You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Dunia pendidikan pada dasarnya memiliki dasar pemikiran dan paradigma tersendiri dalam pengembangannya. Pendidikan sebagai upaya yang dilakukan oleh manusia merupakan aspek dan hasil budaya terbaik yang mampu disediakan oleh setiap generasi kepada generasi muda berikutnya. Pendidikan juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan bagi perkembangan dan pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu bangsa bergantung pada bagaimana bangsa tersebut mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia dalam hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakat terutama kepada peserta didik. Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat dikatakan bahwa persoalan yang berkaitan dengan pendidikan adalah persoalan kompleks. Persoalan yang tidak hanya berhenti di satu fase (waktu) kehidupan saat ini saja, tapi akan selalu terkait dengan fase (waktu) kehidupan di masa mendatang. Persoalan yang timbul dalam pendidikan selalu membutuhkan pemikiran-pemikiran teoritis sebagai dasar pijakan dalam pengambilan keputusan kependidikan serta pemahaman gejala faktual dan aktual yang melibatkan pembicaraan yang merupakan unsur langsung dalam dunia pendidikan (Sukardjo 2010). Dengan kemajuan zaman dan tantangan yang diberikan dewasa ini, tenaga pendidik idealnya harus tetap terus belajar dan kreatif dalam rangka mengembangkan, mengikuti, mengimbangi, dan menyesuaikan khasanah

keilmuannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan termasuk perkembangan ilmu kependidikan. Dengan demikian, pemahaman beragam unsur dan kendala dalam dunia pendidikan dapat diantisipasi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengantisipasi permasalahan yang timbul dalam dunia pendidikan adalah dengan berpijak pada teori-teori pendidikan. Pijakan ini diharapkan memberikan kejelasan yang terkait dengan hakekat pendidikan. Dengan demikian, penguasaan atas dasar-dasar pendidikan diharapkan menjadi cakrawala yang memberikan bekal pada pelaku pendidikan

dalam rangka mengatisipasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pendidikan pada umumnya dan proses pembelajaran pada khususnya. Dari uraian di atas, para pendidik dan para perancang pendidikan serta pengembang program-program pembelajaran perlu menyadari akan pentingnya pemahaman terhadap hakekat belajar dan pembelajaran. Teori yang dapat dijadikan landasan dalam pembelajaran antara lain adalah teori humanistik dan revolusi sosio-kultural. Teori yang muncul pada era tahun 1940-an karena adanya ketidakpuasan dengan pendekatan teori belajar behavioristik dan psikoanalis. Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini dapat dikatakan masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus menelurkan konsep yang relevan dengan bidang pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang manusia (Rachmahana 2010). Namun pada kenyataannya, asumsi-asumsi yang melandasi programprogram pendidikan seringkali tidak sejalan dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar dan hakekat orang yang mengajar (Rosdiana 2010). Dunia pendidikan, lebih khusus lagi dunia belajar, didekati degan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komprehensif. Praktik-praktik pendidikan dan pembelajaran seringkali diwarnai oleh landasan teoritik dan konseptual yang tidak akurat.

1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana teori humanistik dan teori revolusi sosio-kultural dapat mendukung pembelajaran? 2. Bagaimana bentuk implementasi teori humanistik dan teori revolusi sosiokultural dalam pembelajaran?

1.3. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka makalah ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui teori humanistik dan teori revolusi sosio-kultural dalam mendukung pembelajaran. 2. Mengetahui bentuk implementasi teori humanistik dan teori revolusi sosiokultural dalam pembelajaran.

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Teori Humanistik Psikologi humanistik atau disebut juga psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis. Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education) keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik. Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia (Uno 2006). Oleh karena itu, proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungan dan dirinya sendiri (Sukardjo 2010). Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar mampu mencapai aktualisasi dengan sebaik-baiknya. 2.1.1 Tokoh Tokoh Teori Humanistik 1) Arthur W. Combs Makna adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori humanistik. Seberapa besar kebermaknaan dari suatu materi bagi siswa (peserta didik) menjadi peran sentral dalam teori ini. Jadi, guru tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak relevan dengan kehidupan mereka. Untuk itu ada kalanya tenaga pendidik memahami perilaku siswa dengan menyelami dunia persepsi mereka (Sukardjo 2010). Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang terkandung dalam materi

tersebut tidak menyatu dengan makna yang diharapkan siswa (Sukardjo 2010). Combs mengilustrasikan lukisan persepsi diri dan persepsi dunia seseorang dengan menggunakan dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat sama (Gambar 2.1).

A . B

Gambar 2.1

Ilustrasi Combs 1. Lingkaran A menggambarkan persepsi diri

seseorang sedangkan lingkaran B yang lebih besar menggambarkan persepsi dunia yang lebih luas. Makin jauh kebermaknaan persepsi dari peristiwa-peristiwa (lingkaran B) dengan persepsi diri (lingkaran A), makin berkurang pengaruhnya terhadap perilaku siswa. Sehingga, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan keterkaitan diri, akan makin mudah terlupakan oleh siswa. Sebaliknya, apabila makin dekat kebermaknaan persepsi diri (lingkaran A) dengan peristiwa-peristiwa dalam persepsi dunia (lingkaran B), makin besar pengaruhnya terhadap perilaku siswa. Sehingga, hal-hal tersebut akan mudah diingat oleh siswa (Gambar 2.2).

.
B

B Gambar 2.2 Ilustrasi Combs 2. Lingkaran A menggambarkan persepsi diri

seseorang sedangkan lingkaran B yang lebih besar menggambarkan persepsi dunia yang lebih luas.

2)

Abraham Maslow Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua

hal, yaitu suatu usaha yang positif untuk berkembang dan kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Pada dasarnya setiap individu memiliki perasaan takut. Takut untuk berusaha dan berkembang, takut untuk mengambil peluang, takut untuk mencoba hal-hal baru, dan sebagainya. Namun di sisi lain, setiap individu juga memiliki dorongan yang kuat untuk menjadi lebih maju dan berkembang menuju keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri, dan juga menerima diri sendiri. Manusia sebagai individu memiliki berbagai macam kebutuhan-kebutuhan yang berkecenderungan meningkat dalam kehidupannya. Sebagai contoh, ketika manusia telah berhasil memperoleh kebutuhan pertama seperti kebutuhan fisiologis, barulah mereka ingin memperoleh kebutuhan yang berada di atas kebutuhan pertama dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia ini menurut Maslow memiliki implikasi penting yang harus diperhatikan oleh guru pada saat mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin akan berkembang apabila kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi. Dalam artikel Some Educational Implications of the Humanistic Psychologist, Maslow berpendapat bahwa yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan positif manusia. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia. Para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif di sini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya keterampilan membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain, mengajarkan kepercayaan, memahami perasaan orang lain, kejujuran dan sebagainya. Intinya adalah mengajarkan peningkatan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Selain menitikberatkan pada hubungan interpersonal, para pendidik yang beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu

peserta didik didik dalam membuat, berimajinasi, berintuisi, merasakan, berfantasi dan mempunyai pengalaman. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. Melihat hal-hal yang dikembangkan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi (emotional quotation) dalam dunia pendidikan. Karena berpikir dan merasakan berjalan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia.

3)

Carl Rogers Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan

experiential (pengalaman). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai. Experiential learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek membekas pada siswa. Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu : a) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Artinya siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya. b) c) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. d) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses. Salah satu model pendidikan terbuka yang dikembangkan oleh Rogers mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif. Model ini menekankan kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik positif (Hadis 2006). Ciri-ciri guru fasilitatif adalah :

a) b)

Merespon perasaan siswa. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.

c) d) e) f) g)

Berdialog dan berdiskusi dengan siswa. Menghargai siswa. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa Tersenyum pada siswa Dari penelitian itu, diketahui bahwa guru yang fasilitatif mampu

mengurangi angka membolos, meningkatkan angka konsep diri, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik, mengurangi tingkat masalah yang berkaitan dengan kedisiplinan, serta menjadikan siswa lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.

2.1.2 Prinsip-prinsip Teori Belajar Humanistik Dari bukunya Freedom to Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting di antaranya : a) Memberi kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kemampuan belajarnya. b) c) Manusia mempunyai kemampuan belajar secara alami. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran yang dirasakan memiliki relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri. d) e) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya. Adanya potensi negatif yang rendah membuat siswa dapat lebih mudah memperoleh pengalaman belajar bermakna bagi dirinya sendiri. f) g) Belajar akan lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberikan hasil yang mendalam. h) Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri. i) Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.

2.1.3 Aplikasi belajar humanistik Aplikasi teori humanistik lebih mununjuk kepada roh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik sebagai fasilitator bagi para siswa dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Dakir 1993). Siswa berperan sebagai pelaku utama (student centered) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan meminimalkan potensi negatif yang ada dalam dirinya. Tujuan pembelajaran dari humanistik lebih menitikberatkan pada proses belajar daripada hasil belajar yang pada umumnya melalui serangkaian proses antara lain : a) b) Merumuskan tujuan belajar yang jelas. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif. c) Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri. d) Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, dan memaknai proses belajar secara mandiri. e) Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat, memilih pilhannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.

2.1.4 Kelebihan dan Kelemahan Teori Humanistik Teori humanistik sering dikritik karena sifatnya yang terlalu deskriptif (meskipun semua teori belajar sebenarnya bersifat deskriptif). Kelemahan lain adalah sukarnya menerjemahkan teori ini ke langkah-langkah yang lebih praktis dan konkrit (Suciati & Prasetya 2001). Namun, karena sifatnya yang deskriptif itulah maka teori ini seolah memberi arah proses belajar. Semua tujuan belajar

bersifat ideal dan teori humanistik inilah yang menjelaskan bagaimana tujuan ideal itu seharusnya. Teori humanistik akan sangat membantu dalam proses pemahaman belajar serta melakukan proses belajar dalam dimensi yang lebih luas, jika kita mampu menempatkannya dalam konteks yang tepat. Kalaupun teori ini sulit untuk diterjemahkan ke dalam langkah-langkah yang lebih konkrit dan praktis, namun ide-ide yang diberikan dalam teori ini setidaknya telah membuka mata kita agar lebih memahami hakekat jiwa manusia.

2.2. Teori Revolusi Sosio-kultural 2.2.1 Tokoh-tokoh Teori Sosio-kultural Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural: 1) Piaget Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa individu artinya pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial yaitu teman sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa), sedangkan lingkungan sosial menjadi faktor sekunder. Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan system syaraf. Makin bertambah umur seseorang, makin komplekslah susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya. Kegiatan belajar terjadi seturut dengan pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, ia akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Perolehan kecakapan intelektual akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan.

10

Untuk memperoleh keseimbangan atau ekuilibrasi, seseorang harus melakukan adaptasi dua bentuk dan terjadinya secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi siswa mengintregasikan pengetahuan baru dari luar ke dalam struktur kognitif yang telah ada pada dirinya. Sedangkan melalui akomodasi siswa memodifikasi struktur kognitif yang ada dalam dirinya dengan pengetahuan yang baru. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitifnya. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan akan terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu (Budiningsih 2005). Teori konflik-sosiokognitif ini mampu berkembang luas dan mendominasi bidang psikologi dan pendidikan. Namun, bila dicermati ada beberapa aspek dari teori Piaget yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif pada kegiatan pembelajaran jika dilihat dari perspektif revolusi sosio-kultural saat ini. Dilihat dari locus of cognitive development atau asal-usul pengetahuan, Piaget cenderung menganut teori psikogenesis. Artinya, pengetahuan berasal dari dalam individu. Dalam proses belajar, siswa berdiri terpisah dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Siswa mengkonstruksikan pengetahuannya lewat tindakan yang dilakukannya terhadap lingkungan sosial. Pemahaman atau pengetahuan merupakan penciptaan makna pengetahuan baru yang bertolak dari interaksinya dengan lingkungan sosial. Kemampuan menciptakan makna atau pengetahuan baru itu sendiri lebih ditentukan oleh kematangan biologis. Menurut Piaget, dalam fenomena belajar lingkungan sosial hanya berfungsi sekunder, sedangkan faktor utama yang menentukan terjadinya belajar, tetap pada individu yang bersangkutan. Teori belajar semacam ini lebih mencerminkan ideologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya Barat yang mengunggulkan self-generated knowledge atau individualistic pursuit of truth yang dipelopori oleh Sokrates.

2)

Vygotsky Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri asal usul

tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan) yang

11

dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu itu sendiri melainkan berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya. Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sosial budaya. Peserta didik memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan dimensi individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder. Oleh karena itu, teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan co-konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang di samping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula. Menurut Vygotsky, perkembangan kognisi peserta didik dapat terjadi melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya. Perkembangan peserta didik terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran sosio-kultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di

lingkungannya. Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orangorang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu, Vygotsky juga menekankan bagaimana peserta didik dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.

2.2.2 Prinsip-Prinsip Teori Revolusi Sosio-kultural Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi sosio-kultural dalam teori belajar dan pembelajaran yaitu hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of

12

development), zona perkembangan proksimal (zona of proximal development), dan mediasi. 1) Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development) Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental dan intrapsikologis atau intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Sedangkan fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut. 2) Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of proximal

development) ke dalam dua tingkat. Pertama, tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri (intramental). Kedua, tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten (intermental). Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuankemampuan yang belum matang yang masih berada dalam proses pematangan (Tudge 1994). 3) Mediasi Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika. Dalam kegiatan pembelajaran, anak dibimbing oleh orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten untuk memahami alat-alat semiotik ini. Anak mengalami proses internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih lanjut pada diri anak. Mekanisme

13

hubungan antara pendekatan sosio-kultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik, artinya tanda-tanda atau lambing-lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas sosio-kultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnya proses mental. Ada dua jenis mediasi, yaitu: pertama, mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk melakukan self-regulation yang meliputi: self planning, self monitoring, self checking, dan self evaluating. Mediasi metakognitif ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Selama menjalani kegiatan bersama, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten biasa menggunakan alat-alat semiotik tertentu untuk membantu mengatur tingkah laku anak. Selanjutnya anak akan menginternalisasikan alat-alat semiotik ini untuk dijadikan sarana regulasi diri. Kedua, mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subjectdomain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya). Konsep-konsep ilmiah yang berhasil diinternalisasikan anak akan berfungsi sebagai mediator dalam pemecahan masalah. Konsep-konsep ilmiah dapat berbentuk pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) yang kurang memadai untuk memecahkan berbagai persoalan, pengetahuan procedural (procedural knowledge) berupa metode atau strategi utnuk memecahkan masalah. Menurut Vygotsky, untuk membantu anak mengembangkan pengetahuan sungguh-sungguh bermakna dapat dilakukan dengan cara memadukan antara konsep-konsep dan prosedur melalui demonstrasi dan praktik.

2.2.3 Aplikasi Teori Sosio-kultural Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori sosiokultural dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu: 1) Pendidikan informal (keluarga) Pendidikan peserta didik dimulai dari lingkungan keluarga, dimana peserta didik pertama kali melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari

14

lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, perkembangan perilaku masing-masing peserta didik akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan peserta didik dalam keluarga beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya. 2) Pendidikan nonformal Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku pada peserta didik, misalnya kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali peserta didik hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya. 3) Pendidikan formal Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa segi antara lain: Kurikulum. Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006 tentang standar kompetensi, dan Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap kepada peserta didik untuk mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional melalui beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga. Siswa. Dalam pembelajaran KTSP peserta didik mengalami pembelajaran secara langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi peserta didik mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu, pembelajaran memberikan kebebasan peserta didik untuk berkembang sesuai bakat, minat, dan

lingkungannya pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan. Guru. Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam

pembelajaran lebih berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya

15

dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum muncul secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial pembelajaran.

2.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Revolusi Sosio-Kultural Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan, di antaranya peserta didik memperoleh kesempatan yang luas untuk

mengembangkan zona perkembangan potensinya melalui belajar dan berkembang. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya daripada tingkat perkembangan aktualnya. Kelebihan lainnya adalah pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramental. Peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan co-konstruktivisme, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kelemahan dari teori revolusi sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep, belajar dari berbagai sumber belajar, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung. Oleh karena itu, perlu diteliti mengenai perilaku pada proses belajar.

16

BAB III PENUTUP

3.1

Simpulan Berdasarkan paparan mengenai teori belajar humanistik dan teori sosio-

kultural, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri, sedangkan teori revolusi sosio-kultural menekankan kepada peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dari individu itu sendiri. 2. Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berpikir induktif. Teori ini juga sangat mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar, sedangkan implementasi teori revolusi sosio-kultural dapat tercermin dalam tiga lingkungan sosial belajar, meliputi pendidikan informal (keluarga), pendidikan nonformal (masyarakat), dan pendidikan formal (sekolah).

17

DAFTAR PUSTAKA Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Jakarta: Pustaka Belajar. Hadis A. 2006. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Budiningsih CA. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Suciati, Prasetya P. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta : PAU-PPAI, Universitas Terbuka. Sukardjo. 2010. Landasan Pendidikan: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Rachmahana SR. 2008. Psikologi humanistik dan aplikasinya dalam pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi 1: 99-114. Tudge J. 1994. Vygotsky: The Zone of Proximal Development, and Peer Collaboration: Implications for Classroom Practice. Cambrige: University Press. Uno HB. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

18

You might also like