Bekasi Matra Real Estate 6 Milik PT Dwigunatama Rintisprima 7 Kota Legenda (Bekasi 2000) 8 Milik PT Sinar Bahana Mulia 9 Pantai Modern 10 Lippo Cikarang 11 Harapan Indah 12 Bukit Jonggol Asri 13 Citra Indah 14 Kota Taman Metropolitan 15 Kota Wisata 16 Bukit Sentul 17 Rancamaya 18 Resort Danau Lido 19 Taruma Resort 20 Talaga Kahuripan 21 Kota Tenjo 22 Milik PT Bangun Jaya Triperkasa 23 Maharani Citra Pertiwi 24 Milik PT Banyu Buana Adhi Lestari 25 Kotabaru Tigaraksa 26 Puri Jaya 27 Citra Raya 28 Lippo Karawaci 29 Gading Serpong 30 Alam Sutera 31 Bumi Serpong Damai 32 Bintaro Jaya 33 Kota Modern 34 Kota Wisata Teluk Naga 35 Kota Jaya 36 Pantai Indah Kapuk Sumber : Bappeda DKI Jakarta, 1997 Luas (ha) 1.500 780 1.500 1.400 500 850 2.000 800 500 3.000 800 30.000 1.000 600 1.000 2.000 500 1.700 1.100 750 3.000 500 1.679 500 3.000 7.145 3.000 2.000 1.500 700 6.000 2.321 770 8.000 1.745 800 Lokasi Kab. Bekasi Kab. Bekasi Kab. Bekasi Kab. Bekasi Kab. Bekasi Kab. Bekasi Kab & Kot. Bekasi Kab. Bekasi Kab. Bekasi Kab. Bekasi Kab. Bekasi Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang DKI Jakarta

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

179

TABEL 5 - 19 Panjang Jalan di Kawasan Jabodetabek


Panjang Jalan Kota/Kabupaten Km % DKI Jakarta 6.548.4 58% Kota/Kabupaten 1.762.7 16% 2 Bogor Kota/Kabupaten 1.450.1 13% 3 Bekasi Kota/Kabupaten 4 1.357.7 12% Tangerang 5 Kota Depok 245.0 2% 6 TOTAL 11.363.9 100% Sumber : SITRAMP II. 2006 No. 1 Jalan Tol Km % 113.0 52% 23.9 34.2 36.4 7.8 215.3 11% 16% 17% 4% 100%

TABEL 5 - 20 Perkapita Jalan dan Jalan Tol


Panjang Jalan Kota/Kabupaten DKI Jakarta Kota/Kab. Bogor Kota/Kab. Bekasi Kota/Kab. Tangerang Kota Depok TOTAL Jumlah Penduduk 7.610.349 4.212.605 3.280.810 4.093.174 n.a 19.196.938 Perkapita (km/1000 penduduk) 0.9 0.4 0.4 0.3 n.a 2.0 Jalan Tol Perkapita (km/1000 penduduk) 0.02 0.01 0.01 0.01 n.a 0.05

Km 6.548.4 1.762.7 1.450.1 1.357.7 245.0 11.363.9

% 58% 16% 13% 12% 2% 100%

Km 113.0 23.9 34.2 36.4 7.8 215.3

% 52% 11% 16% 17% 4% 100%

GAMBAR 5 - 9 memberikan gambaran persebaran jaringan jalan dan jalan tol. Panjang jalan tol di DKI juga mencapai hampir 50 persen dari total panjang jalan tol di Jabodetabek. Dari panjang jalan dan jalan tol, DKI Jakarta paling terlayani dengan baik dibandingkan kota/kabupaten lainnya. Perkapita (panjang jalan per jumlah penduduk) jalan dan jalan tol DKI Jakarta masih mendominasi (Lihat TABEL 5 - 20).

Jaringan jalan kereta api dapat dilihat pada GAMBAR 5 - 10. Dari DKI Jakarta ada 3 jalur utama yaitu menghubungkan dengan Kabupaten/Kota Tangerang dengan Kabupaten/Kota Bogor dan Kabupaten/Kota Bekasi, menggunakan KRL atau KRD.
GAMBAR 5 - 11 menunjukkan stasiun yang dilalui kereta api dengan jumlah

penumpangnya per hari. Terpadat adalah jalur dari Jakarta Kota (di Utara) ke Bogor (Selatan) terutama jalur tengah. Jaringan jalan dan jaringan kereta api saling melengkapi menghubungkan DKI Jakarta dengan pusat-pusat permukiman di sekitarnya.

180

Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 9 Jaringan Jalan Jabodetabek Sumber : SITRAMP (Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek II) Railway Passenger Survey 2000
Legenda : - jaringan jalan ----- jaringan jalan tol

GAMBAR 5 - 10 Jaringan Jalan Kereta Api Jabodetabek


Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey 2000

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

181

GAMBAR 5 - 11 Peta Volume Penumpang Jalur Kereta Api


Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey. 2000

c.

Jaringan jalan dan jalan kereta api tersebut di atas melayani pergerakan ulang alik dari kawasan Botabek ke DKI Jakarta (URDI 2006). Meskipun jumlah penduduk DKI Jakarta sebagai kota inti mengalami penurunan, namun daya tariknya masih kuat sebagai penyedia lapangan kerja serta pelayanan sosial-ekonomi-budaya. Fasilitas-fasilitas dan peluang kerja yang ditawarkan masih besar sehingga menarik pendatang-pendatang baru ataupun pekerja/karyawan yang tinggal di kawasan pinggirannya, di Bodetabek. Ini mengakibatkan meningkatnya jumlah penglaju baik dengan angkutan umum, angkutan dari kantor, maupun kendaraan pribadi (Lihat TABEL 5 - 21). Pejalan ulang alik terbanyak adalah dari Kabupaten Tangerang (241.570) diikuti Kota Bekasi (129.020) dan Kota Depok (99.413). Ini terutama dari kawasankawasan permukiman yang langsung berbatasan atau dekat dengan DKI Jakarta. Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar komuter ke Jakarta adalah dari golongan pendapatan Rp 1,2 juta Rp 2 juta (+ 45 persen) dan dari golongan pendapatan Rp 2,0 juta Rp 3,8 juta (+ 30 persen). Golongan pendapatan > Rp 3,8

182

Metropolitan di Indonesia

paling sedikit (+ 4 persen). Ini dapat disebabkan mereka bertempat tinggal di DKI Jakarta.

TABEL 5 - 21 Pekerja Komuter Usia 15 Tahun Ke Atas


Golongan Pendapatan (Rp 000) 100-1999 1200-1999 2000-3799 27.385 26.640 15.311 Kab Bogor (38.56%) (37.51%) (21.56%) 9.871 15.839 16.602 Kab Bekasi (22.48%) (36.07%) (37.81%) 1.927 4.575 3.762 Kota Bogor (17.68%) (41.98%) (34.52%) 18.528 67.537 37.790 Kota Bekasi (14.36%) (52.35%) (29.29%) 19.691 42.934 32.504 Kota Depok (19.81%) (43.19%) (32.70%) 52.000 106.906 72.088 Kab Tangerang (21.53%) 44.25%) (29.84%) Kota 12.334 37.921 24.111 Tangerang (16.04%) (49.31%) (31.35%) 141.736 302.352 202.168 Jumlah (21.07%) (44.94%) (30.05%) Sumber: diolah dari LP3E Unpad. 2006 Kab/Kot > 3799 1.690 (2.38%) 1.595 (3.63%) 635 (5.83%) 5.165 (4.00%) 4.284 (4.31%) 10.576 (4.38%) 2.534 (3.30%) 26.479 (3.94%) Jumlah (100%) 71.026 43.907 10.899 129.020 99.413 241.570 76.900 672.735

Guna Lahan Dari studi SITRAMP II sebagaimana disebutkan dalam URDI (2006) pada tahun 2000, klasifikasi penggunaan lahan di Kabupaten dan Kota meliputi 14 penggunaan. Untuk menyederhanakan, maka penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu permukiman, kegiatan ekonomi, fasilitas publik, dan ruang terbuka (Lihat TABEL 5 - 22). GAMBAR 5 - 12 menunjukkan bahwa proporsi penggunaan lahan tahun 2000, yang terbesar adalah untuk pertanian dan ruang terbuka (51 persen) diikuti dengan kampung berkepadatan rendah (20 persen) serta semak dan hutan (10 persen). Luas penggunaan lahan lain (perumahan terencana, kampung kepadatan tinggi, industri dan gudang, komersial dan bisnis) relatif rendah, kurang dari 10 persen. Penggunaan terbesar di Jabodetabek adalah untuk pertanian dan ruang terbuka di Kabupaten Bogor (+ 111.000 ha), di Kabupaten Bekasi (+ 84.000 ha), dan di Kabupaten Tangerang (+ 67.000 ha). Sedangkan semak dan hutan banyak terdapat di Kabupaten Bogor (+ 60.000 ha) dan Kota Depok (+ 304 ha). Hal tersebut berarti bahwa masih cukup banyak kawasan/kampung yang bersifat perdesaan. Namun, dengan berjalannya waktu, telah terjadi perubahan guna lahan yang sangat pesat dalam kurun waktu + 1,5 tahun (1985-2002) (Lihat TABEL 5 - 23).

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

183

TABEL 5 - 22 Penggunaan Lahan per Kab/Kota Jabodetabek. tahun 2000


Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002 Penggunaan Lahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Kab/Kota Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kota Tangerang Kab. Tangerang Kota Depok Kota Bogor Kab. Bogor Kota Bekasi Kab. Bekasi Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kota Tangerang Kab. Tangerang Kota Depok Kota Bogor Kab. Bogor Kota Bekasi Kab. Bekasi Luas (ha) 14.573 18.773 4.790 12.615 15.401 16.455 111.038 20.029 11.850 206.327 21.049 127.954 14.573 18.773 4.790 12.615 15.401 16.455 111.038 20.029 11.850 206.327 21.049 127.954 Perumahan Terencana 3.341.6 3.221.4 743.9 3.370.7 3.228.0 1.872.6 5.629.6 2.866.1 1.800.0 1.671.2 4.258.2 2.047.3 182.2 107.0 148.5 49.2 98.6 16.5 55.5 38.1 0.0 0.0 2.1 0.0 Kampung Kep.Tinggi 6.152.7 6.262.7 1.727.8 3.832.4 2.006.8 1.359.2 1.376.9 699.0 0.0 0.0 585.2 0.0 1.509.8 3.955.5 298.4 2.340.1 3.454.4 5.505.8 66.967.0 5.479.9 3.902.2 111.561.0 4.336.1 83.963.4 Kampung Kep.Rendah 836.5 1.873.5 94.8 880.5 857.8 5.107.6 26.049.5 8.993.0 5.359.8 30.185.6 10.772.9 23.812.2 266.7 268.5 88.6 251.0 1.640.2 314.3 6.962.1 368.5 181.3 1.774.4 130.5 14.049.3 Industri & Gudang 37.9 1.184.6 24.4 691.3 2.957.0 1.688.3 2.720.4 326.5 406.5 1.052.3 791.4 3.633.9 37.9 319.1 13.9 16.4 12.3 383.4 299.8 6.0 0.0 227.0 2.1 0.0 Komersial & Bisnis 1.190.6 580.1 1.081.6 830.1 679.2 133.3 344.2 88.1 124.4 61.9 122.1 89.6 2.9 1.9 0.0 1.3 1.5 41.1 88.8 304.4 75.8 59.546.0 6.3 38.4 Pendidikan & Fas.Publik 505.7 475.0 213.6 282.6 195.6 29.6 33.3 394.6 0.0 165.1 29.5 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.1 0.0 11.1 0.0 0.0 0.0 0.0 230.3 Pemerintahan 196.7 118.3 198.3 53.0 38.5 1.6 11.1 6.0 0.0 0.0 8.4 0.0 311.9 403.6 156.6 16.4 229.5 0.0 499.7 460.7 0.0 41.3 0.0 0.0

184

Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 12 Rasio Penggunaan Lahan Jabodetabek tahun 2000

Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002

TABEL 5 - 23 Konversi Lahan Pertanian


Luas Total Total Luas Prosentase Hasil Konversi (%) Wilayah Konversi PeruPerkanLainWilayah (ribu ha) (ribu ha) mahan Industri toran Lain Kota Bekasi 148.44 5.62 30.7 67.4 1.4 0.4 Kab. Tangerang 123.53 4.18 36.9 37.1 2.5 23.5 Kota Tangerang 18.38 3.28 62.1 35.8 1.9 0.2 Total 290.35 13.08 40.6 49.8 1.9 7.7 Sumber: BPS Jawa Barat. 1998 dalam Yulinawati 2005

TABEL 5 - 24 Perubahan Guna Lahan


Guna Lahan Tahun 1985 (ha) Perumahan Formal 10.816 11.11% Perumahan Informal 37.865 38.89% Industri 4.621 4.75% Pertanian 44.074 45.26% Sumber : SITRAMP 2. 2004 Tahun 2002 (ha) 20.900 22.02% 43.167 44.33% 7.346 7.54% 23.501 24.13%

Perumahan, baik formal maupun informal, menunjukkan perubahan yang besar, hampir 15.000 ha. Industri mengalami peningkatan hampir 3.000 ha. Pertanian mengalami pengurangan yang cukup besar yakni sekitar 11.000 ha. Konversi lahan pertanian dalam kurun waktu tersebut dapat dilihat pada TABEL 5 - 24. Dari Kabupaten/Kota Bekasi dan Tangerang, dari total wilayah 13.08 ribu ha, 40,6 persen terkonversi menjadi perumahan, 49,8 persen menjadi industri, dan 9,6 persen menjadi perkantoran dan lain-lain. Dapat disimpulkan bahwa banyak lahan dan kegiatan yang mencirikan perdesaan terkonversikan menjadi kegiatan yang berciri urban perumahan dan industri. Dari kelompok perumahan, paling tinggi menjadi kampung berkepadatan rendah (20 persen), sedangkan penggunaan untuk perumahan terencana

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

185

dan kampung berkepadatan tinggi mencapai 10 persen. Jelas ini sudah merupakan kawasan berkarakteristik perkotaan. Dinamika Kawasan Pinggiran Metropolitan Kawasan Pinggiran di sini diartikan urban fringe, yaitu kawasan yang terdapat di sekitar kota besar atau metropolitan. Bersama sebuah atau lebih kota inti membentuk kawasan metropolitan. Pada umumnya kawasan pinggiran ini terdiri dari penggunaan lahan yang campur aduk: permukiman, industri, pertanian, lahan terbuka, dan sebagainya. Secara teoritis, urban fringe merupakan titik perpotongan antara kurva permintaan lahan perkotaan dengan kurva permintaan lahan perdesaan (Lihat GAMBAR 5 - 13). Sumber mendatar merupakan jarak dari pusat kota, sedangkan sumbu vertikal menyatakan nilai lahan. Titik (0.0) adalah suatu titik yang ditetapkan sebagai pusat kota. Dengan perkembangan kota, titik yang menyatakan batas antara wilayah desa dan kota akan bergeser menjauhi pusat kota (Lihat GAMBAR 5 - 14). Titik perpotongan kedua kurva permintaan tersebut secara teoritis berupa suatu garis mengelilingi pusat kota. Namun, pada kenyataannya merupakan suatu kawasan dengan lebar yang bervariasi. Ini yang diartikan sebagai kawasan pinggiran metropolitan.

GAMBAR 5 - 13 Lokasi Urban Fringe Secara Teoretis

186

Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 14 Pergeseran Urban Fringe

Tipologi Kawasan Pinggiran Pada kenyataannya kawasan pinggiran tidak homogen. Berdasarkan penggunaan lahan serta fungsi kegiatan ekonominya, kawasan pinggiran ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori atau tipologi: a. Predominantly Urban = kawasan yang didominasi kondisi dan kegiatan berciri perkotaan. Karakteristik kota ini antara lain adalah perumahan berkepadatan tinggi, penggunaan lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri ringan/manufaktur. Kegiatan-kegiatannya lebih berciri urban, biasanya akses ke kota inti relatif baik. Kawasan predominantly urban ini kemungkinan besar tercipta karena telah ada kota-kota atau permukiman sebelumnya di kawasan ini, seperti kota Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok. Kemudian ditambah adanya pengembangan permukiman skala besar yang baru seperti kota-kota baru BSD, Deltamas, dan sebagainya. Kawasan ini juga meningkat perkembangannya karena sudah ada atau sedang direncanakan pengembangan infrastruktur regional seperti jaringan jalan arteri, jalan tol, dan sebagainya. Proses ini adalah yang kita kenal sebagai suburbanisasi dan biasanya berbatasan langsung dengan kota inti.

b. Semi Urban = kawasan ini adalah wilayah transisi dari perdesaan ke perkotaan. Ciri utamanya adalah keberadaan perumahan hunian yang masih berkepadatan rendah, baik terencana (kawasan permukiman berskala kecil) maupun tidak terencana, kepadatannya campuran antara kepadatan tinggi dan kepadatan rendah. Kegiatannya juga sebagian masih rural (pertanian, perkebunan, empang-empang dan ruang terbuka atau belum terbangun). Penggunaan lahan sebagian besar masih berupa pertanian dan ladang, serta industri yang berorientasi tenaga kerja (labor oriented industries). Guna lahannya campur aduk, antara untuk kegiatan rural dan kegiatan perkotaan (perumahan berkepadatan tinggi, industri, perdagangan, jasa pelayanan,

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

187

dan sebagainya). Akses ke kota inti terbatas; ini merupakan kawasan periurbanisasi atau awal proses suburbanisasi. c. Potential Urban = adalah kawasan yang pada saat ini ciri utamanya masih rural berkarakteristik desa tapi mempunyai peluang besar untuk lambat laun menjadi urban. Kawasan ini tidak berbatasan langsung ke kota inti, namun dekat dengan kawasan semi urban. Salah satu faktor yang mendorong pengembangan kegiatan perkotaan ke kawasan ini adalah tersedianya aksesibilitas berupa jaringan jalan atau kereta api yang melalui kawasan ini serta harga lahan yang relatif masih murah. Juga adanya imbas dari daerah sekitarnya yang sudah atau menuju perkembangan perkotaan (URDI. 2006). Kepadatan relatif rendah, kegiatan masih cenderung ke pertanian dan perkebunan serta masih banyak lahan-lahan yang belum terbangun. Akses ke kota inti sangat terbatas. hampir tidak ada.

Untuk kawasan metropolitan Jabodetabek ketiganya dapat dilihat dari GAMBAR 5 - 15. Terkait dengan kepadatan penduduk dan guna lahan serta aktivitas penduduknya, maka desa-desa di kawasan pinggiran ini ada yang masih bersifat rural, ada yang sudah menunjukkan gejala-gejala menuju urban, dan ada yang sudah bersifat urban. Dari GAMBAR 5 - 15 maka terlihat bahwa kebanyakan kecamatan-kecamatan yang langsung berbatasan dengan DKI Jakarta berkarakteristik predominantly urban atau semi urban. Dikaitkan dengan jaringan transportasi, kedua tipe kawasan ini dilalui jaringan jalan atau jalan kereta api. Lihat juga pada peta 1 dan peta 2 (jaringan jalan dan kereta api); peta 4 (penggunaan lahan 2000) serta peta 5 dan peta 6 (jumlah penduduk Jabodetabek 2000 dan 2004 per kecamatan). Pola Perubahan Ketiga tipologi kawasan pinggiran akan turut mengalami perubahan dengan adanya perkembangan di kawasan metropolitan Jabodetabek dan di kota inti DKI Jakarta. Perkembangan global akan mempengaruhi kawasan metropolitan Jabodetabek terutama dalam bidang perekonomian, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kependudukan (jumlah dan struktur) dan perubahan tata guna lahan. a. Ekonomi dan konversi lahan Sebagaimana telah disampaikan di muka, peranan kawasan metropolitan Jabodetabek dalam perekonomian nasional untuk beberapa tahun ke depan masih akan tetap tinggi. Sektor industri pengolahan/manufaktur dan sektor jasa, yang secara nasional meningkat pangsanya dari 23.8 persen menjadi 26.8 persen - akan meningkatkan pula pertumbuhan sektor-sektor tersebut di Jabodetabek. Lokasi peningkatan kegiatan ekonomi tersebut akan menyebar sebagai berikut: industri jasa dan perdagangan akan tetap berkembang di pusat kawasan metropolitan yakni di kota inti DKI Jakarta (GAMBAR 5 - 19), tetapi mulai menyebar mengikuti jaringan transport dan konsentrasi permukiman terutama ke arah Selatan. Kegiatan ini terjadi di tipe kawasan predominantly urban.

188

Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 15 Peta Urban Fringe Jabodetabek Berdasarkan Tipologinya

GAMBAR 5 - 16 Pengunaan Lahan Jabodetabek 2000

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

189

GAMBAR 5 - 17 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2000 per Kecamatan

GAMBAR 5 - 18 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2004 per Kecamatan

190

Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 5 - 19 Sebaran Lokasi Fasilitas Komersial dan Bisnis di Jabodetabek


Sumber: SITRAMP2. 2004

GAMBAR 5 - 20 Sebaran Kawasan Industri dan Pergudangan Jabodetabek

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

191

industri manufaktur dan pergudangan (GAMBAR 5 - 20) terkonsentrasi di kawasan pelabuhan kota inti DKI Jakarta, mengikuti jaringan transport ke Barat ke arah Tangerang; Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi di tipe kawasan semi urban dan potential urban. Persebaran ini terjadi di kawasan predominantly urban dekat Kota Depok. pertanian (lihat TABEL 5 - 23) mengalami penyusutan luas dari sekitar 44 ha di tahun 1985 menjadi sekitar 23,5 H di tahun 2002. Konversi ini (lihatTABEL 5 22) terjadi di Kabupaten/Kota Tangerang dan Bekasi terutama untuk penggunaan perumahan dan industri (sekitar 13 ribu ha dari total 290,4 ha lahan pertanian). Konversi lahan pertanian ini paling agresif terjadi di Kabupaten Bekasi terutama untuk mewadahi kegiatan industri yang merupakan sektor utama di daerah tersebut. Perubahan tersebut terjadi di kawasan-kawasan sebagai berikut:

TABEL 5 - 25 Perubahan Kegiatan


Predominantly Urban Semi Urban Potential Urban peningkatan industri jasa dan perdagangan peningkatan industri manufaktur peningkatan industri manufaktur peningkatan permukiman peningkatan industri manufaktur konversi lahan pertanian ke perumahan dan industri

b. Kependudukan Sebagaimana dibahas di bab sebelumnya, jumlah penduduk selama 5 tahun terakhir meningkat di Jabodetabek, kecuali di DKI Jakarta yang relatif stabil bahkan di Jakarta Pusat yang mengalami penyusutan. Secara spasial peningkatan jumlah penduduk terdapat di kecamatan-kecamatan yang berdekatan atau berbatasan dengan DKI terutama di Kota Tangerang dan Kota Depok (kawasan predominantly urban). Walaupun ada juga di beberapa kecamatan di pinggiran Kabupaten-kabupaten Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang relatif jauh dari DKI Jakarta. Kecamatankecamatan di atas berdasarkan jumlah penduduknya berubah dari tipologi semi urban dan potential urban menjadi predominantly urban dan semi urban. Terkait dengan kepadatan penduduk dalam kurun waktu 5 tahun (2000-2004) telah terjadi juga kenaikan kepadatan penduduk. Paling tinggi kepadatan masih tetap di DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan Jabodetabek. Di luar DKI Jakarta peningkatan kepadatan tinggi terjadi di kota-kota sekitar, seperti Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Bogor, dan Kota Depok. Kota-kota ini meningkat perannya sebagai sub pusat kegiatan dengan fungsi permukiman atau pendidikan. Kota-kota ini termasuk tipe kawasan predominantly urban dan di sekelilingnya adalah kebanyakan tipe kawasan semi urban. Kemungkinan besar kawasan-kawasan ini akan menjadi predominantly urban dan kawasan yang potential urban akan menjadi semi urban.

192

Metropolitan di Indonesia

Strategi dan Kebijakan Perubahan atau perkembangan tipologi kawasan dari predominantly urban menjadi fully urban dalam arti kecamatan-kecamatannya mengalami transformasi menyatu dengan kota inti; dari semi urban menjadi predominantly urban dan dari potential urban menjadi semi urban atau bahkan predominantly urban akan dipengaruhi oleh beberapa kebijakan atau intervensi dari pemerintah maupun dari masyarakat/dunia usaha. Pada saat ini strategi yang ingin digunakan di Kawasan Metropolitan Jabodetabek adalah mendorong pengembangan poros Timur Barat dan membatasi pengembangan ke arah Selatan yang merupakan resapan air. Bila dilihat GAMBAR 5 - 15 (tipologi urban fringe) maka poros Timur Barat masih memungkinkan untuk dikembangkan terutama di kawasan-kawasan semi urban, potential urban, dan predominantly rural. Hal ini terkait pada kebijakan makro untuk Kawasan Metropolitan Jabodetabek seberapa luas lahan yang akan dipertahankan dan di mana lokasinya untuk tetap menjadi kawasan perdesaan/pertanian (predominantly rural) yang saat ini masih cukup banyak yakni 51 persen. Pembatasan ke arah selatan memerlukan regulasi yang cukup ketat dan diawasi pelaksanaannya secara konsisten. Pengembangan saat ini banyak yang mengarah ke selatan. Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengawasan ini. Kebijakan umum dan khusus berupa program dan instrumen bagi ketiga tipologi dapat dilihat dari TABEL 5 - 26 dan TABEL 5 - 27. Kebijakan-kebijakan ini pada ujungnya akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan makro nasional dan sektoral seperti antara lain: Keputusan pembangunan jaringan transportasi baru jalan tol, jalan kereta api, dan jalan raya (arteri nasional). Keputusan pengembangan permukiman baru antara lain dengan meningkatkan kepadatan (KLB tinggi, KLB rendah).

Keputusan-keputusan ini penting untuk menetapkan di mana akan dilaksanakan. Kedua kegiatan tersebut akan menarik kegiatan-kegiatan terkait seperti pusat-pusat kegiatan dan pelayanan serta membutuhkan penyediaan sarana dan prasarana pendukung. Seyogianya itu semua mengacu pada satu tata ruang Kawasan Metropolitan yang disepakati semua pihak Pemerintah Pusat, Pemerintah-pemerintah Daerah, serta masyarakat dan dunia usaha terkait di sektor-sektor terkait (seperti jaringan jalan raya, jalan kereta api, jaringan air bersih dan pembuangan, industri dan perdagangan, dan sebagainya). Penutup Bagaimana implikasi perkembangan metropolitan pada desa dan kota yang berada dalam Kawasan Metropolitan serta kebijakan dan kelembagaan seperti apa yang dapat mengelola/menanganinya merupakan isu yang akan dibahas dalam bagian ini.

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

193

TABEL 5 - 26 Kebijakan Umum dan Usulan Program per Tipologi Urban Fringe
No 1 Jenis Kebijakan Pemanfaatan lahan untuk kegiatan budi daya Predominantly Urban Pengembangan mixed use; Pembangunan secara vertikal (KLB tinggi. KDB rendah) Semi Urban Pengembangan lahan terbangun yang menunjang kegiatan perkotaan Potential Urban Dipertahankan sebagai lahan tidak terbangun; Mempertahankan fungsi ekologis / lindung kawasan. Pengembangan urban agriculture Kegiatan eknomi yang tidak merugikan fungsi ekologis (ecotourism. dll) Pengembangan urban agriculture

Pengembangan pusat-pusat kegiatan baru

Pengembangan pusatpusat kegiatan regional

Pengembangan urban agriculture dan industri padat karya

Mengefisienkan dan mengefektifkan lokasi pusat-pusat kegiatan ekonomi Peningkatan penyediaan prasarana

Pengembangan kegiatan perkotaan

Pengembangan urban agriculture dan industri yang berorientasi tenaga kerja Penyediaan prasarana yang mendukung urban agriculture dan industri

Penyediaan prasarana yang mendukung kegiatan perkotaan untuk skala regional

Penyediaan prasarana yang mendukung urban agriculture

Sumber : URDI 2006

TABEL 5 - 27 Contoh Instrumen untuk Kebijakan-kebijakan Khusus


No Jenis Kebijakan Kebijakan Khusus Pengembangan Yang Ada Dibatasi Predominantly Urban Semi Urban Potential Urban

Pengembangan Yang Ada Didorong

Menaikkan Beban Pajak Untuk Kegiatan Perkotaan: Bisnis Dan Komersial; Mengurangi Ijin-Ijin Pembangunan; Mengembalikan Fungsi Ruang Terbuka Hijau Meningkatkan Pelayanan Sarana Dan Prasarana Perkotaan

Membatasi Akses Jalan Tol Dan Non Tol; Membatasi Ijin-Ijin Untuk Kegiatan Yang Menyebabkan Degradasi Lingkungan

Membatasi Akses Jalan Tol Dan Non Tol; Meningkatkan Fungsi Lindung Kawasan Untuk Bagian Selatan Jabodetabek Meningkatkan Penyediaan Sarana Dan Prasarana Kota; Meningkatkan Pembangunan Jalan Baru Untuk Pergerakan Internal Dan Eksternal Jabodetabek

Meningkatkan Pelayanan Sarana Dan Prasarana Perkotaan; Meningkatkan Pemanfaatan Lahan Terbangun

Sumber : URDI 2006

194

Metropolitan di Indonesia

Hubungan Desa dan Kota Dari gambaran di atas terlihat bahwa desa dan kota sangat erat kaitannya dan dengan mudah terjadi perubahan dari desa menjadi kota. Dari yang predominantly rural atau potential urban dapat menjadi semi urban dan predominantly urban. Suatu studi kasus (Uguy 2006) di suatu kecamatan (Cimanggis) memberikan hasil sebagai berikut: Kecamatan Cimanggis merupakan kawasan peri urban yaitu mempunyai tata guna lahan campuran rural dan urban yang tak tertata. Perubahan peruntukan lahan yang sangat cepat untuk pembangunan permukiman. Kecamatan ini juga membangkitkan lalu lintas yang menyebabkan kemacetan di jalan lingkungan, jalan arteri, dan jalan tol. Kepadatan penduduknya 75 jiwa/ha lebih tinggi dari kepadatan kabupaten tapi belum setinggi kepadatan kota. Tetapi peningkatan kepadatan ini sangat tinggi (6,3 persen per tahun). Kompleks perumahan bertambah dari 32 kompleks (1992) menjadi 57 kompleks (2002) hampir dua kalinya (Uguy 2006: hal. 127). Pertambahan penduduk terjadi terutama karena perpindahan dari DKI Jakarta. Sebanyak 84 persen dari penghuni di kompleks perumahan dan 54 persen dari penghuni non perumahan (kampung) sebelumnya tinggal di DKI Jakarta. Kegiatan utama Cimanggis sebagian masih berupa pertanian (sawah, ladang, kebun campuran dengan rumah) sebesar 73 persen. Namun, sekitar 27 persen telah berubah menjadi perumahan, industri, jalan, dan lain-lain. Hal ini semua menunjukkan bahwa kecamatan Cimanggis yang sekitar 5 tahun yang lalu masih berciri desa, kini telah mengalami transformasi dalam transisi menjadi kecamatan berciri kota. Ini merupakan fenomena yang umum terjadi di kecamatan-kecamatan sekitar DKI Jakarta,. yaitu di kawasan pinggiran yang semula hanya tipe potential urban menjadi predominantly urban. Desa-desa yang dilalui atau dekat dengan jaringan transportasi ke Jakarta akan mengalami transformasi menjadi kota yang lebih cepat. Jika tidak ada intervensi dari pemerintah, hal ini akan menerus terjadi dan akan menimbulkan urban sprawl. Intervensi Strategi dan Kebijakan Intervensi yang dapat dilakukan perlu secara menyeluruh dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, meliputi intervensi dalam aspek kelembagaan dan keuangan, aspek pembangunan fisik dan lingkungan, serta dalam aspek pelayanan publik. (URDI. 2006). Dalam hal ini intervensi kelembagaan dan keuangan antara lain dapat dilakukan melalui: membentuk wadah kerja sama (baru atau revitalisasi/perluasan wadah yang sudah ada); merumuskan mekanisme kerja sama dan pembuatan keputusan; koordinasi perencanaan dan pendanaan pembangunan secara terpadu (lintas sektor dan lintas wilayah).

Dalam hal intervensi aspek pembangunan fisik dan lingkungan dapat dilakukan antara lain : penyusunan rencana tata ruang wilayah yang terintegrasi dan terpadu secara bersama-sama;

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

195

perencanaan pengembangan jaringan transportasi dan pusat-pusat kegiatan secara bersama (spasial maupun temporal); perencanaan pemanfaatan sumber daya alam, seperti sumber air baku, sungai dan danau, dan sebagainya.

Dalam hal intervensi aspek pelayanan publik antara lain dapat dilakukan melalui pengembangan program-program : pelayanan transportasi terpadu multimoda. pelayanan penyediaan air bersih, pembuangan, dan persampahan (disarikan dari URDI 2006).

Beberapa intervensi itu harus dilakukan dari tingkat pusat, seperti mekanisme perencanaan yang melibatkan propinsi-propinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten), pembangunan skala besar dan banyak daerah seperti jaringan transportasi multimoda yang melayani ketiga propinsi, dan sebagainya.

196

Metropolitan di Indonesia

You might also like