You are on page 1of 6

Tugas Pendidikan Kewarganegar aan

Deskripsi Pelaksanaan Budaya Politik Indonesia


Anthony Wijaya XI IPA I/ 13

SMA Kolese De Britto 2009-2010

Budaya politik Indonesia berupa kombinasi dari semua subbudaya politik baik hasil pengelompokan sosial-kultural dan budaya politik daerah yang kemudian diangkat ke tingkat nasiopnal oleh para pelaku politik. Dengan kata lain, budaya politik Indonesia merupakan Bhinneka Tunggal Ika yang memuat dua nilai penting, yaitu toleransi dan tenggang rasa. Kenyataannya, cukup sulit untuk mengidentifikasi wujud budaya politik Indonesia sehingga yang dapat dilakukan hanyalah menggambarkan pola budaya politik dominan yang berasal dari kelompok etnis doniman, yaitu etnis Jawa yang katanya, sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elit politik Indonesia. Contoh dari pengaruh budaya Jawa terlebih mengenai konsepsi kekuasaan masyarakat Jawa terhadap sistem politik Orde Baru dimana pada saat itu terdapat dua konsepsi utama, yaitu kekuasaan yang bersifat memusat dan kekuasaan berasal dari alam adikodrati dan bukan dari rakyat sebagaimana diungkapkan teori kedaulatan rakyat sehingga kekuasaan tidak memerlukan keabsahan (legistimasi) dan pembenaran (justifikasi) dari rakyat. Pengaruh budaya Jawa tersebut terlihat sangat nyata dari cara para penguasa Orde Baru menata kehidupan politik dengan berusaha mengendalikan saluran politik konstitusi resmi untuk memantapkan kedudukannya sehingga aturan-aturan hukum dibuat dan diterapkan untuk mempertahankan kekuasaan belaka. Misalnya dengan membubarkan PKI dan melakukan konsolidasi di kalangan intern militer dalam bentuk melakukan pembersihan terhadap unsur-unsur Orde Lama di kalangan militer dan mengintegrasikan seluruh angkatan bersenjata di bawah komando operasi tunggal. Sehingga setelah itu didapat suatu fase pembentukan dan pemantapan kekuasaan. Langkah selanjutnya ialah dengan mulai memperhatikan dunia politik di luar militer dengan cara dibuat dasar berpijak Indonesia, yaitu dengan peneguhan Demokrasi Pancasila sebagai ideologi politik. Selain itu, juga dibuat doktrin kekaryaan dalam perjuangan ABRI, yaitu Tri Ubaya Cakti yang meletakkan dasardasar militer Indonesia yang berbeda dengan ideologi militer lainnya sehingga terlahir konsep Dwifungsi ABRI yang memberikan dasar bagi ABRI untuk ikut menata sistem politik Indonesia.

Langkah-langkah yang diambil tersebut tidaklah dilaksanakan dengan tergesagesa, melainkan sesuai dengan latar belakang budaya Jawa sehingga yang lebih ditekankan adalah stabilitas politik yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan mengurangi konflik sekecil mungkin. Juga sesuai dengan watak kekuasaan Jawa yang konsentris, para penguasa Orde Baru berhasil menyerap kekuatan-kekuatan lawan untuk berkembang menjadi kekuatan dirinya sendiri dan bersamaan dengan itu, Golkar dihidupkan kembali dan diikuti pula dengan kebijakan monoloyalitas pegawai negeri yang harus memilih Golkar dalam pemilu, penyederhanaan jumlah partai politik, penghisapan kekuatan badan legislatif, memperkuat posisi ideologi Pancasila dengan menempatkannya sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kekuatan sosial politik dan organisasi sosial keagamaan. Akibat dari penyerapan kekuasaan luar pemerintah, kekuasaan di luar pemerintah menjadi semakin lemah dan telah menjadi ciri kekuasaan dalam kebudayaan Jawa yang tidak memperkenankan tumbuhnya kekuatan-kekuatan efektif kekuasaan pusat. Selain itu, budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri dominan, yaitu hirarki yang ketat, kecenderungan patronage, dan kecenderungan Neo-patrimonialistik. Hirarki yang ketat Nampak dari pemilahan yang tegas antara penguasa dengan rakyat kecil. Masing-masing terpisah oleh tatanan hirarkis yang sangat ketat. Hal tersebut tercermin dalam cara para penguasa memandang diri dan rakyatnya. Para penguasa cenderung melihat dirinya sebagai pamong/ pendidik bagi rakyat dan mencirtakan diri pula sebagai kelomnpok yang pemurah, baik hati, dan pelindung. Namun mereka cenderung merendahkan rakyatnya, akibat dari penguasa yang sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia dan taat kepada penguasa negara. Hal negatif lainnya dapat dilihat dalam hal kebijakan publik. Semua agenda public, bahkan merumuskan kebijakan public adalah penguasa dan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik, tidak diajak berdialog dan kurang didengar aspirasinya. Padahal mereka diharapkan bahkan terkadang diwajibkan untukl ikut dalam pelaksanaan kebijakan tersebut sehingga dalam proses penyelenggaraan pemerintahan muncul gejala bapakisme atau asal bapak senang.

Pola hubungan yang menonjol dalam budaya politik Indonesia adalah pola hubungan patronage, yaitu pola hubungan yang bersifat individual dimana terjadi interaksi timbale-balik dengan cara saling bertukar sumber daya yang dimiliki seperti kekuasaan, kedudukan, jabatan, perlindungan, perhatian, kasih saying, bahkan materi dengan tenaga, dukungan, dan kesetiaan. Pola hubungan ini akan tetap terpelihara selama keduanya masih memiliki sumber daya tersebut. Biasanya pola hubungan ini lebih menguntungkan sumber daya yang lebih besar dan kuat. Dalam kegiatan politik, budaya politik semacam itu Nampak dari perilaku kalangan pelaku politik yang lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungan dari basisnya. Dalam sistem bapakisme, juga terjadi pola hubungan patronage, yaitu dengan bapak sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material anak, dan anak dijadikan tulang punggung bapak yang cukup setia dan bahkan bersedia mempertaruhkan jiwa dan raga demi sang bapak. Dalam pola seperti itu, diperlukan kecerdikan memelihara dan memanfaatkan hubungan priobadi dan hubunhgan politik dengan pemegang jabatan di tingkat atas untuk mempertahankan karir politik seseorang. Dengan demikian, keabsahan kekuasaan politik dan dan wewenang jabatan birokrasi sangat ditentukan oleh sistem hubungan bapak-anak, yang berarti konsep bapakisme menjadi salah saru sumber legitimasi yang kuat dalam kehidupan politik Indonesia. Kecenderungan yang muncul dalam kehidupan politik Indonesia adalah kecenderungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik yang berarti meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik seperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang patrimonial. Ciri-ciri tersebut antara lain: terdapat suatu struktur hirarki yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi, adanya posisi atau jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas, adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formal yang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya, dan terdapat personil yang secara teknis memnuhi syarat yang dipekerjakan atas dasar karir dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan. Negara patrimonialistik juga menyelenggarakan pemerintahan berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara sehingga terdapat kecenderungan

mempertukarkan sumber daya yang dimiliki penguasa, kebijakan yang sering bersifat partikularis daripada universalis, kepatuhan akan hukum lebih bersifar sekunder bila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa, dan penguasa politik sering mengaburkan kepentingan umum dengan kepentingan politik. Dalam prakteknya, budaya politik neo-patrimonialistik menyebabkan kekuasaan tidak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat dan terhambatnya kemunculan orang yang kritis terhadap sistem pemerintahan. Dalam era Reformasi, semua keadaan sudah berubah sehingga kini

masyarakat umumnya merasa lebih menikmati kebebasan dalam bidang politik karena telah terbebas dari belenggu kekuasaan otoriter. Sehingga dengan kata lain, politik Indonesia pada era Reformasi diwarnai dengan adanya liberalisasi politik yang terlihat dengan diterapkannya kembali sistem multipartai, penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM), kebebasan berbicara tanpa perlu dihantui rasa takut, dan adanya kebebasan pers . sehingga dengan realitas semacam itu, perkembangan budaya politik yang lebih partisipatif dan bukan mengarah ke arah anarkisme.

You might also like