You are on page 1of 33

1

BAB I
HUKUM ISLAM TENTANG PEMBAGIAN WARISAN 1. Pendahuluan Merupakan sebuah kepastian jika semua umat manusia akan menemui hal yang tidak bisa dihindari yaitu kematian atau sering disebut meninggal dunia, karena kematian adalah penutup dari perjalanan hidup manusia. Namun akan mejadi permasalahan jika orang tersebut meninggal dunia meninggalkan sejumlah harta benda yang lazim disebut dengan harta warisan ataupun tirkah, dengan cara apakah kita akan menyelesaikan atau membagi harta warisan tersebut, adakah hukum yang benar-benar mengatur tentang pembagian warisan secara adil. Sebagai agama yang begitu sempurna, Islam mengatur segala segi kehidupan termasuk tata cara pembagian harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang, setelah orang tersebut meninggal dunia. Hukum yang mengatur tentang pembagian atau peralihan harta warisan disebut hukum kewarisan yang di dalam Islam dikenal dengan hukum faraidl. Allah SWT memerintahkan kepada setiap orang beriman untuk mengikuti ketentuanketentuan hukum tersebut sebagaimana tertulis dalam QS. An-Nisa ayat 13 dan 14.

2 Artinya: 13. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. 14. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuanketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. Ayat tersebut di atas merupakan ayat yang menyertai hukum-hukum Allah SWT tentang penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan, serta hak dari masingmasing ahli waris. Isi dari ayat tersebut juga menekankan kewajiban melaksanakan pembagian warisan berdasarkan ketentuan-ketentuan dari Allah disertai dengan ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Dalam tradisi Arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli waris mereka menetapkan bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan, dengan alasan mereka tidak atau belum dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya,1 oleh karena itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.2 Konsekuensinya perempuan, anak-anak dan orang tua renta tidak berhak mewarisi harta peninggalan kerabatnya. Islam datang membawa keadilan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang yang tua renta, suami, istri saudara laki-laki dan saudara perempuan sesuai tingkatan masing-masing.

3
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Pengertian Waris Menurut Ajaran Islam, Mutiara Kata mawaris hlm. atau pembagian hak waris berasal dari Ilmu,Surabaya, 15. kata waris (bahasa Arab) yang berarti mempusakai harta 2 Ahmad Rofik, Fiqh atau Mawaris , PT. Raja harta orang yang sudah meninggal, membagi-bagikan peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan orang yang sudah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.1

2.

Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah:188)

Margiono, Junaidi Anwar, Latifah, Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII, Yudhistira, Jakarta, hlm. 150.

4 Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut:

1. Anak laki-laki. 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah. 3. Bapak. 4. Kakek dari bpak dan terus ke atas. 5. Saudara laki-laki sekandung. 6. Saudara laki-laki sebapak. 7. Saudara laki-laki seibu. 8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung. 9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak. 10. Paman yang sekandung dengan bapak. 11. Paman yang sebapak dengan bapak.

Sumber: Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII, hlm. 150

12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak. 13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak, 14. Suami. 15. Laki-laki yang memerdekakan si pewaris.

(Keterangan no. 1 13 berdasarkan pertalian darah. Jika lima belas orang itu ada, maka yang dapat menerima hanya tiga, yaitu anak laki-laki, suami, bapak.)1 Ahli waris perempuan ada 10, yaitu sebagai berikut:

Sumber: Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII, hlm. 151

6 1. Anak perempuan.

Margiono, Junaidi Anwar, Latifah, Pendidikan 2. Cucu perempuan dari anak laki-laki. Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII, Yudhistira, Jakarta, hlm. 150. 3. Ibu.

4. Nenek dari ibu. 5. Nenek dari bapak. 6. Saudara perempuan kandung. 7. Saudara perempuan bapak. 8. Saudara perempuan seibu. 9. Istri. 10. Wanita yang memerdekakan si pewaris. (Keterangan no. 1 8 berdasarkan pertalian darah. Jika 10 orang itu ada, maka yang mendapat warisan hanya lima orang, yaitu istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung.) Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya 5 orang, yaitu suami atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki, dan anak perempuan.1 Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan bahwa keadilan merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan berdasarkan perolehan dan kewajiban/keperluan.2 Jadi keadilan dalam hukum waris Islam merupakan ketentuan hukum Islam mengenai peralihan harta warisan daripewaris (pemilik harta yang meninggal dunia) kepada para ahli waris yang bersifat proporsional dan berimbang.

Margiono, Junaidi Anwar, Latifah, Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII, Yudhistira, Jakarta, hlm. 151. 2 Amir Syarifuddin, Loc. Cit.

7 3. Landasan Hukum dan Dalil tentang Faraidl Landasan hukum atau dalil yang memperkuat tentang hukum faraidl ditetapkan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. a. Dalil Quran Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat AlAnfal ayat terakhir, ayat 75. Ayat waris untuk anak

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. (QS. An-Nisa: 11)

8 Ayat waris untuk orang tua

Artinya: Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa: 11)

9 Ayat waris untuk suami dan istri

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteriisterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. (QS. AnNisa: 12) Ayat waris Kalalah Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan.1

Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, DU

10

Artinya: Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa: 12) Ayat Kalalah Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan.1

Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, DU

11

Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (Qs. An-Nisa: 176)

Artinya: Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Anfaal: 75)

12 b. Dalil Sunnah Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

Artinya: Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Artinya: Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali AnNasai)1

Naddfeeilul Authar jilid 6

13

Artinya: Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)

Artinya: Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan buat dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)

Artinya: Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi anak tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)1

Naddfeeilul Authar jilid 6

14

BAB II
KETENTUAN PEMBAGIAN WARISAN

Berdasarkan ketentuan perolehan atau bagian dari harta warisan, ahli waris dapat dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu sebagai berikut. 1. Zawil Furud Zawil furud adalah ahli waris yang perolehan harta warisannya sudah ditentukan oleh dalil Al-Quran dan hadist.1 Dari ayat Al-Quran tersebut, dapat diuraikan orang yang mendapat bagian seperdua, seperempat, dan seterusnya. a. Ahli waris yang mendapat 1/2, yaitu sebagai berikut. 1) Anak perempuan tunggal. 2) Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki. 3) Saudara perempuan tunggal yang sekandung. 4) Saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada. 5) Suami apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki ataupun perempuan) dari anak laki-laki. b. Ahlinya waris yang mendapat 1/4, yaitu sebagai berikut. 1) Suami apabila istrinya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.

Margiono, Junaidi Anwar, Latifah, Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII, Yudhistira, Jakarta, hlm. 152.

15 2) Istri ( seorang atau lebih) apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. Ahli waris yang mendapat 1/8, yaitu istri (seorang atau lebih) apabila suaminya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. Ahli waris yang mendapat 2/3, yaitu sebagai berikut. 1) Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki (menurut sebagian besar ulama). 2) Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki apabila anak perempuan tidak ada (dikiaskan kepada anak perempuan). 3) Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung (seibu sebapak). 4) Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak. Ahli waris yang mendapat 1/3, yaitu sebagai berikut. 1) Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu, atau dia tidak mempunyai saudara-saudara ( laki-laki atau perempuan) yang sekandung, yang sebapak atau seibu. 2) Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu apabila tidak ada anak atau cucu. Ahli waris yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut. 1) Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu (dari anak laki-laki) atau mempunyai saudara-saudara (laki-laki atau perempuan) yang sekandung, yang sebapak atau seibu,

c. d.

e.

f.

16 2) Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki, 3) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak). Nenek mendapat seperenam apabila ibu tidak ada. Jika nenek dari pihak bapak dan ibu masih ada, maka keduanya mendapat bagian yang sama dari bagian yang seperenam itu. 4) Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki apabila orang yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat apa-apa. 5) Kakek, apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu (dari anak laki-laki), sedangkan bapaknya tidak ada. 6) Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu. 7) Saudara perempuan yang sebapak (seorang atau lebih) apabila saudaranya yang meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Ketentuan pembagian seperti itu dimaksudkan untuk menggenapi jumlah bagian saudara kandung dan saudara sebapak menjadi 2/3 bagian. Apabila saudara kandungnya ada dua orang atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian.1

Margiono, Junaidi Anwar, Latifah, Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII,

17 2. Asabat Berasal dari bahasa Arab ashabab yang berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka adalah kerabat bapak yang menguatkan dan melindungi.1 Maka jika dalam faraidl kerabat diistilahkan dengan asabat, hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian asabat dari segi bahasa. Sedangkan pengertian asabat menurut istilah para fuqaha ialah : ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagiannya dengan tegas.2 Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara lakilaki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah. Apabila ada di antara ahli waris yang mendapat bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian asabat yang dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut. a. Asabat Binafsih Asabat binafsih yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita.3 Susunannya sebagai berikut.

1 2 3

Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, DU Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, DU Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, DU

18

Sumber: Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII, hlm. 154

1) Anak laki-laki; 2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah, dengan syarat pertaliannya masih terus laki-laki; 3) Bapak; 4) Kakek dari pihak bapak dan terus ke atas, dengan syarat pertaliannya belum putus dari pihak bapak; 5) Saudara laki-laki sekandung; 6) Saudara laki-laki sebapak; 7) Anak saudara laki-laki kandung; 8) Anak saudara laki-laki sebapak; 9) Paman yang sekandung dengan bapak; 10) Paman yang sebapak dengan bapak; 11) Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak;

19 12) Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak; 13) Laki-laki yang memerdekakan budak. Asabat-asabat tersebut dinamakan asabat binafsih, karena mereka menjadi asabat tanpa disebabkan oleh orang lain. Apabila asabat tersebut di atas semuanya ada, maka tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang (asabat) yang lebih dekat pertaliannnya dengan orang yang meninggal itu. jadi, peraturannya diatur menurut nomor urut yang tersebut di atas. Jika ahli waris yang ditinggalkan itu anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya adalah untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat dari bagian anak perempuan. b. Asabat Bilgair Perempuan juga ada yang menjadi asabat dengan ketentuan sebagai berikut. 1) Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabat dengan syarat bahwa untuk laki-laki mendapat bagian dua kali lipat perempuan. 2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabat. 3) Saudara laki-laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabat. 4) Saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabat. Keempat macam asabat di atas dinamakan asabat bilgair yaitu asabat dengan sebab orang lain. Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara

20 pembagiannya ialah untuk saudara laki-laki mendapat dua kali lipat dari bagian perempuan. c. Asabat Maalgair Selain dua asabat yang disebutkan di atas, ada satu asabat lagi yang dinamakan asabat maalgair (asabat bersama orang lain). Asabat ini ada dua macam, yaitu sebagai berikut. 1) Saudara perempuan sekandung apabila ahli warisnya saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) dan anak perempuan (seorang atau lebih) atau saudara perempuan sekandung dan cucu perempuan(seorang atau lebih), maka saudara perempuan menjadi asabat maalgair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.1 2) Saudara perempuan sebapak apabila ahli waris saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) dan anak perempuan (seorang atau lebih), atau saudara perempuan sebapak dan cucu perempuan (seorang atau lebih), maka saudara perempuan menjadi asabat maalgair. Jadi, saudara pereempuan sekandung atau sebapak dapat menjadi asabat maalgair apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki.2

Margiono, Junaidi Anwar, Latifah, Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII,
1

Margiono, Junaidi Anwar, Latifah, Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII,

21

BAB III
HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN MENJELANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN

1.

Rukun Waris Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya : a. Al-Muwarrits Al-Muwarrits (bahasa Arab) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya dibagibagi kepada para ahli waris. Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.1 b. Al-Warist Al-Warist (bahasa Arab) diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta peninggalan karena adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.2

1 2

Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, DU Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, DU

22

c. Al-Mauruts Al-Mauruts (bahasa Arab) berarti harta warisan, yaitu harta benda atau hak yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan. Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan.1 2. Al-Hujub Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'. Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan.2 Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

1 2

Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, DU Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, DU

23 Jenis Al-Hujub Al-hujub terbagi dua jenis, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain). Al-hujub bil washfiberarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang. Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Alhujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya. Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya. Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraidl apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti

24 kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan. 3. Gugurnya Hak Warisan Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak mendapat warisan, ada juga hal-hal yang membuat seseorang yang seharusnya mendapat warisan, namun karena satu dan lain hal, haknya menjadi gugur. Sehingga orang tersebut tidak jadi menerima warisan. Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang adalah sebagai berikut. a. Pembunuhan Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. " b. Perbedaan Agama Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam. Siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tetapi dia tidak beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya: Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim."

25 c. Murtad dari Agama Islam Sekalipun mulanya beragama Islam, tetapi kemuadian pindah ke agama lain, maka dia tidak berhak lagi mewarisi harta keluarganya yang beragama Islam. d. Menjadi Budak Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Jadi, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik. 4. Sebelum Pembagian Warisan Pada saat jenazah telah dimakamkan, sebelum dilaksanakan pembagian warisan, pihak keluarga atau ahli waris terlebih dahulu harus menyelesaikan beberapa hal yang ada hubungannya dengan harta peninggalan, yaitu sebagai berikut. a. Zakat Apabila sudah tiba saatnya untuk mengeluarkan zakat harta, maka harta peninggalan dikeluarkann untuk zakat maal terlebih dahulu atau zakat fitrah.

26 b. Hutang Apabila almarhum/almarhumah meninggalkan hutang, maka hutang itu harus dibayar lebih dahulu dengan harta yang dimilikinya. Kecuali bila orang yang memberi hutang itu menyatakan kerelaannya atas hutang-hutang itu. c. Biaya Pengurusan Semua biaya untuk pengurusan jenazah, bahkan mulai dari biaya rumah sakit bila ada, hingga biaya memandikan, mengkafani, menguburkan dan lainnya, bisa diambilkan dari harta almarhum /almarhumah. Dari langkah ini akan segera bisa didapat nilai nominal harta almarhum/almarhumah. Tentu harta itu bukan hanya uang, tetapi bisa berbentuk rumah, tanah, kendaraan atau apapun. Namun untuk memudahkan penghitungan, biasanya dilakukan penaksiran atas semua asset beliau dalam besaran nominal. Meski benda-benda itu tidak harus langsung dijual kepada pihak lain. d. Wasiat Apabila sebelum meninggal almarhum/ almarhumah pernah berwasiat atas harta yang dimiliknya, maka sebelum warisan dibagikan, wasiat itu harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan syarat jumlahnya tidak boleh melebihi dari 1/3 dari total hartanya. Bila telah melebihi, maka hukumnya tidak boleh karena yang 2/3 itu adalah milik ahli waris. Apabila semua hak yang tersebut di atas telah diselesaikan semuanya, maka harta warisan yang masih tersisa bisa dibagi-bagikan kepada para ahli waris yang berhak menerimanya.

27

BAB IV
CONTOH PENGAPLIKASIAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN

Jika seseorang meninggal dunia, kemudian ada ahli waris yang mendapat 1/6 bagian, dan seorang lagi mendapat 1/4 bagian, maka cara pertama yang harus dicari adalah KPK (Kelipatan Persekutuan Kecil/Terkecil) dari penyebut 6 dan 4, yaitu 12. Dalam ilmu faraidl KPK disebut Asal masalah. Asal masalah ada 7 macam, yaitu 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24. Contoh 1: Ada seorang perempuan meninggal dunia, ahli warisnya adalah bapak, ibu, suami, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Harta peninggalannya sebesar Rp 1.800.000,- . Berapakah bagian yang didapat oleh masingmasing ahli waris? Penyelesaian: Bapak = 1/6 (karena ada anak laki-laki) Ibu = 1/6 (karena ada anak) Suami = 1/4 (karena ada anak) Anak = Asabat (karena anak laki-laki dan perempuan Asal Masalah (KPK) = 12 Bapak = 1/6 12 = 2 Ibu = 1/6 12 = 2

28 Suami = 1/4 12 = 3 Jumlah =7 Sisa (bagian anak) = 12 7 = 5 Bagian bapak = 2/12 Rp 1.800.000 = Rp 300.000,Bagian ibu = 2/12 Rp 1.800.000 = Rp 300.000,Bagian suami = 3/12 Rp 1.800.000 = Rp 450.000,Bagian anak = 5/12 Rp 1.800.000 = Rp 750.000,Untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan, sehingga dua anak laki-laki mendapat empat bagian dan seorang anak perempuan mendapat satu bagian. Sisa dari harta warisan dibagi (5). Bagian seorang anak laki-laki: 2/5 Rp 750.000 = Rp 300.000,Bagian seorang anak perempuan: 1/5 Rp 750.000 = Rp 150.000,Dalam praktik pelaksanaan pembagian harta warisan, sering dijumpai kasus kelebihan atau kekurangan harta, sehingga pembagian harta waris memerlukan metode perhitungan yang tepat. Contoh 2: a. Seseorang meninggal dunia, mewarisi harta sebesar Rp 12.000.000,-. Ahli warisnya terdiri dari suami, anak perempuan dan saudara perempuan sekandung, masingmasing mendapat bagian 3-6-2-1. Pembagiannya adalah sebagai berikut.

29 Suami (1/4) Anak perempuan (1/2) Cucu perempuan (1/6) Saudara perempuan (asabat maalgair) (1/2) b. = 3/12 Rp 12.000.0000 = Rp 3.000.000,= 6/12 Rp 12.000.000 = Rp 6.000.000,= 2/12 Rp 12.000.000 = Rp 2.000.000,=1/12 Rp 12.000.000 = Rp 1.000.000,-

Seseorang meninggal dunia meninggalkan harta warisan sebesar Rp 36.000.000,- dan ahli waris terdiri dari ibu, suami, dan dua saudara seibu, masing-masing mendapat bagian 1, 3, 2 pembagiannya adalah: Ibu (1/6) =1/6 Rp 36.000.000 = Rp 6.000.000,Suami (1/2) = 3/6 Rp 36.000.000 = Rp 18.000.000,Dua saudara = 2/6 Rp 36.000.000 = Rp 12.000.000,Seseorang meninggal dunia meninggalkan harta senilai Rp 12.000.000 dan meninggalkan ahli waris terdiri dari anak perempuan, saudara laki-laki sekandung serta ibu masing-masing mendapat bagian 3, 2, dan asabat. Pembagiannya adalah sebagai berikut:

c.

30 Anak perempuan (1/2) Saudara laki-laki sekandung Ibu (1/6) = 3/6 Rp 12.000.000 = Rp 6.000.000,= 2/6 Rp 12.000.000 = Rp 4.000.000,= 1/6 Rp 12.000.000 = Rp 2.000.000,-

Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum menghitung pembagian hak waris adalah sebagai berikut: 1. Supaya diperhatikan susunan ahli waris, apakah ada yang terhalang (mahjub) atau tidak (gairu mahjub). 2. Harus bisa membedakan atau memisahkan antara ahli waris zawil furud dan asabat. Jika ternyata ada asabat lebih dari satu kelompok, maka asabat yang urutannya leih besar atau jauh supaya mengalah, dan berubah menjadi ahli waris zawil furud.

31

BAB V
HIKMAH DARI MAWARIS

Beberapa hikmah yang dapat diambil dari pengaturan waris menurut Islam antara lain sebagai berikut: 1. Dengan adanya ketentuan waris itu disamping akan membawa keteraturan dan ketertiban dalam hal harta benda, juga untuk memelihara kelanjutan harta benda dari satu generasi ke generasi yang selanjutnya. 2. Dapat menegakkan nilai-nilai perikemanusiaan, kebersamaan, dan demokrasi di antara manusia, khususnya dalam persoalan yang menyangkut harta benda. 3. Dengan mempelajari ilmu waris berarti seorang muslim telah ikut memelihara dan melaksanakan ketentuanketentuan Allah SWT yang terdapat dalam Al-Quran. 4. Menghindarkan perpecahan antarkeluarga yang disebabkan oleh pembagian harta warisan yang tidak adil. Mengalirkan harta peninggalan kepada yang lebih bermanfaat agar lebih terjaminnya kesejahteraan keluarga secara merata. 5. Memelihara harta peninggalan dengan baik sehingga harta itu menjadi amal jariah bagi almarhum/amarhumah. 6. Memperhatikan anak yatim karena dengan harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya kehidupan anak-anak yang ditinggalkan itu akan terjamin. 7. Dengan pembagian yang merata sesuai dengan syariat, maka masing-masing anggota keluarga akan merasakan suatu kepuasan sehingga dapat hidup dengan tenteram.

32 8. Dengan mengetahui ilmu mawaris, maka setiap anggota keluarga akan memahami hak-hak dirinya dan hak-hak orang lain sehingga tidak akan terjadi perebutan terhadap harta warisan tersebut.1

~~~||~~~

Margiono, Junaidi Anwar, Latifah, Pendidikan Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII,

You might also like