You are on page 1of 41

LAPORAN NARASI HASIL ASESMENT

DI KELURAHAN LETTE DAN DESA MACCINI BAJI

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Tiap komunitas memiliki sumber kekuatan yang terus mempertahankan, mendorong dan mengembangkan diri untuk tetap bertahan. Sumber kekuatan itu yakni individu yang terlibat secara konkrit dalam merancang kegiatan-kegiatan yang programik. Fondasi utama yang menunjang bertahannya sebuah komunitas yaitu tatanan nilai yang menjadi acuan ke arah tujuan yang dibangun bersama. Jika keterlibatan individu dan tatanan nilai minim, maka sulit untuk membentuk atau mempertahankan sebuah komunitas . Maka, kedua hal tersebut merupakan asset dalam komunitas. Modal Individu didalam komunitas yakni bakat, keahlian, talenta, kepribadian, daya nalar, imaginasi, mimpi, ketrampilan, kebahagiaan, kecenderungan, tenaga, dan lain-lain. Sedangkan bentuk tatanan nilai ialah kearifan lokal, ketulusan orang-orangnya, serta segala perangkat hidup berupa lingkungan alam, infrastruktur, sistem ekonomi, politik dan budaya. Hal inilah yang menjadi poin penting bagi para praktisi pemberdaya komunitas berbasis aset-aset, Posisi praktisi pemberdaya komunitas sebagai para penghubung (konektor) aset-aset komunitas. Merekalah para invisible leader komunitas yang perlu terus diapresiasi dan diberdayakan untuk transformasi yang lebih partisipatif, demokratis dan reflektif bagi pemapanan tatanan nilai sosial. Dengan pendekatan yang tepat dan pemberdayaan yang programatik, peran-peran praktisi pemberdaya komunitas dapat memperkuat komunitas untuk mencapai tujuan dan mempertahankan tatanan nilai sosial ditengah nalar acuh dan individualisme yang semakin menguat. Maka, kegiatan untuk dapat terus terlibat dalam komunitas dalam memetakan asetaset komunitas, memberdayakannya, memobilisasinya, serta menularkannya kepada komunitas yang lain perlu untuk terus dikuatkan dan diyakinkan. Aset-aset yang dimiliki oleh komunitas, perlu diberdayakan demi kemajuannya dan kehidupan komunitas yang lebih baik. Oleh karena itu, para pemberdaya komunitas juga merupakan elemen penting bagi dinamika komunitas untuk terwujudnya masyarakat yang demokratis. B. TUJUAN Adapun tujuan Asesment ini adalah : 1. Untuk mengetahui potensi yang dimiliki suatu masyarakat tertentu yang bisa dikembangkan 2. Untuk mendapatkan gambaran umum tentang kondisi sosial, ekonomi, politik di lokasi program

3. 4. 5.

Untuk memperoleh gambaran awal tentang problem yang dihadapi masyarakat di desa Maccini Baji Kecamatan Bajeng, Gowa dan Masyarakat Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso Kota Makassar. Untuk mengetahui bentuk pengambilan keputusan (forum public) berbasis lokal, dalam kehidupan masyarakat di dua lokasi program. Sebagai prakondisi untuk memulai program.

C. METODE DAN PROSES Dalam pelaksanaan pendampingan komunitas, metode pemetaan dan cara pandang, penting diletakkan sebagai fondasi awal dalam mengawal komunitas. Hal tersebut menjadi alat teropong untuk melihat potensi dan kekuatan/kelemahan dari komunitas. Berangkat dari bacaan tersebut, maka pemetaan sosial yang digunakan oleh tim POKJA II ialah model pelacakan dan indentifikasi aset dari komunitas. Tiap orang dan komunitas hidup dengan kebutuhan, keprihatinan, dan kekurangan. Di sisi lain, komunitas hidup berdasarkan kapasitas, bakat dan talenta. Kedua hal ini, saling berkaitan dalam pengembangan komunitas. Perlu perhatian khusus dalam mendorong peningkatan komunitas yang lebih baik. Pada titik itulah pola pemberdayaan komunitas ini disebut Pemberdayaan Komunitas Berbasis Aset-aset/Asset Based Community Development (ABCD). Dalam pendekatan Pemberdayaan Komunitas Berbasis Aset-aset, masyarakat diposisikan sebagai subjek untuk meretas berbagai macam persoalan yang mereka hadapi sendiri. Sehingga mereka akan lebih bertanggung jawab memelihara dan mendukung dari pengembangan komunitas di lingkungan mereka secara berkesinambungan untuk kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, langkah pertama pendekatan ini adalah pelacakan, identifikasi, menemukan aset yang dimiliki masyarakat. Terangnya aset ini, akan membantu masyarakat untuk percaya diri untuk menuju perubahan yang lebih baik. Selanjutnya, tinggal mendesain dan menggunakan aset ke dalam agenda-agenda program yang sisttematis. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program akan dapat meningkatakan self-reliance yang dibutuhkan demi akselerasi program-program pembangunan (Bryant. C & white, L.G :1987). Proses pemberdayaan masyarakat ini pada akhirnya akan tumbuh kreatif dan mandiri, meski program pemberdayaan oleh pihak luar sudah berakhir. Pendekatan Asset Based Community Development (ABCD), (1) tidak hanya berfokus pada pemcahan permasahalan dan pemenuhan kebutuhan masayarakat, tapi juga dapat mendayagunakan potensi, sumber daya dan talenta yang merupakan aset yang sudah ada di sekitar mereka. (2) Lebih bersifat community driven dari pada external agency driven. (3) Berusaha menggali kembali dan memelihara social capital sebagai aset terpenting dalam pembangunan. (4) Melalui pendekatan pasrsipatoris akan memperkuat civil society (Masyarakat Madani) yang merupakan keinginan setiap warga negara (disarikan dari Gord Cunningham and Alison Mathie, 2002)1.(5) Fungsi pemberdaya hanyalah menjadi fasilitator dan penghubung dari individu dalam komunitas untuk membantu mengangkat dan menjadikan aset sebagai solusi untuk masyarakat yang didampingi.
1

Patton, Adri, Makalah : Asset Based Community Development; Strategi Pembangunan Di Era Otonomi Daerah, Universitas Mulawarman , Samarinda, 2009. Hal-16

Sebagai sebuah pendekatan, ABCD merupakan alat untuk melakukan pemetaan, pengelolaan, dan pemberdayaan komunitas berdasarkan pada aset (bukan pendataan masalah dan sekaligus mekanisme pengkambinghitamannya) yang apresiatif, partisipatif, dan berkelanjutan. Pemetaan aset diantara lain:2 a. Orang (secara pribadi tiap orang punya bakat, keahlian, talenta, kepribadian, daya nalar, imaginasi, mimpi, ketrampilan, kebahagiaan, kecenderungan, tenaga, kesempatan/waktu, teman-teman termasuk jenis-jenis pertemanannya, hubungan-hubungan; keluarga, etnis, partai, group/kelompok, komunitas; gereja, RT, RW, arisan, hoby dan sebagainya). b. Organisasi: asosiasi (perkumpulan - sukarela) dan institusi (lembaga - profesional), keluarga, agama, ekonomi, politik dsb. Setiap anggota GKSBS tentulah orang-orang yang memiliki partisipasi dalam beragam jenis organisasi yang ada disekitarnya. c. Alam dan infrastruktur: termasuk bangunan, jalan, fasilitas publik. Kategorisasi ini terbuka dan yang lebih penting adalah jikalau setiap kategori dan jenis aset-aset ini dapat dipetakan sendiri secara bersama-sama oleh semua anggota komunitas, sehingga peluang untuk memobilisasi demi penguatan komunitas juga akan lebih mudah terjadi. D. AGENDA Dalam Melakukan assesmen ada beberapa langkah dilakukan sebagai berikut: 1. Penjejakan. Pada langkah pertama yang dilakukan adalah mengadakan pertemuan dengan kepala Desa/Lurah, tokoh Masyarakat, Tokoh agama, Tokoh Pemuda, tokoh wanita, lembagalembaga sosial keagamaan, kepala-keala dusun dan Ketua-ketua RT dalam suatu pertemuan sebagai langkah Perkenalan kepada masyararakat khususnya pada tokohtokoh Masyarakat tentang keberadaan dan Program SILE yang akan dilaksanakan di masyarakat. 2. Wawancara Pada langkah Kedua untuk Menggali informasi dari Masyarakat dari berbagai hal yang berada di masyarakat terutama yang berkaitan dengan asset didua desa ( potensi Individu, potensi organisasi dan potensi alam), keberhasilan yang pernah dicapai oleh suatu desa, apa yang sedang dikembangkan oleh masyarakat saatini, serta melihat tantangan dan harapan dari masyarakat dalam pengembangan ke depan. Dalam melaksanakan wawancara di dua tempat yang berbeda dilakukan selama 4 hari yakni 2 hari di Kelurahan Lette dan dua hari di Desa Maccini Baji. Dalam mengadakan wawancara dari kedua tempat tersebut sejumlah data yang dapat diperoleh, baik yang berkaitan dengan potensi diri dari masyarakat, potensi assosiasi, maupun potensi kelembagaan. 3. Focus Group Disscusion (FGD). Hasil wawancara yang telah terlebih dahulu dilakukan dilengkapi dengan FGD dengan mengundang masyarakat dari semua komponen, mulai dari aparat pemerintahan, tokoh
2

Tour Of Reference (TOR) Pelatihan Pelatih (TOT) Assets Based Community Development (ABCD), Departeman Kesejahteraan Rakyat (KESRA) RI. Lampung, 2012. Hal-2

agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, organisasi sosial keagamaan, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Disamping melengkapi hasil wawancara juga memberi penekanan terhadap kegiatan yang bisa dilakukan di dua desa (maccini Baji dan Lette) di masa yang akan datang.

BAB II TEMUAN ASESMEN A. KOMUNITAS DAN DESA A.1. Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso, Kota Makassar Secara administratif pemerintahan, kelurahan Lette berada dalam wilayah Kecamatan Mariso, kota Makassar, terletak di antara kelurahan Panambungan dan kelurahan Mariso. Ketinggian tanah di daerah ini adalah 0,3m dari permukaan air laut dengan suhu rata-rata 31C. Kelurahan Lette diperkuat atas 5 rukun warga (RW). Luas keseluruhan dari kelurahan ini adalah sebesar 14 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Sebelah utara, berbatasan dengan kelurahan Panambungan Sebelah selatan, berbatasan dengan kelurahan Mariso Sebelah barat, berbatasan dengan pantai Sebelah timur, berbatasan dengan kelurahan Mariso

Pada tahun 2010, jumlah penduduk kelurahan Lette sebanyak 8.992 jiwa, terdiri dari 4.392 jiwa atau 48,84 persen penduduk laki-laki dan penduduk berjenis kelamin perempuan sebanyak 4.600 atau setara dengan 51,16 persen. Ini menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah laki-laki yakni selisih 208 jiwa atau 2,31 persen dari keseluruhan penduduk. (Data Kelurahan Lette, 2010). Dari jumlah penduduk itu, mata pencaharian paling dominan di kelurahan Lette adalah nelayan, yaitu sebesar 625 orang atau setara dengan 18,16 persen. Kemudian disusul tukang becak yakni sebanyak 447 orang atau sebesar 12,99 persen serta mata pencaharian sebagai tukang batu sebanyak 352 orang atau dengan persentase sebesar 10,22 persen. Gambaran komposisi mata pencaharian masyarakat disana, menunjukkan bahwasannya persoalan yang sedang berlangsung disana adalah kemiskinan. Datapun lalu menunjukkan bahwa jumlah warga miskin kelurahan Lette sebesar 775 KK dan sebagian besar diantaranya bekerja sebagai nelayan (Koran Harian Fajar, 27 November 2010). Untuk mengatasi kemiskinan itu, berbagai cara telah ditempuh pemkot Makassar, diantaranya; pemberian BLT kepada warga, distribusi Raskin, menyediakan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) bagi warga miskin di Lette. Tentu saja cara yang ditempuh Pemkot Makassar itu tidaklah berbiaya murah. Namun sayangnya, cara-cara itu rupanya tidak efektif meminimalisasi kemiskinan disana. Tidak efektifnya penanganan kemiskinan di kelurahan Lette kemungkinannya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya; pertama, tidak teridentifikasinya secara maksimal aneka persoalan kompleks di kelurahan itu. Kedua, kekeliruan cara pandang pemerintah setempat terhadap masalah kemiskinan di kelurahan Lette. Lurah Lette (2011) dalam sebuah wawancara penelitian menyebut bahwa

kemiskinan warga nelayan di sana karena kentalnya sikap pasrah terhadap nasib. Ketiga, dengan cara pandang seperti itu aneka masalah kemiskinan disana tidak disentuh dalam perspektif struktural, bahwa kemiskinan pun pertama-tama terbit akibat tidak tersedianya ruang bagi warga untuk menegosiasikan aspirasi dan masalahnya. Di masyarakat kelurahan Lette, organisasi sosial kemasyarakatan sesungguhnya telah ada. Seperti organisasi Rukun Warga (RW), Organisasi Rukun Tetangga (RT), dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Ketiga organisasi tersebut adalah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan undang-undang dan bekerja berdasarkan hirarki pemerintahan. Disamping itu terdapat organisasi keagamaan seperti majlis taklim, remaja masjid, pengurus masjid dan TPA. Keberadaan asosiasi tersebut sudah berusaha memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan bidangnya, walaupun dalam pelaksanaanya belum optimal sesuai dengan harapan masyarakat. A.2. Desa Maccini Baji, Kec. Bajeng, Kabupaten Gowa Desa Maccini Baji terletak di sebelah utara desa Maradekayya, sebelah selatan desa Panyangkalang, sebelah barat kelurahan Kalebajeng, dan sebelah timur desa Pabentengang, kecamatan Bajeng, kabupaten Gowa. Jumlah penduduk desa ini hingga tahun 2008 lalu mencapai 3.459 jiwa, dengan jumlah KK sebanyak 825 KK. Mata pencaharian dominan warga desa ini adalah bertani. Ini dapat dilihat dari luasan sawah yang ada di desa ini. Sawah pengairan tekhnis (irigasi) mencapai 584,3 Ha, dan sawah tadah hujan 44 Ha. Meski begitu, menyelenggarakan agenda pemberdayaan masyarakat tetap relevan diagendakan di desa ini. Pemberdayaan yang dimaksud adalah penguatan pengetahuan dan keterampilan mengenai demokratisasi. Desa maccini baji terdiri atas 5 dusun, yakini Dusun Pakkingkingan, Dusun Bonto maero, Dusun Paranrea, Dusun Borong Untia, dan Dusun Parang Berua. Luas wilayah Maccini Baji sebesar 595,80 Ha dengan perincian : areal darat/tanah kering 270,80 Ha dan areal persawahan 325 Ha. Kondisi geografis Desa Maccini Baji. ketinggian wilayah desa Maccini Baji dari permukaan laut masu kategori 0-499,9 meter, sedangkan curah hujan berkisar antara 200-250 mm dengan keadaan suhu rata-rata antara 25-30 derajat Celcius. B. ASET DAN POTENSI YANG DIMILIKI KOMUNITAS B.1. Kelurahan Lette. Masyarakat Lette apabila dilihat dari segi etnis adalah masyarakat yang hetrogen, yaitu suatu masyarakat campuran dari berbagai etnis. Di Kelurahan Lette terdapat beberapa etnis yang mendiami Lette, yaitu Bugis, Makassar, Jawa, Mandar dan Cina. Dalam hal pekerjaan masyarakat memiliki pekerjaan seperti : pegawai negeri, pedagangan asongan, buruh pelabuhan, tukang batu, pedagangan kaki lima, pengrajin anyaman rotan.

Di internal masyarakat Lette, Kecenderungan untuk berkumpul dan membicarakan sesuatu masih besar, perbedaan latar suku dan pendatang-penduduk lokal tidak dipersoalkan oleh warga. Namun warga cuma khawatir dengan nilai-nilai yang datang dari luar yang masuk melalui media sosial, elektronik dan lain-lain. Adapun asset yang dimiliki masyarakat di Kelurahan Lette yaitu : a. Sosial Capital (Asosiasi) Hingga kini, asosiasi masyarakat Lette sudah tidak seperti dulu lagi. Ada beberapa komunitas yang dianggap sebagian warga membantu warga, kini sudah tidak ada lagi. Hal tersebut diantara lain Karang Taruna, Kelompok usaha bersama (KUBE), komunitas masyarakat Duri, dan koperasi. Namun, masyarakat lette masih memiliki beberapa komunitas yang aktif, yaitu : 1. Remaja Masjid, kegiatan remaja masjid belum optimal. Majlis Taklim, kelompok majlis taklim ada pada setiap ORW, tetapi belum optimal dalam pembinaan masyarakat 2. Karang Taruna. 3. BKPRMI Organisasi tersebut diatas meski secara kelembagaan ada, namun belum memberikan konstribusi yang berarti terhadap masyarakat lette, hal ini disebabkan karena organisasi tersebut tidak berjalan dengan baik. Khusus Remaja Mesjid, organisasi ini hanya berfungsi dan ramai dalam keadaan tertentu, seperti di bulan suci ramadhan, peringatan hari-hari besar Islam, karang Taruna, juga belum Nampak ditengah masyarakat, begitupun dengan BKPRMI organisasi ada tapi belum berfungsi maksimal. Praktis yang berjalan hanya TPA akan tetapi perlu peningkatan mutu terutama pada tenaga pengajar. b. Natural Capital (SDA) Asset ekonomi yang dimiliki oleh warga kelurahan Lette yaitu : 1. Laut Laut menjadi aset economi tersendiri bagi warga masyarkat kelurahan lette oleh karena letak Kelurahan Lette yang bersebelahan dengan laut, meski potensi yang terkandung didalam laut berlimpah ruah, namun hal tersebut tidak bisa menjadikan masyarakat kelurahan Lette menjadi masyarakat sejahtera. Dari pengamatan di lapangan menujukkan sebagian besar masyarakat kelurahan Lette masih tergolong masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi (miskin). c. Human Capital Terkait dengan issu ini ditemukan modal yang dimiliki masyarakat untuk mempertahankan hidup, sebagian besar masyarakat bekerja sebagaai : Nelayan Sebelum Pantai Losari di Reklamasi, Lebih kurang 65 % masyarakat berpropesi sebagai nelayan, tetapi setelah direklamasi, maka nelayan tinggal lebih kurang 25-30 % Tukang becak.

Pada umumnya tukang becak yang ada di Kel. Lette adalah masyarakat etnis Makassar, walaupun ada juga dari etnis bugis Tukang batu Pengrajin Anyaman Rotan Pengrajin rotan ini adalah masyarakat yang berasal dari Kab. Enrekang, sehingga Kampung lette sering dijuluki kampung Duri (Duri adalah satu kampong di Kabupaten Enrekang) Pedagang Asongan, Pedagang Kaki Lima, dan Pedagang Campuran Pedagang pedagang ini khususnya pedangang asongan dan PKL hamper semua beroperasi di sekitar Pantai Losari PNS, TNI Etnis beragam, yaitu makassar, bugis, jawa, mandar, duri, dll

d. Pyscal Capital (Infrastruktur). Secara geografis alam Kelurahan Lette, khususnya di RW.04 dan 05, tidak tersedia lahan untuk pertanian dan perkebunan, hal ini dapat dimaklumi karena lahan yang ditempati masyarakat adalah laut yang direklamasi menjadi pemukiman, karena itu pula mempengaruhi sarana jalan yang sangat sempit, bahkan ada jalan yang hanya bisa dilalui oleh roda dua. Sarana yang ada di kelurahan Lette diantara lain: 1. Sarana pendidikan. Sarana pendidikan yang terdapat di kelurahan Lette ada 3 yaitu 2 Taman Kanak-kanak (TK), 1 Sekolah Dasar (SD) dan 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP) Swasta. Menarik untuk diamati, SLTP yang ada di kelurahan ini adalah SLTP berbasis Agama, yaitu terdapatnya SLTP Katolik Belibis yang berbasis Kristen Katolik dan SLTP Darud Dakwah Islamiyah yang berbasis islam. Meskipun berbeda, namun tidak pernah ada masalah dengan keberadaan sekolah tersebut terkait dengan isu keberagaman. 2. Sarana peribadatan. Sarana peribadatan yang tedapat di kelurahan Lette hanya untuk pemeluk islam (mesjid), sedangkan tempat peribadatan untuk agama lain tidak ada. Jumlah mesjid di kelurahan ini sebanyak 6 gedung. Umumnya mesjid digunakan sebagai tempat peribadatan, namun sebagian warga juga menggunakan sebagai tempat majelis talim, pembinaan remaja mesjid. 3. Sarana kesehatan Sarana kesehatan yang terdapat di kelurahan ini berupa posyandu, pos kesehatan dan poliklinik gigi. Kondisi fisik bangunan sarana ini cukup baik, namun dari hasil pantuan, pos kesehatan jarang beroprasi. Sedangkan prasarana yang ada di kelurahan Lette yaitu : 1. Prasarana drainase Prasarana yang ada di kelurahan Lette, ukurannya bemacam-macam dari ukuran kecil, sedang, hingga besar. Untuk ukuran drainase kecil terdapat di lorong-lorong kelurahan Lette. Dimusim hujan, got-got tersebut tidak dapat menampunng volume air sehingga air meluap masuk ke rumah warga dan jalan raya. Hal ini diperparah dengan kesadaran warga akan kebersihan drainase

masih minim. Kelihatan sampah-sampah berserakan di got-got beberapa tempat, akibatnya terjadi pengdangkalan pada drainase tersebut. 2. Prasarana jalan Prasarana yang terdapat di kelurahan Lette ada yang berupa kolektor, arteri, dan jalan ingkungan. Material jalan ini berbeda-beda, ada yang menggunakan aspal, semen, dan paving blok. Kondisi jalan yang ada di dalam lorong kelihatan rusak dan berlubang, hal ini diakibatkan seringnya jalan tersebut tergenang air dikala hujan. Sisi lain sarana pendidikan yang dimiliki hanya tingkat SD dan SLTP itupun didirikan oleh yayasan DDI, dan SLTP yang satu SLTP Katolik Belibis, sehingga banyak anak-anak yang sekolah harus ke kelurahan tetangga. Sarana lain adalah Masjid. Di setiap ORW rata-rata memiliki masjid, bahkan ada satu RW memiliki 3 Masjid, sehingga secara kasat mata menunjukkan masyarakat lette adalah masyarakat agamis. e. Cultural Capital Secara umum masyarakat kelurahan Lette tidak memiliki budaya khas daerah sendiri yang diwariskan secara turun temurun (budaya local), misalnya rumah adat, pakaian adat, tarian dan lain lain. Akan tetapi bukan berarti bahwa masyarakat Kelurahan Lette masyarakat yang tidak berbudaya. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa di Kelurahan Lette masih menyisakan budaya yang umumnya dilakukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Sulawesi Selatan, budaya tersebut adalah : 1. Budaya Gotong Royong Gotong royong masih kental di sebagian masyarakat pinggiran, walaupun dalam hal-hal tertentu sudah mulai masyarakat berhitung upah. 2. Sistem Kekerabatan masyarakat masih dihargai, karena itu masih mendengarkan tokoh masyarakat. Tokoh Masyarakat yang sangat dikagumi disamping pak Lurah adalah ketua ORW 5 3. Terdapat penomena kawin cerai, biasanya terjadi pada perkawinan usia dini, dan atas kemauan orang tua. 4. Budaya/ tradisi dalam pelaksanaan Perkawinan masih tetap dihargai, baik oleh etnis Makassar, Bugis (Duri), maupun tradisi jawa dan cina. 5. Pemudanya terkenal tiap hari perang, pemabuk, free sex dan malas sekolah. f. Religious Capital Di kelurahan Lette, nilai nilai masih turut berperan dalam budaya dan interaksi sosial di lokasi tersebut. Aktifnya beberapa asosiasi keagamaan, seperti majelis talim, remaja mesjid, dan pengajian-pengajian merupakan salah satu faktor kuatnya religious capital. Minat warga untuk aktif dalam asosiasi tersebut tentunya mendorong adanya dialog dan interaksi yang terbuka. Berangkat dari pengamatan tersebut, nilai-nilai religious capital yang nampak pada masyakat Lette yaitu : 1. Diantara Inklusifitas dan eklusifitas Meskipun kampung Lette terkenal rawan konflik, namun keterbukaan terhadap etnis luar cukuo besar. Konflik terkait masyarakat urban sangat

minim tejadi di Lette, mungkin yang menjadi alasan mengaapa daerah ini salah satu kawasan urban dalam volume besar di Makassar. Ada beragam etnis yang bercampur baur dengan masyarakat lokal/asli. Bahkan latar etnis bukan faktor dominan dalam penokohan personal dalam bermasyarakat. Salah satu contoh komunitas majelis talim yang beranggotakan ibu-ibu masyarakat Lette, anggota dari komunitas ini beragam etnis yang bercampur baur melakukan pengajian. Begitu juga ketika Pokja melakukan FGD (Focus Group Disscussion), terdapat beberapa etnis mandar (Polman) dan suku duri (Enrekang) yang turut menyampaikan pendapat terkait dengan pengembangan Kampung Lette. 2. Toleran Di Kelurahan Lette mayoritas penduduknya beragama Islam, meskipun demikian nilai toleransi sangat di kedepankandan dimempengaruhi kebudayaan dan masyarakat. Toleransi dapat dikatakaan sebagai suatu norma, yaitu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu terkait dengan saling menjaga perbedan dan keberagaman,. Menurut pandangan Quraish Shihab, defenisi toleransi ada dua. Pertama, toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih dapat diterima. Kedua, Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya penyimpangan yang dapat dibenarkan. Lahirnya sebuah konflik tak terlepas dari terkikisnya nilai toleransi kehidupan beragama dalam bermasyarakat. 3. Mixed Society Pada penjelasan sebelumnya, memperlihatkan ragamnya entnis yang berada di Lette, yaitu etnis, makassar (pribumi), duri (enrekang), mandar, jawa, makassar (jeneponto, takalar, gowa), bugis, dan lain-lain. Bercampur baurnya beberapa etnis ini, tentunya membuat budaya dan adat istiadat turut beragam pula. Ada banyak alasan mengapa Lette menjadi lokasi perpindahan penduduk, salah satunya karena faktor tempat tinggal para pekerja dan pedagang yang dekat dengan lokasi usaha dan tempat kerja. Hal ini jua didukung banyaknya kos-kosan dan rumah sewa tergolong murah untuk golongan ekonomi menengah ke bawah. g. Economy Capital Ekonomi merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia agar tetap dapat mempertahankan hidup. Di kelurahan Di kelurahan Lette, mata pencaharian penduduk sangat bervariasi. Dari hasil tinjuan lapangan menemukan bahwa sumber ekonomi yang paling banyak digeluti masyarakat kelurahan Lette bersumber dua aspek, yaitu : 1. Perikanan Laut Bekerja sebagai pencari ikan di laut atau nelayan menjadi pekerjaan yang paling dominan yang digeluti oleh masyarakat yang bermukim di Kelurahan Lette, hal ini ditunjang oleh letak daerah yang berbatasan langsung dengan laut di bagian barat.

2.

Perdagangan Terbukanya akses bagi pedagang asongan dan pedagang kaki di pantai losari serta antusias masyarakat Makassar maupun luar Makassar mengunjungi pantai Losari membawa hikmah bagi masyarakat dari Kelurahan Lette, meskipun pantai Losari berada di luar wilayah Kelurahan Lette namun sebagian besar masyarakat Lette mencari nafkah di tempat tersebut, khususnya bagi mereka yang bekerja sebagai pedangang asongan dan pedagang kaki lima.

B.2. Desa Maccini Baji a. Social Capital (Asosiasi) Kecenderungan warga untuk berkumpul dalam komunitas masih tinggi. Seperti yang tertuang pada bab sebelumnnya, terdapat banyak asoiasi /komunitas warga yang mewadahi kepentingan warga Maccini Baji. Namun hanya beberapa diantaranya yang aktif menjalankan program, seperti Gapoktan dan Aisyiah. Sedangkan asosiasi lainnya tidak terlalu aktif meskipun ditahun-tahun sebelumnya pernah besar dan aktif menjalankan program-programnya. Secara garis besar, asosiasi di desa Maccini Baji terbagi menjadi 2 bagian, yakni asosisasi/lembaga formal dan lembaga informal. lemmbaga formal adalah lembaga yang merupakan bentukan pemerintah berdasarkan undang-undang dan bekerja berdasarkan hirarki pemerintahan sedangkan lembaga informal adalah lembaga yang berasal dari kebutuhan dan inisiatif masyarakat. 1. Lembaga formal Lembaga formal yang ada di Desa Maccini Baji diantaranya organisasi Rukun Warga (RW), organisasi rukun tetangga (RT), Badan Perwakilan Desa (BPD), Dusun, PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Adanya lembaga formal di Maccini baji sangat membantu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga yang paling berperan yaitu Gapoktan, karena lembaga ini menjadi mediasi kelompok tani Maccini baji dengan pemerintah dalam hal pemberian bantaun dana operasional para petani. 2. Lembaga Informal Lembaga informal yang dimaksud adalah : P3A (Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air). Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) Majelis Talim Remaja Mesjid Karang Taruna Asosiasi Pembuat Batu Merah Kelompok Arisan TPA (Tempat Pengajian Al-Quran)

BKPRMI (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia), Muhammmadiyah. Diantara beberapa organisasi/asosiasi tersebut, muhammadiyah merupakan ormas yang paling dominan dan aktif diantara komunitas di desa Maccini Baji. Ormas ini bisa dikatakan membasis di desa tersebut, model kaderisasinya terpecah-pecah keberbagai elemen masyarakat. Sayap-sayap ormas tersebt yang aktif di desa Maccini baji diantara lain IPM (Ikatan Pemuda Muhammadiyah), IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah , Aisyiah, NA (Nasylatul Aisylyah). b. Human Capital (Keahlian Indvidu) Berdasarkan dari sumber mata pencaharian, masyarakat Desa Maccini Baji terbagi ke dalam sektor primer : Petani penggarap, wanita tani, kelompok tani, peternak. Untuk industri kerajinan, yaitu pertukangan, bengkel, batu bata, penggiling padi, perdagangan/jasa, pedaganf, pegawai, guru, tenaga kerja lapangan, dan lain-lain. Berbeda dengan masayarakat Lette, masyarakat Desa Maccini Baji sangat homogen, yaitu didominasi masyarakat suku makassar. Dilihat dari segi strata sosial, masyarakat Desa maccini Baji yang berada pada pusat pemerintahan, disetiap rumah terdapat antara 2-3 pekerjaannya sebagai guru, tetapi yang berada di pinggiran masyarakatnya adalah masyarakat pembuat batu bata, petani, dan peternak. Dilihat dari tingkat pendidikan, masyarakat desa maccini Baji adalah masyarakat yang cinta pada pendidikan, walaupun pada masyarakat bawah yang terdapat dipinggiran, terdapat anak-anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, karena keterbatasan biaya. Namun secara sadar mereka mengaku menginginkan anaknya sekolah setinggi mungkin. c. Pyscal Capital (Infrastruktur) Infrastruktur Sarana pendidikan : Sekolah Dasar (SD) dan Taman Kanak Kanak masing masing 1 sekolah. Sarana Ibadah Sarana peribadatan yang tedapat di desa Maccini Baji hanya untuk pemeluk islam (mesjid), Jumlah mesjid di kelurahan ini sebanyak 10 gedung. Sarana Kesehatan. Sarana kesehatan yang terdapat di Desa Maccini Baji berupa Pustu. Lapangan Sepak Bola Lapangan ini telah melahirkan pemain bola nasional (syamsul Chaeruddin) Namun kondisi lapangan saat sekarang kurang terawat. Jalan Jalanan yang ada di desa Maccini Baji berbeda-beda, ada yang menggunakan aspal dan ada yang belum teraspal.warga sempat demo karena jalan raya rusak akibat kedaraan truk yang sering lewat d. Cultur Capital (Budaya) Di desa maccini baji, nilai kegotong-royongan dalam pekerjaan sudah berkurang, Dg. Jia (tokoh Perempuan dusun Parenre) menjelaskan dahulu orang saat panen

dan menanam padi, warga sukarela saling membantu, pihak pemilik sawah cukup membuat acara makan-makan dan warga pun berdatangan membantu. Namun kini, sudah tidak ada lagi. Partisipasi gotong-royong warga digantikan dengan padderos3. Relasi antara pemilik sawah dengan padderos bukan relasi gotongroyong, tapi dominan pada relasi jasa yang dihargai dengan uang, meskipun yang menjadi padderos adalah warga Maccini Baji juga. Sedangkan untuk bidang adat lokal, masyarakat Maccini Baji masih bisa berbangga, karena masyarakat masih mengembangkan tarian rakyat Gandrang Bulo4. Salah satu warisan adat tersebut terus dikembangkan masyarakat dan mendapat dukungan dari pemerintah desa. e. Religious Capital Dari aspek agama, data yang dperoleh dari beberapa sumber menyebut kan bahwa masyarakat Desa Maccini Baji memiliki potensi terkait dengan keagamaan yaitu : 1. Nilai Nilai Keagamaan sangat kuat Hal tersebut dipengaruh oleh keberadaan sebuah pesantren di Lokasi desa Tetangga, selain itu Ormas Muhammadiyah punya peranan penting dalam membangkitkan nilai nilai keagamaan di Desa Maccini Baji 2. Pengajian Majelis Taklim aktif dan rutin Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia terus dilakukan dari aspek keagamaan khusunya bagi perempuan di Desa Maccini Baji senantiasa dilakukan melalui lembaga lembaga agama seperti majelis talim. Berdasarkan data yang diperoleh dalam assessment ini, perempuan yang di dominasi oleh kalangan ibu ibu sangat aktif melakukan pengajian sebagai upaya meningkatkan peran perempuan di Desa Maccini Baji. f. Economy Capital (Ekonomi) Secara geografis, alam Desa Maccini Baji memiliki potensi konomi yang cukup baik. Potensi eknomi tersebut diantara lain. 1. Pertanian Masyarakat Maccini Baji dominan bekerja sebagai petani. Lahan pertanian di desa ini seluas 325 Ha. Sebelum beroprasinya irigasi pertanian, masyarakat mengolah pertanian dengan 1 kali panen setahun, diakibatkan minimnya pasokan irigasi untuk persawahan. Namun, pasca adanya program pemerintah yang membangun irigasi tahun 2004 di desa Maccini Baji, sekarang para petani dapat menanam padi 2 dan palawija 1 kali setahun. Tentu hal ini turut berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat, karena adanya peningkatan ekonomi dengan adanya irigasi tersebut.

Padderos adalah istilah umum yang dipakai di Sulawesi Selatan untuk penyebutan orang yang jasanya dipakai untuk membantu panen di sawah dengan honor dalam juidmlah tertentu. 4 Sejenis tarian penyambutan khas adat Makassar yang berisi tarian lucu dan lawakan

2. Pembuatan batu merah Sebagian masyarakat Maccini Baji, berprofesi sebagai pembuat batu merah. Proses pengerjaan, warga yang berprofesi sebagai pembuat batu merah ini bekerja secara berelasi dengan pengusaha penadah. Para penadah tersebut, membantu keuangan dan modal para pembuat batu merah tersebut dengan kesepakatan hasil batu merah akann dijual kepada penadah tersebut. 3. Perikanan air tawar. Di desa Maccini Baji terdapat banyak lahan dari bekas galian pembuatan batu bata yang dikembangkan masyarakat untuk pemeliharaan ikan air tawar. Data mengenai jumlah dan luas area lahan pemeiharaan ikan tersebut belum dapat diketahui, karena belum ada penelitian yang khusus mengenai lahan potensial ini. Namun Dg. kulle, salah satu tokoh masyarakat dusun Bonto Maero desa Maccini Baji menjelaskan lahan pemeliharaan ikan bekas galian batu bata cukup banyak, meskipun ia tidak memberikan data jumlah pasti. Namun, ia berasusmi lahan pemeliharaan ini tersebar di sekitar desa. Sampai saat ini, warga yang mengolah lahan tersebut masih kurang, alasanya ketidaktahuan warga akan potensi lahan tersebut dan sedangkan yang paham mengaku kekurangan modal. Dg. Kulle sempat melobi ketingkan pemerintah Kecamatan dan Dinas Perikanan Kab. Gowa, namun sampai saat ini belum ada bantuan yang turun untuk pengolahan lahan tersebut. C. ISU-ISU TATA KELOLA DEMOKRATIS YANG ADA Asesment yang dilakukan Pokja II di dua lokasi program Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Kota Makassar dan Desa Maccini Baji Kabupaten Gowa mencatat beberapa isu isu tata kelola demokratis yang di temukan yaitu : a. Kelurahan Lette Isu isu tata kelola democratis yang ditemukan di Kelurahan Lette, yaitu : 1. Pelibatan Perempuan dalam Musrenbang Keterlibatan perempuan dalam musrenbang masih sekedar pelengkap, penyebabnya adalah ; SDM perempuan yang dilibatkan tidak memadai, kadang muncul rasa tidak percaya diri untuk mengeluarkan pendapat, apalagi kalo berdampingan dengan laki-laki, 2. Keterlibatan Perempuan dalam pelayanan publik belum mencapai 30 % 3. Masyarakat belum mendapatkan akses untuk mengetahui hak-hak dasar warga dengara, misalnya 1). cara mendapatkan sertivikat tanah tempat tinggal mereka, 2). Kemerdekaan individu dalam hal menentukan pilihan dalam hajatan pemilihan, misalnya dalam Pemilu, Pilgub maupun Pilwalkot. 4. Sering terjadi tawuran antar kampung dengan hanya dipicu oleh masalah sepele 5. Pelayanan Publik Pelayanan pemerintah Kelurahan terhadap masyarakat di Kelurahan Lette sangat baik, misalnya urus KTP, surat keterangan miskin, perhatian Lurah terhadap kebutugan masyarakat, dll.

b. Desa Maccini Baji Issu tata kelola demokratis ditemukan saat assessment di Desa Maccini Baji yaitu : Pelayanan Publik kurang maksimal karena kantor desa tidak layak huni Pelayanan publik dilakukan di jalan raya atau di rumah kepala desa Koordinasi BPD dengan aparat desa tidak optimal. Pelibatan perempuan dalam musrenbang hanya sebagai pelengkap. Musyawarah mufakat semakin jarang, efek sisa-sisa Pilkades. D. ISU GENDER DAN LINGKUNGAN Pada dasarnya, Isu gender lahir dari persepsi perasaan tidak adil yang dialami kaum perempuan oleh kaumm pria. Kenyataan ini semakin lama semakin menguat disuarakan oleh kaum perempuan. Ketidakadilan yang dirasakan, umumnya berkisar pada persoalan klasik, seperti akses terhadap sumberdaya yang tidak proporsional, partisipasi dalam ruang publik, hingga kepada keyakinan bahwa mereka juga mampu berbuat sama seperti halnya pria. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa keadaan ini lahir akibat nilai-nilai tertentu yang dipahami dalam masyarakat, baik yang ada dalam ranah sosial budaya maupun frame agama. Di beberapa daerah, misalnya, perempuan mengalami diskriminasi karena kebiasaan dan kepercayaan adat setempat yang mengabaikan hak dan peran kaum wanita. Wanita lebih banyak ditempatkan sebagai pelengkap kehidupan pria, melayani sebagai ibu rumah tangga, dan lain-lain. Seiring berjalannnya masa, kaum perempuanpun merasa perlu untuk menyuarakan kesetaraan gender, akibat perasaan diskriminatif dan ketidakadilan yang mereka temui di ranah sosial. Hingga saat ini, pelan-pelan stigma terhadap peminggiran kaum perempuan mulai berubah, menuju sebuah tatanan nilai baru yang menghargai posisi perempuann di mata pria. Berangkat pemahaman ini, maka asesmen yang dilakukan Tim Pokja 2 di Desa Maccini Baji dan Kelurahan Lette merasa penting untuk melacak, meneliti dan menganalisa tentang isu gender di lokasi tersebut. Tujuannya untuk memberikan gambaran mengenai praktek gender yang terjadi di lingkungan sosial. a. Gender dan Lingkungan Desa Maccini Baji Adapun temuan-temuan asesmen terkait dengan issu gender di lokasi ini yaitu : 1. Keinginan kaum perempuan ikut berpartipasi pada musrembang besar, namun jarang dilibatkan dan pendapat dan pandangan mereka kurang di apresiatif. Hal ini disebabkan masih adanya stigma di kaum pria bahwa perempuan kurang paham terhadap situasi desa. Berdasarkan wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh perempuan di Maccini Baji, sebenarnya mereka

cukup mumpuni untuk terlibat dan berpartisispasi dalam dialog pembangunan desa. Salah satu tokoh perempuan dusun Parenrea, Dg. Jia mengungkapkan bahwa ia selalu siap untuk mengikuti dialog dan pertemuan desa, termasuk Musrembang. Cuma ia jarang diundang untuk mengikuti pertemuan tersebut, padahal ia termasuk salah satu warga Maccini Baji yang diakui ketokohannya oleh warga sekitarnya, terutama di dusun Parenrea. 2. Partisipasi perempuan pada PKK PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) adalah organisasi kemasyarakatan yang memberdayakan wanita untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia.5 Posisi PKK merupakan asosiasi yang berhubungan langsung struktur pemerintah desa. Dari hasil wawancara dengan salah satu tokoh perempuan Parenrea, Dg. Jia mengungkapkan bahwa PKK saat ini sudah tidak aktif lagi, karena kepimpinan PKK yang saat ini dipegang oleh istri kepala desa Maccini Baji, kurang aktif melakukan pertemuan dan konsolidasi. Padahal kecenderungan kaum perempuan Maccini Baji untuk terlibat dalam asosiasi cukup tinggi, contonya Aisyiah. 3. Partipasi Perempuan dalam organisasi keagamaan tinggi, seperti yang terjadi di beberapa organisasi, majelis talim dan aisyiyah. Kaum perempuan, tertutama ibu-ibu di desa Maccini Baji, tergolong aktif dalam sebuah asosiasi atau komunitas, salah satunya ormas Aisyiyah6. Dalam asosiasi ini, mereka rutin melakukan pertemuan dan pengajian. Bahkan boleh dikatakan bahwa Aisyiya merupakan asosiasi paling aktif dari seluruh asosiasi di Maccini Baji. Kecenderungan kaum perempuan, terutama ibu-ibu sangat besar untuk mengikuti agenda-agenda asosiasi tersebut. Dari forum ini, mereka saling bertukar pikiran, dialog dan berdiskusi tentang kehidupan sehari-hari. Keberadaan asosiasi ini cukup berpengaruh terhadap kekuatan emosianal antara sesama perempuan (ibu-ibu) Maccini Baji. Dari keterangan Dg. Nimu, salah satu jamaah Aisyiah menjelaskan bahwa mereka sering berkumpul di Taman Kanak-Kanak (TK) atau di mesjid. Agenda mereka selain pengajian yaitu arisan dan acara makan-makan. 4. Dalam hal pekerjaan, laki laki dan perempuan posisinya sama, tidak ada pembagian kerja antara laki laki dan perempuan secara khusus.

5 6

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembinaan_Kesejahteraan_Keluarga Merupakan salah satu sayap ormas Muhammadiyah yang khusus kalangan perempuan

Dalam pekerjaan, batasan terhadap perempuan bisa dikatakan tidak ada. Meskipun kaum pria diranah lain terdapat stigma kurang untuk kalangan perempuan, namun dalam keinginan dan hak untuk bekerja cukup terbuka. Kaum perempuan cukup leluasa untuk menentukan pilihannya sendiri. Contoh dalam pertanian, meskipun kaum pria dominan dalam proses pembajakan dan penanaman, kaum perempuan juga terlibat dalam bidang itu sebagai ojek makanan.7 Hal ini memperlihatkan keterlibatan perempuan dalam dunia pekerjaan tidak ada batasan yang mengikat. Salah satu faktor keterbukaan tersebut yaitu tingkat pendidikan masyarakat yang cukup tinggi dibandingkan desa-desa lainnya, selain itu kecenderungan orang tua untuk menyekolahkan anak mereka juga cukup tinggi. b. Gender dan Lingkungan Kelurahan Lette 1. Partipasi Perempuan dalam organisasi keagamaan tinggi. Kaum perempuan, terutama ibu-ibu memiliki kecenderungan senang untuk berkumpul. Pada saat tim Pokja 2 turun ke lapangan, mereka terlihat bekumpul membentuk kelompok kecil di sekitaran rumah mereka dengan beberapa perempuan lainnya, terkadang juga kaum pria ikut kumpul atau sebaliknya. Nampak, bahwa kaum perempuan memiliki kecenderungan besar untuk berkumpul. Begitu juga dengan asosiasi yang terbentuk khusus kaum perempuan dalam bidang keagamaan, majelis talim. Dalam forum ini, kecenderungan kaum perempuan untuk mengikuti kegiatan dan agenda rutin sangat besar, seperti pengajian dan arisan. Dari beberapa asosiasi yang ada di Lette, Majelis Talim merupakan forum paling aktif dan massif melakukan kegiatan, bahkan asosiasi ini ada di hampir tiap RW. 2. Dalam hal pekerjaan, laki laki dan perempuan posisinya sama, tidak ada pembagian kerja antara laki laki dan perempuan secara khusus. Dalam hal pendidikan, masyarakat Lette termasuk golongan sadar akan pentingnya pendidikan. Berdasarkan data BPS tahun 2010, sebagian besar warga Lette berpendidikan SLTA sebesar 29 persen. hal itu juga tentunya berepangaruh terhadap kecenderungan perempuan untuk tampil dalam ruang publik.

Istilah ini di ungkapkan H. Suleha, salah satu perempuan yang berprofesi sebagai ojek makanan. Teknis kerja dari ojek makanan yaitu mengantarkan makan siang kepada para petani yang ada di sawah, mereka digaji oleh pemilik sawah sebesar Rp. 50.000 per hari

Hal ini berpangaruh kepada kesempatan bagi kaum perempuan untuk memperoleh hak yang sama untuk bekerja sesuai dengan keinginan. Dalam hal pekerjaan, mereka 3. Partisipasi perempuan dalam forum publik cukup besar Kecenderungan kaum perempuan untuk mengikuti forum atau diskusi kelurahan cukup besar, justru para lelaki minim mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Salah satu alasan mengapa kaum pria kurang mengikuti pertemuan kelurahan, karena mereka umumnya bekerja dan sepulang kerja mereka lebih memilih beristirahat. Alasan itu jugalah yang membuat asosiasi warga kurang aktif. Selain itu, jam kerja mereka juga berbeda-beda. Para nelayan beroperasi di malam hari, tukang becak pada pagi sampai sore hari, beberapa pedagang beroperasi malam hari, dan beberapa di malam hari. Sedangkaan kaum perempuan dominan beroperasi sebagai ibu rumah tangga, jadi mereka punya waktu luang untuk beraktifitas di luar rumah. Selain itu, di Lette sudah banyak juga program-program yang sudah masuk dan melakukan kegiatan dengan melibatkn warga. Sehingga, mereka sudah terbiasa untuk terlibat dalam program dan pertemuan terkait pembangunan kelurahan. 4. Perempuan cukup vokal menyampaikan pendapat, namun apresiasi kaum pria terhadap pendapat dan gagasan kaum perempuan minim. Meskipun kaum perempuan di Lette sudah bisa sejajar dengan kaum pria dalam pertemuan dan dialog, namun pendapat dan gagasan kaum perempuan masih kurang diapresiasi oleh kaum pria, meskipun sebenarnya suara-suara kaum perempuan cukup membangun. Hal ini disebabkan masih adanya stigma di kalangan kaum pria bahwa kaum perempuan tidak mengerti persoalan dibandingkan lelaki. Hal ini membuat kaum perempuan sebenarnya minder untuk ikut terlibat dalam forum warga, makanya mereka cenderung lebih senang beraktifitas di forum sesama perempuan. Meskipun begitu, kaum perempuan tetap bersemangat untuk mengikuti forum warga.

BAB III ANALISA TEMUAN Pemetaan sosial ini dilakukan oleh tim Pokja II secara bersama-sama dengan sepengetahuan aparat Desa dan kelurahan . Pada waktu awal pemetaan TIM Pokja II menemui kesulitan untuk mencari informan karena tidak difasilitasi oleh perangkat karena hari libur, baru kemudian dilanjutkan dengan bantuan beberapa perangkat Desa/Kelurahan turut menyertai tim pemetaan agar dapat bertemu dengan informan. Tanpa mengurangi makna dan subtansi dari kegiatan assessment ini, peran bantuan dalam mengenalkan Tim Pokja II pada calon informan ternyata cukup membantu dalam proses ini, sebab informan tidak lagi merasa curiga dan dapat memberikan jawaban dengan terbuka. Diawal kegiatan pemetaan sebelum tim melakukan atau mencari Informan dan melakukan wawancara. Tim Pokja II melakukan orientasi lapangan di seluruh wilayah Desa Maccini Baji dan kelurahan Lette dengan cara transek cepat guna mengetahui kondisi lapangan dan infrastruktur yang ada di Desa Maccini Baji dan kelurahan Lette, sehingga tim Pokja II mempunyai bekal awal yang relatis cukup untuk melakukan proses pemetaan sosial dimasyarakat. A. ASET DAN POTENSI YANG DIMILKI KOMUNITAS A.1. Kelurahan Lette a. Sosial Capital (Asosiasi) Di masyarakat Lette sesungguhnya pernah ada asosiasi masyarakat yang sangat kuat dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat, yaitu asosiasi masyarakat Duri. Salah satu warga Lette, Wahyuddin (ketua RT 8 RW 5) menjelaskan di masa lalu nama kampung Duri sangat familiar di telinga orang, tetapi saat ini assosiasi tersebut sudah tidak ada lagi. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi tokoh yang dapat memimpin komunitas masyarakat tersebut. Peran asosiasi ini sangat besar meredam konflik pemuda yang kini sangat sering terjadi di wilayah Rusunawa (RW 5). Seiring waktu terjadi, sekarang Lette lebih dikenal dengan stigma negatif, diantara lain kampung tawuran, mabuk-mabukan, dan lain-lain. Hal ini disebabkan tingkah laku pemuda yang di luar kontrol. Selain itu, di sekitar rusunawa Lette (RW 05) koperasi pernah aktif dan sukses . Bahkan dapat menyuplai kebutuhan masyarakat kota Makassar dan sekitarnya. Koperasi itu bergerak di bidang kerajinan, seperti cendera mata, tempat parsel, dan kursi yang kesemuanya terbuat dari rotan. Hal ini berkat dari dampingan kopreasi, Bank dan dinas perindustrian. Namun, setelah gudang Koperasi mengalami musibah kebakaran, koperasi tersebut vakum dan tidak bangkit lagi sampai saat ini. Padahal koperasi tersebut dianggap beberapa warga dapat membantu berkembangnya usaha mereka.

Muhammad Nawir, salah satu tokoh masyarakat Lette menjelaskan program bantuan KUBE (Kelompok Usaha Bersama) pemerintah sempat menggantikan fungsi koperasi tersebut. Namun munculnya program pemerintah lainnya, yakni BLT (Bantuan Langsung Tunai) justru merusak mentalitas warganya. Karena warga terbiasa menerima bantuan langsung tunai. Sehingga warga malas-malasan untuk aktif di program KUBE tersebut. Akhirnya kini program tersebut kurang diminati warga unt uk pengembangan ekonomi. Mereka lebih senang menunggu BLT dari pemerintah. Untuk pemuda Lette, wadah asosiasi untuk mereka sangat minim. Satu-satunya wadah yang tim pokja II ketahui adalah Remaja mesjid di beberapa mesjid di Lette, namun jumlah anggotanya masih sedikit yang aktif. Menurut keterangan salah satu mantan pemuda Lette, Amir menjelaskan bahwa di masa sekarang tidak ada lagi karang taruna. Dimasanya ia sempat aktif di asosiasi pemuda tersebut, ia menganggap bahwa karang taruna bisa menjadi solusi dari prilaku pemuda Lette yang kini semakin ke arah negatif. Karena kehadiran karang taruna dapat menyalurkan bakat-bakat positif para pemuda, selain itu asosiasi ini cenderung mengarah ke bidang sosial. Baginya karang taruna adalah keberhasilan di masa lalu yang kini sudah tidak aktif lagi. Dari analisa hasil terkait dengan asosiasi masyarakat, wadah asosiasi di Lette minim. Padahal ada banyak ragam profesi dan komunitas yang belum memiliki wadah asosasiasi yang kuat. Namun, pola komunikasi antar individu dalam komunitas tetap intens. Contohnya beberapa warga rusunawa (RW 5), kebanyakan warga dari daerah tersebut menjadi pedagang asongan dan Pisang Ngepe8 di pantai. Jumlah penduduk yang berprofesi tersebut cukup bnayak, tapi belum memiliki komunitas atau asosiasi. Disisi lain, masalah yang sering mereka hadapi rentan penggusuran oleh Pemkot Makassar, hal ini diakibatkan warga di wilayah tersebut tidak memiliki bukti kepemilikan tanah dan tempat. b. Religious Capital Nilai-nilai yang nampak pada masyakat Lette terkait issu tersebut yaitu : 1. Diantara Inklusifitas dan eklusifitas Meskipun kampung Lette terkenal rawan konflik, namun keterbukaan terhadap etnis luar cukuo besar. Konflik terkait masyarakat urban sangat minim tejadi di Lette, mungkin yang menjadi alasan mengaapa daerah ini salah satu kawasan urban dalam volume besar di Makassar. Ada beragam etnis yang bercampur baur dengan masyarakat lokal/asli. Bahkan latar etnis bukan faktor dominan dalam penokohan personal dalam bermasyarakat. Salah satu contoh komunitas majelis talim yang beranggotakan ibu-ibu masyarakat Lette, anggota dari komunitas ini beragam etnis yang bercampur baur melakukan pengajian. Begitu juga ketika Pokja melakukan FGD (Focus Group Disscussion), terdapat beberapa etnis mandar (Polman) dan suku duri (Enrekang) yang turut menyampaikan pendapat terkait dengan pengembangan Kampung Lette.
8

Makanan tradisonal kota Makassar yang terbuat dari pisang.

Salah satu contoh, etnis mandar yang ada di kelurahan Lette kini sudah melebur dengan masyarakat setempat. Kampung Mandar di Lette terbentuk sejak kedatangan pengungsi dari Mandar, terutama dari Mamuju, Majene, Polewali-Mamasa pada akhir 1950-an.9 Orang mandar tersebut mengungsi untuk menghindari pertempuran antara pasukan DI/TII10 dan TNI. Proses peleburan etnis ini berlangsung secara pelan-pelan, meskipun di fase awal adanya etnis Mandar di Lette sempat tegang. Menurut penuturan salah satu warga Lette etnis mandar, Daud ia mengisahkan saat tahun 1964 sempat terjadi perkelahian antara orang mandar dan orang Makassar. Perkelahian antara individu ini, sempat meluas hingga atas nama etnis dan kelompok, beruntung polisi dapat meredam konflik tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya masyarakat lokal Lette menerima etnis mandar tersebut. Akan tetapi, heterogenitas masyarakat Lette ini tetap rawan akan adanya konflik etnis. Karena hasil wawancara tim POKJA memperlihatkan bahwa masih adanya stigma mengatasi konflik membawa nama etnis. 2. Toleransi

Nilai toleransi sangat mempengaruhi kebudayaan dan masyarakat. Toleransi dapat dikatakaan sebagai suatu norma, yaitu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu terkait dengan saling menjaga perbedan dan keberagaman. Menurut pandangan Quraish Shihab, defenisi toleransi ada dua. Pertama, toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih dapat diterima. Kedua, Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya penyimpangan yang dapat dibenarkan. Lahirnya sebuah konflik tak terlepas dari terkikisnya nilai toleransi kehidupan beragama dalam bermasyarakat. Lette, sebagai wilayah urban yang memiliki masyarakat yang heterogen sangat rentan akan adanya konflik keberagaman. Salah satu faktor benteng pencegah terjadinya konflik terkait issu keberagaman sangat jarang terjadi. Keberlangsungan masyarakat yang toleran merupakan faktor utama tercegahnya konflik tersebut. Salah satu contoh yaitu, masyarakat dapat menerima adanya SLTP Belibis, sekolah ini merupakan sekolah yang berbasis agama Kristen. 3. Mixed society Pada penjelasan sebelumnya, memperlihatkan ragamnya entnis yang berada di Lette, yaitu etnis, makassar (pribumi), duri (enrekang), mandar, jawa, makassar (jeneponto, takalar, gowa), bugis, dan lain-lain. Bercampur baurnya beberapa etnis ini, tentunya membuat budaya dan adat istiadat turut beragam pula. Ada banyak alasan mengapa Lette menjadi lokasi perpindahan penduduk, salah satunya karena faktor tempat tinggal para pekerja dan pedagang yang dekat dengan lokasi usaha dan tempat kerja. Hal ini jua didukung banyaknya kos-kosan dan rumah sewa tergolong murah untuk golongan ekonomi menengah ke bawah.
9

Arif, Muhammad dkk. 2012Identitas Urban, Migrasi Dan Perjuangan Ekonomi Politik di Makassar. Depok, Desantara, Hal-170 10 DI/TII merupakan kepanjangan dari Darul Islam /Tentara Islam Indonesia, kelompok yang melakukan pemberontakan terhadap era presiden RI Soekarno tahun 1950-an

Menurut salah satu warga Lette, Razak menjelaskan sejarah lette, awalnya Tanah Lette dimiliki 2 orang makassar bernama Daeng Sore dan Daeng Tompo, kedua orang bersaudara tersebut menukar tanahnya yang saat ini berada di sekitar jalan Patompo dengan tanah yang terletak di pinggir pantai yang kelak di sebut lette. Dalam bahasa Makassar, Lette berarti pidah. Mungkin faktor sejarah ini yang menandai penamaan kampung tersebut menjadi Lette. Cerita lain versi, diceritakan bahwa yang membuka Lette adala tiga orang dari Baruga, Majene yang bernama Abdullah lalu disebut Daeng Bado, Pua Maming, dan kemudian Kambacong.11 Ketiga orang ini adalah pedagang. Pada perjalannya berdagang di Ujung Pandang12, mereka mencari tanah dan memperoleh daerah tepi pantai yang merupakan teluk kecil hutan bakau dan bambu, pada akhirnya mereka menyebut kampung ini sebagai Lette. Pada perekembangannya, Lette dihuni oleh keluarga keturunan Daeng (Dg) Bado, Pua Maming, dan Kambacong. Putera Dg. Bado yang bernama Abdullah merupakan Ketua RW pertama sejak Lette mempunnyai struktur pemerintahan pada awal 1960an. Kemungkinan besar, inilah faktor mengapa orang Mandar memilih berpindah dari kampung halamannya menuju Makassar dan memilih Lette sebagai tempatnya. Selain etnis Mandar, orang jawa juga banyak yang bertempat tinggal di Lette. Mereka memilih Lette selain karena dekat dengan lokasi usaha, karena harga yang relative murah. Begitu juga dengan pendatang dari jeneponto dan takalar yang kebanyakan berprofesi sebagai tukang becak. Kondisi masyarakat Lette yang mixed ini, melahirkan budaya sosial Lette menjadi kaya. Meskipun telah bercampur dengan suku Makassar, namun nilai-nilai suku masing-masing tetap terjaga. Meskipun pada perkembangannya keturunan mereka mulai melupakan adat dan bahasa suku mereka. Contoh pernikahan antara suku mandar dan bugis (Pinrang), anara Ahmad Imran (Mandar) yang menikahi perempuan dari suku bugis. Pada proses pernikahan mereka menggunakan adat Makassar, seperti yang dilakukan mayoritas masyarakat Lette. Hal ini memperlihatkan bahwa budaya dan etnis yang ada di Lette bercampur baur dengan budaya setempat. Termasuk soal penokohan, Dg. Taba contohnya. Ia merupakan warga Lette keturunan Enrekang (Duri), namun masyarakat menokohkan dia karena karakternya yang berkarisma. Ia cukup disegani di wilayah sekitar kantor kelurahan. Hal ini memperlihatkan masyarkat Lette tidak meilhat latar etnis dalam pernokohan terhadap satu figure, tapi lebih mengedepankan karekter dan sikap seseorang dalam memberikan penilaian. c. Cultur Capital 1. Gotong Royong
11

Arif, Muhammad dkk. 2012Identitas Urban, Migrasi Dan Perjuangan Ekonomi Politik di Makassar. Depok, Desantara, Hal-171 12 Nama kota Makassar sebelum berubah pasca reformasi era, saat Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden

Budaya Gotong Royong merupakan cirri khas bangsa Indonesia, Gotong Royong bisa kita artikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan sifatnya sukarela tanpa mengharap imbalan apapun dengan tujuan suatu pekerjaan atau kegiatan akan berjalan dengan mudah, lancar dan ringan. Di Kelurahan Lette Budaya ini masih dipertahankan oleh masyarakat Lette masyarakat khususnya masyarakat yang mendiami pemukiman kumuh di sekitar rumah susun Kelurahan Lette, seperti yang diungkapkan Dg. Kulle Ketua RT 9 RW 5, menurut dia bahwa, di RT kami masyarakat masih sering bergotong royong utamanya pada musim hujan dan terjadi banjir, saat itu masyarakat membantu bagaimana upaya air yang tergenang dijalanan tidak sampai masuk ke dalam rumah, dengan cara membersihkan selokan dan memperbaiki selokan yang tersumbat oleh sampah, gotong royong juga sering dilakukan jika ada warga yang memperbaiki rumahnya, kita bisa lihat sendiri kondisi rumah yang ada di sekitar RT kami, masih banyak rumah rumah kumuh dan kalo musim hujan pasti kehujanan. 2. Kekerabatan Kuat Hal lain yang menjadi budaya di Kelurahan Lette adalah kekerabatan yang masih kental, hal ini disebabkan oleh adanya factor ketokohan dalam masyarakat terhadap beberapa orang. Menurut Haji Nawir, salah satu tokoh agama di Kelurahan Lette mengungkapkan bahwa, penokohan seseorang di masyarakat kelurahan Lette didasarkan pada beberapa faktor, diantara, factor jabatan, factor status social13, factor usia yang ditunjang oleh pendidikan, dan lain lain. Factor ketokohan yang disebutkan diatas saling menunjang dan mempengaruhi satu sama lain karena di Kelurahan Lette seseorang akan menduduki suatu jabatan apabila ditunjang beberapa factor, misalnya, untuk jadi RT atau RW bukan hanya dilihat dari status usia, pendidikan ataupun yang lainnya, tetapi harus ditunjang oleh factor factor lain. Meskipun dari sisi usia dia lebih tua dari yang lain akan susah menduduki jabatan tersebut khususnya di RW 1 dan RW 5. 3. Kawin Cerai Kawin cerai merupakan fenomena yang menimpa masyarakat umum, dari data Kementrian Agama RI tahun 2012 mencatat, kasus perceraian di Indonesia naik 10% tiap tahunnya, lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang hanya 6%. Dari beberapa kalangan menilai ada beberapa faktor penyebab maraknya perceraian diantaranya karena faktor ekonomi, maraknya perselingkuhan, problem seksual, dan ketidak harmonisan hubungan rumah tangga yang banyak melahirkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Semua itu terjadi karena nilai pernikahan telah mengalami reduksi akibat krisis moral yang sedang menimpa negeri ini, hal ini merupakan indikasi dari transformasi budaya yang tidak sehat, budaya barat yang hanya menjadikan pernikahan sebagai kaedah formalitas nampaknya menjadi rujukan dari banyak kalangan yang menganggap pernikahan telah kehilangan sakralitasnya.

13

. Status Sosial juga berpengaruh pada aspek ekonomi (masyarakat yang mapan secara ekonomi)dan penduduk asli (pribumi) atau yang pertama mendiami daerah tersebut.

Di Kelurahan Lette fenomena kawin cerai sudah menjadi budaya masyarakat di Kelurahan Lettekawin cerai ini sangat rawan terjadi pada perkawinan usia dini ataupun kawin paksa/atas kemauan orang tua, kawin terpaksa, kawin terpaksa ini terjadi akibatnya adanya perilaku seks diluar nikah yang menyebabkan sang perempuan hamil di luar nikah. 4. Konflik Antar Kelompok Konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orangorang atau komunitas-komunitas yang saling menantang dengan ancaman kekerasan. Semua insan secara naluriah, mempunyai keinginan-keinginan yang berlainan, tetapi secara keseluruhan, pada hakekatnya, mempunyai tujuan yang sama, yaitu merealisasikan makna hidup yang berusaha untuk selalu survival dalam sebuah komunitas. Namun dalam berinteraksi dan kontak sosial, mereka tidak akan dapat mencegah adanya benturan-benturan. Hal ini dikarenakan masing-masing individu memiliki kemampuan yang relatif berbeda dalam mengaktualisasikan potensinya. Ruang-ruang terjadinya konfilk di masyarakat di Kelurahan Lette memang sangat potensial dan memungkinkan konflik tersebut bisa terjadi kapan saja karena tingkat kerawanannya sangat besar dan potensial. Konflik yang kerap terjadi di Kelurahan Lette mayoritas melibatkan pemuda dengan bermacam macam menyebabnya. Andi salah seorang warga RT H mengungkapkan bahwa, sebenarnya konflik yang sering terjadi di Lette bukan dari masyarakat disini tapi dari kampung lain, Lette hanya jadi tempat pertemuan antar dua kelompok yang bertikai, kalaupun ada warga Lette yang terlibat hanya karena adanya hubungan pertemanan salah satu dari dua kelompok yang berkonflik. c. Natural Capital (SDA) Dari pengamatan lapangan bahwa satu satunya asset yang dimiliki di Kelurahan Lette adalah sumber daya alam hayati yang terkandung dalam laut. Itulah sebabnya dari jumlah penduduk kelurahan Lette sebagaian besar warganya bekerja sebagai Nelayan. Menurut Karaeng Nai ketua RT H RW 1 bahwa tidak ada sumber daya alam yang terdapat di kelurahan Lette selain laut, tidak seperti di daerah lain yang lahan pertanian masih sangat luas, jangankan lahan pertanian lapangan olahraga saja tidak ada, dulu disini ada lapangan bola volley tapi itu sudah hilang akibat pertumbuhan masyarakat yang semakin pesat sehingga lapangan tersebut kemudian ditempati membangun rumah. Kalaupun mungkin lahan masih ada mungkin juga tidak bias memberikan jaminan hidup bagi masyarakat karena kondisi tanah yang ada di Lette tidak cocok untuk lahan pertanian, karena tanahnya tidak subur. d. Human Capital Human Capital atau keahlian masyarakat yang dimiliki oleh masyarakat kelurahan Lette sangat beragam, keahlian yang dimaksud terkait dengan profesi atau pekerjaan yang di geluti oleh masyarakat untuk mempertahankan hidup, dari beberapa sumber menyebutkan pekerjaan tersebut meliputi :

Nelayan Komunitas nelayan merupakan salah satu dari sekian komunitas yang terdapat di kota Makassar. Komunitas nelayan tersebut sebagian bermukim di kelurahan Lette. Dari data hasil penelitian terkait dengan komunitas nelayan di kelurahan Lette disebutkan bahwa komunitas nelayan teridentifikasi sebagai komunitas miskin, salah satu penyebab kemiskinan tersebut adalah, nelayan seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal. Misalnya, ketika harga ikan yang merupakan sumber pendapatan mereka, dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak. Hal ini, tentu saja dapat membuat distribusi pendapatan menjadi tidak merata dimana dengan adanya permainan harga, nelayan mendapatkan income yang rendah atau berada pada posisi yang dirugikan sedangkan para pemilik modal, dapat meraup keuntungan yang besar dari adanya tindakan spekulasi harga. Demikian halnya dengan gejala modernisasi perikanan yang juga tidak banyak dapat membantu, bahkan sebaliknya membuat nelayan utamanya nelayan tradisional menjadi semakin terpinggirkan, seperti pada saat munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan berteknologi modern (motorisasi) yang mampu menangkap ikan lebih banyak. Penggunaan kapal besar yang berteknologi modern oleh pemilik modal sudah barang tentu dapat menghasilkan tangkapan ikan yang lebih besar bila dibandingkan dengan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional. Tukang batu Bekerja sebagai tukang batu adalah pekerjaan sampingan oleh sebagian masyarakat Kelurahan Lette Menjadi seorang tukang becak di kelurahan Lette menPada umumnya tukang becak yang ada di Kel. Lette adalah masyarakat etnis Makassar, walaupun ada juga dari etnis bugis Pengrajin Anyaman Rotan Pengrajin rotan ini adalah masyarakat yang berasal dari Kab. Enrekang, sehingga Kampung lette sering dijuluki kampung Duri (Duri adalah satu kampong di Kabupaten Enrekang) Pedagang Asongan, Pedagang Kaki Lima, dan Pedagang Campuran Pedagang pedagang ini khususnya pedangang asongan dan PKL hamper semua beroperasi di sekitar Pantai Losari PNS, TNI A.2. Desa Maccini Baji a. Social Capital (Asosiasi) Oraganisasi sosial di Desa Maccini Baji seperti organisasi rukun warga, organisasi rukun tetangga, dan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) telah ada sejak desa tersebut berdiri. Ketiga organisasi tersebut adalah oragnisasi yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan undang-undang dan bekerja berdasarkan hirarki pemerintahan. Disamping itu terdapat organisasi keagamaan seperti majlis taklim, remaja masjid, pengurus masjid, TPA yang berusaha memberikan pelayanan

kepada masyarakat sesuai dengan bidangnya, walaupun dalam pelaksanaanya belum optimal sesuai dengan harapan masyarakat Dahulu, Maccini Baji terkenal akan organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini sangat kuat mempengaruhi pola pikir masyarakat. sehingga dulu orang familiar menyebut maccini baji sebagai basis Muhammadiyah. Tetapi saat ini organisasi tersebut tidak lagi aktif seperti dahulu, bahkan saat ini yang lebih aktif memberikan pengajian pada masyarakat adalah wahdah, tetapi secara organisatoris tidak ada di Desa Maccini Baji. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi tokoh Muhammadiyah yang sama dengan ketokohannya dengan para pendahulu mereka yang dapat memimpin komunitas masyarakat tersebut. Untuk wilayah pekerjaan, desa Maccini Baji ada dua asosiasi yang aktif. Yaitu Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan Asosiasi Pembuat Batu Merah. Asosiasi ini sangat berperan dalam membantu pekerjaan anggota asosiasi tersebut. Dari dua asosiasi aktif tersebut, Gapoktan merupakan asosiasi painng besar, karena membawahi puluhan kelompok tani yang mendapat bantuan operasional pertanian dari pemerintah. Dari hasil analisa kelembagaan formal terlihat bahwa lembaga BPD dan PKK masih mempunyai peran penting sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi, namun keaktifan lembaga tersebut masih minim. Sehingga merupakan lembaga strategis di masyarakat Desa Maccini Baji, keberadaannya patut untuk mendapat perhatian yang serius dalam upaya pemasyarakatan / pengenalan program di Maccini Baji. Banyaknya kelompok yang tersedia di masyarakat ini ternyata tidak berkorelasi dengan tingkat keaktifan masyarakat dalam berpartisipasi karena sebagian warga menilai bahwa partisipasi mereka dalam kelompok yang diikutinya justru lebih sedikit dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Penyebabnya beragam, tapi terutama disebabkan kesibukan dalam bekerja karena makin mahalnya kebutuhan hidup sehari-hari menyebabkan warga banyak yang berkonsentrasi untuk mencari nafkah, sementara kegiatan di kelompok cenderung hanya sebagai sampingan bila ada waktu luang. Hal ini menunjukkan kecenderungan rendahnya tingkat keaktifan responden dalam berpartisipasi di kelompok-kelompok yang diikutinya. Hanya di kelompok keagamaan dan kelompok arisan yang tingkat partisipasinya aktif. Kelompok-kelompok yang diikuti oleh warga umumnya menunjukkan karakteristik yang sama dalam sejumlah faktor, terutama menyangkut kesamaan lokasi dan kesamaan agama di antara anggota-anggotanya. Hal ini menegaskan dominasi peran kelompok-kelompok keagamaan dan kewargaan di sekitar permukiman sebagai kelompok yang banyak diikuti warga. Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar warga cenderung lebih percaya pada figur-figur yang menjalankan pranata atau norma sosial dan keagamaan, seperti guru, perawat dan dokter, serta tokoh agama. Sementara tingginya tingkat

kepercayaan pada orang-orang dari etnis yang sama merupakan kecenderungan yang normal karena kepercayaan juga dibentuk oleh dasar ikatan genealogis dan identitas yang sama. b. Human Capital Masyarakat Desa Maccini Baji sangat homogen, penduduknya mayoritas dari suku makassar. Dilihat dari aspek pendidikan masyarakat Desa maccini Baji tergolong masyarakat yang memiliki jenjang pendidikan yang memadai khususnya yang berada di pusat pemerintahan atau di wilayah Dusun Bonto Mairo dan Dusun Parang Rea, sementara masyarakat berada di Dusun Parang Berua, Dusun Borong Untia dan Dusun Pakkingkingan, masyarakat di daerah ini tergolong masyarakat yang berpendidikan rendah. Perbedaan tersebut kemudian berimplikasi pada tingkat kesejahteraan masyarakat di Desa Maccini Baji, masyarakat yang berada di dua dusun Bonto Mairo dan Parang Rea tergolong masyarakat yang berpenghasilan menengah keatas, sementara masyarakat yang berada dipinggiran yaitu di di Dusun Parang Berua, Dusun Borong Untia dan Dusun Pakkingkingan tergolong masyarakat yang berpenghasilan menengah kebawah.

Di puasat pemerintahan terdapat sarana pendidikan mulai tingkat SD sampai SLTP, sedang pada dusun parang berua dan dusun borong Untia beluam ada sarana pendidikan seperti itu. Tingkat pendapatan Masyarakat di Pusat pemerintahan Desa sudah golongan menengah ke atas, berbeda di masyarakat Borong Untia dan Masyarakat Parang berua, mereka rata-rata memiliki penghasilan pembuat batu bata atau petani yang mengandalkan hasil padi. Dari kenyataan tersebut, maka dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat, perlu diadakan pembinaan pendidikan berupa keterampilan hidup, sehingga pada akhirnya mereka dapat mensejahterakan hidupnya. c. Natural Capital Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Yang tergolong di dalamnya tidak hanya komponen biotik, seperti hewan, tumbuhan dan mikroorganisme, tetapi juga komponen abiotik, seperti minyak bumi , gas alam, berbagai jenis logam, air, dan tanah. Inovasi teknologi, kemajuan peradaban dan populasi manusia manusia, serta revolusi industri telah membawa manusia pada era eksploitasi sumber daya alam sehingga persediaannya terus berkurang secara signifikan, terutama pada satu abad belakangan ini.Sumber daya alam mutlak diperlukan untuk menunjang kebutuhan manusia, tetapi sayangnya keberadaannya tidak tersebar merata dan beberapa negara, beberapa propinsi, beberapa desa, dan beberapa desa. Sebagai contoh, negara di kawasan Timur Tengan memiliki persediaan gas alam sebesar sepertiga dari yang ada di dunia dan Maroko sendiri memiliki persediaan senyawa fosfat sebesar setengah dari yang ada di bumi. Akan tetapi, kekayaan sumber daya alam ini seringkali tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara tersebut.

Pada umumnya, sumber daya alam berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi SDA yang dapat diperbaharui dan SDA tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui adalah kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya tidak dieksploitasi berlebihan. Tumbuhan, hewan, mikroorganisme, sinar matahari, angin, dan air adalah beberapa contoh SDA terbaharukan. Walaupun jumlahnya sangat berlimpah di alam, penggunannya harus tetap dibatasi dan dijaga untuk dapat terus berkelanjutan. SDA tak dapat diperbaharui adalah SDA yang jumlahnya terbatas karena penggunaanya lebih cepat daripada proses pembentukannya dan apabila digunakan secara terus-menerus akan habis. Minyak bumi, emas, besi, dan berbagai bahan tambang lainnya pada umumnya memerlukan waktu dan proses yang sangat panjang untuk kembali terbentuk sehingga jumlahnya sangat terbatas, minyak bumi dan gas alam pada umumnya berasal dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang hidup jutaan tahun lalu, terutama dibentuk dan berasal dari lingkungan perairan.Perubahan tekanan dan suhu panas selama jutaaan tahun ini kemudian mengubah materi dan senyawa organik tersebut menjadi berbagai jenis bahan tambang tersebut. Sumber daya alam yang terdapat di Maccini Baji Kecamatan Bajeng Kab. Gowa yang dapat dikembangkan adalah : a. Pertanian dan Hortikultura Tanah yang ada di wilayah Desa Maccini Baji cukup sangat subur dan cocok untuk lahan pertaninan. Lahan pertanian terdiri lahan berkebunan dan sawah. jenis tanaman yang dikembangkan di dearah ini terdiri dari tanaman jangka panjang dan jangka pendek, Tanaman jangka panjang meliputi buah-buahan seperti mangga, rambutan, durian, jeruk sementara tanaman jangka pendek meliputi : padi (sawah), jagung, kacang tanah dan ketela pohon sedangkan hortikultura semusim tanaman cabai dan sayuran. Dari aspek ini sesungguhnya Desa Maccini Baji sangat potensial untuk dikembangkan, akan tetapi seluruh jenis tanaman yang selama ini menjadi produk andalan masyarakat belum terkelola dengan baik sehingga masyarakat yang secara penuh mengantungkan hidup pertanian belum berkembang secara ekonomi. b. Peternakan Berternak merupakan kerjaan sampingan bagi masyarakat Desa Maccini Baji,, hanya sebagai penambah penghasilan dari pekerjaan utama mereka yaitu bertani, binatang ternak yang ada kambing, sapi dan ayam buras, bebek dan angsa. Untuk ayam buras hampir seluruh keluarga di Desa Maccini Baji memeliharanya. Karena disamping tidak membtuhkan modal banyak untuk memiliki, jenis ternak ini tidak membutuhkan pemeliharaan yang esktra karena hanya dipelihara secara tradisional (hidup di alam bebas). Kambing dan sapi yang ada di Maccini Baji juga dikelola secara tradisional,

c. Kolam Ikan Kolam Pemeiliharaan ikan air tawar yang ada d Macin Baji berasal dari lahan galian C atau galian dari mengambilan bahan baku pengrajin batu bata, kolam

kolam pun semakin bertambah seiring dengan banyak lahan yang di gali dari para pengrajin batu merah, atas kreatifitas masyarakat bekas galian itupun kemudian dikelola menjadi kolam tempat pemeliharaan ikan air tawar. Jenis ikan yang dipelihara adalah lele, nila dan mujahir. Ikan hasil panen mereka tidak dipasarkan akan tetapi hanya menjadi konsumsi sendiri bagi pemiliknya. Status kolam sendiri ada yang perorangan dan ada yang dimiliki secara berkelompok. d. Religius Capital e. Cultur Capital f. g. Pyscal Capita h. Economy Secara geografis, alam Desa Maccini Baji memiliki potensi konomi yang cukup baik. Potensi eknomi tersebut diantara lain. 1. Pertanian Masyarakat Maccini Baji dominan bekerja sebagai petani. Lahan pertanian di desa ini seluas 325 Ha. Sebelum beroprasinya irigasi pertanian, masyarakat mengolah pertanian dengan 1 kali panen setahun, diakibatkan minimnya pasokan irigasi untuk persawahan. Namun, pasca adanya program pemerintah yang membangun irigasi tahun 2004 di desa Maccini Baji, sekarang para petani dapat menanam padi 2 dan palawija 1 kali setahun. Tentu hal ini turut berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat, karena adanya peningkatan ekonomi dengan adanya irigasi tersebut. 2. Pembuatan batu merah Sebagian masyarakat Maccini Baji, berprofesi sebagai pembuat batu merah. Proses pengerjaan, warga yang berprofesi sebagai pembuat batu merah ini bekerja secara berelasi dengan pengusaha penadah. Para penadah tersebut, membantu keuangan dan modal para pembuat batu merah tersebut dengan kesepakatan hasil batu merah akann dijual kepada penadah tersebut. 3. Perikanan air tawar. Di desa Maccini Baji terdapat banyak lahan dari bekas galian pembuatan batu bata yang dikembangkan masyarakat untuk pemeliharaan ikan air tawar. Data mengenai jumlah dan luas area lahan pemeiharaan ikan tersebut belum dapat diketahui, karena belum ada penelitian yang khusus mengenai lahan potensial ini. Namun Dg. kulle, salah satu tokoh masyarakat dusun Bonto Maero desa Maccini Baji menjelaskan lahan pemeliharaan ikan bekas galian batu bata cukup banyak, meskipun ia tidak memberikan data jumlah pasti. Namun, ia berasusmi lahan pemeliharaan ini tersebar di sekitar desa. Sampai saat ini, warga yang mengolah lahan tersebut masih kurang, alasanya ketidaktahuan warga akan potensi lahan tersebut dan sedangkan yang paham mengaku kekurangan modal. Dg. Kulle sempat melobi ketingkat pemerintah Kecamatan dan Dinas Perikanan Kab. Gowa, namun sampai saat ini belum ada bantuan yang turun untuk pengolahan lahan tersebut.

4. Pegawai Negeri Sipil. Sebagaiman diketahui bahwa desa Maccini baji adalah suatu desa yang cinta kepada pendidikan, sehingga diantara masyarakat banyak yang berprofessi sebagai pegawai Negeri Sipil. Menurut Abd. Djabbar (Ktua BPD) disepanjang jalan raya hampir rata-rata dalam satu rumah memiliki 2-3 orang PNS. Berbeda dengan masyarakat yang ada di Dusun Borong Untia, Dusun Paran Berua dan sebagian di Dusun Parang rea, propessi mereka kebanyakan petani dan pengrajin batu batah Berdasarkan penomena tersebut, dari sisi ekonomi berarti terjadi ketidak merataan pengembangan potensi masyarakat, hal ini disebabkan belum tersosialisasinya pemenuhan hak dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang jauh dari pusat pemerintahan belum terjangkau penyuluhan sehingga masyarakat cenderung hanya menerima apa adanya. Dan ada kemungkinan masyarakat memahami takdir dengan pemahaman yang salah. Dalam pembangunan ekonomi masyarakat salah satu yang memiliki peran penting adalah peran lembaga pembiayaan. Lembaga pembiayaan pakah Perbankan atau koperasi. Di Maccini Baji kedua lembaga tersebut tidak terdapat di Desa Maccini Baji. Mengenai Koprasi dahulu pernah ada koperasi yang dikembangkan yaitu koperasi Unit Desa (KUD), tetapi akhir-akhir Ini sudah tidak ada lagi. Menurut Kepala Desa Maccini Baji KUD sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi kesiapan pengelola koperasi belum siap. Karena itu adanya pelatihan koperasi atau pengelolaan sistem keuangan tang bisa membantu masyarakat, sehingga koperasi dapat dikembangkan lagi di Desa Maccini Baji. B. Isu Tata Kelola Demokratis Nilai-nilai integritas, akuntabilitas, ketaatan pada hukum, kredibilitas dan transparansi merupakan syarat mutlak terciptanya masyarakat yang demokratis. Sementara yang terjadi di lapangan hal-hal tersebut belum terakomodasi dan dicerna oleh masyarakat lokal. Proses demokratisasi ditingkat lokal masih berjalan dalam ranah prosedural. Mestinya, impelementasi demokrasi desa secara prosedural mesti dibarengi dengan proses proses pemberdayaan masyarakat dan pemerintah desa tentang penanaman nilai dan tujuan demokrasi terlebih dahulu, namun langsung pada tahap implementasi. Sehingga menyulitkan untuk tumbuhnya peran aktif masyarakat dalam berdemokrasi di tingkat lokal. Hal itulah yang dirasakan sebagaian masyarakat di Desa Maccini Baji. Chaeril Anwar, Kepala Desa Maccini Baji menjelaskan berpuluh-puluh tahun kita merdeka, semestinya demokrasi memberikan efek yang baik bagi masyarakat. Tapi yang nampak sekarang adalah kemunduran. Dulunya, musyawarah merupakan bagian yang akrab di masyarakat dalam merumuskan sesuatu. Namun setelah masuknya Pilkades, justru pelan-pelan ditinggalkan . Ia memaparkan hal tersebut dalam forum FGD (Focus Group Disscusion) yang digelar di desa tersebut. Menurutnya, partai politik masuk mengintervensi kandidat sehingga Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) sudah terkontaminasi dengan kepentingan parpol

pada. Akibatnya sulit untuk memecahkan masalah melalui musyawarah mufakat, karena sudah ada campur tangan Parpol. Forum-forum desa yang sebelumnya aktif, kini jarang lagi akibat adannya kompetisi pada pilkades yang kemudian melahirkan faksi faksi dalam masyarakat, ego-ego sisa politik desa mempengaruhi kebijakan dan keputusan desa yang mestinya dirancang bersama. Faksi faksi yang muncul dari pilkades juga berembek pada hajatan pemilihan yang lebih tinggi seperti Pilbub, Pilgub maupun Pemilu. Selain itu, pelayanan publik juga kurang maksimal dikarenakan gedung kantor desa sudah rapuh. Akibtnya warga ketika ingin mengurus sesuatu merasa kesulitan. Kordinasi antara BPD (Badan Perwakilan Desa) dan pemerintah desa pun minim. Sekelumit persolan inilah yang merupakan masalah serius terkait tata kelola pemeritahan demokratis di Maccini Baji. Berbeda dengan Kelurahan Lette, aparat kelurahan aktif membantu kebutuhan masyarakat. Kantor desa pun menjadi pusat informasi masyarakat terkait pelayanan publik, Hal itu disampaikan Rusman, tokoh Masyarakat RW 5 kelurahan Lette. Namun yang menjadi persoalan adalah kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajibannya. Meskipun aparat kelurahan berjalan baik, tetap kurang efektif ketika warganya tidak mengerti tentang posisi hak dan tanggung jawabnya sebagai warga Negara. Justru aparat kelurahan kewalahan membantu masyarakatnya akibat hal tersebut, lurah Lette menjelaskan warganya kadang tidak mendengar imbauan dari kelurahan. Ia mencontohkan imbauan kelurahan tentang peran orang tua dalam pendidikan anak, imbauan ini tidak diindahkan. Nanti pas anaknya masuk bui karena kasus tertentu, mereka baru mengeluhan dan minta pertolongan pihak kelurahan. Meskipun partisipasi politik dalam memberi suara dalam pemilu dan pilkada relatif tinggi, tapi untuk partisipasi politik yang bersifat otonom, seperti menghubungi pejabat pemerintah, mengajukan usulan kepada pemerintah relatif terbatas karena umumnya hanya dilakukan oleh kelompok elit di masyarakat. Data ini memperlihatkan kurangya kesadaran warga Lette akan hak dan kewajiban warga Negara.

C. Isu Gender dan Lingkungan Dalam tata pemerintahan yang demokratis, meniscayakan adanya interaksi seluruh elemen dalam masyarakat dalam kepemerintahan. Interaksi yang konstruktif tersebut harus diakomodir oleh sistem politik tanpa diskriminasi, baik berdasarkan ras, agama, suku, status sosial-ekonomi maupun gender. Sehingga Ada kesamaan hak setiap warga berpartisipasi dalam proses-proses pembangunan desa dan kelurahan yang terjadi dalam sistem politik yang demokratis. Suatu sistem pemerintahan yang demokratis, memberikan ruang-ruang kesempatan bagi setiap warganya dalam menyampaikan aspirasi tanpa mengenal batas ruang , waktu, dan rasa takut. Namun, Kondisi ini tentu tidak akan dapat kita temukan dalam masyarakat yang sangat diwarnai oleh budaya patriarkhis, yaitu menempatkan nilai laki-laki pada posisi super-ordinate. Hal ini tentunya telah mendiskriminasikan perempuan dalam pelibatan ruang public, secara sengaja maupun tidak sengaja. Adanya stigma peran sosiologis, antara peran publik dan peran domestik tersebut tentu membuat posisi perempuan menjadi terpinggirkan. Masalah pembagian ini, tentu membuat kebijakan publik juga berjalan timpang, tidak mengakomodasi kepentingan perempuan. C1. Kelurahan Lette Berbeda dengan desa Maccini Baji, partisipasi dan jabatan publik kaum perempuan di kelurahan Lette agak besar. Keterlibatan perempuan dalam Asosiasi/komunitas di Lette cukup besar, namun. Mereka lebih aktif di bidang keagamaan dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Untuk jabatan public, terdapat perempuan yang menduduki jabatan politik publik. Mereka diantara lain. Diantara lain : 1. Suriati (RW 4 RT C) 2. Risnawati (RW 3 RT A) 3. Syamsyuniar (RW 1 RT F ) 4. Sriani (RW 1 RT E) Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan di Lette, berani untuk menduduki jabatan publik, berbeda dengan desa Maccini Baji yang menganggap hal ini bukan urusan perempuan. Meskipun begitu, jumlah pejabat perempuan dalam badan publik sangat timpang dibandingkan jumlah pejabat laki-laki. Fakta ketimpangan jumlah pejabat publik lakilaki dan perempuan ini menunjukkan adanya ketimpangan kesempatan yang membatasi keterlibatan perempuan dalam ruang politik publik. Meskipun partisipasi perempuan cukup besar dalam pertemuan warga kelurahan, namun masih terdapat stigma bahwa urusan publik adalah domainnya paa lelaki. Stigma ini membuat kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan setempat belum mengakomodir kepentingan perempuan. Stigma ini terbentuk dari Nilai budaya, fundamental adat dan agama, warisan orde baru yang menghambat dan menyebabkan adanya diskriminasi terhadap perempuan.

Perlu ada reformulasi ruang politik, agar perempuan bisa masuk dalam ruang politik. Bila perempuan tidak masuk dalam ruang politik maka harus ada ruang lain sebagai media untuk berpartisipasi dalam politik. Perlu adanya redefinisi kebijakan pemerintah lokal yang seharusnya harus melindungi dan mengakomodasi kepentingan kaum perempuan. Ditinjau dari segi sosiografis perempuan Indonesia, terdapat banyak faktor yang sangat kuat menyekat peran kaum pria dan kaum perempuan dalam ranah publik. Lebih khusus lagi, jika ditilik dari sisi fenomena kemiskinan yang banyak di Lette dan pembagian peran sosialnya, perempuan miskin di Lette cenderung memiliki kesempatan yang terbatas ikut berpartisipasi dalam ruang publik, selain untuk menolong dirinya sendiri keluar dari kungkungan kemiskinan. Kesibukan para perempuan dalam urusan domestik misalnya, menyebabkan mereka tidak leluasa untuk mengikuti berbagai tahapan program-program kelurahan. Kondisi ini diperparah oleh kecenderungan perempuan miskin yang memegang peran ganda dalam rumah tangga. Selain bertanggung jawab terhadap urusan domestik rumah tangga, perempuan miskin juga terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan. Sedangkan perempuan miskin yang menjadi penanggung jawab domestik saja, hampir dipastikan tidak memiliki assisten rumah tangga. Hal ini menyebabkan waktu mereka terkuras dalam urusan domestiknya. Karena itu mungkin perlu dipertimbangkan perlunya forum informal yang khusus untuk perempuan miskin itu sendiri. Selain itu, warga miskin khususnya perempuan telah disibukkan dengan urusan pemenuhan ekonomi, sehingga waktu yang digunakan untuk berpartisipasi dapat mengurangi potensi penghasilan sehari-hari. Hal ini tentu dapat diterima, karena bagaimanapun kondisi perekonomian warga miskin, khususnya perempuan, menumbuhkan pola pikir yang pragmatis. Tentu mereka akan mengutamakan pemenuhan pangan keluarga daripada perencanaan pembangunan yang bagi warga miskin tidak memberikan efek langsung terhadap perekonomian mereka. Pada dasarnya hal ini juga dapat disiasati melalui upaya penyadaran dan penyesuaian waktu dengan jam kerja warga miskin khususnya perempuan miskin itu sendiri. Hal tersebut diperparah dengan kondisi lapangan yang menunjukkan bahwa perempuan cenderung merasa pendapatnya tidak pernah diakomodir akibat budaya dominasi pria dalam pengambilan keputusan rumah tangga, yang cenderung terbawa dalam ruang publik. Sehingga, stigma perempuan sebagai penerima keputusan, masih melekat erat. Untuk itu, perlu upaya terus menerus dalam penyadaran bahwa hak partisipasi laki-laki dan perempuan adalah setara. Sebagai upaya untuk memberikan kesadaran tentang kesetaraan, Ada dua hal upaya yang mesti dilakukan. Pertama, supporting system. Perempuan membutuhkan dukungan penuh dari keluarga untuk dapat mengaktualisasi dirinya. Hal ini dikarenakan perempuan seringkali mendapat hambatan ketika berpartisipasi di ruang-ruang publik. Hambatan terbesar seringkali datang dari urusan-urusan domestik atau rumah tangga. Perempuan yang selama ini dilabeli dengan urusanurusan domestik seringkali merasa bersalah ketika harus meninggalkan urusan

rumah tangga. Meskipun suami dan istri telah membuat kesepakatan untuk membagi tugas dalam urusan-urusan rumah tangga, hal tersebut tidak serta merta menghilangkan perasaan bersalah perempuan. Hal inilah yang kemudian dapat diantisipasi melalui supporting system. Dengan demikian, dukungan penuh keluarga menjadi penting pada konteks ini. Kedua, civic and political education dan peningkatan kapasitas. Kedua hal ini berkaitan dengan kualitas diri perempuan. Keberadaan perempuan di ranah politik adalah untuk mengubah kebijakan-kebijakan yang bias gender, bukan hanya sebatas sebagai pemanis atau sebagai vote getter. Pelabelan dan pencitraan masyarakat patriarki yang cenderung men-subordinasi (menomorduakan) kaum perempuan di ranah publik menjadikan sosok kaum hawa menjadi begitu rentan terhadap ketidakadilan gender, seperti kekerasan , pemiskinan (marginalisasi), maupun beban ganda. Mengguritanya akar patriarki yang demikian kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat membuat isu-isu gender menjadi bias dan salah kaprah. Banyak kaum lelaki yang merasa khawatir bahwa gender akan membuat peran kaum lelaki menyempit. Bahkan, tak jarang yang berpandangan bahwa gender merupakan bentuk perlawanan kaum perempuan terhadap kodrat yang akan menyingkirkan peran kaum lelaki di sektor publik. C2. Desa Maccini Baji Persoalan gender di desa Maccini Baji yaitu adanya stigma dikotomis antara laki-laki dan perempuan, dimana adanya anggapan bahwa perempuan kurang memahami persoalan desa ketimbang laki-laki. Untuk peran domestik, distigmakan pada jenis kelamin perempuan, sementara peran publik distigmakan pada jenis kelamin laki-laki. Kegiatan pemerintahan merupakan bagian dari peran publik yang menurut sebagian masyarakat disunahkan sebagai urusan perempuan. Rendahnya keterlibatan perempuan dalam proses pemerintahan telah terjadi sejak di tingkat paling rendah dalam strata pemerintahan yang ada, yaitu di tingkat RT, RW dan Desa. Sebagai bagian dari warga masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, beberapa informan permpuan menyoroti persoalan keterbatasan kesempatan kaum perempuan untuk terlibat dalam forum-forum publik. Disamping secara teknis, kungkungan peran domestik yang dialami oleh kaum perempuan untuk urusan rumah tangga, berperan besar dalam membatasi peran eksternal mereka, sehingga peran publik tersebut otomatis diserahkan pada laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Disamping itu ,nampaknya komitmen dan kesungguhan para pelaku kebijakan untuk melibatkan perempuan memang minim. Fenomena ini tidak terlepas dari kerangka budaya patriarkhi yang telah menjadi pemahaman bagi sebagian besar masyarakat khususnya laki-laki. Laki-laki senantiasa diberi peran di ruang publik yang dinilai lebih penting daripada peran domestik. Dikotomi peran inilah yang kemudian pada akhirnya memposisikan perempuan kurang dilibatkan dalam proses-proses publik.

Kendati beberapa perempuan mencoba muncul menjalankan peran-peran publik, namun tetap saja kebanyakan hanya ditempatkan sebagai pelengkap semata. Situasi rapat yang sangat melelaki, lengkap dengan berbagai humor selera laki-laki yang kebanyakan mengeksploitasi seksualitas perempuan, secara psikologis kebanyakan membuat perempuan tidak betah berlama-lama dalam forum-forum tersebut. Walhasil perempuan kendati sudah masuk sektor publik, tetap saja masih menjalankan peran-peran yang masih terkait dengan peran domestiknya, misalnya sebagai MC, penerima tamu, seksi konsumsi, dan sebagainya. Kemudian masalah-masalah seputar perempuan dan kesejahteraan keluarga di dalam ruang tertutup yang tidak boleh mengemuka pada ruang publik, sehingga seringkali menempatkan masalah-masalah tersebut sebagai kepentingan yang sekunder, jauh dari hingar bingar pembahasan dalam rapat yang menjadi urusan laki-laki. Masalah kekerasan dalam rumah tangga misalnya, masalah kesehatan reproduksi, beban kerja dalam rumah tangga yang dialami perempuan, pendidikan anak, dan sebagainya dianggap bukan hal yang urgen untuk dibicarakan dalam forum-forum rapat. Beberapa isu bahkan dianggap mengandung nilai tabu didalamnya yang tidak boleh dibahas di ranah publik, kendati masyarakat pada umumnya memahami bahwa ada bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di lingkungannya. Karena kondisi inilah pada akhirnya nyaris tidak dapat dilakukan advokasi yang memadai ketika terjadi banyak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga. Semua masalah itu dianggap merupakan urusan intern yang sama tidak boleh dicampuri oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Hal inilah yang membuat kaum perempuan lebih cenderung aktif di asosiasi khusus perempuan, seperti Majelis Talim dan Aisyiah Terpolanya bentuk partisipasi kaum perempuan sesuai dengan ranah urusannya sebagaimana dipaparkan di atas menggambarkan kembali kuatnya nilai-nilai masyarakat yang menempatkan peran perempuan untuk terpisah dari urusan-urusan publik. Dalam bidang politik, berkembang persepsi publik dalam masyarakat khususnya kaum perempuan - yang memandang bahwa masalah politik bukanlah masalah atau tanggung jawab / kewajiban perempuan, seperti halnya masalah kewajiban mencari nafkah dalam keluarga yang bukan menjadi kewajiban perempuan melainkan kewajiban laki-laki. Partisipasi Perempuan Dalam Musrembang Desa Rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan daerah merupakan salah satu tema besar yang selalu muncul dalam diskursus mengenai reposisi peran perempuan dalam pembangunan dan politik. Salah satu aspek yang selalu muncul dalam diskursus ini adalah persoalan representasi kaum perempuan dalam struktur politik nasional maupun daerah, termasuk pula keterlibatan perempuan dalam proses perumusan kebijakan publik di pusat hingga daerah yang dirasakan belum cukup memadai. Persoalan ini muncul terutama bila membandingkannya secara dikotomis dengan eksistensi kaum perempuan dalam konteks kuantitatif yang ratarata sebanding dengan setengah populasi nasional maupun daerah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) merupakan agenda acara tahunan yang diselenggarakan desa sebagai upaya untuk melibatkan masyarakat sampai level terendah. Prinsip partisipatif dalam pelaksanaan

Musrenbangdes diterjemahkan sebagai pelibatan masyarakat dalam semua tahapan Musrenbangdes sehingga menghasilkan Rencana Kerja Pembangunan (RKP) yang benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat dan berpihak pada kelompok miskin. Proses perencanaan yang partisipatif diharap mempercepat proses terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan pembangunan. Namun dalam realita budaya dan kebiasaan masyarakat menyebabkan beberapa pihak dianggap tidak mampu atau tidak pantas untuk terlibat di dalam proses perencanaan pembangunan. Sehingga seringkali terjadi peminggiran terhadap pihakpihak tertentu, contohnya kelompok perempuan. Upaya pemerintah lokal dalam mengupayakan maksimalnya patisipasi perempuan, diharapkan bisa semakismal mungkin. Karena dengan terbatasnya partisipasi perempuan ditambah dengan keterbatasnya kapasitas mereka di ranah publik maka semakin menguatkan posisi bahwa kebutuhan perempuan sangat minim terperhatikan. Sebenarnya di setiap desa di Indonesia, sudah ada organisasi perempuan yang disebut PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Anggota dan pengurus dari PKK desa, adalah perwakilan dari PKK di tingkat dusun atau RW, demikian pula di desa Maccini Baji, selain PKK desa juga ada PKK tingkat dusun/RW. Seluruh perempuan yang sudah berkeluarga (100%) otomatis menjadi anggota PKK. Oleh karena itu PKK merupakan wahana yang tepat untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas partisipasi perempuan dalam pembangunan desa, khususnya pada Musrenbangdes. Namun pada kenyataannya, PKK hanya bergerak pada tatasan praktis domestik saja yaitu terkait dengan kesejahteraan keluarga, mereka belum bergerak pada tataran strategis misalnya sebagai wadah dan penyalur aspirasi kebutuhan/aspirasi perempuan dalam pembangunan desa. Proses Musrenbang sendiri ternyata sarat masalah. Menurut pengamatan saya, masalah utama timbul dari minimnya informasi soal proses musrenbang. Sosialisasi yang tidak menyeluruh mengakibatkan proses musrenbang makin simpang siur. Kebanyakan penduduk awam (bukan perangkat desa), tidak paham soal musrenbang. Bagi mereka semua rapat desa adalah musrenbang. Beberapa diantaranya bahkan tidak tahu kepanjangan Musrenbang itu sendiri. Kondisi inilah yang kemudian sering menimbulkan prasangka sosial adanya ketimpangan gender dalam pembangunan, yang direfleksikan dari realitas keterwakilan perempuan secara fisik dalam lembaga legislatif yang sangat minim, yang kemudian berpeluang pada tidak terwakilinya aspirasi kaum perempuan dalam proses perumusan kebijakan publik yang sensitif gender atau berpihak pada kepentingan perempuan maupun isu-isu yang terkait langsung dengan kehidupan dan hak-hak kaum perempuan. Isu-isu ini yang kemudian dikenal dengan isu-isu softpolitics atau conventional politics, yang dianggap menjadi domain kaum perempuan dan hanya dapat dipahami dan diempati oleh kaum perempuan. Isu-isu ini secara politik memang seringkali dianggap bukan sebagai isu politik sehingga nyaris tidak masuk dalam ranah kehidupan dan cara berpikir politik kaum laki-laki, yang antara

lain menyangkut masalah-masalah kesejahteraan anak, perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dan sebagainya. Dalam konteks inilah keyakinan terhadap keterlibatan perempuan secara lebih luas dalam politik menjadi sangat penting guna mengurangi kesenjangan antara isu-isu conventional politics dan hard politics. Hal ini cukup beralasan mengingat bahwa sikap politik kaum perempuan umumnya lebih cenderung mementingkan isu-isu conventional politics daripada hard politics. Untuk mengatasi hal ini, penting akan adanya upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam Musyawarah Pembangunan Desa (Musrenbangdes), salah satunya melalui penguatan PKK dan Aisyiah terkhusus di Maccini Baji. Tujuannya untuk mendorong kaum perempuan agar mampu berpartisipasi aktif pada sector publik, khususnya pada Musrenbangdes. Dengan adanya upaya ini, diharapkan partisipasi perempuan (secara kuantitas) bisa meningkat, serta dari aspek kualitas, peserta perempuan mampu terlibat aktif dan memperjuangkan aspirasi perempuan agar dapat terakomodir dalam usulan program desa.

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Dari hasil pemetaan sosial dan orientasi lapangan, juga dari data-data sekunder dapat ditarik beberapa kesimpulan untuk Desa Maccini Baji/kelurahan Lette sebagai berikut : 1. Para perangkat Desa dalam menjalankan pemerintahan cukup efektif dan aktif. Tingkat kewibawaan perangkat dan perhatian masyarakat terhadap perangkat cukup kuat. 2. Peran Lembaga Formal di tingkat kelurahan belum aktif dan efektif, 3. Beberapa Forum- forum warga tidak bisa bangkit pasca surut 4. Kerja sama dan gotong royong masih berjalan dengan baik. Meskipun semangat membantu dan tolong menolong relatif berkurang dari tahun ke tahun. 5. Sarana Komunikasi / pertemuan warga cukup beragam dan banyak jenisnya. 6. Tingkat pemahaman dan pengenalan antar anggota komunitas cukup tinggi 7. Media warga yang cukup efektif dan paling banyak menjadi pilihan adalah televisi dan radio. Sedangkan media lain tidak banyak mendapat perhatian dari warga . 8. Aktor-aktor sosial yang terjaring dalam pemetaan sangat beragam latar belakang dan aktifitas dilingkungan masing-masing. 9. Kondisi perairan lingkungan tercemar 10. Keterliatan perempuan besar dalam komunitas dan forum warga 11. Beberapa asosiasi yang surut, susah untuk bangkit 12. Kesadaran anak dan orang tua tentang pendidikan minim B. Rekomendasi Dari hasil pemetaan dan kesimpulan yang diambil berdasarkan analisa data, maka ada beberapa rekomendasi dari hasil penelitian: 2. Strategi pendekatan kepada warga dapat melalui lembaga formal Desa/kelurahan dan lembaga informal warga seperti kegiatan keagamaan dan pertemuan desa/kelurahan. 3. Penyebarluasan informasi yang efektif dapat dilakukan pada forum-forum warga baik yang formal maupun informal. Media tulisan berupa selebaran, brosur dan yang lain yang berupa tulisan paling efektif jika dipasang ditempat strategis dan di warung-warung kopi yang jadi tempat berkumpulnya warga agar menjadi diperhatian warga. 4. Penyebarluasan informasi dapat dilakukan dengan menggunakan media radio dan televisi karena merupakan media utama yang jadi pilihan warga di Desa/kelurahan. 5. Pendekatan interpesonal sangat perlu dilakukan terhadap tokoh-tokoh kunci baik di tingkat Desa maupun RW. Caranya bisa bermacam-macam sesuai dengan adat dan kebiasaan orang / tokoh-tokoh tersebut dikomunitasnya. 6. Perlu juga dilakukan sosialisasi secara informal agar efektif dan terbaca masyarakat.

C. Rekomendasi program kedepan Berangkat dari permasalahan dan potensi masyarakat di dua tempat di atas, maka rancangan kegiatan mesti dibangun sistemtis dan programatik menuju capaian yang sesuai dengan kebutuhan masayarakat terkait dengan isu democratic governance. Bentuk program yang kami tawarkan kami sebut Demokrasi Desa dan Demokrasi Kota. Subtansi dari program tersebut ialah untuk mempercepat kepahaman masyarakat dan implementasi nilai-nilai demokrasi di desa dan perkotaaan dalam bermasyarakat. Sehingga masyarakat semakin sadar warga akan hak dan kewajibannya. Proses dari program ini adalah (1) pemetaan kondisi wilayah dan pemetaan isu-isu demokrasi desa dan perkotaaan (media, literature, dan riset-riset). (2) Aplikasi program demokrasi desa dan perkotaan. Kegiatan yang terlaksana mesti sesuai dengan hasil pemetaan sosial yang telah berlansung sebelumnya, sehingga desain program dan kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Output dari program ini, yaitu (1) adanya modul untuk mewujudkan demokrasi desa dan perkotaan dan (2) ada dokumentasi pengalaman yang mendorong demokrasi desa dan perkotaan. Hal ini di harapkan bisa menjadi acuan terhadap majunya demokrasi di tingkat desa dan kelurahan, baik secara procedural, maupun subtansial. Tujuannya pengembangan aset sosial ini diharapkan untuk mengembangkan kapasitas berorganisasi, membangun jejaring kerjasama dan partisipasi di ranah publik yang makin luas. Keberadaan institusi mediasi, seperti ormas, parpol, dan kelompok profesi di lingkungan komunitas dengan kualitas sumber daya manusia yang relatif terdidik dapat diberdayakan untuk menjembatani aspirasi masyarakat dengan pemerintah dalam pembuatan kebijakan (artikulasi kepentingan). Pemerintah setempat (di tingkat RW, Kelurahan atau Kecamatan) dapat mengembangkan ruang publik yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial yang lebih luwes antarwarga, misalnya dengan membangun sarana olahraga, taman, pasar, dan lain-lain sehingga tidak ada gap atau prasangka antarwarga yang beragam status sosial ekonominya. Kelompok masyarakat yang relatif mampu secara ekonomi dapat didorong untuk berpartisipasi dengan mengembangkan skema kemitraan sosial, untuk membantu penyediaan fasilitas publik yang dapat digunakan bersama. Demikian rekomendasi dari hasil kegiatan pemetaan sosial yang dilakukan di Desa Maccini baji dan Kelurahan Lette. Adapun kalau ada kekurangan dan analisa yang salah kami menyadari karena keterbatasan instrumen dan metodologi yang dilakukan dalam pemetaan sosial ini. Untuk itu kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung pelaksanaan sosial maping ini, banyak pihak yang telah membantu yang tidak dapat kami sebut satu-satu hanya ucapan terima kasih yang dapat kami ucapkan .

Lampiran 1. Nama dan nomor kontak informan 2. Daftar Buku atau Dokumen yang diperoleh 3. Foto-foto kegiatan atau film

You might also like