You are on page 1of 21

APLIKASI BEHAVIORISME DALAM PEMBELAJARAN MUHADATSAH Oleh: Mauidzatun Nisa A.

Teori Behaviorisme Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleksrefleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana

perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep manusia mesin (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksireaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar. Prinsip-prinsip teori behaviorisme

yaitu Obyek psikologi adalah tingkah laku, semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek, dan mementingkan pembentukan kebiasaan. Behaviorisme muncul sebagai reaksi terhadap strukturalisme dan fungsionalisme yang cenderung melihat perilaku manusia dari perspektif internal seperti biologis dan proses mental yang tidak dapat dilihat dan diamati. Karena itu, teori behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia itu merupakan perilaku yang dapat dipelajari dan diamati secara nyata, dan terbentuk karena dipengaruhi oleh faktor eksternal (di luar diri manusia). Teori ini kemudian diaplikasikan dalam konsep belajar. Menurut aliran ini, belajar merupakan proses responsi karena adanya stimulus/rangsangan yang mendorong adanya perubahan perilaku. Stimulus belajar dapat berupa: motivasi, ganjaran (reward), hukuman (punishment), dan lingkungan yang kondusif. Teori ini dirintis oleh Ivan Pavlov (1849-1929) dengan teorinya yang menghubungkan antara stimulus primer (makanan), stimulus sekunder (nyala lampu dan bunyi lonceng atau bel) dan respon (keluarnya air liur), berdasarkan penelitiannya, Pavlov menemukan bahwa air liur

anjing mengalir pada saat lampu menyala, meskipun tidak ada makanan. Hal ini membuktikan bahwa anjing sudah terbiasa dengan symbol/stimulus nyala lampu dan bel yang menandakan datangnya makanan, maka saat bel dan lampu dinyalakan, tetap saja air liur keluar dari lidah anjing walaupun makanan tidak kunjung dating. Lalu dikembangkan Edward Thorndike dengan teori "hukum efec" yang memberikan perhatian pada ganjaran dan hukuman (reward and punishment). Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksireaksi behavioural dengan stimulusnya. kemudian dikembangkan oleh psikolog Amerika, John B. Watson (1878-1958) dan akhirnya dimatangkan oleh Burhus F. Skinner (1904-1990). Menurut Skinner, belajar dan memperoleh bahasa sama dengan pemerolehan kebiasaan, karena bahasa merupakan bagian dari perilaku manusia. Belajar dan mengajarkan bahasa sama artinya belajar dan mengajarkan perilaku, yang dapat

terbentuk melalui adanya respons terhadap stimulus, pengulangan, dan penguatan (reinforcement) dalam bentuk performansi berupa praktik berbahasa. Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Dalam hal ini, memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli, maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. seharusnya Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan. Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan. Menurut Skiner, belajar memiliki prinsip: 1. Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat. 2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang

belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul. 3. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman. 4. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer. 5. Dalam pembelajaran digunakan shapping. Bedasarkan paparan tersebut, jelaslah bahwa perhatian para penganut madzhab ini lebih menitik beratkan pada factor eksternal dalam pembelajaran dan merekayasa lingkungan pembelajaran adalah cara yang efektif untuk mencapai tujuan. Berbeda dengan aliran kognitivisme (al-madrasah al-ma'rifiyyah) yang menekankan aspek mental, behaviorisme cenderung melihat pembelajaran bahasa sebagai proses mekanik-deterministik [seperti mengajarkan burung beo berbicara), sebuah proses pembelajaran yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan dan pembiasaan, bukan oleh faktor-faktor kognisi dan mentalistik. Karena itu, keberhasilan belajar dan pembelajaran bahasa menurut teori ini terletak

pada tiga kata kunci, yaitu: peniruan, pengulangan dan praktik berbahasa. Karena bahasa merupakan bagian dari perilaku, dan perilaku kebahasaan yang pertama kali tampak dalam kehidupan sosial manusia adalah ekspresi verbal, maka behaviorisme melahirkan pendekatan aural-oral yang membutuhkan partisipasi yang dominan oleh guru untuk memilih bentuk stimulius, memberikan ganjaran, hukuman, dan pengutan besserta jenisnya. Pendekatan ini berprinsip bahwa bahasa pada dasarnya adalah ujaran, bukan tulisan. Bahasa tulis merupakan manifestasi dari bahasa lisan. Implikasinya adalah bahwa prinsip utama dan pertama dalam pembelajaran bahasa adalah menda-hulukan pembelajaran keterampilan menyimak dan berbicara, daripada keterampilan membaca dan menulis. Teori ini menekankan pentingnya pembelajaran bahasa berbasis keterampilan mendengar dan berbicara. Jadi, tujuan pembelajaran bahasa, menurut aliran ini, adalah mempunyai kemampuan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan mempunyai pemilikan tentang bahasa yang dipelajari. Dari teori yang dikemukakan oleh thorndikedan Ivan Pavlov, menghasilkan

beberapa hukum yang dihasilkan dari pendekatan behaviorsme, yaitu: 1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike. Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya a. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. b. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. c. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih 2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum

belajar, diantaranya : a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun 3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya : a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat. b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. 4. Social Learning menurut Albert Bandura Teori belajar sosial atau disebut juga teori

observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. B. Pembelajaran Muhadatsah Kemahiran berbicara (Muhadatsah) merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa yang ingin dicapai dalam pembelajaran bahasa modern termasuk bahasa Arab. Muhadatsah (berbicara) merupakan sarana utama untuk membina saling pengertian, komunikasi timbal balik dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Pembelajaran berbicara (Muhadatsah)

mempunyai aspek komunikasi dua arah, yakni antara pembicara dengan pendengarnya secara timbal balik. Dengan demikian latihan muhadatsah harus terlebih dahulu didasari oleh (1) kemampuan mendengarkan, (2) kemapuan mengucapkan, dan (3) penguasaan (relatif) kosa kata dan ungkapan yang memungkinkan siswa dapat mengkomunikasikan maksud dan fikirannya. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa latihan berbicara (muhadatsah) merupakan kelanjutan dari latihan menyimak yang di dalam kegiatannya juga terdapat latihan mengucapkan. Kunci keberhasilan pembelajaran ini sebenarnya ada pada guru. Guru hendaknya secara tepat memilih topik pembicaraan sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, dan memiliki kreativitas dalam mengembangkan model-model pembelajaran berbicara yang banyak sekali variasinya. Faktor lain yang menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa adalah keberanian murid dan perasaan tidak takut salah. Oleh karena itu guru harus dapat memberikan dorongan kepada siswa agar berani berbicara kendatipun dengan resiko salah. Siswa hendaknya ditekankan bahwa takut salah adalah kesalahan yang paling besar.

Sistem pembelajaran Bahasa Arab ini didasarkan pada asumsi bahwa bahasa adalah gejala alami manusia untuk menyampaikan ide kepada orang lain atau menerima ide dari orang lain. Dengan kata lain manusia sebagai makhluk sosial menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi dengan sesamanya. Sistem pembelajaran Bahasa arab ini lebih cepat (lebih efektif) mengantarkan siswa menguasai bahasa arab sebagai alat komunikasi apabila didukung oleh komunitas sosial yang menggunakan Bahasa arab sebagai alat komunikasi sehari-hari. Artinya, komunitas sosial yang menuntut setiap orang yang ada di dalamnya untuk selalu berkomunikasi dengan Bahasa Arab secara aktif. Situasi kondusif ini dapat dimaklumi misalnya dua orang atau lebih yang belajar muhadatsah (percakapan) langsung, maka idenya disampaikan dengan kata-kata yang didukung dengan ekspresi mereka dan media ingkungan tempat mereka berada sehingga proses belajar menjadi efektif. Akan tetapi pembelajaran Bahasa Arab menjadi tidak efektif apabila tidak didukung oleh lingkungan masyarakat yang menggunakan Bahasa Arab sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Para pengajar yang menerapkan sistem pembelajaran Bahasa Arab ini dituntut untuk selalu menyajikan materi pelajaran Bahasa Arab secara dinamis seiring dengan dinamika perkembangan bahasa yang digunakan oleh penutur asli (native speaker) dari waktu ke waktu. C. Aplikasi Behaviorisme dalam Pembelajaran Muhadatsah Jika dikaitkan dengan pembelajaran bahasa khususnya dalam pembelajaran Muhadatsah, karakteristik teori behaviorisme terhadap pembelajaran bahasa diantaranya adalah: penyajian materi lebih banyak dengan hiwar, lebih banyak melakukan peniruan dan menghafal idiom-idiom, menyajikan satu kalimat dalam satu situasi, tidak menyajikan strukstur nahwu secara terpisah, dan lebih baik dengan sistem deduktif, lebih menitik beratkan pada ujaran, lebih banyak menggunakan bahasa dalam komunikasi dan banyak menggunakan lab bahasa, memberikan reward bagi respon positif, mensuport untuk berbahasa, perhatian lebih pada bahasa bukan isi bahasa. Beberapa prinsip penting dalam pembelajaran bahasa dikembangkan. Pertama, bahasa adalah ujaran dan bukan tulisan Bahasa merupakan

lambang bunyi. Jadi, dalam pembelajaran bahasa, termasuk bahasa Arab, unsur permulaannya adalah dengar dan bicara. Maka dalam hal ini guru membuat stimulus berupa suara-suara bahasa yang akan membiasakan siswa mendengar ujaran tersebut. Kedua, bahasa adalah seperangkat kebiasaan. Fakta menunjukkan bahwa ketika seseorang berbicara, tak terfikir dalam benaknya tentang apa yang hendak dikatakan selanjutnya, bagaimana aturan bahasanya baik dari segi gramatikal atau mekanisme berbicaranya. Ini sudah menjadi kebiasaan yang diwarisinya secara genetis atau secara lingkungan. Untuk mencapai pembiasaan itu diperlukan peniruan, pengulangan, pendarasan, latihan dan pemantapan secara berkelanjutan. Ketiga, ajarkan bahasa dan bukan tentang bahasa. Prinsip ini memandang penting bahwa penggunaan bahasa merupakan tujuan dari belajar bahasa itu sendiri. Penguasaan tentang bahasa, seperti gramatika hanya sarana dan penunjang belaka. Jadi, tata bahasa bukanlah tujuan pembelajaran bahasa, melainkan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran bahasa adalah

berbicara dalam bahasa tersebut dan bukan berbicara tentang bahasa tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa hendaknya membiasakan siswa untuk berbahasa hingga di tahap selanjutnya perolehan bahasa akan dicapai dengan mudah. Untuk memberikan stimulus tersebut, dapat dilakukan dengan membuat kondisi atau situasi pembelajaran yang mendorong respon siswa untuk menggunakan bahasa sesuai dengan konteks yang telah dibuat, Keempat, bahasa adalah tutur penutur asli bahasa (native speaker) tersebut dan bukan apa yang orang lain pikirkan atau perintahkan mereka harus bertutur. Prinsip ini mengindikasikan bahwa pentingnya peniruan terhadap performansi bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa asli. Yang dikatakan dan diujarkan oleh penutur asli itulah yang dijadikan sebagai standar berbahasa yang benar. Kelima, bahasa-bahasa itu tidak sama. Setiap bahasa mempunyai identitas dalam struktur dan makna. Karena itu, setiap bahasa harus diperlakukan sesuai dengan strukturnya secara otonom. Prinsip ini konsisten dengan prinsip keempat tersebut, karena standar berbahasa yang benar haruslah sesuai dengan yang

digunakan oleh penutur asli, bukan non-penutur asli yang biasanya cenderung menganalisis sebuah bahasa dalam istilah dan konsep bahasanya sendiri (bahasa ibu). Secara prosedural, penggunaan metode ini dalam pembelajaran bahasa khususnya pembelajaran muhadatsah didasarkan atas tahapan-tahapan berikut: mendengar, mengulangi (oleh siswa), pemberian penjelasan (oleh guru), latihan-latihan (drill), generalisasi (tata bahasa), membaca dan menulis. Albert Bandura (1925) berpendapat bahwa Aplikasi teori behaviouristik terhadap Guru yang menggunakan paradigma behaviourisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contohcontoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Teori ini tidak luput dari kritik dan kelemahan. Kritik dan kelemahan teori ini, antara lain, adalah

sebagai berikut: (1) Basis penelitian dalam rangka formulasi teori ini adalah penyelidikan terhadap perilaku binatang (anjing dan tikus), lalu diterapkan pada perilaku manusia, padahal perilaku manusia tidak semua sama dengan perilaku binatang; madzhab kognitif menambahkan bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan dasar (lahiriyah) yang mendorongnya mampu bernahasa, ia mempunyai akal yang berlian yang mampu memahami situasi external maupun internal ketika terjadi kegiatan bahasa; (2) Belajar bahasa dengan teori ini hanya cocok untuk siswa usia muda, bukan untuk orang dewasa; (3) Pembelajar bahasa : dilatih mendengar dan menirukan, bahkan menghafal, sehingga sering menimbulkan kelelahan dan kejemuan, padahal substansi yang didengar dan ditirukan mungkin belum dipahami sepenuhnya; (4) Guru dituntut memiliki keterampilan yang hampir sama dengan penutur asli, padahal tidak semuanya memiliki kemampuan penuturan sama persis dengan penutur asli, paling tidak mendekati aslinya; (5) Waktu yang diperlukan untuk pembelajaran bahasa juga relatif lama, karena memerlukan banyak pengulangan dan latihan sebagai usaha untuk membiasakan pembelajar;

dan (6) Kemampuan berbahasa yang dihasilkan dengan penerapan teori ini cenderung mekanistik, tidak melalui proses yang alami karena pembelajaran dilakukan dengan pembuatan stimulus termasuk di dalamnya menciptakan lingkungan dan situasi yqng mampu merangsang respon siswa, bukan atas kesadaran tersendiri. Albert Badura menambahkan metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan spontanitas kelenturan respon. cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Namun demikian, berbagai kelebihan teori ini masih perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran bahasa Arab khususnya dalam pembelajaran Muhadatsah. Di antaranya adalah pentingnya: (1) pengenalan keterampilan mendengar dan berbicara sebagai awal dalam pembelajaran sebelum keterampilan membaca dan menulis; (2) latihan dan penggunaan bahasa secara aktif dan terus menerus agar pembelajar memiliki keterampilan berbahasa dan terbentuk kebiasaan menggunakan bahasa; (3) belajar bahasa lebih pada penggunaan bahasa sebagai tujuan, dan

bukan belajar tentang bahasa; (4) penciptaan lingkungan berbahasa yang kondusif agar mendukung proses pembiasaan berbahasa secara efektif; (5) penggunaan media pembelajaran yang memungkinkan pembelajar mendengar dan berinteraksi dengan penutur asli; dan (6) memotivasi guru bahasa untuk terampil berbahasa secara baik dan benar, sehingga dapat menjadi teladan yang baik bagi para siswanya dalam berbahasa. Penerapan teori behaviorisme ini dalam pembelajaran bahasa Arab khususnya pembelajaran muhadatsah akan efektif, jika pembelajar memiliki motivasi yang kuat, didukung oleh penciptaan lingkungan berbahasa Arab yang kondusif seperti di beberapa pondok pesantren modern yang bahasa kesehariannya adalah bahasa Arab. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa adalah lingkungan (bi'ah, environment), tak terkecuali lingkungan berbahasa. Dan tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab , tidak lain adalah (1) untuk membiasakan dan membiasakan dalam memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif, melalui praktik percakapan (muhadatsah), diskusi (munaqasyah), seminar

(nadwah), ceramah dan berekspresi melalui tulisan (ta'bir tahriry); (2) memberikan penguatan (reinforcement) pemerolehan bahasa yang sudah dipelajari di kelas; dan (3) menumbuhkan kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu anatara teori dan praktik dalam suasana informal yang santai dan menyenangkan.

Referensi : 'Abduh al-Rajihy, Ilm al-Lughah al-Tathbiqy wa Ta'lim al-'Arabiyah, Alexandria: Jami'ah alIskandariyah, 1998 Abdul Aziz ibn Ibrahim al-'Ashly, al-Nadzariyyat al-Lughawiyah wa al-Nafsiyah wa Ta'lim alLughah al-'Arabiyah, al-Riyadl, Maktabah al-Mulk fahd al-Wathaniyah, 1999 Abdul Wahab, Muhbib, Epistemologi dan metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2008), hal 291 dan 294 Ahmad Fuad Effendy, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat, 2005 Alwasilah, Chaedar dan Furqanul Aziz, Pembelajaran Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktik, Bandung: Rosdakarya, Cet. I, 1996. hal

56 Brown, H. Douglas, Usus Ta'allum al-Lughah wa Ta'limuha, Terj. Dari The Principles of Language Learning and Teaching, oleh 'Abduh al-Rajihi dan "Ali "Ali Ahmad Sya'ban, Beirut Dar al-Nahdlah al'Arabiyah, 1994 http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/05/teoribehaviorisme.html, 08/04/09 http://kuliahkomunikasi.com/?p=17, 08/04/09 http://www.nahwumudah.com/2009/02/klasifikasipembelajaran-bahasa-arab/, 08/04/09.
DIPOSKAN OLEH NEESA'S SMART ( ) DI 07.02
TIDAK ADA KOMENTAR: POSKAN KOMENTAR

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)


PENGIKUT ARSIP BLOG

You might also like