You are on page 1of 38

BAB II ISI 2.

1 Respon Imun Terdapat dua jenis kekebalan berdasarkan cara timbulnya, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Kekebalan pasif ini bisa didapat dari ibu ke anak atau kekebalan yang diperoleh setelah suntikan imunoglobulin. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi atau terpajan secara alamiah dari penyakit. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama, sedangkan kekebalan aktif biasanya berlangsung lama karena adanya memori imunologik (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008). Imunitas seseorang terhadap penyakit infeksi terbentuk akibat respon tubuhnya terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Sistem imun tubuh mengenal mikroorganisme yang disebut dengan antigen, dimana tedapat dua jalur imunitas yaitu imunitas alamiah (innate immunity) dan didapat (adaptive immunity). Imunitas alamiah terdiri dari komponen fisik (kulit, membran mukosa), komponen humoral (komplemen, sistem koagulasi, laktoferin, transferin, lisozim, sitokin), dan komponen seluler (neutrofil, makrofag, eosinofil) (PP IDAI, 2011). Respon akibat pemberian vaksin termasuk dalam imunitas didapat dan sifatnya spesifik. Diprakasai oleh sel limfosit T untuk imunitas seluler dan limfosit B untuk imunitas humoral. Respon humoral bereaksi secara spesifik terhadap antigen bebas di sirkulasi dan jaringan, seperti kuman difteri, tetanus, pneumokokus, H.influenzae, dan pertusis. Jika limfosit yang pertama kali dirangsang oleh mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam sel tubuh (intrasel) seperti virus campak, hepatitis, polio, dan tuberkulosis, maka mikroorganisme akan dikenali oleh sel T yang akan memperbanyak diri dan menghancurkan organisme tersebut. Sebagian sel T akan berubah menjadi sel memori yang akan dengan cepat bertambah banyak jika organisme yang sama datang lagi. Selain itu tubuh membentuk sel B memori, yang bersirkulasi dalam darah dan kelenjar limfe selama bertahun-tahun, siap untuk melawan antigen yang sama di kemudian hari (PP IDAI, 2011). Seseorang dapat memperoleh imunitas yang berasal dari ibunya. Kekebalan yang telah ada di dalam tubuh ibu hamil dapat disalurkan kepada

janin yang dikandungnya. Kekebalan itu juga dapat disalurkan melalui air susu ibu (ASI). Namun, kekebalan yang didapat dari ibu tidak bersifat kekal. Apabila kekebalan tersebut telah menurun kadarnya, bayi harus membuat sendiri kekebalan tubuhnya melalui vaksinasi atau terserang penyakit yang bersangkutan secara alami. Antibodi yang diperoleh dari ibu ini adalah Imunoglobulin G (IgG). Hilangnya kekebalan ibu untuk tiap penyakit berbeda, maka waktu pemberian tiap imunisasi berbeda. Disinilah pentingnya memberikan imunisasi sesuai jadwal yang telah ada (Bushan, 2007; PP IDAI, 2011). Waktu pemberian vaksin yang tepat tergantung kapan seorang anak rentan terhadap penyakit tersebut. Misalnya, campak paling banyak dijumpai pada anak sekitar umur 1-5 tahun, maka imunisasi campak harus diberikan sebelum bayi berusia satu tahun. Apalagi kekebalan seorang bayi terhadap campak yang didapat dari ibunya hanya dapat bertahan sampai bayi berumur 9 bulan. Kekebalan seseorang terhadap penyakit tertentu perlu diperbarui. Apabila kadar antibodi telah menurun, imunisasi perlu diberikan kembali. Itu sebabnya beberapa vaksinasi perlu diperkuat (booster) untuk memperoleh kekebalan yang maksimal dan bertahan lama (PP IDAI, 2011). 2.2 Sasaran Vaksin Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka pencegahan penularan terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) ini terbagi menjadi 2, yaitu program imunisasi rutin dan program imunisasi khusus. Adapun program imunisasi rutin ini ditujukan pada bayi dengan usia < 1 tahun untuk vaksin Hepatitis B, Polio, BCG, DPT, dan campak, pada wanita usia subur (15-39 tahun) untuk vaksin TT (Tetanus Toxoid), sedangkan pada anak usia sekolah dasar berupa vaksin campak, DT/DPT, dan TT (Kep Menkes, 2005). Pada program imunisasi khusus berupa vaksin meningococcus ACW135Y untuk calon haji, petugas PPIH, TKHI pada waktu lebih dari 10 hari sebelum berangkat dan berlaku selama 2 tahun. Untuk vaksin demam kuning ditujukan pada imigran yang menuju ataupun dari negara endemis pada waktu lebih dari 10 hari sebelum berangkat (kecuali bayi < 9 bulan dan ibu hamil trimester 1) dan berlaku selama 10 tahun. Untuk vaksin rabies, ditujukan pada semua kasus gigitan tersangka rabies, dimana terdapat epidemiologi sepanjang 2 tahun terakhir dengan kasus dan laboratorium positif.

2.3 Komponen Vaksin Vaksin mengandung 2 komponen, yaitu antigen aktif dan zat tambahan. Antigen aktif ini bisa berupa bakteri yang dilemahkan, bakteri yang dimatikan, zat yang dikeluarkan oleh bakteri, virus yang dilemahkan, virus mati, fraksi antigen, ataupun rekayasa genetika. Zat tambahan berupa zat pelarut, bahan pengawet, atau ajuvan (PP IDAI, 2011). 2.4 Keberhasilan Imunisasi

2.4.1 Status Imun Penjamu


Terjadinya antibody spesifik pada penjamu terhadap vaksin yang diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa janin mendapat antibody maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibody spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula kolostrum ASI yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral karena akadar sIgA semakin menurun. Karena itu, bila vaksinasi polio oral diberikan pada saat pemberian kolostrum (usia 3 hari), hendaknya puasa 2 jam sebelum dan sesudah OPV (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008). Keberhasilan imunisasi memerlukan maturitas imunologik. Vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada saat anak, dikarenakan fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi HLA ( Human Leucocyte Antigen) masih kurang pada permukaannya, deformabilitas membran dan respon kemotaktik masih kurang, kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih rendah, aktivitas kemotaktik dan daya lisisnya juga masih rendah. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, perlu diberikan ulangan (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008). Status imum mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun, penderita penyakit sistemik seperti campak, tuberculosis millier, akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Pada kondisi seperti itulah, bila pemberian vaksin hidup tetap dilakukan, akan timbul penyakit pada individu tersebu makrofag dan limfositt. Demikian pula pada kondisi gizi buruk, dapat menurunkan fungsi sel system imun sepert (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008).

2.4.2 Faktor Genetik Penjamu


Faktor genetik dalam respon imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) dan gen nonMHC. Kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen dan kompleks nonMHC berkaitan dengan defisiensi imun pada genetik tertentu. Faktor ini menyokong adanya peran genetic dalam respon imun, hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.

2.4.3 Kualitas dan Kuantitas Vaksin


Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi. Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respon imun yang timbul. Dosis vaksin juga harus tepat, bila terlalu tinggi akan mengambat respon imun yang diharapkan, bila terlalu rendah tidak akan merangsang sel imunokompeten. Salain itu, frekuensi dan jarak pemberian akan mempengaruhi respon imun yang terjadi. Bila diberikan saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik sehingga tidak merangsang sel imunokompeten (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008). Respon imun terhadap antigen dapat ditingkatkan dengan pemberian ajuvan, dengan mempertahankan antigen pada atau dekat tempat suntikan dan mengaktivasi sel APC (Antigen Presenting Cell) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya. Jenis vaksin juga mempengaruhi keberhasilan imunisasi. Vaksin hidup akan menimbulkan respon imun yang lebih baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008). 2.5 Jenis Vaksin 2.5.1 Vaksin Hidup Attenuated Adalah kuman atau virus hidup yang dilemahkan. Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi bakteri atau virus penyebab penyakit. Supaya dapat menimbulkan respon imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang biak di dalam tubuh resipien hingga cukup besar untuk memberi rangsangan terhadap suatu respon imun. Respon imun tubuh tidak membedakan suatu infeksi antara virus vaksin yang dilemahkan dengan virus liar. Vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan penyakit tapi umumnya bersifat ringan daripada penyakit alamiah. Pada vaksin polio hidup, vaksin hidup

attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogen seperti semula (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008). Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas atau sinar. Vaksin hidup attenuated yang tersedia terdiri dari, virus hidup yaitu vaksin campak, MMR, polio, rotavirus, dan yellow fever. Untuk yang berasal dari bakteri hidup adalah vaksin BCG dan demam tifoid oral (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008). 2.5.2 Vaksin Inactivated Dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif dengan penanaman bahan kimia. Untuk vaksin komponen, organism dibuat murni dan hanya komponennya yang dimasukkan dalam vaksin. Vaksin Inactivated ini tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menimbulkan penyakit dan tidak mengalami mutasi menjadi patogen (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008). Vaksin Inactivated membutuhkan dosis multiple, karena saat dosis pertama hanya bersifat memacu atau menyiapkan system imun, dosis berikutnya baru timbul respon imun protektif. Respon imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, berbeda dengan vaksin hidup attenuated. Titer antibody antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu, sehingga membutuhkan dosis tambahan secara periodik. Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari seluruh sel virus yang inactivated (influenza, polio sistemik, rabies, hepatitis A), seluruh bakteri yang inactivated (pertusis, tifoid, kolera, lepra), vaksin fraksional yang masuk sub-unit (hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, Lyme disease), toksoid (difteri, tetanus, botulinum), polisakarida murni (pneumococcus, meningococcus, HIB), serta gabunga polisakarida (HIB dan pneumococcus) (Satgas Imunisasi-IDAI, 2008). 2.6 Prosedur Imunisasi 2.6.1 Penyimpanan dan Transportasi Vaksin Jenis vaksin dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan ketahanannya terhadap suhu lingkungan, vaksin yang tahan terhadap suhu panas (heat stable) dan yang tidak tahan terhadap suhu panas ( heat labile). Pada umumnya vaksin hidup (seperti BCG, polio, campak) tidak tahan terhadap panas lingkungan

terutama jika terkena matahari, sedangkan vaksin mati (misalnya vaksin hepatitis B, DPT, Hib) lebih stabil dalam suhu panas (PP IDAI, 2011). Vaksin harus selalu disimpan pada suhu optimal, biasanya di antara 2C dan 8C, dari tempat pembuatan ke lokasi penggunaan. Hal ini merupakan tantangan logistik, terutama di negara-negara berkembang. Jaringan yang dibentuk untuk memastikan bahwa suhu yang diperlukan dapat dipertahankan disebut "rantai dingin" atau cold chain. Rantai dingin ini terdiri dari kamar dingin atau kamar beku, lemari pendingin, dan wadah pembawa vaksin (WHO, 2009). Kamar dingin atau kamar beku berada di pabrik vaksin, distributor pusat, Departemen Kesehatan, dan Dinas Kesehatan. Untuk kamar dingin bersuhu 2C hingga 8C, dan kamar beku bersuhu -25C hingga -15C. Kamar dingin dan kamar beku ini hanya untuk menyimpan vaksin, tidak diperbolehkan untuk membuat cold pack maupun cool pack. Di tingkat berikutnya adalah lemari es dan freezer, lemari es bersuhu 2C hingga 8C, dan freezer bersuhu -25C hingga -15C. Lemari es bisa digunakan untuk membuat cool pack atau kotak dingin cair yang biasanya diletakkan di wadah plastik berwarna merah atau biru, sedangkan freezer bisa digunakan untuk membuat cold pack atau kotak es beku yang biasanya diletakkan di wadah plastik berwarna putih. Di dalam lemari es dan freezer, harus diletakkan termometer dial atau Muller pada rak ke-2 dan freeze watch atau freeze tag pada rak ke-3. Kegunaan dari freeze watch atau freeze tag ini untuk mengetahui apakah suhu pernah mencapai dibawah 0C (Satgas ImunisasiIDAI, 2008). Vaksin diletakkan ke dalam tempat penyimpanan dengan susunan tertentu. Vaksin hidup berada pada tempat yang paling dingin, sedangkan vaksin mati berada jauh dari bagian yang paling dingin. Untuk pelarut dan dropper vaksin polio oral tidak boleh diletakkan di dalam lemari es ataupun freezer. Bila vaksin akan dibawa ke suatu tempat, maka vaksin disimpan pada wadah pembawa vaksin yang berupa cold box atau vaccine carrier (termos) dan berisi cold pack maupun cool pack serta disusun berbeda antara vaksin mati dan vaksin hidup (Satgas ImunisasiIDAI, 2008). Monitor botol vaksin (Vaccine Vial Monitor atau VVM) atau label sensitif suhu dapat ditempelkan ke botol vaksin dan menunjukkan melalui perubahan warna apakah botol tersebut telah terkena panas yang mungkin telah merusak vaksin. Label ini telah berhasil digunakan untuk memantau vaksin yang dibawa keluar dari jaringan rantai dingin seperti untuk kampanye imunisasi massal, yang

mungkin terpencil dan tanpa akses ke pendingin. Dalam kondisi ini, vaksin harus disimpan dalam kontainer dengan kemasan dingin. Label botol VVM memungkinkan penyedia layanan kesehatan untuk menentukan dengan cepat apakah vaksin telah disimpan dalam kisaran suhu yang diperlukan atau tidak (WHO, 2009).

Gambar 2.1 Vaccine Vial Monitor

2.6.2 Persiapan Anak dan Orang tua


Sebelum dilakukan vaksinasi, perlu dilakukan anamnesis yang terperinci, tentang umur anak, jarak dengan vaksinasi sebelumnya, riwayat Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), riwayat alergi, adanya indikasi atau kontraindikasi, dan perlu dilakukan edukasi kepada orangtua tentang manfaat dan risiko KIPI yang kemungkinan terjadi (Satgas ImunisasiIDAI, 2008). Sebelum melaksanakan imunisasi di lapangan petugas kesehatan harus mempersiapkan vaksin yang akan dibawa. Jumlah vaksin yang dibawa dihitung berdasarkan jumlah sasaran yang akan diimunisasi dibagi dengan dosis efektif vaksin pervial atau ampul. Selain itu juga harus mempersiapkan peralatan rantai dingin yang akan dipergunakan di lapangan seperti termos dan kotak dingin cair. Selain itu, petugas juga harus mempersiapkan ADS dan safety box untuk dibawa ke lapangan. Jumlah ADS yang dipersiapkan sesuai dengan jumlah sasaran yang akan diimunisasi. Jumlah Safety box yang akan dibawa disesuaikan dengan jumlah ADS yang akan dipergunakan dan kapasitas safety box yang tersedia (Balitbangkes, 2004).

10

2.6.3 Cara Pemberian


Kemasan vaksin juga perlu diperhatikan dalam menjaga mutu vaksin. Vaksin dapat dikemas dalam satu dosis (satuan) atau multidosis (satu botol untuk 5-10 suntikan). Pada vaksin multidosis, umumnya telah diberi zat pengaman dari pabrik untuk mencegah pencemaran dari jarum suntik. Akhirnya penggunaan vaksin juga harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan dalam tatacara penyuntikan atau penetesan vaksin. Jarum yang dipergunakan, cara pengambilan vaksin, cara penyuntikan, lokasi penyuntikan, selalu diajarkan dan dilatihkan kepada petugas kesehatan yang memberikan vaksinasi (WHO, 2009). Untuk vaksin hidup pada umumnya tidak dapat disimpan lebih dari satu hari setelah digunakan, maka sisa vaksin harus dimusnahkan (seperti vaksin BCG dan campak). Penjagaan mutu vaksin sangat diperhatikan oleh Kementerian Kesehatan. Penggunaan jarum suntik sekali pakai merupakan terobosan baru dalam kiat menjaga mutu dan keamanan pasien (WHO, 2009). 2.6.4 Pemantauan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi, yang diduga ada hubungannya dengan pemberian imunisasi. Demam ringan hingga tinggi, bengkak, kemerahan, agak rewel, merupakan KIPI. Itu adalah reaksi umum yang terjadi setelah imunisasi. Umumnya akan hilang dalam 3-4 hari, walaupun kadang berlangsung lebih lama (PP IDAI, 2011). 2.6.5 Pencatatan Pencatatan dan pelaporan dalam manajemen program imunisasi memegang peranan penting dan sangat menentukan selain menunjang pelayanan imunisasi juga menjadi dasar untuk membuat perencanaan maupun evaluasi. Perihal penting yang harus dicatat adalah hasil cakupan imunisasi, stok vaksin serta logistik. Pelaporan dilakukan oleh setiap unit yang melakukan kegiatan imunisasi mulai dari puskesmas pembantu, puskesmas, rumah sakit umum, balai imunisasi swasta, rumah sakit swasta, rumah bersalin swasta kepada pengelola program di tingkat administrasi yang sesuai. Adapun yang dilaporkan adalah cakupan imunisasi, stok dan pemakaian vaksin (Depkes RI, 2005).

11

2.6.6

Pembuangan Limbah Semprit dan jarum setelah digunakan untuk melarutkan vaksin atau untuk

menyuntik harus segera dimasukkan ke dalam kotak limbah. Kotak ini mempunyai lubang kecil yang mudah untuk dimasuki semprit bekas tapi tidak mudah tumpah keluar dan tidak mudah ditembus oleh jarum, serta tahan air. Jika sudah penuh, segera ditutup rapat agar tidak tumpah ketika dibawa ke tempat penghancuran. Spuit dan jarum bekas dibakar dalam insinerator bersuhu lebih dari 800C (Satgas ImunisasiIDAI, 2008). 2.6.7 Sisa Vaksin Sisa vaksin yang dibuka di sarana pelayanan kesehatan masih bisa digunakan pada pelayanan berikutnya bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Satgas ImunisasiIDAI, 2008): Tidak melewati tanggal kadaluarsa Disimpan dalam suhu 2C hingga 8C Tidak pernah terendam air VVM A atau B Tidak lebih dari 3 hingga 4 minggu setelah dibuka.

2.7Jadwal Pemberian Program Perluasan Imunisasi (EPI) atau Program Pengembangan Immunisasi (PPI) Indonesia, bersama dengan rekomendasi WHO imunisasi untuk Indonesia, telah membuat pemberian beberapa jenis vaksin menjadi wajib untuk semua bayi yang baru lahir, yang meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak. Pada tahun 2010, penggolongan PPI dan non-PPI sudah ditiadakan, meskipun pada keseharian masih terbagi antara imunisasi yang rutin diberikan dan yang tidak rutin. Fitur imunisasi atau vaksinasi yang diberikan kepada anakanak tetapi bukan bagian dari Program Imunisasi Nasional adalah tifoid, MMR, Hib, pneumokokus, hepatitis A, varisella dan influenza, dan HPV. 2.7.1 BCG Bacille Calmette-Gurin (atau BCG) adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga

12

didapatkan

basil

yang

tidak

virulen

tetapi

masih

mempunyai

imunogenitas. Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis TB dan tuberkulosis milier (PP IDAI, 2008). Penggunaan utama adalah untuk vaksinasi BCG terhadap TBC. Disarankan vaksinasi BCG diberikan secara intrakutan/intradermal oleh seorang perawat terampil dalam teknik ini. Vaksinasi BCG merupakan penyebab hasil positif palsu dari tes Mantoux, meskipun hasil bacaan yang sangat tinggi biasanya dikarenakan penyakit aktif (WHO, 2009). Kecuali pada neonatus, tes kulit tuberkulin harus selalu dilakukan sebelum pemberian BCG. Tes tuberkulin kulit reaktif merupakan kontraindikasi untuk BCG. Seseorang dengan reaksi tuberkulin positif tidak diberikan BCG, karena ada resiko tinggi peradangan lokal parah dan jaringan parut, bukan karena kesalahpahaman umum bahwa reaktor tuberkulin "sudah kebal" dan karena itu tidak perlu BCG. Orang ditemukan memiliki tes kulit tuberkulin reaktif harus diskrining untuk TB aktif (WHO, 2009). BCG diberikan sebelum anak berusia 2 - 3 bulan, dimana imunisasi ulang tidak perlukan karena keberhasilannya diragukan. Pada anak usia > 2-3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberculin (mantoux) terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan pada hasil uji tuberculin negative (PP IDAI, 2008). Vaksin BCG berbentuk bubuk kering harus dilarutkan dengan 4 cc NaCl 0,9%. Setelah dilarutkan harus segera dipakai dalam waktu 3 jam, sisanya dibuang. Penyimpanan pada suhu 2-8C, tidak boleh beku, terhindar dari sinar matahari (indoor day-light) (WHO, 2009). BCG diberikan sebagai suntikan intradermal tunggal pada insersi otot deltoid, disuntikkan sebanyak 0,05 ml (usia < 12 bulan) atau 0,1 ml (usia > 12 bulan) intra kutan. Dari hasil ini akan terlihat adanya benjolan kulit pucat dengan pori- pori yang khas berdiameter 4-6 mm. hal ini dilakukan atas sesuai anjuran WHO, karena lebih mudah dilakukan (jaringan lemaknya, scar yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat dibandingkan pemberian di daerah pantat dan paha, dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan (WHO, 2009). Efek proteksi timbul 8 12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0-80 %, berhubungan dengan beberapa fakto yaitu mutu vaksin

13

yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor penjamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain) (PP IDAI, 2008).

Gambar 2. 2 Kemasan Vaksin BCG Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Vaksinasi BCG: 1. Reaksi normal (lokal) 2 minggu indurasi, eritema, kemudian menjadi pustula 3-4 minggu pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan) 8-12 minggu ulkus menjadi scar diameter 3-7 mm. Apabila dosis terlalu tinggi maka ulcus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam (retracted). 2. Reaksi regional pada kelenjar Merupakan respon seluler pertahanan tubuh. Hal ini tergantung pada umur anak, dosis, dan galur (strain) yang dipakai. Kadang terjadi di kelenjar aksila dan servikal (limfadenitis) Timbul 2-6 bulan sesudah imunisasi Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-) Akan mengecil 1-3 bulan kemudian tanpa pengobatan. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula maka dapat dibersihkan (dilakukan drainage) dan diberikan obat anti tuberculosis oral. 3. BCG-itis diseminasi

14

BCG-it

is

diseminasi

jarang

terjadi,

seringkali

berkaitan

dengan

imunodefisiensi berat. Komplikasi dari imunisasi BCG adalah: 1. Abses di tempat suntikan Jika BCG sengaja diberikan secara subkutan, maka abses lokal dapat membentuk (BCG-oma) yang dapat mengalami ulserasi, dan seringkali memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun, penting untuk dicatat abses tidak selalu terkait dengan pemberian yang tidak benar, dan merupakan salah satu dari komplikasi yang lebih umum yang dapat terjadi dengan vaksinasi. Sejumlah penelitian medis pada pengobatan abses ini dengan antibiotik telah dilakukan dengan hasil yang bervariasi, tetapi konsensus adalah bahwa sekali nanah telah diaspirasi dan dilakukan analisis dimana tidak terdapat basil yang tidak umum, abses umumnya akan sembuh secara spontan dalam hitungan minggu. 2. Limfadenitis supurativa Oleh karena suntikan sub kutan atau dosis tinggi Terjadi 2-6 bulan sesudah imunisasi Terapi tuberkulostatik mempercepat pengecilan. Reaksi pada yang pernah tertular TBC: Koch Phenomenon = reaksi lokal berjalan cepat (2-3 hari sesudah imunisasi) 4-6 minggu timbul scar. Imunisasi bayi > 3 bulan tes tuberkulin (Mantoux) Untuk menunjukkan apakah pernah kontak dengan TBC Menyuntikkan 0,1 ml PPD di daerah fleksor lengan bawah secara intra kutan Pembacaan dilakukan setelah 48 72 jam penyuntikan Diukur besarnya diameter indurasi di tempat suntikan. < 5 mm : negatif 6-9 mm : meragukan >10 mm : positif Tes Mantoux (-) imunisasi(+)

15

Kontraindikasi: 1. Tes Mantoux (+) 2. Respon imunologik terganggu : infeksi HIV, def imun kongenital, leukemia, keganasan pada sumsum tulang atau system limfe 3. Respon imunologik tertekan: kortikosteroid, obat kanker, radiasi 4. Hamil 5. Menderita gizi buruk. 6. Menderita demam tinggi. 7. Menderita infeksi yang luas 8. Pernah sakit tuberculosis. Rekomendasi yaitu BCG diberikan pada bayi < 2 bulan dan pada bayi dengan kontak erat dengan pasien TB dengan BTA +3 dimana diberikan INH profilaksis terlebih dahulu. BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imunodefisiensi misalnya HIV, gizi buruk, dan lain-lain (PP IDAI, 2008). 2.7.2 Hepatitis B Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Saat ini terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus baru/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimptomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoseluler (KHS). Di negara endemis, 80% KHS disebabkan VHB. Infeksi umumnya terjadi pada awal masa kanak-kanak baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh kareana itu, kebijakan utama tatalaksana VHB adalah memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir merupakan upaya paling efektif dalam menurunkan prevalensi VHB dan KHS (PP IDAI, 2008). Pada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau tidak memiliki antibodi anti HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas dipengaruhi oleh faktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi. Kronisitas dialami oleh 90% bayi yang terinfeksi saat lahir, oleh 25-50% anaka yang terinfeksi usia 1-5 tahun, dan oleh 1-5% anak besar dan orang dewasa. Infeksi VHB juga umumnya akan menjadi kronis bila mengenai pada individu dengan defisisensi imun baik kongenital maupun didapat (PP IDAI, 2008). Pencegahan menjadi upaya terpenting karena paling cost effective, baik secara umum maupun khusus yaitu dengan imunisasi VHB pasif dan aktif.

16

Imunisasi pasif berupa HBIg memberikan proteksi untuk jangka pendek (3-6 bulan) yang hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (neddle stick injury, kontak seksual, bayi dan ibu VHB, terciprat arah ke mukosa atau mata).
Tabel 2.1 Kebijakan imunisasi pada needle stick injury

Kontak yang terpapar Imunisasi (-)

Tatalaksana bila sumber penularan HBsAg (+) HBsAg (-) HBIg dan vaksin atau Vaksin atau periksa anti periksa anti HBs jika HBs bila tergolong resiko

tergolong risiko tinggi* tinggi Imunisasi (+) responder Tidak perlu profilaksis Tidak perlu profilaksis Imunisasi (+) non HBIg 2x (jarak 1 bulan) Bila sumber penularan responder atau HBIg dan vaksin resiko tinggi VHB, seperti perlakukan

HBsAg (+) * Ket: HBIg (0,06 ml/kg, maksimal 5 ml) dalam 48 jam pertama setelah kontak.
Table 2.2.Kebijakan imunisasi pada kontak seksual

Kontak yang terpapar

Sumber Penularan: VHB

Sumber Penularan:

Akut Carrier Imunisasi (-) atau anti HBIg 0,06 ml/kg atau HBIg dan vaksin atau HBs (-) Imunisasi (+) Lupa: periksa anti HBs HBIg vaksin atau periksa periksa anti HBs bila anti HBs bila resiko tinggi tergolong resiko tinggi Tidak perlu profilaksis Tidak perlu profilaksis Anti HBs (-): HBIg dan Anti HBs (-): HBIg dan

vaksin vaksin Ket: HBIg (0,06 ml/kg, maksimal 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak terakhir. Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin disisi tubuh berbeda dalam waktu 12 jam setelah lahir. Imunisasi aktif diberikan pada semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu (ini adalah andalan pencegahan hepatitis B), individu dengan pekerjaan beresiko tertular VHB, karyawan dilembaga perawatan cacat mental, pasien hemodialisis, pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang, individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak seksual, drug users, homosexual, bisexual, heterosexual. Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan dianterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa diberikan di regio deltoid. Vaksin dapat diberikan sebagai tiga atau empat dosis

17

terpisah, sebagai bagian dari jadwal imunisasi rutin yang ada. Di daerah di mana penyebaran ibu-ke-bayi HBV adalah umum, dosis pertama vaksin harus diberikan sesegera mungkin setelah lahir (yaitu dalam waktu 24 jam) (PP IDAI, 2011). Di Indonesia, vaksin Hepatitis B (HepB) harus segera diberikan setelah lahir. Jadi imunisasi HepB-1 diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, mengingat sedikitnya 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan resiko penularan kepada bayinya sebesar 45%. Vaksin ini berisi HBsAg murni. Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) setelah imunisasi hepB-1, yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan. Kementerian Kesehatan mulai 2005 memberikan vaksin HepB saat lahir dalam kemasan uniject, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan HepB-3 yang masih rendah (PP IDAI, 2011).
Tabel 2. 3 Pemberian Imunisasi Hepatitis B

Umur Saat lahir 2 bulan 3 bulan 4 bulan

Imunisasi HepB DTwP / HepB-1 (kombinasi) DTwP / HepB-2 (kombinasi) DTwP / HepB-3 (kombinasi)

Gambar 2. 3 Kemasan Vaksin Hepatitis B Tunggal

Catch up immunization adalah upaya imunisasi pada anak atau remaja

18

yang belum pernah diimunisasi atau terlambat > 1 bulan dari jadwal seharusnya. Khusus pada imunisasi hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antara dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu atau 16 minggu setelah dosis pertama. Tidak ada kontraindikasi absolute untuk imunisasi HepB, sedangkan efek samping yang mungkin terjadi adalah: (PP IDAI, 2011) Demam ringan untuk 1-2 hari Perasaan tidak enak pada pencernaan Rekasi nyeri pada tempat suntikan

Seri vaksin lengkap menginduksi kadar antibodi pelindung di lebih dari 95% dari bayi, anak-anak dan dewasa muda. Setelah usia 40, perlindungan setelah seri primer vaksinasi turun di bawah 90%. Pada 60 tahun, tingkat antibodi pelindung yang dicapai hanya 65 hingga 75% dari mereka yang divaksinasi. Perlindungan berlangsung minimal 20 tahun dan seharusnya bertahan seumur hidup (WHO, 2009). Vaksin ini memiliki catatan keamanan dan efektivitas yang luar biasa. Sejak 1982, lebih dari satu milyar dosis vaksin hepatitis B telah digunakan di seluruh dunia. Di banyak negara dimana 8% sampai 15% dari anak-anak terinfeksi HBV kronis, vaksinasi telah mengurangi tingkat infeksi kronis menjadi kurang dari 1% di antara anak diimunisasi (WHO, 2009). Pada Desember 2006, 164 negara memvaksinasi bayi dengan hepatitis B selama program imunisasi nasional - peningkatan yang besar dibandingkan dengan 31 negara pada tahun 1992, tahun dimana World Health Assembly mengesahkan resolusi untuk merekomendasikan vaksinasi global melawan hepatitis B (WHO, 2009). 2.7.3 Difteria, Tetanus, Pertusis (DTP) DTP (yaitu DTaP dan DTwP) mengacu pada kelas vaksin kombinasi terhadap tiga penyakit menular pada manusia: difteri, pertusis (batuk rejan) dan tetanus. Komponen vaksin termasuk toksoid difteri dan tetanus (dilemahkan dengan penambahan aluminium fosfat dan mertiolat), dan sel-sel organisme penyebab pertusis yang sudah dimatikan (DTwP) (WHO, 2009). DTaP (juga dikenal sebagai Tdap, DTPa, dan TDaP) mengacu pada vaksin kombinasi serupa di mana komponen pertusis adalah aselular. Juga

19

tersedia

adalah

vaksin

DT

atau

TD,

yang

tidak

memiliki

komponen

pertusis. DTaP dikembangkan di Jepang pada tahun 1981 (WHO, 2009). Thimerosal merupakan pengawet yang terkadang digunakan dengan vaksin tertentu. Dari delapan vaksin DPT yang diproduksi, hanya tiga yang pernah mengandung thimerosal. Saat ini, tujuh dari delapan vaksin DPT di pasaran tidak menggunakan thimerosal, dan produk yang menggunakan thimerosal (Tripedia) sebanyak trace level, kurang dari 0,3 mikrogram per dosis. WHO telah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti toksisitas dari thimerosal dalam vaksin (WHO, 2009). Imunisasi DTP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan jarak 4-8 minggu. DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan, dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan, dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun (PP IDAI, 2011). DTP merupakan vaksin cair. Jika didiamkan sedikit berkabut, dengan .endapan putih didasarnya. Dosis 0,5 ml secara intra muskular di bagian luar paha. Vaksin ini mengandung aluminium fosfat, yang jika diberikan sub kutan menyebabkan iritasi lokal, peradangan dan nekrosis setempat (WHO, 2009).

Gambar 2. 4 Kemasan Vaksin DT dan DTP-HB

Reaksi pasca imunisasi yang bisa terjadi adalah: Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh (42,9%) penerima DTP. Proporsi demam ringan dengan reaksi local sama dan 2,2% diantaranya dapat mengalami hiperpireksia. Anak gelisah dan menangis terus-menerus selama beberapa jam pasca

20

suntikan (inconsolable crying). Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam (0,06%) sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi. KIPI paling serius adalah ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis. Demam, nyeri pada tempat suntikan 1-2 hari diberikan antianafilatik, antipiretik, kompres hangat atau lebih sering menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan. Bila ada reaksi berlebihan pasca imunisasi demam > 40C, kejang, syok imunisasi selanjutnya diganti dengan DT atau DPaT. Vaksin DTP dapat dikombinasi dengan vaksin lain yaitu Hepatitis B, Hib, atau polio injeksi (IPV). Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan DPT. Untuk meningkatkan cakupan imunisasi ulangan, vaksinasi DPT diberikan pada awal sekolah dasar dalam program imunisasi anak sekolah (BIAS) (PP IDAI, 2011). Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat.Jika anak pernah mengalami kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan (PP IDAI, 2008). Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole cell maupun aseluler yaitu 1. Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya, 2. Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya (PP IDAI, 2008). Khusus mengenai vaksin tetanus, dimana salah satu tujuannya adalah untuk menurunkan kematian akibat tetanus bayi baru lahir (tetanus neonatorum), mengharuskan setiap wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil untuk mendapat vaksin tetanus sebagai perlindungan untuk bahaya tetanus neonatorum pada anaknya (PP IDAI, 2011). 2.7.4 Polio Dua vaksin polio yang digunakan di seluruh dunia untuk memerangi polio yaitu pertama dikembangkan oleh Jonas Salk dimana pertama kali diuji pada 1952 dan diumumkan kepada dunia oleh Salk pada 12 April 1955 berupa virus

21

polio tidak aktif (mati) dengan dosis injeksi. Kedua yaitu suatu vaksin oral yang dikembangkan oleh Albert Sabin menggunakan virus polio dilemahkan dimana percobaan vaksin Sabin pada manusia dimulai pada tahun 1957 dan akhirnya mendapat ijin pada tahun 1962 (WHO, 2009). Kedua tipe vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin inactived poliomyelitis vaccine (IPV) dapat diberikan pada anak sehat maupun anak yang menderita penurunan kekebalan, dan dapat diberikan sebagai imunisasi dasar atau ulangan, serta pada anak-anak dengan diare (terjadi gangguan penyerapan vaksin per oral). Vaksin IPV dapat juga diberikan bersamaan dengan DTP, secara terpisah atau kombinasi. IPV harus disimpan pada suhu 2-8 C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam tiga kali berturut-turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing suntikan ajan memberikan imunitas jangka panjang. Imunitas mucosal oleh IPV lebih rendah dibandingkan oleh OPV. Vaksin berbentuk cairan yaitu oral polio vaccine (OPV) digunakan rutin sejak bayi lahir dengan kemasan 1 cc atau 2 cc dalam flacon, pipet, dengan pemberian secara oral sebanyak 2 tetes (0,1 ml) (PP IDAI, 2011). Bila OPV yang diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka dosis tersebut perlu diulang. OPV harus disimpan tertutup pada suhu 2-8 C dan dapat disimpan beku pada < -20 C. Vaksin yang beku dapat dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan pada kedua telapak tangan dan digulir-gulirkan dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda (sebagain indicator pH) (PP IDAI, 2008)

Gambar 2. 5 Kemasan Vaksin Polio Oral

22

Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman Kemenkes, dikarenakan Indonesia rentan terhadap penyebaran virus polio liar dari daerah endemik polio (India, Afganistan, Sudan). Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit / rumah bersalin agar tidak menulari bayi lain karena virus polio vaksin dapat dikeluarkan melalui feses (PP IDAI, 2011). Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4 dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. Vaksin polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, dan imunisasi selanjutnya diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun). Kontra indikasi vaksinasi polio adalah pada anak dengan defisiensi imunologik atau pernah kontak dengan virus polio (PP IDAI, 2011). KIPI yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan pada resipien (VDPV = vaccine derived polio virus) atau kontak (VAPP = vaccine associated polio paralytic). Poliomielitis paralitik terkait vaksin terjadi sekitar 1 dari setiap 2,5 juta dosis yang diberikan, dimana resiko paling sering pada pemberian dosis pertama dibandingkan dosis berikutnya. Gejala ringan dapat berupa pusing, diare ringan, nyeri otot. Seperti vaksin lainnya, semua gejala yang timbul setelah vaksinasi harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat (PP IDAI, 2008). Kontra-indikasi dari OPV adalah sebagai berikut: Penyakit akut atau demam (suhu >38,5oC) Muntah atau diare Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif, termasuk pengobatan radiasi umum. Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial (limfoma, leukemia, penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnya terganggu seperti pada hipogamaglobulinemia. Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak. Walaupun KIPI pada fetus belum pernah dilaporkan, OPV jangan diberikan pada orang hamil pada 4 bulan pertama kehamilan kecuali alasan mendesak seperti bepergian ke daerah endemis poliomyelitis. OPV dapat diberikan bersama dengan vaksin inactivated dan virus hidup lainnya (sesuai indikasi) kecuali bersama vaksin oral tifoid. OPV dan IPV mengandung sejumlah kecil antibiotic (neomisin, polimiksin,

23

streptomisin) namun hal ini tidak menjadi kontraindikasi kecuali pada anak yang memiliki bakat hipersensitivitas berlebihan, Anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita imunosupresi jangan diberikan IPV maupun OPV. 2.7.5 Campak Vaksinasi campak rutin untuk anak-anak, dikombinasikan dengan kampanye imunisasi massal di negara-negara dengan angka kejadian dan kematian yang tinggi, merupakan strategi kesehatan publik utama untuk mengurangi kematian global akibat campak. Vaksin campak telah digunakan selama lebih dari 40 tahun dengan aman, efektif dan murah. Biaya yang dikeluarkan hanya kurang dari satu dolar AS untuk imunisasi anak terhadap campak (WHO, 2009). Vaksin campak sering digabungkan dengan rubella dan/atau gondong vaksin di negara-negara di mana penyakit ini menjadi permasalahan. Hal ini sama efektifnya dalam bentuk tunggal atau kombinasi (PP IDAI, 2011). Pada tahun 2008, sekitar 83% anak-anak di dunia menerima satu dosis vaksin campak saat ulang tahun pertama mereka melalui pelayanan kesehatan rutin - meningkat dari 72% pada tahun 2000. Dua dosis vaksin direkomendasikan untuk memastikan kekebalan, karena sekitar 15% anak-anak yang divaksinasi gagal mengembangkan kekebalan dari dosis pertama (WHO, 2009).

Gambar 2. 6 Kemasan Vaksin Campak

24

Pada tahun 1963, tealh dibuat dua jenis vaksin campak yaitu:

Vaksin dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston B) Vaksin dari virus camoak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam alumunium). Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan

adalah sebanyak

1000 TCID50 atau 0,5 ml. Selain vaksinasi pada umur 9

bulan, vaksinasi yang diberikan pada kesempatan kedua (second opportunity pada crash program campak) pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6. Crash program campak ini telah dilakukan secara bertahap di semua provinsi. Selanjutnya vaksinasi campak dosis ke-2 diberikan pada program BIAS yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1. Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan pada umur 6 tahun, ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan (PP IDAI, 2011). Reaksi KIPI imunisasi campak banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi vaksin dengan campak dari virus yang dimatikan, dimana kejadian KIPI ini telah menurun dengan digunakannya vaksin campak yang dilemahkan. Gejala KIPI berupa demam >39,5oC (5%-15%), terjadi 5-6 hari sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari. Berbeda dengan infeksi alami, demam tidak tinggi, namun peningkatan suhu tersebut dapat merangsang terjadinya kejangdemam. Selain itu juga dapat terjadi ruam (5%), timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi, berlangsung selama 2-4 hari. Reaksi KIPI dikatakan berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi, diperkirakan 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin (PP IDAI, 2008). 2.7.6 MMR MMR adalah singkatan dari Measles (Campak), Mumps (Gondong), dan Rubella, merupakan vaksin hidup yang dilemahkan, dengan dosis 0,5 ml. Vaksin ini merupakan vaksin kering, harus disimpan pada temperatur 2-8 oC atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari cahaya (PP IDAI, 2008).

25

Gambar 2. 7 Kemasan Vaksin MMR

Disarankan pada usia 15 - 18 bulan untuk orang sehat (yang belum pernah campak, gondong atau rubella), dengan jarak minimal 6 bulan antara vaksinasi campak (umur 9 bulan) (PP IDAI, 2011). Dosis kedua diberikan pada usia prasekolah, 4 - 6 tahun. Anak-anak yang tidak menerima dosis kedua harus mendapatkannya antara 11 dan 12 tahun (WHO, 2009). Apabila seorang anak telah mendapat vaksinasi MMR pada umur 12-18 bulan dan 6 tahun, maka vaksinasi campak tambahan pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan (PP IDAI, 2011). Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan, dan rubella atau imunisasi campak. Indikasi lain pemberian vaksin MMR adalah:

Anak dengan penyakit kronis sperti kistik fibrosis, kelainan jantung bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down. Anak berusia > 1 tahun yang berada di day care centre, family day care dan play groups. Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.

Reaksi KIPI yang bisa terjadi: (PP IDAI, 2008)

Malaise, demam atau ruam 1 minggu setelah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari. Kejang demam dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi. Perlu orang tua diberikan penjelasan mengenai petunjuk untuk mengurangi demam termasuk penggunaan parasetamol.

Meningoensefalitis, angka kejadian <1/1.000.000

26

Trombositopenia, biasanya akan sembuh sendiri, terkadang dihubungkan dengan komponen rubela dari MMR. Kontra-indikasi: (PP IDAI, 2008)

Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas. Anak dengan alergi berat terhadap gelatin atau neomisin. Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda sampai penyakit ini sembuh. Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain dalam waktu 4 minggu. Dalam hal ini MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif setelah pemberian vaksin.

Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selama 2 bulan, seperti pada vaksin rubela. Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam awktu 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin (Ig) atau transfusi whole blood. Defisiensi imun bawaan dan didapat (HIV bukan kontra-indikasi mutlak, namun perlu konsultasi dengan spesialis anak). Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh mendapat vaksin rubla, kalau boleh sampai 3 bulan setelah pemberian Ig atau produk darah yang mengandung Ig (darah, plasma). Dengan alasan yang sama Ig tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah vaksinasi.

Disebabkan oleh karena komponen rubela, wanita hamil tidak dianjurkan mendapat imunisasi MMR dan dianjurkan untuk tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat suntikan.

2.7.7 Haemophillus Influenza tipe B Vaksin Haemophillus influenza B atau Hib adalah vaksin berbasis polisakarida conjugated yang tidak mencakup Haemophillus nontypeable. Tergantung pada merek vaksin, seri utama yang direkomendasikan terdiri dari tiga dosis atau dua dosis (PP IDAI, 2011). Bagian kapsul Hib yang disebut polyribosyribitol phosphate (PRP) menentukan virulensi dari Hib. Vaksin yang beredar di Indonesia adalah vaksin konjugasi dengan membran protein luar dari Neisseria meningitidis yang disebut sebagai PRP-OMP dan konjugasi dengan protein tetanus yang disebut PRP-T. Kedua vaksin tersebut

27

menunjukkan efikasi dan keamanan yang sangat tinggi. Kedua vaksin tersebut boleh digunakan bergantian baik monovalen atau kombinasi (PP IDAI, 2008). Vaksin Hib disuntikkan pada umur 2, 4 dan 6 bulan, dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/Hib/IPV). Vaksin PRP-OMP diberikan 2 kali sedangkan PRP-T diberikan 3 kali dengan jarak waktu 2 bulan. Penelitian menunjukkan bahwa respon antibodi sudah terbentuk setelah suntikan pertama PRP-OMP dan setelah dua kali suntikan PRP-T, sedangkan titer antibodi tertinggi ditemukan setalah 3 kali suntikan PRP-T dan mampu bertahan lebih lama (PP IDAI, 2008). Setelah seri primer, dosis penguat tambahan dianjurkan pada usia 12 - 15 bulan, terlepas dari regimen yang digunakan untuk seri primer. Jika imunisasi belum dimulai sampai usia 15 - 59 bulan, maka hanya diberikan vaksin dosis tunggal. Vaksin ini tidak diberikan setelah usia 5 tahun (PP IDAI, 2011).

Gambar 2. 8 Kemasan Vaksin Hib Kombinasi dengan DTaP

Pemberian vaksin kombinasi, bertujuan mempersingkat jadwal vaksinasi, mengurangi jumlah suntikan, dan mengurangi kunjungan. Selian vaskin kombinasi DTP dengan Hib, Kementiran Kesehatan memberikan vaksin kombinasi DTwP dengan Hepatitis B (DTwP/HepB) (PP IDAI, 2011). 2.7.8 Tifoid Ada dua jenis vaksin yang tersedia di Indonesia, yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan kapsul untuk diminum (berisi bakteri hidup yang dilemahkan). Vaksin polisakarida disuntikkan mulai umur lebih dari 2 tahun, ulangan diberikan setiap 3 tahun (PP IDAI, 2011).

28

2.7.8.1 Vaksin Oral

Dibuat dari kuman S.typhi galur non patogen yang dilemahkan, dikenal dengan nama Ty-21a. Penyimpanan pada suhu 2oC-8oC. Kemasan berbentuk kapsul, untuk umur 6 tahun atau lebih, diberikan 3 dosis dengan jarak selang sehari (hari 1, 3 dan 5), 1 jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37 C. Vaksinasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin kapsul pada umumnya diperlukan turis yang akan berkunjung ke daerah yang banyak kasus demam tifoid, yaitu diberikan kapsul ke-4 pada hari ke-7.

Kapsul harus utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella. Vaksin ini menimbulkan respon kuat dari interferon mukosa, sehingga pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin tifus ini.

Perlindungan hanya 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman (PP IDAI, 2008; PP IDAI, 2011).

2.7.8.2 Vaksin Polisakarida Parenteral

Dalam setiap 0,5 ml vaksin ini mengandung kuman S.typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol, dan larutan buffer, serta pelarut untuk suntikan. Penyimpanan pada suhu 8-20 C, jangan dibekukan. Kadaluarsa dalam 3 tahun. Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha. Diberikan mulai umur 2 tahun, dan dilakukan imunisasi ulangan setiap 3 tahun. Reaksi samping lokal berupa demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai. Bisa juga terjadi pruritus, ruam kulit dan urtikaria meskipun jarang.

29

Kontra-indikasi: alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin. Juga pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.

Perlindungan hanya 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman (PP IDAI, 2008; PP IDAI, 2011).

Gambar 2. 9 Kemasan Vaksin Tifoid Injeksi

2.7.9 Hepatitis A Vaksin hepatitis A dibuat dari virus yang dimatikan, dimana dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Vaksin ini terutama diberikan pada anak-anak dengan kebersihan dan higinitas yang baik, sehingga secara alamiah belum mempunyai kekebalan terhadap penyakit hepatitis A. Vaksin hepatitis A disuntikkan mulai umur lebih dari 2 tahun (PP IDAI, 2008). Hal ini juga sangat dianjurkan secara rutin untuk orang dengan penyakit hati kronis, pria homoseksual dan biseksual, pengguna narkoba, pasien dengan gangguan faktor pembekuan, dan orang-orang beresiko akibat pekerjaan (WHO, 2009).

Gambar 2. 10 Kemasan Vaksin Hepatitis A

Selain vaksin HepA tunggal, ada pula vaksin kombinasi HepB/HepA. Vaksin kombinasi HepB/HepA tidak boleh diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka vaksin kombinasi diberikan pada anak umur lebih dari 12 bulan, terutama untuk catch-up immunisation yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi HepB sebelumnya atau imunisasi HepB yang tidak lengkap (PP IDAI, 2011).

30

Lama proteksi antibodi anti HVA diperkirakan menetap selama 20 tahun. Mengenai pemberian bersama vaksin lain, vaksin VHA tidak mengganggu respons imun masing-masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping. Kontraindikasi dari pemberian vaksin VHA adalah pada pada mereka yang mengalami reaksi berat sesudah penyuntikan dosis pertama (PP IDAI, 2008). 2.7.10 Varisela Vaksin ini berisi virus hidup varisela-zoster (galur OKA) yang dilemahkan terdapat dalam bentuk bubuk-kering (lyophilised), harus disimpan pada suhu 2oC-8oC (PP IDAI, 2008). Imunisasi varisela diberikan pada saat anak masuk sekolah Taman Kanak-kanak umur 5 tahun, dosis 0.5 mL secara subkutan, dosis tunggal, kecuali terjadi kejadian luar biasa varisela, atau atas permintaan orang tua dapat diberikan pada anak berumur lebih dari 1 tahun. Untuk umur lebih dari 13 tahun, disuntikkan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu. Untuk anak yang kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat diberikan untuk mencegah penularan bila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak, dengan catatan pasien harus dipisahkan dari anak sehat lainnya (PP IDAI, 2011). Pada individu imunokompromais serta remaja (sama atau di atas 13 tahun) dan dewasa memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan.

Gambar 2. 11 Kemasan Vaksin Varisela

Mungkin masih bisa terjadi infeksi varisela, meskipun lebih ringan dibandingkan dengan yang tidak diimunisasi. Vaksin varisela telah dikaitkan dengan perkembangan herpes zoster setelah imunisasi. Kebanyakan orang setelah usia 18 tahun, bahkan tanpa riwayat infeksi varisela, masih tetap kebal. Dapat juga dilakukan tes serologi (sebelum vaksinasi) yang mungkin cost-

31

effective, namun sebenarnya tidak diperlukan karena vaksin ini dapat ditoleransi dengan penyakit sebelumnya (WHO, 2009). Reaksi KIPI : (PP IDAI, 2008) Bersifat lokal (1%), demam (1%), dan ruam papula-vesikel ringan. Pada individu imunokompromais: Reaksi sistemik muncul lebih sering (sekitar 12%-40% pada pasien leukemia) daripada reaksi lokal. Dapat timbul komplikasi varisela. Dapat terjadi varisela berat yang memerlukan pengobatan asiklovir.

Kontra-indikasi: (PP IDAI, 2008)

Demam tinggi. Hitung limfosit kurang dari 1200/l atau adanya bukti defisiensi imun seluler. Alergi neomisin.

2.7.11 Influenza Vaksin influenza berisi dua virus influenza subtipe A yaitu H3N2 dan H1N1, serta virus influenza tipe B. Vaksin influenza untuk mencegah flu berat yang disebabkan oleh virus influenza. Vaksin ini tidak dapat mencegah batuk pilek karena alergi yang biasanya ringan dan tidak berbahaya. Musim influenza umumnya terjadi mulai bulan Mei-Juni di belahan bumi Selatan ( Southern hemisphere), dan November-Desember untuk belahan bumi Utara (Northern hemisphere) (PP IDAI, 2011). Terdapat dua macam vaksin, yaitu whole-virus vaccine dan split-virus vaccine. Untuk menjaga agar daya proteksi terus berlangsung, maka perlu dilakukan vaksinasi secara kontinu teratur setiap tahun menggunakan vaksin yang mengandung galur mutakhir. Vaksin harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 2oC-8oC dan tidak boleh dibekukan. Saat ini beredar 2 macam vaksin influenza yaitu Fluarix (GSK) dan Vaxigrip (Aventis Pasteur) (PP IDAI, 2008).

32

Gambar 2. 12 Kemasan Vaksin Influenza. Fluarix (kiri) dan Vaxigrip (kanan)

Vaksin diberikan secara suntikan intramuskular di otot deltoid pada orang dewasa dan anak yang lebih besar, sedangkan untuk bayi dapat diberikan di paha anterolateral dengan dosis sebanyak 0,25 ml untuk < 3 tahun dan 0,5 ml untuk 3 tahun. Hal ini dilakukan pada anak umur 6-23 bulan, pada anak sehat maupun dengan resiko (asma, penyakit jantung, penyakit sel sabit, HIV dan diabetes). Imunisasi influenza diberikan setiap tahun, mengingat setiap tahun terjadi pergantian jenis galur virus yang beredar di masyarakat (PP IDAI, 2008, 2011). Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza trivalen (TIV) usia 8 tahun, serta anak atau dewasa dengan gangguan imun, vaksin diberikan 2 dosis dengan selang waktu minimal 4 minggu, kemudian imunisasi diulang setiap tahun. Bila anak usia 9 tahun atau lebih cukup satu kali saja, teratur setiap tahun satu kali (PP IDAI, 2008). Vaksin influenza perlu diberikan untuk calon jemaah haji/umroh, diberikan minimal 2 minggu sebelum berangkat (PP IDAI, 2011). KIPI vaksin influenza biasa berupa efek samping minimal seperti ruam makula/papula, 9% menunjukkan reaksi lokal ringan dan transien serta 28% reaksi sistemik ringan. Deskripsinya adalah sebagai berikut: (PP IDAI, 2008)

Pada anak usia antara 6 bulan sampai 5 tahun didapatkan reaksi demam 18%. Reaksi lokal nyeri, eritema, dan indurasi pada tempat suntikan pada 15-20% resipien, terjadi selama 1-2 hari. Gejala sistemik tidak spesifik pada <1% resipien berupa demam, lemas dan mialgia (flu-like symptoms), yang timbul beberapa jam setelah penyuntikan,

33

terutama pada anak usia muda, timbul setelah 6-12 jam pasca vaksinasi selama 1 atau 2 hari. Reaksi segera (immediate hypersensitivity seperti hives, angioedema, asma, anafilaksis sistemik) jarang didapat. Hal ini terjadi karena respon alergi terhadap komponen vaksin, seperti protein telur. Kontra-indikasi: (PP IDAI, 2008)

Pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau adanya respons alergi terhadap protein telur jangan diberi vaksin influenza. Tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita penyakit demam akut yang berat. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui.

2.7.12 Pneumokokus Terdapat dua jenis vaksin pneumokokus, yaitu konjugasi vaksin pneumokokus (PCV 7, 10, dan 13) atau dikenal sebagai imunisasi untuk mencegah IPD (invasive pneumococcus disease): ini diberikan untuk semua anak di bawah usia dua tahun sebagai bagian dari program vaksinasi anak-anak. PCV dapat disuntikkan mulai umur 2 bulan dan kekebalan berlangsung lama. Sedangkan vaksin polisakarida pneumokokus murni 23 serotipe (PPV23): ini diberikan kepada orang-orang yang 65 tahun atau lebih, dan orang-orang berisiko tinggi (PP IDAI, 2011). Jenis vaksin pneumokokus yang beredar di Indonesia, yaitu vaksin polisakarida murni 23 serotipe disebut pneumococcal polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokus generasi kedua berisi vaksin polisakarida konjugasi 7 serotipe yang disebut pneumococcal conjugate vaccine (PCV7). Dalam waktu dekat, akan masuk dan beredar ke Indonesia vaksin polisakarida konjugasi 10 terotipe (PCV 10) dan 13 serotipe (PCV 13) (PP IDAI, 2011). Vaksin PCV diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun. Dapat diberikan bersama vaksin lain misalnya DTwP, DTaP, TT, Hib, HepB, IPV, MMR, atau varisela menggunakan semprit terpisah. Setiap vaksin diberikan pada sisi badan yang berbeda (PP IDAI, 2011).

34

Gambar 2.13 Kemasan Vaksin PCV

Tabel 2. 4 Jadwal dan Dosis Pneumokokus Konjugasi (PCV)

Dosis pertama Imunisasi dasar Imunisasi ulangan* 2-6 bulan 3 dosis, jarak 6-8 minggu 1 dosis, 12-15 bulan 7-11 bulan 2 dosis, jarak 6-8 minggu 1 dosis, 12-15 bulan 12-23 bulan 2 dosis, jarak 6-8 minggu 24 bulan 1 dosis * imunisasi ulangan minimal 6-8 minggu setelah dosis terakhir imunisasi dasar Vaksin diberikan dalam dosis tunggal 0.5mL secara intramuskula atau subkutan dalam di daerah deltoid atau paha lateral. Imunisasi ulangan hanya diberikan bila seorang anak mempunyai risiko tinggi tertular pneumokokus, setelah 3-5 tahun atau lebih. (Pedoman Imunisasa Di Indonesia, 2005) Reaksi KIPI pada vaksin pneumokokus tidak ada yang serius. Reaksi KIPI seringkali terjadi setelah dosis pertama, dan biasanya akan menghilang dalam 3 hari, yakni seperti berikut: Eritema, bengkak, indurasi, nyeri di bekas suntikan. Sistemik: demam, gelisah, pusing, tidur tidak tenang, nafsu makan menurun, muntah, diare, urtikaria, demam ringan. Anafilaksis, limfadenopati, nefrotik sindrom, hiperimunoglobulinemia sangat jarang ditemukan. 2.7.13 Human Papilloma Virus (HPV) Kejadian kanker serviks akibat infeksi HPV terjadi pada kelompok usia 15-65 tahun, dan terbanyak antara umur 35-54 tahun. Karena itu, dianjurkan vaksinasi HPV mulai umur 10 tahun sebanyak 3 kali. Terdapat dua jenis vaksin

35

HPV, yaitu Vaksin Bivalen (tipe 16 dan 18, Cervarix) dan Vaksin Quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18, Gardasil). Untuk vaksin HPV dibvalen, dilakukan pada bulan ke-0, 1, 6; sedangkan jadwal vaksin tetravalen pada bulan ke-0, 2, 6 dengan dosis 0,5 ml (PP IDAI, 2011). Lokasi injeksi pada daerah deltoid diberikan secara intramuskular dengan dosis 0.5mL

Gambar 2.14 Kemasan Vaksin HPV

KIPI: (PP IDAI, 2008). Efek samping lokal berupa nyeri, reaksi kemerahan dan bengkak pada tempat suntikan. Efek samping sistemik berupa demam, nyeri kepala dan mual. Tabel di bawah ini merupakan ringkasan jadwal vaksinasi berdasarkan umur pemberian, dan gambar berikutnya adalah visualisasi jadwal pemberian imunisasi.
Tabel 2. 5 Ringkasan Jadwal Vaksinasi Berdasarkan Umur Pemberian

Umur Saat lahir

Vaksin Hepatitis B-1

Keterangan Harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 buloan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBIg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semua status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HB-Ig 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat

Polio-0

36

bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus 1 bulan 0-2 bulan Hepatitis B-2 BCG vaksin kepada bayi lain) HB-2 diberikan pada umur 1 bulan, Interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu dan BCG diberikan 2 bulan DTP-1 apabila uji tuberkulin negatif. DTP diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwP atau DTaP atau diberikan Hib-1 secara kombinasi dengan Hib (PRP-T) Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib dapat diberikan secara terpisah atau Polio-1 PCV-1 DTP-2 Hib-2 dikombinasikan dengan DTP. Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1 PCV-1 diberikan pada umur 2 bulan DTP-2 (DTwP atau DTaP) dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T). Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib dapat diberikan secara terpisah atau Polio-2 PCV-2 DTP-3 Hib-3 Polio-3 PCV-3 Hepatitis B-3 dikombinasikan dengan DTP. Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2. PCV-2 diberikan pada umur 4 bulan. DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan hib-3 (PRP-T). Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan. Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3. PCV-3 diberikan pada umur 6 bulan HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal interval HB-2 dan HB-3 6-23 bulan 9 bulan Influenza Campak minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Influenza dapat diberikan sejak umur 6 bulan. Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan. Campak-2 merupakan program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun apabila telah mendapat MMR pada umur 15 12-15 bln 15-18 bln PCV-7 MMRw bulan, campak-2 tidak perlu diberikan. Ulangan PCV-7 diberikan 1 dosis, 12-15 bulan. Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapat imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan.

4 bulan

6 bulan

37

18 bulan

Hib-4 DTP-4 Polio-4 Hepatitis A Tifoid

Hib-4 diberikan pada 18 bulan (PRP-T atau PRTOMP). DTP-4 (DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun setelah DTP-3. Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4. Vaksin HepA direkomendasikan pada umur >2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan. Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun. DTp-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwP/DTaP) Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5 Vaksin varisela (cacar air) disuntikkan mulai umur 5 tahun Diberikan untuk catch-up immunization pada anak yang berlum mendapat MMR-1. Menjelang pubertas vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama 25 tahun.

2 tahun 2-3 tahun

5 tahun

DTP-5 Polio-5 Varisela MMR dT/TT

6 tahun 10 tahun

Gambar 2.15 Jadwal Imunisasi 2010 Rekomendasi IDAI

38

BAB III KESIMPULAN

1. Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan menghilangkan penyakit menular yang mengancam nyawa dan diperkirakan bisa mencegah lebih dari 2 hingga 3 juta kematian setiap tahun.
2. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan imunisasi, yaitu status imun penjamu, faktor genetic penjamu, kualitas dan kuantitas vaksin.

3. Mutu vaksin dinilai dari kadar antibodi yang dihasilkan setelah vaksin disuntikkan dan reaksi vaksin yang minimal. Perlu diperhatikan prosedur imunisasi mulai dari penyimpanan dan trasnportasi vaksin hingga teknik penyimpanan dan penggunaan dari sisa vaksin. 4. Berbagai penyakit infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian dan
kecacatan dapat dicegah dengan pemberian imunisasi.

39

5. Saat pemberian imunisasi yang paling tepat adalah sebelum terpapar penyakit berbahaya. 6. Vaksin juga memiliki efek samping yang umumnya tidak berbahaya, meskipun tetap dipantau oleh badan independen KOMNAS PP KIPI.

7. Untuk mendapat daya kekebalan seperti yang diharapkan, jadwal


imunisasi perlu ditaati.

40

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangkes. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. http://www.scribd.com/doc/18566120/Pedoman-Penyelenggaraan-Imunisasi. Diakses tanggal 26 Juni 2011. Pukul 20.49.

Depkes RI. 2005. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta

Satgas Imunisasi-IDAI. 2008. Buku Panduan Imunisasi di Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto.

PP

IDAI. 2008. Pedoman Imunisasi Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

di

Indonesia.

Jakarta:

PP IDAI. 2011. Panduan Imunisasi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

UNICEF. 2010. Program Imunisasi di Indonesia. http://www.supportunicefindonesia.org/index.php/campaign/detil/190/id. Diakses tanggal 26 Juni 2011. Pukul 17.48.

World Health Organization (WHO, 2009). WHO statistical information system (WHOSIS). http://www.who.int/whosis/en/index.html. Diakses tanggal 26 Juni 2011. Pukul 17.55.

You might also like