You are on page 1of 29

MAKALAH BIOFARMASETIKA

DENGAN PELEPASAN DIMODIFIKASI MENGANDUNG FUROSEMID SEBAGAI MODEL ZAT AKTIF MENGGUNAKAN SISTEM MUKOADHESIF PENGEMBANGAN SEDIAAN

DISUSUN OLEH : 1. DESY RATNASARI 2. SHANTY PAWANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2013

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN................................................................................1 1.1.Lata Belakang Masalah..........................................................................1 1.2.Rumusan Masalah..................................................................................1 1.3.Tujuan.....................................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3 2.1 Biofarmasetika 2.2 Definisi mukoadhesif............................................................................................. 2.3 Struktur dan Kandungan Mukosa......................................................................... 2.4 Mekanisme Kerja Polimer Mukoadhesif .............................................................. 2.5 Karakteristik Polimer Mukoadhesif..................................................................... 2.6 Keuntungan Polimer Mukoadhesif........................................................................... 2.7 Klasifikasi Polimer Mukoadhesif ............................................................................ 2.8 Polimer Mukoadhesif........................................................................................... 2.8.1 Polimer Alam.........................................................................................12 2.8.2 Polimer Semisintetik..............................................................................17 2.8.3 Polimer Hidrogel....................................................................................21 2.8.4 Polimer Hidrofilik..................................................................................30

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem penghantaran obat pada dekade belakangan ini telah sampai pada penggunaan teknologi mukoadhesif. Beberapa keunggulan mukoadhesif ketika diaplikasikan kepada sistem penghantaran obat antara lain, dapat meningkatkan kepatuhan pasien mengkonsumsi obat karena bentuk sediannya dapat diterima dengan baik oleh pasien, meningkatkan efikasi obat, mengurangi efek samping, jarak pemberian dosis lebih panjang, maka kebutuhan tidur penderita tidak terganggu dan tentu saja berimbas pada pencapian kualitas hidup pasien yang lebih baik. Berbagai macam polimer mukoadhesif dapat ditemukan di alam, dibuat semi sintetik, maupun sintetik. Uji daya lekat mukoadhesif dari beberapa polimer eksipien sangat penting dalam pengembangan sediaan lepas lambat oral dengan sistem mukoadhesif untuk meningkatkan ketersediaan hayati obat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diberbagai bidang, khususnya farmasi telah menghasilkan perubahan yang signifikan dalam teknologi sediaan farmasi, khususnya obat-obatan. Berbagai bentuk dan sistem penghantaran obat telah banyak dikembangkan untuk menggantikan bentuk dan sistem penghantaran obat yang konvensional. Sistem penghantaran obat dikatakan ideal jika dapat diberikan dengan satu kali pemberian untuk seluruh periode pengobatan, menghasilkan kadar obat dalam darah yang relatif konstan selama periode waktu tertentu untuk mendapatkan efek obat yang optimal dan menghantarkan obat langsung ke sasaran. Sistem penghantaran obat dengan pelepasan yang dimodifikasi (modified release drug delivery system) merupakan sistem penghantaran obat yang mendekati ideal. Namun, obat yang diberikan secara oral, memiliki keterbatasan dalam hal lamanya obat (residence time) berada dalam saluran pencernaan, khususnya pada daerahdaerah terjadinya absorbsi. Sistem penghantaran obat mukoadhesif yang menghasilkan bentuk sediaan berinteraksi lebih lama dengan mukosa yang terdapat dalam lambung dan usus, merupakan salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu tinggal obat dalam lambung. Dengan sistem ini, obat akan ditahan untuk waktu yang lebih lama dalam saluran pencernaan, sehingga diharapkan proses absorpsinya menjadi lebih optimal. Selain itu dengan adanya lokalisasi obat pada suatu daerah absorbsi, akan menyebabkan proses absorbsi obat menjadi lebih efektif. Selain waktu tinggal obat dalam saluran pencernaan, sifat kelarutan dan permeabilitas obat juga merupakan factor yang mempengaruhi proses absorbsi. Dalam sistem klasifikasi biofarmasetika (BCS), obat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang tinggi, obat yang memiliki kelarutan rendah tetapi permeabilitas nya tinggi, obat yang memiliki kelarutan yang tinggi tetapi permeabilitasnya rendah dan obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang rendah. Obat yang memiliki kelarutan yang rendah tetapi permeabilitasnya tinggi, proses absorbsinya ditentukan oleh tahap disolusi (rate limiting step). Untuk meningkatkan proses absorbsinya, kecepatan disolusi obat perlu ditingkatkan. Furosemid merupakan salah satu obat yang memiliki sifat praktis tidak larut dalam air. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kecepatan disolusi adalah sistem dispersi padat. Pada penelitian ini akan dibuat sistem penghantaran obat furosemid dengan pelepasan yang

dimodifikasi menggunakan sistem mukoadhesif dengan polimer carbopol 934 P, dimana sebelumnya furosemid dibentuk menjadi dispersi padat menggunakan polivinil pirolidon. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu : a) Apa yang dimaksud dengan mukoadhesif? b) Bagaimana mekanisme pembentukan mukoadhesifl? c) Apa saja eksipien yang digunakan yang bersifat mukoadhesif? d) Bagaimana contoh formulasi mukoadhesif? 1.3 Tujuan Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai polimer mukoadhesif yang dapat digunakan sebagai eksipien dalam sediaan farmasi serta sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi pada mata kuliah Eksipien Farmasetika.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biofarmasetika Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diberbagai bidang, khususnya farmasi telah menghasilkan perubahan yang signifikan dalam teknologi sediaan farmasi, khususnya obat-obatan. Berbagai bentuk dan sistem penghantaran obat telah banyak dikembangkan untuk menggantikan bentuk dan sistem penghantaran obat yang konvensional (Sutriyo, 2008). Sistem penghantaran obat dikatakan ideal jika dapat diberikan dengan satu kali pemberian untuk seluruh periode pengobatan, menghasilkan kadar obat dalam darah yang relatif konstan selama periode waktu tertentu untuk mendapatkan efek obat yang optimal dan menghantarkan obat langsung ke sasaran. Sistem penghantaran obat dengan pelepasan yang dimodifikasi (modified release drug delivery system) merupakan sistem penghantaran obat yang mendekati ideal. Namun, obat yang diberikan secara oral, memiliki keterbatasan dalam hal lamanya obat (residence time) berada dalam saluran pencernaan, khususnya pada daerahdaerah terjadinya absorbsi. Sistem penghantaran obat mukoadhesif yang menghasilkan bentuk sediaan berinteraksi lebih lama dengan mukosa yang terdapat dalam lambung dan usus, merupakan salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu tinggal obat dalam lambung. Dengan sistem ini, obat akan ditahan untuk waktu yang lebih lama dalam saluran pencernaan, sehingga diharapkan proses absorpsinya menjadi lebih optimal. Selain itu dengan adanya lokalisasi obat pada suatu daerah absorbsi, akan menyebabkan proses absorbsi obat menjadi lebih efektif. Selain waktu tinggal obat dalam saluran pencernaan, sifat kelarutan dan permeabilitas obat juga merupakan factor yang mempengaruhi proses absorbsi (Sutriyo, 2008). Dalam sistem klasifikasi biofarmasetika (BCS), obat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang tinggi, obat yang memiliki kelarutan rendah tetapi permeabilitasnya tinggi, obat yang memiliki kelarutan yang tinggi tetapi permeabilitasnya rendah dan obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang rendah. Obat yang memiliki kelarutan yang rendah tetapi permeabilitasnya tinggi, proses absorbsinya ditentukan oleh tahap disolusi/rate limiting step (Sutriyo, 2008). Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan

pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi. Hal Ini berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan bioavailabilitas obat dari suatu sediaan. Sistem klasifikasi biofarmasetik (biopharmaceutical Classification System, BCS) mengelompokkan obat dalam kelompok yang didasarkan pada: kelarutan, permeabilitas dan kecepatan disolusi in vitro. Klasifikasi sistem ini dapat digunakan untuk menjustifikasi persyaratan-persyaratan penelitian in vitro (sediaan) obat yang melarut secara cepat, mengandung bahan aktif yang sangat larut dan sangat permeable. Sistem klasifikasi biofarmasetik diperkenalkan melalui sebuah metode untuk mengidentifikasi situasi yang mungkin mengikuti uji disolusi in vitro yang digunakan untuk memastikan bioekivalensi dalam ketidakhadiran studi bioekivalensi klinik secara nyata. Pada dasarnya pendekatan secara teori menyatakan, kelarutan dan permeabilitas intestinal diidentifikasi sebagai karakteristik pengobatan utama yang mengontrol absorpsi. Dalam klasifikasi biofarmasetik tersebut telah membagi beberapa senyawa menjadi empat kelas berdasarkan permeabilitas dan kelarutan. Sistem klasifikasi ini berguna dalam memprediksi efek transporter penghabisan dan serapan pada penyerapan lisan maupun di tingkat postabsorption sistemik setelah pemberian dosis oral dan intravena.

Tabel 1. Klasifikasi Sistem Biofarmasetik Kelas Kelaruta n 1 Tinggi Permeabilit as Baik Korelasi pada in vivo dan in vitro jika laju disolusi adalah rendah dari pada laju pengendapan pada lambung, jika tidak maka hal tersebut terbatas/tidak ada korelasi. 2 Rendah Baik Korelasi pada in vivo dan in vitro diharapkan apabila secara in vitro laju disolusi serupa dengan laju disolusi pada in vivo, kecuali jika pada dosis yang sangat tinggi. Korelasi Pada In Vivo dan In Vitro

Tinggi

Buruk

Penyerapan (permeabilitas) merupakan laju yang menetukan dan terbatas atau tidaknya korelasi pada in vivo dan in vitro dengan laju disolusi.

Rendah

Buruk

Terbatas atau tidak adanya korelasi pada in vivo dan in vitro yang diharapkan.

1. Kelas I - tinggi permeabilitas , tinggi kelarutan Pada kelas ini menunjukkan sejumlah daya serap yang tinggi dan sejumlah disolusi yang tinggi. Tingkat ini membatasi mekanisme laju pelepasan obat adalah pelarutan obat dan jika disolusi sangat pesat maka tingkat penyerapan pada lambung menjadi tingkat penentuaan langkahnya. Contoh: Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Mereka senyawa yang dapat diserap dengan baik dan tingkat penyerapan mereka biasanya ditandai dengan adanya ekskresi yang lebih tinggi.

2. Kelas II - permeabilitas tinggi, kelarutan rendah Pada kelas ini memiliki sejumlah daya serap yang tinggi tetapi sejumlah disolusi yang rendah. Dalam disolusi obat in vivo maka langkah rate limiting untuk penyerapannya, kecuali pada sejumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan untuk obat kelas II biasanya lebih lambat dan terjadi selama periode yang lebih lama. Korelasi antara in vitro-in vivo biasanya dikecualikan untuk kelas I dan kelas II obat-obatan, contoh: Glibenklamid Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedinpine. Bioavailabilitas produk tersebut dibatasi oleh tingkat solvasi mereka. Sebuah korelasi antara in vivo bioavailabilitas dan in vitro solvasi dapat ditemukan.

3. Kelas III - permeabilitas rendah, kelarutan tinggi Pada kelas ini permeabilitas adalah tingkat membatasi langkah untuk penyerapan obat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat absorpsi obat. Sejak terjadinya disolusi yang cepat, maka terjadi variasi berbeda yang disebabkan adanya perubahan

permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor dosis formulir. Pada kelas obat jenis ini memerlukan teknologi yang mengatasi keterbatasan fundamental dari permeabilitas absolut atau daerah. Peptida dan protein merupakan bagian

dari kelas III dan teknologi penanganan bahan-bahan tersebut mulai meningkat, contoh: Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Penyerapan dibatasi oleh laju permeasi tetapi obat ini terlarut sangat cepat. Jika formulasi tidak mengubah durasi waktu permeabilitas atau gastrointestinal, kemudian dapat menerapkan kriteria pada kelas I.

4. Kelas IV - permeabilitas rendah, kelarutan rendah Pada kelas ini menunjukkan banyak masalah untuk pemberian oral secara efektif. Untungnya, contoh ekstrim dari senyawa kelas IV adalah pengecualian, bukan aturan dan jarang dikembangkan dan mencapai pasar. Namun demikian sejumlah obat kelas IV memang ada. Pada obat kelas ini menyajikan sebuah tantangan besar bagi pengembangan sistem pengiriman obat dan rute pilihan untuk memberikan obat-obatan tersebut secara parenteral dengan formulasi yang mengandung peningkat kelarutan, contoh: Taxol, dan

hidroklorotiazid. Mereka senyawa memiliki bioavailabilitas rendah. Biasanya senyawa ini tidak diserap dengan baik selama berada di mukosa usus dan diharapkan adanya variabilitas yang tinggi. Dalam kinerja in vivo obat tergantung pada kelarutan dan permeabilitas. Oleh karena itu, adanya sistem klasifikasi biofarmasi diharapkan dapat menjadi alat pemandu untuk prediksi kinerja in vivo dari zat obat dan pengembangan sistem pengiriman obat yang sesuai dengan kinerja yang diharapkan. Pengetahuan tentang kelas biofarmasi dari bahan obat juga penting untuk suatu penelitian sehingga mengurangi biaya baik dari segi ekonomi dan waktu. Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kecepatan disolusi atau kelarutan dari suatu obat, diantaranya: 1. Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach) 2. Sintesis bentuk garam (Salt synthesis) 3. Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction) 4. Pembentukan komplek (Complexation) 5. Perubahan bentuk fisik (Change in physical form) 6. Dispersi padat (Solid dispersions) 7. Pengeringan semprot (Spray dryng) 8. Hot-melt extrusion

2.2

Definisi Mukoadhesif

Mukoadhesif berasal dari kata mukosa dan adhesi. Mukosa merupakan membran pada tubuh yang bersifat semipermeabel dan mengandung musin. Sedangkan adhesi berarti gaya molekuler pada area kontak antar elemen yang berbeda agar dapat berikatan satu sama lain. Jadi, mukoadhesif adalah sistem pelepasan obat dimana terjadi ikatan antara polimer alam atau sintetik dengan substrat biologi yaitu permukaan mukus. Sistem mukoadhesif dapat menghantarkan obat menuju site-spesific melalui ikatan antara polimer hidrofilik dengan bahan dalam formulasi suatu obat, dimana polimer tersebut dapat melekat pada permukaan biologis dalam waktu yang lama. Sistem penghantaran ini digunakan untuk memformulasikan sediaan lepas terkendali dengan tujuan memperpanjang waktu tinggal obat tersebut di saluran cerna dan mengatur kecepatan serta jumlah obat yang dilepas. 2.3 Struktur dan Kandungan Mukosa

Mukus merupakan sekret jernih dan kental serta melekat, membentuk lapisan tipis, berbentuk gel kontinyu yang menutupi dan beradhesi pada permukaan epitel mukosa. Mukus disintesis oleh sel goblet. Tebal mukus bervariasi antara 50-450 um. Didalam mukus terdapat musin yang mengandung glikoprotein dengan berat molekul yang memungkinkan untuk polimer dapat menempel dan mengalami penetrasi. Biasanya mukus terdiri dari air 95 %, glikoprotein dan lemak 0,5-5,0%, garam-garam mineral 1% dan protein bebas 0,5-1%. Namun, komposisi ini dapat berbeda pada setiap individu walau hanya dengan perbedaan konsentrasi yang kecil. Komponen utama mukus yang bertanggung jawab pada viskositas serta sifat adhesi dan kohesinya adalah glikoprotein, suatu protein berbobot molekul tinggi yang memiliki unit oligosakarida (rata-rata 8-10 residu monosakarida dari 5 jenis monosakarida, seperti L-fukosa, D-galaktosa, N-asetil-Dglukosamin, N-asetil-D-4 galaktosamin dan asam sialat. Unit-unit monosakarida tersebut terikat dalam rantai oligosakarida. Dengan adanya gugus-gugus tersebut membuat musin dapat berikatan dengan gugus fungsi yang ada pada polimer.

Gambar 2.1. Struktur Gula dalam Glikoprotein

2.4

Mekanisme Kerja Polimer Mukoadhesif

Prinsip penghantaran obat dengan sistem mukoadhesif adalah memperpanjang waktu tinggal obat pada organ tubuh yang mempunyai lapisan mukosa. Sistem mukoadhesif akan dapat meningkatkan kontak yang lebih baik antara sediaan dengan jaringan tempat terjadinya absorpsi sehingga konsentrasi obat terabsorpsi lebih banyak dan diharapkan akan terjadi aliran obat yang tinggi melalui jaringan tersebut. Adapun secara keseluruhan mekanisme kerja dari polimer mukoadhesif adalah sebagai berikut : 1. Terjadi kontak antara polimer dengan permukaan mukosa yang disebabkan karena adanya pembasahan yang baik ataupun karena swelling pada polimer. 2. Setelah berkontak, terjadi penetrasi dari rantai polimer kedalam permukaan jaringan atau interpenetrasi rantai polimer dan mukosa. 3. Terbentuklah ikatan kimia antara rantai polimer dengan molekul musin, yang mempertahankan pelekatan polimer ke mukosa.

Gambar 2.2. Dua Tahapan Mekanisme Bioadhesif A. Interaksi mukosa yang terjadi diantaranya adalah:

Ikatan ionik Terjadi apabila dua muatan ion yang berlawanan saling tarik menarik melalui interaksi elektrostatik membentuk ikatan yang kuat. Ikatan kovalen Terjadi peristiwa saling memberi dan menerima elektron pada pasangan elektron untuk memenuhi orbital keduanya. Jenis ikatan ini sangat kuat. Ikatan hidrogen Terjadi apabila atom hidrogen yang membawa muatan agak positif, terikat secara kovalen dengan atom elektronegatif, seperti oksigen, fluorine atau nitrogen. Ikatan Van der Walls Jenis ikatan yang paling lemah yang timbul karena adanya interaksi dipol-dipol dan dipol-menginduksi daya tarik dipol pada molekul polar dan gaya dispersi dari substansi nonpolar. B. Teori yang dapat menjelaskan mekanisme bioadhesi yaitu:

1. Mekanisme Kimia

a. Teori elektronik Adhesi terjadi sebagai akibat pembentukan electric double layer. Akibat adanya adanya gaya tarik-menarik elektrostatik antara polimer mukoadhesif (terutama yang bermuatan positif) dengan glikoprotein pada musin yang bermuatan negatif. b. Teori Adsorpsi Adhesi terjadi akibat pembentukan ikatan hidrogen dan gaya van der Waals antara polimer mukoadhesif dengan membran mukosa. 2. Mekanisme Fisika a. Teori Pembasahan Terjadi karena adanya kemampuan polimer mukoadhesif untuk menyebar secara spontan pada permukaan mukosa. Kontak antara polimer mukoadhesif dengan cairan tubuh menyebabkan polimer terbasahi sehingga dapat melekat pada membran mukosa yang lembab. b. Teori Interpenetrasi (Difusi) Terjadi interdifusi rantai polimer dengan musin yang dikendalikan oleh gradien konsentrasi dan dipengaruhi oleh panjang serta mobilitas rantai molekul. Seberapa jauh rantai polimer berpenetrasi tergantung pada koefisien difusi dan waktu kontak.

Gambar 2.3. Ilustrasi Mekanisme Mukoadhesif Menggunakan Teori Difusi

c. Teori Fraktur Teori fraktur menjelaskan mengenai kegagalan suatu sediaan untuk melekat pada lapisan mukus karena terjadi hidrasi yang berlebihan. Hidrasi berlebihan tersebut membentuk massa gel yang licin sehingga sulit melekat pada permukaan mukus. C. 1. Faktor yang mempengaruhi sistem penghantaran mukoadhesif: Polimer Mukoadhesif :

a. Bobot molekul Dengan meningkatnya bobot molekul polimer, terjadi peningkatan kekuatan mukoadhesif polimer. Polimer dengan berat molekul besar yang non hidrat membentuk

ikatan yang akan berinteraksi dengan substrat, sementara polimer dengan berat molekul rendah akan membentuk gel lemah yang mudah larut. b. Konsentrasi polimer mukoadhesif Secara umum, konsentrasi polimer dalam kisaran 1-2,5%. Untuk sediaan padat, semakin besar konsentrasi polimer maka semakin kuat sifat adhesinya. c. Fleksibilitas rantai polimer Rantai polimer yang fleksibel membantu penetrasi dan proses belitan rantai polimer dengan lapisan mukosa menjadi lebih baik sehingga meningkatkan kekuatan bioadhesif. Fleksibilitas dari rantai polimer umumnya dipengaruhi oleh reaksi tautan silang dan hidrasi polimer jaringan. Semakin banyak reaksi tautan silang, fleksibilitas dari rantai polimer berkurang. 2. a. pH pH medium berpengaruh dalam kemampuan mukoadhesif suatu polimer, contohnya pada kitosan. Pada pH yang netral atau basa, kitosan akan memiliki kemampuan mukoadhesif yang baik. b. Waktu kontak Dengan peningkatan waktu kontak, terjadi proses peningkatan hidrasi dari matriks polimer kemudian proses interpenetrasi dari rantai polimer. Lapisan fisiologis mukosa dapat bervariasi tergantung pada patogenesis-sifat fisiologis tubuh manusia. 3. Faktor Fisiologis Faktor Lingkungan :

a. Waktu penggantian musin (mucin turn over) Penggantian molekul musin secara alamiah dari lapisan mukus, penting untuk 2 hal. Pertama, penggantian musin diperkirakan akan membatasi waktu tinggal mukoadhesif pada lapisan mukus. Seberapa pun kekuatan mukoadhesif, mukoadhesif akan lepas dari permukaan karena penggantian musin. Kecepatan penggantian akan berbeda dengan keberadaan mukoadhesif. Kedua, penggantian musin akan melarutkan sejumlah molekul musin. Molekul ini berinteraksi dengan mukoadhesif sebelum terjadi interaksi dengan lapisan mukus. Penggantian musin tergantung pula pada faktor lain seperti keberadaan makanan. Kecepatan penggantian musin baik pada keadaan lambung kosong maupun penuh dapat membatasi waktu tinggal sediaan mukoadhesif karena jika mukus lepas dari membran, polimer bioadhesif tidak dapat menempel lebih lama. b. Penyakit tertentu Adanya penyakit yang dapat merubah sifat-sifat fisikokimia dari mukus. Perubahan struktural mukus pada kondisi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Jika mukoadhesif akan digunakan dalam keadaan sakit, maka sifat mukoadhesi harus terlebih dahulu dievaluasi pada kondisi yang sama. 2.5 Karakteristik Polimer Mukoadhesif

Beberapa karakteristik yang dipertimbangkan:

Polimer memiliki produk degradasi yang non-toksik dan tidak bersifat mengabsorbsi pada saluran mukosa. Tidak bersifat iritan pada membran mucus. Tidak memiliki ikatan kovalen yang kuat dengan permukaan sel epitel mucus. Dapat menghantarkan obat secara cepat menuju suatu jaringan dan harus bisa mengantarkan agen aktif obat pada site spesifiknya. Dapat bekerja bersama dengan obat dan tidak mengalami hidrasi yang berlebihan pada pelepasan obat. Polimer tidak mengalami dekomposisi pada penyimpanannya. Harga dari polimer terjangkau. Dapat bercampur dengan zat aktif namun tidak menghalangi pelepasan obat, dan memiliki kestabilan yang baik. Polimer mukoadhesif dapat bersifat biodegradabel maupun non-biodegradabel. Beberapa sifat fisikokimia polimer yang berpotensi memberikan sifat adhesif antara lain: 1. Memiliki berat molekul yang besar (>100000 Da), dibutuhkan untuk menghasilkan interpenetrasi dan pembelitan dengan rantai musin. 2. Berupa molekul hidrofilik yang mengandung sejumlah besar gugus fungsional sehingga dapat membentuk ikatan hidrogen dengan musin. 3. Polielektrolit anionik dengan densitas muatan hidroksil dan karboksil yang tinggi. 2.6 Keuntungan Polimer Mukoadhesif

Adapun keuntungan penggunaan polimer mukoadhesif adalah sebagai berikut : Dapat membuat obat dengan target spesifik, yaitu pada membran mukosa pada tubuh seperti pada lambung atau pada usus, sehingga dapat meningkatkan efektivitas obat. Memungkinkan untuk mempertahankan waktu tinggal obat seperti di dalam saluran cerna, yang akan memberikan respon klinik yang diperpanjang dan konsisten pada penderita. Waktu paruh obat menjadi lebih panjang sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien karena dapat menurunkan frekuensi pemberian obat kepada pasien. Kenyamanan penggunaan obat menjadi pada pasien menjadi lebih baik. 2.7 Klasifikasi Polimer Mukoadhesif

Polimer mukoadhesif berdasarkan sumbernya, digoolongkan menjadi 2: 1. Polimer sintetik Contohnya antara lain derivat selulosa (metilselulosa, etilselulosa), poli(asam akrilat), polietilenoksida, dan polivinil alkohol. 2. Polimer alami Contohnya antara lain tragakan, natrium alginat, guar gum, karaya gum, lektin, gelatin, dan pektin.

Sedangkan, berdasarkan mekanisme kerjanya, dapat digolongkan menjadi: 1. Polimer Hidrofilik Polimer larut air yang akan mengembang setelah mengalami kontak dengan air dan akan terdisolusi. Contohnya antara lain metil selulosa, hidroksietil selulosa, karbomer, kitosan, CMC Na, hidroksi propil metil selulosa, termasuk juga polivinil pirolidon. 2. Hidrogel Rantai polimer yang memiliki crosslink dan memiliki kemampuan mengembang yang terbatas di dalam air. Kemampuan ini tergantung pada gugus fungsional yang bersifat hidrofilik (hidroksil, amino, dan karboksil). Selain mengabsorbsi air, polimer ini juga memiliki kemampuan adhesi pada mucus yang melindungi epitel. Contohnya antara lain poli (asam akrilat), karagenan, natrium alginat, dan guar gum. 3. Polimer termoplastik Polimer ini meliputi non-erodible neutral polystyrene dan semi-crystalline bio-erodible. Contohnya antara lain polianhidrida, asam polilaktid, hidroksi propil metil selulosa, CMC Na.

2.8

Polimer Mukoadhesif 2.8.1 Polimer Alam

1. Kitosan

Gambar 3.1. Struktur Kimia Kitosan Nama Kimia

Poly-b-(1,4)-2-Amino-2-deoxy-D-glucose Sinonim

2-Amino-2-deoksi-(1,4)-b-D-gluKopiranan; Kitosani hidroklorida chitin deasetilasi; deasetilasi chitin; b-1,4-poly-D-glukosamin; poli-D-glukosamin; poli-(1,4-b-DgluKopiranosamin). Pemerian

Serbuk putih atau putih kekuningan, tidak berbau.

Berat Molekul

10 0001 000 000 Kelarutan

Sedikit larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol (95%) dan pelarut organik lainnya. pH

4,0 6,0 Fungsi Agen penyalut, disintegrant, film-forming agent, mukoadhesif, tablet binder; viscosity increasing agent. Konsentrasi 5-10 % Stabilitas Kitosan stabil pada suhu ruang, meskipun higroskopis setelah pengeringan. Penyimpanan kitosan dalam wadah yang tertutup rapat dalam tempat yang dingin dan kering

Kitosan inkompatibel dengan agen pengoksidasi kuat. ukoadhesif Kitosan memiliki gugus NH2, pada suasana asam terionisasi membentuk NH3+ dan berikatan dengan komponen mukosa yang bermuatan negatif. Ikatan hidrofobik terjadi antara gugus residu pada kitosan dengan gugus asetil pada asam sialat. Ikatan hidrogen terjadi antara gugus hidrogen pada chitosan dengan senyawa penyusun mukosa lainnya. Mekanisme mukoadhesi terjadi dalam dua tahap, dimana pada tahap pertama dikarakterisasi dengan adanya kontak antara kitosan dengan membran mukus, dengan penyebaran dan pengembangan (swelling) pada formulasi, menginisisasi dalamnya kontak dengan lapisan mukus. Pada tahap kosolidasi, kitosan diaktivasi oleh adanya kelembaban, dengan keadaan tersebut, menyebabkan terjadinya penempelan melalui ikatan hidrogen atau ikatan elestrostatik pada gugus yang dimiliki kitosan. 2. Pektin

Gambar 3.2. Rumus struktur Pektin Nama Kimia

Pektin Sinonim Metopektin, Metil Pektin, Metil Pektinat, Mexpektin, Pektina, Asam Pektinat. Pemerian Berupa bubuk atau serbuk, berwarna putih kekuningan, tidak berbau dan memiliki rasa mucilago. Berat Molekul 30 000100 000. Kelarutan Larut dalam air, tidak larut dalam etanol 95 % dan pelarut organik lainnya. pH 6,07,2 Fungsi Adsorben, emulsifying agent, gelling agent, hickening agent, mukoadhesif Agen penstabil. Pengunaan 0,5 5 % Stabilitas Pektin bersifat tidak reaktif dan stabil, simpan ditempat yang kering dan dingin. Mekanisme sebagai mukoadhesif

Pektin memiliki banyak gugus karboksilat yang dapat berikatan dengan gugus fungsi yang ada pada musin. Pektin mengalami pembasahan yang menyebabkan swelling sehingga pektin berkontak dengan rantai musin pada lapisan mukus. Kemudian gugus karboksil pada pektin akan berikatan dengan gugus fungsi yang ada pada musin dengan ikatan hidrogen sehingga

pektin menempel pada mukosa, adanya electrostatic repulsion yang terjadi antara pektin dan mukosa yang mempertahankan ikatan antara polimer pektin dan mukosa. 3. Gelatin

Gambar 3.3. Rumus Kimia Gelatin Nama Kimia

Gelatin Sinonim Glatina, Gelatin, Instagel, Kolatin, Solugel, Vitagel. Pemerian Berwarna kuning, praktis tidak berbau dan berasa, tersedia dalam translucent sheets, granul ataupun serbuk. Berat Molekul 20 000200 000 bergantung pada banyaknya amin yang terikat. Kelarutan Praktis tak larut dalam aseton, kloroform, etanol (95%), eter dan metanol. Larut dalam gliserin, asam dan basa, namun asam atau basa kuat dapat mengakibatkan presipitasi. Dalam air, gelatin mengembang dengan kemampuan sebanyak 5-10 kali air. Gelatin larut dalam air diatas suhu 40C membentuk larutan koloid, dan membentuk gel pada suhu 35-40C. Sistem gel-padat ini bersiat thiksotropik dan heat reversible (dapat kembali ke bentuk semula dengan pemanasan). pH 3,85,5 (type A) 5,07,5 (type B) Penggunaan Polimer mukoadhesif dengan konsentrasi 1-2% pada sistem penghantaran obat GIT, bukal, ocular dan vaginal. Fungsi

Agen penyalut, film-forming agent, gelly agen, suspending agen, tablet binder, mukoadhesif, viscosity-increasing agent. Stabilitas Gelatin kering stabil dalam udara. Gelatin cair juga stabil untuk waktu yang lama pada kondisi tempat penyimpanan yang dingin tapi akan terdegradasi oleh bakteri. Pada temperature dibawah 50oC, larutan gelatin akan depolimerisasi serta akan menurunkan kekuatan gel. Inkompabilitas

Gelatin merupakan material amfoterik yang akan bereaksi dengan asam dan basa. Gelatin juga merupakan protein dan memiliki karakteristik kimia seperti dapat terhidrolisis oleh enzim proteolitik akibat kandungan asam aminonya. Mekanisme sebagai mukoadhesif

Sifat anionik yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan mucin-tipe glikoprotein melalui interaksi karboksilhidroksil dan gugus amino. 2.8.2 Polimer Semisintetis

1. Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC)

Gambar 3.4. Struktur kimia hidroksipropil metil selulosa

Nama Kimia

Cellulose Hydroxypropil methyl ether Sinonim Methocel, Metilselulosa propilengikol eter, metil hidroksipropilselulosa, Metolose. Pemerian Berupa serbuk putih atau hampir putih, tidak berbau, tidak berasa. Berat Molekul 10000 1500000 Kelarutan Larut dalam air dingin, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95%) dan eter; namun larut dalam campuran etanol dan klorometana, campuran metanol dan diklorometana, dan campuran air dan alkohol. Larut dalam larutan aseton encer, campuran diklorometana dan propan-2-ol, dan pelarut organik lain pH 5, 0- 7,5 Fungsi Sebagai matriks bioadhesif, matriks penyalut, matriks sustained release, bahan pengemulsi, matriks mukoadhesif, bahan pensuspensi, matriks extended release, matriks dalam modifikasi pelepasan. . Penggunanaan 20-75% ( b/b) Stabilitas Serbuk hidroksi propil metil selulosa memiliki stabilitiasnya yang cukup baik akan tetapi higroskopis setelah dilakukan pengeringan. Sebagai larutan stabil pada pH 3-11.Serbuk sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup rapat dalam tempat yang sejuk dan kering. Inkompatibilitas Agen pengoksidasi, hidroksi propil metil selulosa tidak akan membentuk kompleks dengan garam logam atau molekul organik ionik menjadi bentuk yang tidak larut dan mengendap. Mekanisme sebagai mukoadhesif Hidroksi propil metil selulosa merupakan merupakan polimer semi sintetis yang bersifat hidrofilik dan biodegradable yang dapat terdegradasi oleh enzim selulose. Ketika terjadi kontak dengan air atau cairan GIT maka akan terjadi hidrasi dan peregangan rantai sehingga dapat membentuk lapisan gel kental. Pelepasan obat dapat terjadi melalui difusi dan atau erosi dari matriks. Campuran dari alkil hidroksi alkil selulosa eter yang terdiri dari gugus metoksi dan hidroksipropil. Maka, gugus hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidrofilik fungsional (karboksil atau hidroksil) pada polimer mukoadhesif sehingga menghalangi atau mencegah interaksi tegangan permukaan mukosa. Formasi ikatan hidrogen antara gugus hidrofilik polimer mukoadhesif dengan lapisan mukus dari permukaan mukosa merupakan faktor yang menentukan lamanya mukoadhesif yang terjadi.

2. Polivinil Pirolidon (PVP)

Gambar 3.5. Struktur Kimia Polivinilpriolidon Povidone merupakan polimer sintetik yang pada dasarnya terdiri atas kelompok linier 1-vinil-2-pyrrolidinone, derajat polimerisasi yang menghasilkan polimer dari berbagai berat molekul. Berbagai jenis Povidone ditandai dengan viskositas yang dinyatakan sebagai nilai K. PVP K-15 mempunyai derajat viskositas 13-19, PVP K-30 derajat vsikositas 27- 33, PVP K- 60 derajat viskositas 50 62, PVP K -90 derajat vsikositas nya 80-100. Dan PVP K-120 derajat vsikositasnya 108-130. Nama Kimia

1-Etenil-2-piroolidinone homopolimer Sinonim Kollidon; Plasdone; poly[1-(2-oxo-1-pyrrolidinyl)ethylene]; polyvidone; polyvinylpyrrolidone; povidonum; Povipharm; Polivinil; 1-vinyl-2-pyrrolidinone polymer, Povidone. Pemerian Berupa serbuk, berwarna putih kecokelatan, tidak berbau dan higroskopis. Rumus empiris dan berat Molekul (C6H9NO)n dengan berat molekul 25003 000 000. Kelarutan Sangat larut dalam asam, kloroform, etanol (95%), keton, methanol, dan air. Praktis tidak larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak mineral. pH 3,07,0 Fungsi Pembentuk film (lapisan), suspending agent, binder, agent mukoadhesif, agen pengompleks. Penggunaaan

Untuk sediaan mukoadhesif digunakan konsentrasi 3-10% Stabilitas

mengurangi kelarutan. Inkompabilitas Povidon inkompabilitas dengan garam anorganik, resin alam dan resin sintetis. Mekanisme sebagai mukoadhesif Povidon memiliki sifat hidrofilik dan mudah larut dalam air sehingga ia mampu menarik air disekitarnya. Semakin cepat dan semakin banyak jumlah air yang ditarik, semakin cepat pula matriksnya terbasahi sehingga membentuk gel akan cepat, kemudian adanya gugus hidrofilik melalui ikatan hidrogen sehingga akan melekat pada membran mukus.Tetapi kemampuan mukoadhesif dari Povidon kurang begitu baik, biasanya dikombinasikan dengan polimer lain. 2.8.3 Polimer Hidrogel

Hidrogel didefinisikan sebagai rantai polimer cross-linking 3 dimensi yang memiliki kemampuan menahan air dalam struktur berpori dari polimer tersebut. Kapasitas penjerapan air oleh hidrogel utamanya disebabkan oleh adanya gugus fungsional hidrofilik seperti hidroksil, amino dan gugus karboksilat. Secara umum, peningkatan densitas crosslinking menyebabkan penurunan sifat mukoadhesif karena mampu menurunkan kemampuan solubilitas dan swelling. Sifat swellable dari polimer ini dikarenakan adanya penyerapan air dan berinteraksi (adhesi) dengan mukus yang menutupi sel epitelia pada lambung. Polimer mukoadhesif hidrogel digunakan untuk memperbaiki bioavailabilitas obat-obat yang sukar larut air karena mampu meningkatkan waktu retensi dalam sistem penghantaran dalam saluran pencernaan. Contoh polimer ini: kopolimer asam poliakrilat-co-akrilamida, karagenan, Na alginat, guar gum, guar gum termodifikasi, dan lain-lain. Diantara semua polimer bioadhesif hidrogel, asam poliakrilat-co-akrilamida dipertimbangkan sebagai polimer mukoadhesif superior, tetapi suhu transisi yang tinggi dan energi bebas antarmuka yang tinggi dari polimer ini tidak membiarkan pembasahan pada permukaan mukosa dengan tahap optimal dan menyebabkan kehilangan interpenetrasi dan interdifusi dari polimer ini sehingga biasanya dikopolimerisasi dengan PEG atau PVP untuk memperbaiki sifat pembasahannya 1. Karagenan

Gambar 3.6. Struktur Kimia Karagenan

Karagenan dibagi menjadi tiga famili berdasarkan posisi gugus sulfat dan ada atau tidaknya anhidrogalaktosa. -karagenan merupakan polimer non-gel yang mengandung 35% ester sulfat namun tidak mengandung 3,6-anhidrigalaktosa. -karagenan merupakan polimer gel yang mengandung 32% ester sulfat dan 30% 3,6anhidrogalaktosa. -karagenan merupakan polimer gel yang sangat baik dan mengandung struktur khusus yang mengandung 25% ester sulfat dan 34% 3,6-anhidrogalaktosa. Stabilitas

Karagenan bersifat higroskopis sehingga harus disimpan dalam wadah yang tertutup rapat, sejuk, dan kering. Tidak stabil pada pH lebih dari 9. Inkompabilitas Karagenan membentuk kompleks dengan material kationik sehingga akan merusak sifat fisikokimia (kelarutan, perubahan pH). Karagenan berinteraksi dengan makromolekul lainnya (contoh : protein) sehingga akan menimbulkan beberapa efek seperti peningkatan viskositas, pembentukan gel, stabilisasi atau presipitasi. Konsentrasi penggunaan 1,5 % karagenan atau kemampuan sebagai polimer mukoadhesif dapat ditingkatkan dengan co-processed antara karagenan:gelatin dengan perbandingan 1:1 Mekanisme sebagai mukoadhesif Karagenan memiliki gugus hidroksil yang berperan penting dalam pembentukan ikatan hidrogen sehingga mempunyai sifat mukoadesif. Gugus hidrofil ini akan mengikat air sehingga air akan terjerap pada matriks. Penjerapan air ini dapat meningkatkan fleksibilitas pada rantai polimer dimana rantai polimer yang fleksibel dapat membantu dalam penetrasi dan pembelitan rantai polimer dengan lapisan mukosa sehingga meningkatkan sifat adhesi. Selain itu, gugus hidrofil juga berfungsi dalam membentuk ikatan hidrogen dengan jaringan biologis dalam hal ini jaringan epitel pada saluran pencernaan. Karagenan dapat digunakan dalam formulasi untuk sediaan oral, optalmik, dan bukal. Karagenan memiliki sifat mukoadhesi pada daerah orofaringeal. Selain itu karagenan juga dapat menempel pada membran vagina sehingga dapat digunakan dalam sediaan untuk vaginal. 2. Na Alginat

Gambar 3.7. Struktur Kimia Na Alginat Keterangan : M = D-asam mannosiluronat, dan G = L-asam guluronat Alginat berasal dari dinding sel algae coklat. Natrium alginat adalah garam natrium dari asam alginat dan merupakan campuran dari asam poliuronat yang tersusun dari residu Dmannuronat dan asam L-guluronat. Kelarutan Praktis tidak larut etanol (95%), eter, kloroform dan campuran etanol/air dengan komposisi etanol lebih dari 30%. Praktis tidak larut pelarut organic lainnya dan pelarut asam dengan pH kurang dari 3. Melarut perlahan dalam air membentuk larutan koloid kental. Dalam medium asam (lambung), natrium alginate secara cepat berubah menjadi asam alginate yang tak larut akibat protonasi H+, yang akan mengembang sesuai hidrasi Konsentrasi Penggunaan Polimer mukoadhesif dengan konsentrasi 1-2% pada sistem penghantaran obat GIT, bukal, okular dan vaginal. Stabilitas Natrium alginat memiliki sifat higroskopis yang stabil pada penyimpanan dalam wadah yang sejuk, tertutup rapat, dan kelembaban rendah. Na alginat stabil pada pH 4-10. Zat ini akan mengalami presipitasi pada pHdibawah 3. Larutan Na alginat tidak boleh disimpan dalam wadah logam. Inkompabilitas Dengan turunan akridin, fenilmerkuri asetat dan nitrat, garam kalsium, logam berat dan etanol konsentrasi > 5%. Konsentrasi kecil elektrolit dapat meningkatkan viskositas, sedangkan konsentrasi tinggi elektrolit (misalnya 4% NaCl) menyebabkan salting-out. Mekanisme sebagai mukoadhesif Digunakan sebagai hidrogel sediaan mukoadhesif pada konsentrasi 1-2% - Sifat ionik alginate Alginat merupakan polisakarida bermuatan negatif / anionik (polianion) yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan mucin-type glycoprotein melalui interaksi karboksil hidroxil. - Tegangan permukaan alginat yang rendah

Tegangan permukaan alginat (31.5 mN/m) lebih rendah dari tegangan permukaan mucin coated cornea (38 mN/m) sehingga dapat menyebar dan melekat dengan baik. - Cepat mengembang (swelling) Luas permukaan mucus yang kontak dengan polimer lebih luas sehingga membantu interaksi antar keduanya. Untuk membentuk matriks hidrogel yang baik, natrium alginat membutuhkan kation divalen (contoh yang sering digunakan Ca2+). Kation ini kemudian akan membentuk kompleks dengan alginat membentuk matriks hidrogel. Kation ini juga berfungsi dalam membentuk ikatan hidrogen dengan asam sialat sehingga matriks melekat pada permukaan jaringan epitel. Matriks antara Ca2+ dengan alginat akan menghasilkan matriks gel yang bersifat rigid (kaku) tetapi memiliki sifat mukoadhesif yang bagus.

Gambar 3.9. Kompleks antara Ca2+ dengan Alginat

3. Alginat-Thiol Thiomer (thiolated polymer) = generasi polimer kedua dalam bentuk modifikasi eksipien dengan penambahan gugus thiol pada bagian gugus karboksilat asam alginat. Alginat-thiol dibuat dengan mencampurkan perbandingan 1:2 alginat dan L-cysteine. Walaupun ikatan yang terbentuk adalah ikatan kovalen, namun mekanisme mucin-turnover (mekanisme pergantian musin) dapat membatasi lama dan kuatnya ikatan polimer pada mucus. Waktu mucin turnover pada manusia terjadi setiap 12-24 jam. Gugus sulfida pada L-cysteine akan terikat pada molekul glikoprotein berinteraksi satu sama lain membentuk matriks polimer crosslinked dan membentuk ikatan kovalen melalui jembatan disulfida antara polimer dengan mucin. Sehingga, thiolated polymer memiliki sifat mukoadhesif yang paling kuat diantara eksipien polimer lainnya. 4. Guar Gum

Gambar 3.13. Struktur Kimia Guar Gum Deskripsi: Merupakan polisakarida hidrokolid dengan BM tinggi yang mengandung galactan dan mannan yang terhubung melalui ikatan glikosida Kelarutan: Praktis tidak larut dalam pelarut organik. Dalam air dingin dan panas, guar gum terdispersi dan mengembang membentuk massa kental. Inkompatibilitas: Kompatibel dengan hidrokoloid dari tumbuhan seperti tragacanth. Tidak compatibel dengan aseton, etanol, tannin, asam dan basa kuat, serta dengan ion borat. Konsentrasi yang digunakan: 3 % Memiliki kemampuan swelling yang lumayan baik dan memiliki sifat mukoadhesif yang bagus Mekanisme polimer mukoadhesif: Guar gum memiliki gugus hidroksil pada strukturnya sehingga mampu menghasilkan iktan hidrogen antara guar gum dengan musin sehingga mampu menghasilkan efek mukoadhesif. Selain itu gugus hidroksil ini mampu menarik dan menjerap air dari medium sehingga menyebabkan rantai belitan antara polimer dengan musin sehingga menyebabkan terjadinya adhesi antara polimer dengan musin. 2.8.4 Polimer Hidrofilik

Polimer ini merupakan polimer larut air. Polimer polielektrolit memiliki sifat mukoadhesif yang lebih baik dibandingkan dengan polimer netral. Polimer polielektrolit anionik seperti asam poliakrilat dan CMC secara luas digunakan untuk sistem pelepasan dengan prinsip mukoadhesif karena memiliki kemampuan mengikat musin dengan ikatan hidrogen yang kuat pada lapisan mukosa. Polimer polielektrolit kationik contohnya berupa chitosan yang telah dikembangkan untuk polimer adhesif juga karena memiliki biokompatibilitas dan sifat biodegradabel yang baik. Chitosan akan mengalami interaksi elektrostatik dengan rantai musin yang bermuatan

negatif sehingga menunjukkan sifat mukoadhesif. Polimer non ionik seperti poloxamer, HPMC, Metil Selulosa, Polivinil Alkohol, PVP juga memiliki sifat sebagai polimer mukoadhesif. Sejumlah polisakarida dan turunannya seperti chitosan, metil selulosa, asam hyaluronat, HPMC, HPC, xanthan gum, gellan gum, guar gum, dan karagenan dapat digunakan dan diterapkan untuk sistem penghantaran mukoadhesif okular (daerah mata). Selulosa dan turunannya memiliki sifat permukaan aktif sehingga memiliki kapabilitas membentuk lapisan film. Turunan selulosa dengan energi permukaan yang lebih rendah secara umum digunakan sebagai sistem okular mukoadhesif karena mampu mengurangi iritasi pada mata. 1. CMC Na

Gambar 3.14. Struktur kimia CMC Na Rumus Molekul

Merupakan bentuk garam dari polikarboksimetil eter selulosa. pH pH ( larutan 1% w/v) 6.08.0 Kelarutan Praktis tak larut dalam aseton, etanol (95%), eter dan toluen. Mudah terdispersi dalam air pada semua temperature, membentuk larutan kolid jernih. Kelarutannya dalam air bervariasi bergantung derajat substitusinya (DS). Inkompatibilitas Dengan larutan asam pekat dan larutan garam besi dan logam - logam seperti alumunium, merkuri dan zink. CMC juga inkompatibel dengan xanthan gum. Presipitasi terjadi pada pH < 2 dan bila dicampur dengan ethanol (95%). CMC Na membentuk kompleks coacervates dengan gelatin dan pektin. CMC membentuk kompleks dengan kolagen dan dapat mengendap dengan beberapa protein bermuatan positif. Penggunaan Sebagai polimer mukoadhesif dengan konsentrasi 1% pada sistem penghantaran obat GIT, bukal, ocular dan vaginal. Mekanisme sebagai mukoadhesif

- Polimer anionik CMC merupakan polimer bermuatan negatif / anionik (polianion) yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan mucin-type glycoprotein melalui interaksi karboksilhidroksil. - Sifat mengembang (swelling) yang tinggi Luas permukaan polimer yang kontak dengan lapisan mukus meningkat sehingga membantu interaksi antara keduanya. 2. Carbomer Sinonim

Acrypol, Acritamer, Acrylic Acid Polymer, Carbomera, Carbopol, Carboxy polymethylene, polyacrylic acid, Carboxyvinyl polymer, Pemulen, Tego Carbomer. Karbomer merupakan polimer sintetik dengan BM tinggi dari asam akrilat yang di crosslink dengan alil sukrosa atau alil eter lainnya dari pentaerythriol. Karbomer mengandung sekitar 52%-68% asam karboksilat (COOH) yang dihitung terhadap sediaan kering. Berat molekulnya secara teoritis diperkirakan sekitar 7 x 105 hingga 4 x 109. Rumus Struktur b n

Gambar 3.15. Struktur kimia karbomer Polimer karbomer terbentuk dari pengulangan unit dari asam akrilat. Unit monomernya ditunjukkan dalam lingkaran merah di atas. Rantai polimer di crosslinked dengan alil sukrosa atau alil pentaeritriol. Penggunaan Bahan bioadhesif, matriks untuk kontrol sediaan lepas lambat, bahan pengemulsi, menjaga stabilitas emulsi, berperan dalam modifikasi rheologi, bahan penstabil, bahan pensuspensi, pengikat tablet Kelarutan Mengembang dalam air dan gliserin setelah dinetralisasi dengan etanol 95%. Karbomer tidak terlarut, namun dapat mengembang sehingga memperpanjang pelepasan. Pemerian Karbomer berupa serbuk yang berwarna putih, halus, bersifat asam, higroskopis dengan sedikit bau. Konsentrasi yang digunakan: 3 - 4 %

Inkompatibilitas

Karbomer berubah warna dengan resorsinol dan inkompatibel dengan fenol, kationik polimer, asam kuat, dan elektrolit konsentrasi tinggi. Adjuvant penggunaan antimikroba tertentu juga harus dihindari atau digunakan dengan konsentrasi rendah. Besi dan logam katalis transisi dapat menurunkan dispersi karbomer. Kompleks karbomer dengan beberapa guguas fungsional protein dapat dicegah dengan mengatur pH dispersi dan atau parameter kelarutan dengan menggunakan alkohol dan poliol yang sesuai. Bentuk kompleks karbomer dengan eksipien lain juga tergantung dari pH. Penyesuaian pH atau parameter kelarutan dapat dilakukan. Mekanisme mukoadhesif Carbomer merupakan polimer polianionik yang memiliki banyak gugus karboksil. Muatan anionik ini akan berinteraksi dengan musin membentuk suatu belitan antara polimer dengan musin dan mengembang dalam medium cair serta akibat adanya ikatan hidrogen yang berasal dari gugus karboksil dari carbomer sehingga menghasilkan sifat mukoadhesif. Bahan bioadesif yang mengandung gugus karboksilat seperti Carbopol dalam suasana asam akan menjadi bentuk tak terionisasi yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan asam sialat, rantai oligosakarida, atau pada protein dari mucin. Pada suasana netral atau sedikit basa bahan bioadesif akan terionisasi dan terjadi relaksasi belitan-belitan gugus karboksilat dalam jumlah besar yang disebabkan karena adanya gaya tolak menolak diantara muatan ion sejenis dari gugus karboksilat. Oleh karena itu pada suasana netral atau sedikit basa seperti di usus sebagian besar ikatan berlangsung melalui penetrasi atau interpenetrasi belitan-belitan tersebut pada permukaan mukus serta ikatan sambung silang antara belitan dengan mucin. Kekuatan mukoadhesif akan meningkat dengan meningkatnya jumlah polimer karena sejumlah polimer tersebut akan menghasilkan gugus fungsi yang terdisosiasi (COOH) yang akan terikat dengan asam sialat pada membran mukosa sehingga akan meningkatkan daya mukoadhesif polimer tersebut.

Daftar Pustaka Amidon, GL., Lennernas H, Shah VP, dan Crison JR. 1995. A Theoretical Basis For A Biopharmaceutic Drug Classification: The Correlation Of In Vitro Drug Product Dissolution And In Vivo Bioavailability. Pharm. Res. 12: 413-420, PMID 7617530. Isadiartuti, D. dan Suwaldi. 2005. Pembentukan kompleks inklusi fenobarbital dengan hidroksipropil--siklodekstrin. Majalah Farmasi Indonesia. 16 (1): 28 37. Senthil R. D., CT. Kumarappan, Michele Y. W. H., Gan C. B., Kuan Y. M. and Lee M. F. 2012. An Investigation on the Naproxen Solubility and Permeability Enhancement in Poly (Vinyl Alcohol) Gel for Topical Application. International Conference on Medical and Pharmaceutical Sciences (ICMPS'2012) June 16-17, 2012, Bangkok. Page 104-107. Sutriyo. 2008. Pengembangan Sediaan Dengan Pelepasan Dimodifikasi Mengandung Furosemid Sebagai Model Zat Aktif MenggunakanSistem Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. V, No. 1, April 2008, 01 08. Sweetman, S.C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th. London: Pharmaceutical Press. Hlm 92. Sweetman, S.C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th. London: Pharmaceutical Press. Hlm 2291.

You might also like