You are on page 1of 39

KIO Kajian Islam Otentik

NIKAH MUTAH
Beberapa tulisan sebelumnya tidak sempat terekam. ****** 1. Iman Tauhid - 5-12-05 Akang Herry ini ada-ada saja, betul tuh apa yang dibilang Aa Yari kalo tulisan akang ditangkepnya seolah-olah nikah mut'ah dianggap sebagai penyebab penyakit kelamin, kalau terjadi seperti itu, ya memang perempuan berjilbab itu posisinya bisa aja sebagai korban kelakuan lelaki yang juga jadi korban ketularan penyakit kotor yang terdapat pada wanita yang di-mut'ah-in sebelumnya. Semacam kurang hati-hati lah, asal muke ca'em, body semok, nikahin, beri sekali, bereeeesss .......... Buat de Han, yang lagi maju mundur, mau jalanin mut'ah atau kagak, ana tambahin referensi dikit nih, soalnya kalo ana ngelakuin hal itu dasar yang ana pegang ya ini menurut ana pribadi nikah mut'ah itu perlu bang, buat memenuhi kebutuhan sahwat, karena umumnya baik laki-laki maupun wanita sering tidak mampu menahan kebutuhan biologis atau psychologis yang mendesak, sehingga perlu disediakan ruang bagi mereka itu antara lain agar tidak terjadi hubungan perzinahan (dosa) Ruangan itu namanya nikah mut'ah bang, halal ada pahalanya lagi ...... ! Gak percaya ? nih baca hadistnya : 1. Rasulullah SAW bersabda : "Siapa yang meninggalkan dunia ini tanpa melakukan kawin mut'ah, nanti dihari kiamat akan dibangkitkan dalam keadaan tanpa hidung." (tafsir Manhajush Shaadiqin, karya Mullah Fathullah Al-Kaasyaani, juz 2, hal 489) 2. Rasulullah SAW bersabda : "Siapa yang melakukan kawin mut'ah satu kali akan diselamatkan sepertiga dari tubuhnya dari api neraka, yang bermut'ah dua kali akan diselamatkan dua pertiga dari tubuhnya dari api neraka, sedang kalau bermut'ah tiga kali akan diselamatkan seluruh tubuhnya dari api neraka." (I b i d hal 492) Ada juga katanya terdapat dalam buku syiah dan sunnah karangan prof.DR Ihsan Ilahi Dhahir dalam Tahkiknya, yaitu Rasulullah SAW bersabda : "Siapa yang melakukan mut'ah satu kali, ia akan selamat dari amarah Yang Maha Perkasa, siapa yang bermut'ah dua kali ia akan dimasukkan dalam golongan orang-orang Abraar (orang suci), sedangkan siapa yang bermut'ah tiga kali akan berdesakan dengan aku di sorga." Juga telah diriwayatkan dari Abu Ja'far ash-Shaadiq yang mengatakan : "Kawin mut'ah diturunkan dalam al-Quran dan disepakati oleh Sunnah yang berasal dari Rasulullah SAW

KIO Kajian Islam Otentik


Endah kan ? makanya gak usah ragu lagi, let's do it ..! (doo bhs inggris nih ye) mau tau tata caranya ? gampang Ja'far Ash-Shaadiq ketika ditanya seseorang : "Bagaimana harus kuucapkan saat aku berduaan dengan dia ?" Ja'far menjawa; "katakan anda kunikahi dengan mut'ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabinya, tanpa mewarisi dan berlaku untuk beberapa hari, jika anda berkehendak dapat juga dilakukan untuk beberapa tahun, dengan imbalan sejumlah dirham, kemudian disebut "mahar"nya atas persetujuan berdua, sedikit maupun banyak" (Al-Furu' Minal Kaafi, karya AlKulaini, juz 5, hal 465) Sama siapa aja boleh mut'ah ? Ja'far Ash-Shadiq mengatakan: "Seorang pria muslim dibolehkan untuk bermut'ah dengan wanita majusi" (I b i d hal 455) menurut Abul Hasan Ar-Ridha : "Seorang pria muslim juga boleh bermut'ah dengan wanita nasrani, dan yahudi (ibid hal 249) Pada riwayat lain disebutkan ijin mut'ah "boleh dengan wanita pelacur, karena hal itu dapat mencegah seseorang dari berbuat dosa" (Tahdzibul Ahkam, juz 7 hal 256; juga pada Al-Istibshaar, juz 3 hal 144) (he..he..he walaupun mungkin gak bisa mencegah ketularan penyakit, jadi hati-hati dengan wanita jenis ini dan yang berikut ya) Bahkan menurut Sayyid Al-Khumainy mut'ah boleh dilakukan dengan "wanita penzina" (Tahriirul Washilah, karya Ayatullah Ruhullah Khumeiny, hal 292) bagaimana kalau kawin mut'ah dilakukan terhadap wanita yang sudah bersuami ? Nah yang ini tunggu sambungannye ye, sabar aja Salam 2. Agus Sardjono - 6-12-05 Kang Iman, benarkah hadits-hadits mut'ah yang Akang sampaikan? Jika benar maka alangkah indahnya dunia ini. Siapa saja boleh kawin mut'ah, jika pengin ganti-ganti bini. waduuh...... Apalagi info ini dipublikasi melalui milis, maka Kang Heri (yang hidungnya belang he he he :becanda Kang) bisa nyari 3 atau 4 bini mut'ah. Yang bener aja Kang. Inilah yang beberapa waktu lalu (kalau saya tidak lupa) pernah saya kemukakan bahwa penggunaan hadits harus diuji terlebih dahulu dengan Al Quran. Jika hadits mut'ah tidak diuji dengan Al Quran, saya khawatir Al Quran akan melegitimasi perzinahan. Dulu pernah ada Kyai kondang, nikah semalam di hotel (pakai ijab qabul, dan juga saksi). Katanya nikahnya sah menurut Syariat Islam. Saya koq agak kurang sreg dengan penafsiran semacam itu. Mungkin saja secara gramatikal (Qur'an & Hadits) maksud "syariat" yang dimaksud itu memang demikian. Tetapi apakah syariat bisa dilepaskan dari spirit dan nilai keislaman dan keimanan dari teks-teks lain yang juga banyak tersebar di dalam Al Quran?

KIO Kajian Islam Otentik


Apakah syariat bisa dilepaskan dari akhlaq al karimah atau dasar moralitas yang luhur? Menurut saya koq tidak. Bahkan diutusnya Rasulullah s.a.w bukan untuk memperbaiki syariat, melainkan untuk memperbaiki akhlaq. Tapi jangan salah paham. Saya tidak mengatakan bahwa syariat menjadi kurang penting, tetapi pemaknaan syariat itu hendaknya tidak dilepaskan dari konteks "akhlaqul karimah". Bahasa kerennya, penafsiran ayat-ayat dan hadits-hadits hukum harus secara holistik. Naah saya bingung deh kalau mut'ah bisa melepaskan seseorang dari api neraka. Ini semua gara-gara Kang Heri laah ..... 3. Muchyar Yara - 6-12-05 Hadist2 Tentang Mutah yang disebutkan oleh Bung Iman, kecuali yang dari Imam Jafar Shadiq as) adalah hadist2 Dhoif yang ber-lebih2an. Kitab Manhajush Shaadiqin karangan Mullah Fathlullah al-Kaasyani adalah memang salah satu kitab tua dari ulama Shiah, tetapi kalangan Shiah sendiri mengakui bahwa sebagian terbesar hadist2 yang termuat di dalamnya adalah Dhoif, termasuk hadist2 tentang Nikah Mutah. Kitab Takhkik karangan Prof.Dr. Ihsan Ilahi Dhahir (warga Pakistan) adalah sebuah buku yang secara keseluruhannya menyerang pandangan2 Shiah. Sebagai seorang penganut aliran Wahabbi yang fanatik, maka buku2 Ihsan Ilahi Dhahir memang banyak dikutip karena isinya banyak menghujat Shia dengan kata2 yang sangat kasar, kalau tidak mau dikatakan kata2 kotor. Dihari Ulangtahunnya Ihsan Ilahi Dhahir menerima bingkisan anonim yang berisikan bom sehingga menewaskannya. Mayat Ihsan Dhahir diangkut ke Madinah dari Pakistan oleh Kerajaan Saudi Arabia dan dimakamkan di Baqi, sebagai penghormatan atas perjuangannya menghujat Shia (Ahlul Bayt). Hadist2 dhoif tentang Mutah seperti yang dikutip oleh Bung Iman, banyak dikutip oleh buku2 yang menyerang Mutah dari kalangan non-Shiah. Siapapun yang membaca hadist2 dhoif tersebut pastilah tidak bisa diterima secara akal, hadist2 yang berlebihan itu, dan pada giliran akan membentuk kesimpulan pada pembacanya, bahwa penghalalan Nikah Mutah oleh gol.Shiah adalah juga tidak masuk akal. Seperti yang saya katakan beberapa waktu yang lalu, perdebatan tentang Nikah Mutah dimasa lalu seringkali melibatkan emosi dan fanatisme golongan, sehingga tidak proporsional lagi. Kalangan awam pengikut masing2 golongan masih terjangkit gejala ini. Tetapi sejak beberapa dedake yang lalu telah terjadi kesepakatan dikalangan ulama Suni maupun Shiah bahwa Nikah Mutah adalah HALAL berdasarkan Firman Allah SWT :
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk

KIO Kajian Islam Otentik


dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni`mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisa [4] : 24}

Tetapi kedua golongan Islam (Suni dan Shiah) tetap berbeda pendapat tentang PENGHARAMAN Nikah Mutah. Golongan Suni mempunyai tiga pendapat sehubungan dengan pengharaman Nikah Mutah, yaitu : 1. Pendapat yang mengatakan bahwa Nikah Mutah telah diharamkan, kemudian dihalalkan, kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan akhirnya di haramkan, berdasarkan Hadist Nabi SAW. Bantahan Shiah : a. Hadist Nabi SAW tidak bisa membatalkan (memanzukhkan) firman Allah SWT pada Al Quran. Karena hanya Allah SWT yang berhak memanzukhkan ayat Al Quran. b. Hadist2 telah pengharaman yang berulang-ulang itu semuanya merupakan Hadist Ahad yang tidak berkuataan sahih. c. Tidak mungkin Rasulullah SAW mengharamkan nikah mutah karena alasan perzinahan, kemudian menghalalkan lagi, kemudian pengharamkan lagi, kemudian menghalalkan lagi dan akhirnya mengharamkan. Bukankah selama penghalalan kembali itu berarti juga Rasulullah SAW menghalalkan perzinaan? 2. Pendapat yang mengatakan bahwa Nikah Mutah dihalalkan pada masa Nabi SAW, masa Abu Bakar dan dua tahun pertama masa Umar bin Khattab, kemudian diharamkan oleh Khalifah Umar Bin Khattab bersamaan dengan pengharaman Mutah Haji (Haji Tamattu). Bantahan Shiah : a. Kalau Nabi SAW saja tidak bisa membatalkan (memanzukhkan) firman Allah SWT pada Al Quran, maka apalagi Umar bin Khattab. b. Kalau Nabi SAW saja tidak bisa mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah (Nikah Mutah QS. An Nisa [4]: 24) , maka apalagi Umar Bin Khattab. 3. Pendapat yang mengatakan Nikah Mutah yang tercantum pada QS. An Nisa [4] :24 telah dibatalkan (di naskhkan) oleh Allah Taala berdasarkan firman Allah SWT:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orangorang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (QS. Al Mukminun [23] : 1-6 dan Al Maarij [70] : 29-30).

KIO Kajian Islam Otentik


Bantahan Shiah : Meskipun Surat Al Mukminun (Surat ke-23) dan Surat Al Maarij (Surat ke-70) sedangkan Surat An Nisa merupakan Surat ke-4, dalam Mushaf Al Quran. Namun berdasarkan turunnya Surat Al Quran, maka Surat Al Mukminun merupakan Surat Makkiyah ke- 74 dan Surat Al Maarij merupakan Surat Makkiyah ke-79, sedangkan Surat An Nisaa merupakan Surat Madaniyah ke-6. Sehingga tidaklah mungkin Surat Al Mukminun dan Surat Al Maarij dikatakan telah membatalkan ayat tentang Nikah Mutah pada Surat An Nisaa yang diturunkan belakangan daripada kedua Surat terdahulu. Suatu ayat hanya dapat dibatalkankan oleh ayat lainnya yang diturunkan kemudian, berdasarkan firman Allah SWT :
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al Baqarah [2] : 106)

Berdasarkan penjelasan di atas maka Nikah Mutah adalah HALAL berdasarkan QS. An Nisaa [4] : 24. Dan segala sesuatu yang di-HALAL-kan oleh Allah tidak bisa di-HARAM-kan oleh manusia. Dan apa yang Halal menurut Allah SWT pastinya didalamnya hanya mengandung kebaikan serta terbebas dari keburukan. Namun ada diantara manuasia yang merasa dirinya lebih hebat dari Allah SWT, sehingga menilai di dalam Nikah Mutah semata-mata hanya terdapat keburukan (seperti diartikan sebagai penghalalan pelacuran, dsb). Dewasa ini banyak dari kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah Mutah adalah Halal berdasarkan nash Al Quran, dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah Mutah itu sendiri. Halalnya Nikah Mut'ah bukanlah berarti wajib atau di sunnahkan untuk dilakukan, melainkan siapapun diperbolehkan memilih untuk melakukan ataupun meninggalkannya (tidak melakukannya). Tetapi ia menjadi wajib bagi sepasang pria wanita yang tidak terikat pada Nikah Daim (Nikah Permanen) yang melakukan hubungan seksual. Karena tanpa Nikah Mut'ah maka hubungan seksual tersebut menjadi tergolongan perbuatan zina yang mendatangkan dosa. Seseorang boleh saja mengatakan, "Aku tidak memerlukan Nikah Mut'ah, karena aku tidak akan mungkin terjerumus pada perbuatan zina", meskipun sesungguhnya Allah Ta'ala adalah Maha Mengetahui bahwa manusia tidak bisa menahan hawa nafsunya (syahwatnya). Nah Nikah Mut'ah adalah rahmat Allah Ta'ala kepada Umat Muhammad SAW untuk menyelamatkannya dari jurang perzinaan. Nikah Mut'ah adalah solusi Islam sebagai agama terakhir terhadap praktek perzinaan, yang menjangkiti keturunan Adam as sejak generasi awal serta tidak kunjung berhasil dihapuskan semata-mata melalui ancaman dosa dan larangan oleh syariat2 yang diturunkan sebelumnya. Bagi setiap mukmin tersedia dua alternatif (dalam hal tidak dapat menahan hawa nafsu seksualnya yang tidak tertampung oleh isteri2nya atau yang belum

KIO Kajian Islam Otentik


mempunyai isteri tetapi telah cukup umur), yaitu 1). melakukan hubungan seksual dengan Nikah Mut'ah, atau 2). melakukan hubungan seksual tanpa Nikah Mut'ah. Sementara itu dikalangan umat Islam terjadi perbedaan pendapat tentang halal dan haramnya Nikah Mut'ah. Sebagai seorang yang berakal, bagaimanakah anda menentukan pilihan atas kedua alternatif di atas? Kebenaran hakiki adalah sisi Allah SWT. Jika Nikah Mut'ah adalah haram di sisi Allah, maka sekalipun anda melaksananya, tetap tergolong sebagai zina. Jika Nikah Mut'ah adalah Halal di sisi Allah, maka sungguh merugi jika tidak melaksanakannya, karena seharusnya bisa terhindar dari perbuatan zina, tetapi karena kekerasan kepala, malah terjerumus pada perbuatan zina. Saya menyadari sepenuhnya bahwa pembicaraan tentang Nikah Mut'ah sangat tidak disenangi oleh sebagian umat Islam sendiri terutama dari kalangan wanita. Seperti halnya juga berbicara tentang Poligami yang sampai sekarang belum bisa diterima oleh kebanyakan kaum muslimah. Tetapi berbicara tentang aqidah dan syariat agama bukanlah tergantung pada senang atau tidak senangnya pihak-2 tertentu. Slogan ISLAM YANG KAFFAH (Menyeluruh) adalah termasuk dalam hal pembicaraan seperti ini. (Apa yang engkau anggap buruk belum tentu hal itu buruk disisi Allah) Sebagai penutup, saya kutip ucapan Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as: Bilamana saja Umar tidak melarang Nikah Mutah, niscaya tidak ada lagi seorang mukminpun yang akan terjerumus kedalam zina, kecuali mereka yang benar2 celaka. Wassalam 4. Iman Tauhid - 6-12-05 Nah kalo nambah pemerhati / calon pelaku kawin mut'ah, ana tambah semangat dan mudah-mudahan pengetahuan yang ana punya bisa manfaat buat tementemen biar gak ragu-ragu lagi dan ana kan jadinye punye temen sealiran gicu ....ha 6x, entar kite ketemu tukar pengalaman ye, tapi sumpah ana gak mau tukar pengalaman ame Uya sebab doyanannye agak beda sih .......... Sama satu lagi nih, buat nyang nanggepin lewat sms (siapa tuh ?) kalo gak setuju gak apa-apa, tapi jangan pake ngeledek ana "BAHLUL BAYT", ana kan gak bilang ente SUNDELAN, jadi biasa-biasa aja deh Buat Aa Yari yang hanya bisa nerima dasar-dasar yang ana pake sepanjang dari Imam kami Ja'far Ash-Shadiq, monggo-monggo wae, toh kite bise jadi sesama penggemar kawin mut'ah, cuma cara ngeyakinin diri nyang beda, kalo ana sepanjang ada hadis Nabi SAW, baru mantap, kalo cuma dibawah Nabi mungkin ana kurang yakin. Kenapa ? Karena ana kagak paham Sunni kagak paham Syiah, ana cuma tau Islam tidak menghendaki kesulitan-kesulitan bagi pemeluknya, jadi ana ambil yang gampang-gampang apalagi yang syuuur berpahala, (sungguh Allah Maha Pemurah) itu yang pertama, dan yang kedua (sebenernya yang utama), kan patokannya Qur'an dulu baru Hadis Nabi SAW, gicu A

KIO Kajian Islam Otentik


Memang sih lebih banyak hadis Imam kami Ja'far Ash-Shaadiq yang lebih menjelaskan tentang apa, bagaimana, kapan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kawin mut'ah dan memang jadi pegangan kami A Ana terusin dulu deh yang kemaren. De han perhatikan ye Rasanye yang terakhir tentang kawin mut'ah dengan wanita bersuami kan ye, nah kalo yang ini sih sebenernya kagak bole, tapi ....., ada tapinya, tapi apa ? Tapi kalau khilaf gak apa-apa. Khilaf gimana ? Nih referensinya : Diriwayatkan dari Ath-Thuusi berasal dari Fadhal Maula Muhamad bin Rasyid yang berkata kepada Ja'far Ash-Shaadiq bahwa dirinya telah kawin mut'ah dengan seorang wanita. Ketika tahu bahwa wanita yang dikawini itu masih bersuami, maka Fadhal hendak menemui suami wanita tadi. Maka Ja'far Ash-Shaadiq berkata : "Mengapa anda cari suaminya ? (Tahdziibul Ahkam, juz 7 hal 253) Sebenarnya itu bukan urusanmu, cukup bagimu percaya saja apa yang dikatakan wanita itu". (Al-Furu'Minal Kaafi, juz 5, hal 462) Ada lagi cerita lain lagi dari al-Kulaini dari Abban bin Tsaghlab dari Abu Abdullah, bahwa tidak penting apakah wanita itu sudah bersuami atau pelacur, yang penting yakin dan percaya apa yang dikatakan wanita itu Enak kan, makin lebar kawasan jelajahnya choy Mau gadis kecil ? Menurut Abu Ja'far boleh juga asalkan gadis kecil itu tidak terperdaya. Apa patokan tidak terperdaya ? yah minimum umurnya 11 tahun lah (Al-Furu' Minal Kaafi, juz 5 hal 449, juga pada Tahdziibul Ahkaam, juz 7 hal 251, dan pada Ash-Shaafi, juz 1 hal 246) Nah tambah lebar lagi kawasannya ! Tapi kalo ana sih gak demen ame nyang ini, barangkali disono gadis umur 11 tahun bongsor n ude bise dijadiin sparing, disini 11 tahun terlalu kecil Kawin mut'ah itu enak broer (bhs belanda), gak perlu wali sebagaimana dikatakan Abu Ja'far : "Tidak dilarang mengawini perawan yang telah disetujui dengan tidak meminta ijin kedua orang tuanya" (Syaraa'irul Islaam, Najmuddin Al-Hully (wafat 676 H, juz 2 hal 186) Jadi bagi yang sudah dewasa, perawan atau janda, boleh mengawinkan dirinya sendiri Berapa banyak yang bisa kite kawinin ? Imam kami Abu Ja'far bilang sih "Kawin mut'ah tidak terbatas pada empat orang wanita saja, karena mut'ah itu tanpa talak, tidak waris mewarisi, ia adalah upahan" (Al-Istibshaar juz 3 hal 147) Kalau mau ngikutin Abu Abdullah bin Abu Ja'far : "Kawinlah sampai seribu wanita, karena mereka itu wanita upahan" (Ibid, juga pada Tahdziibul Ahkam juz 7 hal 259) Berapa upahnya ? Nah ini bagian yang ane termasuk demen banget soalnye hyper murah ! Imam kami Abu Ja'far bilang : "Halal hukumnya dan imbalannya dari satu dirham keatas" (Al Furu' Minal Kaafi juz 5 hal 457) berape kire-kire rupiahnye ye ? Tapi enakan ngikutin putra Imam kami, katanya : "Imbalannya hanya segenggam gandum" (Ibid hal 460, juga Al Istibshaar juz 3 hal 151) "Segenggam dari makanan atau tepung atau gandum atau kurma" (Ibid) Kalo yang ana lakukan sih lebih baek dari itu, kesian kan kalo kita kasih segenggam

KIO Kajian Islam Otentik


gandum atau tepung, jadi ana kasih doi'i Hamburger ....... Cheese burger juga boleh tapi kaga schlumberger. Nyang enih punye orang Nah tulisan yang terhormat saudara Iskandar berisi "tip" ala Komar boleh juga dan pasti nunjang ape nyang ana sebut diatas, kalo dapet harim mapan kasih Hamburger kan gak masalah, walaupun sebenernye yang diperluin roti isi sosis, cuma sayang saudara Iskandar gak mau ceritain pengalaman pribadinye, pemalu kalee Batas waktunya ada gak ? Apa bener bisa pinjam meminjam wanita ? Besok dah kalo sempet ana terusin ye, tapi jangan ragu lagi buat ngejalanin Inget choy ...... just humberger (bhs Inggris) ! Salam 5. Muchyar Yara - 7-12-05 Pada jam 23.02 malam ini (Selasa, 6 Desember 2005) saya menerima sebuah pesan sms dari Bung Iman Tauhid, yang isinya: Yar, antum lurusin lagi tulisan ana biar jelas mana dalil yang bener mana yang salah. Salam. Sebenarnya sejak awal malam saya sudah membaca tulisan terakhir Bung Iman di millis, dan saya mendapatinya banyak terdapat kekeliruan dalil yang digunakan didalamnya, tetapi saya tidak tergerak untuk menanggapinya, dengan alasan : 1. Saya tidak mau muncul kesan dikalangan anggota millis terhadap diri saya seakan-akan suka menggurui atau suka mengkoreksi atau suka mendebat pendapat orang lainnya. 2. Saya merasa sudah cukup memberikan penjelasan seputar ke-Halal-an Nikah Mutah menurut Syariat Agama Islam berdasarkan nas Al Quran dan hadist sahih, bahwasanya penjelasan itu mau diterima atau ditolak saya sungguh tidak perduli, karena soal keselamatan dalam beragama adalah urusan masing-2. Adapun tugas saya sebagai seorang Muslim telah dilakukan, yaitu menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Tetapi ketika saya tengah asyik membaca buku kajian Kristologi yang dikirimkan oleh seorang teman, masuklah pesan sms dari Bung Iman sebagaimana disebutkan di atas. Saya masih terus melanjutkan pembacaan buku tersebut sampai tuntas bab yang bersangkutan. Saya renungkan sebentar isi pesan sms tersebut seraya mencoba kembali mengingat tulisan Bung Iman yang terakhir tentang Nikah Mutah. Dan sayapun merasakan kebenaran yang terkandung didalam pesan sms tersebut., dengan beberapa alasan : 1. Bahwa apa yang saya telah jelaskan tentang Nikah Mutah adalah masalah posisi ke-halal-annya didalam syariat, tetapi saya belum sama sekali menjelaskan tentang syarat/ketentuan pelaksanaannya. 2. Tulisan Bung Iman yang terakhir adalah berkenaan dengan syarat/ketentuan pelaksanaan Nikah Mutah, yang didalamnya menurut hemat saya memang mengandung beberapa kekeliruan yang memerlukan pelurusan yang jika

KIO Kajian Islam Otentik


dibiarkan dapat berdampak lahirnya kesimpulan negatif terhadap keseluruhan aspek berkenaan dengan Nikah Mutah itu sendiri. 3. Jika saya memberikan komentar yang bertujuan meluruskan, saya berharap tidak dinilai sebagai menggurui, suka mendebat atau suka mengoreksi pendapat orang lain, karena bukankah komentar saya itu memang diminta oleh yang bersangkutan (Bung Iman melalui pesan sms nya kepada saya). Berdasarkan alasan-2 diatas, sayapun menimbang2 apakah saya akan memenuhi permintaan pesan sms Bung Iman dan bagaimanakah cara mengomentarinya. Karena jika saya harus menjelaskan secara lengkap tentang tata-cara Nikah Mutah sungguh tidak mungkin, karena berarti sama artinya saya harus menulis sebuah buku yang lumayan tebalnya. Setelah memikirkan hal-2 tersebut diatas akhirnya saya memutuskan untuk memenuhi permintaan Bung Iman (dalam pesan smsnya) dan berusaha menuliskannya secara umum dan singkat tentang tata-cara Nikah Mutah tanpa perlu mengomentari butir-2 tulisan Bung Iman secara langsung melalui metoda perbandingan antara Nikah Daim (Permanent) dan Nikah Mutah (SemiPermanent) yang meliputi aspek persamaan dan aspek perbedaan antara keduanya, sebagai berikut di bawah ini. Persamaan Nikah Daim (ND) dan Nikah Mutah (NM). 1. Semua persyaratan yang mengakibatkan haramnya pernikahan berdasarkan aturan agama, seperti hambatan nasab, hubungan periparan, persusuan dan perkawinan (wanitanya sudah bersuamikan orang lain), batas umur (aqilbaliq) baik bagi laki2 dan wanita, dsb. Artinya baik ND maupun NM hanya mungkin dilaksanakan jika pihak Laki & pihak wanita tidak terkena hambatan menurut aturan agama untuk melakukan pernikahan. Kekuatan posisi wanita dalam menentukan besarnya mahar, artinya baik pada ND maupun pada NM ketetapan besarnya mahar ditentukan oleh pihak wanita. Inisiatif ijab-qobul berada pada pihak wanita, artinya baik pada ND maupun NM, pihak wanitalah yang menikahkan dirinya kepada laki2 (suami), baik secara langsung maupun melalui wakil (wali hakim) Buah pernikahan yaitu anak yang dilahirkan mengikuti nasab bapaknya (suami) Kedudukan anak (dalam hal keabsahan, pemeliharaan dan warisan), artinya segala ketentuan agama yang berlaku terhadap anak, ayah dan ibu berlaku sama antara ND dan NM. Akibat putusnya pernikahan, yaitu dalam hal berlakunya masa iddah bagi mantan isteri, dengan variasi jangka waktu, yaitu pada ND adalah 3 kali masa haid, sedangkan pada NM adalah 2 kali masa haid. Mantan Isteri NM maupun ND tidak diperbolehkan menikah lagi (baik ND ataupun NM) dengan laki2 lain sebelum habis masa iddahnya, pelanggaran atas ketentuan ini dinilai sebagai

2. 3. 4. 5. 5.

KIO Kajian Islam Otentik


perbuatan dosa. Jadi tuduhan bahwa wanita dapat melakukan 3 X atau 4 X NM dalam semalam tidak dapat dinisbahkan kpd NM. Perbedaan Antara Nikah Daim/ND dan Nikah Mutah/NM : 1. Sifat Hubungan Pernikahan : - ND bersifat tidak pasti, artinya sekalipun dimaksudkan untuk selamanya (permanent), tetapi dapat setiap saat diputuskan oleh talaq yang dijatuhkan pihak suami. Posisi Suami lebih kuat daripada isteri dalam hal pemutusan hubungan pernikahan. - NM bersifat pasti, artinya hubungan perkawinan tidak dapat diputuskan sebelum masa perkawinan yang disepakati berakhir, kecuali pihak suami menghibahkan sisa waktu sebelum batas berakhirnya kepada isteri untuk membebaskannya dari ikatan pernikahan. Posisi isteri lebih diutamakan dalam hal pemutusan hubungan pernikahan. Hak & Kewajiban Akibat Pernikahan. - Pada NM tidak ada hak pewarisan timbal-balik antara suami dan isteri, tidak ada kewajiban pembagian malam terhadap suami, dan tidak kewajiban pemberian nafkah oleh suami kepada isteri, seperti yang berlaku pada ND. - Pada NM pembayaran mahar harus dilakukan dimuka secara lunas, untuk menjamin kepenting isteri yang tidak mempunyai hak menerima nafkah, sedangkan pada ND pembayaran mahar kepada isteri dapat di utangkan atau di cicil secara bertahap.

2.

Catatan Tambahan : 1. NM seringkali dimaknai sebagai lembaga pernikahan yang melulu disediakan untuk kepentingan kaum laki2 (pemenuhan kebutuhan seksual), padahal NM juga dapat dilihat sebagai sarana pemenuhan kepentingan kaum wanita dalam hal kebutuhan seksual dan finansial (nafkah). Contohnya, seorang janda yang masih berusia sanggup dengan beberapa orang anak perempuan yang menginjak usia remaja. Dia masih membutuhkan seks dan juga keperluan nafkah bagi kehidupannya dan anak2nya. Tetapi dia tidak mau nikah lagi (dalam arti ND) karena kuatir terjadi hal2 yang tidak senonoh terhadap anak2 gadisnya akibat perbuatan suami barunya (halmana seringkali terjadi). Maka solusinya adalah Nikah Mutah. 2. Nikah Mutah antara laki2 yang sudah beristeri (berdasarkan Nikah Daim) dengan wanita janda, dapat meminimalkan resiko disharmonisasi pada keluarga suami yang sudah beristeri itu, dibandingkan dengan pelaksanaan poligami, berdasarkan kenyataan obyektif dimasyarakat Indonesia yang masih belum sepenuhnya menerima prinsip poligami, meskipun hal itu halal menurut agama. Sebab, dalam NM tidak ada kewajiban pembagian malam, seperti halnya ND poligami.

Bagi rekan2 yang berminat menambah pengetahuannya tentang Nikah Mutah dapat membaca Buku berjudul Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah, karangan A. Syarafuddin Al-Musawi, Penerbit Mizan, halaman 87 100. Buku ini banyak tersedia di toko2 buku.

10

KIO Kajian Islam Otentik


Dengan tulisan singkat di atas, saya harapkan dapat memenuhi permintaan Bung Iman Tauhid kepada saya melalui pesan sms nya tersebut pada awal tulisan ini. Semoga kita semua, baik laki2 maupun wanita Muslim, diselamatkan dari dosa zina. Salam 6. Herry Hernawan - 7-12-05 Cukup lengkap penjelasan dari Bung Yari. Tapi kenapa ya Pak Tarmizi Taher menolak Kawin Mut'ah, ketika menjawab pertanyaan wartawan Tiras di tahun 1977, sewaktu menjabat Menteri Agama RI? Dengan judul artikel "Mut'ah itu menakutkan", beliau berkomentar al : "... kalau anak saya atau anak saudara di-mut'ah itu lain, keluarga saudara hancur hah.. hah.. hah. Saya kira aspek moralnya. Saya sebagai menteri agama dan dokter, mut'ah menakutkan" (Tiras No. 41/THN III/10 November 1997, hal 69). Salam, 7. Muchyar Yara - 7-12-05 Ahh...... ini kan balik lagi ke awal pembicaraan. Bukan saja Tarmizi Taher, sekalipun dia Menteri Agama (emangnya Menag. punya otoritas syariat?). Sebagian terbesar Umat Islam yang tdd dari Gol. Suni menolak ke-halalan Nikah Mut'ah. Tetapi hal itu tidak berarti Ke-halalan Nikah Mut'ah berdasarkan nas Al Qur'an kemudian menjadi Haram. Soal ini sudah kita bahas jadi tidak usah dijelaskan lagi. Meng-ulang2 pembahasan selain membuang waktu dan membosankan juga menunjukan pendeknya akal. Wassalam 8. Iman Tauhid - 7-12-05 Wah sayang kalo sms ana dicuekin artinya membuang kesempatan untuk memberi penjelasan / meluruskan hal-hal yang paling tidak menurut keyakinan Aa salah, ya ken ! Kalo dibandingin sih memang kelihatannya jauh lebih enak n mudah kalo ngikutin versi yang ana tulis, tapi pilihan kembali pada masing-masing deh Sedikit ana gak paham perbedaan sifatnya, menurut Aa Yari "ND sifatnya tidak pasti sedangkan NM pasti, kecuali ............" Kalo ada kecuali bukannya jadi gak pasti A ? Bang Herry masuk dengan pertanyaan mantan Menag Tarmidzi Thaher tentang posisi anak-anak perempuan kita terhadap nikah mut'ah, kira-kira gitu ya bang ? Ada suatu pernyataan : "Bukan dari golongan kami siapa yang tidak mengamankan gadis-gadis kita dan (tidak) menghalalkan mut'ah" yang ana tafsirin : jaga

11

KIO Kajian Islam Otentik


anak-anak gadis kite supaya kagak di-mut'ah-in orang bang, cukup kite aje yang nikah mut'ah Nah hal berikut tolong dikoreksi lagi A, Adakah batas waktu nikah mut'ah ? Batas waktu terpendek nikah mut'ah itu boleh hanya untuk sekali "campur", Enak kan ? Kalo suatu saat ada rasa rindu timbul dari keduanya, boleh saja diulangi lagi nikah mut'ahnya, dan ana fikir kalau kenyataannya terus berulangulang dilakukan oleh orang yang sama, mungkin bisa ditingkatkan jadi nikah permanen, jadi nikah mut'ah disini sebagai penjajakan lah Bagus juga daripada kumpul katak, eh ... kumpul lembu Apa sih hebatnya katak jadi lembu ? binatang-binatang juga kan ? kenapa gak minta jadi manusia ? Tapi soal minta 5 jadi 6 boleh juga dijalanin, toh nantinya juga 6 jadi 7, terus 7 jadi 8 itu cuma proses kok Eit sory de han, jadi belok dikit karena terinspirasi sesuatu De han mau tau pahalanya ? Kalau antum mengulurkan tangan kepada wanita itu, antum dapat satu pahala kebaikan, kalau antum tidurin wanita itu, salah satu dosa antum diampuni nanti kalo mandi junub, dosanya diampuni sebanyak air yang membasahi rambutnya, bahkan sebanyak jumlah rambutnya Antum serius amat sih, santai aja ah ......... ha..ha..ha Yang jelas jangan pernah terpikir buat mecahin rekor banyak-banyakan, toh ngebuktiinnye juge suse segini dulu ah, nyang laen entar-entar dah Salam 9. Herry Hernawan - 7-12-05 Wah, kalo tapsiran antum akurat, gimana tuh caranya ngamankan anak gadis kite supaye kagak dimut'ah orang? Digembok? Atawa kite ikutin anak kita fergi, termasup die pacaran? Pan, jaman sekarang serba bebas. Ada je kesibukan dia yang bikin die keluar rumah. Jalan-jalan, kek. Naek gunung, kek. Kemping dan laen-laen... Salah-salah pan bisa kecolongan..... Begitu ketanggor, dia bilang deh, "Emang Babeh aje. Ane juga pan fengen jadi mukminat yang bertauhid, Beh...." 10. Rizal Sofyan Gucci - 7-12-05 Saya sependapat dengan Yari bahwa nikah mut'ah adalah halal dengan syarat mengikuti pertimbangan uraian Yari. Tambahan pertimbangan saya, Allah telah menciptakan manusia, Ia maha mengetahui dan memberikan kesepatan kepada umatNya untuk berakad, sepanjang tidak melanggar firmanNya. Selebihnya diserahkan pada ijtihad

12

KIO Kajian Islam Otentik


manusia atau kesepaktan ulama. Akad ini dapat merupakan jangka waktu tertentu dan tidak tertentu. Kalau diikuti jangka waktu tertentu (mut'ah), menurut saya hanyalah untuk orang orang yang tidak setingkat derajatnya (pendidikan tidak setara, atasan bawahan, jaman Jahiliyah dahulu budak dan pemiliknya, kaya dengan miskin). Sedangkan apabila setara derajatnya (misalnya S-1 sama S-1, bekerja sama bekerja, atau berprofesi sama berprofesi) maka bebas nikah siri atau nikah resmi. Nikah Siri menurut saya lebih memperlihatkan kematangan berfikir dan rasa bertanggung jawab penuh. Artinya bila mempunyai anak, bertanggung jawab terhadap anaknya tersebut, bila dalam akta kelahiran hanya diakui sebagai anak ibunya, maka si ayah buru buru melakukan pengesahan anak atau pengakuan anak ke pengadilan. Si istri resmi tidak ada hak atau tidak bisa menghalang halangi pengakuan ayah terhadap anak sirinya dimuka pengadilan. Dengan pengakuan si ayah maka tanggung jawab si ayah semakin jelas. Saya teringat dan pernah milihat surat nikah ibu saya tahun 1943 di Bukittinggi, waktu itu Jepang sudah menduduki Bukittinggi, surat nikah tersebut hanya terdiri dari blanko cetakan yang dibuat dibawah tangan dan diisi oleh wali atau ayah ibu saya dengan disaksikan dua saksi turut tanda tangan disitu dan tanda tangan ayah saya. Kemudian setelah merdeka diadakan pengukuhan nikah. Contoh ini telah "ditiru" pula di Barat (bedanya tanpa ada wali nikah), dimana waktu saya di Jerman, pasangan yang memutuskan hidup bersama tanpa ikut campur tangan negara, mereka pergi ke toko buku dan membeli contoh kontrak hidup bersama diluar nikah dan mengisinya dan melakukan perjanjian. Pemerintah atau pengacara telah membuat model atau contoh kontrak untuk hidup bersama. Bahkan ada negara tertentu pada pasangan ini bila terbukti ia mempunyai dapur bersama, maka ia berhak mendapat pengurangan pajak (Batas pendapantan kena pajak) seperti seolah olah ia berkeluarga. Artinya agama kita Islam cukup dapat menghadapi tantangan zaman, bagi mereka yang punya kebutuhan tertentu (dan ini biasanya tidak banyak (5%?) dan hanya berupa insiden) dapat tetap hidup terhormat dengan cara tidak menyalahgunakan posisi dominan. Persoalannya sekarang, apakah bentuk kontrak atau akad itu perjanjian formil atau harus tertulis dengan akte dibawah tangan, akta legalisir atau notaris atau cukup sudah sah secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang dan dokumentasi video. Mohon komentarnya Yari. Salam 11. Herry Hernawan - 7-12-05 Bung Rizal, apa kabar? Mantap kali pernyataan di awal kalimat anda. He. He. He... Apakah Bung punya anak perempuan? Kalau punya, apakah Bung setuju apabila anak perempuan tu menikah mut'ah dengan seorang pria?

13

KIO Kajian Islam Otentik


Ada sabda Rasiul Allah saw :"Jangan engkau melakukan suatu perbuatan kepada orang lain, yang engkau tidak ingin orang lain melakukan perbuatan itu kepada kamu" Saya jadi ingat sebuah lagu yang sering dibawakan Bung Allan Tumbelaka ketika di kampus, di jaman perjuangan 78-an, yang berjudul "Konsisten......" He. He. He..... Salam, 12. Muchyar Yara - 7-12-05 Yang dimaksudkan dengan NM bersifat pasti adalah jangka waktu hubungan nikahnya adalah pasti, yaitu menurut jangka waktu yang disepakati kedua belah pihak. Tetapi jika kedua belah pihak sepakat, maka jangka waktu itu boleh diperpendek, atau jika pihak suami menghibahkan sisa waktunya kepada isteri. Contohnya, jangka waktu yang disepakati 1 minggu. Setelah 3 hari, pihak suami menghibahkan sisanya 4 hari kepada isteri, maka sejak saat penghibahan hubungan NM menjadi putus, dan sejak saat itu pula isteri terbebaskan dari ikatan NM. Sedangkan yang dimaksudkan dengan ND bersifat tidak pasti, adalah jangka waktu hubungan nikahnya dimaksudkan untuk selamanya (tidak terbatas), tetapi setiap saat baik dengan ataupun tanpa alasan, diketahui atau tidak diketahui oleh pihak isteri, pihak suami bisa menjatuhkan talaq, yang berakibat putusnya hubungan ND. Kalau masalah pernyataan Tarmidzi Taher yang mengatakan (+/-) : Kalau anak perempuan kita di nikah mutahkan sungguh mengerikan. Hancurlah keluarga kita..., mestinya disambung ... lebih baik anak perempuan kita berzina saja, masyarakat kan tidak tahu, paling2 yang tahu cuma Allah saja. Jadi biar saja keluarga kita hancur di akherat daripada hancur di dunia. Sayangnya pernyataan Tarmidzi Taher di atas jauh dari kenyataan, Asma binti Abu Bakar (anak gadisnya Abu Bakar ra) menikah mutah dengan Zubair dan melahir dua anak laki2, yaitu Urwah bin Zubair dan Abdullah bin Zubair. Tetapi keluarga Abu Bakar ra tidak hancur, malahan ybs diangkat menjadi Khalifah Pertama. Berbicara tentang NM jangan hanya dibandingkan dengan ND, yang mungkin sebagian terbesar dari kita akan menilai lebih utama/baik dari ND. Tetapi juga hendaknya NM itu dikaitkan dengan perzinahan. Kalau ada seorang diantara kita yang berpendapat berzinah lebih utama/baik daripada NM, maka kita semua pasti sepakat bahwa orang tersebut adalah sakit jiwanya. (Semoga Allah Taala melindungi keluarga kita dari perbuatan zina) Kalau saja kita mau jujur sejujurnya pada diri sendiri, misalnya kita mempunyai anak gadis yang sudah remaja/dewasa (tetapi belum menikah) dan menjalankan aktivitas normal sebagaimana layaknya manusia modern dewasa ini, artinya dia pergi keluar rumah utk keperluan kuliah dsb, dia berpacaran dengan seorang pria sebaya, dia bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, dia melihat tayangan media elektronik dan cetak dsb, kemudian apakah kita sebagai orangtua bisa menjamin sepenuhnya (100 %) bahwasanya anak gadis kita itu tidak mungkin melakukan zina?

14

KIO Kajian Islam Otentik


Jika ya, maka kita telah berbohong, karena bagaimana kita bisa menjamin sesuatu yang tidak kita lihat (ghaib), yaitu ketika anak gadis kita itu pergi keluar rumah dan hilang dari pantauan indera kita. Sejujurnya, sikap kita sebagai orangtua sebenarnya hanyalah harapan semoga anak gadis kita itu tidak terjerumus dalam zina. Tetapi kemudian kita secara sadar membiarkan harapan itu menipu diri kita sendiri dengan menjadikan harapan itu sebagai keyakinan yang merupakan fakta. Sikap inilah yang namanya Hiprokrit. Melalui uraian ini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua anak gadis kita pasti berbuat zina, tetapi justru tetap berharap agar mereka tidak terjerumus dalam zina. Tetapi jika Kita disini berarti umat Islam di Indonesia, masalahnya menjadi sangat merisaukan. Bilamana ada seseorang mengatakan di Indonesia tidak ada perbuatan zina, maka pasti otaknya perlu di scanning. Nah jika begitu, artinya adalah di Indonesia ada atau terjadi perbuatan zina. Sedangkan zina terjadi antara laki dan perempuan. Artinya dalam setiap perzinaan terlibat seorang perempuan yang merupakan juga anak Kita, karena bukankah perempuan ybs tidak mungkin keluar dari perut seekor Sapi. Singkatnya, kita sebagai orangtua sesungguhnya tidaklah tahu sepenuhnya tentang apa yang dilakukan oleh anak gadis kita. Seperti juga orangtua kita yang tidak tahu ketika (apabila) seseorang diantara kita (laki/perempuan) pernah melakukan zina pada suatu waktu ! (inget..inget kan yang dulu-dulu?) Manusia...manusia... , dia mau orang lain tidak tahu ketika dia berbuat zina, tetapi dia (merasa) yakin bahwa orang lain (anak gadisnya) pasti tidak berbuat zina. Seorang teman (penganut paham Wahhabi) pernah bertanya kepada saya tentang anak gadis saya dan kaitannya dengan Nikah Mutah, (persis seperti pertanyaan Bung Herry kepada Bung Rizal Sofyan) maka saya jawab: Jika boleh memilih antara Nikah Daim atau Nikah Mutah, maka sejujurnya saya memilih Nikah Daim bagi anak gadis saya, tetapi jika boleh memilih antara Nikah Mutah atau berzina, maka saya berharap anak gadis saya memilih Nikah Mutah. Karena Nikah Mutah memang bukan dimaksudkan untuk mencegah atau sebagai alternatif seseorang melakukan Nikah Daim, tetapi justru dimaksudkan untuk mencegah seseorang dari perbuatan zina. Tetapi apapun pilihan saya, maka hal itu tidaklah mempengaruhi ke-halalan Nikah Mut'ah berdasarkan firman Allah dalam QS. An Nisa [4]: 24. Fatwa MUI tentang Nikah Mutah tentunya sudah dapat diduga isinya, yaitu melarang dan mungkin bahkan mengutuk nikah mutah. Halmana sangat tidak mengherankan mengingat semua ulama anggota Dewan Fatwa MUI adalah ulama Suni. Untungnya, fatwa MUI sendiri banyak sekali yang tidak dipatuhi oleh umat Islam di Indonesia. Jangankan fatwa tentang riba menabung di bank (yang semua sepakat bahwa riba adalah haram), sedangkan fatwa tentang makanan haram yang dijual di Hoka-Hoka Bento saja tidak diperdulikan oleh umat Islam. Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar berita media massa tentang Kasus Kiai Haji Noor Iskandar Ashdiqqie dengan janda Alm. Amir Biki beberapa tahun yang lalu?

15

KIO Kajian Islam Otentik


Kasus tersebut dapat mewakili suatu contoh keadaan, dimana pada sebagian ulama Suni di Indonesia, Nikah Mutah merupakan hal yang halal dan dipraktekan. Tetapi kepada umatnya mereka mengatakan Nikah Mutah adalah haram dan menjijikan. He..he..he...(meminjam kata2 Bung Iman) ...kacian deh loe, siape suruh jadi umat doang...yang demen di cipoin terus. Seperti telah berulangkali saya sampaikan bahwa polemik Nikah Mut'ah sudah menjadi ladang pertikaian yang paling seru antara 2 golongan umat Islam (Suni & Syi'ah). Karena Syiah setuju maka Suni tidak setuju. Argumentasi sudah tidak menjadi penting lagi, sekalipun sudah diajukan argumentasi yang paling kuat sekalipun tentang kehalalan Nikah Mut'ah oleh Syi'ah (yaitu dari ayat Al Qur'an), dan hal itu tidak pernah dibantah oleh Suni, tetapi tetap saja tidak mau menerima dan kemudian mencari2 alasan2 lain, meskipun alasan2 itu tidak sejalan bahkan bertentangan dengan ketentuan agama (syar'i). Karena masalahnya sudah menyangkut eksistensi masing2 golongan ybs. Jika menerima argumentasi pihak lain tentang Nikah Mut'ah maka berarti pihak lainnya itulah yang benar dan pihaknya/golongannya yang salah. Dan jika golongannya yang salah maka golongannya tidak mempunyai hak untuk dipertahankan hidup. Inilah sebabnya polemik/ikhtilaf Nikah Mut'ah ini tidak kunjung selesai meskipun telah berjalan selama +/- 1400 tahun !!! Pembahasan tentang Nikah Mut'ah di millis ini menurut saya sudah lebih dari cukup, dan tidak akan mungkin mencapai kesepakatan akhir, seperti sejarah 1400 tahun telah membuktikannya. Semua argumentasi yang mewakili masing2 pihak golongan Islam (Suni & Syiah) sudah dikemukakan, kini tinggal masing2 anggota millis menilai dan bersikap sendiri. Kalau mau melakukan hubungan seks diluar pernikahan yang sudah ada, ya silahkan aja pilih sendiri, mau melakukannya secara zina atau melakukannya secara Mut'ah, toh resikonya ditanggung sendiri2 nanti di akherat. Usul ini bukan berarti saya sudah kehabisan bahan argumentasi untuk membela ke-halalan Nikah Mut'ah, baik secara nash dan sunnah maupun secara nalar, tetapi semata-mata karena saya tidak mau berbuat kebodohan dengan melelahkan diri menyampaikan argumentasi kepada pihak2 yang sudah memiliki sikap Nikah Mut'ah adalah haram. Salam 13. Agus Sardjono - 8-12-05 Kenapa kalau urusan kawin mengkawin koq jadi heboh ya? Tuuh, temen-temen kita yang ibu-ibu, tante-tante, neng-neng eh gadis-gadis pada senyum-senyum sinis.... Kata mereka: " Uuuhhh ... dasar laki-laki.... gak jauh dari ..." Anyway, menurut hemat saya, diskusinya udah rada nyerempet-nyerempet fitnah atau ghibah. Ati-ati lo Kang, Bang, Jang...!!! 14. Muchyar Yara - 8-12-05

16

KIO Kajian Islam Otentik


Bisa Bung Agus tolong jelaskan atau sebutkan pada bagian mana "diskusinya udah rada nyerempet-nyerempet fitnah atau ghibah", karena bisa2 justru kalimat ini yang mengandung serempetan fitnah atau ghibah. Kalo misalnya tulisan saya dibawah ini : Ibn Juraij berpendapat bahwa nikah mut'ah adalah harus. Imam Syafi'i Bosnya dan Pendiri Mazhab Syafi'i menegaskan bahwa Ibn Juraij telah bernikah mut'ah dengan 72 orang perempuan, sementara al-Dhahabi pula menyatakan Ibn Juraij telah bermut'ah dengan 90 orang perempuan.[Tadhib al-Tahdhib, VI, hlm. 408]" dinilai oleh Bung Agus sebagai nyerempet2 fitnah atau ghibah, maka tolong dilihat pada bagian akhir kalimatnya yang memuat kutipan sumbernya yaitu Tadhib alTahdhib, VI, hlm. 408. Menurut saya diskusi tentang Mut'ah justru berjalan secara sangat seru, artinya semua hal yang berkaitan dengan Mut'ah tanpa terasa kaku telah mampu dikemukakan secara cukup lengkap. Kemudian tentang "temen-temen kita yang ibu-ibu, tante-tante,neng-neng eh gadis-gadis pada senyum-senyum sinis....", kenapa memangnya? Apakah karena itu kita menjadikan sungkan berbicara tentang aspek agama ? Mau tau tentang kisah Fir'an dan Isterinya (Asiah)? Firaun adalah salah seorang yang paling berani melawan Tuhan (Allah) dalam catatan sejarah umat manusia. Pada suatu hari (atas saran para dukunnya) Firaun memerintahkan semua bayi laki2 yang dilahirkan oleh Bani Israil di Mesir harus dibunuh tanpa kecuali. Allah SWT kemudian mewahyukan kepada Isteri Imran yang baru saja melahirkan bayi bernama Musa bin Imran, agar menghanyutkan bayinya ke sungai Nil. Singkat kata, bayi Musa itu ditemukan oleh Asiah (isteri Firaun) di sungai Nil, dan dibawa kehadapan Firaun. Asiah berkata: "Aku menemukan bayi ini di sungai Nil, dan aku jatuh hati padanya serta ingin memelihara dan membesarkannya". Firaun setelah melihat sekilas kearah bayi yang dibungkus dengan kain tenunan Bani Israil, menjawab, "Jika itu kehendakmu, dan merupakan kesenanganmu, maka terserah saja, aku tidak berkeberatan". Bayangin saja !!! Firaun yang berani menentang Allah sekalipun, tetapi justru tidak berani menolak keinginan isterinya. Jadi kalau ada diantara manusia lain, termasuk mungkin diantara anggota millis ini, yang "takut sama isteri", ya tidak mengherankan, wong, Firaun saja takut koq sama isterinya. Sekalipun ketakutan kepada isteri ini bisa menjadi sumber atau awal kedurhakaan kepada Allah. Wassalam 15. Gunawan S - 8-12-05 Wah, kalimat penutup anda "Sekalipun ketakutan kepada isteri ini bisa menjadi sumber atau awal kedurhakaan kepada Allah." menimbulkan tanda tanya besar?

17

KIO Kajian Islam Otentik


Saya memahaminya begini, seseorang yang tidak melakukan NM karena takut isteri (takut isterinya sakit hati, takut menyakiti hati isterinya karena mencintai isterinya, takut beneran sama isterinya karena isterinya Dan III Inkai) berarti dia durhaka kepada Allah karena tidak melakukan NM, apakah begitu yang anda maksud? 16. Muchyar Yara - 8-12-05 Ooh bukan Bung Gunawan, kontek kalimat itu adalah umum dengan contoh Fira'un dan isterinya. Artinya jika ketakutan kepada Isteri lebih besar daripada ketakutan kepada Allah SWT, maka itulah awal dari kedurhakaan kepada Allah. Ketakutan disini adalah dalam segala hal sepanjang karena ketakutan kepada isteri itu, kita tidak melaksanakan kewajiban/suruhan atau melanggar larangan Allah, atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Tetapi disini juga termasuk jika kita mengharamkan NM semata-mata karena takut sama isteri. Sedangkan jika tidak tidak mau melaksanakan NM semata-mata berdasarkan pilihan kita (misalnya karena saking cintanya kpd isteri), maka hal itu tidak apa2, karena toch NM adalah hak yang boleh dipakai atau boleh ditinggalkan. Tapi meskipun cinta sekali, kalo zinah jalan juga dan tetap menolak NM, iya itu termasuk durhaka kepada Allah. Salam 17. Roni - 8-12-05 Luar biasa pembahasan soal mut'ah ini, saya yang dungu jadi merasa tambah dungu, sehingga tak tahan ingin ikut bertanya dan berkomentar (supaya jangan DM alias Dungu Daim/Permanent). Kalau tidak salah asal muasal dari diskusi mut'ah ini adalah artikel/cerita "Pasien Terakhir" yang dirilis bung Herry yang kemudian ditanggapi secara cukup panjang dan serius oleh bung Yari. Menurut hemat saya, sejak awal sampai penjelasan terakhir yang disampaikan oleh bung Yari ada yang kurang "pas" dengan makna cerita "Pasien Terakhir' (yang merupakan sumber perdebatan soal mut'ah ini). Kesimpulan cerita itu adalah : Pihak Wanita (yang mengikuti faham/menjalani kawin mut'ah) cenderung menjadi "korban". Dalam cerita itu salah satu "akibat"nya adalah terkena penyakit kelamin. Bung Yari menolak ilustrasi semacam itu dan menegaskan bahwa wanita yang dikawin mut'ah tidak sembarangan saja syarat dan prosesnya, ada masa iddah dan sebagainya. Sehingga (menurut bung Yari) masalah "penyakit kelamin" tidak ada relevansinya dengan kawin mut'ah, karena orang yang kawin biasa atau tidak kawinpun bisa terjangkit penyakit tersebut (apalagi kalau sering berzina). Bahkan bung Yari menegaskan bahwa kawin mut'ah itu justru untuk mencegah perbuatan zina. Pertanyaannya, apakah dengan melakukan mut'ah bisa serta merta mencegah atau meminimalkan penularan penyakit kelamin?

18

KIO Kajian Islam Otentik


Menurut saya, esensi dari cerita "Pasien Terakhir" adalah : Orang (khususnya lakilaki) yang berhubungan sex dengan banyak wanita - baik atas dasar nikah mut'ah atau zina - secara logika pasti lebih besar kemungkinannya tertular dan/atau menularkan penyakit kelamin dan korbannya adalah wanita yang dinikahi/digauli (seperti yang dikuatirkan oleh Tarmizi Taher). Jadi sesungguhnya yang dipermasalahkan bukan halal atau haramnya kawin (nikah) mut'ah. Barangkali bung Yari perlu menjelaskan bagaimana persyaratan atau jenis "pengamanan" bagi seorang laki-laki yang ingin kawin mut'ah agar supaya para wanita yang dinikahi (digauli) nya tersebut terlindung (dan memperoleh manfaat) secara lahir dan batin.Terima kasih, mohon maaf jika terlalu banyak kata-kata yang mempertontonkan kedunguan saya. 18. Muchyar Yara - 8-12-05 Kisah PASIEN TERAKHIR dan statement Tarmidzi Taher sangat jelas dan tidak bisa ditafsirkan lain, bahwa penyebab terjangkitnya penyakit kelamin pada sang pasien wanita, adalah karena ybs mempraktekan Nikah Mut'ah. Padahal resiko terjangkit penyakit kelamin tidak bisa semata-mata dinisbahkan kepada praktek NM. Cerita sejenis ini, siapapun yang menbacanya (yang tidak dungu) pasti dapat mengenalinya sebagai sebuah cerita yang tendensius. Kita semua kiranya sepakat Penyebaran penyakit kelamin adalah bersumber dari praktek gonta-ganti pasangan seks, apakah itu yang gonta-ganti adalah laki2-nya ataupun wanitanya, ataupun kedua2nya. Pola gonta-ganti bisa terjadi karena alasan/sebab apapun, apakah itu praktek pelacuran (perzinahan) dengan konsumennya adalah pria yang terikat Nikah Daim dan/atau pria yang belum menikah, ataupun melalui praktek NM. Jadi memvonnis NM sebagai penyebab penyakit kelamin semata seperti dalam Kisah PASIEN TERAKHIR jelas tidak fair dan diwarnai maksud2 mendiskreditkan NM. Selain itu jika dibandingkan dengan praktek pelacuran/perzinahan, maka praktek NM justru lebih kecil resiko dalam penyebaran penyakit kelamin. Kenapa ? Karena dalam NM berlaku ketentuan Masa Iddah 2 X massa Haid (+/50 s/d 60 hari). Sehingga seorang wanita yang melakukan NM dengan seorang laki2 X (pembawa asal kuman penyakit kelamin), maka si wanita harus menunggu selama 2 X haid untuk dapat melakukan NM dengan Laki2 Y. Selama masa tunggu 2 X haid itu, tentunya kuman yang ditransfer oleh laki2 X sudah berinkubasi dan hal itu dirasakan oleh si wanita yang pada gilirannya secara akal sehat tentunya ybs akan berusaha mengobatinya. Sehingga ketika si wanita berNM dengan laki2 Y, kondisi tubuhnya telah terobati dari kuman penyakit kelamin yang diperolehnya dari laki2 X. Hal diatas tidak terjadi pada praktek pelacuran/perzinaan, karena sebelum si wanita merasakan gejala terjangkit penyakit kelamin (padahal kumannya sudah berinkubasi), dia telah melakukan hubungan dengan laki2 lainnya, sehingga laki2 itu terjangkit penyakit dan pada gilirannya menulari wanita lainnya (atau mungkin juga isterinya dari ND).

19

KIO Kajian Islam Otentik


Sekedar mengingatkan Bung Roni, diskusi NM bukan berawal dari Kisah PASIEN TERAKHIR, tetapi dari tulisan Bung Iman yang disusul beberapa episode tulisan lainnya, barulah kemudian muncul kisah PASIEN TERAKHIR. Pada tulisan2 sebelumnya, pembahasan telah menyinggung aspek halal/haram nya NM. Jadi jika ingin menyimpulkan jawaban saya atas Kisah PASIEN TERAKHIR hendaknya mempertimbangkan keseluruhan konteks diskusi yang sedang berjalan. Pada bagian awal Bung Roni mengatakan kan "saya yang dungu jadi merasa tambah dungu, sehingga tak tahan ingin ikut bertanya dan berkomentar (supaya jangan DM alias Dungu Daim/Permanent)." Mau tau nggak bedanya "dungu" dengan "bodoh" ? Orang yang dungu adalah orang yang sebenarnya mengetahui inti permasalahan yang sedang dibicarakan, dan dia ingin ikut serta didalam pembicaraan itu tetapi pembicaraannya justru menyimpang atau tidak mendekati inti permasalahan yang dibicarakan itu. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang tidak dapat menangkap/memahami inti permasalahan yang sedang dibicarakan, meskipun sebenarnya inti permasalahan tersebut sangat jelas & terang, dan dia ingin ikut serta didalam pembicaraan itu tetapi pembicaraannya sama sekali tidak ada kaitannya dengan inti permasalahan yang dibicarakan itu. Dan menurut saya, Bung Roni tidak termasuk diantara keduanya, hanya mungkin ... mungkin loh, terlalu tergesa-gesa menarik kesimpulan awal atas jawaban saya terhadap kisah PASIEN TERAKHIR, sehingga terlepas dari rangkaian diskusi yang sudah berjalan sebelumnya. Terakhir tentang pertanyaan Bung Roni berkaitan dengan masalah pengamanan lahir & bathin dalam NM bagi pihak wanita, menurut saya sih.... "DONT FORGET, ALWAYS ASK YOURS PARTNER TO USE ....JACKET" .....HE..HE..HE... Salam 19. Roni - 9-12-05 Mungkin benar saya keliru menarik awal cerita secara keseluruhan, tetapi saya melihat setelah muncul tulisan "Pasian Terakhir" bung Yari tampil sebagai pembela nikah mut'ah, bahkan "pleidoi"nya berikut lampiran-lampiran yang tidak kalah panjang. Sejak itulah, fokusnya benar-benar "mut'ah", Setelah membaca jawaban bung Yari di atas, saya tetap merasa dungu, karena berkali-kali bung Yari sudah menjelaskan dari sisi wanita, tapi bung Yari belum menjelaskan dari sisi pria/lakilaki (berkaitan dengan cerita "Pasien Terakhir"). Begini, jika seorang pria terikat dalam perkawinan daim, dengan alasan apapun dia tidak boleh berhubungan sex dengan wanita lain selain istri daim yang hanya 1 orang (kecuali penganut poligamy). Jika si pria penganut nikah mut'ah -seperti yang diceritakan bung Yari - bisa menikahi (menggauli) sampai puluhan bahkan mungkin saja ratusan wanita.

20

KIO Kajian Islam Otentik


Disamping itu kesepakatan waktu nikah mut'ah juga bisa sangat singkat, lebih singkat dari masa inkubasi penyakit kelamin, sehingga tidak cukup waktu untuk mengetahuii wanita yang dinikahi (digauli) tersebut mengidap penyakit tertentu atau tidak. Belum lagi masalah waktu untuk mengenali latar belakang atau biasa disebut bebet, bobot, bebet si wanita, yang jika seorang pria penganut nikah mut'ah sudah kasmaran tidak lagi memperhitungkan soal tersebut. Jadi bung Yari, jangankan untuk mengetahui apakah seorang wanita yang akan dinikahi secara mut'ah tersebut benar-benar tau dan taat soal masa iddah atau tidak, pria berlibido tinggi yang menganut nikah mut'ah tidak punya cukup waktu untuk mengenali perilaku apalagi latar belakang, sifat, aliran/faham yang dianut olehi sekian banyak wanita yang bersedia dinikahi secara "kontrak" tersebut. Dalam pandangan saya, "kebebasan" yang luar biasa bagi seorang pria penganut nikah mut'ah (yang takut berzina) ini jelas-jelas mempunyai resiko yang jauh-jauhjauh lebih tinggi dari pada seorang penganut nikah daim (yang takut berzina), karena sangat besar keumngkinannya dari puluhan wanita yang digaulinya tersebut ada yang mengidap penyakit kelamin. Dengan demikian, jika dilihat dari sudut pria cerita "Pasien Terakhir" tidak terlalu berlebihan dan juga tidak tendensius ke fitnah, makanya sang dokter dalam cerita tersebut tidak menganjurkan si wanita berjilbab itu untuk "use your jacket", but "use your brain" dan menghentikan "kebiasaan"nya. Terima kasih dan salam. 20. Muchyar Yara - 9-12-05 Bung Roni Yth, Saya sungguh2 tidak tidak berminat untuk berdebat kusir dengan anda, tetapi karena anda telah menjawab jawaban saya kepada anda, maka terpaksa saya sekedar memberikan catatan pinggir sebagai berikut : Tulisan anda: Mungkin benar saya keliru menarik awal cerita secara keseluruhan, tetapi saya melihat setelah muncul tulisan "Pasian Terakhir" bung Yari tampil sebagai pembela nikah mut'ah, bahkan "pleidoi"nya berikut lampiran-lampiran yang tidak kalah panjang. Catatan Pinggir Saya : Saya tampil sebagai pembela Nikah Mutah sejak tulisan pertama tentang hal itu muncul, dan saya kirimkan lampiran berupa 2 tulisan yang cukup panjang sebelum adanya Kisah PASIEN TERAKHIR Tulisan Anda: Sejak itulah, fokusnya benar-benar "mut'ah", Setelah membaca jawaban bung Yari di atas, saya tetap merasa dungu, karena berkali-kali bung Yari sudah menjelaskan dari sisi wanita, tapi bung Yari belum menjelaskan dari sisi pria/lakilaki (berkaitan dengan cerita "Pasien Terakhir"). Catatan Pinggir Saya : Kisah PASIEN TERAKHIR dari awalnya sampai akhirnya adalah tentang Wanita dan tidak menjelaskan tentang laki2 nya, jadi dalam kaitan dengan kisah itu 21

KIO Kajian Islam Otentik


penjelasan saya adalah seputar posisi sang wanita, dimana saya menolak anggapan yang menyatakan wanita menjadi korban (terjangkit penyakit kelamin) semata-mata karena mempraktekan NM. Bahkan dalam kisah itu pihak wanita lah yang gonta-ganti pria, sedangkan pembahasan NM selanjutnya adalah pihak pria lah yang gonta-ganti wanita. Tetapi jika anda membaca Tulisan saya dibawah judul MUTAH 2 (sebagai jawaban atas pertanyaan Bung Iman), maka anda dapat melihat penjelasan saya tentang posisi laki2. Tulisan Anda: Begini, jika seorang pria terikat dalam perkawinan daim, dengan alasan apapun dia tidak boleh berhubungan sex dengan wanita lain selain istri daim yang hanya 1 orang (kecuali penganut poligamy). Jika si pria penganut nikah mut'ah -seperti yang diceritakan bung Yari - bisa menikahi (menggauli) sampai puluhan bahkan mungkin saja ratusan wanita. Catatan Pinggir Saya : Wah Bung Roni, cara berpikir anda mulai agak ruwet nih. 1). Boleh /Tidak Boleh adalah berbeda dengan Melakukan/Tidak Melakukan Penelitian telah membuktikan sejak kapanpun dan dimanapun di dunia ini, TERMASUK DI INDONESIA (yang sejak beberapa waktu yang lalu dinilai sebagai Surga DUGEM, bahkan Surabaya dikenal sebagai kota tempat Lokalisasi WTS Terbesar di Asia Tenggara), bagian terbesar dari konsumennya adalah PRIA BERKELUARGA alias sudah punya Isteri yang tentunya berdasarkan Nikah Daim. Jadi tidak ada perbedaannya antara pria yang ND dan NM untuk bisa menggauli puluhan bahkan ratusan wanita. 2). Penganut ND tidak mesti menjadi Bukan Penganut NM. Keseluruhan diskusi ini justru berkenanan dengan masalah ini, yaitu apakah NM adalah Halal atau Haram menurut aqidah Islam. Jika NM diterima sebagai Halal, maka NM dapat dilakukan oleh Pria yang sudah ND dan juga Pria yang belum ND (bujangan). Jika NM ditolak karena dinilai Haram, maka apapun status sang Pria (Suami/Bujangan) tetap Haram hukumnya, dan bagi pria (suami/bujangan) hanya tersedia satu cara jika mau berhubungan seks dengan wanita yang bukan isterinya, yaitu melakukan zina, seperti yang selama ini dilakukan oleh sebagian pria berkeluarga (suami) di Indonesia yang menjadi langganan pelacuran/perzinaan. Tulisan Anda : Disamping itu kesepakatan waktu nikah mut'ah juga bisa sangat singkat, lbh singkat dari masa inkubasi penyakit kelamin, sehingga tidak cukup waktu untuk mengetahuii wanita yang dinikahi (digauli) tersebut mengidap penyakit tertentu atau tidak. Catatan Pinggir Saya : Jangka waktu masa iddah (2 X masa Haid) mulai dihitung sejak berakhirnya NM, betapapun singkatnya masa NM itu. Misalnya Masa NM adalah 1 hari, kebetulan suami NM membawa kuman penyakit kelamin, yang ditulari kepada isteri NM. Maka setelah waktu penularan s/d masa

22

KIO Kajian Islam Otentik


inkubasi (misalnya 1 atau 2 minggu), si mantan isteri masih dalam massa iddah, sehingga sudah mengetahuinya untuk kemudian berobat. Tulisan Anda: Belum lagi masalah waktu untuk mengenali latar belakang atau biasa disebut bebet, bobot, bebet si wanita, yang jika seorang pria penganut nikah mut'ah sudah kasmaran tidak lagi memperhitungkan soal tersebut. Jadi bung Yari, jangankan untuk mengetahui apakah seorang wanita yang akan dinikahi secara mut'ah tersebut benar-benar tau dan taat soal masa iddah atau tidak, pria berlibido tinggi yang menganut nikah mut'ah tidak punya cukup waktu untuk mengenali perilaku apalagi latar belakang, sifat, aliran/faham yang dianut olehi sekian banyak wanita yang bersedia dinikahi secara "kontrak" tersebut. Catatan Pinggir Saya : 1. Kalo soal sudah kasmaran sih ya sama saja, baik pada NM, zina maupun sekalipun ND. Emangnya semuanya ND harus melalui masa perkenalan dan wajib mengenal calon isteri? Banyak kejadian suami-isteri ND baru ketemu pada saat akad-nikah. 2. Apakah ketentuan tentang massa iddah akan ditaati? Nah anda kembali mencampur-adukan tentang Boleh/Tidak Boleh (ketentuan) dengan Melakukan/Tidak Melakukan (ketaatan). Ketentuan mengatakan misalnya Tidak boleh atau massa iddahadalah 2 X haid , jika ketentuan itu dilanggar ya resikonya ada hukuman, yaitu dosa bagi pelanggarnya, yaitu si wanitanya. Ketentuan mewajibkan setiap umat Islam shalat 5 waktu sehari, jika dilanggar yang dosa.

Bagaimana memperkecil pelanggaran ketentuan agama? Ya dengan meningkatkan pemahaman agama, melalui pemberian informasi (dakwah). Tetapi kalau sejak awalnya dikatakan bahwa NM adalah haram, bagaimana bisa dilakukan dakwah tentang NM? Begini loh, NM adalah bagian dari unsur lembaga perkawinan yang diatur oleh agama, sedangkan agama itu adalah kesatuan sistem kepercayaan. Jadi pembahasan, pengkajian serta penerapan/pelaksanaan NM juga harus dilaksanakan dalam satu kesatuan paket dakwah agama. Tulisan Anda: Dalam pandangan saya, "kebebasan" yang luar biasa bagi seorang pria penganut nikah mut'ah (yang takut berzina) ini jelas-jelas mempunyai resiko yang jauh-jauhjauh lebih tinggi dari pada seorang penganut nikah daim (yang takut berzina), karena sangat besar kemungkinannya dari puluhan wanita yang digaulinya tersebut ada yang mengidap penyakit kelamin. Catatan Pinggir Saya : Saya dapat membayangkan betapa bangganya anda ketika membaca ulang kalimat yang anda buat di atas, karena mungkin anda menilainya sebagai mewakili puncak kenalaran. Kalimat anda di atas mengandung 3 unsur yang telah dirasakan merupakan kemasan/rumusan yang saling memperkuat satu dengan lainnya, yaitu :

23

KIO Kajian Islam Otentik


Kebebasan menggauli banyak wanita, penganut NM (yang takut berzina) versus penganut ND (yang takut berzina), dan ketakutan/resiko terjangkit penyakit kelamin akibat menggauli puluhan wanita. Kebebasan menggauli banyak wanita: Kebebasan menggauli banyak wanita tidak hanya bisa dilekatkan pada NM, karena seseorang yang sangat anti NM dan sangat fanatik terhadap ND juga memiliki kebebasan untuk menggauli banyak wanita, buktinya ya apa yang telah dikemukakan di atas, yaitu sebagian terbesar dari pria yang menjadi pelanggan WTS adalah mereka yang sudah ND. Bedanya melalui NM hubungan itu menjadi sah/tidak berdosa menurut agama, sedangkan melalui pelacuran/perzinahan hubungan itu menjadi perbuatan dosa. Penganut NM (yang takut berzina) versus Penganut ND (yang takut berzina). Keduanya bukan bertentangan seperti yang digambarkan oleh Bung Roni, karena sebagian terbesar Penganut ND (yang takut berzina) menjadi Penganut NM, sedangkan Penganut NM (yang takut berzina) adalah Penganut ND (ataupun bujangan) yang takut berbuat dosa melalui zina. Ketakutan/resiko terjangkit penyakit kelamin akibat menggauli puluhan wanita. Penyakit kelamin bukan karena menggauli puluhan wanita, tetapi karena menggauli satu wanita yang membawa kuman penyakit kelamin. Iya kan? Nah kalau bicara tentang satu wanita yang membawa kuman penyakit kelamin, maka bukankah bisa saja terjadi wanita yang satu itu adalah isteri dari ND? Penelitian kedokteran yang sangat banyak membuktikan bahwa seorang wanita bisa terkena kuman penyakit kelamin tidak melalui hubungan kelamin. Walhasil pembahasan tentang penyakit kelamin ini bisa panjang tidak ketentuan, karena banyak sekali sudut kajiannya. Begini loh ! pembahasan tentang NM tidak bisa dikaitan dengan penyakit kelamin, karena wilayah kajiannya yang berbeda. Seperti ibaratnya bicara tentang Ibadah Haji dengan kecelakaan pesawat terbang. Pengalaman membuktikan beberapa pesawat pengangkut jemaah haji mengalami kecelakan, jatuh, dan menewaskan para penumpangnya. Apakah karena resiko ini kemudian bisa disimpulkan bahwa ibadah haji adalah negatif? Atau ber-wudhu di waktu subuh beresiko terjangkit penyakit reumathik, kemudian disimpulkan Shalat Subuh adalah negatif? Jika kita berbicara aspek agama maka intinya adalah taat atau mengikutinya. Jadi yang utama adalah apakah sesuatu itu, misalnya NM adalah merupakan bagian dari agama? Apa dasarnya dalam Al Quran, Hadis atau Ijma Ulama ? Bagaimana syariat untuk melaksanakannya?. Jika kita tidak yakin akan dasar pensyariatannya berdasarkan ketentuan agama, ya tidak usah di taati.. Sebaliknya jika dasar2 pensyariatannya menurut agama adalah menyakinkan, maka alternatif nya cuma satu yaitu mentaati dan dilaksanakan sesuai dengan syariat pelaksanaannya. Salam 21. Roni - 9-12-05

24

KIO Kajian Islam Otentik


Terima kasih bung Yari, jawaban anda sudah cukup jelas. Tapi supaya diskusi ini bisa berakhir dengan manis (kalau mau diakhiri) saya mau kasih catatan pinggir (tanggapan) juga. Catatan Pinggir Anda : Saya tampil sebagai pembela Nikah Mut'ah sejak tulisan pertama tentang hal itu muncul, dan saya kirimkan lampiran berupa 2 tulisan yang cukup panjang sebelum adanya Kisah PASIEN TERAKHIR Tanggapan saya : Anda benar, karena memang mulainya sejak pernyataan anda untuk "silaturahim untuk menambah penduduk" ditanggapi oleh bung Iman dan anda sudah menyatakan sebagai pembela Nikah Mutah sejak tulisan awal tersebut. Selanjutnya, Catatan Pinggir anda : Kisah PASIEN TERAKHIR dari awalnya sampai akhirnya adalah tentang Wanita dan tidak menjelaskan tentang laki2 nya, jadi dalam kaitan dengan kisah itu penjelasan saya adalah seputar posisi sang wanita, dimana saya menolak anggapan yang menyatakan wanita menjadi korban (terjangkit penyakit kelamin) semata-mata karena mempraktekan NM. Bahkan dalam kisah itu pihak wanita lah yang gonta-ganti pria, sedangkan pembahasan NM selanjutnya adalah pihak pria lah yang gonta-ganti wanita. Tetapi jika anda membaca Tulisan saya dibawah judul MUT'AH 2 (sebagai jawaban atas pertanyaan Bung Iman), maka anda dapat melihat penjelasan saya tentang posisi laki2. Tanggapan saya : Dalam kisah tersebut memang tidak tersurat masalah laki-laki, tetapi justru saya langsung melihat yang tersirat, apalagi setelah anda menjelaskan masalah iddah pada NM. Wanita berjilbab dalam cerita itu jelas wanita baik-baik, tetapi bagaimana dia bisa tertular penyakit kelamin sampai dokter "melarang" melakukan NM (secara tidak langsung), karena kebersihan lelaki yang suka NM tidak berbeda dengan lelaki penganut ND yang suka berzina. Jadi (maaf kalau saya salah menyimpulkan) wanita itu jadi "korban" pria yang pernah berhubungan sex dengan wanita lain yang terkena penyakit kelamin. Tentu saja hal tersebut bisa terjadi melalui perzinahan dan saya tidak akan sedikitpun berpikir tentang NM jika dalam cerita itu kondisi wanita ybs tidak dikaitkan dengan masalah NM. Pencantuman soal NM dalam cerita tersebut justru membuat saya berpikir tentang pria yang tidak berzina tapi berpotensi tertular dan menularkan penyakit kelamin.. Dalam cerita tersebut yang dilarang atau diminta untuk berhenti bukan si laki-laki, tapi si wanita, karena kalau diceritakan yang dilarang laki-laki tentu akan mengarah pada argumentasi "halal" dan "haram". Kalau ZINA sudah pasti haram, tidak perlu lagi ada cerita dokter melarang zina, akan tetapai NM bukan saja halal malah anda tegaskan itu sebagai HAK laki-laki, hak itu mau dipakai atau tidak terserah laki-lakinya. Dalam cerita ini, sang dokter merasa "berhak" memperingati si wanita berjilbab itu dari resiko penggunaan hak laki-laki tersebut. Sealanjutnya. Catatan Pinggir anda :

25

KIO Kajian Islam Otentik


1). "Boleh /Tidak Boleh" adalah berbeda dengan "Melakukan/Tidak Melakukan" Penelitian telah membuktikan sejak kapanpun dan dimanapun di dunia ini, TERMASUK DI INDONESIA (yang sejak beberapa waktu yang lalu dinilai sebagai Surga DUGEM, bahkan Surabaya dikenal sebagai kota tempat Lokalisasi WTS Terbesar di Asia Tenggara), bagian terbesar dari konsumennya adalah PRIA BERKELUARGA" alias sudah punya Isteri yang tentunya berdasarkan Nikah Daim. Jadi tidak ada perbedaannya antara pria yang ND dan NM untuk bisa menggauli puluhan bahkan ratusan wanita. 2). Penganut ND tidak mesti menjadi Bukan Penganut NM. Keseluruhan diskusi ini justru berkenaan dengan masalah ini, yaitu apakah NM adalah Halal atau Haram menurut aqidah Islam baik bagi pria yang sudah ND ataupun pria yang masih bujangan.. Jika NM diterima sebagai Halal, maka NM dapat dilakukan oleh Pria yang sudah ND dan juga Pria yang belum ND (bujangan). Jika NM ditolak karena dinilai Haram, maka apapun status sang Pria (Suami/Bujangan) tetap Haram hukumnya, dan bagi pria (suami/bujangan) hanya tersedia satu cara jika mau berhub. seks dengan wanita yang bukan isterinya, yaitu melakukan zina, seperti yang selama ini dilakukan oleh sebagian pria berkeluarga (suami) di Indonesia yang menjadi langganan pelacuran/perzinaan. Tanggapan saya : Pikiran saya tidak ruwet, yang saya perbandingkan dalam alinea ini memang antara "boleh" dan "tidak boleh". Justru karena tidak boleh tersebut, pria penganut ND yang tidak bisa berhubungan dengan wanita lain secara "halal" Berbeda dengan pria penganut NM, karena dibolehkan maka pria-pria ini bisa berhubungan dengan wanita-wanita lain melalui proses NM. Masalah pelacuran/perzinahan yang anda cantumkan disini justru tidak relevan, karena yang diperbandingkan disini hanyalah antara yang "halal". Catatan Pinggir anda : Jangka waktu masa iddah (2 X masa Haid) mulai dihitung sejak berakhirnya NM, betapapun singkatnya masa NM itu. Misalnya Masa NM adalah 1 hari, kebetulan suami NM membawa kuman penyakit kelamin, yang ditulari kepada isteri NM. Maka setelah waktu penularan s/d masa inkubasi (misalnya 1 atau 2 minggu), si mantan isteri masih dalam massa iddah, sehingga sudah mengetahuinya untuk kemudian berobat.Jadi bukan pihak pria yang yang mengetahui tetapi pihak wanitanya. Berapa banyak sih bahkan di saat ini dalam ND pasangan calon suami isteri memeriksa ke laboratorium sebelum akad-nikah? Atau maksudnya Bung Roni dengan pengenalan terlebih dahulu antara calon suami dan calon isteri dalam ND, kemudian pihak calon suami bisa mengetahui apakah calon isterinya mengidap penyakit kelamin? Bagaimana caranya? Apa dengan mencolok lobang hidung si calon isteri, maka sang calon suami bisa tahu apakah calon isterinya punya penyakit kelamin atau tidak? Tanggapan saya : Wah bung Yari benar-benar sangat tekstual kalau mencermati sesuatu ayat, kalimat atau tulisan.

26

KIO Kajian Islam Otentik


Perbandingan antara masa NM dengan masa inkubasi penyakit menular itu hanyalah semata- mata untuk menunjukkan bahwa NM itu bisa sangat singkat dan jika dilakukan berulang kali pada wanita yang berbeda (karena tidak bisa menahan nafsu) kan bisa saja diantara sekian banyak wanita yang di NM kan itu ada yang berpenyakit, tapi karena sudah selesai masa NM nya sang pria tidak tau kalau dia sudah tertular dan lalu menularkan kepada wanita lain. Dalam alinea mengenai hal ini jelas-jelas saya maksudkan bahwa dalam masa ND yang pada umumnya berlangsung lebih dari sekedar 2-3 bulan apabila salah satu pihak dari suami-istri ternyata berpenyakit kelamin bisa langsung ketahuan, tapi dalam NM (yang saya contohkan yang singkat) belum sempat tahu apa-apa tentang istri NM X sudah pindah atau berhubungan dengan istri NM Y, Z dan seterusnya. Catatan Pinggir anda : 1. Kalo soal sudah kasmaran sih ya sama saja, baik pada NM, zina maupun sekalipun ND. Emangnya semuanya ND harus melalui masa perkenalan dan wajib > mengenal calon isteri? Banyak kejadian suami-isteri ND baru ketemu pada saat akad-nikah. Tanggapan saya : Saya kira tidak perlu diperdebatkan lagi jika seorang pria mencari istri untuk selama hidupnya melaui ND tentu saja dia akan memperhitungkan segala macam faktor, selain faktor "nafsu" tadi. Seandainyapun tidak melalui proses pengenalan, istri dalam ND tidak mungkin tertular penyakit kecuali salah atau dari pasutri itu berzina atau sang suami melakukan NM dengan wanita lain (yang kebetulan berpenyakit). Sebaliknya dalam NM, seperti yang anda jelaskan semata-mata setelah terpenuhinya persyaratan formal ritual seorang pria bisa berhubungan sex dengan seorang wanita dan tidak terikat lagi secara hukum setelah "kontrak" selesai. Saya kira bung Yari paham maksud saya, kalau seorang yang terikat/penganut) ND dan takut berzina, walaupun dia bernafsu dan/atau jatuh cinta dengan seorang pelacur sekalipun dia tidak bisa berbuat apa-apa selain berjihad menahan hawa nafsunya. Sebaliknya jika seorang pria penganut NM bernafsu atau jatuh cinta dengan seorang wanita (siapapun dia) maka dia akan menikahi wanita itu dengan cara NM, karena takut berzina. Catatan pinggir anda : Kebebasan menggauli banyak wanita tidak hanya bisa dilekatkan pada NM, karena seseorang yang sangat anti NM dan sangat fanatik terhadap ND juga memiliki kebebasan untuk menggauli banyak wanita, buktinya ya apa yang telah dikemukakan di atas, yaitu sebagian terbesar dari pria yang menjadi pelanggan WTS adalah mereka yang sudah ND. Bedanya melalui NM hubungan itu menjadi sah/tidak berdoa menurut agama, sedangkan melalui pelacuran/perzinahan hubungan itu menjadi perbuatan dosa. Tanggapan saya : Justru yang saya maksudkan "kebebasan" disini adalah HAK. Seorang penganut NM merasa bebas (karena berhak) menikahi banyak wanita, sedangkan seorang penganut ND tidak memiliki kebebasan (hak) tersebut, Jadi yang anda contohkan

27

KIO Kajian Islam Otentik


sebagai penganut ND yang jadi pelanggan WTS itu bukan karena diberi hak atau kebebasan, melainkan berzinah. Oleh sebab itu pada penganut ND pilihannya cuma 2, tidak berhubungan sex dengan wanita lain atau berzina.Sedangkan penganut NM pilihan berbeda untuk berhubungan sex dengan wanita lain (selain berzina) yaitu melalui NM. Catatan pinggir anda : "Penganut NM (yang takut berzina) versus Penganut ND (yang takut > berzina)". Keduanya bukan bertentangan seperti yang digambarkan oleh Bung Roni, karena sebagian terbesar Penganut ND (yang takut berzina) menjadi Penganut NM, sedangkan Penganut NM (yang takut berzina) adalah Penganut ND (ataupun bujangan) yang takut berbuat dosa melalui zina. Tanggapan saya : Kesimpulan anda tentang Penganut ND yang takut berzina lalu menjadi Penganut NM (anda menyebutnya sebagian terbesar) sangat hipotesis, bahkan tendensius, karena anda melupakan jihad melawan nafsu yang akhirnya membuat seorang pria Penganut ND (yang takut berzina) tidak menjadi Penganut NM, apalagi jika ia anggota ISTI (Ikatan Suami Takut Istri) dan ini jumlahnya juga banyak. Catatan Pinggir anda : "Ketakutan/resiko terjangkit penyakit kelamin akibat menggauli puluhan wanita". Penyakit kelamin bukan karena menggauli puluhan wanita, tetapi karena menggauli "satu wanita" yang membawa kuman penyakit kelamin. Iya kan? Nah kalau bicara tentang "satu wanita yang membawa kuman penyakit kelamin", maka bukankah bisa saja terjadi "wanita yang satu" itu adalah isteri dari ND? Penelitian kedokteran yang sangat banyak membuktikan bahwa seorang wanita bisa terkena kuman penyakit kelamin tidak melalui hubungan kelamin. Walhasil pembahasan tentang penyakit kelamin ini bisa panjang tidak ketentuan, karena banyak sekali sudut kajiannya. Begini loh ! pembahasan tentang NM tidak bisa dikaitan dengan penyakit kelamin, karena wilayah kajiannya yang berbeda. Seperti ibaratnya bicara tentang Ibadah Haji dengan kecelakaan pesawat terbang. Pengalaman membuktikan beberapa pesawat pengangkut jemaah haji mengalami kecelakan, jatuh, dan menewaskan para penumpangnya. Apakah karena resiko ini kemudian bisa disimpulkan bahwa ibadah haji adalah negatif? Atau ber-wudhu di waktu subuh beresiko terjangkit penyakit reumathik, kemudian disimpulkan Shalat Subuh adalah negatif? Tanggapan saya : Memang saya ikut memberi komentar dalam pembahasan hal ini karena meilhat hubungan causalitas antara "resiko" yang dialami seorang wanita yang dinikahi oleh pria penganut (penggemar) NM. Salah satunya seperti yang digambarkan dalam cerita "Pasien Terakhir" tersebut, jadi bukan melarang yang "berhak" untuk menjalankan haknya, tapi memperingati yang bisa menjadi korban penggunaan hak laki laki tersebut. Begitu saja bung Yari, tidak ada yang baru kok, saya cuma menegaskan maksud dari tulisan saya sebelumnya, tapi jika mau diberi catatan lagi silakan saja. Terima kasih dan salam

28

KIO Kajian Islam Otentik


22. Agus Sardjono - 10-12-05 Apa bedanya nikah Mut'ah dengan kumpul kebo, jika pasangan kumpul kebo itu saling mencinta, sukarela, sepakat dan si pria sudah memberi harta kekayaan (bahkan lebih banyak dari mahar yang biasa diberikan)? Esensi kumpul kebo bukankah sama dengan nikah mut'ah? Maaf Bang kalau saya tidak paham. 23. Muchyar Yara - 10-12-05 Ya memang susah juga sih kalau belum juga paham perbedaan antara Nikah Mut'ah dengan Kumpul Kebo setelah kita berdiskusi sedemikian panjangnyya. Kalau antum masih tetap tidak setuju Nikah Mut'ah sih ana masih bisa maklum, karena masalah Nikah Mut'ah seperti yang ana berulang kali katakan sudah berada diluar persoalan nalar, tetapi sudah masuk wilayah fanatisme perdebatan antar mazhab. Tetapi jika antum masih juga belum paham antara Nikah Mut'ah dan Kumpul Kebo, ana minta maaf aje deh, karena ana rasa nggak ada gunanya lagi ana menerangkannya. Kenapa? karena jika ana terangkan perbedaan Nikah Mut'ah dengan Kumpul Kebo, maka besok antum akan nanya lagi bedanya Nikah Mut'ah dengan perzinaan dst. Salam 24. Agus Sardjono - 11-12-05 Lho koq nyerah Bang? Bukankah ini sebuah proses penajaman argumentasi? Jika saya belum sepaham itu karena dalil-dalil mut'ah yang sempat saya baca (terutama di milis) belum bisa menyelesaikan pertanyaan tentang: ijab qabul (bukankah ini sama dengan kesepakatan berdua), mahar (bukankah ini sama dengan pemberian yang dikaitkan dengan ikatan pernikahan), jangka waktu yang bisa ditentukan (bukankah ini sama dengan kerelaan keduabelah pihak untuk hidup bersama dalam kurun waktu tertentu), saksi (bukankah sangat mudah untuk meminta dua orang atau lebih sebagai saksi janji-janji pasangan laki-laki dan perempuan)? Tapi kalau Abang sudah nyerah, seolah-olah saya hanya mau tanya dan tanya, ya sudah .... tidak apa-apa. Kiranya masih lebih baik orang yang bertanya ketimbang orang yang tidak peduli atau taqlid begitu saja. Saya masih berpendapat bahwa pemahaman saya benar, tetapi saya tetap tidak menutup kemungkinan bahwa orang lain lebih benar. Oleh karena itulah gunanya kita bertanya. Salam, 25. Muchyar Yara - 13-12-05 Antum bilang: ijab qabul (bukankah ini sama dengan kesepakatan berdua), mahar (bukankah ini sama dengan pemberian yang dikaitkan dengan ikatan pernikahan), jangka waktu yang bisa ditentukan (bukankah ini sama dengan kerelaan

29

KIO Kajian Islam Otentik


keduabelah pihak untuk hidup bersama dalam kurun waktu tertentu), saksi (bukankah sangat mudah untuk meminta dua orang atau lebih sebagai saksi janjijanji pasangan laki-laki dan perempuan)?" Kesemuanya itu juga merupakan syarat atau tata cara Nikah Daim, kecuali syarat jangka waktu. Dilihat dari sisi ini adalah lebih dekat jika pertanyaan antum adalah : Apa bedanya Nikah Daim dan Kumpul Kebo?" karena keduanya tidak ada persyaratan jangka waktu. Oh ya, dalam Al Qur'an tidak ada kewajiban adanya 2 orang saksi dalam pernikahan (baik Daim maupun Mut'ah), tetapi wajib adanya 2 saksi dalam perceraian pada Nikah Daim. Singkatnya jawaban atas pertanyaan antum adalah, Nikah Mut'ah adalah salah satu dari bentuk pernikahan yang diatur menurut agama/syar'i (QS. An Nisa [4]: 24), sedangkan Kumpul Kebo adalah hubungan antara pria & wanita diluar lembaga Nikah menurut agama alias zinah yang justru hendak dihindari dengan Nikah Mut'ah. Kesemua ini sebenarnya sudah sangat jelas terjawab dari diskusi yang telah berlangsung. Sebagaimana saya telah berulangkali menyatakan, saya tidak perduli apakah seseorang itu tidak mempercayai keabsahan Nikah Mut'ah menurut agama dan saya tidak berusaha menjadikannya agar percaya. Saya hanya berusaha menjelaskan status Nikah Mut'ah menurut agama, manakala orang yang tidak percaya keabsahaannya itu menyebarkan kepercayaannya itu keluar dari dirinya sendiri. (Inisiatif diskusi Nikah Mut'ah bukan dari saya). Silahkan saja bagi orang2 yang tidak percaya pada Nikah Mut'ah, bilamana terjerumus kedalam cobaan Allah SWT berkaitan dengan aktivitas seksual dengan non-isterinya, untuk tetap konsisten melakukannya aktivitas seksual diluarnikahnya itu dalam jalur perzinahan, yang dilandasi tentunya dengan ketetapan hati bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan zina yang dilarang Allah SWT. Salam 26. Agus Sardjono - 15-12-05 Terima kasih Bang atas penjelasannya. Tapi benarkah An Nisa ayat 24 merupakan dasar hukum bagi nikah mut'ah. Saya sudah baca tapi saya belum bisa menyimpulkan hal itu. Terima kasih. 27. Muchyar Yara - 15-12-05 Semua Mufassir (Ahli Tafsir Al Qur'an) dan Ahli Ulumul Qur'an (Ahli2 Ilmu2 Al Qur'an) baik dari Suni maupun Syiah seluruhnya sepakat dan tidak ada perbedaan bahwa QS.An Nisa [4] : 24 adalah dasar pengaturan bagi Ke-Halal-an Nikah Mut'ah. Jadi saya hanya mengikuti pendapat pihak yang mempunyai otoritas keilmuan dibidang Al Qur'an saja, dan pendapat itu kebetulan bulat sifatnya (tidak ada perbedaan penafsiran). Sementara saya tidak memiliki otoritas keilmuan untuk menfasirkan sendiri QS. An Nisa [4] : 24.

30

KIO Kajian Islam Otentik


Perbedaan pendapat terjadi adalah kemudian, yaitu Gol.Suni berpendapat bahwa QS. An Nisa [4]: 24 sudah di naskh (dibatalkan) dengan ayat2 Al Qur'an lainnya, atau oleh Hadist Nabi SAW. Sedangkan Gol.Syiah berpendapat QS. An Nisa [24]: 24 tetap berlaku sampai Hari Kiamat dan tidak ada ayat Al Qur'an lainnya yang me-naskh-kannya, sedangkan Hadist Nabi SAW tidak bisa membatalkan ayat Al Qur'an. Salam 28. Herry Hernawan - 25-02-06 Bung Han. Dengan demikian terpenuhilah janji saya kepada rekan-rekan milis lainnya. (yaitu mengirimkan Copy Fatwa MUI tentang Nikah Mutah-red.) Terima kasih buanyaaakk..... Salam, 29. Gunawan S - 25-02-06 Bung Herry, Saya mikir-mikir dengan akan diundangkannya UU Pornografi dan Pornoaksi nantinya Fatwa MUI tentang Nikah Mut'ah perlu ditinjau kembali dan dicabut. Mengapa? Karena ada 'kebutuhan' (istilah ini di Malaysia katanya berkonotasi seksual) yang tidak tersalurkan melalui saluran yang diperbolehkan oleh negara dan agama sehingga diperlukan adanya suatu 'safety valve' yang legal dan halal. Kalau tidak, nantinya akan merebak kasus-kasus perkosaan terhadap perempuan baik-baik. Bagaimana pendapat anda? 30. Herry Hernawan - 25-02-06 Ha..Ha.Ha.... Saya hanya menyampaikan suatu informasi publik saja, tapi saya kurang mendalami masalah Kawin Mut'ah dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Mungkin ada yang bisa menanggapi permasalahan yang disampaikan Mas Gun? Kalau di negara kita dikenal RSIB (Rumah Sakit Ibu dan Anak). Di Malaysia namanya Rumah Sakit Korban Lelaki (istilah ini mencerminkan kejadian yang sesungguhnya, dalam hal hamil karena diperkosa). Salam, 31. Muchyar Yara - 26-02-06 Masalah Nikah Mut'ah telah panjang lebar di diskusikan di millis ini, termasuk mengenai Fatwa MUI. Pembahasan ulang topik ini hanya diperlukan bagi orang2 yang mengalami kesulitan memahami sesuatu pembahasan yang sudah jelas. Bagi yang tidak sempat mengikuti jalannya diskusi tentang Nikah Mut'ah bersama ini saya lampirkan Rekaman Diskusi Nikah Mut'ah pada Attachment. Salam 32. Herry Hernawan - 26-02-06

31

KIO Kajian Islam Otentik


Ada satu masalah yang belum sempat dibahas dalam diskusi yang lalu, yaitu tentang kedudukan Fatwa MUI tentang Nikah Mutah dalam sistim hukum positif kita. Apakah para penegak hukum terikat dan wajib melaksanakan isi Fatwa MUI tersebut? Hal ini berkaitan dengan diktum kedua dari fatwa MUI tersebut. Untuk jelasnya diktum KEDUA Fatwa MUI tersebut sbb : 2. Pelaku nikah mut'ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diktum kedua ini berkaitan dengan diktum pertama yang meyatakan bahwa nikah mut'ah hukumnya adalah haram. Diktum kedua ini juga berdasarkan point ke 3 dari "Mengingat" Fawta MUI tersebut sbb : 3. Nikah mut'ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah/negara Republik Indonesia (antara lain UU Perkawinan Nomor 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam). Padahal, peraturan perundanganundangan itu wajib ditaati dan mengikat ummat Islam, sebagai perwujudan dari ketaatan kepada Pemerintah (ulil amri), berdasarkan antara lain : a. Firman Allah : "Hai orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu (QS.; An Nissa: 59). b. Kaidah Fiqhiyah : Keputusan Pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat.

Dengan tetap menghargai pendapat teman-teman lainnya, untuk masalah ini,saya mengharapkan adanya tanggapan dari Rekan Dr. Rudy Satryo (angkatan 79, Pakar Hukum Pidana FHUI). Apakah ada teman teman 79 bisa membantu ini? Untuk mengkontak Rudy dan meminta emailnya dan kesediaannya untuk dimuat dalam milis ini (dengan bantuan Pak Moderator, Bung Adang). Terimakasih. 33. Muchyar Yara - 26-02-06 Kalau masalah kedududukan Fatwa MUI dalam Hukum Positif, itu bukan saja menyangkut Fatwa tentang Nikah Mutah, tetapi seluruh fatwa MUI, kenapa hanya Fatwa Nikah Mutah yang ditanyakan kedudukannya dalam Hukum Positif. Kalau karena ada Diktum Ketiga yang berbunyi : "Nikah mut'ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah/negara Republik Indonesia (antara lain UU Perkawinan Nomor 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam)". Kemudian dipertanyakan, maka perlu terlebih dahulu pertanyakan pengetahuan hukum yang mempertanyakannya. Karena yang bisa menyatakan Nikah Mutah itu bertentangan dengan hukum dan perat.per-uu-an (UU.Perkawinan) bukannya MUI (dengan Diktum Ke-3 Fatwa Nikah Mutahnya), tetapi yang bisa menyatakan adalah Pengadilan Mas, !!!

32

KIO Kajian Islam Otentik


Kalo soal begini aja dipertanyakan, itu mah buang2 waktu. Oh iya sebagai info aja bagi yang anti nikah mutah, bahwa Nikah Mutah telah dimasukan kedalam Draft Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu bentuk perkawinan menurut Agama Islam (berdasarkan QS. An Nisaa (4): 24). Draft Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam kemudian ditunda pengajuannya, tetapi sebab penundaannya bukan karena masalah Nikah Mutah, melain karena masalah lain yang belum disepakati oleh para Ulama. Kalau ingin tahu lebih banyak tentang Nikah Mutah dalam Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam, silahkan saja hubungi langsung para anggota perumusnya. Wasalam 34. Rizal Sofyan Gucci - 28-02-06 Her, suwun kalo rekan gue di Forkaphi (RudiS) belum nongol, gue mau ikut urunan, tapi bukan dari segi hukum pidana, tapi dari segi hukum perdata. Hukum perdata lebih tua dan dulu lahir dari hukum pidana. Kebebasan para pihak berkontrak menjadi pilar utama. Tapi kemudian banyak penyalahgunaan, menyalahgunakan posisi dominan. Makanya MUI sebagai otoritas yang kompeten mengaturnya atau membatasinya atau mengharamkannya dengan motif umbar sexual tanpa pertanggung jawaban bila lahir anak. Oleh karena itu Nikah Mut'ah secara terbatas (ingat Draft RUU dwi kwn, sec. terbatas, yang kedua duanya menyangkut masalah kesetiaan), gua setuju. Kaitannya dengan Fatwa MUI itu tidak salah. Kata kata "harus dihadapkan ke pengadilan" tidak perlu jadi momok, karena Pengadilan akan menguji, mengarahkan, mengukuhkan atau membatalkan, tergantung niat para pihak dan apakah menyalahkan posisi dominan dan beriktikad baik. Alasan pendapat gua setuju nikah mut'ah terbatas adalah sepanjang dilakukan secara orang setara, lulusan SD ama yang SD, buta huruf ama buta hurus, kaya ama kaya, Sarjana ama Sarjana, yang kerja sebagai manager ama yang manager. Kita lihat di pengadilan ada uang mut'ah untuk bekas istri yang baru diceraikan untuk beli rumah atau mobil. Pertimbangan lain kalau urusan privat atau perdata ini sampai ke pengadilan, siapa takut, sekarang kan banyak advokat atau orang orang sudah cakap bertindak, mana tahu pengadilan beri ijin kawin kedua atau mengukuhkan kawin mutah tersebut menjadi perjanjian untuk waktu tidak tertentu sesudah memeriksa kasus tersebut dengan seksama. Ini aspek liberal, karena menurut gua, Islam cukup liberal dalam hukum keluarga. Untuk kawin tidak perlu pemerintah (ulil amri?) ikut, yang penting orang tua perempuan mengucapkan ijab kabul untuk anak perempuannya dan dua saksi beres. Yang terpenting jangan lupa yang dituntut adalah pertanggung jawaban terhadap Tuhan dan sesama manusia atau partner baru.

33

KIO Kajian Islam Otentik


Contoh kongkrit : sebelum berdiri negara Indonesia ibuku kawin dengan ayahku dengan selembar surat nikah yang ditanda tangani oleh kakekku yang menikahkan anaknya (1943), gara gara takut "dipersunting" orang Jepang. Selembar kertas ini dengan huruf arab melayu dan formulir ini dapat dibeli di toko buku. Alangkah liberalnya! Kejadian ini maju 50 tahun kedepan dari Eropa. Eropa baru sejak tahun 1990 menjual di toko buku model atau standar form perjanjian untuk hidup bersama tanpa ikut campur negara. Singapura baru tahun 1995 merupakan wacana standar form dari tipe kontrak itu. Artinya apa, selama orang bertanggung jawab dan tidak menyalahgunakan posisi dominan, pernikahan menurut Islam hanya hukum perdata dimana sang ayah bersaksi didepan Allah untuk menikahkan anak perempuannya. Barulah kalau posisinya tidak seimbang, satu kaya dan satu miskin, satu tua dan satu muda atau untuk keperluan dokumen ke luar negeri atau nginap dihotel maka perlu ikut campur negara (Akta Nikah) untuk mengesahkannya untuk perlindungan pihak yang lemah, agar yang kuat tidak semena mena, tertama terhadap akibat akibat hukum dari perkawinan dan perceraian. Sebetulnya aku ingin scanner surat nikah ibuku itu, tapi scann ku ngadat dan aku belum minta ijin ibu untuk meneruskannya pada teman teman. Tentang ayat ayatnya aku masih belajar, belum bisa, karena aku harus belajar dulu ama Yari dan Luki. Sorri ya, buru buru nih dan kagak ilmiah, tapi teman teman bantu gue ya. Salam 35. Herry Hernawan - 28-02-06 Bersama ini saya sampaikan info tentang peradilan terhadap seorang pelaku mut'ah, Ali Hasan, yang untuk ringkasnya saya susun kembali berdasarkan berita dari Majalah Gatra 26 Mei 1996, halaman 96. Pada attachment terdapat photo Terdakwa dan JPU saat sidang. Selamat menikmati. Ali Hasan, penduduk Desa Beloran, Kecamatan Sidohardjo, Sragen telah diadili dengan tuduhan perbuatan cabul terhadap gadis dibawah umur. Perbuatan itu dilakukan dengan alasan kawin mut'ah, yang menurutnya dibenarkan ajaran Syi'ah. Terdakwa berusia 36 tahun, Sarjana Pendidikan alumni sebuah universitas di Solo, Guru SMP di Sragen Jawa Tengah. Di rumahnya setiap malam diselenggarakan pengajian, dengan sekitar 20 santri, sebelas diantaranya gadis berusia 15 tahun sampai dengan 18 tahun. Anehnya tiap malam Ali menyampaikan materi tentang nikah mut'ah. "Mut'ah bertujuan mmenghindari zina yang dilarang agama. Manusia tidak boleh berzina. Memandang saja sudah ternasuk zina. Untuk mengatasi itu, jalan keluarnya ya dengan kawin mut'ah. Dan itu diperbolehkan Islam", demikian ceramah Pak Guru. Ceramah Pak Guru mampu memikat tiga gadis yang bersedia dinikah mut'ah. Ia menikahkan dirinya sendiri dengan mahar Rp. 2.000,-. Setelah menikah, tiga

34

KIO Kajian Islam Otentik


remaja itu jarang pulang, Inilah yang kemudian mengundang kecurigaan para orang tua gadis-gadis itu. Mereka lapor ke polisi. Menurut terdakwa, apa yang dilakukannya sesuai dengan keyakinannya. "Mengapa meyakini ajaran agama diadili?", begitu pembelaannya. Jaksa Penuntut Umum, Saki Harsono menangkis pendapat itu, "Kami bukan mengadili keyakinan agama, Kami menuntut tindakan manusianya yang nyatanyata meresahkan masyarakat". Dipersidangan, saksi akhli Dalhari menyebutkan bahwa dalil terdakwa menyesatkan, "Kawin mut'ah menimbulkan keresahan dan hak-hak wanita tidak terlindungi.Kawin mut'ah bertentangan dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Ketua Majelis Hakim, Sutarko SH dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan terdakwa secara sah terbukti melakukan penodaan agama (Pasal 156a KUH), dan terbukti berbuat cabul dengan gadis dibawah umur yang selama ini menjadi anak didiknya. Pencabulan itu berkedok ajaran agama. Sebagai seorang pendidik dan guru mengaji, seharusnya ia bisa menjadi anutam. Tapi yang dilakukan justru sebaliknya, Itulah antara lain yang menjadi pemberat hukuman. Terdakwa akhirnya divonnis 3 tahun 6 bulan. Lebih berat dari tuntutan Jaksa yang 2 tahun. "Saya banding", ujar Terdakwa parau. 36. Muchyar Yara - 02-03-06 Salamun alaikum Langkah Bung Herry mengirimkan tulisan tentang Vonnis PN Sidoardjo tentang Pelaku Nikah Mutah, patut dihargai ala kadarnya. Dengan susah payah tentunya Bung Herry telah menyusun kembali berita dari Majalah Gatra terbitan 26 Mei 1996, tentang putusan PN Sidoardjo yang katanya Bung Herry tentang vonnis bersalah terhadap Pelaku Nikah Mutah, belum lagi jika diperhitungkan dengan jerih-payah mencari dan menemukan sumber tulisannya yang berasal dari 10 tahun yl. Sebelumnya juga dengan susah-payah dan bahkan sampai berupaya ber-ulang2 mengirimkan copy Fatwa MUI tentang Nikah Mutah. Pertanyaannya mengapa Bung Herry bersedia bersusah-payah mengirimkan tulisan2 tentang Nikah Mutah itu ke millis FHUI-70AN, sementara diskusi tentang topik itu sudah sejak lama usai ? Jawabannya sebetulnya mudah, yaitu nampaknya Bung Herry belum puas dengan jalannya ataupun hasilnya diskusi Nikah Mutah tersebut yang menunjukan kuatnya dalil ke-halalan Nikah Mutah menurut Islam, padahal didalam diskusi tersebut Bung Herry memposisikan diri sebagai pihak yang berpendapat Nikah Mutah itu haram dan negatif. Ketika kemudian menemukan data berupa berita di Majalah Gatra tahun 1996 tentang putusan PN Sidoardjo tersebut di atas, maka saya bayangkan, Bung Herry pun tergelitik untuk membuka kembali diskusi Nikah Mutah di millis ini dan sekaligus untuk mematahkan kesimpulan diskusi bahwa Nikah Mutah adalah

35

KIO Kajian Islam Otentik


halal, dengan menyodorkan bukti adanya vonnis PN Sidoardjo yang memutuskan bersalah bagi pelaku nikah mutah. Bukankah vonnis pengadilan adalah merupakan bukti yang tidak terbantahkan bagi rata2 anggota Millis FHUI-70AN yang berasal dari kalangan hukum ? Sehingga mungkin mungkin loh, setelah mengirimkan ringkasan berita Vonnis PN Sidoardjo tersebut, Bung Herry pun tersenyum puas sambil ber-bunga2 hatinya karena merasa telah berhasil menuntaskan diskusi nikah mutah dengan kesimpulan bahwa Nikah Mutah itu adalah haram menurut Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. He..he..he.. nampaknya Bung Herry ini belum kapok juga untuk berdikusi soal Nikah Mutah. Menurut saya malah sebaliknya, yaitu Vonnis PN Sidoardjo tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan dasar atau bukti tentang haram-nya Nihak Mutah, dengan alasan2 yang kita semua memahaminya sebagai warga komunitas hukum, yaitu : 1. Putusan PN Sidoardjo bukan putusan final yang dapat dijadikan sebagai dasar atau pembuktian atas keharaman Nikah Mutah. 2. Kalaupun sekiranya Putusan Kasasi (Final) nya sama dengan Putusan PN Sidoardjo, maka itupun tetap tidak dapat digunakan sebagai bukti keharaman Nikah Mutah. Karena terdapat kekaburan tentang dasar kesalahannya, yaitu antara perbuatan perzinahan (cabul) dan Nikah Mutah. Baik dalam tuntutan Jaksa maupun pertimbangan Hakim, dasar penghukuman adalah perbuatan yang meresahkan masyarakat karena menikahi anak gadis di bawah umur (15 tahun) dengan berkedok agama, sementara batas usia nikah bagi perempuan menurut UU No.1/1974 adalah 17 tahun. Pelanggaran batas kedewasaan pada nikah daim juga sama, yaitu perkawinannya dianggap tidak sah alias perzinahan. Hanya saksi ahli yang menyatakan Nikah Mutah adalah bertentangan dengan UU No.1/1974, tetapi tidak merinci ketentuan yang mana dari UU No.1/1974 itu yang bertentangan. Singkatnya vonnis bersalah PN Sidoardjo ini didasarkan pada perbuatan perzinahan yang meresahkan masyarakat dan bukan karena haramnya Nikah Mutah. 3. Peradilan Umum (PN, PT & MA) di Indonesia tidak berwenang memutuskan perkara berkaitan dengan halal atau haram nya suatu lembaga hukum menurut Hukum Islam (Nikah Mutah adalah lembaga hukum pernikahan menurut Hukum Islam), karena bukankah secara teoritis tetap terbuka kemungkinan hakim-hakim yang beragama non-Islam (di PN, PT & MA) bertindak sebagai pemutus perkara2 yang berkaitan dengan kelembagaan hukum Islam dan kasus berdimensi aqidah, fiqih & akhlaq agama Islam? Bukankah tidak ada peraturan yang menetapkan pengangkatan Ketua dan anggota Majelis Hakim untuk suatu perkara harus mempertimbangkan faktor agama masing2 ? Perkara2 yang bernuansa keagamaan Islam hanya dapat diadili oleh Peradilan Agama Islam (yang diakui keberadaannya menurut Hukum Positif Indonesia), itupun dengan batasan sepanjang lembaga-2 hukum Islam yang berkaitan dalam perkara tersebut telah menjadi bagian dari Hukum Positif Indonesia. Tidak semua lembaga hukum Islam menjadi bagian dari Hukum Positif Indonesia, karena jika semua lembaga hukum Islam menjadi Hukum Positif di Indonesia, maka berarti Indonesia ini merupakan sebuah Negara Islam.

36

KIO Kajian Islam Otentik


Singkatnya PN Sidoardjo tidak berwenang mengadili tentang halal atau haram nya Nikah Mutah. 4. Pada semua negara non-Islam yang mengakomodir sebagian lembaga2 hukum Islam (karena penduduknya ada yang beragama Islam) kedalam Hukum Positifnya, pastinya lembaga2 hukum Islam termaksud dipahami sejalan dengan pandangan fiqih dari mazhab fiqih yang dianut oleh penduduk Muslim setempat. Dan pandangan mazhab fiqih tersebut dari waktu kewaktu juga mengalami perubahan. Hal ini berlaku juga untuk Indonesia. Contoh tentang hal ini di Indonesia adalah berkaitan dengan lembaga hukum Pernikahan Campuran antara pria Islam dengan perempuan Ahli Kitab nonIslam sebagaimana tercantum pada QS. Al Maidah [5] : 5 yang berbunyi :
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orangorang merugi.

Sebelum berlakunya UU No.1/1974, nikah campuran ini dipahami bahwa kebolehan (kehalalan) nya dianggap sebagai pengecualian, artinya pada masyarakat yang jumlah perempuan Muslimnya sedikit, maka pria Muslim dibolehkan menikahi perempuan non-Muslim, tetapi pada masyarakat yang jumlah perempuan Muslimnya banyak (bahkan beberapa kali lipat dari jumlah pria Muslimnya) seperti di Indonesia, maka haram hukumnya bagi pria Muslim menikahi perempuan non-Muslim. Artinya jika terjadi pernikahan antara seorang pria Muslim dengan seorang perempuan non-Muslim, maka hubungan diantara keduanya merupakan hubungan perzinahan menurut aqidah & fiqih Islam, sekalipun pernikahan tersebut sah (halal) menurut Hukum Positif Indonesia. Paham ini bersumber dari pendapat/ ijtihad dari Prof.Dr.Mr. Hazairin. Selama berlakunya UU No.1/1974, pernikahan campuran ini dipahami sebagai sah/halal baik secara aqidah & fiqih Islam maupun menurut Hukum Positif Indonesia. Sejak keruntuhan Orde Baru dan kelahiran Orde Reformasi, pernikahan campuran dipahami sebagai sah/halal menurut aqidah & fiqih Islam tetapi tidak sah menurut Hukum Positif Indonesia, karena adanya peraturan yang melarang semua Kantor Pencacatan Sipil untuk menerima pencatatan nikah campuran ini. Dari contoh nikah campuran menurut Islam yang telah diakomodir kedalam Hukum Positif Indonesia di atas terlihat terjadinya beberapa kali perubahan pemahaman sejalan dengan pendapat/ijtihad fuqaha (ahli fiqih) dari mazhab yang dominan pada komunitas Islam di Indonesia. Sementara itu seperti diketahui

37

KIO Kajian Islam Otentik


bersama pendapat/ijtihad fuqaha fiqih merupakan ladang perbedaan pendapat (ikhtilaf) diantara para penganut mazhab yang berbeda. Dari penjelasan di atas kiranya cukup jelas bahwa Hukum Positif Indonesia (termasuk sistem peradilannya) tidak memiliki kompetensi untuk menyatakan status halal haram suatu lembaga hukum Islam yang berada diluar sistem Hukum Positif seperti halnya lembaga hukum Nikah Mutah. Sementara itu juga lembaga peradilan Islam didalam sistem Hukum Positif Indonesia tidak dapat dijadikan landasan secara aqidah tentang haramnya Nikah Mutah, karena pendapat Peradilan Islam di Indonesia semata-mata hanya merupakan manifestasi dari pandangan mazhab fiqih yang dianut di Indonesia, dimana justru pendapat2 dari mazhab2 ini merupakan sumber perbedaan dikalangan umat Islam. Semoga penjelasan singkat ini cukup untuk menyadarkan Bung Herry bahwa jerih-payahnya didalam memperjuangkan ke-haram-an Nikah Mutah hanya akan berujung pada kesia-siaan. Wassalam 37. Herry Hernawan - 02-03-06 Respek saya untuk tanggapan konco-konco : Bung Yari, Kak Uya dan Mas Agus. Saling berbagi informasi dan pendapat; berdiskusi dalam suasana dinamis dan akrab. Artikel "Pelaku Mut'ah Diadili", bermula dari sebuah dokumen di perpustakaan saya, berupa kumpulan hasil Seminar Nasional Tentang Syi'ah di Tahun 1997. Disitu disinggung tentang Majalah Gatra 25 Mei 1996 yang dalam rubrik Hukum memuat berita dengan judul "Kawin Mut'ah Model Ali : Seorang guru dihukum karena melakukan perkawinan mut'ah" ( Nama "Ali" disini mungkin maksudnya Ali Hasan, Si Terdakwa. Tapi sudah biasa kalau wartawan suka menyampaikan katakata atau kalimat yang mengandung tidak hanya satu arti). Selasa, 28 Februari 06 saya kontak seorang kawan. Tak lama kemudian guntingan artrikel Gatra sudah masuk di e-mail saya, dan sorenya saya susun kembali dan dimuat di milis ini. Tehnologi Informasi dan Komunikasi saat ini begitu cepat dan memudahkan. Terhadap tulisan ini, perkenankanlah saya menyampaikan tambahan sbb : Terdakwa Ali Hasan yang diadili di PN Sragen Jawa Tengah telah memiliki 3 anak. Ia melakukan mut'ah terhadap 3 gadis berusia 15 th - 18 tahun, dengan mahar Rp. 2.000,(NOTE : Seorang kawan setelah membaca artikel itu mengirimkan SMS ke saya sbb : "Pelaku nikah mut'ah ibaratnya berperkara hukum acaranya bener, materi perkaranya gak bener. Tapi u/ laki-laki yang doyan seks memang asik, udah nikmat, murah, gak merasa berzinah lagi. Gimana nggak menarik gitu buat ikut Syiah?").

38

KIO Kajian Islam Otentik


Ali Hasan dikenakan Pasal 156a Kitab UU Hukum Pidana, dengan pemberatan. Untuk jelasnya, saya kutip kembali dari artikel asli mengenai hal ini : ".. terdakwa secara sah terbukti melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP), dan terbukti berbuat cabul dengan gadis dibawah umur yang selama ini jadi anak didiknya. Pencabulan itu berkedok pada ajaran agama, Sebagai seorang pendidik dan guru mengaji, seharusnya ia bisa menjadi anutan, Tapi yang dilakukan justeru sebaliknya, Itulah antara lain yang menjadi pemberat hukuman". Pasal 156a KUHP berbunyi sbb : "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan yang Maha Esa (UU No. 1 Pnps Tahun 1965) Demikianlah, apabila ada tanggapan dari teman-teman, monggo. Salam,

Diskusi dengan Topik NIKAH MUTAH berakhir, karena tidak ada tanggapan lagi dari anggota Millis FHUI-70AN@yahoogroups.com

39

You might also like