Professional Documents
Culture Documents
HYPERSENSITIVITY DIEASES
DISUSUN OLEH : Billy Anderson Sinaga 080600070 Diah P. Sari 080600080 Dwi ardiani sari 080600076 Merry 0806000 Astrid 9080600
HIPERSENSITIVITAS
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut. Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi. Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut: Reaksi Tipe I Reaksi Tipe II Reaksi Tipe III Reaksi Tipe IV
1. 2. 3. 4.
Tipe I
II
III
Mekanisme Imun Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE pelepasan amino vasoaktif dan mediator lain dari basofil dan sel mast rekrutmen sel radang lain Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan antigen terhadap Antigen pada permukaan sel fagositosis sel Jaringan target atau lisis sel target oleh komplemen Tertentu atau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel yang bergantung antibody Penyakit Kompleks antigen-antibodi Kompleks Imun mengaktifkan komplemen menarik perhatian nenutrofil pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain-
Anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris Reahsi Arthua, serum sickness, lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu
IV
lain Limfosit T tersensitisasi pelepasan sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T
Mediator Primer
Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
Mediator Sekunder
Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B 4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit. Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus. Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I Kerja Mediator Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF) Leukotrien B4 Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis Faktor pengaktivasi trombosit Vasoaktif (vasodilatasi, Histamin meningkatkan Faktor pengaktivasi trombosit permeabilitas vaskular) Leukotrien C4, D4, E4 Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.
Manifestasi Klinis : Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut: Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor. Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri. Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri. Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin). Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis. 2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.
3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor endplate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi lainnya.
Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria. Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang
dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya. Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN- oleh sel T dan sel NK yang poten. IFN- mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN- merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN- meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis. IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T penonton yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal. TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.
Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-) untuk membentuk suatu sel raksasa (giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan polanya disebut sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.
DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi mikroba yang menginvasi. Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ T H1 tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.