You are on page 1of 8

HASIL KAJIAN KUESIONER KURIKULUM (secara gambaran kasar telah disampaikan dalam Diskusi Nasional DIES NATALIS PSMKGI

di Surabaya) Latar Belakang Profesi dokter gigi merupakan tugas mulia bagi kehidupan manusia dalam bidang kesehatan khususnya kesehatan gigi dan mulut. Karenanya seorang dokter gigi dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk bersikap profesional. Pernyataan yang termaktub di dalam poin pendahuluan Standar Kompetensi Dokter Gigi Indonesia yang disahkan oleh Konsil Kedokteran Gigi Indonesia mengisyaratkan bahwa dalam rangka pencetakan dokter-dokter gigi di masyarakat dibutuhkan suatu standarisasi minimal yang menjadi indikator terukur seorang dokter gigi dapat mengabdi secara profesional di masyarakat. Di Indonesia, hingga tahun 2011 ini, terdapat 13 fakultas kedokteran gigi dan 13 program studi kedokteran gigi yang tersebar di seluruh penjuru negeri walaupun dengan sebaran yang belum merata. Dalam mengelola sistem pendidikan kedokteran gigi di institusi masing-masing maka tiap institusi menjalankan Standar Pendidikan Profesi Kedokteran Gigi yang juga telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Gigi Indonesia pada November 2006. Standarisasi pendidikan dokter gigi dan standarisasi kompetensi dokter gigi meniscayakan harapan bahwa setiap institusi dapat menerapkan sistem pendidikan dengan pengaturan kurikulum yang pada akhirnya akan menghasilkan dokter-dokter gigi dengan standar minimal yang sama. Setiap institusi pendidikan harus mengembangkan dan melengkapi standar kompetensi ini dengan menyesuaikan komponen-komponen kurikulum yang diterapkan. Dalam amanah standarisasi pula dijelaskan bahwa penyusunan kurikulum pendidikan dokter gigi harus disesuaikan dengan visi dan misi institusi pendidikan bersangkutan dan kebutuhan masyarakat di wilayahnya masing-masing. Desain utama kurikulum pendidikan menjadi penting dengan mempertimbangkan lamanya pendidikan dokter gigi dan pendekatan pembelajaran yang akan digunakan. Dengan berpedoman pula pada peraturan pemerintah tentang penerapan sistem kurikulum pendidikan student centered learning (SCL), maka institusi pendidikan kedokteran gigi harus menjalankan metode yang tercakup dalam sistem ini. Hal ini diharapkan dapat

1 |halaman

membantu mahasiswa dalam mengembangkan kualitas diri berdasarkan prinsip evidence based dentistry. Berpedoman pada hal-hal tersebut di atas, maka kami dari lembaga mahasiswa kedokteran gigi berskala nasional satu-satunya di Indonesia saat ini sebagai salah satu komponen yang tentu akan terlibat banyak dalam pelaksanaan sistem pendidikan berinisiatif untuk mencoba membantu lembaga-lembaga pengampu kebijakan untuk turun langsung mengamati dan melakukan evaluasi mandiri terhadap pelaksanaan sistem ini di setiap institusi kedokteran gigi yang ada sebagai upaya awal untuk membangun komitmen bersama dalam hal pengembangan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik. Dengan melakukan penyebaran kuesioner ke seluruh institusi kedokteran gigi yang menjadi anggota PSMKGI yang berisi poin-poin pertanyaan yang kami bertujuan untuk mendapatkan paparan langsung dari realitas yang terjadi di masing-masing institusi untuk kemudian disesuaikan dengan standarisasi-standarisasi yang memang harus diterapkan. Adapun kuesioner ini adalah kuesioner yang diadaptasi langsung dari kuesioner yang disusun oleh IOMS ISMKI dan secara izin kelembagaan kami menggunakannya dalam pengambilan data. Kalaupun dari hasil pengamatan kami dari tiap institusi terdapat hal-hal yang perlu dievaluasi, tentu saja kami berharap agar hal ini dapat menjadi pemicu untuk setiap komponen yang terlibat dalam sistem pendidikan ini dapat duduk bersama dalam membangun sistem pendidikan yang lebih baik lagi untuk semua pihak. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh harapan besar kami untuk dapat dilibatkan dalam penataan sistem pendidikan sesuai dengan program yang sedang dijalankan oleh DIKTI yakni program HPEQ (Health Professional Education Quality Project). Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami dapat merumuskan suatu permasalahan yang mungkin hadir dari latar belakang tersebut di atas, yakni bagaimana jika terdapat ketidaksesuaian penerapan standarisasi yang sudah ditetapkan ternyata belum mampu diaplikasikan dengan baik oleh institusi? Dari rumusan masalah inilah kami sebagai lembaga kemahasiswaan akan mencoba melihat dan membahas dari sudut pandang kami tentu saja dengan pola sharing dengan lembagalembaga terkait.
2 |halaman

Tujuan 1. Memberikan gambaran secara komprehensif tentang hasil pengamatan lembaga mahasiswa sebagai pengontrol sekaligus subyek sistem pendidikan kedokteran gigi dalam realitas tiap institusi. 2. Merumuskan peran lembaga mahasiswa PSMKGI dalam penataan sistem pendidikan kedokteran gigi Indonesia. 3. Mencoba menawarkan suatu konsep pembangunan komitmen bersama dengan seluruh komponen kelembagaan dalam terus membahas pengembangan sistem pendidikan yang lebih komprehensif berbasis data yang terukur. Hasil Pengamatan Secara umum kami melihat bahwa dengan adanya standarisasi-standarisasi yang ditetapkan oleh konsil dengan melibatkan seluruh elemen institusi dan organisasi profesi kedokteran gigi cukup membantu dalam penyelarasan kurikulum di tiap institusi dalam mencetak dokter gigi sesuai dengan kompetensi minimum yang dibutuhkan. Poin Kurikulum Strata Satu Pelaksanaan SCL *SCL : 83.3% Non SCL : 16.7% Lama Studi *3 tahun semester) : 8.33% *3,5 *4 tahun tahun (7 (8 semester) : 75% semester) : 16.7% * n : sampel institusi *dari poin ini dapat dibuat suatu simpulan sementara bahwa dalam penatalaksanaan kurikulum strata satu, lebih dari 75% institusi telah mengikuti amanah peraturan
3 |halaman

n = 12

Jumlah SKS (6 *144 sks : 5 * > 144 sks : 4

pendidikan tinggi tentang penerapan sistem SCL dengan minimal kredit kuliah sebanyak 144 sks dan lama kuliah 3,5 tahun untuk 75% institusi. Hal ini cukup membuktikan bahwa institusi sudah menerapkan sistem SCL setahap demi setahap yang meliputi itemitem yang terstandarisasi ditambah beberpa penyesuaian-penyesuaian tiap institusi untuk menghasilkan sarjana kedokteran gigi yang kompeten. Tiap institusi rata-rata menerapkan metode SCL sejak tahun 2008.

Poin Kemahasiswaan 1. Jumlah mahasiswa untuk angkatan 2011 pada tiap institusi memiliki jumlah rata-rata 98,3%. 2. Lembaga kemahasiswaan dari semua institusi sampel memiliki keaktifan dengan adanya lembaga eksekutif dan legislatif mahasiswa. Hal ini tentu akan menjadi penyokong PSMKGI dalam hal memainkan perannya dalam penataan sistem pendidikan yang dimaksud. 3. Bimbingan konseling dimiliki oleh 3 dan 7 diafiliasikan dalam penasehat akademik. 4. Sebanyak 30% institusi melibatkan lembaga kemahasiswaan dalam unit pendidikan kedokteran gigi seperti beberapa institusi yang dilibatkan dalam rapat evaluasi unit pendidikan untuk menyampaikan hasil-hasil evaluasi dari pihak mahasiswa. Dan 70% masih belum mengikutsertakan lembaga mahasiswa dalam unit pendidikan. Hal ini diharapkan mendorong seluruh pihak untuk lebih menggiatkan pembangunan komitmen bersama dalam sistem pendidikan sehingga lembaga kemahasiswaan yang juga adalah subyek pendidikan dapat dilibatkan. 5. Beberapa institusi memberikan reward kepada lembaga kemahasiswaan dengan memperhitungkan setiap kegiatan kemahasiswaan dalam suatu perhitungan kredit perkuliahan dalam bentuk penilaian soft skill. Misalnya ada institusi yang memasukkan kegiatan kemahasiswaan dalam kredit kuliah kokurikuler sebanyak 2 sks dengan bekerja sama dengan lembaga kemahasiswaan. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan agar institusi-institusi bisa pula membangun soft skill mahasiswa dalam kegiatan perkuliahan.

4 |halaman

Poin Fasilitas Tiap institusi telah memenuhi setiap fasilitas yang wajib disediakan oleh pihak institusi. Adanya ruang perkuliahan, ruang tutorial / ruang diskusi kecil, laboratorium, perpustakaan, dan tiap institusi telah menyediakan jaringan internet di kampus untuk memudahkan mahasiswa. Hal ini patut terus ditingkatkan oleh pihak institusi demi menunjang peningkatan sistem pendidikan. Dari institusi yang dijadikan sampel terdapat 50% institusi yang telah memiliki Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan, namun data ini perlu diperkuat lagi karena belum semua institusi kami peroleh datanya. Dan memang dari yang kami ketahui secara langsung terdapat beberapa institusi yang telah memiliki mahasiswa kepaniteraan tetapi belum memiliki rumah sakit gigi dan mulut.

Poin Proses Belajar Mengajar Dari poin proses belajar mengajar tiap institusi dengan penerapan sistem SCL nya sudah cukup baik dalam menerapkan item tutorial/small group discussion, perkuliahan/lecture, praktikum. Namun beberapa institusi masih memiliki keluhan soal pelaksanaan clinical skill dengan asumsi kurangnya demonstrasi oleh dosen yang bersangkutan. Ada pula institusi yang menggabungkan antara clinical skill dengan kegiatan praktikum. Untuk proses penilaian hasil belajar hanya 10% institusi yang menerapkan semua item penilaian hasil belajar yang meliputi ujian tertulis (multidisciplinary examination), ujian lisan SOOCA, OSCE, dan OSPE. Lebih dari 75% institusi tidak menerapkan uian lisan (SOOCA). Hal ini perlu menjadi bahan pertimbangan untuk didiskusikan bersama oleh setiap komponen sistem pendidikan.

Poin Evaluasi Sistem Pendidikan a. Sebanyak 60% institusi rutin melakukan evaluasi sistem pendidikan setiap semester dengan poin yang paling banyak dievaluasi adalah kurikulum, proses belajar, mengajar, fasilitas. Dan beberapa institusi juga mengevaluasi kualitas staf pendidik,

5 |halaman

kualitas informasi, dan kualitas spiritual mahasiswa. Sisanya mengevaluasi setiap tahun sekali. b. Sebanyak 75% institusi melibatkan mahasiswa dalam evaluasi sistem pendidikan. Dan beberapa diantaranya mempublikasikan hasil evaluasi kepada seluruh mahasiswa sebagai umpan balik. Dari hasil pengamatan poin evaluasi ini terlihat bahwa masih ada institusi yang belum menjalin komunikasi dengan mahasiswa sebagai komponen sistem dan tentu saja perlu difollow up bersama agar nantinya mahasiswa memiliki peran nyata dalam sistem pendidikan. Poin Sistem Pendidikan Profesi Dokter Gigi (sampel 8 institusi) a. Sebanyak lebih dari 50% institusi telah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi dalam pelaksanaan sistem pendidikan profesi. Hal ini tentu perlu disorot lebih dalam sebab ternyata masih ada institusi yang belum menerapkan. b. Sebanyak 87.5% institusi memiliki lama waktu studi pendidikan profesi selama 1,5 tahun (3 semester) dan 12,5 % selama 2 tahun (4 semester). Hal ini tentu perlu pengkajian dengan menyesuaikan lama waktu studi dengan standarisasi kompetensi yang diinginkan. c. Dalam menempuh pendidikan profesi, sebanyak 87.5% institusi menerapkan tiga kegiatan kepaniteraan klinik (rekuiremen kasus, journal reading, dan ujian, selain pada bagian IKGM) dan sisanya sebanyak 12.5% tidak memasukkan kritisi jurnal dalam kegiatan kepaniteraan. Hal ini juga perlu ditinjau dari segi penerapan standar kompetensi, apalagi dari hasil wawancara langsung pada beberapa mahasiswa kepaniteraan ternyata terdapat beberapa perbedaan yang cukup mencolok dalam hal rekuiremen kasus yang harus dikerjakan oleh mahasiswa kepaniteraan. d. Sebanyak 28,57% institusi menerapkan sistem per bagian (departemental) dalam menempu pendidikan profesi, 28,57% menerapkan sistem terintegrasi, 14,29% sistem
6 |halaman

cluster, dan 28,57% menerapkan sistem terintegrasi dan perbagian sekaligus menerapkan keduanya. Hal ini perlu dikaji dalam hal efisiensi dan efektivitas sistem yang diterapkan dalam mencapai standar kompetensi. e. Untuk poin sarana dan prasarana dalam hal ini rumah sakit gigi dan mulut pendidikan beserta kelengkapannya, sebanyak 7 institusi sampel telah memiliki RSGMP, dan sebanyak 12,5% institusi telah melengkapi RSGMP nya dengan standar minimal. Hal ini juga perlu kajian lebih dalam dengan seluruh komponen pendidikan untuk meningkatkan kualitas lulusan institusi kedokteran gigi.

Pembahasan Dari hasil pengamatan kami dari kuesioner yang kami sebar kepada semua institusi telah diperoleh data awal/data mentah yang secara validitas mungkin belum tercapai tetapi setidaknya hal ini menjadi landasan kami dalam memaparkan beberapa hal yang lahir dari rumusan masalah yang kami kaji dalam Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia. Dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan strata satu, dari hasil yang kami peroleh tiap institusi secara persentase telah lebih dari 75% menerapkan sistem student centered learning dengan segala penyesuaian-penyesuaian di tiap institusi. Hal ini menunjukkan bahwa tiap institusi telah menjalankan aturan yang telah dietapkan demi mencapai tujuan pendidikan kedokteran gigi. Item proses belajar mengajar dan penilaian hasil belajar juga telah berpedoman pada sistem SCL ini, walaupun belum semua institusi yang secara komprehensif menerapkannya. Hal ini tentu saja akan sangat terkait pada hasil kurikulum ini, dimana pada hasilnya nanti akan diperoleh sarjana kedokteran gigi yang diharapkan punya kemampuan yang terstandarisasi untuk memasuki program profesi. Perbedaan-perbedaan mikro yang ada pada tiap institusi masih menjadi pertanyaan kami, apakah hal tersebut akan mempengaruhi kualitas lulusan atau tidak? Hal ini yang perlu dijawab bersama oleh tiap komponen yang terlibat dalam sistem pendidikan kedokteran gigi. Poin evaluasi unit pendidikan kedokteran gigi juga masih belum melibatkan mahasiswa secara utuh, padahal harapan kita bersama adalah mahasiswa sudah dapat dilibatkan secara aktif dalam unit pendidikan demi peningkatan sistem pendidikan sesuai dengan deklarasi bersama seluruh IOMS kesehatan pada SEARAME HPEQ Conference beberapa waktu lalu. Hal
7 |halaman

inilah yang akan coba dibicarakan dalam diskusi nasional kali ini tentang bagaimana memasukkan peran mahasiswa dalam penataan sistem pendidikan yang dimaksud. Perbedaan demi perbedaan juga masih tampak dalam pelaksanaan sistem pendidikan profesi. Mulai dari sistem kurikulum yang diterapkan, rekuiremen kasus, sistem pengaturan mahasiswa, serta kepemilikan rumah sakit gigi dan mulut pendidikan. Perlu kiranya komponen pengampu kebijakan memberikan pemahaman secara utuh sesuai dengan standar yang ada tentang bagaiamana sistem pendidikan profesi yang seharusnya diterapkan. Banyak suara-suara yang muncul dari kalangan mahasiswa tentang perbedaan yang paling sering didiskusikan di antara mereka yakni rekuiremen kasus baik dari segi kuantitas maupun kualitas bahkan ada wacana untuk menyeragamkan rekuiremen kasus tiap institusi. Tentu hal ini lahir dari ketidaktahuan mereka tentang sistem pendidikan profesi sehingga diharapkan dari diskusi nasional ini diperoleh suatu gambaran yang jelas tentang hal tersebut serta peran masing-masing komponen dalam mendukung sistem pendidikan. Standar kompetensi profesi dokter gigi telah jelas dalam aturan konsil walaupun tidak secara rigid mengatur setiap poin sistem pendidikan sehingga yang perlu dipertegas adalah yang mana bagian yang dimaksud sebagai standar minimal. Penutup Demikian kajian kami mengenai sistem pendidikan kedokteran gigi ini kami paparkan secara tertulis dan lisan dalam forum diskusi nasional PSMKGI 2011. Besar harapan kami bahwa dari kajian ini terlahir suatu komitmen bersama antara PSMKGI sebagai lembaga mahasiswa dengan AFDOKGI, PB PDGI, dan DIKTI dalam hal ini sebagai lembaga yang juga memiliki peran dalam sistem pendidikan. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

PERSATUAN SENAT MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI INDONESIA PERIODE 2010-2012

8 |halaman

You might also like