You are on page 1of 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 adalah : Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa..

Dari bunyi pasal 1 Undang-Undang Perkawinan ini bisa kita tarik unsurunsur dari perkawinan itu sendiri, yaitu : 1. Adanya ikatan lahir batin Bahwa perkawinan hendaknya bukan hanya didasari oleh ikatan secara fisik (lahir) semata antara suami dengan istri dan juga dengan masyarakat, tetapi hendaknya juga mempunyai ikatan perasaan (batin) yaitu suatu niat untuk sungguh-sungguh hidup bersama sebagai suami istri. 2. Antara seorang pria dan wanita Bahwa perkawinan di Indonesia hanya mengenal perkawinan antara seorang pria dengan wanita dan sebaliknya. Tidak diperbolehkan perkawinan antara sesama jenis, baik antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

24
Universitas Sumatera Utara

25

3. Bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Hendaknya perkawinan yang telah dilaksanakan berlangsung seumur hidup untuk selama-lamanya dan dapat tercipta keluarga yang rukun, damai dan sejahtera. 4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Bahwa perkawinan di Indonesia harus berdasarkan atau berlandaskan agama. Di Indonesia tidak diperbolehkan perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang yang tidak beragama (atheis). Agama dan kepercayaan yang dianut juga berperan untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 2. Sahnya Perkawinan. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan tersebut dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan

Universitas Sumatera Utara

26

perundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, yaitu kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. 3. Asas Monogami Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. 4. Usia Perkawinan Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan juga untuk mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. 5. Mempersukar Terjadinya Perceraian Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

27

6. Hak dan Kedudukan Istri Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri. 7. Jaminan Kepastian Hukum Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undangundang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

B. Syarat-Syarat Perkawinan Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus dipenuhi syaratsyarat perkawinan yang ditegaskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan, yaitu : 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mendapat umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud

Universitas Sumatera Utara

28

dalam ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Selanjutnya dalam Pasal 7 UUP ditegaskan hal-hal berikut : 1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan ini diadakan untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan dan karena itu dipandang perlu diterangkan batas umur untuk perkawinan dalam UUP.

Universitas Sumatera Utara

29

2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dengan berlakunya undang-undang ini maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud seperti diatur dalam KUHPerdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S.1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku. 3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tesebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

C. Tata Cara Perkawinan Tata cara pelaksanaan perkawinan ditentukan dalam Pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut : 1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah ini. 2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Disamping itu seusai dilangsungkannya perkawinan, kemudian

Universitas Sumatera Utara

30

dilaksanakan penandatanganan akta perkawinan sesuai peraturan sehingga urutannya sebagai berikut: 1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. 2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah yang mewakilinya. 3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

D. Akibat-Akibat Hukum dari Perkawinan Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat akibat-akibat yang timbul dalam perkawinan terhadap suami istri, yaitu : 1. Bagi suami dan istri akan timbul hak dan kewajiban di antara mereka berdua dan hubungan mereka dengan masyarakat luas, hal ini tertuang pada pasal 30 s/d pasal 34 UUP. Pasal 30 UUP menyebutkan bahwa : Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. Menurut Prof. Sardjono, menegakkan rumah tangga artinya berusaha supaya rumah tangga tetap utuh dan tidak bubar karena terjadi perceraian.

Universitas Sumatera Utara

31

Kewajiban ini harus pula dihubungkan dengan tujuan perkawinan yang disebutkan dalam pasal 1 UUP yaitu membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Dengan tetap utuhnya setiap perkawinan dalam suatu masyarakat tertentu, akan berakibat terpeliharanya masyarakat yang bersangkutan dengan baik dan tertib serta sejahtera, karena suatu keluarga adalah merupakan sendi dasar yang paling utama dan pertama dalam susunan masyarakat. Kewajiban suami istri dalam pasal 30 tersebut di atas lebih lanjut ditegaskan lagi atau diperinci lebih lanjut dalam pasal 33 UUP bahwa : Suami istri wajib saling cinta-mencinta, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Karena dengan saling mencintai, saling menghormati, saling membantu lahir batin dan saling setia serta saling memberi di antara suami istri itu, maka terpenuhi kewajiban masing-masing dalam menegakkan rumah tangga mereka. Sebab dengan demikian akan terwujud suasana damai dan saling pengertian yang merupakan syarat mutlak bagi tegaknya sebuah rumah tangga. Dengan pengertian akan kewajiban saling mencintai dan saling membantu itu, jelas harus diakui oleh masing-masing suami istri, mereka telah menjadi satu kesatuan yang utuh dan masing-masing mengakui bahwa diantara mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal itu ditegaskan dengan jelas dalam Penjelasan Umum UUP pada butir 4 a : untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mecapai kesejahteraan sprituil dan materiil. Yaitu untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut dalam pasal 1 UUP. Lebih lanjut lagi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya masing-masing dalam

Universitas Sumatera Utara

32

saling membantu untuk mencapai kesejahteraan di bidang materi (keduniawian) tetapi juga di bidang sprituil (kerohanian dan keakhiratan). Pasal 31 ayat 1 mengatakan bahwa : Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut Prof. Sardjono, maksud dari pasal 31 ayat 1 ini bila dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan dalam ayat 2 dan 3, serta dalam pasal 32, 35, 36, 41, 45 dan 47 UUP, dimana isi dari pasal-pasal ini tidak lain adalah perincian dari ketentuan pasal 31 ayat tersebut. Dimana dapat disimpulkan bahwa : Undang-undang memberikan kepada suami dan istri masing-masing wewenang tertentu yang memungkinkan mereka bersama-sama atau masingmasing melaksanakan tugas membina keluarga yang bahagia dan sejahtera atas dasar tanggung jawab bersama atau masing-masing dengan tetap menghindarkan pembagian atau pemisahan tugas antara suami-istri 17.

Pasal 31 ayat 2 mengatakan bahwa : Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Yang dimaksudkan masing-masing pihak tertentu tidak lain adalah sang suami itu atau sang istri sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan perbuatan hukum, adalah setiap perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Dalam keadaan sehari-hari suami dan istri melakukan perbuatan hukum itu dapat berupa melakukan atau mengadakan perjanjian dengan pihak luar, yang tentu saja dalam rangka mencapai dan mengusahakan suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Walaupun dikatakan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum,
17

Sardjono, H.R. 1975 : Berbagai-bagai masalah Hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974. Naskah yang tidak pernah dipublikasikan, tetapi menjadi naskah wajib pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti (1975-1999)

Universitas Sumatera Utara

33

yang berarti tidak ada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada suami atau istri, alangkah baiknya masing-masing pihak itu tetap saling memberi informasi kepada sang suami atau istri apa yang telah mereka lakukan sehari-hari dalam melakukan perbuatan hukum itu demi mencapai keluarga yang bahagia dan kekal. Menurut Prof. Sardjono, kewenangan dari masing-masing suami istri itu sebaiknya juga diperluas dengan mencakup pula kewenangan untuk mengadakan proses di forum pengadilan guna mempertahankan perjanjian dalam hal terjadi ingkar janji. Ketentuan pasal 31 ayat 2 UUP ini adalah sebagai perubahan yang sangat fundamental atas ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW Indonesia), yang mengatakan bahwa wanita yang bersuami tidak berwenang membuat suatu perjanjian. Pasal 31 ayat 3 berbunyi : Suami adalah Kepala Keluarga dan Istri adalah Ibu Rumah Tangga. Ketentuan tersebut di atas sangat erat sekali dengan ketentuan dalam agama, terutama dalam agama Islam yang mengatakan bahwa laki-laki itu adalah pemimpin kaum perempuan, sehingga oleh pembentuk undang-undang

diterjemahkan pula dalam kehidupan rumah tangga dimana dikatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga. Walaupun demikian hal itu tidak berarti kedudukan sang istri berada di bawah sang suami, karena berdasarkan kodratnya maka sang istri ditetapkan oleh pembentuk undang-undang sebagai ibu rumah tangga. Tetapi justru sekarang ini setelah tiga dasawarsa umur UUP ini, timbul reaksi atau pendapat dari masyarakat terutama kaum perempuan yang menyatakan

Universitas Sumatera Utara

34

ketidaksetujuan mereka terhadap anggapan bahwa sang istri tidak bisa sebagai kepala rumah tangga, kalau memang sang istri mampu dan dalam praktak kemungkinan sang istri mempunyai penghasilan atau gaji yang lebih besar dari sang suami. Hal tersebut timbul sekarang ini dalam rangka gerakan persamaan gender di masyarakat Indonesia sekarang ini. Menurut paham persamaan gender ini, ketentuan pasal 31 ayat 3 UUP berarti adanya diskriminasi tanggung jawab antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, sebab dengan demikian sang istri tidak dimungkinkan sebagai kepala rumah tangga atau sebaliknya sang suami tidak bisa ditugaskan sebagai ibu atau bapak rumah tangga. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah istilah kepala keluarga dapatkah dimasukkan di dalam pengertian sebagai bapak rumah tangga yang dapat diartikan juga sebagai ibu rumah tangga, begitu pula sebaliknya istilah ibu rumah tangga dapatkah dimasukkan ke dalam pengertian kepala rumah tangga. Sebetulnya menurut pendapat umum bahwa semua itu adalah sekedar penyebutan pembagian tugas dalam rangka menjalankan kehidupan rumah tangga, masing-masing suami dan istri mempunyai tugas dan kedudukan yang sama, yang pembagian kekuasaan itu berdasarkan kodrat dari seorang laki-laki dan kodrat seorang perempuan. Sebetulnya yang ditentang dalam masyarakat sekarang ini ketentuan dalam peraturan atau sistem penggajian yang ada selama ini terhadap tenaga laki-laki dan tenaga wanita, baik yang ada pada instansi pemerintah (pegawai negeri atau TNI dan POLRI) ataupun swasta (perusahaan). Dimana seorang pegawai negeri atau karyawan laki-laki mendapatkan tunjangan istri dan anak-anak, karena dalam UUP dia sebagai kepala keluarga kalau memang mereka sudah berkeluarga,

Universitas Sumatera Utara

35

sedangkan seorang pegawai negeri atau karyawan perempuan tidak mendapatkan tunjangan suami dan anak, walaupun mereka sudah berkeluarga, bahkan juga tidak mendapatkan tunjangan anak kalau pegawai atau karyawan perempuan itu sebagai janda yang mempunyai anak. Jadi sebetulnya pemerintah bisa saja memberikan tunjangan istri dan tunjangan suami beserta tunjangan anak kepada setiap pegawai atau karyawan dengan tidak membedakan perempuan atau lakilaki, kalau memang mereka sudah berkeluarga dan tidak lagi berstatus belum menikah. Hanya kalau sampai demikian jauh ditentukan, tentu perlu juga diadakan peraturan yang melarang suami dan istri bersama-sama sebagai pegawai negeri, TNI dan POLRI pada instansi pemerintah, begitu pula pada perusahaan yang sama pada pihak swasta. Prof. Sardjono, menghubungkan ketentuan pasal 31 ayat 3 ini dengan ketentuan dalam pasal 34 UUP dan menurut beliau kalau dilihat isinya dapat dianggap sebagai perincian dari pasal 31 ayat 3 UUP. Pasal 34 ayat 1 UUP : Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kewajiban suami tersebut adalah dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Kedudukan sebagai kepala keluarga membawa tanggung jawab tersebut. Mengenai jumlah nafkah penghidupan keluarga yang harus diberikan oleh suami kepada istrinya, menurut Prof. Sardjono lazimnya penentuannya didasarkan atas dua faktor yaitu : 1. Kemampuan pihak yang wajib memberi nafkah dan

Universitas Sumatera Utara

36

2. Kebutuhan keluarga yang akan menerima nafkah itu. Karena dua faktor itu selalu berubah, maka jumlah nafkah itu selalu menyesuaikannya, misalnya mengenai biaya pendidikan anak akan selalu berubah sesuai dengan tingkat sekolahnya. Pasal 34 ayat 2 UUP : Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya. Maksudnya adalah menjadi urusan sehari-hari dari pihak istri untuk mengurus rumah tangga dan mendidik anak, jika mempunyai anak. Kewajiban sang istri ini dilimpahkan kepadanya dalam kedudukannya sebagai ibu rumah tangga. Pasal 34 ayat 3 UUP : Jika suami atau istri melalaikan kewajiban, masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Memang menurut UUP antara suami dan istri harus ada pembagian tugas dalam melaksanakan kewajiban membina keluarga bahagia dan sejahtera seperti yang dibicarakan di atas. Pasal 31 ayat 1 : Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Pasal 32 ayat 2 : Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat 1 pada pasal ini ditentukan oleh suami-istri bersama. Kewajiban yang tersebut dalam pasal 32 ini merupakan kewajiban utama dari suami istri, sebab dengan memenuhi kewajiban itu dapat dijamin keberhasilan dari kehidupan perkawinan artinya terbuka kesempatan seluas-luasnya bagi suami istri untuk membina kehidupan kekeluargaan yang bahagia dan sejahtera, spirituil

Universitas Sumatera Utara

37

dan materiil yang menjadi tujuan perkawinan. Menurut Prof. Sardjono, hidup terpisah dari sang suami atau sang istri adalah bertentangan dengan kewajiban suami dan istri dalam perkawinan. Sebagai sanksinya, bila diantara suami istri terjadi hidup terpisah selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah akan menjadi alasan masing-masing pihak untuk menggugat cerai (pasal 19 No. 9 b PP No. 9 Tahun 1975). Ketentuan dalam ayat 2 pasal 32 adalah sesuai dengan bunyi pasal 31 ayat 1 UUP, dimana suami istri seimbang kedudukannya, sehingga dalam menentukan tempat tinggal bersama haruslah ditentukan bersama antara suami istri. Bukan ditentukan oleh orang luar seperti orang tua atau mertua dari masing-masing pihak, walaupun disediakan rumah yang lengkap dan mewah, kalau tidak disetujui oleh suami istri, hal itu perlu dipertanyakan oleh suami istri yang bersangkutan. Prof. Sardjono, menghendaki agar pasal 32 ayat 1 ini ditambah dengan kata bersama di antara kata kediaman dan yang tetap, untuk lebih menekankan adanya kewajiban dari suami istri untuk hidup bersama dan tidak hidup terpisah satu dari yang lain. Tanpa perkataan bersama, maka mungkin pasal 32 ayat 1 UUP ini bisa ditafsirkan secara salah di kemudian hari.

Universitas Sumatera Utara

38

2. Terbentuknya harta benda yang ada dalam perkawinan. Mengenai harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35, 36, 37 UUP. Ketentuan mengenai harta benda perkawinan ini sangat dipengaruhi oleh hukum adat yang berlaku di Indonesia, khususnya hukum adat Jawa. Sedangkan pengaruh dari ketentuan hukum agama, khususnya agama Islam tidak ada terhadap ketentuan harta benda perkawinan 18. Dalam hal harta benda perkawinan ini, Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa : a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (diatur dalam pasal 35 ayat 1). Jadi di sini semua harta yang dibeli atau diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, walaupun harta tersebut di atas namakan salah seorang, baik suami maupun istri. Bahkan juga harta yang dibeli bersama dengan uang yang diperoleh selama perkawinan juga masuk harta bersama. b. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (diatur dalam pasal 36 ayat 1). Menurut Prof. Sardjono, istilah bertindak dapat ditafsirkan meliputi hak beheer (mengelola atau mengurus) maupun beschikking (mengalihkan,

meminjamkan, menjual). Di sini kewenangan dari suami atau istri adalah sama, sesuai dengan ketentuan pasal 31 ayat 1 UUP dimana kedudukan suami dan istri adalah sama dan seimbang, demi suksesnya pelaksanaan tugas pembinaan rumah tangga yang bahagia. Karena itulah suami istri dalam melaksanakan pengelolaan
Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2009, Halaman 59-60.
18

Universitas Sumatera Utara

39

dan menentukan

harta

bersama ini

harus saling

terbuka dan

saling

memberitahukan dan adanya persetujuan dari kedua belah pihak baik suami maupun istri. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan hukum adat terhadap harta benda bersama perkawinan yang disebut dengan harta gono-gini. c. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (diatur dalam pasal 35 ayat 2). Mengenai apa yang disebut harta masing-masing atau harta sang suami atau harta sang istri pada pasal 35 ayat 2 ini secara tegas dan limitatif disebutkan terdiri dari : Harta bawaan sang suami dan harta bawaan sang istri sebelum perkawinan berlangsung, dibawa ke dalam perkawinan. Harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan atas nama sang suami atau atas nama sang istri, baik sebelum atau pun selama melangsungkan perkawinan. Sehingga dengan demikian semua harta benda atau uang lainnya yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, baik karena hasil kerja sang suami ataupun karena hasil kerja sang istri (mungkin sebagai dokter, pengacara, artis, dsb.), tetap sebagai harta bersama dan bukan sebagai harta masing-masing. d. Mengenai harta bawaan, masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (diatur dalam pasal 36 ayat 2 UUP).

Universitas Sumatera Utara

40

Di sini kewenangan masing-masing suami-istri adalah sama, baik berupa beheer (mengelola) ataupun beschikking (menentukan pengalihan =

vervreemden), atas harta masing-masing tadi, sehingga tidak perlu adanya persetujuan dari pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing tadi. Hal ini sesuai dengan apa ygn berlaku dalam hukum adat. e. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (diatur dalam pasal 37 UUP). Menurut penjelasan UUP pasal 37, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Menurut Prof. Sardjono, pasal 35 ayat 2 bagian akhir membuka kemungkinan bagi para pihak, yaitu suami atau istri untuk menentukan lain

tentang penguasaan harta bawaan. Menentukan lain itu dapat diartikan bahwa para pihak (suami dan istri) dapat membuat perjanjian mengenai penguasaan harta bawaan tersebut, yang kewenangan lebih lanjut diatur dalam pasal 20 UUP tentang perjanjian perkawinan.

3. Lahirnya keturunan atau anak. Mengenai hal ini ada tiga hal yang perlu dibahas yaitu : a. Tentang status anak atau kedudukan anak : Mengenai hal ini diatur dalam bab IX dari UUP yang meliputi pasal 42, 43 dan 44 UUP. Di dalam UUP hanya dikenal dua buah status atau kedudukan anak, yaitu anak sah dan anak tidak sah. Anak sah disebutkan dalam pasal 42 UUP : Anak

Universitas Sumatera Utara

41

yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan anak yang tidak sah artinya tidak dilahirkan dalam perkawinan yang sah dimana disebut dalam pasal 43 ayat 1 UUP : Anak yang diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selanjutnya dalam pasal 43 ayat 2 UUP dikatakan bahwa : Kedudukan anak tersebut dalam ayat 1 di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sayang sampai sekarang Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan itu belum pernah dikeluarkan oleh pemerintah. Status dan kedudukan anak dalam UUP sangat dipengaruhi oleh hukum agama, khususnya agama Islam yang hanya mengenal dua status anak yaitu anak sah dan anak haram (tidak sah). Sedangkan dalam hukum adat di Indonesia juga dikenal anak angkat. Mengenai anak angkat ini pernah dicantumkan atau diatur dalam Rancangan Undang-Undang Perkawinan pada pasal 62 dahulu, tetapi ditolak atau dihilangkan dalam pembahasan DPR RI pada akhir tahun 1973. b. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak Anak-anak yang sah lahir karena dan dalam perkawinan yang sah antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Karena itu antara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah itu timbul hubungan hukum dengan orang tuanya itu yaitu ibu dan bapaknya. Hubungan hukum itu yang menimbulkan hak dan kewajiban antara si anak dengan orang tuanya dan oleh UUP diatur dalam

Universitas Sumatera Utara

42

Bab X dengan judul Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak yang meliputi pasal 45, 46, 47, 48 dan 49 UUP. Unsur-unsur yang perlu diperhatikan mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak adalah antara lain : 1. Usia belum dewasa bagi seorang anak : Mengenai ini peraturan perundang-undangan kita belum secara

komprehensif mengatur segala sesuatu tentang usia seorang anak untuk dapat atau tidak dapat berbuat sesuatu. Misalnya : Peraturan tentang Kartu Tanda Penduduk, menentukan bahwa sesorang telah berumur 17 tahun wajib mempunyai KTP. Peraturan Perundang-Undangan tentang PEMILU menentukan bahwa seseorang baru boleh ikut mencoblos atau ikut pemilihan umum pada umur 17 tahun. Seseorang baru boleh memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) A, pada umur 18 tahun, sedangkan SIM C pada umur 17 tahun menurut peraturan lalu lintas. UUP menentukan seorang wanita minimal berumur 16 tahun untuk bisa melangsungkan perkawinan, sedangkan laki-laki minimal berumur 19 tahun (Pasal 17 ayat 1 UUP), dll. 2. Kewajiban dan kekuasan orang tua terhadap anak Pasal 45 ayat 1 : Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anakanak mereka sebaik-baiknya. Pasal 45 ayat 2 : Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal

Universitas Sumatera Utara

43

ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Pasal 48 : Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 47 ayat 1 : Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 3. Kewajiban anak terhadap orang tua Pasal 46 ayat 1 : Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Pasal 46 ayat 2 : Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.

c. Perwalian atas anak-anak Mengenai perwalian ini diatur dalam bab XI UUP dengan judul Perwalian yang terdiri dari pasal 50 s/d pasal 54. Pertama kali kita sedikit menyinggung tentang istilah wali atau perwalian, yang bagi masyarakat hukum perlu mencari atau mengusahakan pembakuan istilah. Sebab istilah wali bisa digunakan dalam kaitannya dengan perwalian anak, ada lagi istilah wali dalam hubungannya dengan wali nikah dalam hukum perkawinan Islam yang hanya boleh dilakukan

Universitas Sumatera Utara

44

oleh seorang laki-laki. Karena itu lebih baik untuk wali di dalam hukum perkawinan Islam dipakai istilah wali nikah, secara lengkap tidak setengahsetengah, sedangkan wali atau perwalian atas anak-anak cukup dengan istilah wali atau perwalian atau perwalian anak. Pasal 50 ayat 1 : Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Pengaturan tentang perwalian anak-anak ini pada hakikatnya mengandung asas-asas yang hampir sama dengan pengaturan tentang kekuasaan orang tua.

Universitas Sumatera Utara

You might also like