You are on page 1of 9

Black.

bird/17032009

MENDISKUSIKAN MASA DEPAN DESA:


Catatan Refleksi Program-Program untuk Perdesaan

Eka Chandra

Disampaikan pada Diskusi tentang


‘Relasi Desa dan Negara serta Peran dan Posisi Strategis Desa’

Diselenggarakan oleh:
PERGERAKAN & PERKUMPULAN INISIATIF

16 April 2007

I. Pendahuluan

Tulisan ini disiapkan untuk dijadikan bahan diskusi peserta seminar yang akan meninjau tata
pemerintahan desa. Seminar tersebut membahas tema-tema di bidang politik, yaitu mengenai
pembentukan kelompok-kelompok politik, penentuan peran birokrasi dan partai politik di desa,
pemberian kewenangan yang luas kepada pemerintah desa, serta penambahan sumberdaya
keuangan bagi pengelolaan pemerintahan desa. Tema-tema itu akan dikaitkan dengan rencana
pengaturan desa melalui RUU pemerintahan desa, yang kabarnya akan selesai tahun 2007.

Berbeda dengan tema-tema di atas, saya diminta menyampaikan tema tentang ‘gerakan
kapitalisme dan neoliberalisme’ terhadap desa serta ‘nilai-nilai kolektivisme’ di perdesaan.
Keduanya menarik dibicarakan, tetapi pengertiannya sangat luas dan jika tidak berhasil
membatasinya kemungkinan akan membicarakan hal-hal yang sifatnya masih kabur . Dengan
begitu dari pada membahasnya, saya menawarkan tema lain, yaitu mengenai program-program
untuk desa beserta implikasinya. Program yang saya maksud di sini adalah kegiatan-kegiatan
yang sengaja ditujukan untuk desa, dalam bentuk perundang-undangan, peraturan, tindakan,
dan berbagai metode sosial lainnya dalam rangka membuka, menumbuhkan, atau membatasi
ruang gerak penduduknya. Tema ini sengaja saya tawarkan untuk mengingatkan kita bahwa
perdesaan telah sering dan berulang-ulang bersentuhan dengan kerja-kerja orang di luar desa
dalam kurun waktu yang panjang.

Pembahasan difokuskan kepada empat jenis program. Pertama adalah program modernisasi
dan birokratisasi pemerintahan desa. Kedua, program peningkatan hasil produksi melalui

Page 1

1
Black.bird/17032009

penggalian dan pemanfaatan secara luas sumberdaya-sumberdaya alam, penerapan teknologi


baru, dan sarana perdagangan. Ketiga, program-program etik, yaitu upaya-upaya pegurangan
beban dan tekanan ekonomi bagi penduduk desa. Keempat, program-program rintisan
demokratisasi, pemberian jaminan kebebasan memilih, dan perluasan akses terhadap sumber-
sumber penghidupan. Membicarakan keempat jenis program ini tentu saja memerlukan
pembahasan yang panjang dan luas. Tanpa bermaksud mempersempit ruang lingkup
pembahasannya, tulisan ini hanya akan membahas ciri-ciri utamanya dan mengambil beberapa
kasus yang tersedia sebagai ilustrasi.

Tesis utama saya adalah bahwa desa dan penduduk desa terus menerus dibentuk,
didefinisikan, diukur, diperebutkan, dihadirkan dalam cara yang beragam, dikendalikan dan
diatur dalam rangka menjalankan program-program politik dan ekonomi yang khusus. Program
seperti itu melibatkan berbagai aktor dan kewenangan, yang memiliki tujuan-tujuan pasti, tapi
bisa berubah, dan hasilnya relatif tidak bisa diperkirakan. Bersamaan dengan proses
pembentukannya, desa dan penduduk desa dipantau perubahannya; seperti perubahan
tataguna lahan dan pencemaran dari sisi ilmu lingkungan, pergeseran gaya hidup dari sisi
sosiologi dan antropologi, pergeseran mata pencaharian dari sisi ilmu ekonomi, dll. Desa dan
penduduk desa terus menerus diukur; jumlah populasinya, pendidikan, gizi, kesehatan, dan
tentunya pendapatan, daya beli, bahkan ada yang mengukur ‘nilai tukar petani’, dll. Dengan
memahami bahwa desa berada pada posisi ‘objek’ dan sekaligus ‘subjek’ dari program-program
politik dan ekonomi, tinjauan terhadap RUU diharapkan menemukan konteks tujuan yang lebih
relevan. Saat ini, setiap program yang ditujukan untuk daerah pedesaan akan berurusan
dengan penghidupan seluruh atau sebagaian dari 116 juta penduduk yang tercatat sebagai
warga dari 62.806 wilayah administrasi desa, dan penghidupan seluruh atau sebagian dari k.l
90 juta penduduk yang tinggal di perkotaan.

Sedemikan banyaknya jumlah orang yang akan terkena dampak program, maka isu yang saya
tawarkan dibahas kemudian adalah apa saja yang perlu dipertanyakan berkaitan dengan
keberadaan desa sekarang. Apa alternatif program yang dibutuhkan dan mungkin dilakukan
untuk desa di masa yang akan datang? Apa peran yang tepat dan dapat diambil oleh negara,
organisasi kemasyarakatan, dan perusahaan swasta ? Jawaban atas tiga pertanyaan itulah
yang menurut saya penting dihadapkan dengan rencana undang-undang pemerintahan desa.
Itulah inti dari tulisan ini.

II. Modernisasi dan Birokratisasi Pemerintahan Desa

Aspek pertama yang menunjukan bahwa desa telah berhubungan berulang-ulang dengan kerja
orang dari luar desa adalah program modernisasi dan birokratisasi pemerintahan desa.
Program penataan pemerintahan desa telah dimulai sejak pertengahan abad 18. Proyek yang
pertama dilakukan oleh pemerintahan Belanda dalam rangka mengintegrasikan sistem
pemerintahan desa asli dengan sistem pemerintahan kolonial yang dibangun Belanda saat itu.

Page 2

2
Proyek mengintegrasikan sistem pemerintahan asli ke dalam suatu pemerintahan modern terus
berlanjut sampai tahun 1965. Ciri utama proyek-proyek semacam ini adalah dimasukkannya
aturan-aturan pemerintahan desa ke dalam peraturan yang lebih tinggi, bahkan pada era paska
kemerdekaan, dimasukkan ke dalam konstitusi negara modern (dilaporkan bahwa ini pun
dilakukan secara hati-hati, terutama berkenaan dengan sistem-sistem pemerintahan asli yang
telah ada baik sebelum kemerdekaan atau pun jauh sebelum masa kolonial). Setelah tahun
1965, upaya mengatur desa melalui peraturan yang lebih tinggi terus berlanjut. Tetapi ada satu
hal yang berbeda dari sebelumnya, yaitu munculnya pertimbangan-pertimbangan praktis yang
mengabaikan sistem-sistem pemerintahan asli, sekaligus memasukan pemerintahan desa ke
dalam birokrasi pemerintahan negara.

Sejak akhir abad 19, konseptualisasi dan pendefinisian desa-desa di Indonesia terus dilakukan,
baik secara hati-hati maupun pragmatis. Pembentukan desa dalam konteks pengaturan
pertama kali dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1854 melalui Regenings
Reglements (RR) pasal 71 dan melalui Indische Staatregening (IS) tahun 1925. Kemudian
diperbaharui melalui Inlandsche Gementee Ordonantie (IGO) pada tahun 1906, lalu diatur
menurut kondisi tertentu melalui Inlandsche Gementee Ordonantie Buitengewester (IGOB) pada
tahun 1938, dilanjutkan oleh penerbitan Desa Ordonantie (DO) yang tidak sempat
diimplementasikan pada tahun 1941, Osamu Serei (OS) pada masa kolonial Jepang di tahun
1944. Di jaman kemerdekaan, desa dan pemerintahannya kembali dibentuk dan diatur melalui
UU no.19 / 1965 yang kemudian dihapuskan karena tidak sesuai dengan UUD 1945. Bentuk
pengaturan yang dipandang membawa implikasi besar terhadap kehidupan orang desa
dilakukan melalui UU No.5 1979 pada masa Orde Baru. Jangka waktu pemberlakukan,
intensitas, dan ruang lingkup pengaturannya masih terasa hingga saat ini meski telah diralat
melalui UU no 21/1999 tentang pemerintahan daerah dan perbaikannya melalui UU no 32/2004.
Apa yang ingin saya kemukakan adalah bahwa desa telah dibentuk, diidentifikasi, didefinisikan,
dan ditata hampir sepanjang 150 tahun terakhir menurut asumsi dan tujuan-tujuan penguasa
politik di berbagai tingkatan.

Pendefinisian desa berada diantara pengakuan terhadap sistem asli dan pembentukan desa
baru. Sebagaimana yang banyak ditampilkan dalam tulisan-tulisan yang membahas sejarah
pembentukan konstitusi Indonesia modern, pandangan terhadap desa beragam, dan bahkan
pandangan mengenai keberagaman pun seolah-olah menjadi bagian dari proses negoasiasi
proyek-proyek pembentukan desa. Perundang-undangan dan peraturan tentang desa yang
terbit sejak tahun 1854 sampai dengan UU No6/1965 dipandang sebagai proyek-proyek politik
yang mengakui tata pemerintahan ‘asli’ di desa dan mengakui otonominya dalam memelihara,
mengembangkan, dan menerapkan aturan-aturan setempat. Pengakuan terhadap tata
pemerintahan ‘asli’ bergeser sejak diberlakukannya UU no5/1979. Undang-undang ini berupaya
merajut desa dalam satu kesatuan hukum. Pada awalnya upaya unifikasi hukum ini dihadapkan
pada fakta-fakta sosiologis dan antropologis mengenai masyarakat desa, terutama mengenai
definisi satuan sosial, cakupan dan batas-batas teritorialnya. Hal itu terjadi terutama di wilayah-
wilayah di luar Jawa dan Madura. Kepentingan praktis dan administratif pembangunanlah yang

Page 3

3
memungkinkan desa-desa dibentuk dan didefinisikan menurut kriteria demografi, administrasi,
birokrasi dan teritorial.

Pendefinisian dan pembentukan desa ada dalam konteks pembentukan negara dan birokrasi
modern. Hal yang mengelitik dari cerita tentang produk perundang-undangan dan peraturan
tentang desa dari waktu ke waktu adalah adanya kemungkinan hubungan antara ciri
pendefinisiannya (apakah yang didasari oleh anggapan dan pengakuan adanya ‘desa asli’
maupun pembentukan desa baru) dengan pembentukan negara modern, serta diterimanya
secara luas anggapan mengenai tugas dan kewenangan negara dalam hal pengendalian,
kemajuan, serta kesejahteraan. Hubungan tersebut dapat dimengerti jika diletakan dalam
konteks pengaturan akses terhadap sumberdaya ekonomi dan kekuasaan terkait dengan batas
kewenangan negara. Sejumlah karya etnografi dan sosiologi yang menyoroti desa sepanjang
masa pemberlakuan UU No5/1979 telah memberi pelajaran bahwa negara punya kemampuan
luar biasa dalam membentuk dan mendefinisikan desa (terutama desa-desa Jawa), mengatur
hampir seluruh aspek kehidupan penduduknya, memberi sejumlah kemajuan, meminggirkan
sebagian penduduknya, dan turut menciptakan beragam organisasi kemasyarakatan.

Mendefinisikan kembali desa merupakan hal yang niscaya dan mungkin dilakukan.
Pengetahuan bahwa keberadaan desa saat ini adalah produk dari negosiasi dan kerangka pikir
modern tentang populasi, hukum tata negara, dan administrasi birokrasi, dan bukan sesuatu
yang alamiah terjadi, membuka peluang bagi upaya pendefinisian kembali. Tetapi kita tidak bisa
berpura-pura bahwa hal itu mudah dilakukan. Upaya pendefinisian tunggal atas daerah-daerah
yang berbeda, sebagaimana yang dilakukan melalui UU no 5/79, tidak hanya berpotensi
menghasilkan bentuk penyeragaman lain, tetapi juga sebagaimana yang terjadi di masa lalu,
perwujudannya di tingkat yang lebih praktis adalah hasil serangkaian penafsiran terhadap
sejumlah peraturan oleh para pejabat di sepanjang rantai birokrasi. Pemindahan penduduk
yang tinggal di seputar hutan HGU di Lampung, serta pembentukan desa yang ternyata hanya
merujuk pada sekumpulan pemukiman saja, adalah contoh penafsiran definisi yang tidak cocok
dengan situasi lapangan.

Pendefinisian tunggal yang terpusat membuka peluang penafsiran dan respon yang tak
terduga. Penyesuaian-penyesuaian peraturan perundang-undangan tentang desa pada tingkat
peraturan yang lebih rendah terjadi pula pada Undang-Undang No 21/1999 dan No 32/2004.
Kedua undang-undang yang terakhir ini memang tidak secara rinci mengatur pemerintahan
desa sebagaimana UU no5/1979. Tetapi asumsi-asumsi yang dilandasi oleh kerangka pikir
birokrasi masih dapat dikenali dengan memposisikan desa sebagai subordinasi kecamatan.
Pengalaman penerapan perundang-undangan Otonomi Daerah di tingkat desa memperlihatkan
pula bahwa Peraturan Daerah tentang pemerintahan desa tidak betul-betul disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah, tetapi masih melanjutkan kebiasaan-kebisaan yang sudah
dipraktikan selama dua puluh tahun terakhir. Sebagai contoh, tiga tahun lalu diberitakan di Jawa
Tengah terdapat sejumlah desa yang tidak memiliki kepala desa karena tidak ada seorang pun
penduduk yang mau menjadi kepala desa. Sementara di beberapa propinsi terdapat

Page 4

4
penggelembungan desa akibat praktik pemekaran yang dilakukan semata-mata didasarkan
kepada kerangka pikir populasi dan pelayanan birokrasi pemerintah (dan kemudian diterima
sebagai syarat pelayanan – rasio jumlah aparat dan penduduk).

Persentuhan orang desa dengan kerja orang luar desa melalui modernisasi dan birokratisasi
pemerintahan adalah satu hal, implikasinya adalah hal lain. Akibat-akibat modernisasi tata
pemerintahan baik terhadap organisasi pemerintahannya maupun terhadap aspek lainnya telah
banyak dilaporkan. Disini akan disampaikan dua saja, yaitu 1) menguatnya proses teritorialisasi
desa yang dilakukan oleh penguasa politik yang berpusat di Jawa yang direspon secara
beragam oleh penguasa-penguasa politik setempat. Upaya penciptaan batas-batas wilayah
berdasarkan pengakuan hak-hak atas sumberdaya yang terdapat di dalam wilayah tersebut
oleh anggota dari kesatuan-kesatuan sosial yang mendiaminya agak sedikit diabaikan Proses
teritorialisasi desa pada tiga dekade terakhir dicirikan oleh kuatnya pengaruh politik
pemerintahan pusat terhadap daerah-daerah. Secara sengaja atau tidak, masyarakat desa dan
pedalaman yang terdapat di luar Jawa dan Madura dipandang menurut kerangka evolusi yang
perlu disokong kemajuannya. Implikasi lainnya dari moderinisasi tata pemerintahan adalah 2)
munculnya bentuk-bentuk pengendalian yang melahirkan perantara-perantara di bidang
ekonomi dan politik yang berasal dari kalangan pemimpin-pemimpin lokal yang cenderung
menjadi klien pejabat-pejabat yang lebih tinggi dan pendantang baru.

Dalam kaitannya dengan tinjauan terhadap RUU pemerintahan desa, menimbang bobot
manfaat sentralisasi dan desentralisasi pendefinisian desa tentu dibutuhkan. Pengalaman
pembentukan dan pendefinisian desa serta implikasinya sebagaimana disampaikan di atas
pada akhirnya sampai pada pertanyaan tentang apakah pengaturan desa mensyaratkan
perundang-undangan khusus atau tidak, dan apakah memadai jika tata pemerintahan desa
diatur dan diserahkan kepada mekanisme pemerintahan di daerah. Definisi desa, batasan
ruang lingkup, dan cakupan kewenangannya yang nanti tercantum di dalam RUU, sebenarnya
tidaklah terlalu penting, kecuali kenyataan bahwa jika RUU tersebut disetujui dan diterbitkan,
maka pemberian kewenangan dan otonomi kepada pemerintahan daerah menjadi tidak
bermakna.

III. Memodernkan Kegiatan Produksi, Komersialisasi dan Pemanfatan SDA

Aspek kedua yang menunjukkan pergaulan orang desa dengan kerja orang di luar desa adalah
adanya perdagangan komoditi, modernisasi kegiatan produksi dan pemanfaatan SDA.
Modernisasi dan birokrasi pemerintahan desa berjalan seiringan dengan agenda peningkatan
cara-cara berproduksi dan pemanfaatan beragam sumberdaya alam yang tersedia di desa.
Upaya memodernkan cara produksi dan pemanfaatan sumberdaya alam (terutama agraria)
memiliki umur yang sama dengan modernisasi tata pemerintahan desa. Progra-program jenis
ini mudah dikenali, yaitu mulai dari pembukaan perkebunan berskala besar jenis-jenis komoditi
bahan baku industri seperti karet, kina, kopi, tembakau, teh, dll di masa pemerintahan kolonial,

Page 5

5
sampai proyek ‘revolusi hijau’ yang meningkat intensitasnya pada dekade awal pemerintahan
Orde Baru (yang mencanangkan pertanian sebagai fondasi industrialisasi), pembukaan
perkebunan baru untuk komoditi bahan baku industri seperti program perkebunan kelapa sawit,
serta pemanfaatan hasil hutan di Jawa maupun di luar Jawa.

Persentuhan orang desa dengan kerja orang-orang di luar desa setidaknya dimulai dengan
pembukaan perkebunan oleh orang-orang Belanda. Persentuhan antara pekebunan dengan
orang-orang desa bahkan mendorong pembentukan kaum tani sebagaimana yang diperlihatkan
oleh Ruiter (2002) mengenai petani Batak Karo pemiliki perkebunan karet. Komoditi-komoditi
pangan dan perdagangan yang selama ini dilihat sebagai komoditi asli hasil produksi pedesaan
pun pada kenyataannya adalah hasil dari persentuhan orang desa dan kerja orang luar desa.
Penelitian Boomgaard (2002) mengenai tanaman jagung dan tembakau memperlihatkan bahwa
orang desa masa lalu telah melakukan kegiatan perdagangan dengan orang-orang di luar desa
sejak tahun 1600, dan perkembangannya hingga sekarang lebih bersifat spontan daripada
diatur oleh regulasi pemerintah. Hal yang menarik dari kedua kajian tersebut adalah bukti
bahwa interkasi orang desa dan orang dari luar desa dipicu dan berada di dalam lalu lintas
barang yang melintas batas negara.

Persentuhan orang desa dengan cara-cara produksi modern dan teknologi terjadi pada masa-
masa intensifikasi pertanian padi sejak tahun 70-an. Tinjauan-tinjauan terhadap program
revolusi hijau yang diprakarsai pemerintah ini telah memperlihatkan bagaimana kontak-kontak
orang desa dengan orang luar desa difasilitasi melalui kebijakan dan program-program
pemerintah. Berbeda dengan pembentukan petani karet di Sumatera dan ekspansi Jagung
serta Tembakau, kegiatan-kegiatan penyuluhan dan pembentukan kelompok-kelompok tani
sepanjang era pembangunan terencana lima tahun harus dimengerti sebagai sesuatu yang
baru, yang diperkenalkan dan dibentuk dengan sifat yang jauh dari spontan. Proses ini terjadi
pula pada lingkungan pedesaan dataran tinggi dan lingkungan hutan melalui program
intensifikasi perkebunan. Ben White (2002) misalnya memperlihatkan bahwa program-program
intensifikasi perkebunan untuk komoditi-komoditi perdagangan dan bahan baku industri
dibarengi oleh pengenalan secara resmi (dan muncul spontan) bentuk-bentuk organisasi baru
dalam produksi, pengolahan, dan pemasaran. Sebagian besar muncul dalam bentuk keterkaitan
petani kecil dengan pengusaha besar melalui hubungan kontrak (inti-plasma).

Implikasi persentuhan orang desa dengan kerja orang luar desa melalui moderniasasi kegiatan
produksi, komersialisasi, dan pemanfaatan SDA dilaporkan bervariasi. Tema penting ini tidak
akan dibahas panjang lebar dalam tulisan ini mengingat pembahasannya akan jauh lebih luas
dan mensyaratkan tinjauan yang hati-hati. Tetapi untuk tujuan praktis diskusi, saya kira cukup
bagi kita mengetahui bahwa tinjauan terhadap program-program untuk desa tidak hanya melulu
secara sempit dibatasi hanya pada pembentukan tata pemerintahanya, tetapi diupayakan untuk
melihat kemungkinan hubungannya dengan tema-tema penghidupan.

Page 6

6
IV. Mengurangi Beban dan Tekanan Ekonomi

Upaya mengurangi beban dan tekanan ekonomi merupakan aspek lain yang membuktikan
bahwa keadaan orang desa terhubung dengan kerja-kerja orang di luar desa. Program-program
pengurangan beban dan tekanan ekonomi penduduk di pedesaan memiliki umur yang sama
tuanya dengan modernisasi tata pemerintahan dan cara-cara produksi. Upaya-upaya ini dapat
ditelusuri dari proram balas budi (politik etik) yang diprakarsai pemerintahan Belanda hingga
program Bantuan Langsung Tunai saat ini. Tema mengenai upaya-upaya mengurangi beban
dan tekanan ekonomi terlalu penting sehingga memerlukan pembahasan tersendiri, terutama
dalam hal memahami keterkaitannya dengan kedua jenis program yang dibahas sebelumnya.
Tetapi untuk keperluan diskusi saya kira penting didiskusikan bahwa selama ini pemerintah
desa dan unit-unit pemerintahannya memiliki peranan yang besar dalam menentukan
keberhasilan dan kegagalan program-program semacam ini .

V. Merintis, Memperluas, dan Memperdalam Demokratisasi

Rintisan demokratisasi di pedesaan bukan hal yang baru. Sifat konsep demokrasi yang arbitrer
yang memungkinkan terjadinya perbedaan di antara program yang satu dengan lainnya. Tetapi
ciri utama dari setiap rintisan demokrasi adalah adanya suatu program terpadu yang melibatkan
model-model tata pemerintahan, cara-cara berproduksi, cara-cara pengelolaan dan
pemanfaatan SDA, serta program-program sosial guna mengurangi beban dan tekanan
ekonomi yang dihadapi penduduk. Di awal tahun 60-an misalnya, program demokrasi terpimpin
membuat suatu rancangan penyederhanaan sistem kepartaian (yang dilakukan pula di awal
tahun 70-an oleh Orba), pembaharuan aparatur negara (atau dikenal dengan istilah retooling di
bidang politik), merancang suatu model desentralisasi dan penyertaan rakyat dalam
pemantauan pelaksanaan pembangunan, serta merancang penguasaan alat-alat produksi dan
distribusi yang sepenuhnya dikuasai negara. Lalu tahun 70 sampai 1998, program demokrasi
pancasila diterjemahkan dalam wujud penyeragaman tata pemerintahan desa, peningkatan
produksi pertanian melalui mekanisasi dan penerapan teknologi baru (termasuk teknologi
pengairan), membuka peluang penyertaan dana dan organisasi swasta dalam mengelola SDA,
serta pelaksanaan program-program sosial dalam bentuk pembangunan sarana-sarana
pendidikan dan kesehatan di pelosok pedesaan (yang dikenal dengan program Inpres).

Pasca tahun 1998, rintisan demokrasi memiliki landasan yang tidak terlalu baru, tetapi ciri
pelaksanaannya berbeda dari sebelumnya. Gagasan desentralisasi barangkali hampir sama
tuanya dengan umur Indonesia. Tetapi peundang-undangan desentralisasi yang kemudian
diikuti pelaksanannya baru terjadi pada era ini, juga menyangkut perubahan pada tata cara
pemilihan umum, memberi kewenangan dan otonomi yang lebih luas pada pemerintahan
daerah, dan menyediakan landasan umum bagi pembentukan tata pemerintahan desa.

Page 7

7
Ciri lain demokratisasi pasca 1998 adalah meningkatnya keterlibatan organisasi
kemasyarakatan memprakarsai berbagai pembaharuan pelaksanaan tata pemerintahan serta
pelembagaan proses-proses pengambilan keputusan dari bawah. Lembaga-lembaga
musyawarah desa baik dalam rangka pemerintahan maupun dalam rangka perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan versi lama secara formal masih dipertahankan, tetapi juga
mengalami beberapa pembaharuan. Organisasi kemasyarakatan yang diprakarsai oleh
lembaga-lembaga swadaya masyarakakat mengawali pembentukan forum-forum musyawarah
warga di berbagai tingkat administrasi, dari desa hingga kabupaten/kota. Dalam rangka
mendorong partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan, ciri lain dari demokratisasi
pasca 1998 adalah terbukanya kemungkinan menggunakan cara-cara keterlibatan warga yang
non-prosedural (baik metode yang masih berada di bawah norma sosial maupun diluar itu),
yaitu melalui metode-metode pemantauan, pengawasan, pemberian sanksi sosial, dan
pemberian tekanan kepada pelaksana formal pemerintahan.

Proses demokratisasi lima tahun terakhir dapat dikatakan merupakan langkah awal pemberian
kebebasan bagai rakyat yang tidak berdaya dan tersisih. Sebagaimana pandangan Ina Slamet
(2005), bahwa demokratisasi yang demikian itu hendaknya mencakup 1) pembagian wewenang
dan kekuasaan secara lebih luas, 2) pemberian akses ke sarana produksi dan pemasaran
secara lebih luas, 3) pemberian akses yang layak ke perlindungan hukum, dan 4) pemberian
peluang yang sepadan untuk membela, mengembangkan, dan mengekspresikan identitas dan
harga dirinya. Poin pertama bisa dikatakan sudah berjalan (meskipun masih terus mengalami
perbaikan dalam pelakasanaannya), tetapi tiga poin berikutnya tampaknya masih perlu
dipikirkan lebih lanjut terutama dalam hal strategi dan cara-cara pelaksanaanya. Keberhasilan
membagi wewenang dan kekuasaan yang lebih luas kepada pemerintah daerah dan bahkan
kepada desa mestinya menjadi batu loncatan memperluas cakupan manfaat demokratisasi
yang nantinya dapat diukur dari a) akses rakyat terhadap sarana produksi dan pemasaran, b)
akses terhadap perlindungan hukum, serta c) dikuasainya kemampuan mengembangkan
identitas dan harga diri.

Perluasan manfaat demokratisasi setidaknya (secara konseptual saja) dapat dicapai dengan
memberi perhatian lebih pada: penataan hak kepemilikan sumberdaya (property right),
penyediaan infrastruktur sosial dan fisik (pendidikan, kesehatan, jalan raya, dll), pembagian
pendapatan, dan regulasi kegiatan ekonomi (baik yang mendorong peningkatan kegiatan
maupun yang menghambat). Pemerintah, dengan kewenangan administrasinya, dan organisasi
kemasyarakatan yang menguasai kekuatan-kekuatan sosial, dapat berperan di dalam
mempercepat penciptaan keempat aspek tadi.

Setidaknya dalam tujuh tahun terakhir ini telah banyak contoh inisiatif pemerintah dan
organisasi kemasyarakatan dalam mendorong penciptaan pilihan-pilihan penghidupan (melalui
penguatan akses terhadap sumberdaya, penciptaan inovasi produksi dan peluang kerja, dan
efisiensi di dalam transaksi), penguatan pengambilan keputusan (mendorong sarana-sarana
pengambilan keputusan tandingan, mengangkat keluhan-keluhan), dan penguatan hubungan-

Page 8

8
hubungan pertukaran (efisiensi perijinan, transaksi dan upah yang adil, peningkatan posisi
tawar usaha kecil, penguatan pendidikan dan kesehatan), yang sedikit banyak memberi
sumbangan kepada perbaikan kesejahteraan di desa.

VI. Catatan Penutup

Dari aspek pengelolaan, ciri yang paling menonjol dari program-program yang dilaksanakan
antara tahun 1970 s/d 1998 adalah kuatnya peran pemerintah pusat dalam memprakarsai dan
mengelola program. Ciri ini bergeser pada program-program setelahnya s/d 2006, pemerintah
daerah dan organisasi-organisasi kemasyarakatan non-pemerintah memiliki ruang untuk
menggagas dan mengelola program-programnya sendiri. Sementara itu dari aspek arah dan
tujuannya, ciri-ciri program masa lalu lebih menekankan kepada pencapaian kemajuan-
kemajuan di bidang ekonomi yang diukur secara nasional (agregat), sedangkan masa
setelahnya memberi perhatian kepada kemajuan-kemajuan di bidang politik, pemerintahan,h
dan di bidang sosial (human develoment).

Tinjauan ini jauh dari mendalam, namun mudah-mudahan dapat membantu peserta diskusi
dalam mengenali ciri-ciri yang menghambat dan mendorong rintisan dan perluasan
demokratisasi di pedesaan di dalam RUU pemerintahan desa. Pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat umum tetap penting diajukan, seperti; Apa saja yang perlu dipertanyakan berkaitan
dengan keberadaan desa sekarang? Apa alternatif program yang dibutuhkan dan mungkin
dilakukan untuk desa di masa yang akan datang? Apa peran yang tepat dan dapat diambil oleh
negara, organisasi kemasyarakatan, dan perusahaan swasta ? Jawaban atas pertanyaan
tersebut kemugkinan dapat membuahkan hasil yang menarik jika dihadap-hadapkan dengan
rencana undang-undang pemerintahan desa, setidaknya untuk menangkap semangat yang ada
dibalik RUU tersebut.

Selain itu tentunya, memeriksa kandungan kebijakan yang mengatur pembentukan kelompok-
kelompok politik (peran organisasi kemasyarakatan), peran dan tugas birokrasi, keberadaan
dan ruang lingkup kegiatan partai politik, cakupan dan kedalaman kewenangan, serta alokasi
dan pengerahan sumberdaya keuangan. Lebih jauh dari itu, untuk melihat kemampuan
ekspansi program rintisan demokratisasi, perlu dipertanyakan sejauh mana dan bagaimana
inisiatif-inisiatif politik pemerintah (misalnya RUU pemerintah desa, kebijakan dan progam-
program penanggulangan kemiskinan, dll) mampu membuka peluang individu, rumah tangga,
kelompok-kelompok, dan organisasi kemasyarakatan di desa untuk mendapatkan beragam
pilihan penghidupan serta mampu memilih dan memutuskan prioritas yang memberikan
manfaat lebih besar.

Kembali saya sampaikan bahwa saat ini setiap program yang ditujukan untuk daerah pedesaan
akan berurusan dengan penghidupan seluruh atau sebagaian dari 116 juta penduduk yang
tercatat sebagai warga dari 62.806 wilayah administrasi desa, dan penghidupan seluruh atau
sebagian dari k.l 90 juta penduduk yang tinggal di perkotaan.

Page 9

You might also like