You are on page 1of 19

LAPORAN KASUS :

SEORANG WANITA USIA 28 TAHUN DENGAN HEPATITIS B KRONIK


Abstract
Telah dilaporkan seorang pasien wanita berusia 28 tahun datang dengan keluhan badan lemas. Disertai perut terasa senep, nyeri di ulu hati dan perut kanan atas. Selain itu pasien juga mengeluh pusing cekot-cekot sejak 1 hari SMRS. pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, nyeri tekan di regio

epigastrium, nyeri ketok costo-vertebrata dirasakan di kanan dan kiri, serta edema tangan dan kaki. Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan diagnosis Gagal Ginjal Kronik. Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan terapi bedrest total, oksigen, dan konservatif. Gagal ginjal kronik adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus menerus. Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hamper semua penyakit. Penyebab penyakit gagal ginjal kronik cukup banyak, tetapi untuk keperluan klinis dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu penyakit parenkim ginjal dan penyakit ginjal

obstruktif.Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu terapi konservatif dan dialysis dan transplantasi ginjal jika terapi konservatif tidak efektif lagi.

Keyword : gagal ginjal, kronik, terapi

Presentasi Kasus
Seorang pasien wanita berusia 28 tahun datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan keluhan badan lemas. Disertai perut terasa senep, nyeri di ulu hati dan perut kanan atas. Selain itu pasien juga mengeluh pusing cekot-cekot sejak 1 hari SMRS. Pasien mengaku keluhan seperti ini sering muncul kambuhkambuhan sejak kurang lebih 8 bulan yang lalu. Nafsu makan pasien juga menurun dibandingkan biasanya. Buang air kecil lancar warna kuning kecoklatan seperti teh, buang air besar lancar tidak ada keluhan. Sekitar 1 bulan yang lalu, pasien pernah menjalani rawat inap dengan keluhan yang sama. Pada saat itu pasien menjalani rawat inap selama 5 hari dengan HBeAg positif (+) dan pulang dengan kondisi membaik. Setelah pulang dari Rumah sakit pasien mengaku jarang kontrol. Pasien mengaku bahwa kurang lebih sejak 8 bulan yang lalu pasien sering merasa badannya lemas tanpa sebab yang jelas, dan membaik sendiri. Namun keadaan ini sering kambuh-kambuhan. Riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit hepatitis B diakui, diabetes melitus disangkal, hipertensi disangkal, , alergi obat disangkal, alergi makanan disangkal. Riwayat kehidupan pribadi, konsumsi alkhohol disangkal, kontak dengan penderita hepatitis disangkal. Riwayat keluarga dengan penyakit hepatitis disangkal, diabetes melitus disangkal, hipertensi disangkal, alergi obat disangkal. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak lemas, dengan kesadaran compos mentis, tinggi badan 158 cm, berat badan 48 kg, status gizi cukup, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80 x/menit irama reguler, respirasi rate 20 x/menit dan suhu 36,5
0

. Pada pemeriksaan kepala leher didapatkan sklera

ikterik. Pada pemeriksaan thorak, cor ictus kordis tampak kuat angkat di medial SIC V Linea Midclavicularis Sinistra, suara jantung 1-2 reguler murni. Pemeriksaan pulmo simetris, tidak ditemukan retraksi, perkusi sonor pada seluruh lapang paru dan pada auskultasi didapatkan suara dasar vesikuler dan tidak ada suara tambahan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan di regio epigastrium, nyeri tekan di regio hipocondriaka dekstra. Selain itu didapatkan pula

hepatomegali dengan ukuran 2 cm dari processus xiphoideus serta 1 cm dari arcus costae dextra. Ekstremitas akral hangat. Pemeriksaan penunjang laboratorium kimia darah yang telah dilakukan pada tanggal 23 oktober 2012 yang menunjang kasus ini didapatkan hasil HBeAg positif (+), Albumin 2,07 g/dL, globulin2,94 g/dL, SGOT 23,9L, SGPT 21,3 L.

Diagnosis
Hepatitis B kronik fase immune clearance

Penatalaksanaan
Non medikamentosa: Menjaga higienitas makanan, kebersihan diri dan lingkungan sekitar.

Medikamentosa : IFN 5 MU 3 x seminggu Lamivudin 1 x 100 mg/hari Inj. Ranitidin 1 Amp / 12 jam Inj. Raclonid 1 Amp / 12 jam Curcuma tablet 2x1

Follow Up
Setelah satu hari menjalani rawat inap di Bangsal Mawar 2, pasien masih mengeluhkan badan lemas, pusing cekot-cekot, perut terasa penuh. Pada hasil pemeriksaan fisik, vital sign pasien, tekanan darah 90/60, nadi 60 x/menit, respirasi rate 18 x / menit, suhu 36,5. Pada pemeriksaan kepala leher ditemukan sklera ikhterik. Pada pemeriksaan fisik thorak, cor suara jantung 1-2 regular murni, pulmo suara dasar vesikular, tidak ada ronkhi dan wheezing. Pemeriksaan abdomen ditemukan hepatomegali, nyeri tekan ulu hati dan nyeri tekan hipocondriaka dekstra . Untuk program terapi masih dilanjutkan.

Hari kedua menjalani rawat inap di Bangsal Mawar 2, pasien mengalami perbaikan dengan semakin berkurangnya keluhan pusing, perut mbesesek belum berkurang ( rasa tidak nyaman dan terasa penuh), nyeri ulu hati, dan perut kanan atas. Pada hasil pemeriksaan fisik, vital sign pasien, tekanan darah 110/70, nadi 80 x/menit, respirasi rate 20 x / menit, suhu 36,7. Pada pemeriksaan fisik thorak, cor suara jantung 1-2 regular murni, pulmo dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen masih ditemukan hepatomegali, nyeri tekan epigastrium dan hipocondriaka dekstra. Buang air kecil lancar warna kuning kecoklatan. Untuk program terapi masih dilanjutkan. Hari ketiga menjalani rawat inap di Bangsal Mawar 2, pasien mengalami perbaikan dengan semakin berkurangnya keluhan pusing, perut mbesesek ( rasa tidak nyaman dan terasa penuh), nyeri ulu hati, dan perut kanan atas. Pasien mengaku kondisinya sudah membaik. Pada hasil pemeriksaan fisik, vital sign pasien, tekanan darah 120/80, nadi 80 x/menit, respirasi rate 20 x / menit, suhu 36,7. Pada pemeriksaan fisik thorak, cor suara jantung 1-2 regular murni. Buang air kecil lancar warna kuning kecoklatan. Pemeriksaan abdomen masih ditemukan hepatomegali, nyeri tekan epigastrium dan hipocondriaka dekstra Untuk program terapi masih dilanjutkan. Hari keempat menjalani rawat inap di Bangsal Mawar 2, pasien mengalami perbaikan dengan semakin berkurangnya keluhan pusing, perut mbesesek ( rasa tidak nyaman dan terasa penuh), nyeri ulu hati, dan perut kanan atas. Pasien mengaku kondisinya sudah membaik. Pada hasil pemeriksaan fisik, vital sign pasien, tekanan darah 120/80, nadi 80 x/menit, respirasi rate 20 x / menit, suhu 36,7. Pada pemeriksaan fisik thorak, cor suara jantung 1-2 regular murni. Buang air kecil lancar warna kuning kecoklatan. Untuk program terapi masih dilanjutkan. Pada hari kelima menjalani rawat inap di Bangsal Mawar, pasien mengalami perbaikan, keluhan lemas sudah tidak dirasakan, pusing, perut mbesesek sudah tidak dirasakan. Nyeri ulu hati dan nyeri hipocondriaka sudah berkurang. Kondisi pasien sudah baik. . Pada hasil pemeriksaan fisik, vital sign pasien, tekanan darah 120/80, nadi 80 x/menit, respirasi rate 20 x / menit, suhu

36,7. Pada pemeriksaan fisik thorak, cor suara jantung 1-2 regular murni. Buang air kecil lancar warna kuning kecoklatan. Untuk program terapi masih dilanjutkan.

Diskusi
Pada pasien ini ditemukan keluhan badan terasa lemas sesak nafas sudah sejak 1 minggu. Awalnya sesak nafas timbul setelah pasien beraktivitas membersihkan halaman rumahnya. Kemudian akan membaik dengan sendirinya apabila pasien beristirahat. Sesak nafas dirasa cukup mengganggu aktivitas, karena setiap berjalan dalam jarak tidak terlalu jauh, pasien akan menggehmenggeh (dispneu deffort). Kemudian di malam hari pasien tidak dapat tidur karena sesaknya (paroxysmal nocturnal dyspneu). Pada saat tidur pasien lebih nyaman dengan menggunakan 3-4 tumpukan bantal (ortopneu). Selain itu pasien juga mengeluhkan batuk tidak berdahak, mual, perut terasa mbeseseg, lemas, pusing, nyeri ulu hati, boyok pegel dan bengkak pada kedua tangan dan kaki. Nafsu makan dirasakan menurun karena rasa mbeseseg. Berdasar anamanesi yang didapat hal ini sesuai dengan kriteria Framingham untuk penegakan diagnosis congestif heart failure berupa adanya kriteria mayor dan minor. Keluhan bengkak pada kedua tangan dan kaki muncul sejak 1 bulan SMRS. Pada saat buang air kecil pasien merasa kurang lancar, terasa nyeri dan panas serta warna urine kuning keruh. Buang air besar tidak ada keluhan. Pada riwayat penyakit dahulu ditemukan adanya uretrolithiasis dextra dan pasien tidak kontrol rutin di Poli Penyakit Dalam RSUD Karanganyar. Setelah 4 bulan terdiagnosis uretrolithiasis dextra, pasien kembali menjalani rawat inap dengan keluhan bengkak, anemia serta hipertensi. Pada saat itu pasien mendapat transfusi 3 kolf dan pada saat itu pasien tidak disarankan untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut di RSDM. Pasien menjalani rawat inap selama 5 hari dan pulang dengan perbaikan. Setelah pulang dari RSUD Karanganyar, pasien mengakui tidak kontrol ke Poli Penyakit Dalam, hingga akhirnya pasien mengalami rawat inap yang ketiga kalinya.

Pasien menyangkal bahwa memiliki penyakit Diabetes Melitus, Hipertensi sebelumnya. Pada keluarga pasien pun juga disangkal adanya riwayat Diabetes mellitus serta hipertensi dan penyakit serupa. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak lemas, dengan kesadaran compos mentis, kemudian vital sign tinggi badan 150 cm, berat badan 50 kg, status gizi cukup, tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 88 x/menit irama reguler, respirasi rate 32 x/menit dan suhu 36,5 0 . Pada pemeriksaan kepala leher didapatkan distensi vena leher, konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan thorak, cor ictus kordis tampak kuat angkat di medial SIC V Linea Midclavicularis Sinistra, suara jantung 1-2 reguler murni. Pemeriksaan pulmo simetris, ditemukan retraksi, perkusi sonor pada seluruh lapang paru dan pada auskultasi didapatkan suara dasar vesikuler dan suara tambahan berupa ronkhi basah basal pulmo. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan di regio epigastrium, nyeri ketok costo-vertebrata dirasakan di kanan dan kiri. Selain itu didapatkan pula hepatomegali dengan ukuran 3 cm dari processus xiphoideus serta 2 cm dari arcus costae dextra. Ekstremitas ditemukan udem pada kedua tangan dan kaki. Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan adalah EKG, laboratorium kimia darah dan USG Abdomen. Pada hasil pemeriksaan EKG didapatkan hasil Normo Sinus Rhytm, serta gambaran LVH dan RVH. Pada hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjang kasus ini didapatkan hasil hemoglobin 7,9 g/dL, ureum 166,3 mg%, kreatin 8,6 mg%, dengan nilai CCT 11 %. didapatkan gambaran contracted kidney. Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG), mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi, mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors), menentukan strategi terapi rasional, meramalkan prognosis1,2. Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus1,2. a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Pada USG

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal2,3. b. Pemeriksaan laboratorium Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. 1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG) Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). 2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. 3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG)1,3,4,5. c. Pemeriksaan penunjang diagnosis Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu: 1) Diagnosis etiologi GGK Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU). 2) Diagnosis pemburuk faal ginjal Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG)1,3.

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti

proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, seperti pada tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Batasan penyakit ginjal kronik1

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: - Kelainan patologik - Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal.1,2 Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut: Tabel 2.2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik2 Stadium Deskripsi LFG m) 0 Risiko meningkat 90 dengan faktor (mL/menit/1.73

risiko 1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau 90 meninggi 2 3 4 5 Penurunan ringan LFG Penurunan moderat LFG Penurunan berat LFG Gagal ginjal 60-89 30-59 15-29 < 15 atau dialisis

ETIOLOGI Penyebab hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong dalam kelas hepaDNA dan mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada hepatitis B disebut hepatitis B surface antigen (HBeAg) dalam inti terdapat genome dari HVB yaitu sebagian dari molekul tunggal dari DNA spesifik yang sirkuler dimana mengandung enzim yaitu DNA polymerase. Disamping itu juga ditemukan hepatitis B Antigen (HBeAg). Antigen ini hanya ditemukan pada penderita dengan HBeAg positif. HBeAg positif pada penderita merupakan pertanda serologis yang sensitif dan artinya derajat infektivitasnya tinggi, maka bila ditemukan HBeAg positif penting diperiksa HbeAg untuk menentukan prognosis penderita. Cara penularan infeksi virus hepatitis ada dua, yaitu : penularan horizontal dan vertikal. 1. Penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi virus hepatitis B kepada individu yang masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir 2. Penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi yang dilahirkan Penularan melalui kulit, ada 2 macam yaitu disebabkan tusukan yang jelas (penularan parenteral), misal melalui suntikan, transfusi darah dan tato. Yang kedua adalah penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuk nya bahan infektif melalui goresan atau abrasi kulit dan radang kulit.

Penularan melalui selaput lendir : tempat masuk infeksi virus hepatitis B adalah selaput lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir genetalia. Penularan vertikal : dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal (inutero),selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau post natal. Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus membrane mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata sekitar 60-90 hari. HBeAg telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang yang terinfeksi yaitu darah, semen, saliva, air mata, asites, air susu ibu, urin, dan bahkan feses. Setidaknya sebagian cairan tubuh ini (terutama darah, semen, dan saliva) telah terbukti bersifat infeksius. Orang yang berisiko tinggi menderita hepatitis B : 1. Imigran dari daerah endemis HBV2 2. Pengguna obat intravena yang sering bertukar jarum dan alat suntik 3. Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang terinfeksi 4. Pria homoseksual yang secara seksual aktif 5. Pasien rumah sakit jiwa 6. Narapidana pria 7. Pasien hemodialisis dan penderita hemofili yang menerima produk tertentu dari plasma 8. Kontak serumah dengan karier HBV 9. Pekerja sosial dibidang kesehatan terutama yang banyak kontak dengan darah 10. Bayi yang baru lahir dari ibu terinfeksi, dapat pada saat atau segera setelah lahir PATOFISIOLOGI Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral, dari peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBeAg bentuk bulat dan tubuler dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Virus hepatitis B merangsang respon imun tubuh, yang pertama

10

kali adalah respon imun non spesifik karena dapat terangsang dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NKT. Kemudian diperlukan respon imun spesifik yaitu dengan mengakstivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8 + terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan komplek peptide VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati. Sel T CD8 + akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati terinfeksi. Proses eliminasi bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT. Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan mengakibatkan produksi antibody antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel virus hepatitis B bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel, dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi virus hepatitis B dapat diakhiri tetapi kalau proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi virus hepatitis B yang menetap. Proses eliminsai virus hepatitis B oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus atau pun faktor pejamu. Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel sel terinfeksi, terjadinya mutan virus hepatitis B yang tidak memproduksi HBeAg, integarasi genom virus hepatitis B dalam genom sel hati. Faktor pejamu antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor kelamin dan hormonal. Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B dalam persistensi virus hepatitis B adalah mekanisme persistensi infeksi virus hepatitis B pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBeAg dan HBeAg posistif, diduga persistensi infeksi virus hepatitis B pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi virus hepatitis B, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah

11

precore dari DNA yang menyebabkan tidak diproduksinya HbeAg. Tidak adanya HbeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB.

PERJALANAN PENYAKIT HATI 3 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronik yaitu: 1. Fase imunotoleransi Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBeAg yang sangat tinggi, HbeAg positif, anti HbeAg negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. 2. Fase imunoaktif atau fase immune clearance Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. 3. Fase nonreplikatif atau fase residual Sekitar 70 % dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer HBeAg rendah dengan HbeAg yang menjadi negatif dan anti Hbe yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal. Sekitar 20-30% pasien hepatitis kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan. Pada sebagian pasien dalam fase residual, pada waktu terjadi serokonversi HbeAg positif menjadi anti Hbe justru sudah terjadi nekrosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual, replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti Hbe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi hepatitis B

12

menjadi tenang justru risiko untuk terjadi karsinoma hepatoselular (KHS) mungkin meningkat. Sebagai contoh, onata melaporkan dari 500 pasien KHS, 53 orang (11%) menunjukkan HBeAg positif. Dari jumlah ini, 46 (87%) anti-Hbe positif dan 30% HbeAg positif. Diduga integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati merupakan proses yang penting dalam karsinogenesis. Karena itu, terapi anti virus harus diberikan selama mungkin untuk mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang dapat berkembang menjadi KHS.

MANIFESTASI KLINIS Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang baik. Gejala tambahan dapat terjadi, terutama pada orang yang sudah lama mengalami hepatitis B kronik. Gejala ini termasuk ruam, urtikaria (kaligata rasa gatal yang berbintik-bintik merah dan bengkak), arthritis (peradangan sendi), dan polineuropati (semutan atau rasa terbakar pada lengan dan kaki). Gambaran hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tandatanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema palmaris dan spider nervi serta pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya didapatkan konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum umumnya masih normal kecuali pada kasus-kasus yang parah. Manifestasi klinik hepatitis B kronik secara garis besar dibagi 2 Hepatitis B kronik yang masih aktif o HBeAg (+) , DNA VHB lebih lebih dari 105 copies / ml . didapatkan kenaikan ALT yang menetap atau intermitten. o Tanda tanda peradangan penyakit hati kronik o Histopatologi hati terjadi peradangan yang aktif. Carrier VHB inaktif

13

o HBeAg (+), titer DNA VHB kurang dari 105kopi / ml . konsentrasi ALT normal o Keluhan tidak ada o Kelainan kerusakan jaringan hati minimal.

DIAGNOSIS Hepatitis kronik adalah penyakit yang berlangsung secara perlahan dan menyelinap.Keluhan yang ada tidak sejalan dengan beratnya kerusakan jaringan hati. Pada separuhnya, pasien datang dengan gejala penyakit hati kronik yang jelas seperti ikterus, asites atau gejala hipertensi portal. Jarang sekali ditemukan ensefalopati hepatik pada saat pertama kali pasien datang berobat. Kadang-kadang pasien datang sudah dengan karsinoma primer. Pada perjalanan penyakitnya bisa terjadi relaps yang ditandai dengan perasaan tambah lelah dan kadar transaminasi serum semakin meningkat. Keadaan ini berkaitan dengan serokonversi HbeAg menjadi Anti-Hbe. Serokonversi terjadi secara spontan pada 10-15% pasien, atau timbul setelah terapi interferon, sesudah penghentian terapi antikanker, cangkok organ atau pemberian kortikosteroid. DNA VHB dapat menetap positif walaupun sudah terjadi serokonversi. Eksaserbasi akut dengan DNA VHB positif tetapi HbeAg negatif terjadi pada keadaan viremia oleh virus mutan daerah pre-core. Pada keadaan reaktivasi ini pemeriksaan IgM anti-HBc positif. Akan tetapi reaktivasi dapat pula berupa perubahan HbeAg negatif menjadi HbeAg dan DNA VHB yang positif. Pada keadaan ini gambaran klinis bervariasi dari tanpa gejala sampai gagal hati fulminan. Kelainan hasil laboratorium tidka terlalu menyolok. Terdapat peninggian ringan kadar bilirubin, transaminase, dan -globulin. Kadar albumin biasanya normal. Kadar HbsAg dalam serum biasanya berbanding terbalik dengan beratnya hepatitis kronik. Pada tingkat lanjut, HbsAg sukar ditemukan di dalam darah, tetapi IgM Anti-HBc positif. HbeAg, Anti-Hbe, dan DNA VHB mungkin positif, mungkin pual negatif. Dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) DNA VHB bisa dideteksi bahkan pada kasus dengan HbsAg negatif.

14

Karakteristik dari fase infeksi HBV kronik Karakteristik Stage I Imun Tolerance Stage II Imun Klirens Satge III Residual HBVDNA Integrasi Derajat Replikasi Usia (thn) Biokimia Hati Feto Protein Tinggi 0-20 Normal Rendah 20-40 Mengarah hepatitis Normal N/ Tidak ada 40 ke Normal kanker) Hepatitis B virus +++ DNA HbeAg Anti HbeAg Inflamasi Hati Histologi Hati +++ Sedikit / Perubahan minimal, + +/Prominen + Tidak signifikan + -/+ (kadar (dalam albumin )

Hepatitis kronik Perubahan aktif minimal

hepatitis kronis Bridging lobular Sirosis, HCC persisten Nekrosis, sirosis

Diagnostik pasti didapatkan dengan Biopsi hati, dengan klasifikasi Histological Activity Index (HAI), system ini digunakan selain untuk diagnosis pasti juga digunakan untuk menilai progresifitas penyakit, prognosis, dan tatalaksana yang sesuai.

TERAPI HEPATITIS B KRONIK Tujuan terapi Hepatitis Kronik B : 1. Menekan dan menghilangkan replikasi virus (HbeAg, HBV DNA) 2. Kontrol jangka panjang nekroinflamasi dai hepatosit (GPT) 3. Mencegah transformasi maligna dari hepatosit (Integrasi HBV DNA virus ke dalam DNA genom host)

15

Ketiga hal di atas bertujuan mencegah sekuele sirosis hepatis atau KHP. Penerapan secara serologis:7 HbeAg (+) HbeAg (-) dan HbeAb (+) HBV DNA HBV DNA / (-) HbsAg (+) HbsAb (+) TERAPI NON SPESIFIK/NASEHAT 3 1. Umum Pengidap dilarang menjadi donor darah, sperma, susu atau organ tubuh lainnya, pinjam meminjam alat cukur dan gosok. Pengidap harus memberitahukan status pengidapnya kepada dokter gigi, dokter pribadi, dan petugas laboratorium. Keluarga di rumah, istri/keluarga seharusnya diimunisasi bila HbsAg (-) dan HbsAb (-). Bila ibu pengidap hamil, diberitahu dokter kebidanan untuk segera mengimunisasi bayi yang baru lahir (pasif dan aktif). 2. Diet Makanan sehat bergizi untuk mempertahankan berat badan tetap normal. Dianjurkan diet tinggi kalori, protein, lemak secukupnya (diet hati). Bila sudah terjadi komplikasi sirosis hati terutama dengan asites dianjurkan restriksi lemak, garam, air, protein, sebaiknya diberikan vitamin. 3. Latihan/kerja Pengidap asimtomatis bisa kerja dan olah raga seperti biasa. Bila timbul sirosis hati hindari latihan berat. 4. Alkohol dan obat-obatan Hindari hepatotoksik potensial, hindari minum alkohol secara rutin dan regular. Steroid dan obat imunosupresif akan memperberat infeksi laten dan dapat menimbulkan suatu hepatitis fatal.

MEDIKAMENTOSA Pilihan terapi medikamentosa 1. Interferon 2. Nucleoside analogue

16

3. Imunosupresif/steroid 1. Interferon Penyuntikan subkutis selama 4 bulan (16 minggu) setiap hari dengan dosis 5 juta unit, atau 3 kali seminggu dengan dosis 10 juta unit, menyebabkan serokonversi 40% dari infeksi HBV replikatif (HbeAg dan DNA HBV terdeteksi dalam serum) menjadi nonreplikatif (anti HbeAg terdeteksi) disertai perbaikan gambaran histologi hati, dan pada 10% HbsAg mungkin tidak terdeteksi lagi. Respon terhadap interferon meningkat pada pasien dengan kadar DNA HBV yang rendah sampai sedang (<200pg/mL) dan pada pasien dengan lama sakit yang singkat (rata-rata 1,5 tahun), 70%nya mengalami perubahan status replikatif bila diikuti selama 5 tahun. Efek samping interferon: lelah, sakit otot-otot, demam, sakit kepala, anoreksia, berat badan menurun, rambut gugur, leukopenia,

trombositopenia. Seleksi penderita yang diberi IFN: 1. HbsAg (+), HbeAg (+), HBV DNA (+) lebih dari 6 bulan 2. Kenaikan nilai ALT persisten (1,5 kali nilai tertinggi atau 100/L) 3. Biopsi hati: hepatitis kronis sirosis Tanda perbaikan dalam terapi: Ditandai hilang atau menurunnya HBV DNA, serokonversi HBeAg anti Hbe, HbsAg anti HBs, lisis hepatosit yang terinfeksi, peningkatan ALT. 2. Lamivudine Merupakan nukleosida analog generai ke II. Mekanisme kerja

menghambat replikasi virus, menghambat nekroinflamasi, memperbaiki histologi hati, mencegah sirosis hati dan KHP. Obat ini lebih toleran, efektif, ekonomis, efek samping tidak ada. Dapat digunakan tunggal, kombinasi dengan IFN, juga pada pemakaian IFN yang kurang berhasil atau kontraindikasi. Dosis 100 mg/hari. Penghentian pengobatan jika HbeAg menghilang atau terjadi serokonversi ke anti Hbe (pemeriksaan beberapa kali). Pada penelitian di Asia serokonversi HbeAg terjadi 22%

17

dalam 1 tahun, 29% dalam 2 tahun dan 40% dalam 3 tahun. Obat-obat golongan nukleosida analog generasi kedua yang lain: Lobucavir, Famciclovir, Adefovir. 3. Steroid Steroid tunggal tidak banyak berhasil dalam terapi hepatitis kronis. Pemberian jangka pendek (6 minggu) kemudian dihentikan tiba-tiba menimbulkan efek withdrawal terjadi fenomena rebound. Hasil penelitian dengan steroid obat tunggal maupun kombinasi dengan interferon ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukung.

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS Hepatitis B kronik dapat berlanjut menjadi sirosis hepatis yang merupakan komplikasi paling banyak, dan merupakan perjalanan klinis akhir akibat nekrotik sel sel hepatosit. Prognosis hepatitis B kronik dipengaruhi oleh berbagai factor, yang paling utama adalah gambaran histology hati, respon imun tubuh penderita, dan lamanya terinfeksi hepatitis B, serta respon tubuh terhadap pengobatan. 5 tahun survival rate pada pasien hepatitis kronis B dengan kelainan hati ringan adalah 97%, untuk kronik aktif 86% dan 55% untuk kronik aktif hepatitis denga sirosis. Imunisasi massal pada bayi yang baru lahir, anak di bawah umur 1,5 tahun adalah cara yang terbaik untuk mencegah hepatitis akut, kronis, sirosis hati, KHP.

Kesimpulan
Seorang wanita berumur 75 tahun dengan diagnosis Gagal Ginjal Kronik Derajat V et causa uropati obstruktif dengan manifestasi klinis Congestive Heart Failure dan rencana terapi hemodialisa

18

Referensi 1. Suwitra, K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hlm 581-584. 2. Brenner, B.M., Lazarus, J.M. 2000. Gagal Ginjal Kronik. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. Jakarta : EGC. Hlm 1435-1443. 3. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri,R., et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. Hlm 531-534. 4. Suhardjono, Lydia, A., Kapojos, E.J., et al. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta : FKUI. Hlm 427434. 5. Tierney LM, et al 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.

19

You might also like