Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Indra Maipita
NIM:015040012
Kelas Reguler
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
PENDAHULUAN
Dunia akan memasuki era perdagangan bebas (era globalisasi dan liberalisasi perdagangan)
dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi (tahun 2020). Hal ini ditandai dengan kesepakatan
pada putaran Uruguay (Uruguay Round) dengan terbentuknya WTO (World Trade
Organization) . Pada saat itu pola perdagangan global akan memasuki tahapan baru, yaitu
semakin berkurangnya hambatan perdagangan antar negara bahkan tanpa ada hambatan
proteksi.
Konsep free trade dan free competition yang didasarkan pada teori klasik yang menyatakan
bahwa “bentuk perdagangan yang terbaik adalah apabila semua produsen dibiarkan
menghasilkan apa yang terbaik dan kemudian menjualnya dalam iklim persaingan yang
bebas dan terbuka. Karena itu tingkat keberhasilan persaingan di dalam pasar bebas bukan
lagi tergantung pada comparative tetapi lebih tergantung pada competitiveness suatu barang
atau jasa.
Yang menjadi pertanyaan tentang hal di atas apakah negara-negara sedang berkembang
sudah siap untuk menghadapi itu ? Misalnya Indonesia yang masih dilanda krisis
ekonomi?
Liberalisasi dan Globalisasi Perdagangan Internasional 3
Sejak usai perang dunia ke dua, saling ketergantungan antar negara semakin meningkat,
terutama beberapa dekade belakangan ini. Bahkan negara-negara bekas Uni Soviet dan
Republik Rakyat Cina yang karena alasan polotis maupun militer dapat bersifat sangat self-
berteknologi tinggi, modal luar negeri bahkan hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Banyak
negara-negara di dunia yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri secara efisien. Hal
ini disebababkan antara lain kurangnya teknologi, modal luar negeri dan sumberdaya alam
yang terbatas, misal beberapa negara industri kecil seperti Austria dan Swiss yang hanya
memiliki sedikit sumber daya dan memproduksi lebih sedikit jenis produk, yang kemudian
mereka ekspor ke negara lain untuk diganti dengan berbagai produk yang harus mereka
impor. Juga Indonesia yang kaya dengan sumber daya tetapi minim akan modal dan
teknologi juga harus membutuhkan negara lain. Bahkan beberapa negara industri besar
seperti Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, Italia dan Kanada sangat mengandalkan
memberikan peluang kesempatan kerja dan menghasilkan devisa yang dapat digunakan
untuk membayar berbagai produk luar negeri dimana pada saat ini tidak dapat diproduksi
karena keterbatasan modal, sumber daya atau teknologi yang tidak tersedia di dalam negeri.
Hal yang secara kuantitatif lebih penting adalah bahwa banyak produk yang dapat
diproduksi dalam negeri suatu negara namun itu hanya dapat dilakukan dengan biaya lebih
Ukuran kasar terhadap hubungan ekonomi di antara berbagai negara atau dikatakan sebagai
tingkat saling ketergantungan (interdependence) diberikan oleh rasio antar impor dan ekspor
mereka akan barang dan jasa terhadap produk domestik bruto (PDB)
Juga terdapat faktor lain yang menimbulkan saling ketergantungan antar negara sehingga
peristiwa-peristiwa dan kebijakan ekonomi suatu negara akan sangat mempengaruhi negara
lain dan sebaliknya. Sebagai contoh, jika Amerika Serikat menstimulir perekonomiannya,
maka sebagian penigkatan permintaan terhadap barang dan jasa masyarakatnya akan
dapat menaikkan tingkat suku bunga dan menarik dana (modal) dari negara lain yang
selanjutnya akan mendorong impor dan mengurangi eksport serta meningkatkan nilai dollar
Demikian juga pada abad ke-19, ketika Inggris mengalami revolusi industri, GNP rill-nya
meningkat sepuluh kali lipat dan volume impornya meroket duapuluh kali lipat.
Pertumbuhan ini mengimbas dan melebar ke negara-negara lain juga degan pesat akibat
internasional tersebut dapat berfungsi sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) bagi
negara-negara berkembang.
Dari uraian di atas dapat kita lihat betapa lekatnya saling keterkaitan antarnegara saat ini
Depresi tahun 1930-an telah menyebabkan banyak negara melakukan proteksi, setiap negara
berusaha untuk mengurangi pengaruh yang tidak baik dari perkembangan ekonomi dunia
dengan menguragi ketergantungan dari luar negeri melalui tindakan –tindakan yang bersifat
protektif.
Amerika serikat merupakan salah satu negar yang paling berpengaruh saat itu juga
Tindakan ini diikuti oleh negara-negara lain sehingga perdagangan bebas internasional tidak
terjadi.
Sejak dasawarsa 80-an, banyak negara berkembang yang semula menerapkan strategi
perdagangan. Gelombang reformasi ini nampaknya bertolak dari terjadinya krisis utang
internasional, disamping itu mereka juga bercermin pada keberhasilan sejumlah negara
berkembang yang sejak awal telah berorientasi ke luar dan berorientasi ekspor kini telah
beranjak menjadi negara perekonomian baru. Secara umum reformasi itu meliputi
penurunan dan penyederhanaan struktur tarif serta berbagai hambatan impor kuantitatif
secara besar-besaran. Langkah ini secara drastis mulai membuka perekonomian mereka
terhadap hubungan perdagangan antar negara yang lebih intensif. Hal tersebut dapat dilihat
pada besarnya angka ekspor plus impor sebagai rasio terhadap GDP dan tingginya tingkat
liberalisasi.
Liberalisasi dan Globalisasi Perdagangan Internasional 6
Dampak Positif
negara maju dalam kecepatan yang lebih tinggi , dengan kata lain dalam kondisi seperti
2. Melalui hubungan dagang yang lebih terbuka, manfaat riset dan pengembangan yang
biasanya hanya dilakukan di negara maju (karena biayanya mahal) akan mengalir lancar
ke negara berkembang.
3. Volume perdagangan yang lebih tinggi akan memacu skala ekonomis dalam produksi
sehingga meningkatkan margin laba bagi para pengusaha di negara berkembang serta
pada pendayagunaan segenap faktor produksi secara lebih efisien di semua sektor
5. Hal itu juga akan merangsang spesialisasi lebih lanjut dan akan memacu
Selama dasawarsa 1980-an, tingkat proteksi dagang di negara maju mengalami penigkatan,
karena perekonomian mereka sendiri mengalami kelesuan. Memasuki tahun 1993, sekitar
Liberalisasi dan Globalisasi Perdagangan Internasional 7
sepertiga ekspor negara berkembang ke negara industri maju masih dihambat oleh quota dan
berbagai hambatan tarif lainnya. Jika kecenderungan proteksionisme ini terus meningkat,
maka kemungkinan besar sentimen negatif terhadap perdagangan atau pesimisme ekspor
akan bangkit kembali sehingga negara-negara berkembang akan terdorong kembali untuk
terakhirnya dikenal dengan Uruguay Round dimana di dalamnya telah disepakati beberapa
Setiap kemajuan dan perubahan, pasti selalu memiliki dampak negatif, tetapi sepanjang
dampak positifnya masih jauh lebih besar maka perubahan tersebut perlu dilaksanakan.
Dampak negatif yang mungkin dihadapi oleh negara berkembang adalah ketidak siapan
industrinya untuk bersaing atau kurangnya keunggulan komparatif yang dimiliki negara
tersebut. Jika hal ini terjadi maka penduduk negara tersebut akan menjadi pangsa pasar yang
empuk bagi negara lain dan perdagangan tidak akan berimbang. Tetapi hal ini tidak akan
berjalan lama karena dalam jangka panjang negara tersebut juga akan mendapatkan
globalisasi perdagangan internasional? Selama ini berbagai kalangan dari pemerintah dan
swasta belum punya satu suara mengenai hal ini. Khususnya AFTA, ada yang menyatakan
industri dalam negeri belum siap mengahadapi hal ini dan ada juga yang menyatakan siap.
Liberalisasi dan Globalisasi Perdagangan Internasional 8
belum siap pasar bebas itu karena ada beberapa industri yang tingkat produktifitasnya belum
AFTA. Selain itu Indonesia juga belum secara khusus menyiapkan diri untuk menghadapi
pasar bebas meskipun komitmen tentang hal itu sudah dilakukan sejak 1993 (untuk AFTA).
perdagangan dilandasi oleh keyakinan bahwa hal tersebut akan meningkatkan perdagangan
dan investasi dari luar negeri sehingga dapat mendorong percepatan pemulihan ekonomi.
Akan tetapi di sisi lain perdagangan bebas juga menimbulkan tantangan bagi perekonomian
Indonesia terutama berkaitan dengan daya saing beberapa produk Indonesia yang belum
Lemahnya daya saing produk Indonesia disebabkan beberapa hal, antara lain. Kurang
penerapan good governance. Pada hal Indonesia dengan penduduk 203.456.003 jiwa
(sensus penduduk 2000) merupakan pasar yang menggiurkan bagi sektor ril dimana angka
Menurut data Depperindag, pangsa pasar ekpor nonmigas Indonesia ke negara ASEAN
masih relatif kesil yaitu 17,67% pada tahun 1996 dan naik menjadi 20,4% pada tahun 2000.
Ekspor tersebut 53,31% ditujukan ke Singapura, 18,64% ke malaysia, 9,22% ke Thailan dan
7,84% ke Filiphina. Sedangkan impor dari negara tersebut mencapai 9,24% tahun 1996 dan
Dari sektor industri kimia, agro dan hasil hutan setidaknya Indonesia memiliki 10 produk
Menurut data Ditjen IKAHH Depperindag, sekitar 37% atau 1.125 jenis produk berdaya
saing cukup tinggi seperti minyak goreng sawit, the olahan, cokelat olahan, monosodium
glutamat (MSG), ikan kaleng margarine, rokok, buah kaleng, kembang gula, biskuit dan
kopi bubuk instan. Tingginya daya saing produk tersebut ditunjukkan oleh angka ISP
yangberkisar antara 0,6 sampai 1,0, misalnya rokok kretek (1), minyak goreng sawit (0,98),
Sementara itu sekitar 282 jenis (9%) dari total jumlah komoditas IKAHH mempunyai daya
saing cukup rendah dengan ISP antara -0,5 sampai –0,99 seperti pakan ternak dan
komponennya (-0,74), tepung tapioka (-0,9), tepung terigu (-0,99), minuman beralkohol
Untuk industri logam, mesin, elektronika dan aneka barang tambang (mencakup 5.291
komoditi), sebanyak 2.627 jenis (49%) berdaya saing kuat, 573 jenis (11%) berdaya saing
Sedangkan menurut ketua Kadin ,Aburizal Bakrie, 65% produk dalam negeri yang
termasuk dalam Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dinyatakan siap bersaing
dalam AFTA, seperti perikanan, produk tambang, agro industri, farmasi, mobil, motor,
elektronika, sebagian besar produk manufaktur dan sebagian besar produk pertanian kecuali
kopi, beras dan gula. Masih menurut Kadin, sekitar 8% dari total sektor industri yang ada di
dalam negeri termasuk dalam kategori agak siap dalam menghadapi AFTA dan sekitar 27%
Kadin telah mengupayakan baik kepada pemerintah maupun kadin Asean agar beberapa
negara-negara berkembang, tetapi hal itu tetap perlu dilakukan karena dalam jangka panjang
dampak positifnya jauh lebih besar. Hal ini sesuai dengan teori endogen dan pengalaman
Untuk kasus Indonesia. Berdasarkan data dari Depperindag dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar industri Indonesia belum siap menghadapi liberalisasi perdagangan. Tetapi
menurut ketua kadin bahwa Indonesia siap menghadapi perdagangan bebas tersebut.
Meskipun ada beberapa sektor industri yang mendapat “status berbeda” dari pemerintah dan
swasta, akan tetapi satu hal yang pasti bahwa baik pemerintah maupun swasta sama-sama
menyatakan ada beberapa sektor industri yang belum siap menghadapi liberalisasi tersebut.
Akan tetapi, bagaimanapun juga Indonesia seharusnya tetap ikut dan berusaha untuk siap
untuk bersaing. Tentunya hal ini juga harus dibarengi dengan kebijakan fiskal (politik) dan
DAFTAR PUSTAKA
Kwik Kian Gie(1995), “Analisis Ekonomi Politik Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama dan
STIE IBII,Jakarta.