You are on page 1of 5

Nasib para Calon Advokat Indonesia

Di tengah Krisis Ekonomi Global saat ini dan angka pengangguran yang kian
meningkat akibat minimnya jumlah lowongan kerja, Profesi advokat adalah salah satu
pilihan profesi yang menjadi pilihan para sarjana hukum di Indonesia selain pilihan
profesi catur wangsa yang lain (jaksa, hakim/Polisi) pilihan untuk menjalani profesi
sebagai advokat belakangan ini kian diminati oleh para sarjana hukum yang baru saja
menempuh pendidikan S1, hal tersebut dapat di amati dengan semakin meningkatanya
animo para sarjana hukum tersebut dalammengikiti pendididkan profesi advokat yang
di lanjutkan dengan mengikuti ujian calon advokat. Fenomena tersebut dimungkinkan
juga karena para calon penegak hukum tersebut terinspirasi oleh kesuksesan para
advokat luar negeri (Amerika & eropa.red)yang mereka saksikan dalam film-film /
serial Televisi barat ber genre penegakan hukum oleh para advokat maupun juga di
mungkinkan mereka ingin meraih kesusksesan seperti para senior mereka yang telah
menjadi Advokat para selebriti tanah air seperti yang mereka saksikan di dalam acara-
acara infotaiment yang kian marak dengan penampilan yang perlente serta bermobil
mewah dan seolah memiliki prestise tersendiri. Banyak antara para sarjana-sarjana
freshgraduate tersebut mengatakan bahwa profesi tersebut saat ini di pandang oleh
sebagian kalangan cukup menjanjikan meskipun ada pula beberapa kalangan menilai
anggapan itu tak sepenuhnya benar karena masih terjadi pasang surut dalam
menangani perkara di beberbagai tempat di kalangan para advokat senior yang betul-
betul melakoni profesi secara berkesinambungan. Hal ini di karenakan kesibukan-
kesibukan para advokat senior tersebut dalam pekerjaan sambilan mereka sebagai
dosen/staf pengajar maupun berwiraswasta, dan ada pula di temui advokat yang
merangkap sebagai pengurus partai atau berupaya terjun di dunia politik, meskipun
begitu walau bertentangan dengan undang-undang yang ada. para sarjana hukum baru
itu tetap menilai bahwa profesi ini tetaplah suatu profesi yang offium nobile (Profesi
yang mulia / terhormat) bahkan mereka para calon advokat masa depan menganggap
bahwa profesi advokat adalah profesi yang “aman” dari perbuatan dosa, tidak seperti
profesi lain yang dapat di pilih para sarjana hukum seperti Hakim atau jaksa yang
rawan tindak pidana berbau KKN yang kian marak belakangan ini di beritakan di
media dan telah menyoreng upaya penegakan hukum yang murni oelh korps catur
wangsa, contoh paling aktual adalah kasus yang menimpa jaksa UTG (Urip tri
Gunawan), profesi advokat di pandang pula para sarjana hukum baru / freshgraduate
sebagai penegak hukum sejati karena sedari dulu hanya advokat yang memiliki
fleksibilitas dalam penenganan perkara dikarenakan di mungkinkanya bekerja di mana
saja atau wiayah kerja di seluruh wilayah hukum indonesia (pasal 5 angka 2 UU 18 th
2003 tentang advokat tidak seperti para anggota catur wangsa yang lain serta
kemampuan para advokat untuk menyelesaikan suatu perkara di luar sekat pengadilan
yakni melalui proses nonlitigasi (penyelesaian perkara di luar sidang) yang amat
membantu para pihak yang sedang berperkara untuk mendapatkan penyelesaian
masalah secara baik tanpa menghabiskan dana dan waktu secara sia-sia di bandingkan
harus menyelesaikan masalah / perkara dengan proses litigasi (penyelesaian perkara
dengan proses sidang).
Perlu di ketahui pula bahwa untuk menekuni profesi ini memerlukan Proses
yang cukup panjang & melelahkan harus di lewati para calon advokat untuk mendapat
ijin beracara sebagai advokat di Indonesia, selain harus menyelesaikan Pendidikan
khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh universitas-universitas Negeri maupun
swasta yang melakukan kerja-sama dengan Organisasi Advokat dalam hal ini
PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) selaku organisasi tunggal Advokat yang
ada saat ini dan konon paling sah secara de facto maupun de yure, (UU no 18 tahun
2003 pasal 28,29 dan 32 ) para calon advokat juga wajib melakukan magang di kantor
advokat senior yang memilki syarat atau ketentuan kantor tersebut telah berdiri
selama waktu minimal 7 tahun atau dengan kata lain magang di kantor advokat senior
yang telah beracara selama sekurang-kurangnya 7 tahun lamanya dan itu harus di
jalani oleh para calon advokat selama kurun waktu 2 tahun lamanya. (pasal 3 ayat 1
UU no 18 tahun 2003) Serta ikut menangani kasus yang tengah di tanggani oleh
kantor tempat mereka magang sebanyak 6 kasus perdata & 3 kasus pidana (syarat dari
Organisasi Advokat / PERADI) lalu mengikuti ujian nasional advokat yang di
selenggarakan oleh PERADI yang di adakan setahun kurang lebih 1 kali dengan
syarat kelulusan nilai rata-rata minimal 7, proses yang ada tersebut belum di
perhitungkan dengan biaya yang rata-rata di keluarakan oleh para calon advokat di
antaranya biaya pendidikan sebesar Rp.3.500.000,00 serta biaya try-out sebelum ujian
(bagi yang berminat) sebesar Rp, 250.000,00 (tiap penyelenggara Try-out memiliki
kebijakan yang berbeda) dan terahir biaya ujian itu sendiri sebesar Rp. 700.000,00
dan biaya transfer atau pengiriman biaya ujian sebesar Rp.5000. bisa di bayangkan
betapa banyak para calon adovokat tersebut harus merogoh kocek mereka? Itu amat
berbeda kala di bandingkan dengan sebelum berlukunya UU Advokat no 18 tahun
2003, dimana para advokat memiliki ijin dari SK menteri kehakiman yang jumlah
kisaran biaya yang harus di keluarkan jauh lebih kecil dan proses birokrasinya cukup
mudah sekali, Namun tidak banyak dari para calon advokat harus menemui kendala
non teknis lainnya di lapangan seperti tempat penyelenggaraan pendidikan khusus
profesi advokat yang terkadang jauh dari rumah tempat tinggal para calon advokat
karena tidak semua universitas baik negeri maupun swasta di masing-masing propinsi
di indonesia menyelenggarakan kerjasa-sama pendidikan semacam ini dengan
organisasi advokat/ PERADI, masalah non teknis lainya adalah sertifikat (sebagai
syarat mengikuti ujian advokat) yang di keluarkan oleh PERADI yang cukup lama
proses pembuatannya, serta banyak juga dari para calon advokat yang telah
menyelesaikan pendidikan khusus profesi advokat tidak mendapatkan kantor magang
untuk memenuhi syarat yang berlaku, padahal hal tersebut telah di atur pula pada
pasal 29 angka 5 & 6 UU no 18 tahun 2003 namun pelaksanaan dilapangan terkadang
tidak terjadi sebagaimana mestinya, Ke semua tempaan dan derita yang harus di alami
para calon advokat guna menempa metal & keilmuan bidang advokat di dunia pratek
Hukum tersebut kini harus menghadapi suatu persoalan baru yang cukup pelik yang
semestinya tidak mereka hadapi andai kata para senioren advokat mau saling
mengalah dan dan menghentikan pertikaian di antara mereka. Pertikaian yang di
maksud disini adalah pecahnya organisasi advokat PERADI (Perhimpunan Advokat
Indonesia) dan KAI (Konggres Advokat Indonesia) dua organisasi advokat yang saat
ini paling kuat dan berpengaruh di indonesia. PERADI adalah organisasi yang berdiri
dan di bentuk oleh para pucuk pimpinan organisasi advokat yang ada terlebih dahulu
(IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, APSI) di bogor jawa barat pada
tahun 2004 di bentuk dengan maksud dan tujuan selaku wadah tunggal profesi
advokat sesuai dengan amanat UU no 18 tahun 2003 (UU no 18 tahun 2003 pasal 28
ayat 1) sedangkan oraganisasi yang kedua KAI adalah organisasi yang di bentuk para
advokat yang melakukan kongres besar di jakarta pada tanggal 30 Mei 2008 yang
semula direncanakan berlangsung 2-3 hari namun pada pelaksanaanya berlangsung
hanya 4 jam dan melibatkan delegasi dari 33 propinsi yang berjumlah ribuan. Dari
pertemuan para senior di masing-masing organisasi advokat pendukung konggres
tersebut di sepakati untuk mendirikan wadah tunggal advokat yang di sebut KAI atau
Konggres Advokat Indonesia dan di dukung oleh empat dari delapan oraganisasi
advokat pendukung PERADI yakni IKADIN, IPHI, HAPI, dan APSI. Kedua
organisasi advokat tersebut masing-masing mengklaim sebagai yang paling benar
sebagai wadah tunggal profesi advokat di indonesia, bahkan yang lebih
membingungkan dan di pandang sebagian kalangan sangat ironis adalah organisasi
kedua tersebut mengadakan ujian advokat serta pengakatan / Pengambilan sumpah
advokat dan bahkan organisasi yang paling baru tersebut (KAI) pada bulan agustus
yang lalu dan november tahun ini mengadakan ujian calon advokat (UCA) 2008 yang
juga di publikasikan dalam iklan media cetak dan setelah mereka mengadakan ujian
advokat akan mengadakan juga pendidikan advokat yang mereka sebut dengan DKPA
(diklat khusus profesi advokat) biaya yang mereka keluarkan pun tidak jauh berbeda
dengan organisasi advokat yang lebih senior (PERADI) yakni untuk biaya ujian
sebesar Rp.600.000 dan biaya Pendidikan lanjutan atau DKPA sebesar
Rp.3.000.000,00 karena merasa sebagai organisasi yang sah & memiliki kekuatan
hukum tetap maka mereka kemudian mengadakan ujian serta pendidikan profesi
layaknya pendahulu mereka, adapun hal lain yang “unik” yang di lakukan oleh KAI
adalah mengadakan ujian susulan atau di sebut pula oleh mereka ujian Her yang
kisaran biaya tidak mereka sebutkan dalam pengumuman iklan di media massa, serta
tidak mewajibkan pada calon advokat yang telah mengikuti diklat atau pelatihan yang
dilaksanakan organisasi lain dalam hal ini PERADI selaku organisasi senior untuk
mengikuti pendidikan profesi advokat yang di laksanakan KAI namun hanya wajib
mengikuti pembekalan sehari yang di laksanakan KAI dengan biaya kontribusi
Rp.500.000,00. sungguh biaya yang cukup besar dan beban baru bagi para calon
advokat.
Para calon adovokat saat ini sesungguhnya menggantungkan cita-cita mereka
setinggi rasi bintang di langit, mereka memiliki cita-cita mulia ingin menjadi advokat
terkenal dan termasyhur seperti para sesepuh advokat negeri dunia ketiga ini, sebut
saja Adnan Buyung Nasution dan Alm. Yap Tian Hien, arogansi dari para pengurus
organisasi advokat saat ini membuat para founding father organisasi advokat yang
dulu pertama kali mendirikan organisasi PERADIN, menangis menyaksikan sepak
terjang mereka dimana saat ini banyak dari etika profesi advokat yang di langgar oleh
mereka sendiri yang semestinya menjadi suri teladan para calon advokat seperti
rangkap jabatan yakni menjabat sebagi pengurus partai namun juga masih
menjalankan profesi mereka sebagai advokat bahkan yang lebih ironis ada beberapa
advokat yang masih menjabat sebagai pejabat pemerintah namun masih juga
memberikan jasa walau hanya sebagai konsultan hukum, contoh terbaru adalah
advokat yang menjadi kuasa hukum dari syeh puji seorang pengusaha dari semarang
jawa tengah yang menikahi anak di bawah umur yang ternyata aktif sebagai anggota
DPRD Kab. Semarang jawa tengah padahal masalah tersebut telah di atur dalam pasal
20 angka 3 UU no 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Pertikaian yang terjadi di dalam tubuh PERADI yang konon menjadi pemicu
utama lahirnya gagasan di selenggarakannya Kongres Advokat Indonesia dengan dalil
untuk memenuhi isi amanat UU no 18 tahun 2003 tentang Advokat yang meminta
untuk segera di bentuknya wadah tunggal bagi advokat di inidonesia, seseungguhnya
bagi para calon advokat masih sangat membingungkan, mana yang sesungguhnya
betuk-betul menjalankan isi amanat UU no 18 tahun 2003 terutama pasal 32 apakah
KAI atau PERADI hal itu masih rancu, beberapa waktu yang lalu para ahli hukum di
indonesia yang terdiri dari para akademisi dan advokat senior mencetuskan adanya
Petisi 5 yang isinya secara garis besarnya adalah meminta kepada kedua Organisasi
advokat tersebut utuk melebur menjadi satu organisasi dan mereka di minta pula
untuk membubarkan oraganisasi mereka masing-masing karena oleh para pecetus
Petisi 5 kedua oragnisasi advokat yang ada saat ini sama-sama cacat hukum.
Bagi para calon advokat sesungguhnya mereka memandang dualisme
oraganisasi advokat ini bagaikan dua matahari kembar yang tengah bertarung
memperebutkan orbit mereka di tata surya ini dalam mengelilingi inti galaksi,
pertikaian mereka para senior itu sungguh tidaklah patut menjadi contoh karena
memberikan visualisasi nyata betapa demokrasi yang di angung-agungkan di negara
ini tak lebih hanyalah bahan kampanye para Politisi yang tak perlu di tegakan alias
lain di hati lain di lidah, mengatakan menjunjung tinggi nilai demokrasi namun ego
masing-masing yang berkuasa, bukan kah lebih baik bila ada ketidak puasan dalam
kebijakan yang di tempuh organisasi lebih baik kita berjuang untuk memberikan
masukan demi di perolehnya kebijakan yang sesuai dan terbaik demi baiknya &
langengnya perikatan & pertalian persaudaraan di dalam organisasi dan bukan dengan
cara-cara separatis yang ingin memerdekakan diri dari negaranya hanya karena tidak
puas dengan kebijakan pemerintah yang ada, demikian pula dalam Organisasi bila
tidak puas dengan kebijkan yang ada maka berjuang dan ber-adu argumen secara
cerdas dan intelek adalah cara penyelesaian yang lebih prestisius, bukan dengan
menjadi musuh dalam selimut.
Berdamailah para Senior Advokat, para juniormu memandangmu dari dekat
dan berharap agar profesi advokat ini betul-betul menjadi profesi yang offium nobile
seperti impian mereka dan jangan kau nodai lagi, Fiat Justitia Ruat Porerum

You might also like