You are on page 1of 4

KEHIDUPAN ULAMA

[SURVAI BIOGRAFI (THABAQAT) ULAMA ABAD KLASIK DAN


PERTENGAHAN]

MAKALAH PADA MATA KULIAH


SEJARAH SOSIAL PENDIDIKAN ISLAM
OLEH : MAHFUZ BUDI
NIM :307250

DOSEN PEMBIMBING
PROF. DR. H. HASAN ASARI, MA

SEMESTER II
PROGRAM STUDI S-3/DOKTOR PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA-SARJANA IAIN SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
KEHIDUPAN ULAMA
[SURVAI BIOGRAFI (THABAQAT)
ULAMA ABAD KLASIK DAN PERTENGAHAN]
Profil tipikal ulama klasik mencakup aspek personal, keagamaan, intelektual, sosial,
politik, dll,
Ikhwan al Safa :
Ibnu Sahnun
Al Zarnuji

PENDAHULUAN

Sejarah Islam secara umum dibagi ke dalam tiga periode. Periode klasik dari

pertengahan abad ke-7 sampai 13 Masehi (M) atau Abad 1 sampai abad 7 Hijriyah (H),

tepatnya dari tahun 650 sampai 1250 M. Periode pertengahan dari abad 13 sampai 18 M

(Abad 7 sampai 12 H) atau 1250 sampai 1800 M, dan periode moderen dari abad 18 M

sampai sekarang.1 Historiografi Islam, dengan mengambil nama historiografi Arab dan

Persia, dalam periodisasi yang disusun Gibb, dibagi ke dalam empat periode. Periode

pertama antara abad 1 sampai 3 H, periode kedua dari abad 3 sampai 6 H, periode ketiga

antara abad 6 sampai 9 H, dan periode keempat antara abad 9 sampai 13 H.2

Berdasar pembagian di atas, maka kehidupan ulama yang dibahas dalam makalah

ini adalah kehidupan para ulama yang hidup antara abad pertama sampai abad 12 H;

sebuah rentang waktu yang cukup panjang dan karenanya menyulitkan dalam

menentukan ulama mana yang layak dimasukkan dalam pembahasan.

Batasan pertama yang dibuat tentu saja adalah dengan mengupayakan tidak

membahas lagi ulama-ulama yang diperkirakan terkait atau dibahas dalam topik makalah
1
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta : UI Press, 1984), h. 56-
88. Badri Yatim tidak mencantumkan sumber pengutipan dari periodesasi yang dibuatnya, meski jelas
sebagai muridnya Harun Nasution, kemungkinannya sangat kuat ia mengutip Harun. Lihat Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Oktober 2000), h. 6.
2
Hamilton AR Gibb, Studies on the Civilization of Islam, (Boston : Beacon Press, 1968), h. 108.
lain dalam seri perkuliahan Sejarah Sosial Pendidikan Islam, semisal para pendiri Bayt

al-Hikmah dan Madrasah Nizamiyah, atau Al-Farabi dan Al-Ghazali, misalnya.

Batasan kedua adalah bahwa ulama yang dibahas adalah ulama yang berkaitan

langsung dengan pendidikan Islam, apakah sebagai peletak dasar konsep-konsep tertentu

dalam pendidikan Islam, atau yang dikenal dengan profesinya sebagai pendidik.

Pembatasan inipun bukan tanpa kesulitan, karena mayoritas ulama pada zaman dulu

bukanlah ulama spesialis yang bisa dengan mudah diklasifikasikan sebagai ulama ilmu

pendidikan, misalnya. Seorang ulama yang mengajarkan ilmu fikih, apakah ia lebih

dominan sebagai pendidik atau fukaha? Karenanya batasan ini pun tidak dapat

diaplikasikan secara ketat karena pada dasarnya semua ulama pada periode yang dibahas

ini adalah ulama multidisipliner.

Batasan ketiga yang digunakan adalah membahas ulama-ulama yang memiliki

konsep-konsep tentang pendidikan Islam yang tertuang dalam bukunya dan buku

tersebut, atau minimal bahan-bahan bahasan yang termuat dalam buku tersebut dapat

diperoleh. Ini sebenarnya merupakan upaya simplifikasi yang kurang etis digunakan

sebagai kriteria atau batasan, tetapi pada saat ini, dimana keterbatasan waktu menjadi

kendala, cara tersebut dipandang paling memungkinkan. Sehingga biografi yang dimuat

pun dipilih secara acak saja dari bahan-bahan yang dapat diperoleh tersebut.

Al-Qabisi
'Ali ibn Muhammad al-Maghafiri al-Qabisi dimakamkan di Tunis 404/1014. Abū
al-Ṣaqr Abd al-Azīz ibn Uthmān ibn Alī al-Qabīṣī kelahiran Qabisa, Mosul, Iraq, pada
pertengahan abad 10 M.

Abu Hasan Ali ibn Muhammad ibn Khalaf al-Qabisi, lahir di Qayrawan, Maghribi, 324

H/936 M, dipilih karena salah satu karyanya tergolong penting dalam perkembangan

pendidikan Islam. Karya tersebut adalah Al-Risalah al-Mufassilah li Ahwal al-

Muta’allimin wa Ahkam al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin. Guru dan sumber inspirasi

dalam penulisan kitabnya adalah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Sahnun (202-256

H/813-867 M)3 dengan karyanya Risalat ‘Adab al-Mu’allimin. Karena kesamaan tema

dan pemikiran antara keduanya, membuat ‘Abd al-Amir Syams al-Din merangkum kedua

tulisan tersebut dalam Al-Fikr al-Tarbawi ‘ind Ibn Sahnun wa al-Qabisi.4

3
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, (Bandung, Citapustaka Media, 2006), h. 86-87.
4
Terbitan, Dar al-Kitab al-‘Alami, Beirut, 1990.

You might also like