You are on page 1of 78

BAB III LEMBAGA JAMINAN A.

Istilah dan Pengertian Jaminan

Istilah Jaminan adalah terjemahan dari kata Zekerheid atau Cautie yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya. - Menurut UU NO.14/1967 (Tentang Perbankan) arti jaminan diberi istilah Agunan atau Tanggungan. - Menurut UU NO.7/1992 diubah menjadi UU NO.10/1998 (Tentang Perbankan) arti jaminan yaitu keyakinan atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan perjanjian. Sedangkan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dalam perspektif hukum Perbankan, agunan dibedakan atas dua macam, yaitu: 1. Agunan Pokok yaitu adalah Barang, surat berharga, atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan seperti barang yang dibeli dengan kredit yang dijaminkan, proyek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, maupun tagihan debitur. 2. Agunan Tambahan yaitu adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang berkaitan, yang ditambahkan sebagai agunan.

Dapat disimpulakan bahwa jaminan itu suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditur sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain.

Kebendaan tertentu diserahkan debitur kepada kreditur dimaksudkan sebagai tanggungan atas pinjaman atau fasilitas kredit yang diberikan kreditur kepada debitur sampai debitur melunasi pinjamannya tersebut. Apabila debitur wanprestasi, kebendaan tertentu tersebut akan dinilai dengan uang selanjutnya akan dipergunakan untuk pelunasan seluruh atau sebagian dari pinjaman atau utang debitur kepada krediturnya. Dengan kata lain jaminan disini berfungsi sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur seandainya wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman atau utangnya berakhir.

B. Persyaratan dan kegunaan kebendaan jaminan

Karena lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, jaminan yang baik (Ideal) adalah: a. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya. b. Yang tidak melemahkan potensi (Kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (Meneruskan) usahanya. c. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi utangnnya si penerima (Pengambil Kredit).

Bank sebelum memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus melakukan penilaian yang seksama terhadap berbagai aspek, menyangkut: - Penilaian watak (Character), untuk mengetahui kejujuran dan iktikad baik calon nasabah debitur - Penilaian kemampuan (Capacity) - Penilaian modal (Capital) - Penilaian terhadap modal - Penilaian terhadap agunan - Penilaian prospek usaha calon nasabah debitur yang bersangkutan Adapun kegunaan kebendaan jaminan tersebut, untuk: - memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. - Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil. - Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan. C. Pembedaan lembaga jaminan Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, dapat diketahui pembedaan (Lembaga Hak) jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu: 1. Hak jaminan yang bersifat umum - Ditujukan kepada seluruh kreditur dan mengenai segala kebendaan debitur. - Semua kreditur mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditur lain (Kreditor Konkuren), tidak

ada kreditor yang diutamakan, diistimewakan dari kreditor lain.

2. Hak jaminan yang bersifat khusus Dalam Pasal 1133 KUH Perdata, diketahui bahwa hak jaminan yang bersifat khusus terjadi: a. Diberikan atau ditentukan oleh UU sebagai piutang yang diistimewakan. b. Diperjanjikan antara debitur dan kreditor, sehingga menimbulkan hak preferensi bagi kreditor atas benda tertentu yang diserahkan debitur. Hak jaminan yang bersifat khusus dapat berupa atau dibedakan atas: a. Hak jaminan yang bersifat kebendaan (Zakelijke Zekerheidsrechten), yaitu adanya suatu kebendaan tertentu yang dibebani dengan utang. b. Hak jaminan yang bersifat perseorangan (Persoonlijke Zekerheidsrechten), yaitu adanya seseorang tertentu atau badan hokum yang bersedia menjamin pelunasan utang tertentu bila debitur wanprestasi. D. Tingkatan-tingkatan Piutang yang didahulukan Semua piutang kreditor yang konkuren dijamin dengan kebendaan milik debitur secara bersama-sama, tidak ada piutang kreditor konkuren yang didahulukan. Hak pemenuhan dari para kreditor itu sama dan sederajat satu dengan yang lainnya, tidak ada yang lebih diutamakan. Juga tidak ada mengenal hak yang lebih tua dan hak yang lebih muda (Asas Prioriteit), hak yang lebih dahulu terjadi sama saja kedudukannya dengan hak yang terjadi kemudian. Yang termasuk dalam kreditor Preferent (Diutamakan), telah ditentukan oleh ketentuan dalam Pasal 1133 KUH Perdata, yaitu: 1. Pemegang piutang yang diistimewakan (Hak Privilege) 2. Pemegang hak jaminan khusus, yaitu pemegang Hak Gadai, pemegang Hak Hipotek, Pemegang hak tanggungan dan pemegang Hak Fidusia.

Adapun Piutang-piutang yang lebih diistimewakan dibandingkan Piutang-piutang yang diikat dengan jaminan kebendaan, seperti: 1. Piutang terhadap Negara dan badan-badan hokum public 2. Biaya perkara berhubungan dengan pelelangan yang diambil lebih dahulu dari hasil pendapatan penjualan benda tertentu dan benda debitur pada umumnya. 3. Penyewa diberikan hak istimewa terhadap barang yang digadaikan. 4. Biaya-biaya untuk pelelangan barang gadai dan menyelamatkan barang yang digadaikan. 5. Piutang yang diistimewakan atas kapal. E. Sifat perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan Perjanjian jaminan merupakan perjanjian asesor (accessoir), tambahan atau ikutan. Sebagai perjanjian asesor, eksistensi perjanjian jaminan ditentukan oleh ada dan hapusnya perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokoknya. Perjanjian pendahuluan berupa: perjanjian utang piutang, pinjam meminjam uang, kredit, atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan hokum utang piutang. Sifat asesor dari hak jaminan dapat menimbulkan akibat hokum tertentu, yaitu: 1. Ada dan hapusnya perjanjian jaminan itu tergantung dan ditentukan oleh perjanjian pendahuluannya. 2. Bila perjanjian pendahuluannya batal, maka dengan sendirinya perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan juga menjadi batal. 3. Bila perjanjian pendahuluannya beralih atau dialihkan, maka dengan sendirinya perjanjian jaminan ikut beralih. 4. Bila perjanjian pendahuluannya beralih karena cassie, subrogatie maka perjanjian jaminan ikut beralih tanpa penyerahan khusus. 5. Bila perjanjian jaminannya berakhir atau hapus maka perjanjian pendahuluannnya tidak dengan sendirinya berkhir atau hapus pula.

Sebagai perjanjian ikutan, eksistensi perjanjian jaminan amat tergantung kepada perjanjian pendahuluannya yang menjadi dasar timbulnya pengikatan jaminan. Artinya perjanjian jaminan dimaksudkan untuk mengubah kedudukan kreditor-kreditornya menjadi kreditor yang preferent sehingga kreditor akan merasa aman dan memperoleh kepastian hokum atas pelunasan pinjaman yang diberikan olehnya kepada debitur karena diikuti dengan diperjanjikan pemberian jaminan oleh debitur kepada kreditornya. Untuk itulah dikatakan bahwa perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pendahuluannya yaitu perjanjian yang akan lebih memperkuat perjanjian pendahuluannya. F. Bentuk perjanjian jaminan 1. Berbentuk Lisan Bentuk ini biasa dilakukan dalam kehidupan masyarakat pedesaan, masyarakat yang satu membutuhkan pinjaman uang kepada masyarakat yang ekonominya lebih tinggi. Contoh: seseorang ingin mendapatkan pinjaman uang cukup dilakukan secara lisan dan memberikan surat tanahnya maka telah terjadi pembebanan perjanjian jaminan.

2. Berbentuk Tertulis Bentuk ini biasa dilakukan dalam dunia perbankan, lembaga keuangan nonbank maupun lembaga pegadaian. Perjanjian jaminan tertulis ini bisa dilakuan dengan menggunakan akta dibawah tangan dan akta autentik. a. Akta dibawah tangan, yaitu suatu akta yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak saja dengan tanpa bantuan seorang pejabat umum atau akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang tidak berwenang.

b. Akta autentik, yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu. (pasal 165 HIR/RBG). Sesuatu akta dikatakan sebagai akta autentik apabila: - Akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang berwenang untuk itu. - Bentuk aktanya dan tata cara pembuatannya telah ditentukan oleh atau dalam undangundang. Adapun pembebanan perjanjian lembaga hak jaminan yang diwajibkan atau diharuskan dilakukan dengan akta autentik adalah: Akta Hipotek kapal untuk pembebanan perjanjian jaminan hipotek atas kapal yang dibuat oleh pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal. Surat kuasa membebankan hipotek (SKMH) yang dibuat oleh atau dihadapan notaris. Akta pemberian hak tanggungan (APHT) yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah. Surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) yang dibuat oleh notaris atau pejabat pembuat akta tanah. Akta jaminan Fidusia (AJF) yang dibuat oleh notaris. Kedudukan dan fungsi dan kewenangan seorang Notaris dalam UU No.30/2004 adalah: 1) Notaries berkedudukan sebagai pejabat umum. 2) Notaries merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang selama tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan undang-undang.

3) Akta yang dimaksud berkaitan dengan perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan undang-undang atau dikehendaki yang berkepentingan yaitu para pihak untuk dinyatakan dalam akta autentik

4) Adanya kewenangan dari notaries untuk:

- Menjamin kepastian tanggal pembuatan akta - Menyimpan akta - Memberikan grosse - Memberi salinan atau kutipan akta

5) Pembuatan akta tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada orang atau pejabat lain oleh undangundang.

6) Berwenang untuk:

- membukukan surat-surat dibawah tangan - membuat kopi suarat tersebut - melakukan kesahan dan kecocokan surat asli dan kopiannya - penyuluhan hokum pembuatan akta - membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan - membuat akta risalah lelang.

7) Melakukan kewenangan lain yang diatur undang-undang, misalnya membuat akta pendirian perseroan terbatas , pendirian yayasan, atau koperasi.

Tugas pokok dan jenis akta tanah yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah dalam PP No.37/1998 adalah:

1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hokum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hokum itu.

2) Perbuatan hukumnya:

- Jual beli - Tukar menukar - Hibah - Pemasukan kedalam perusahaan (inbreng) - Pembagian hak bersama - Pemberian hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik - Pemberian hak tanggungan - Pemberian kuasa membebankan hak tangggungan.

KELOMPOK 11

HUKUM KOMERSIAL

OLEH:

HAFID YUDA MATINU (105020207111063) AHMAD MEILANI (105020205111005) SELLYNDAH PRIMADANI P. (115020207111068)

MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2012

Hukum Jaminan Pengertian Jaminan . Jaminan adalah sesuatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan dalam bentuk pinjaman uang. . Jaminan menurut kamus diartikan sebagai tanggungan {Wjs Poerwadarminta, Kamus umum Bahasa Indonesia}.

Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari security of law, zekerheidstelling, atau zekerheidsrechten. Istilah hukum jaminan meliputi jaminan kebendaan maupun perorangan. Jaminan kebendaan meliputi utang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan hipotek. Sedangkan jaminan perorangan, yaitu penanggungan utang (borgtocht).

Hukum Jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan atau debitur dengan penerima jaminan

Berdasarkan pengertian di atas, unsur-unsur yang terkandung didalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut :

1. Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan hukum jaminan yang tertulis adalah ketentuan hukum yang berasal dari peraturan perundangundangan, termasuk yurisprudensi, baik itu berupa peraturan yang original (asli) maupun peraturan yang derivatif (turunan). Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis adalah ketentuan hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan pembebanan utang suatu jaminan. 2. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu, yang menyerahkan suatu kebendaan tertentu sebagai (benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur).

3. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur. 4. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.

Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia dikelompokkan menjadi :

(1) Menurut cara terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena undang-undang dan perjanjian; (2) Menurut sifatnya, yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan bersifat perorangan; (3) Menurut kewenangan menguasainya, yaitu jaminan yang menguasai bendanya dan tanpa menguasai bendanya, (4) Menurut bentuk golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus

Pengertian Jaminan Produk (Garansi) Jaminan Produk atau yang lazim disebut dengan kata Garansi adalah surat keterangan dari suatu produk bahwa pihak produsen menjamin produk tersebut bebas dari kesalahan pekerja dan kegagalan bahan dalam jangka waktu tertentu. Biasanya pelanggan sebagai pengguna terakhir dan penjual melengkapi pengisian data pada surat keterangan tersebut untuk kemudian dikirim ke produsen agar didaftarkan tanggal mulai periode jaminan produk atau pun garansinya.

Misalnya laptop, maka jaminan yang dimaksud adalah jaminan atau garansi bahwa barang barang yang dibeli sesuai dengan standar kualitas produk laptop. Jika standart itu tidak dipenuhi, makapembeli atau konsumen dapat memperoleh ganti rugi dari pihak produsen / penjual. Istilah jaminan produk dalam Bahasa Inggris sering kita dengar dengan kata warranty.

Macam Macam Jaminan Produk (Garansi)

Jaminan atas kualitas produk dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sebagai berikut :

1. Express Warranty (Jaminan secara tegas)

Express Warranty adalah suatu jaminan atas kualitas produk, baik dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dengan adanya express warranty ini, berarti produsen sebagai pihak yang menghasilkan barang (produk) dan juga penjual sebagai pihak yang menyalurkan barang atau produk dari produsen atau pembeli bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya terhadap adanya kekurangan atau kerusakan dalam produk yang dipasarkan. Dalam hal demikian, konsumen dapat mengajukan tuntutannya berdasarkan wan prestasi.

2. Implied Warranty

Implied warranty adalah suatu jaminan yang dipaksakan oleh undang undang atau hukum, sebagai akibat otomatis dari penjualan barang barang dalam keadaan tertentu. Jadi, dengan implied warranty dianggap bahwa jaminan ini selalu mengikuti barang yang dijual, kecuali dinyatakan lain. Misalnya, kewajiban penjual untuk menanggung cacat tersembunyi (verborgen gebrek) pada barang yang dijualnya, meskipun ia tidakmengetahui adanya cacat tersebut, kecuali ia dalam keadaan demikian telah minta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung suatu apapun (pasal 1506 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata)

Jaminan Produk (Garansi) sebagai Bentuk Layanan Purna Jual Dalam pengertian dan prakteknya, jaminan produk baru dapat menjalankan fungsinya sebagai penjamin atas kualitas atau mutu barang pada saat setelah proses jual beli terlaksana. Sebab perjanjian jaminan Produk merupakan perjanjian assesoir atau perjanjian yang mengikuti perjanjian lain. Jadi tanpa adanya perjanjian atau kesepakatan sebelumnya, misalnya jual beli maka tidak akan ada pulalah perjanjian jaminan produk atau

garansi. Bentuk jaminan yang baru dapat berjalan fungsinya setelah terjadinya proses jual beli ini disebut bentuk Layanan Purna Jual (after sales). Layanan Purna Jual adalah jasa yang ditawarkan oleh Produsen kepada konsumennya setelah transaksi penjualan dilakukan sebagai jaminan atas kualitas atau mutu produk yang ditawarkannya. Layanan purna jual tidak terbatas hanya pada produk konkret, namun produk abstrak seperti pendidikan pun oleh produsen (misalnya universitas) kadang kadang memiliki layanan purna jual, dimana mahasiswa dijanjikan mendapatkan pekerjaan setelah lulus dengan berbagai macam saluran untuk mencari pekerjaan yang disediakan. Layanan purna jual dimaksudkan bertujuan untuk menjaga minat konsumen atau calon konsumen dan memperluas sikap positif dari keunggulan produk yang telah dijanjikan. PERJANJIAN JAMINAN . Perjanjian jaminan adalah perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian pokok. . Sifat perjanjian jaminan adalah bersifat accesoir. . Sifat Accesoir karena timbulnya perjanjian jaminan dikarenakan adanya perjanjian pokok, sehingga perjanjian jaminan tidak akan ada bila tidak ada perjanjian pokok. JAMINAN DALAM KUHPERDATA . Dalam KUHPerdata, jaminan merupakan hak kebendaan dan merupakan bagian dari hukum benda yang diatur dalam Buku II KUHPerdata. . Dilihat dari sistematika KUHPerdata maka seolah-olah hukum jaminan hanya merupakan jaminan kebendaan saja, karena pengaturan jaminan kebendaan terdapat dalam buku II tentang benda, sedangkan perjanjian jaminan perorangan (persoonlijke zekerheids rechten, personal guaranty) seperti perjanjian

penangungan ( borgtocht) di dalam KUHPerdata merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam buku III tentang perikatan. . Sebenarnya baik perjanjian jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan keduanya timbul dari perjanjian, hanya dalam sistematika KUHPerdata dipisahkan letaknya, maka seakan2 hanya jaminan kebendaan yang merupakan obyek hukum jaminan. Menurut KUHPerdata Jaminan terbagi dua yaitu, Jaminan Umum dan Jaminan Khusus 1. Jaminan Umum adalah : Jaminan yg lahir karena ketentuan UU. Dasar Hukum Jaminan Umum adalah Pasal 1131 BW. Menetapkan bahwa segala kebendaan si berutang (debitor) baik yang bergerak maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa kekayaan seorang dijadikan JAMINAN untuk semua kewajibannya, yaitu semua utangnya. Inilah yang oleh Hukum Jerman dinamakan Haftung.

2. Jaminan Khusus adalah Jaminan yang lahir karena diperjanjikan. Dasar hukum Jaminan Khusus adalah Pasal 1133 dan Ps. 1134 BW. Misalnya : Pak roni seorang pengusaha di bidang garmen meminjam uang kepada Bank BCA sebesar RP. I MILYAR dengan jaminan rumah dan tanah yang ia miliki. (Hak Tanggungan). Jaminan Kebendaan adalah adanya benda tertentu yang diikat secara khusus. . Misalnya : Pak wisnu pinjam uang ke BANK Mandiri dengan jaminan sertifikat hak atas tanahnya yang luas 2000 m2 (Hak Tanggungan) Jaminan Perorangan adalah adanya kesanggupan pihak ke tiga untuk memenuhi kewajiban (utang) debitur apabila debitur wanprestasi. Contoh Jaminan Perorangan

. Bu Aminah seorang dosen Fakultas Hukum meminjam uang sebesar Rp. 30 juta dengan jaminan Rektornya . Si ani seorang buruh pabrik meminjam uang pada Bank Mandiri sebesar 5 juta yang menjamin adalah Direkturnya. . Jadi dalam hukum jaminan perorangan harus ada hubungan antara si peminjam dengan si penjamin yaitu hubungan antara atasan dan bawahan dan hubungan antara buruh dan majikan. Hukum jaminan ada, jika ada perjanjian antara kreditur (pemilik piutang) dengan debitur (penghutang) biasanya dalam pinjam meminjam uang. Jaminan bisa ada/bisa tidak ada tergantung dari kepercayaan si kreditur. Jaminan dengan hak perorangan yaitu apabila orang yang menjamin (memberikan jaminan) meninggal, maka tidak ada jaminan lagi, sedangkan jaminan dengan hak kebendaan, sampai kapan pun jaminan tersebut melekat pada bendanya. Beberapa hal penting: 1. Jaminan merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, sehingga terdapat kepastian pelunasan utang serta adanya pelaksanaan atas suatu prestasi. 2. Hukum jaminan adalah perangkat hukum yang mengatur tentang jaminan dari pihak debitur ataupun dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur/pelaksanaan suatu pretsasi. 3. Hukum jaminan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan pada umumnya, maksudnya jaminan tagihan kreditur atas utang debitur. 4. Hak jaminan adalah hak yang memberikan kepada si pemegang hak (kreditur) suatu kedudukan yang lebih baik daripada kreditur lain. 5. Perjanjian jaminan - Merupakan perjanjian accesoir, yaitu perjanjian yang melekat pada perjanjian pokok. - Timbul dan hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya. - Mengabdi kepada perjanjian pokok dan diadakan untuk kepentingan perlakuan pokok serta memberikan kedudukan yang kuat dan aman bagi kreditur.

- Perjanjian jaminan tidak mungkin ada apabila tidak ada perjanjian pokoknya karena perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri. Hipotik Hipotik digunakan untuk benda tidak bergerak, sedangkan jaminannya tetap berada di bawah kekuasaan debitur. Pand/gadai Pand/gadai digunakan untuk benda bergerak, sedangkan jaminannya tetap berada di bawah kekuasaan kreditur. Fidusia Fidusia digunakan untuk benda bergerak maupun tidak bergerak. Jaminan fidusia lahir karena pada prakteknya ada hal-hal yang tidak dapat terakomodasi dengan hipotik dan gadai, misalnya saja dari bidang-bidang usaha seperti rumah makan, kafe, dan lain-lain. Sedangkan untuk benda tidak bergerak, yang menjadi objeknya adalah benda yang bukan merupakan objek hak tanggungan. Fiduciare Eigendome Overdracht (FEO). -Penyerahan Hak Milik Berdasarkan KepercayaanHukum adat mengandung asas horizontal, yaitu bahwa tanah dan segala sesuatu yang terdapat di bawahnya bukan merupakan satu kesatuan, sedangkan hukum barat mengandung asas vertikal, yaitu bahwa tanah dan segala sesuatu yang terdapat di bawahnya merupakan satu kesatuan.

Pengaturan hukum jaminan a. Di dalam KUH Perdata Buku II : Jaminan Kebendaan (Zakelijk Zekerheidsrecht) - Gadai (Pasal 1150-1160 KUH Perdata). - Hipotik Kapal (Pasal 1162-1232 KUH Perdata).

Buku III : Jaminan Perorangan (Persoonilijke Zekerheids) - Perjanjian pertanggungan (Pasal 1820-1850 KUH Perdata) b. Di luar KUH Perdata - Hak Tanggungan (UU No. 4 tahun 1996) - Fidusia (UU No. 42 tahun 1999)

Hukum Lelang
Oleh : Ahmad Sarwat, Lc Di dalam literatur fiqih, lelang dikenal dengan istilah muzayadah. Dari kata ziyadah yang artinya bertambah. Muzayadah berarti saling menambahi. Maksudnya, orang-orang saling menambahi harga tawar atas suatu barang. Dan sebagaimana kita tahu, dalam prakteknya dalam sebuah penjualan lelang, penjual menawarkan barang di kepada beberapa calon pembeli. Kemudianpara calon pembeli itu saling mengajukan harga yang mereka inginkan. Sehingga terjadilah semacam saling tawar dengan suatu harga. Penjual nanti akan menentukan siapa yang memang, dalam arti yang berhak menjadi pembeli. Biasanya pembeli yang ditetapkan adalah yang berani mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual. Hukum Lelang Ada pendapat ulama yang membolehkan hukum lelang, tapi ada juga yang memakruhkannya. Hal itu karena memang ada beberapa sumber hukum yang berbeda. Ada hadits yang membolehkannya dan ada yang tidak membolehkannya. a. Yang Membolehkan Yang membolehkan lelang ini adalah jumhur (mayoritas ulama). Dasarnya adalah apa yang dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW di masa beliau hidup. Ternyata beliau juga melakukan transaksi lelang dalam kehidupannya. Di antara hadits yang membolehkannya antara lain : .... ...... .... ....... ..... .. . .... .... ............ ..... ..... ........ ...... ....... ........ ......... .......... ....... .... ... ........ ...... ..... ..... .... . . ...... . . ........ ...... . . . . ........ ...... . . ...... . . ..... ........ ..... ........ ....... ..... ......... ....... ........ . .... .. . .. . . ....... ...... ....... ........ ......... ........ .... ..... .... ......... ........ ....... .. . . . . ..... . . . . . . .... .......... ..... .... ..... . . ..... ........ .......... .... ........ ..... .. . . . . ..... . . . . . . .... .............. ......... . .... ....... ........ .............. ......... . .... .............. Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu? Lelaki itu menjawab,Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air. Nabi saw berkata,Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku. Lelaki itu datang

membawanya. Nabi saw bertanya, Siapa yang mau membeli barang ini? Salah seorang sahabat beliau menjawab,Saya mau membelinya dengan harga satu dirham. Nabi saw bertanya lagi,Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal? Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,Aku mau membelinya dengan harga dua dirham. Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) Hadits ini menjadi dasar hukum dibolehkannya lelang dalam syariah Islam. Lantaran Nabi SAW sendiri mempraktekkannya. Sehingga tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Kebolehan transaksi lelang ini dikomentari oleh Ibnu Qudamah sebagai sesuatu yang sudah sampai ke level ijma' (tanpa ada yang menentang) di kalangan ulama. b. Yang Memakruhkan Namun ternyata ada juga ulama yang memakruhkan transaksi lelang. Di antaranya Ibrahim an-Nakha`i. Beliau memakruhkan jual beli lelang, lantaran ada dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata, .... .... .... ... .... .... .... .. .. ... ........ Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR Al-Bazzar). Sedangkan Ibnu Sirin, Al-Hasan Al-Basri, Al-Auza'i, Ishaq bin Rahawaih, memakruhkannya juga, bila yang dilelang itu bukan rampasan perang atau harta warisan. Maksudnya, kalau harta rampasan perang atau warisan itu hukumnya boleh. Sedangkan selain keduanya, hukumnya tidak boleh atau makruh. Dasarnya adalah hadits berikut ini : .. ..... . ..... ...... ....... .... . .... : ..... .. . ... ....... ...... ....... ........ ......... .... ....... .... . . . ... ..... ...... ...... ..... ...... ...... ........... ............... Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAw melarang seseorang di antara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia meninggalkannya, kecuali rampasan perang dan waris. Sayangnya, banyak yang mengkritik bahwa keuda hadits di atas kurang kuat. Dalam hadits yang pertama terdapat perawi bernama Ibnu Luhaiah dan dia adalah seorang rawi yang lemah (dha`if). Sedangkan hadits yang kedua, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan hadits itu dhaif. (Lihat Fathulbari 4 : 354) Untuk itu, menurut jumhur ulama, kesimpulannya masalah lelang ini dibolehkan, asalkan memang benar-benar seperti yang terjadi di masa Rasulullah SAW. Artinya, lelang ini tidak bercampur dengan penipuan, atau bercampur dengan trik-trik yang memang dilarang. .

Prosedur Lelang Wednesday, 21 October 2009 07:44 Prosedur standar pelaksanaan lelang dibagi menjadi 3 (tiga) tahap sebagai berikut: 1. PRA LELANG Rangkaian kegiatan yang harus dilakukan sebelum hari lelang dan merupakan bagian yang harus dipersiapkan secara matang dan profesional guna mengoptimalkan hasil lelang. - Penandatanganan Kerjasama (MOU/SPK) Pihak penjual mentandatangani kerjasama dengan kami yang dituangkan dalam suatu MOU/SPK sebagai perintah kerja untuk melakukan penjualan aset secara lelang yang dilampiri data aset yang akan dilelang, Surat Kuasa dan Surat Pernyataan. - Penerimaan Dokumen Seluruh copy dokumen mengenai aset yang akan dilelang diberikan oleh penjual/pemilik aset dan dikumpulkan oleh kami, dimana dokumen aset tersebut menjadi dasar/landasan transfer of ownership (perpindahan kepemilikan). Dokumen-dokumen yang diperlukan adalah dokumen legal dengan perincian sebagai berikut: - LELANG SUKARELA - PROPERTI 1. Sertifikat Tanah (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dll). 2. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). 3. Bukti pembayaran PBB 3 tahun terakhir & rekening 3 bulan terakhir (PAM, Listrik, Telepon). 4. Polis asuransi gedung (jika ada). 5. Denah bangunan/lantai (floor plan), dimensi/ukuran. 6. Surat Kuasa & Surat Pernyataan. - NON PROPERTI 1. BPKB & STNK. 2. Faktur kendaraan & buku keur (jika ada). 3. Sertifikat/bukti kepemilikan yang lain. 4. Surat Kuasa & Surat Pernyataan. - LELANG EKSEKUSI - HAK TANGGUNGAN 1. Salinan/copy Perjanjian Kredit. 2. Salinan/copy Sertifikat Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan. 3. Salinan/copy bukti bahwa debitur wanprestasi yang dapat berupa peringatanperingatan maupun pernyataan dari pihak kreditur. 4. Surat Pernyataan dari kreditur yang akan bertanggungjawab apabila terjadi gugatan. - FIDUCIA 1/5

Prosedur Lelang Wednesday, 21 October 2009 07:44 1. Salinan/copy Perjanjian Fiducia. 2. Salinan/copy Sertifikat Fiducia dan Pemberian Hak Fiducia. 3. Surat Keterangan dari Kantor Pendaftaran Fiducia. 4. Salinan/copy bahwa debitur wanprestasi yang dapat berupa peringatan-peringatan maupun pernyataan dari kreditur. 5. Surat Pernyataan dari kreditur bahwa barang yang akan dilelang dalam pengurusan kreditur. 6. Surat Pernyataan dari kreditur yang akan bertanggungjawab apabila terjadi gugatan. - PENETAPAN PENGADILAN 1. Salinan/copy putusan dan/atau penetapan pengadilan. 2. Salinan/copy penetapan sita oleh Ketua Pengadilan. 3. Salinan/copy berita acara sita dan bukti sita. 4. Salinan/copy penetapan aanmaning/teguran dari Ketua Pengadilan Negeri. 5. Salinan/copy perincian hutang/jumlah yang harus dipenuhi. 6. Salinan/copy pemberitahuan lelang kepada termohon eksekusi. 7. Surat Pernyataan dari Pemilik Barang/Vendor bahwa obyek lelang tidak disertai bukti kepemilikan dengan disertai alasannya. - Pengecekan Aspek Hukum Dokumen yang diterima selanjutnya akan dipergunakan dalam pengecekan data dan aspek hukumnya sebagai berikut: - Pembuatan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) Khusus aset properti, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) harus didapati dari Kantor Pertanahan setempat guna menjual aset tersebut melalui lelang. SKPT digunakan sebagai bukti apakah aset tersebut terdapat permasalahan atau tidak untuk menjamin proses balik nama sertifikat ke calon pembeli. - Pengecekan Ke Tata Kota Apabila diperlukan, kami akan meminta keterangan ke Dinas Tata Kota setempat untuk melihat kesesuaian bangunan/konstruksi dengan peraturan dan/atau peruntukkan yang berlaku terutama peruntukkan tanahnya untuk selanjutnya kami akan memberikan informasi tersebut kepada calon pembeli. - Pengecekan/pemblokiran ke Instansi Terkait Setiap aset non properti dilakukan pengecekan terutama guna mendapatkan keabsahan kepemilikan aset untuk menjamin kepastian hukum bagi pembeli mengingat barang bergerak mudah sekali perpindahan kepemilikan. - Peninjauan dan Penilaian Aset Berdasarkan data dan dokumen yang kami terima, maka kami akan melakukan peninjauan aset dengan tujuan sebagai berikut: - Memastikan bahwa kondisi bangunan/fisik aset tersebut cocok dengan dokumen pendukungnya. - Khusus aset properti, meneliti lokasi dan lingkungan sebagai bahan masukan dalam 2/5

Prosedur Lelang Wednesday, 21 October 2009 07:44 pertimbangan nilai dan marketability property tersebut. - Penilaian terhadap aset tersebut untuk menentukan harga limit pada pelaksanaan lelang. Harga limit adalah harga minimal barang lelang yang ditetapkan oleh penjual/pemilik barang untuk dicapai dalam suatu pelelangan. - Penjelasan dan Pemasaran Aset Dibuat rangkuman atau penjelasan secara menyeluruh mengenai keunikan setiap aset yang akan dijual melalui lelang untuk keperluan pemasaran. Sebelum dilaksanakan lelang, para calon pembeli dipersilakan untuk melakukan peninjauan aset yang akan dijual (open house) guna mendapatkan data atau gambaran terhadap aset yang akan dilelang tersebut. - Pengumuman Lelang Berdasarkan undang-undang yang berlaku, lelang harus diumumkan dengan memuat syarat-syarat peserta lelang, penyetoran jaminan, open house dan cara pembayaran. - Lelang Eksekusi: - Barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali, yaitu : - Pengumuman I ke pengumuman II sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hari pengumuman II. - Pengumuman II sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari sebelum hari pelaksanaan lelang. - Barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali sekurang-kurangnya 6 (enam) hari sebelum hari pelaksanaan lelang. - Kecuali untuk barang-barang yang lekas busuk, rusak dan barang berbahaya dapat dilakukan kurang dari 6 (enam) hari, tetapi tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari kerja, dan khusus untuk ikan dan sejenisnya tidak boleh kurang dari 1 (satu) hari kerja. - Lelang Noneksekusi Sukarela: - Barang tidak bergerak dilakukan 1 (satu) kali sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari sebelum hari pelaksanaan lelang. - Barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali sekurang-kurangnya 5 (lima) hari sebelum hari pelaksanaan lelang. - Barang bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang tidak bergerak berlaku ketentuan yang pertama. - Peserta Lelang Untuk dapat menjadi peserta lelang, setiap peserta harus menyetor uang jaminan penawaran lelang, paling sedikit 20% dan paling banyak 50% dari harga limit. Dilarang menjadi peserta lelang / pembeli : Pejabat Lelang, Penjual, Pemandu Lelang, Hakim, Jaksa, Juru Sita, 3/5

Prosedur Lelang Wednesday, 21 October 2009 07:44 Pengacara/ Advokat, Notaris, PPAT, Penilai, Pegawai DJPLN, Pegawai Balai Lelang dan Pegawai Pejabat Lelang Kelas II, dan pihak yang tereksekusi/debitur/tergugat/terpidana yang terkait dengan proses lelang tersebut. 2. PELAKSANAAN LELANG Rangkaian kegiatan yang dilakukan dan merupakan puncak dari seluruh kegiatan lelang setelah melewati tahapan pra lelang. - Hari Lelang Sebelum lelang dilaksanakan, peserta lelang wajib melakukan: - Penyetoran uang jaminan yang telah ditentukan. - Calon pembeli wajib mengetahui hak dan kewajibannya, termasuk pembayaran biaya/pajak yang dikeluarkan sesuai peraturan yang berlaku. - Memastikan bahwa aset yang akan dibeli sudah dilihat dalam kondisi sebagaimana adanya untuk menghindari keluhan di kemudian hari. - Metode Lelang - LELANG LISAN 1. Dilaksanakan dengan cara mengundang khalayak ramai sebagai calon pembeli. 2. Harga limit langsung ditawarkan kepada calon pembeli. 3. Kenaikan harga dipandu oleh Pemandu Lelang. 4. Calon pembeli yang setuju akan mengangkat panel bid tanda setuju demikian seterusnya sampai tersisa satu pembeli pada harga yang tertinggi dan dinyatakan sebagai pemenang lelang. - LELANG TERTULIS 1. Calon pembeli harus melakukan penawaran secara tertulis. 2. Dimasukkan ke dalam amplop tertutup selambat-lambatnya pada batas waktu yang ditentukan oleh kami. 3. Calon pembeli harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. 4. Pada hari yang telah ditentukan kotak penawaran akan dibuka, penawar tertinggi akan dinyatakan sebagai pemenang. - Pemenang Lelang Setelah pelaksanaan lelang selesai pemenang lelang akan diberikan Berita Acara Pemenang Lelang. Selanjutnya pemenang lelang menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan persyaratan lelang. Apabila pemenang lelang telah menyelesaikan seluruh kewajibannya maka diberikan Risalah Lelang. Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi para pihak. 4/5

Prosedur Lelang Wednesday, 21 October 2009 07:44 3. PURNA LELANG - Jika terdapat keberatan atau complain dari pemenang lelang, maka keberatan ditujukan kepada kami dimana kami akan berkonsultasi dengan pihak penjual untuk menyelesaikan masalah yang ada. - Layanan purna jual kepada pemenang dan penjual meliputi proses pelunasan, penyetoran pajak bea lelang, serah terima objek lelang dan laporan akhir lelang. - Bagi pemenang lelang, kami memberikan jasa Balik Nama Sertifikat ke BPN dengan biaya sesuai tarif yang berlaku. 5/5

PERATURAN LELANG PERATURAN PENJUALAN DI MUKA UMUM DI INDONESIA (Ordonansi 28 Pebruari 1908, S. 1908-189, berlaku sejak 1 April 1908) (Dg. S. 1940-56 jo. S. 1941-3, pasal 1 Peraturan ini telah diganti dengan pasal 1, la, lb.) Pasal 1. Untuk penerapan peraturan ini dari peraturan pelaksanaan yang telah dan akan ditetapkan berdasarkan peraturan ini, yang dimaksud dengan "peniualan umum" (openbare verkopingen) adalah pelelangan atau peniualan barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan penawaran harga yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau peniualan itu, atau diizinkan untuk ikut-serta, dan diberi kesempatan untuk menawar barga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup. (Vendu-regl. Ib, 94.5.) 1a. Tanpa mengurangi ketentuan alinea berikut dalam pasal ini, peniualan di muka umum tidak boleh dilakukan selain di hadapan juru lelang. Dengan peraturan pemerintah, penjualan umum dapat dilakukan tanpa carnpur tangan juru lelang. (S. 1940-503; S. 1941-546.) Barangsiapa berbuat bertentangan dengan ketentuan pasal ini, akan didenda sebanyakbanyaknya

sepuluh ribu gulden; tindak pidananya dipandang sebagai pelanggaran. Bila perbuatan termaksud dalam alinea yang lalu dilakukan oleh suatu badan hukum, maka tuntutan pidana akan diaiukan dan hukuman akan dijatuhkan terhadap anggota-anggota pengurusnya yang ada di Indonesia, atau jika anggota-anggota itu tidak ada, terhadap wakil-wakil badan hukum itu di Indonesia. Ketentuan alinea yang lalu berlaku juga terhadap badan-badan hukum yang bertindak sebagai pengurus atau sebagai wakil badan hukum lain. 1b. Cara menyelenggarakan pelelangan ditentukan oleh peniual. (Vendu-regl. 94.5.) Mengenai barang-barang yang sudah dilelang tetapi belum acta penawaran harga yang disetujui, peniual dapat meminta agar cara pelelangannya diubah. 2. (s.d.u. dg. S. 1917-262; S.1940-56jo. S. 1941-3.) Lelang yang diadakan oleh orang yang dikuasakan oleh juru lelang, dianggap dilakukan oleh juru lelang sendiri. 3. (s.d.u. dg. S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Juru lelang terbagiatas dua kelas. Orang-orang dari golongan jabatan mana yang termasuk masing-masing kelas, hal itu ditetapkan oleh pemerintah (Gubemur Jenderal). Tempat kedudukan para juru lelang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (Directeur van Financien), dernikian pula tempat-tempat yang juga dianggap sebagai tempat kedudukan para juru lelang, sejauh mengenai pelaksanaan daftar biaya termaksud dalam pasal 44 peraturan ini, Selanjutnya, harus ditentukan pula termasuk golongan manakah para pejabat terrnaksud dalam alinea kedua di atas, yaitu para juru lelang yang berkedudukan ditempat-tempat tersebut, di mana batas daerah masing-masing, dan para pejabat manakah yang ditugaskan untuk mengawasi setiap daerah tersebut. 4. (s.d.u. dg. S. 1940-537 jo. S. 1941-3.) Kecuali dalam hal yang ditetapkan pada alinea berikut, tagihan yang tirnbul dari penjualan yang dilakukan di hadapan juru lelang atas beban pembeli harus dibayar kepada pemerintah, yang wajib membayar basil penjualan kepada penjual, dengan memperhatikan ketentuan pasal 34. Jika penjual mengadakan ketentuan di antara syarat-syarat penjualan, bahwa pembayaran oleh para pembeli tidak akan dilakukan kepada pemerintah, maka pemerintah tidak wajib membayar hasil lelang kepada penjual. (Vendu-regl. 19 dst., 21, 25, 31, 34, 42.)

5. Barangsiapa ingin mengadakan penjualan umum, wajib memberitahukan hal ini kepada juru lelang, atau di tempat-tempat di mana ditempatkan pemegang buku, kepada pemegang buku, dengan memberitahukan pada hari atau hari-hari apa penjualan hendak diadakannya. Permohonan-permohonan untuk itu harus ditulis dalam suatu daftar, yang dapat dilihat oleh orangorang yang berkepentingan atas permintaan mereka. Penjualan sedapat mungkin diadakan pada hari atau hari-hari yang diminta, dengan memperhatikan peraturan-peraturan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah mengenai hal itu. Bila dalam suatu hari permohonan yang diajukan lebih banyak daripada yang dapat dilaksanakan, maka perrnohonanperrnohonan untuk hari tersebut dilaksanakan menurut urutan waktu; peniualan eksekusi dan peniualan perabot rumah tangga (inboedel) orang yang akan pindah mempunyai hak didahulukan, jika perrnohonan untuk itu diajukan sekurang-kurangnya delapan hari sebelum hari yang dikehendaki.

(s.d.u. dg. S. 1940-56 jo. S. 1941-3.) Urituk penjualan-penjualan selain penjualan harta kekayaan dan penjualan yang diadakan berdasarkan alinea kelima pasal 9, tak seorang pun dapat memperoleh lebih dari satu hari lelang atau penjualan dalam jangka waktu empat belas hari, jika karenanya penjualan yang lainnya harus diundurkan. Jika suatu penjualan tidak dapat dilaksanakan pada hari yang diminta, maka hal itu harus diberitahukan secepat mungkin kepada pemohon. (s.d.u. dg. S. 1935-453.) Semua persoalan yang tirnbul dalarn menerapkan pasal ini dan pada umumnya pertanyaan mengenai penjualan manakah yang dipandang sebagai penjualan perabot rumah tangga orang-orang yang akan pindah atau sebagai penjualan harta orang-orang yang meninggal, diputuskan oleh pengawas kantor lelang negeri. 6. (s.d.u. dg. S. 1935-453.) Jika perlu, pengawas kantor lelang negeri boleh menentukan peniualan barang-barang tidak bergerak, usaha-usaha pertanahan di atas tanah sewa, kapal yang isinya dua puluh meter kubik atau lebih, dan efek (surat-surat berharga) pada suatu hari tertentu dalam satu rninggu. (Vendu-regl. 204.) Penjualan tidak boleh dilakukan pada hari Minggu dan hari besar. 7. Juru lelang tidak berwenang menolak permintaan akan perantaraannya untuk mengadakan penjualan umum di daerahnya. 8. (s.d.u. dg. S. 1910-467; S. 1912-583; S. 1935-453.) Pengawas kantor lelang negeri harus menentukan peraturan umum mengenai jarn berapa penjualan harus dimulai, dan jarn berapa penjualan dapat dihentikan oleh juru lelang. Dari peraturan tersebut, atas permintaan dari pemohon dan dengan persetujuan pengawas kantor lelang negeri, dapat diadakan penyimpangan mengenai jam mulainya penjualan. Jika penjualan dilanjutkan atas permintaan penjual sesudah dapat dihentikan oleh juru lelang atau kuasanya, maka mereka, sarna seperti dalam mengadakan lelang di waktu malam seperti yang disebut dalam alinea berikut, dapat meminta bayaran tambahan kepada penjual untuk diri sendiri dan untuk pegawai lelang bawahannya menurut tarif yang ditentukan oleh kepala pemerintah daerah (I), tanpa mengurangi ketentuan alinea terakhir dalam pasal ini Juru lelang dapat menagih pembayaran di muka, kecuali jika penjualnya adalah pemerintah. (Vendu-regl.44.)

Untuk barang-barang tersebut dalam pasal 6, buku-buku dan barang-barang kesenian atau ilmu lain, serta harta kekayaan, pengawas kantor lelang negeri dapat mengizinkan lelang pada malam hari, dengan pengertian, bahwa izin untuk itu dapat diberikan hanya jika hal itu tidak memberatkan juru lelang dan bawahannya, berhubung dengan pekerjaan yang harus mereka lakukan pada siang hari. Pembayaran tambahan terrnaksud dalam pasal ini hanya diperhitungkan untuk penjualan lanjutan dan lelang malam yang diadakan di luar tempat kedudukan juru lelang atau tempat kediamanannya. 9. Pengawas kantor lelang negeri harus menentukan tawaran paling rendah untuk pelelangan dengan harga meningkat dan tawaran paling tinggi untuk pelelangan dengan harga menurun. Dalam hal penjualan dengan memasukkan tawaran dalam sampul tertutup, juru lelang atau kuasanya akan menentukan kapan harga penawaran harus dimasukkan kepadanya. Penawaran harga ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Latin dan berisi nama, nama kecil, pekerjaan dan tempat tinggal orang yang memasukkan tawaran tertulis; harga yang ditawar dibulatkan dalam rupiah dan sen, ditulis dengan huruf menurut kebiasaan dan ditandatangani oleh orang yang memasukkan tawaran. Juru lelang atau kuasanya dapat menolak seseorang yang mengajukan lebih dari satu sampul penawaran untuk pelelangan yang sarna. (s.d.u. dg. S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Jikajuru lelang atau kuasanya, sesuai dengan ketentuan alinea kedua pasal lb, mengganti cara pelelangan dengan yang lain, maka batallah penawaran yang sudah diajukan mengenai barang-barang yang bersangkutan, tanpa mengurangi ketentuan alinea kelima dalam pasal ini. (s.d.t. dg. S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Jika dalarn syarat-syarat suatu penjualan termaksud dalam alinea pertama pasal 6 ditentukan bahwa pelelangan dengan penawaran menaik dalarn satu bulan sesudah mulai akan diikuti oleh pelelangan dengan penawaran menurun, atau sebaliknya, maka penawaran atau persetujuan yang sudah dilakukan, sejauh belum diberikan sebelumnya atau dihentikan, tetap mengikat sampai selesai penjualan, asal urutan cara pelelangan dan saat pelelangan yang kedua

disebut dalam syarat-syarat penjualan itu. Barangsiapa telah memasukkan tawaran tertulis, tidak dapat lagi menarik diri. 10. (s.d.u. dg. S. 1935-453.) Untuk penjualan umum, upah lelang dihitung menurut ketentuan peraturan pemerintah. Di samping itu, diatur pula penjualan yang diminta tetapi tidak dilangsungkan

pada hari yang telah ditetapkan untuk itu, dalam hal mana pembatalan yang tidak pada waktunya menimbulkan kewajiban membayar ganti rugi. (S. 1935-454.) 11-17. Dicabut dg. S. 1935-453. 18. (s.d.u. dg. S. 1934-27,511.) Dari orang-orang miskin hanya dipungut uang miskin. (s.d.u. dg. S. 1940-56 jo. S. 1941-3.) Tanpa mengurangi ketentuan alinea keempat pasal ini, jumlah uang rniskin untuk penjualan barang-barang tersebut dalam alinea pertama pasal 6 adalah empat perseribu dari jumlah harga penjualan. Untuk penjualan barang-barang bergerak lain daripada yang disebut dalam alinea kedua pasal ini, jumlah uang miskin adalah tujuh perseribu dari jumlah harga penjualan. Jika barang-barang termaksud dalam alinea kedua dijual dalam satu bagian dengan barang-barang termaksud dalam alinea ketiga, maka untuk semuanya, uang miskin harus dibayar menurut ketentuan alinea ketiga. 19. (s.d.u. dg. 8. 1934-27,511; S. 1935-453.) Upah 1elang, sejauh tidak ditentukan lain oleh peraturan pemerintah termaksud dalam pasal l0, dibayar oleh penjual. (Vide Rege1en vendusalaris pasal 1-4, 9, 10.) Uang miskin dibayar oleh pembeli, kecuali jika diperjanjikan bahwa harga pembelian tidak akan dibayar kepada pemerintah, dalam hal pengecualian ini uang miskin dibayar oleh penjual. Jika atau sejauh upah lelang yang harus dibayar oleh penjual tidak dapat diperhitungkan dengan cara yang ditentukan dalam pasa1 34, upah lelang, sebagaimana juga uang miskin yang harus dibayar oleh penjual, harus dibayar dalam delapan hari sesudah penjualan. Jika tidak membayar dalam jangka waktu tersebut, penjual didenda seperti menurut ketentuan pasal 23. (Vide Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. Kep. 476/MKII/7/1972 tanggal 3 Juli 1972, ayat (1).) 20. (s.d.u. dg. S. 1935-453.) Penjualan dilakukan sebagai berikut: 1. untuk barang-barang bergerak yang tidak disebut dalam pasal 6, yang tidak dijual dengan contoh, atau atas permintaan pemerintah, atau dengan perjanjian, bahwa harga pembelian tidak dibayar

kepada pemerintah, penjualan dilakukan di tempat barang-barang itu berada, kecuali bila pengawas kantor lelang negeri memutuskan lain; 2. untuk semua barang-barang lain, penjualan dilakukan di tempat yang diinginkan oleh penjual. Rumah-rumah lelang pemerintah, dengan izin pengawas kantor lelang negeri, dapat digunakan untuk mengadakan penjualan. Penjualan dengan contoh tidak boleh diadakan tanpa seizin pengawas kantor lelang negeri. Dalam penjualan seperti itu, contoh-contoh harus disegel dengan cap oleh kantor lelang, oleh penjual dan satu atau dua di antara para pembeli, dan jika mereka yang disebut terakhlr menghendaki, contoh-contoh itu dapat disimpan di kantor lelang sampat dilakukan penyerahan. (s.d.u. dg. S. 1916-583; S. 1935-453.) Barang-barang termaksud dalam pasal 6, dengan pengecualian efek-efek atas tunjuk, tak boleh dijual kecuali sesudah juru lelang yakin, bahwa penjual memang berhak menjualnya. Bukti-bukti tentang hak menjual ini harus disampaikan kepada juru lelang, dan sekurang-kurangnya tiga hari sebelum penjualan, harus diperlihatkan kepada peminat di kantor lelang. (S. 1916-517.) (s.d.u. dg. S. 1916-583.) Efek alas tunjuk harus diserahkan pada waktu pelelangan; penjualan batal jika tidak dilakukan penyerahan pada waktu termaksud. Ketentuan-ketentuan ketiga alinea yang lalu tidak berlaku jika diperjanjikan bahwa harga pembelian tidak akan dibayarkan kepada pemerintah. (s.d.t. dg. 8. 1912-583jo. 8.1913-248; s.d.u. dg. S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Penjualan karena keputusan hakim berdasarkan pasal 197 Reglemen Indonesia, atau pasal 208 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura, mengenai barang-barang tidak bergerak yang disita, tidak dapat dilakukan kecuali jika kepada jum lelang diberikan bukti-bukti pengumuman penjualan, sekurangkurangnya tiga hari sebelum hari penjualan, atau yakin dengan cara lain bahwa pengumuman telah dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang. (Vendu-regl. 37 alinea l a nomor 3 dan alinea kedelapan.) 21. Syarat-syarat penjualan ditentukan oleh penjual. (s.d.u. dg. 8. 1935-453.) Perjanjian termaksud dalam alinea kedua pasal 4 hanya dapat dibuat dalam penjualan barang-barang tersebut dalam pasal 6 dan penjualan barang-barang dagangan dari tangan pertama seisin kayu. Perjanjian itu harus dibuat sedemikian rupa, sehingga sebelum penjualan, sudah

ada kepastian, apakah penjualan itu dilakukan menurut ketentuan alinea pertama atau alinea kedua pasal 4. Jika perjanjian tersebut tidak diadakan, maka berlaku ketentuan dua pasal berikut ini.

Ketentuan alinea yang lalu tidak berlaku untuk penjualan barang-barang pemerintah. 22. (s.d.u. dg. S. 1910-257; S. 1935-453.) Kecuali dalam hal termaksud dalam alinea pertama pasal 28, para pembeli harus membayar harga pembelian dan biaya yang menjadi beban mereka dalam waktu tiga bulan sesudah hari penjualan. Tetapi jika penjualan dilakukan dengan penangguhan pembayaran selama sepuluh hari hal ini hanya dapat diperjanjikan oleh penjual dalam penjualan barang dagangan dari tangan pertama seisin kayu atau dengan perjanjian pembayaran tunai, maka pembayaran harus dilakukan dalam jangka waktu yang diperjanjikan atau pada waktu penjualan. (s.d.t. dg. S. 1916-583.) Tanpa memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pembayaran dalam alinea pertama pasal ini, tagihan pemerintah terhadap pembeli dengan segera dapat dituntut: a. jika pembeli tidak membayar tunggakan dari satu utang lelang alan lebih pada teguran pertama yang ditujukan untuk itu; b. jika harta kekayaan atau barang-barang tidak bergerak kepunyaan pembeli dijual di muka umum, entah karena kehendaknya sendiri, atau karena keputusan hakim. (Vendu-regl. 232.) Dalam penjualan barang gadai, pengawas kantor lelang negeri yang bersangkutan harus menentukan apakah akan dilakukan dengan pembayaran tunai atau tidak. (s.d.u. dg. S. 1916-583; S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Apa yang hams dibayar oleh penjual sendiri sebagai pembeli barang-barang gadai, sedapat mungkin diperhitungkan dengan penghasilan yang diterimanya. (s.d.u. dg. S. 1935-453.) Jika penjualan dilakukan di depan juru lelang kelas II atau di depan orang yang dikuasakan olehnya, barang-barang yang tidak termasuk harta kekayaan orang yang meninggalkan tempat atau meninggal dan tidak dijual untuk pemerintah, atas perintah pengadilan atau atas perintah atau dengan izin halai harta peninggalan, harus dijual dengan pembayaran tunai, kecuali bila pengawas kantor lelang negeri memberikan izin tertulis untuk memperjanjikan, bahwa penjualan akan dilakukan dengan kredit. Pemerintah (Gubernur Jenderal) dapat menentukan bahwa di daerah atau bagianbagian daerah tertentu penjualan barang-barang termaksud dalam alinea yang lalu harus dilakukan dengan pembayaran tunai, tanpa membedakan di hadapan siapa dilakukan penjualan tersebut, kecuali jika di

sini pengawas kantor lelang negeri memberikan izin untuk memperjanjikan bahwa penjualan akan dilakukan dengan kredit. lzin tertulis seperti yang dimaksud dalam dua alinea yang lalu dan permintaan untuk itu bebas dari meterai. Pembayaran pada saat penjualan harus dilakukan kepada juru lelang atau kuasanya. Semua pembayaran lain juga harus dilakukan kepada juru 1elang, kecuali jika pegawai lain ditunjuk untuk menerimanya. 23. (s.d.u. dg. S. 1929-491; S. 1930-354.) Jika tidak dilakukan pembayaran dalam jangka waktu yang ditentukan, debitur yang bersangkutan akan didenda 2 % dari apa yang harus dibayarnya, dan bila sesudah satu bulan utang itu belum juga dibayar, denda akan dinaikkan menjadi 5%. (s.d.t. dg.8. 1916-583.) Dalam hal-hal termaksud pacta pasal 22 alinea kedua, denda mulai berlaku sesudah lampau jangka waktu pembayaran yang ditentukan dalam alinea pertama pasal tersebut. Denda tidak dihitung lagi sejak hari meninggalnya debitur, hila harts peninggalannya diterima dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta kekayaan; juga denda tidak bertarnbah selarna harta kekayaan debitur diurus oleh balai harta peninggalan. 24. Di atas hak istirnewa seperti dirnaksud dalarn pasal1 139 nornor 3 Kitab Undangundang Hukurn Perdata, rnengenai tagihan terhadap para pernbeli, pernerintah rnernpunyai hak istirnewa atas sernua barang bergerak dan tidak bergerak rnilik debitur dalarn urutan tingkatan sesudah utang-utang yang dalarn pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukurn Perdata diberi hak istirnewa. Hak istirnewa ini hapus setelah larnpau satu tahun sejak hari penjualan. 25. Kecuali dalarn hal penjualan yang disertai perjanjian, bahwa pernbayaran tidak akan dilakukan kepada pernerintah, apakah pernbayaran secara kredit diizinkan atau tidak, itu diserahkan kepada kebijaksanaan juru lelang. Dalarn pada itu, ia harus rnengurus pernbayaran kredit yang belurn lunas, yang diizinkan olehjuru lelang sebelurnnya, dan jika di ternpat yang bersangkutan terdapat lebih dari seorangjuru lelang, ia juga harus rnengurus pernbayaran kredit-kredit yang diizinkan oleh rekan-rekan sekerjanya itu, seolah-olah kredit-kredit itu diizinkannya sendiri. Setiap juru lelang bertanggungjawab atas pernbayaran secara kredit yang diizinkannya sendiri atau oleh kuasanya.

Pembayaran secara kredit, kecuali dalarn keadaan yang ditentukan dalarn pasal berikut, harus ditolak : 1. untuk mereka yang bekerja tetap sebagai pernbeli barang-barang lelang; 2. untuk rnereka yang belurn rnembayar lunas utang lelangnya;

3. untuk rnereka yang selarna dua belas bulan terakhir perlu diberi tindakan khusus supaya rnernbayar utang lelangnya. (s.d.t. dg. S. 1929-147.)Juru lelang tidak berwenang untuk rnengizinkan kredit bagi dirinya sendiri, dan sejauh rnengenai pelelangan di kantor lelang kelas 1, bagi pegawai kantor tersebut. 26. Kepada mereka yang rnenurut pendapat juru lelang tidak rnenunjukkan jarninan yang cukup untuk pelunasan utang, dan kepada orang-orang terrnaksud dalarn pasal 25 alinea kedua, izin kredit biasa dapat diberikan jika juru lelang yakin bahwa rnereka akan rnernenuhi kewajiban rnereka. Jarninan harus terdiri dari hipotek atas barang tidak bergerak, yang harganya tidak dibebani, sedikitnya sepertiga lebih dari jurnlah kredit, atau jarninan satu orang atau lebih yang rnenurut pendapat juru sita adalah orang yang terpandang, di luar orang-orang terrnaksud dalarn pasal 25. Setiap penjarnin barus rnengikatkan diri secara perorangan dengan rnelepaskan hak istirnewa akan hasil penjualan, dan jika lebih dari seorang rnenyatakan diri sebagai penjarnin, juga hak istirnewa akan pernbagian utang. Penjarnin dapat ditentukan dengan akta khusus atau dengan lisan sewaktu penjualan dilakukan. (s.d.u. dg. S. 1929-147.) Penjarninan dapat juga dilakukan dengan penyerahan buku tabungan pos sebagai gadai, asal saja jurnlah tabungan tersebut paling tidak sarna besar dengan jurnlah kredit, atau surat-surat berharga atas tunjuk oleh atau berdasarkan peraturan pernerintah, yang nilainya harus rnelebihi jurnlah kredit sekian persen rnenurut ketentuan peraturan pernerintah tersebut. (Vendu-instr. 13b, 13c; S. 1930-84.) (s.d.u. dg. S. 1929-147.)Penggadaian buku tabungan pos harus segera diberitahukan oleh juru lelang kepada direktur tabungan pos. 27. Kepada siapa pun tidak akan diberikan kredit blangko yang lebih dari dua puluh lima gulden. Barangsiapa rnenginginkan kredit yang lebih besar, barus rnelalui cara yang ditentukan dalarn pasal 26, yaitu rnengadakan jarninan untuk seluruh kredit. Ketentuan dalarn kedua alinea di atas tidak berlaku untuk penjualan hasil-hasil perusahaan pernerintah. 28. (s.d.u. dg. S. 1916-538.) Jika blangko kredit ditolak pacta seseorang yang kepadanya penjualan diizinkan, ia harus rnernberikan jarninan sesuai dengan ketentuan pasal 26 atau rnernbayar pada waktu penjualan. (Vendu-regl. 221.)

Jika hal itu tidak dipenuhinya, rnaka tidak boleh turut rnenawar untuk selanjutnya, dan yang telah dilelangkan barns dilelang kernbali. la bertanggung jawab terhadap penjual atas kekurangan, jika tawaran yang terjadi pacta pelelangan yang kedua kurang dari tawaran pada pelelangan yang pertarna. 29. Yang dianggap sebagai penawar tertinggi dalarn penawaran tertulis adalah orang yang rnernasukkan tawaran tertinggi yang diakui sah oleh juru lelang atau kuasanya, dan yang dianggap dapat diberi kredit oleh juru lelang atau kuasanya itu, atau jika tidak rnenghendaki kredit, yang rnernbayar secara tunai atau rnernberikan jarninan rnenurut ketentuan pasal 26. 30. Jika beberapa orang sarna-sarna rnernasukkan penawaran tertinggi atau sarnasarna rnenyetujui harga tertinggi, atau jika di antara tawaran-tawaran yang sah acta dua atau lebih yang sarnasarna rnerupakan tawaran tertingi, juru lelang atau kuasanya akan rnenentukan siapa penawar tertinggi. 31. Dalarn penjualan yang rnernuat perjanjian bahwa pernbayaran harga pernbelian tidak dilakukan pada pernerintah, pernberian atau penolakan kredit, penilaian jarninan para pernbeli dan pengarnbilan keputusan terrnaksud dalarn pasal.30, diserahkan kepada penjual. 32. (s.d.u. dg,.S. 1935-453; S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Penjualan barang-barang terrnaksud dalarn alinea pertarna pasal 6, dilakukan sejauh dengan syarat, bahwa pernbeli berhak rnenerangkan dengan akta notaris, untuk siapa ia rnernbelinya. Keterangan sernacarn itu, agar dikuatkan oleh orang yang untuknya dilakukan pernbelian, berakibat bahwa orang yang diberi keterangan itu dipandang sebagai pernbeli, jika keterangan tersebut, dalarn tiga bulan sejak hari diberikan, diperlihatkan kepada dan ditandatangani sebagai tanda diketahui oleh juru lelang, atau jika di kantor lelang acta pernegang buku, kepada dan oleh pernegang buku itu; dan dalarn hat acta pel\iarnin, keterangan itu hanya berakibat dernikian jika disetujui oleh penjarnin itu. Pernbeli pertarna dan penjarninnya tetap bertanggung jawab atas harga pernbelian dan biaya-biaya. 33. (s.d.u. dg. S. 1918-187.) Jika tagihan pernerintah yang tirnbul dari penjualan urnurn belurn dilunasi pada akhir tahun tirnbulnya tagihan, atau sejak dulu dianggap tidak dapat ditagih lagi, rnaka penagihan dilakukan sebagai berikut:

a. sejauh rnengenai tagihan terhadap pernbeli, kepada juru lelang yang di hadapannya atau di daerahnya dilakukan penjualan, dan sejauh penagihan utang ditugaskan kepada pegawai-pegawai lain, kepada rnereka hila rnereka lalai dalarn rnelakukan tugas itu; b. sejauh rnengenai tagihan terhadap penjual, kepada orang atau orang-orang yang lalai rnelakukan penagihan. Besarnya ganti rugi untuk rnasing-rnasing ditentukan oleh pernerintah. Jika tagihan yang rnenjadi beban pernbeli tirnbul dari penjualan yang dilakukan oleh juru lelang kelas II, padanya dikenakan penggantian, jika hanya ia sendiri yang tersangkut dalarn penagihan. Dalarn hal-hal lain, soal apakah dan sarnpai jurnlah berapakah rnenurut pasal ini dikenakan penggantian, tidak diputuskan kecuali sesudah para pegawai yang bersangkutan, para ahli warisnya atau rnereka yang rnernperoleh hak, atau, jika ia tak hadir, para pengurus harta peninggalan, diberi kesernpatan untuk rnenunjukkan, bahwa para pegawai terrnaksud tadi dalarn rnenagih utang-utang, dan rnengenai juru lelang kelas 1 dalarn rnengizinkan kredit, telah bekerja sesuai dengan kewajibannya. (S. 1889-192.) 34. Kecuali jika diperjanjikan bahwa pernbayaran harga pernbelian tidak akan dilakukan kepada pernerintah, untuk hasil penjualan, dengan rnemperhatikan ketentuan alinea keempat pasal ini, diberikan suatu surat petul\iuk pembayaran pacta kas negara atau surat perintah membayar uang: (Vendu-regl. 193.) a. (s.d.u. dg. S. 1935-453.) sesudah lampau empat minggu sejak hari penjualan, untuk penjualan dengan kredit sepuluh hari dan penjualan dengan pembayaran tunai; b. sesudah larnpau empat bulan setelah hari penjualan, untuk yang lain-lainnya. Surat petunjuk pembayaran pada kas negara atau surat perintah membayar yang diberikan kepada dan atas nama orang yang berhak atau wakilnya yang sah dan pacta kas negara di daerah tempat kedudukan juru lelang yang melaksanakan penjualan. Pengganti surat petunjuk pembayaran pada kas negara atau surat perintah membayar uang, jika

diminta, diberikan kepada yang berhak atau wakilnya yang sah, selekas-lekasnya sesudah penjualan dalarn bentuk surat petunjuk pembayaran pada kas negara atau surat perintah membayar uang satu atau lebih akseptasi atas namanya atau atas tunjuk, semuanya sejumlah yang harus dibayar, dan dapat dibayar di kas negara yang dituniuk di atas dalam empat minggu atau empat bulan sesudah hari pernjualan, tergantung pada jenisnya, apakah termasuk yang diuraikan dalam hurufe a atau b dari alinea pertama pasal ini. (s.d.u. dg. S. 1916-583; S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Surat peturliuk pembayaran pada kas negara, surat perintah membayar uang dan akseptasi diberikan untuk jumlah hasil perliualan, sesudah dikurangi upah lelang dan biaya lelang dalam perliualan barang-barang gadai yang dibebankan kepada perliual, juga setelah dikurangi utang yang harus dibayar penjual sebagai pembeli barang. (s.d.u. dg. S. 1925-421; S. 1932-210; S. 1934-175.) Surat peturliukpembayaran pada kas negara, surat perintah membayar uang dan akseptasi diberikan berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) "Peraturan Pengurusan Administrasi" (S: 1933-381) oleh pejabat yang berwenang untuk menilai, membereskan. dan menentukan dapat tidaknya dibayar tagihan-tagihan atas beban pemerintah. 35. (s.d.u. dg. S.1940-56jo. S. 1941-3.)Dari tiap-tiap perliualan umum yang dilakukan olehjuru lelang atau kuasanya, selama pernjualan, untuk tiap-tiap hari pelelangan atau penjualan harus dibuat berita acara tersendiri. 36. Dicabut dg. S. 1912-583. 37. Berita acara berisikan: a. di bagian pokok: 1. tanggal dengan huruf; 2. nama kecil, nama dan tempat kedudukan juru lelang, serta nama kecil, nama dan tempat kediaman kuasanyajika penjualan dilakukan di hadapan kuasanya itu; 3. nama kecil, nama, pekerjaan dan tempat kediaman orang yang meminta perliualan dilakukan; jika ia tidak bertindak atas namanya sendiri, juga uraian tentang kedudukan di mana ia meminta diadakan penjualan, danjika berdasarkan pasal 20 juru lelang harus yakin bahwa pernjual berhak untuk menjual, juga pendapatnya tentang hal itu; 4. tempat penjualan;

5. keterangan umum tentang sifat barang yang dijual; tetapi dalam menurliukkan letak dan batasbatas barang-barang tidak bergerak, harus diterangkan bukti hak milik menurut bunyi katakatanya, dengan menyebut hak pengabdian pekarangan yang ada di atasnya dan beban yang diletakkan pada barang-barang tersebut; 6. syarat-syarat penjualan;

b. di bagian batang tubuh; 1. uraian tentang barang yang dilelangkan; 2. nama dan pekerjaan tiap-tiap pembeli; juga tempat kediamannya, jika ia tidak berdiam di tempat penjualan; 3. harga yang dikabulkan dengan angka; 4. harga yang dihentikan dengan angka; 5. (s.d.t: dg. S. 1940-56 jo. S. 1941-3.) dalam penjualan yang dilakukan menurut ketentuan alinea kelima pasal 9, tawaran atau persetujuan harga yang tetap mengikat, juga dengan angka; nama dan pekerjaan penawaratau orang yang menyetujui harga yang bersangkutan, serta tempat kediamannyajika tidak berdiam di tempat penjualan; c. pada bagian penutup: 1. jumlah barang lelang yang laku, dengan hurtle dan angka; 2. jumlah yang dikabulkan dan jumlah yang ditahan untuk itu, semuanya dengan huruf dan angka. Jika berdasarkan pemberian kuasa pembelian dilakukan untuk orang lain, maka dalam berita acara harus disebut, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa. Jika pemberian kuasa itu dilakukan seeara lisan, maka hal itu harus disebut dalam berita aeara dan, jika pemberi kuasa tidak membayar pacta waktunya, maka penerima kuasa bertanggung jawab seolaholah ia membeli untuk diri sendiri. Jika pemberian kuasa dilakukan seeara tertulis, maka surat kuasa harus dilekatkan pada berita acara, kecuali mengenai beberapa penjualan, surat-surat harus disimpan di kantor lelang. Jika surat kuasa dibuat di hadapan notaris dengan minut, maka cukuplah hal itu disebut dalam berita acara. Jika seseorang dengan lisan menjadi penjamin pembeli, maka hal itu harus disebut dalam berita acara. Jika penjaminan dilakukan seeara tertulis, maka akta penjaminan harus dilekatkan pacta berita aeara, kecuali mengenai beberapa penjualan, yang akta-aktanya harus disirnpan di kantor lelang. Pelekatan termaksud dalam dUB alinea yang lalu harus disebut dalam berita acara.

Tiap-tiap pembayaran yang dilakukan pacta waktu perliualan yang tidak berdasarkan perjarnjian pembayaran tunai, juga harus disebut dalam berita acara. (s.d.t. dg. S. 1912-583.) Dalam penjualan eksekusi termaksud dalam alinea terakhir pasal 20, dalam bagian pokok berita acara harus dicantumkan bahwa bukti-bukti pengumuman termaksud dalam ketentuan itu telah diberitahukan pada waktunya kepada juru lelang, atau dengan jalan lain ia telah yakin bahwa pengumuman itu telah diberikan. (s.d.u. dg. S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Pada permulaan penjualan, juga dalam melanjutkan penjualan yang terhenti di pertengahan pelelangan, bagian pokok berita acara harus dibacakan dengan suara keras oleh atau atas nama juru lelang kepada hadirin. Hal pembaeaan ini harus disebut dalam berita acara. 38. (s.d.u. dg. S. 1912-583.) Setiap halaman berita aceara, kecuali halaman terakhir, harus disahkan dengan tanda tangan oleh juru lelang atau kuasanya. Berita acara tersebut ditandatangani oleh juru lelang atau kuasanya, dan oleh orang yang untuknya permohonan penjualan itu diadakan; jika ia tidak ingin turut-serta menandatanganinya atau tidak hadir pada waktu penutupan berita acara, maka hal itu harus dinyatakan dalam berita acara. Pencantuman bahwa penjual tidak mau melakukan penandatanganan atau tidak hadir, berlaku sebagai penandatanganan 39. Tidak diperbolehkan membuat perubahan atau tambahan dalam berita acara, kecuali pada bagian margin (pinggir) atau, jika di situ tidak terdapat tempat kosong, langsung sebelum tempat tanda tangan berita acara, dengan menunjuk halaman dan baris yang bersangkutan. Tidak boleh diadakan peneoretan atas kata-kata, huruf-huruf atau angka-angka yang tertera dalam berita acara, kecuali dengan garis tipis sedemikian rupa, sehingga apa yang tadinya tertulis di situ tetap dapat dibaca. Banyaknya kata, huruf dan angka yang digaris, harus dicantumkan di bagian margin halaman kertas. Semua yang menurut pasal ini ditulis pada bagian margin berita acara, harus ditandatangani oleh para penandatangan berita acara. (Vendu-regl. 40.) 40. (s.d.u. dg. S. 1912-583; S. 1917-262; S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Juru lelang bertanggungjawab

atas semua kerugian yang timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan-ketentuan pasa1 37, 38 dan 39 tersebut di atas. 41. Berita aeara disimpan oleh juru lelang atau penggantinya; di tempat terdapat lebih dari satujuru lelang, berita aeara disimpan oleh pemegang buku pacta kantor lelang. Juru simpan wajib memperlihatkan berita acara tersebut dengan mengirimkannya kepada pengawas kantor lelang negeri atas permintaannya.

Kepada penjual dapat diberikan suatu grosse dari berita acara dengan pembayaran yang sarna, di atas bea meterai, jika diperjanjikan bahwa pembayaran harga pembelian tidak dilakukan kepada pemerintah; jika perjanjian demikian tidak diadakan, maka grosse hanya boleh diberikan kepada pemerintah. 42. (s.d.u. dg. S. 1916-583.) Setiap orang yang berkepentingan dapat menerima salinan atau kutipan berita cara yang diotentikkan mengenai penjualan dengan pembayaran atas bea meterai sebesar dua gulden lima puluh sen untuk setiap salinan atau kutipan. (Vendu-regl. 452.) Untuk setiap pembelian tersendiri atau untuk pembelian-pembelian yang dilakukan oleh satu orang yang sarna atau orang-orang yang diizinkan seeara bersama-sama dengan pembayaran yang sarna untuk menyerahkan suatu kutipan berita aeara sebagai grosse. Kutipan demikian harus berisikan bagian pokok dan penutup, termasuk pula bagian batang tubuh berita acara, akan tetapi hanya sejauh pembelian yang bersangkutan. Grosse harus memakai kata-kata "Derni keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa" pada bagian kepalanya dan kata-kata "dikeluarkan untuk grosse pertama" pada bagian penutup, dan memuat nama orang yang menerimanya. Grosse yang diserahkan secara demikian, baik kepada pembeli dan penjaminnya, maupun kepada orang yang menyatakan diri membeli untuk orang lain atas kekuatan pemberian kuasa secara lisan, diberi kekuatan yang sarna seperti grosse akta hipotek dan grosse akta notaris, berisikan kewajiban untuk melunasi sejumlah liang, dibuat di Indonesia, danpada bagian pokoknya dicantumkan kata-kata "Derni keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa" . (Rv. 435 dst., 440; JR. 224; RBg. 258.) Salinan, kutipan dan grosse diberikan oleh juru simpan berita acara. Untuk salinan, kutipan dan grosse yang diberikan untuk kepentingan pemerintah, tidak dipungut biaya apa pun juga. 43. Untuk duplikat suatu rekening atau kuitansi yang diberikan kepada orang yang berkepentingan atas permintaannya, dipungut biaya dua puluh lima sen. (Vendu-regl. 452.) 44. (s.d.u. terakhirdg. S. 1935-453.) Untuk penjualan yang dilakukan di luar daerah tempat

kedudukan atau tempat tinggal kuasanya, juru lelang atau kuasanya dan pegawai bawahan kantor lelang dapat memperhitungkan biaya perjalanan dan biaya penginapan kepada penjual menurut daftar biaya untuk itu, yang ditentukan oleh kantor perjalanan negara. Dari jumlah yang harus dibayar, juru lelang dapat menagih pembayaran dimuka, kecuali jika penjualnya adalah pemerintah. Untuk penerapan daftar biaya termaksud dalam pasal ini, pemerintah dapat menetapkan peraturan khusus mengenai penjualan harta kekayaan. 45. (s.d.u. dg. S. 1919-450; S. 1929-491 jo. S. 1930-354; S. 1935-453.) Bagian mana dalam upah lelang termasuk santi rugi yang harus dibayar kepada juru lelang kelas II karena membatalkan penjualan tidak pada waktunya, itu ditentukan oleh pemerintah, juga dalam hal tidak dibayamya bagian tersebut. Pembayaran-pembayaran tersebut dalam pasal 42 dan 43, yang diterima oleh juru lelang termaksud di atas, seluruhnya untuk juru lelang. ((s.d.t. dg. S. 1929-491jo. S. 1930-354; s.d.u. dg. S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Juru lelang kelas II menerima upah persepsi menurut persentase yang ditentukan oleh Menteri Keuangan dari jumlah harga pembelian, upah lelang dan uang miskin yang dibayar oleh debitur dan dibukukan. (s.d.t. dg. S. 1929-491jo. S. 1930-354.) Pengurangan upah tidak boleh dilaku-kan berhubung dengan tagihan termaksud dalam pasal 33. (s.d.t. dg. S. 1929-491 jo. S. 1930-354.) Kepada juru lelang kelas II, untuk pembayaran gaji pegawaipegawai yang diperlukannya, dapat diberikan pem-bayaran di muka, sejauh ditunjukkan pentingnya hal itu, semuanya menurut peraturan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. 46. (s.d.u. dg. S. 1917-262,558; S. 1918-187; S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Sejauh tidak ditentukan sebaliknya, ketentuan-ketentuan yang lalu dari peraturan ini tidak berlaku terhadap pel\iualan yang dilakukan berdasarkan ketentuan alinea kedua pasal la tanpa perantaraan juru lelang. (s.d.u. dg. S. 1935-453.) Sejauh mengenai perijualan hasil-hasil pemerintah, ketentuanketentuan itu, tanpa mengurangi apa yang ditentukan berdasarkan atau dalam pasal 10, 21 alinea terakhir, dan 27, hanya diterapkan sejauh sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku bagi pel\iuailmpenjualan tersebut. Dalam hal penjualan kayu pemerintah, jika untuk pembayaran ditentukan jangka waktu yang lain dari jangka waktu yang ditentukan dalam alinea pertama pasal 22, maka dalam penerapan pasal 33, katakata

"tahun timbulnya tagihan" yang terdapat dalam pasal tersebut terakhir, hams diganti dengan kata

kata "tahun, dalam tahun mana tagihan sudah harus dilunasi menurut syarat-syarat penjualan" .Alinea keempat dihapus berdasarkan S.1940-56jo. S. 1941-3. 47. Dicabut dg. S. 1918-187. 48. (s.d.u. dg. S. 1940-56 jo. S. 1941-3.) Pengertian "juru lelang" dalam peraturan ini mencakup juga pemegang buku atau pembantu pemegang buku (ajung pemegang buku) yang ditugaskan oleh pengawas kantor lelang negeri untuk melakukan penjualan umum. 49. (s.d.t. dg. S. 1916-583.) Peraturan ini dapat dinamakan "Peraturan Lelang" .

PERJANJIAN JAMINAN DAN LEMBAGA JAMINAN


A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Dan Perikatan 1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan Istilah perjanjian dan perikatan menurut beberapa Sarjana antara lain: - Drs. C. ST. Kansil, S.H., istilah perikatan terjemahan dari verbintenis dan perjanjian terjemahan dari overeenkomst . - Utrecht dan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan memakai istilah perutangan sebagai terjemahan dari verbintenis . - Abdulkadir Muhammad, S.H., istilah perikatan adalah terjemahan dari verbintenis . Pengertian perjanjian ada dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan sumber perikatan ada dalam Pasal 1233 KUHPerdata. Perbedaan antara perjanjian dan perikatan yaitu perjanjian adalah peristiwa hukum dan perikatan adalah hubungan hukum. Dalam perikatan ada pihak kreditur yaitu yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang berkewajiban untuk berprestasi. Pada pihak debitur terdapat schuld yaitu hutang atau kewajiban berprestasi tergantung dari perikatannya dan ada haftung jaminan untuk pelunasan hutang yaitu jaminan yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Subyek perikatan kreditur dan debitur sedangkan obyek perikatan yaitu prestasi yang ada dalam Pasal 1234 KUHPerdata yaitu: memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Perikatan diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata. Ketentuan tentang perikatan adalah bersifat anvullendrecht yaitu bersifat pelengkap artinya atas

dasar kesepakatan antara kreditur dan debitur karena menganut sistem terbuka. Dalam perikatan berdasar perjanjian berlaku asas antara lain: a. Asas kebebasan berkontrak yaitu dapat mengadakan perikatan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

b. Asas konsesualisme yaitu dalam perikatan didasarkan pada kesepakatan para pihak Pasal 1320 KUHPerdata. c. Asas kekuatan mengikat yaitu asas pacta suntservanda yaitu kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang. d. Asas kepribadian yaitu untuk menentukan personalia dalam perjanjian sebagai sumber perikatan. e. Asas kepercayaan atau vertrouwensabeginsel artinya seseorang yang mengadakan perjanjian dan menimbulkan perikatan dengan orang lain, antara para pihak ada kepercayaan bahwa akan saling memenuhi prestasi. f. Asas iktikad baik atau tegoeder trouw yaitu dalam melaksanakan perikatan didasarkan pada iktikad baik. Menurut Abdulkadir, pengertian perikatan adalah: Hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa atau keadaan (Abdulkadir Muhammad, 1981: 5). Selain itu Abdulkadir merumuskan perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur yang terletak dalam bidang harta kekayaan (Abdulkadir Muhammad, 1981: 9) B. Perjanjian Kredit Di dalam KUHPerdata tidak ditemukan pengertian perjanjian kredit, perjanjian dalam KUHPerdata yang mirip dengan perjanjian kredit yaitu perjanjian pinjammeminjam yang diatur dalam Buku III Bab XIII. Djuaendah Hasan mengartikan perjanjian kredit adalah suatu perjanjian yang diadakan antara bank dengan calon debitur untuk mendapatkan kredit dari bank yang bersangkutan (Djuaendah Hasan, 1996: 70). Pengertian kredit dikenal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Pasal 1 Ayat (11):

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat (11) pengertian kredit mengandung kata-kata persetujuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan, oleh karenanya kredit merupakan perikatan yang bersumber dari suatu perjanjian. Dari pengertian kredit tersebut maka jelas mengenai perjanjian kredit antara bank dengan debitur ditekankan pada kesepakatan para pihak yaitu berdasar asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata. Mengenai istilah kredit lebih cenderung untuk menamakan perjanjian kredit bank, istilah bank dilekatkan untuk membedakannya dengan perjanjian pinjam uang yang pemberi pinjamannya bukan bank (Mariam Darus Badrulzaman, 1978: 20). Menurut R. Subekti, perjanjian kredit diidentikkan dengan perjanjian pinjammeminjam uang yang mempunyai sifat khusus maksudnya perjanjian peminjaman uang terjadi antara bank dengan debitur, di mana debitur akan mengembalikan pinjaman setelah jangka waktu yang telah ditentukan (R. Subekti, 1982: 12). Pengertian kredit menurut Gatot Supratmono adalah perjanjian meminjam uang antara bank sebagai kreditur dalam hal ini bank sebagai pemberi kredit percaya kepada nasabahnya dalam jangka waktu yang disepakatinya akan dikembalikan (dibayar) lunas (Gatot Supratmono, 1995: 28). Pada dasarnya istilah kredit tidak terdapat dalam KUHPerdata yang ada hanya perjanjian pinjam-meminjam uang yang ada dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Dalam kredit tentu ada unsur kepercayaan yaitu keyakinan kreditur bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang atau barang akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu yang sudah disepakati oleh debitur maupun kreditur. Dari bentuk perjanjian dalam praktek tumbuh sebagai perjanjian baku yaitu bank telah menyediakan formulir perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan lebih dahulu. Dari sifatnya perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan atau voorovereenkomst dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan sebagai hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubunganhubungan hukum antara keduanya (Mariam Badrulzaman, 1978: 28). Kata kredit berasal dari bahasa Romawi Credere artinya percaya, jadi kepercayaan itu yang menjadi dasar pemberian kredit dan disebut sebagai

jaminan pokok. Adapun pengertian kredit yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain: 1. Sevelberg Mengatkan kredit mempunyai arti: a. Sebagai dasar setiap perikatan (verbintenis ) di mana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. b. Sebagai jaminan, di mana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu. 1. Levy Merumuskan arti hukum dari kredit yaitu menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari. 1. M. Jokile Mengemukakan bahwa kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu (Mariam Darus Badrulzaman, 1978: 21-22). C. Lembaga Jaminan Sampai saat ini Lembaga Perbankan masih dominan sebagai sumber pembiayaan investasi dengan pemberian kredit. Untuk mendapatkan kredit bank lebih dahulu harus melakukan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang akan diikuti dengan perjanjian jaminan sebagai perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan. Adanya jaminan diharuskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang disebut agunan. Pengertian agunan dalam Pasal 1131 KUHPerdata disebut jaminan yaitu: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatanperikatan perorangan debitur itu. Kredit merupakan perikatan yang bersumber pada perjanjian kredit yang biasa disebut akad kredit. Pasal 1131 KUHPerdata mencakup schuld dan haftung dari

debitur dan merupakan jaminan yang ada karena telah ditentukan oleh UndangUndang meskipun tidak diperjanjikan lebih dulu oleh kreditur dan debitur. Oleh karenanya Pasal 1131 KUHPerdata berlaku bagi semua kreditur dan meliputi semua kreditur dan meliputi semua harta kekayaan debitur. Jaminan tersebut dinamakan jaminan umum dalam pengertian umum bagi semua kreditur dan umum mengenai macam jaminannya yaitu tidak ditunjuk secara khusus. Kreditur sebagai pemegang jaminan menurut Pasal 1131 KUHPerdata sebagai kreditur konkurent yaitu semua kreditur kedudukannya sama dalam praktek tidak memuaskan kreditur. 1. Penggolongan Jaminan a. Jaminan Berdasar Undang-Undang Dan Jaminan Berdasar Perjanjian Jaminan berdasarkan Undang-Undang ada dalam Pasal 1131 KUHPerdata, sedangkan jaminan berdasar perjanjian yaitu terjadinya karena adanya perjanjian jaminan dalam bentuk gadai, fidusia, hak tanggungan dan jaminan perorangan serta garansi bank. b. Jaminan Umum Dan Jaminan Khusus Jaminan umum meliputi pengertian untuk semua kreditur (kreditur konkurent) dan untuk seluruh harta kekayaan artinya tidak ditunjuk secara khusus yaitu yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Jaminan khusus yaitu hanya untuk kreditur tertentu (kreditur preferent) dan benda jaminannya ditunjuk secara khusus (tertentu) yaitu gadai, fidusia, hak tanggungan apabila orang/Badan Hukum yaitu penanggungan atau misal garansi bank. c. Jaminan Kebendaan Dan Jaminan Perorangan Jaminan yang bersifat kebendaan yaitu jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yaitu hak milik. Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu Pasal 1820 KUHPerdata. d. Jaminan Atas Benda Bergerak Dan Benda Tidak Bergerak Jaminan berupa benda bergerak lembaga jaminannya gadai dan fidusia. Jaminan berupa benda tidak bergerak dahulu Hipotek, Credietverband dan sekarang Hak Tanggungan.

e. Jaminan Dengan Menguasai Bendanya Dan Tanpa Menguasai Bendanya - Jaminan Dengan Menguasai Bendanya yaitu gadai dan hak retensi. Gadai tidak pesat pertumbuhannya karena terbentur syarat inbezit stelling yang dirasakan berat oleh debitur yang justru memerlukan benda yang dijaminkan untuk menjalankan pekerjaan atau usahanya. - Jaminan Tanpa Menguasai Bendanya yaitu Hipotek, Credietverband dan sekarang fidusia dan Hak Tanggungan. Jaminan tanpa menguasai bendanya menguntungkan debitur sebagai pemilik jaminan karena tetap dapat menggunakan benda jaminan dalam kegiatan pekerjaannya atau usahanya. 1. Lembaga-Lembaga Jaminan a. Gadai Pengertian gadai dalam Pasal 1150 KUHPerdata dan pengertian gadai ada beberapa unsur pokok sebagai berikut: 1) Gadai lahir setelah adanya penyerahan kekuasaan atas obyek gadai yaitu benda bergerak dari debitur (pemberi jaminan) kepada kreditur (pemegang jaminan). 2) Kreditur sebagai yang diistimewakan dari kreditur yang lain apabila debitur wanprestasi maka dapat mengambil pelunasan dan hasil penjualan benda jaminan yaitu parate executie . Sifat Hak Gadai: 1) Jaminan kebendaan dan memberikan hak kebendaan tetapi tidak dalam pengertian hak untuk menikmati tetapi untuk menjamin dilunasinya piutang tertentu. 2) Hak gadai bersifat accessoir , merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang. Karena bersifat accessoir maka hak gadai akan hapus apabila perjanjian pokok hapus yaitu bila hutang telah dilunasi. 3) Hak gadai tidak dapat dibagi artinya apabila hutang dibayar sebagian tidak dapat menghapus sebagian hak gadai.

4) Hak gadai adalah hak yang didahulukan daripada piutang-piutang yang lain. Krediturnya mempunyai hak preferent. 5) Obyeknya benda bergerak. b. Fidusia - Pengertian Fidusia Pengertian fidusia ada dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat (1): Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan benda. - Pengertian Jaminan Fidusia Pengertian jaminan fidusia ada dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fucia (UUJF) Pasal 1 Ayat (2) adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Jaminan Fidusia di satu sisi memberi kemudahan bagi debitur (pemberi fidusia) karena tetap menguasai dan dapat menggunakan benda yang dijaminkan tetapi di sisi yang lain kreditur (pemegang fidusia) kurang terjamin kepentingannya hal ini karena fidusia tidak didaftarkan. Adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 maka fidusia harus didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.

- Subyek Jaminan Fidusia Subyek fidusia (pemberi fidusia) yaitu perseorangan atau korporasi ada dalam Pasal 1 Ayat (5) UUJF. Sedangkan subyek fidusia sebagai penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang diatur dalam Pasal 1 Ayat 6) UUJF. - Obyek Jaminan Fidusia

Obyek jaminan fidusia ada dalam UUJF Pasal 1 Ayat (2) seperti telah disebutkan. - Sifat Jaminan Fidusia 1) Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan/perjanjian ikutan. Akta jaminan dibuat oleh Notaris. 2) Selalu mengikuti bendanya (droit de suite ). 3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan. 4) Apabila debitur wanprestasi maka dalam melaksanakan eksekusi dapat dengan lembaga parate executie . 5) Dalam jaminan fidusia memuat hak mendahulu disebut juga hak preference artinya penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lain dalam pelunasan piutangnya diatur dalam UUJF Pasal 27. - Hapusnya Jaminan Fidusia Dalam UUJF Pasal 25 ditentukan tentang hapusnya fidusia sebagai berikut: 1) Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia. 2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia. 3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. c. Hak Tanggungan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 51 sudah disebutkan hak jaminan yang kuat yang dibebankan pada hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan adalah Hak Tanggungan tetapi selama itu Hak Tanggungan belum berfungsi karena belum ada UndangUndang yang mengatur. Oleh karenanya untuk sementara berdasar UUPA Pasal 57 hak jaminan atas tanah berdasar ketentuan Hipotek diatur dalam

KUHPerdata dan Credietverband tersebut dalam S.1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S.1937-190. Ketentuan dalam UUPA Pasal 51 dapat berlaku setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) sehingga tidak diperlukan lagi ketentuan yang ada dalam UUPA Pasal 27. Dalam UUHT Pasal 29 ditegaskan ketentuan Hipotek dan Credietverband seperti tersebut dalam UUPA Pasal 27 dinyatakan tidak berlaku lagi. - Pengertian Hak Tanggungan UUHT Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan: Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya Hak Tanggungan yang dibebankan pada Hak Atas Tanah tetapi kenyataan sering terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman yang secara tetap merupakan kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan. UUPA berdasar hukum adat ada dalam UUPA Pasal 5 yang menggunakan asas pemisahan horizontal yang artinya antara tanah dan benda-benda yang ada di atasnya/melekat di atas tanah secara hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karenanya perbuatan hukum terhadap hak atas tanah tidak dengan sendirinya mekiputi benda-benda yang melekat di atas tanah tersebut. Apabila benda-benda yang ada di atas tanah diikutsertakan dijadikan jaminan harus dinyatakan dengan tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ini ditentukan dalam UUHT Pasal 4 Ayat (1). - Subyek Hak Tanggungan UUHT Pasal 8 menentukan pemberi Hak Tanggungan yaitu dalam pengertian sebagai debitur yaitu orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan tersebut sedangkan UUHT Pasal 9 menentukan pemegang Hak Tanggungan adalah orang

perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang atau kreditur. - Obyek Hak Tanggungan Sebagai obyek Hak Tanggungan harus memenuhi syarat: 1) Dapat dinilai dengan uang. 2) Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum. 3) Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan. 4) Memerlukan penunjukan oleh Undang-Undang. Obyek yang dapat dibebani Hak Tanggungan ditentukan dalam UUHT Pasal 4. Dalam UUPA Pasal 51 Hak Pakai tidak ditetapkan sebagai obyek Hak Tanggungan. Dalam perkembangannya Hak Pakai Atas Tanah Negara harus didaftarkan sehingga memenuhi syarat sebagai obyek Hak Tanggungan. Ketentuan obyek Hak Tanggungan selain diatur dalam UUHT Pasal 4 juga tentang obyek Hak Tanggungan diatur pula dalam UUHT Pasal 27. - Sifat Hak Tanggungan 1) Memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur yaitu pemegang Hak Tanggungan untuk pelunasan utang tertentu. Kreditur pemegang Hak Tanggungan mendapat hak untuk didahulukan yang disebut hak preference diatur dalam UUHT Pasal 1 Ayat (1). 2) Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada disebut droit de suite dan diatur dalam UUHT Pasal 7. Sifat ini bertujuan untuk kepentingan kreditur, meskipun obyek sudah berpindah tangan tetapi kreditur pemegang Hak Tanggungan masih tetap dapat menggunakan haknya terutama apabila debitur wanprestasi. 3) Memenuhia asas spesialitas dan publisitas sehingga memberikan kepastian hukum bagi yang berkepentingan dan mengikat pihak ketiga. Asas spesialitas diatur dalam UUHT Pasal 11 Ayat (1) yang meliputi subyek, obyek Hak Tanggungan dan hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Sedangkan asas publisitas diatur dalam UUHT Pasal 13 Ayat (1) yaitu Hak Tanggungan wajib

didaftarkan di Kantor Pertanahan, pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk berlakunya Hak Tanggungan dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. 4) Tidak dapat dibagi-bagi pengertiannya dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak tanggungan, ini diatur dalam UUHT Pasal 2 Ayat (1) kecuali bila diperjanjikan dalam APHT diatur dalam UUHT Pasal 2 Ayat (2) yang merupakan kekecualian dari asas tidak dapat dibagi-bagi. 5) Apabila debitur wanprestasi maka dalam eksekusi obyek jaminan dapat melalui lembaga parate executie . 6) Sebagai perjanjian accessoir atau tambahan setelah adanya perjanjian pokok. Kreditur sebagai kreditur preferent karena adanya perjanjian jaminan yaitu Hak Tanggungan yang mempunyai sifat mengikuti perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau hutang-piutang. - Hapusnya Hak Tanggungan Berdasar UUHT Pasal 18 adalah sebagai berikut: 1) Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan. 2) Dilepaskannya Tanggungan. Hak Tanggungan oleh pemegang Hak

3) Pembersihan Hak Tanggungan. 4) Hapusnya Hak Atas Tanah yang dibebani Hak Tanggungan dalam hal demikian tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin, tetapi dengan hapusnya Hak Tanggungan berarti kreditur tidak sebagai kreditur preferent tetapi sebagai kreditur konkurent yaitu kedudukannya sama dengan kreditur yang lain dan tidak mempunyai hak untuk didahulukan. d. Penanggungan Jaminan penanggungan disebut jaminan perorangan yaitu jaminan yang bukan bersifat kebendaan tetapi berupa pernyataan dari seseorang yang berisi kesanggupan bahwa ia menanggung pelaksanaan perjanjian

sedemikian rupa apabila si berwajib tidak memenuhi janji atau prestasinya. Lembaga penanggungan (borgtocht ) definisinya ada dalam Pasal 1820 KUHPerdata adalah perjanjian perorangan yang didefinisikan sebagai berikut: Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya. - Sifat Perjanjian Penanggungan Dari Pasal 1820 KUHPerdata dapat terlihat bahwa: Perjanjian penanggungan merupakan perjanjian yang accessoir artinya apabila perjanjian pokok yang pemenuhannya dijamin dengan perjanjian penanggungan tidak dipenuhi maka kreditur dapat menuntut kepada penanggung berdasar perjanjian penanggungan (Djuhaendah Hasan, 1998: 68-86). Dari pemenuhannya bersifat subsidair artinya penanggung hanya terikat untuk pemenuhan prestasi apabila debitur wanprestasi. Perjanjian penanggungan harus dinyatakan oleh penanggung secara tegas hal ini ditentukan dalam Pasal 1834 KUHPerdata dan sifat accessoir ada dalam Pasal 1821 KUHPerdata yang menyatakan; Tiada penanggungan bila tiada perikatan pokok yang sah menurut UndangUndang. Perjanjian penanggungan bersifat accessoir mengandung pengertian: 1) Adanya perjanjian penanggungan tergantung perjanjian pokok. 2) Apabila perjanjian pokok hapus maka perjanjian penanggungan menjadi ikut hapus. 3) Diperalihkannya piutang sebagai perjanjian pokok maka semua perjanjian yang melekat pada piutang tersebut akan ikut beralih. - Bentuk Perjanjian Penanggungan Bentuknya bebas artinya dapat lisan atau tertulis tetapi merupakan pernyataan yang tegas. Perjanjian penanggungan biasanya dimasukkan dalam pengakuan utang.

- Hapusnya Perjanjian Penanggungan Karena merupakan perjanjian yang bersifat accessoir maka hapusnya tergantung hapusnya perikatan pokok tetapi dapat karena sebab yang lain seperti diatur dalam Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata. D. Wanprestasi Dan Overmacht 1. Wanprestasi Pemenuhan prestasi adalah hakekat dari suatu perikatan mengenai bentuk prestasi ditentukan dalam Pasal 1234 KUHPerdata. Kewajiban memenuhi prestasi menjadi tanggung jawab debitur tetapi kemungkinan debitur tidak memenuhi tanggung jawabnya untuk berprestasi keadaan demikian disebut wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban atau prestasi. - Sebab Terjadinya Wanprestasi Sebab terjadinya wanprestasi karena: 1. a. Kesalahan debitur yang disebabkan karena kesengajaan atau kelalaian. b. Keadaan memaksa yaitu overmacht atau force majeura . - Keadaan Wanprestasi a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru. c. Debitur tidak tepat waktu dalam berprestasi. Dalam kredit kewajiban debitur seperti ditentukan dalam Pasal 1763 KUHPerdata demikian pendapat dari Mariam Darus Badrulzaman dan kewajiban dari debitr diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat (11). Dalam kredit mengenal batas waktu atau Verval termijn maka untuk terjadinya wanprestasi tidak diperlukan adanya somatie. - Akibat Wanprestasi Akibat wanprestasi diatur antara lain dalam:

a. Pasal 1237 KUHPerdata yaitu peralihan risiko. b. Pasal 1243 KUHPerdata yaitu tuntutan ganti rugi tetapi ada pengecualian yang diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata. 1. Overmacht a. Pengertian Overmacht atau Keadaan Memaksa Keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan (Abdulkadir Muhammad, 1982: 27). Dalam keadaan overmacht timbul persoalan risiko yang pengertiannya risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa yaitu peristiwa yang bukan karena kesalahan debitur yang menimpa benda yang menjadi obyek perikatan atau menghalangi perbuatan debitur untuk memenuhi prestasi. b. Akibat Keadaan Memaksa (Overmacht ) 1) Kreditur tidak dapat meminta debitur untuk pemenuhan prestasi. 2) Debitur tidak dapat dinyatakan salah atau lalai. 3) Tidak terjadi peralihan risiko. 4) Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan perikatan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad. 1992. Hukum Perikatan . Bandung: Citra Aditya Bakti. Dahlan Siamat. 1993. Manajemen Bank Umum . Jakarta: Intermedia.

Djuhaedah Hasan. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Penerapan Asas Pemisahan Horizontal . Bandung: Citra Aditya Bakti. Edy Putra Tje Aman. 1989. Kredit Suatu Tinjauan Yuridis . Yogyakarta: Andi. Gatot Supratmono. 1995. Perbankan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis . Jakarta: Djambatan. J. Satrio. 1999. Hukum Perikatan Pada Umumnya . Bandung: Alumni. Kasmir. 2004. Dasar-Dasar Perbankan . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ______. 2004. Manajemen Perbankan . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Murhainis Abdul Hay. 1979. Hukum Perbankan Indonesia . Jakarta: Pradnya Paramita. Mariam Darus Badrulzaman. 1998. Perjanjian Kredit Bank . Bandung: Alumni. Muhammad Djumhana. 1996. Hukum Perbankan di Indonesia . Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Munir Fuady. 2000. Jaminan Fidusia . Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. ______. 2003. Hukum Perbankan Modern . Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. R. Setiawan. 1994. Pokok-Pokok Perjanjian . Bandung: Bina Cipta. ______. 1994. Pokok-Pokok Perikatan . Bandung: Bina Cipta. R. Subekti. 1992. Aneka Perjanjian . Bandung: Citra Aditya Bakti. ______. 1996. Huku Perjanjian . Bandung: Bina Cipta. Ruchmadi Usman. 1999. Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah . Jakarta: Djambatan. Rudy Tri Santoso. 1995. Kredit Usaha Perbankan . Yogyakarta: Andi. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1980. Hukum Jaminan Di Indonesia PokokPokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan . Yogyakarta: Liberty. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian . Bandung: Alumni. Peraturan-Peraturan R. Subekti dan R. Tjitrosubdibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . Jakarta: Pradnya Paramita. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah (UUHT). Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUJF).

Agunan dibedakan atas 2 (dua) macam. Agunan pokok adalah barang, surat berharga, atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang yang dibeli dengan kredit yang dijaminkan, proyek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, maupun tagihan debitur; sedangkan agunan tambahan adalah barang, surat berharga, atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, yang ditambahkan sebagai agunan.

LEMBAGA JAMINAN
Menurut KUHPerdata dalam Pasal 1131, jaminan adalah segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Jaminan ini sendiri berfungsi untuk memberikan keamanan bagi para kreditur. Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata Hukum Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut objeknya, menurut kewenangan menguasainya dan lain-lain sebagai berikut: 1. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan jaminan yang lahir karena perjanjian. Jaminan yang ditentukan oleh undang-undang adalah jaminan yang timbul karena undang-undang tanpa adanya perjanjian dari para pihak terlebih dahulu. Misalnya, adanya ketentuan undang-undang yang menyatakan bahwa semua harta benda debitur baik bergerak maupun

tetap, baik benda yang sudah ada maupun yang masih akan ada menjadi jaminan bagi seluruh perutangannya. Jaminan yang karena perjanjian sendiri timbul karena adanya perjanjian, lembaga ini sendiri meliputi hipotik, gadai, credietverband, fidusia, penanggungan (borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung menanggung, dan lain-lain. 2. Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan umum timbul dari Undang-Undang, tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu, para kreditur konkuren semuanya secara bersama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang. Jaminan khusus timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan ataupun jaminan yang bersifat perorangan. 3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai hubungan langsung dengan debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikutinya (droit de suite), dan dapat diperalihkan (mis: hipotik, gadai, dan lain-lain). Jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya (contoh borgtocht). 4. Jaminan yang mempunyai obyek benda bergerak dan jaminan atas benda tak bergerak.

Jaminan atas benda bergerak ini sendiri dapat digunakan gadai atau fidusia dan jaminan atas benda tak bergerak dapat digunakan hipotik atau credietverband. Pembedaan ini nantinya akan mempengaruhi hal hal tertentu yaitu, cara pembebanan/jaminan, cara penyerahan, dalam hal daluarsa, dan dalam hal bezit. 5. Jaminan yang menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai bendanya. Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya antara lain: a. Plegde or pawn, pand. Lembaga jaminan ini merupakan gadai yang digunakan untuk benda bergerak. b. Lien, Retent,Recht, Droit de retention. Lembaga jaminan ini berupa retensi yang merupakan hak untuk menguasai benda si berutang sampai hutang yang bertalian dengan benda tersebut harus dibayar lunas. c. Mortgage with possession. Lembaga jaminan ini semacam hipotik atas benda bergerak dengan menguasai bendanya. d. Hire purcase, huurkoop. Lembaga jaminan ini seperti beli sewa yang dikenal di Indonesia . Dalam perjanjian beli sewa ini, hak milik atas bendanya baru beralih jika harga barang telah dibayar lunas. Pada perjanjian beli sewa terdapat juga sifat memberi jaminan bagi kreditur. e. Conditional Sale.

Conditional Sale ini merupakan perjanjian jual beli dengan syarat bahwa perpindahan hak atas bendanya baru terjadi setelah syarat terpenuhi. f. Credit Sale, Koop op Afbetaling. Lembaga jaminan ini merupakan jual beli dengan mencicil, dan hak kebendaannya beralih pada saat penyerahan meskipun harganya belum dibayar lunas. Sedangkan lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya antara lain: g. Mortgage, hypotheek, hipotheque. Lembaga ini tertuju pada benda tidak bergerak. Selain itu, hipotik atas tanah (real estate mortgage) juga banyak dilakukan atas kapal laut dan kapal terbang tanpa menguasai bendanya. Umumnya semua negara telah mengatur secara intensif di dalam perundang-undangan mengenai hipotik atas kapal laut antara lain ditemukan dalam Pasal 309 WvK dan lain-lain di samping BW/KUHPerdata. h. Chattle Mortgage. Lembaga ini terjadi atas benda bergerak. Yang umumnya terjadi pada kapal laut dan kapal terbang tanpa menguasai bendanya. Chattle Mortgage hampir mirip dengan Conditional Sale, tetapi jauh lebih menguntungkan karena : - Dapat dipakai sebagai jaminan bagi penjualan baik secara kredit maupun kontan. - Dapat digunakan untuk melindungi keuntungan baik yang telah ad maupun yang masih akan ada.

- Dapat digunakan terhadap benda yang telah ada maupun yang masih akan ada. i. Fiduciary Transfer of Ownership, Security Transfer of Title, Transfer of Ownership. Lembaga ini merupakan perpindahan hak milik atas kepercayaan yang dipakai sebagai jaminan hutang. j. Leasing. Leasing merupakan perjanjian sewa barang modal usaha tertentu dengan mengangsur untuk suatu jangka waktu tertentu dan jumlah angsuran tertentu. Selain penggolongan lembaga jaminan yang telah diuraikan di atas dalam tata hukum Indonesia juga dikenal hak-hak yang bersifat memberikan jaminan. Sehingga karena adanya adanya hak-hak tersebut kreditur akan merasa terjamin dalam pemenuhan piutangnya. Hak-hak jaminan tersebut ada yang timbul dari dari undang-undang dan ada yang harus diperjanjikan terlebih dulu. Hak-hak yang timbul dari undang-undang adalah privilege dan retensi. Sedangkan hak-hak jamunan yang timbul dari perjanjian adalah perjanjian garansi perutangan tanggung-menanggung dan cessi sebagai jaminan.

(STUDI KOMPARATIF KETENTUAN THE UNITED NATIONS CONVENTION ON CONTRACTS FOR THE INTERNATIONAL SALE GOODS ATAU CISG DAN KUHPERDATA) BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah Perjanjian jual-beli merupakan jenis perjanjian timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian jualbeli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana umumnya, perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang mereka buat. Akan tetapi kebebasan dalam membuat suatu perjanjian itu akan menjadi berbeda bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas yang melibatkan para pihak dari negara dengan sistem hukum yang berbeda. Masing-masing negara memiliki ketentuan tersendiri yang bisa jadi berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut tentu saja akan mempengaruhi bentuk dan jenis perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berasal dari dua negara yang berbeda tersebut karena apa yang diperbolehkan oleh suatu sistem hukum negara tertentu ternyata dilarang oleh sisten hukum negara lainnya. Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dapat timbul dari keanekaragaman sistem hukum tersebut maka komunitas perdagangan internasional membuat suatu konvensi internasional untuk mengatur perjanjian jual-beli barang internasional. Konvensi internasional mengenai perjanjian jual-beli internasional tersebut dilakukan pada tahun 1964 yang menghasilkan The Uniform Law on the International sale of Goods 1964 dan The Uniform Law on the Formation of Contract for the International Sale of Goods 1964. Pada tahun 1980 kedua konvensi tersebut telah direvisi oleh UNCITRAL dan kemudian diintegrasikan menjadi The United Nations Convention on Contracts for the International Sale Goods (CISG). Disamping itu telah dilakukan pula amandemen terhadap Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods. Suatu jenis perjanjian jual-beli barang dibuat untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Perjanjian tersebut akan meliputi subyek dan obyek perjanjian, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian dan upaya hukum yang tersedia bagi para pihak apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. B. Pokok Permasalahan Dari uraian diatas, maka sebagai identifikasi pokok permasalahan dalam penulisan tugas pada mata kuliah Hukum Acara Perdata ini yaitu penulis akan melakukan kajian komparatif deskriptif mengenai perlindungan hkum bagi para pihak dalamperjanjian jual beli barang antara ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) dan The Untited Nations Convention on Contract for the International Sale Goods (CISG). BAB II

TINJAUAN TEORI MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI BARANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DATA DAN THE UNITED NATIONS CONVENTION ON CONTRACTS FOR THE INTERNATIONAL SALE GOODS (CISG) A. Pengertian Perjanjian 1. Menurut KUHPerdata Sudikno Mertokusumo (1996:103) mendefinisikan perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum karena didalam perjanjian itu terdapat dua perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yaitu perbuatan penawaran (offer, aanbod) dan perbuatan penerimaan (acceptance, aanvaarding). Dalam pasal 1457 KUHPerd disebutkan bahwa jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,dan pihak yang satu lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jadi pengertian jual-beli menurut KUHPerd adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut (Subekti, 1995: 1) Perjanjian jual-beli dalam KUHPerd menentukan bahwa obyek perjanjian harus tertentu, atau setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan hak milik atas atas barang tersebut kepada pembeli. Sementara itu, KUHPerd mengenal tiga macam barang yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan, atau claim. 2. Menurut CISG Ketentuan CISG tidak memberikan definisi khusus mengenai perjanjian jual-beli barang internasional. Pasal 1 CISG hanya memberikan batasan lingkup penerapan dari ketentuan CISG tersebut. Untuk menentukan pengertian perjanjian internasional, akan dikutip doktrin yang dikemukakan Martin Wolff (dalam Hamzah Rasyid, 1988: 111) bahwa contract is means an agreement between two or more parties which in accordinance with their

intention, imposes a duty on at least one them, the promisor and creates for the promises a right to clain fulfillment of promises. Sedangkan pengertian perjanjian internasional menurut Sidharta Gautama dalam Hamzah Rasyid (1998: 112) adalah perjanjian-perjanjian yang mempunyai suatu foreign element. Pasal 1 CISG menyebutkan bahwa: (1) Konvensi CISG akan berlaku terhadap kontrak jual-beli barang antara para pihak yang tempat usahanya berada di Negara yang berlainan: a. bilamana negara-negara tersebut adalah negara negara peserta konvensi CISG. b. bilamana peraturan hukum perdata international menyebabkan berlakunya hukum dari suatu negara peserta. (2) Fakta bahwa para pihak mempunyai tempat usaha di negara-negara yang berbeda akan diabaikan bilamana ini tidak dinyatakan baik dalam kontrak maupun dalam transaksi apapun antara, atau dari dari keterangan yang diungkapkan oleh para pihak tersebut setiap saat sebelum atau pada saat penyelesaian kontrak tersebut. (3) Baik kebangsaan para pihak tersebut, maupun sifat perdata atau perdagangan dari para pihak ataupun dari kontrak tidak akan dipertimbangkan dalam menentukan berlakunya konvensi. Dari rumusan pasal 1 CISG dapat dilihat bahwa perjanjian yang dimaksud harus memiliki karakter internasional sebagaimana kriteria dalam pasal1 ayat 1 CISG. Mengenai barang, CISG juga tidak mendefinisikan secara langsung tetapi memberi batasan tentang barang yang dikecualikan oleh CISG. Pasal 2 CISG menentukan bahwa Konvensi CISG tidak berlaku terhadap jual-beli : 1. Barang yang dibeli untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah, kecuali penjual, setiap saat sebelum atau pada waktu penyelesaian kontrak, tidak mengetahui atau tidak mengetahui atau tidak seharusnya mengetahui bahwa barang yang dibeli adalah untuk keperluan tersebut diatas; 2. melalui lelang; 3. melalui eksekusi atau karena wewenang hukum ; 4. obligasi, saham, investmen securities, kertas berharga, atau uang; 5. kapal, kendaraan terapung, hoverecraft atau pesawat terbang; 6. listrik.

Dari rumusan pasal 2 CISG nampak bahwa konvensi CISG hanya diterapkan pada barang bergerak dan barang berwujud kecuali yang disebut diatas. Transaksi mengenai benda tidak bergerak, lebih bersifat domestik daripada international. B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian 1. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam KUHPerdt Hak dan Kewajiban Penjual Penjual memiliki dua kewajiban utama yaitu menyerahkan hak milik atas barang dan barang menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung cacat tersembunyi. Sebaliknya embeli memiliki hak atas pembayaran harga barang, hak untuk menyatakan pembatalan berdasarkan pasal 1518 KUHPerd dan hak reklame. Hak dan Kewajiban Pembeli Pembeli berkewajiban membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Pembayaran harga dilakukan pada waktu dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Harga tersebut harus berupa uang. Meski mengenai hal ini tidak ditetapkan oleh undang-undang namun dalam istilah jual-beli sudah termaktub pengertian disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang (Subekti, 1995: 21). 2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam CISG. Ketentuan CISG hanya mengatur secara khusus mengenai kewajiban para pihak sebagaimana ditentukan dalam bab II tentang kewajiban penjual dan bab III yang menyebutkan tentang kewajiban pembeli. Secara timbal balik dapat disimpulkan bahwa kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli demikian pula sebaliknya. Kewajiban Penjual Menurut CISG - Menyerahkan barang-barang, dokumen-dokumen, sebagaimana diperlukan dalam kontrak (pasal 30). - Jika penjual tidak tidak terikat untuk menyerahkan barang-barang di tempat yang ditentukan maka kewajibannya adalah menyerahkan barang-barang kepada pengangkut pertama untuk diserhkan barang-barang kepada pengangkut pertama untuk diserahkan kepada pembeli (pasal 31 sub a). - Penjual harus menyerahkan barang-barang:

a) b)

pada tanggal yang ditentukan. dalam jangka waktu yang ditentukan.

c) dalam jangka waktu yang wajar (reasonable) setelah pembuatan kontrak (pasal 33). Penjual harus menyerahkan barang-barang sesuai dengan jumlah, kualitas dan persyaratan yang ditentukan dalam kontrak (pasal 35 ayat 1). Penjual harus menyerahkan barang-barang yang bebas dari tuntutan dan hak pihak ketiga kecuali pembeli menyetujui untuk mengambil barang-barang tersebut (pasal 41). 1. Kewajiban Pembeli Menurut CISG. Pembeli harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan peraturan-peraturan (pasal 53-54). Jika pembeli tidak terikat untuk membayar harga di suatu tempat tertentu maka pembeli harus membayarnya ditempat dimana penyerahkan barang dan dokumen dilakukan (pasal 57 ayat 1). Pembeli harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam kontrak (pasal 59). Jika waktu pembayaran tidak ditentukan secara pasti maka pembeli harus membayar nya ketika penjual menempatkan barang-barang di tempat penyimpanan pembeli (pasal 59 ayat 1). BAB III UPAYA HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BARANG MENURUT KETENTUAN THE UNITED NATIONS CONVENTION ON CONTRACTS FOR THE INTERNATIONAL SALE GOODS (CISG) DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Dalam CISG upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam hal terjadi sengketa pada pelaksanaan perjanjian dibagi dalam tiga kategori yaitu dalam hal breach of contract, fundamental contract, dan anticipatory breach. Dalam KUHPerd upaya hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual-beli diatur dalam pasal 1236-1243 KUHPerd dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus yang masing-masing memiliki konsekuensi dan durasi pengajuan gugatan yang berbeda. Sedangkan gugatan ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUHPerd.

Upaya Hukum dalam Breach of Contract Bagi Pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG dan 74-77 CISG. Pembeli berhak meminta penjual untuk melakukan penyerahan barang. Pembeli berhak meminta barang pengganti dan ganti rugi. Pembeli berhak meminta pembatalan perjanjian. Pembeli berhak meminta penurunan harga.

Bagi Penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG dan 74-77 CISG. Penjual berhak meminta pelaksanaan perjanjian pada pembeli untuk membayar harga, menerima penyerahan barang dan menentukan perpanjangan waktu untuk melakukan kewajiban. Penjual berhak meminta pembatalan perjanjian.

Penjual berhak meminta ganti rugi termasuk kehilangan keuntungan (pasal 7477 CISG). Upaya-upaya hukum yang diatur dalam CISG saling berkaitan. Hak untuk pemulihan kerugian sebagaimana diatur dalam pasal 74-77 CISG tidak hilang bila para pihak menggunakan upaya hukum lainnya . Upaya Hukum dalam Fundamental Breach Pasal 25 CISG menegaskan pengertian dari fundamental breach bahwa suatu pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak akan bersifat mendasar apabila pelanggaran ini akan menimbulkan kerugian pada pihak lainnya sedemikian besarnya sehingga tidak memungkinkan untuk memperoleh apa yang diharapkan menurut perjanjian tersebut, kecuali pihak yang melakukan pelanggaran tersebut memang tidak dapat memperkirakan sebelumnya terjadinya hal tersebut, maupun siapapun lainnya dalam keadaan yang sama seperti dirinya akan secara wajar tidak dapat memperkirakan akibatnya yang demikian. Sebagai akibat hukum dari fundamentum breach masing-masing pihak dapat meminta pembatalan perjanjian vide pasal 26 CISG. Upaya Hukum dalam Anticipatory Breach Para Pihak Berhak Meminta Penundaan Pelaksanaan Perjanjian.

Berdasarkan pasal 71 CISG, baik-penjual maupun pembeli dapat menunda pelaksanaan kewajiban apabila pihak lawan tidak melaksanakan suatu bagian penting dari kewajibannya sebagai akibat dari suatu kekurangan atas kemampuan pelaksanaan kewajiban atau kebonafiditasnya atau atau perbuatannya dalam mempersiapkan pelaksanaan atau pelaksanaan perjanjian tersebut. 1. Para Pihak Berhak Meminta Pembatalan Perjanjian. Menurut pasal 72 CISG apabila sebelum tanggal penyerahan kontrak telah menjadi jelas bahwa salah satu pihak akan melakukan suatu pelanggaran yang mendasar terhadap perjanjian maka pihak lainnya dapat menyatakan perjanjian sebagai dibatalkan dengan pemberitahuan. Dalam hal penyerahan barang secara angsuran adanya kegagalan pihak lawan untuk melaksanakan kewajibannya merupakan suatu pelanggaran mendasar dan karena itu dapat dimintakan pembatalan perjanjian. Namun demikian menurut CISG, tindakan avoidance tidak diberlakukan untuk seluruh isi perjanjian. Berdasarkan ketentuan pasal 81 CISG, avoidance tidak berlaku atas ketentuan mengenai sengketa, ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat avoidance, dan pihak yang telah melaksanakan perjanjian baik secara keseluruhan atau sebagian berhak menuntut ganti kerugian. Dalam perjanjian obligatoir, senantiasa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak lain. Pihak yang berhak menuntut disebut pihaak berpiutang atau kreditor dan pihak yang berwajib memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak berhutang atau debitor. Sebaliknya, sesuatu yang dapat dituntut disebut dengan istilah prestasi. Prestasi dalam KUHPerd dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan. Jika seorang debitor tidak memenuhi kewajibannya, menurut hukum debitor tersebut dikatakan wanprestasi yang menyebabkannya dapat digugat di depan hakim. Subekti (1990: 45) mengklasifikasi tindakan wanprestasi menjadi empat macam, yaitu: Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilaksanakan; Melaksanakan apa yang diperjanjikan tidak sebagaimana mestinya; Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Adapun Pitlo (1988: 55) berpendapat bahwa wanprestasi itu dapat terjadi jika debitor mempunyai kesalahan. Kesalahan adalah adanya unsur kealpaan atau kesengajaan. Kesengajaan terjadi jika debitor secara tahu dan mau tidak memenuhi kewajibannya. Kealpaan terjadi jika debitor dapat mencegah penyebab tidak terjadinya prestasi dan debitor dapat disalahkan karena tidak mencegahnya. Demikian demikian seorang dapat dinyatakan wanprestasi manakala yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya unuk memenuhi prestasi dan tidak terlaksananya kewajiban tersebut karena kelalaian atau kesengajaan. Van Dume (1989: 31) menyatakan bahwa apabila terjadi wanprestasi, maka kreditor yang dirugikan dari perikatan timbal-balik mempunyai beberapa pilihan atas berbagai macam kemungkinan tuntutan, yaitu: Menuntut prestasi saja; Menuntut prestasi dan ganti rugi; Menuntut ganti rugi saja; Menuntut pembatalan perjanjian; Menuntut pembatalan perjanjian dan ganti rugi.

Hal tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kreditor, agar dapat mempertahankan kepentingan terhadap debitor yang tidak jujur. Namun demikian, hukum jugaa memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitor yang tiddak memenuhi kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian. Subekti (1985: 55) mengemukakan bahwa seorang debitor yang dinyatakan wanprestasi masih dimungkinkan untuk melakukan pembelaan berupa : Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa; Mengajukan bahwa kreditor sendiri juga telah lalai;

Mengajukan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

Ketentua mengenai keadaan memaksa tersebut dalam KUHPerd dapat ditemui dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPerd. Kedua pasal itu dimaksudkan untuk melindungi pihak debitor yang telah beritikad baik. Namun demikian, Pitlo (1988: 65) menegaskan bahwa jika debitor telah melakukan wanprestasi, maka debitor tidak dapat lagi membebaskan diri dengan dasar keadaan memaksa yang terjadi setelah debitor debitor ingkar janji. Halangan debitor untuk melaksanakan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa secara teoritis dapat dibedakan antara keadaan memaksa mutlak dan tidak mutlak. Prodjodikoro (1989: 56) menyatakan bahwa keadaan memaksa absolut terjadi keadaan itu menyebabkan janji sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun dan bagaimanapun. Keadaan memaksa tidak mutlak terjadi apabila pelaksanaan janji masih mungkin tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari pihak yang berwajib sedemikian rupa sehingga patutlah bahwa kewajiban untuk melaksanakan janji itu dianggap tidak ada atau lenyap. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dalam perjanjian obligatoir seperti perjanjian jual-beli senantiasa terdapat suatu kewajiban oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak lain. CISG maupun KUHPerd masingmasing memberikan beberapa upaya hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam hal terjadi pelanggaran atas perjanjian jual-beli, yaitu: 1. Meminta pelaksanaan perjanjian; 2. Meminta pembatalan perjanjian; 3. Meminta ganti kerugian termasuk kerugian akibat kehilangan keuntungan. Dalam CISG, masih dikenal upaya hukum yang lain yaitu penundaan pelaksanaan perjanjian yang dapat diminta oleh salah satu pihak atas pihak lainnya apabila terjadi anticipatory breach sebagaimana ditentukan dalam pasal 71 dan 72 CISG. Secara garis besar, upaya hukum dalam perjanjian jual-beli menurut CISG adalahsebagai berikut : Dalam hal breach of contract : upaya hukum bagi pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG .

upaya hukum bagi penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG.

Dalam hal fundamental breach : Upaya hukum bagi penjual dan pembeli diatur dalam pasal 26 CISG. Dalam hal anticipatory breach : Upaya hukum bagi penjual dan pembeli diatur dalam pasal 71 dan 72 CISG. Sementara itu, ketentuan untuk ganti kerugian bagi para pihak diatur dalam pasal 7477 CISG. Dalam KUHPerd, upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli diatur dalam Buku III. Dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus terdapat ketentuan pasal 1266-1243 dan dalam hal ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUHPerd. B. Saran Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian jual-beli internasional dalam CISG maupun perjanjian dalam KUHPerd menganut sistem terbuka dimana para pihak bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian (vide pasal 6 jo pasal 12 CISG dan pasal 1338 KUHPerd). Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam CISG maupun KUHPerd dapat dipilih sebagai dasar hukum dari perjanjian yang dibuat para pihak atau sebagai pelengkap jika para pihak menentukan sendiri bentuk dan isi perjanjiannya. Oleh karena itu para pihak sepatutnya memperhatikan bentuk dan isi perjanjian secara detail termasuk ketentuan yang mengatur tentang sengketa diantara mereka. Ketentuan tersebut sangat urgen untuk menjamin kepentingan hukum mereka dan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi kerugian yang akan timbul jika terjadi pelanggaran perjanjian. DAFTAR PERPUTAKAAN 1. Buku Hamzah Rasyid, 1998, Kontrak dalam Jual-Beli Barang Internasional dalam Seri Dasar Hukum Ekonomi: Jual-Beli Barang secara Internasional, ELIPS dan FH-UI, Jakarta. Subekti 1990, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. Subekti 1995, Aneka Perjanjian, Cipta Aditya Bakti, Bandung.

1. Peraturan Perundang-Undangan The United Nations Convention on Contract for International sale Goods (CISG). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pengertian Perjanjian jual beli barang


Sudikno Mertokusumo mendenisikan perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perjanjian didenisikan sebagai hubungan hukum karena didalam perjanjian itu terdapat dua perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yaitu perbuatan penawaran (offer aanbod) dan perbuatan penerimaan (acceptance, aanvaarding). Dalam pasal 1457 KUHPerdata disebutkan bahwa jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang satu lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jadi pengertian jual-beli menurut KUHPerdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Perjanjian jual-beli dalam KUHPerdata menentukan bahwa obyek perjanjian harus tertentu, atau setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan hak milik atas atas barang tersebut kepada pembeli. Sementara itu, KUHPerdata mengenal tiga macam barang yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan, atau claim. Surat perjanjian jual beli merupakan akta sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.

Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atauterjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb. Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterai. Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.

You might also like