You are on page 1of 14

PERAN PERADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

(ANALISA PUTUSAN NOMOR 891/PDT.G/2009/PAJP)

Untuk Memenuhi Tugas:

MATA KULIAH PERADILAN AGAMA

Disusun Oleh: Ahmad Thohir 1206182404

PROGRAM PASCASARJANA PEMINATAN HUKUM EKONOMI ISLAM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

Maret, 2013 JAKARTA

PERAN PERADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH (ANALISA PUTUSAN NOMOR 891/PDT.G/2009/PAJP) Oleh Ahmad Thohir I. LATAR BELAKANG Ekonomi Syariah telah mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam kurun waktu dua windu terakhir. Lembaga Keuangan Syariah, baik yang berbentuk Perbankan maupun Non Bank tumbuh dan berkembang dengan produk-produk ekonomi syariahnya. Situasi seperti ini menuntun adanya regulasi yang mengatur secara khusus, terhadap jenis, produk, struktur ekonomi syariah, termasuk dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Hal ini kemudian mendorong lahirnya beberapa aturan, baik Undang-Undang, Instruksi Presiden, Peraturan Mahkamah Agung, dan lain sebagainya. Di bidang perbankan misalnya, lahirlah UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, sebagai lex specialis dari model perbankan konvensional. Begitupun dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, UU. No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama secara eksplesit menjelaskan dalam pasal 49, bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antra orang-orang yang beragama Islam di bidang a) perkawinan b) waris c) wasiat d) hibah e) wakaf f) zakat g) infaq h) shadaqah, dan i) ekonomi syariah . Demikian halnya sebagai rujukan penyelesaian sengketa ekonomi syariah diterbitkanlah Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yang memuat empat bagian, buku I tentang Subyek Hukum dan Amwal, buku II tentang Akad, buku III tentag Zakat dan Hibah, dan buku IV tentang Akuntansi Syariah. Dalam upaya penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah sebenarnya juga bisa ditempuh jalur non litigasi, yaitu melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Namun dalam tulisan ini akan dikaji terkait penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Peradilan Agama. Proses pengamatan terhadap kondisi Pengadilan Agama, terkait dengan kesiapan dalam penanganan sengketa ekonomi syariah, Penulis mengambil objek kajian Pengadilan Agama Depok Jawa Barat. Tahapan ini dilakukan dengan teknik interview kepada Panitra Muda Hukum Pengadilan Agama Depok. Selanjutnya, karena dalam kurun waktu sejak berdiri tahun 2003 hingga saat ini, Pengadilan Agama Depok belum pernah menerima gugatan atau permohonan terkait sengketa hukum ekonomi syariah, maka pada tahapan Analisa Putusan (produk), Penulis memilih Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor: 891/Pdt.G/2009/PAJP yang mengadili atas Gugatan Perlawanan atas Eksekusi Hak Tanggungan, yang terkait dengan produk akad Musyarokah dan Murobahah. II. RUMUSAN MASALAH Dalam tulisan ini, fokus masalah yang akan dikaji sebagaimana berikut: 1. Bagaimanakah kesiapan Pengadilan Agama Depok dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah? 2. Apakah Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP sudah sesuai dengan prosedur Undang-Undang, baik secara formil maupun materiil? III. TUJUAN Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, kajian ini bertujuan:

1. Mengetahui kesiapan Pengadilan Agama Depok dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah. 2. Mengetahui apakah Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP sudah sesuai dengan prosedur Undang-Undang, baik secara formil, maupun materiil.

IV. PEMBAHASAN A. SEKILAS PENGADILAN AGAMA DEPOK DAN KESIAPANNYA DALAM MENANGANI PERKARA EKONOMI SYARIAH Pengadilan Agama Depok Kelas IB beralamat di Jalan Boulevard Sektor Aggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung. Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002. Daerah hukum Pengadilan Agama Depok adalah meliputi Pemerintahan Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat. Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari ( sebelum pemekaran adalah 6 Kecamatan dengan 60 Kelurahan) 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rata tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 Orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan. Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syariah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-undang. Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat UndangUndang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Depok sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT dan Misi : Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat islam Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syariah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan.1 Terkait dengan sengketa Ekonomi Syariah, berdasar interview dengan Panitera Muda Hukum, Drs. H. E. Arifuddin, SH., hingga saat ini belum ada gugatan yang terdaftar di PA Depok. Menurut H. E. Arifuddin hal ini karena masyarakat belum banyak yang tahu tentang kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah di PA, karena aturanya relatif baru ditetapkan, yaitu UU No. 3 tahun 2006, disamping PA Depok juga intens melakukan sosialisasi ataupun
Sebagaimana dimuat dalam situs Pengadilan Agama Depok, dengan alamat http://www.pa-depok.go.id/profil-pa.
1

penyuluhan ke masyarakat, termasuk tentang kewenangan penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah. Selain itu, produk ekonomi syariah belum begitu massif diterapkan di masyarakat, dibanding sistem konvensional. Meskipun demikian, SDM Hakim di lingkungan PA Depok sudah sangat memadai, karena sebagian besar berlatar belakang Hukum Islam, serta pelatihan tentang kompilasi hukum ekonomi syariah juga sering diikuti oleh para hakim2.

Wawancara dengan Panmud. Hukum PA Depok, Drs. H. E. Arifuddin, SH, PA Depok, tanggal 22/3/13.

B. STRUKTUR (BENTUK DAN ISI) PUTUSAN NO. 891/PDT.G/2009/PAJP 1. Bagian Kepala Putusan PUTUSAN Nomor 891/Pdt.G/2009/PAJP Selanjutnya: BISMILLAHIRAHMANIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KIETUHANAN YANG MAHA ESA Bentuk penulisan dua kalimat ini harus menggunakan huruf besar, untuk memenuhi peratuan pada Pasal 57 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 1970. 2. Nama Pengadilan Agama yang Memutus dan Jenis Perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah menjatuhkan Putusan atas Gugatan Perlawanan atas Eksekusi Hak Tanggungan. 3. Identitas Para Pihak Dalam salinan putusan yang diperoleh Penulis, identitas para pihak dan alamatnya disamarkan. Akan tetapi Penulis mencoba memberi ilustrasi para Pihak dengan inisial, untuk memudahkan identifikasi dalam analisa kasus selanjutnya. Antara lain, PENGGUGAT dengan inisial PT. A yang memberi kuasa pada Advodakat AA. Melawan PT. B (pihak Bank) yang berkedudukan di Jakarta Pusat, memberi kuasa kepada Advokad BB, sebagai TERGUGAT I. Lalu C (Kepala Kantor Kekayaan Negara dan Lelang Bogor), sebagai TERGUGAT II, dan TERGUGAT III (Pelaksana Pra Lelang). 4. Tentang Duduk Perkaranya (Posita) Yang menjadi duduk perkara sebenarnya gugatan perlawanan atas eksekusi hak tanggungan, sebagaimana tertera dalam surat gugatan yang diajukan PENGGUGAT tanggal 22 Desember 2009. PENGGUGAT adalah Perusahaan yang bergerak dibidang jasa Catering, Jasa Boga dan Industri. Pada tahun 2007, perusahaan ini memperoleh pekerjaan sebagai Catering Service dari PT. D yang merupakan kontraktor dalam Pekerjaan Konstruksi Proyek Instalasi Listrik PLTU (Pen.) di wilayah Banten-Lontar (Teluk Naga) dan pekerjaan yang sama di Jatim-Pacitan. Perjanjian pekerjaan tersebut berdasarkan contract agreement no. 001/DE116030/DE-RLK/VIII/07 for catering and Services Coal Fired Steam Power Plant Project 300-400 MW dan tertanggal Agustus 2007 dan NO. 002/DE11-6030/DE-RLK/IX/07 for catering and Services Coal Fired Steam Power Plant Project 300-400 MW Class PLT. 3 Banten. Berdasar kontrak kerja di atas, PENGGUGAT ( selanjutnya disebut PT. A) mengajukan pemohonan ke TERGUGAT I (Bank Syariah) untuk menyediakan dana dalam keperluan take over fasilitas kredit PENGGUGAT dari Lembaga Finance, sentra Kredit Menengah Kantor Cabang Jakarta Kota dan Kredit Modal Kerja (KMK). Bank Syariah dalam hal ini menyetujui untuk menyalurkan pembiayaan tersebut berdasarkan SK Pembiayaan No. USY/3/427/R tertanggal 27 Juni 2008, sebagaimana dituangkan dalam

Akad Pembiayaan Musyarakah No. 45, Akad Pembiayaan Musyarakah No. 46, Akad Pembiayaan Murabahah No. 47. Jumlah pembiayaan adalah; a. Akad Pembiayan Musyarakah No. 45 Rp. 3. 700.000.000, b. Akad Pembiayaan Musyarakah No. 46 Rp. 3.725.000.000; c. Fasilitas Murabahah untuk take over dalam hal kredit investasi pembangunan dapur utama di Bogor dan Proyek A di Pacitan Jawa Timur Rp. 10.238.076.654, total pembiayaan Rp. 17,663.156.654. Selanjutnya, PT. A memberikan jaminan berupa aset tanah, bangunan, peralatan kerja, senilai Rp. 17.503.084.220, dan tambahan aset/barang yang akan menjadi jaminan setelah ada (dalam proses), jika ditotal keseluruhan jaminan adalah Rp. 31.148.209.220. Dalam perjalanannya, PT. A tidak mendapatkan realisasi proyek pengadaan jasa catering tersebut. PT. A pun melakukan klarifikasi dan minta penjelasan dari PT. D sebagaimana kesepakatan, yang belum dalam bentuk Surat Perintah Kerja (SPK). Namun jawaban PT. D ternyata bahwa dalam proyek yang sudah disepakati tersebut tidak dibutuhkan Surat Perintah Kerja (SPK). Bahkan PT. A sempat melaporkan PT.D ke kepolisian atas dugaan tindak pidana penipuan. Dalam kondisi inilah, PT. A mengalami kesulitan membayar kewajiban cicilan ke pihak Bank Syariah yang sudah jatuh tempo. PT. A merasa beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya itu dengan mengangsur kewajibannya. Tapi Bank Syariah tetap akan melakukan upaya Lelang melalui Kantor Pejabat Lelang (Tergugat II). Padahal menurut PT. A berdasarkan PBI Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah jo. Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/34/DPbS kepada semua Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, bahwa guna menghindari resiko potensi kerugian yang disebabkan oleh pembiayaan bermasalah bagi setiap Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dapat melakukan Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan masih memiliki prospek usaha yang baik serta mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Dengan alasan itu, PT. A keberatan dan mengajukan pembatalan terhadap proses lelang, juga berdasar pada psal 14 huruf a Peraturan Menteri Keuangan No. 40/PMK.07/2006 tentang petunjuk pelaksanaan Lelang, lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan putman/penetapan lembaga peradilan atau atas permintaan penjual. Menurut PT. A melalui kuasanya, bahwa proses lelang yang dilakukan para TERGUGAT menyalahi prosedur, yaitu harus mendapatkan penetapan melalui Ketua Pengadilan Negeri setempat, dalam hal ini yang berwenang Pengadilan Agama Jakarta Pusat . Dan PENGGUGAT merasa dirugikan, baik secara materiil maupun immateriil karena adanya upaya lelang yang dilakukan oleh para TERGUGAT. PT. A selaku PENGGUGAT selanjutnya mengajukan Gugatan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dengan mengacu pada perjanjian Akad Pembiayaan Musyarakah tanggal 27 Juni 2008, antara lain pasal 25 Akta No. 45 dan 46, ayat 1 Segala perselisihan yang timbul berdasarkan akad ini antara para pihak berkenaan dengan penafsiran secara musyawarah dan mufakat, ayat 2 Apabila dalam 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dilakukan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal ini tidak tercapai kesepakatan, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Pasal 26 tentang akad ini dan segala akibatnya, para Pihak sepakat untuk memilih domisili hukum yang umum dan tetap di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat di Jakarta.

Inti dari gugatan PT. A adalah meminta PA Jakarta Pusat untuk menyatakan bahwa para TERGUGAT tidak memiliki hak untuk melaksanakan lelang terhadap asset-asset PENGGUGAT. Disamping itu, PT.A meminta Majelis untuk menghukum TERGUGAT I (Bank Syariah) untuk membayar ganti rugi materiil dan immateriil, serta membayar biaya perkara. EKSEPSI TERGUGAT I. TERGUGAT I dalam eksepsinya menyampaikan jawaban bantahan, antara lain meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan sela sebagai putusan akhir karena PA Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini. Menurut TERGUGAT I ketentuan yang tertuang di dalam akad mengenai penyelesaian sengketa di PA Jakarta Pusat adalah berkaitan dengan penafsiran perjanjian (akad), baik murabahah maupun musyarakah. Sedangkan gugatan perlawanan ini berkaitan dengan Lelang yang akan dilaksanakan oleh TERGUGAT II (Kantor Pejabat Lelang) di Bogor atas objek-objek jaminan milik PENGGUGAT yang telah dijaminkan pada TERGUGGAT I. Yang berwenang mengadili perkara ini adalah Pengadilan Negeri Bogor yaitu di wilayah hukum dimana lelang akan dilaksanakan. Dalam pasal 4 Akta Pembebanan Hak Tanggungan No. 26 tanggal 9 Mei 2008 disebutkan wilayah hukum Pengadilan Negeri Bogor sebagai domisili hukum dalam penyelesaian sengketa berkaitan dengan Hak Tanggungan antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I. Selain jawaban diatas, TERGUGAT I juga menyampaikan bahwa Surat kuasa penggugat tidak jelas, PENGGUGAT tidak mempunyai kualitas mengajukan Gugatan, oleh karena ada ketidaksesuaian nama subyek PENGGUGAT dalam perubahan Akta PT.A. Selanjutnya, TERGUGAT I juga menilai gugatan PENGGUGAT kabur dan tidak jelas, disebabkan PENGGUGAT salah dalam menyebutkan Pengadilan Negeri Agama Jakarta Pusat, dimana istilah tersebut tidak dikenal. TERGUGAT I menilai bahwa PENGGUGAT telah melakukan cidera janji (wanprestasi), karena PENGGUGAT tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam akad pembiayaan ini (Pasal 22 ayat 1 huruf a akad Pembiayaan Musyarakah No. 45 tanggal 27 Juni 2008). TERGUGAT I (Bank Syariah) pun telah melakukan somasi sebanyak 3 kali. Karena itu TERGUGAT I perlu melakukan upaya hukum untuk penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan, sebagaimana Pasal 6 UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Apabila debitor cidera janji, Pemegang Hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekusaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan tersebut. Demikian pula Pasal 29 ayat 1 huruf b UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. TERGUGAT I menolak melakukan restrukturisasi sebagaimana didalilkan oleh PENGGUGAT mengacu pada PBI No. 10/18/PBI/2008, karena restrukturisasi hanya dapat dilakukan apabila nasabah mengajukan permohonan secara tertulis kepada TERGUGAT I, sementara hal itu tidak pernah dilakukan (Pasal 4 PBI No. 10/8/PBI/2008). REKONPENSI. Dalam Rekonpensi, PENGGUGAT REKONPENSI (Bank Syariah) kembali memperjelas tentang wanprestasi yang dilakukan TERGUGAT REKONPENSI dan dasar hukum yang membolehkan BANK mengakhiri jangka waktu pembiayaan dan mengambil tindakan hukum jika terjadi wanprestasi dan penyimpangan dari jangka waktu yang telah ditentukan dalam akad pembiayaan ini (Pasal 15 ayat 1 dan 2 Akad

Pembiayaan Musyarakah No. 45 tanggal 27 Juni 2008). Bank Syariah dalam Rekonpensi ini pula menggugat PT. A selaku TERGUGAT REKONPENSI membayar outstanding kewajiban ditambah denda bunga 5% pertahun dari keterlambatan pembayaran, sebagaimana Pasal 9 ayat 1 Akad Pembayran Musyarakah No. 45 tanggal 27 Juni 2008 dan Akad Pembiayaan Musyarakah No. 46 tanggal 27 Juni 2008. EKSEPSI TERGUGAT II. TERGUGAT II (Kepala Kantor Kekayaan Negara dan Lelang Bogor) intinya menolak Gugatan Penggugat yang menyatakan tindakan lelang yang dilakukan adalah perbuatan melawan hukum, padahal lelang tersebut atas permintaan TERGUGAT I melalui suratnya Nomor: USY/3/4037 tanggal 24 Agustus 2009. Disamping itu, TERGUGAT II tidak bisa menolak permohonan lelang sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 Pasal 6 ayat 4 KP2LN/Kantor Pejabat Lelang Kelas II tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan kepadanya sepanjang dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas subjek dan objek lelang . Maka dari itu, TERGUGAT II memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan sah pelelangan yang dilakukan oleh TERGUGAT II. Sebelum persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan tentang eksepsi yang diajukan TERGUGAT I dan TERGUGAT II, majelis hakim sebenarnya telah memberi kesempatan kepada para pihak untuk melakukan upaya damai di luar Pengadilan, baik melalui negosiasi ataupun mediasi, yang mediatornya disepakati oleh kedua belah pihak, namun hingga persidangan perkara ini pada tanggal 5 Agustus 2010, para pihak tidak mencapai kesepakatan damai, maka persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan tentang eksepsi TERGUGAT I dan TERGUGAT II. PENGGUGAT memberikan jawaban atas eksepsi TERGUGAT I, yang intinya tetap berpegang pada dalil-dalil gugatannya. Terkait dengan kewenangan PA Jakarta Pusat dalam perkara ini, PENGGUGAT tetap berpegang bahwa PA Jakarta Pusat tidak melanggar kompetensi absolut ataupun relatif sebagaimana tertuang dalam perjanjian akad. Dengan ini pula PENGGUGAT pun menolak permintaan majelis hakim untuk menjatuhkan putusan sela sebagai putusan akhir tanpa memeriksa pokok perkara terlebih dahulu karena melanggar kompetensi absolut Pengadilan Agama. Meski mengakui ada kesalahan dalam penulisan nama subjek PT.A, PENGGUGAT menolak dianggap tidak mempunyai kualitas mengajukan gugatan, karena dianggap berlebihan, demikian halnya dalam kesalahan penulisan Pengadilan Negeri Agama, bukan serta merta mengaburkan gugatan. Begitu juga dengan bantahan bahwa penggugat exception in persona, PENGGUGAT menjelaskan bahwa perbedaan nama subjek dalam perubahan akta, merupakan pihak yang sama. Untuk TERGUGAT II, PENGGUGAT menolak eksepsinya dengan menyatakan bahwa TERGUGAT II ikut bertanggungjawab karena melaksanakan lelang bersama TERGUGAT I, padahal tidak berdasarkan peraturan hukum yang berlaku, dimana proses pelelangan harus mendapatkan Penetapan melalui Penetapan Ketua Pengadilan, yang dalam hal ini berwenang adalah Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 5. Tentang Pertimbangan Hukum dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat menimbang keterangan pihak-pihak dan dalil-dalilnya. Majelis berpendapat bahwa yang menjadi masalah adalah apakah perkara ini termasuk perkara

10

sengketa ekonomi syariah, sehingga Pengadilan Agama Jakarta Pusat berwenang mengadili sesuai dengan 49 UU No. 3 tahun 2006. Majelis berpendapat bahwa perkara ini bukanlah mengenai sengketa ekonomi syariah. Dalam pendapat ini, majelis menimbang dalil TERGUGAT I yang menyatakan bahwa jika terjadi perselisihan penafsiran terkait akad musyarakah ataupun murabah, maka akan diselesaikan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, akan tetapi mengacu pada Pasal 4 akta Hak Tanggungan No. 26 tanggal 9 Mei 2008 disebutkan domisili hukum dalam penyelesaian permasalahan hak tanggungan tersebut adalah Pengadilan Negeri Bogor. Majelis juga telah mengkaji isi-isi akad yang ternyata dalam pasal 25 akad pembiayaan musyarakah Nomor 45 (T.I.I), pasal 25 akad pembiayaan musyarakah Nomor 46 (TI, 2) dan pasal 20 akad pembiayaan murabahah (T.I.3) dengan redaksi yang sama, bahwa tata cara penyelesaian sengketa 1) segala perselisihan yang timbul berdasarkan akad ini antara para pihak berkenaan dengan penafsiran, secara musyawarah dan mufakat, 2) apabila dalam 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dilakukan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tidak tercapai kesepakatan, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Majelis berpendapat clausa ini sudah sangat jelas. Majelis juga menimbang dalil yang dikemukakan oleh TERGUGAT I dalam eksepsi kompetensinya, perkara ini berkaitan dengan lelang yang akan dilaksanakan oleh TERGUGAT II, bukan berkaitan dengan masalah penafsiran dari akad murabahah maupun musyarakah, maka Pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara Nomor 891/Pdt.G/2009/PAJP ini. Majelis menilai bahwa alat bukti yang diajukan oleh TERGUGAT I telah memenuhi syarat formil, diantaranya yang berupa sertifikat hak tanggungan nomor 1715/2007 tanggal 13 Agustus 2007 (T.I.4) sertifikat hak tanggungan Nomor 1716 tanggal 13 Agustus 2007 (T.I.6), sertifikat hak tanggungan Nomor 1675/2008 tanggal 26 Juni 2008 (T.I.9), dan sertifikat hak tanggungan nomor 1321/2008 tanggal 5 September (T.I.10) seluruhnya dalam pasal 4 yang menyatakan para pihak dalam hak-hak mengenai hak tanggungan tersebut di atas dengan segala akibatnya memilih domisili pada Panitera Pengadilan Negeri Bogor di Bogor. Dengan demikian yang menjadi pokok sengketa dalam perkara ini adalah tentang perlawanan lelang sebagai eksekusi langsung yang dilakukan atau akan dilakukan oleh TERGUGAT I melalui TERGUGAT II, dan bukan mengenai sengketa ekonomi syariah. Seharusnya PENGGUGAT mengajukan perkaranya di Pengadilan yang mewilayahi tempat pelaksanaan eksekusi tersebut sebagaimana ketentuan dalam pasal 195 ayat 6 HIR. Apalagi ternyata objek yang akan dilelang adalah segala benda yang termuat dalam sertifikat hak tanggungan atas perkara ini haruslah diikuti ketentuan yang telah ditetapkan di dalam sertifikat hak tanggungan tersebut. Majelis membenarkan dalil-dalil eksepsi TERGUGAT I, maka Pengadilan Agama Jakarta Pusat harus menyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini. Karena itu pula putusan ini merupakan putusan akhir sehingga eksepsi selain tentang kompetensi tidak perlu dipertimbangkan lagi. 6. Diktum atau Amar Putusan MENGADILI

11

1. Mengabulkan eksepsi TERGUGAT I 2. Menyatakan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini 3. Menghukum kepada PENGGUGAT untuk membayar biaya perkara yang hingga kini terhitung sebesar Rp. 2.051.000 (dua juta lima puluh satu ribu rupiah). 7. Bagian Kaki Putusan Demikianlah diputuskan dalam permusyawatan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada hari Kamis tanggal 2 September 2010 M, bertepatan dengan tanggal 23 Ramadhan 1431 H, yang terdiri dari Drs. H. Masrum, MH. sebagai Ketua Majelis dan Drs. H. Ujang Soleh, SH, Drs. Kholis, MH, Drs. Subuki, MH dan Drs. H. Achmad Manshur Noor masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana oleh Ketua Majelis Hakim tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Hakim Anggota yang sama dan dibantu oleh Sajidan, SH sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Kuasa Hukum PENGGUGAT, Kuasa Hukum TERGUGAT I, diluar hadirnya TERGUGAT II dan TERGUGAT III serta Para Kuasa Hukumnya. 8. Tanda Tangan Hakim dan Panitera serta Perincian Biaya Putusan ini ditandatangani oleh majelis hakim dan anggota, serta mencantumkan rincian biaya. C. ANALISA PUTUSAN NO. 891/PDT.G/2009/PAJP Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP memiliki karakter tersendiri bila dilihat dari beberapa aspek, antara lain fungsinya dalam mengakhiri perkara, hadir tidaknya para pihak, isinya terhadap gugatan/perkara dan sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan. 1. Dari Segi Fungsinya Dalam Mengakhiri Perkara; Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP merupakan kategori Putusan Akhir. Karena Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP mengakhiri pemeriksaan di persidangan, meski belum menempuh semua tahap pemeriksaan, karena majelis hakim hanya memeriksa tentang sengketa kompetensi kewenangan Pengadilan Agama. Putusan ini menegaskan bawah Pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili Gugatan Perlawanan atas Eksekusi Hak Tanggungan karena bukan bagian kompetensi absolut sebagaimana pasal 49 UU No. 3 tahun 2006. 2. Dari Segi Hadir Tidaknya Para Pihak Pada Saat Putusan Dijatuhkan; Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP saat dijatuhkan/diucapkan di muka persidangan dihadiri oleh semua pihak yang diwakili oleh para kuasa hukumnya, jadi Putusan ini bukan termasuk kategori Gugur, Verstek, ataupun Komdemnatoir yang bilamana salah satu pihak tidak menghadiri saat putusan dijatuhkan. 3. Dari Segi Isinya Terhadap Gugutan Perkara; Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP adalah Putusan Tidak Menerima, karena majelis hakim menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat . Hal ini dikarenakan gugatan tidak memenuhi syarat hukum, yaitu secara

12

formil, karena Pengadilan Agama tidak berhak, bukan wewenang untuk memeriksa dan mengadili. 4. Dari Segi Sifatnya Terhadap Akibat Hukum Yang Ditimbulkan ; Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP termasuk Putusan Kondemnatoir. Karena Putusan bersifat menghukum kepada salah satu pihak, yaitu PENGGUGAT untuk membayar biaya perkara. Terkait dengan subtansi Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP yang menyatakan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara Gugatan Perlawanan atas Eksekusi Hak Tanggungan, Penulis sependapat dengan logika hukum yang dibangun oleh majelis hakim bahwa sengketa bukan bagian dari penafsiran dalam pelaksanaan akad ekonomi syariah. Perkara ini merupakan kompetensi Pengadilan Negeri yang mewilayahi objek yang akan dilelang sebagaimana juga diperjanjikan dalam Pasal 4 Sertifikat Hak Tanggungan nomor 1321/2008 tanggal 5 September (T.I.10) dalam pasal 4 yang menyatakan bahwa para pihak dalam hak-hak mengenai hak tanggungan tersebut di atas dengan segala akibatnya memilih domisili pada Panitera Pengadilan Negeri Bogor di Bogor. Hal ini merujuk pula pada Pasal 6 UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Pasal 29 ayat 1 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Menurut hemat Penulis, disamping dasar hukum di atas tentang Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, sebenarnya dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) juga dinjelaskan dalam pasal 47 Bagian Ketujuh tentang Akibat Akad KHES, yang berbunyi Suatu akad dapat dibatalkan oleh pihak yang berpiutang jika pihak yang berutang terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak yang berpiutang. Dalam konteks musyarakah (join venture), ataupun murabah (jual beli dengan mark up), pihak Bank Syariah menyalurkan pembiayaan dalam bentuk akad musyarakah dan murabahah, karena itu kewajiban angsuran merupakan piutang bagi pihak Bank Syariah, dan Bank Syariah bisa saja membatalkan akad di tengah jalan bila pihak nasabah melakukan wanprestasi yang merugikan Bank Syariah selaku penyalur dana. Namun dasar hukum menurut KHES ini belum dikutip oleh Pihak TERGUGAT I. Sedangkan majelis hakim belum masuk pada pemeriksaan perkara lebih lanjut, hanya fokus pada sengketa kompetensi dan kemudian menjatuhkan Putusan Akhir tanpa memeriksa pokok perkara lainnya. Sebagai catatan, menarik bila mencermati kutipan Akad Pembiayaan Musyarakah No. 45 dan No. 46, pada pasal 9 ayat (1), yang berbunyi apabila Nasabah tidak atau terlambat melakukan pengembalian pokok pembiayaan bagi hasil sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (1) Akad Pembiayaan ini, maka Nasabah dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) pertahun dari pembayaran yang tertunggak dan harus dibayar lunas oleh Nasabah kepada Bank untuk digunakan atau disalurkan untuk kepentingan sosial. Lalu muncul pertanyaan di sini, apakah denda 5% per tahun tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ekonomi syariah, dan apakah ketentuan seperti ini justeru berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak. Ilustrasinya begini, seperti ketentuan dalam UU Hak Tanggungan dan UU Jaminan Fidusia di atas, pihak Bank Syariah akan melakukan pelunasan tanggungan piutangnya dari harta jaminan yang akan dilelang. Jika disaat yang bersamaan pihak yang berhutang juga harus membayar 5% dari jumlah tunggakan, pasti akan semakin memberatkan. Meski disebutkan akan digunakan atau disalurkan untuk kepentingan sosial, hal ini tetap berpotensi

13

terjadi penarikan profit yang berlipat dari pihak yang berhutang secara dzalim, karena bagaimana mekanisme untuk mengawasi 5% tadi untuk kepentingan sosial?. Oleh karena itu, meski menganut asas kebebasan berkontrak (1338 KHP), jika tidak berhati-hati hal semacam ini akan terjerumus dalam kategori riba, sebagaimana QS. Ali Imran 3;130-131 Wahai orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda, dan hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah supaya kamu beruntung. Dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir. V. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, Penulis menarik kesimpulan sebagaimana berikut: 1. Pengadilan Agama Depok memiliki kesiapan dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah, baik secara infrastruktur maupun kompetensi Hakim di lingkungan Pengadilan Agama Depok. Pengadilan Agama Depok juga secara reguler melakukan sosialiasi terkait kewenangan Peradilan Agama di masyarakat, termasuk yang terkait dengan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah. 2. Terkait dengan Putusan No. 891/Pdt.G/2009/PAJP, Majelis Hakim memutuskan bahwa Gugatan tidak memenuhi syarat hukum formil, yaitu kewenangan Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah, karena subtansi sengketa buka pada penafsiran akad-akad ekonomi syariah, tapi gugatan perlawanan lelang atas aset jaminan yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Bogor yang mewilayahi objek lelang, sebagaimana juga tertera dalam Akta Hak Tanggungan.

14

You might also like