You are on page 1of 7

BERBANGSA DAN BERNEGARA MENURUT ISLAM

Iklim kehidupan berbangsa dan bernegara di era reformasi seperti sekarang ini telah memperlihatkan perubahan yang begitu signifikan dalam kehidupan demokrasi dan perpolitikan di indonesia, Fenomena yang ada, dimana kebebasan mengekspresikan hak hidup sebagai warga negara dan menyampaikan aspirasi politik begitu marak dilakukan oleh warga masyarakat. Tetapi patut disayangkan, terkadang hal itu dilakukan dengan menabrak rambu-rambu hukum dan peraturan yang ada serta terlepas dari kendali moral, khususnya menabrak hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur`an yang merupakan sumber hukum dari segala permasalahan yang seharusnya dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh warga negara, sehingga luapan ekspresi kebebasan dan menyampaikan pendapat terkesan anarkis dan merugikan banyak pihak. Dengan kata lain, aspek-aspek lokalitas dan religiusitas mulai dijauhi dan bahkan mungkin ditinggalkan, selanjutnya beralih pada setiap entitas yang bernafaskan modern agar tidak dicap ketinggalan zaman. Sehingga akibatnya, rasa kepemilikan dan keimanan sebagai umat islam semakin luntur.

Al-Qur`an yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad yang memang ditujukan untuk menjadi sumber-sumber hukum justru semakin ditinggalkan, atau dengan kata lain, ada semacam keengganan merujuk Al-Qur`an sebagai arah yang dapat menuntun bangsa ini merealisasikan tujuan bernegara yaitu memajukan kesejahteraan umum, sehingga disadari atau tidak, masyarakat mulai kehilangan sifat religiusitasnya atau keimanannya. Dan yang kemudian terjadi adalah masyarakat semakin bingung akan identitas yang harus dipilihnya dalam berbangsa dan bernegara. Absennya nilai-nilai Al-Qur`an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi karena banyak faktor yang mendasarinya, diantaranya ialah semakin menjauhnya rakyat indonesia khususnya umat muslim dengan agamanya. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal disadari atau tidak telah termarjinalisasikan di tengah-tengah ideologi dunia seperti kapitalisme, liberalisme atau ideologi lainnya. Sehingga sangat logis dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita semakin terpuruk. Untuk dapat keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan, kita harus menemukan solusi yang memadai dan kompatibel terhadap problem kebangsaan. Disinilah pentingnya penyadaran untuk kita sebagai umat islam agar kembali kepada Al-Qur`an serta nilai-nilai moral sebagai bangsa yang beragama dan beradab untuk bersama-sama mejadikan nilai-nilai tersebut sebagai landasan kita dalam berbangsa dan bernegara. Allah berfirman dalam surat Al-Israa ayat 9 : Sesungguhnya Al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. Dari terjemahan ayat diatas, dijelaskan dan dapat dipastikan bahwa Al-Qur`an merupakan satusatunya jalan yang akan membawa kita kepada jalan kebenaran. Proses berbangsa dan bernegara

dalam kaitannya dengan ayat di atas dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kita harus bersikap dan berperilaku.Dalam surat lain Allah Berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59 : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu kembalikanlah kepad Allah dan Rasul-Nya kalau kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang terbaik dan penyelesaian yang tepat. Dari terjemahan surat An-nisa ayat 59 di atas, kita dapat mengambil beberapa intisari pelajaran yang sangat berharga mengenai berbangsa dan bernegara, pertama, kita diwajibkan untuk menjalankan perintah Allah yang telah diwahyukan melalui Al-Qur`an, kita diperintahkan-Nya untuk tetap terus berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan menjadikannya sebagai landasan dari perilaku kita khususnya dalam konteks ini yaitu berbangsa dan bernegara karena Al-Qur`an merupakan primary source dari segala permasalahan. Dalam berbangsa dan bernegara, kita harus yakin bahwa dengan mengikuti serta mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur`an, konsep berbangsa dan bernegara kita sesuai dengan perintah Allah. Kedua, kita diperintahkan untuk menaati Rasulullah yang telah membimbing kita melalui ajaran-ajarannya, salah satunya adalah sunnah yang merupakan perkataan, perbuatan, dan diamnya nabi atas suatu perkara. Sunnah dalam kaitannya dengan Al-Qur`an merupakan sumber hukum kedua setelahnya yang mempunyai banyak fungsi salah satunya adalah menerangkan ayat Al-Qur`an yang bersifat umum dan memperkuat serta memperkokoh pernyataan dari ayat Al-Qur`an. Terakhir, kita diperintahkan untuk taat kepada kalangan yang memegang otoritas baik dalam pemerintahan, masyarakat atau keluarga, tetapi prinsip ketaatan ini harus memenuhi prasyarat atau dengan kata lain bersifat tanpa reserve,artinya pemimpin itu harus ditaati selama dia menjalankan perintah Allah dan Rasulnya. Berbangsa dan bernegara menurut Al-Qur`an hanya sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,oleh karena itu berbangsa dan bernegara harus diyakini merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pentingnya dengan ibadah-ibadah yang lainnya, karena ini kaitannya dengan bangsa,negara serta entitas pendukungnya yaitu warga negara. Berbangsa dan bernegara mempunyai berbagai variable-variable yang saling mendukung satu dengan yang lainnya, dari sekian banyak variable itu ada beberapa variable yang harus kita perhatikan yaitu persatuan dan kesatuan yang merupakan aspek penting dalam kesatuan konsep berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal bahwa Al-Qur`an memerintahkan persatuan dan kesatuan secara jelas, sejelas Allah menyatakan dalam Al-Qur`an surat Al-Anbiya ayat 92 Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dari persatuan dan kesatuan itu, sikap memiliki atau nasionalisme akan rasa kebangsaan dan kenegaraan kita akan terasah dan semakin tajam. Jadi, jelas bahwa setiap negara lahir dan berdiri sesungguhnya karena didasari oleh suatu citacita dan tujuan yang ingin diraihnya dalam penyelenggaran bernegara bagi kehidupan masyarakat. Cita-cita yang ingin diraih itu diwujudkan dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan sebagai pijakan awal arah perjuangan.tanpa memiliki cita-cita dan tujuan , maka kita akan kehilangan arah dalam merealisasikannya. Terlepas dari itu semua, ada hal yang lebih penting, yakni landasan, pola pikir dan pijakan yang merupakan langkah awal sebelum

melangkah lebih jauh ke arah tujuan dan cita-cita harus benar-benar terbingkai dalam frame yang jelas, dalam kaitan ini jelaslah bahwa bingkai keislaman melalui nilai-nilai Al-Qur`an harus menjadi langkah awal dalam berbangsa dan bernegara, karena sudah jelas bahwa Al-Qur`an dengan segala mukjizatnya merupakan solusi yang aplikatif yang dapat menjawab permasalahan Bangsa Indonesia selama ini, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A`raaf ayat 52 yang artinya : Dan sesungguhnya kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al-Qur`an) kepada mereka yang kami telah menjelaskannya atas dasar Pengetahuan kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

. Kontribusi Agama Dalam Kehidupan Berbangsa Agama itu sangat penting disegala aspek kehidupan umat manusia selain itu agama juga agama berperan untuk menenangkan jiwa dan raga. Dengan agama yg kita yakini hidup akan lebih baik dan indah. Dengan agama kita akan lebih bijak menyikapi sesuatu. Contohnya saja diZaman Nabi Muhammad agama berperan penting dalam segala bidang termasuk pemerintahannya. Dizaman sekarang ini banyak orang pinter tapi agamanya kurang selain itu

pinternya pada kebelinger, pintar bicara saja. tapi tidak ada buktinya. Makanya agama itu dibutuhkan oleh setiap umat manusia Islam adalah solusi. Solusi segala permasalahan di dunia ini dengan kesempurnaan ajarannya (syumul). Kesempurnaan ajaran Islam dapat ditelaah dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan Sunnah yang mengatur pola kehidupan manusia, mulai dari hal terkecil hingga terbesar baik ekonomi, sosial, politik, hukum, ketatanegaraan, budaya, seni, akhlak/etika, keluarga, dan lainlain. Bahkan, bagaimana cara membersihkan najis pun diatur oleh Islam. Ajaran Islam merupakan rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta alam), artinya Islam selalu membawa kedamaian, keamanan, kesejukan, dan keadilan bagi seluruh makhluk hidup yang berada diatas dunia. Islam tidak memandang bentuk atau rupa seseorang dan membedakan derajat atau martabat manusia dalam level apapapun. Islam menghormati dan memberikan kebebasan kepada seseorang untuk menganut suatu keyakinan atau agama tanpa memaksakan ajaran Islam tersebut dijalankan (laa ikrahaa fiddiin). B. Penjelasan Quran Surat an-Nisa Ayat 59

Yaa ayyuhalladziina aamanuu athiiullaha wa athiiurrasuula wa uulil amri minkum, fain tanaazatum fii syai-in farudduuhu ilallaha warrasuuli inkuntum tu-minuuna billahi walyaumil aakhiri, dzalika khairun wa-ahsanu ta-wiila. (Q.S. an-Nisa 59) Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59) Tentang Ayat Ini Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang firman-Nya, Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu. Ayat ini turun berkenaan dengan

Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi, ketika diutus oleh Rasulullah di dalam satu pasukan khusus. Demikianlah yang dikeluarkan oleh seluruh jamaah kecuali Ibnu Majah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali, ia berkata: Rasulullah SAW mengutus satu pasukan khusus dan mengangkat salah seorang Anshar menjadi komandan mereka. Tatkala mereka telah keluar, maka ia marah kepada mereka dalam suatu masalah, lalu ia berkata, Bukanlah Rasulullah SAW memerintahkan kalian untuk mentaatiku? Mereka menjawab, Betul. Dia berkata lagi, Kumpulkanlah untukku kayu bakar oleh kalian. Kemudian ia meminta api, lalu ia membakrnya, dan ia berkata, Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya. Maka seorang pemuda diantara mereka berkata. Sebaiknya kalian lari menuju Rasulullah SAW dari api ini. Maka jangan terburu-buru (mengambil keputusan) sampai kalian bertemu dengan Rasullah SAW. Jika beliau perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya, maka masuklah. Lalu mereka kembali kepada Rasulullah SAW dan mengabarkan tentang hal itu. Maka Rasulullah pun bersabda kepada mereka, Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar lagi selama-lamanya. Ketaatan itu hanya pada yang maruf. (HR. Bukhari-Muslim dari hadits Al-Amasy) Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW sudah memberi batasan kepada kita, bahwasannya ketaatan hanya pada yang maruf, dan bukannya pada yang tidak maruf. Ayat juga ini disebutkan oleh ulama sebagai hak para pemimpin yang menjadi kewajiban rakyat. Sedangkan pada ayat sebelumnya QS. An-Nisa': 58, sebagai hak rakyat yang menjadi kewajiban para pemimpin. Yaitu agar para pemimpin menunaikan amanat kepemimpinan dengan sebaikbaiknya. Memberikan hak kepada yang berhak menerimanya, dan memutuskan hukum di antara rakyatnya dengan seadil-adilnya. Menurut Ustadz Ihsan Tanjung, ayat ini begitu populer dikumandangkan para jurkam di musim kampanye. Dan oleh para pemimpin negeri ini ayat ini juga sering disitir ketika mereka berpidato dihadapan alim ulama, ustadz, santri dan aktifis islam. tidak ketinggalan juga, para pendukung thaghut (pemimpin yang tidak memberlakukan hukum Islam) menjadikannya sebagai dalil untuk melegitimasi loyalitas dan ketaatan pada mereka. Kenapa bisa demikian? karena di dalamnya terkandung perintah Allah agar ummat taat kepada Ulil Amri Minkum (para pemimpin di antara kalian atau para pemimpin di antara orang-orang beriman).

"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An-Nisa: 59) Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bagian sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum. Bagian itulah yang menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya Ulil Amri Minkum dan siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.

Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 59) Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang sebenarnya ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Quran dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan

bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Hujuraat: 1) Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu di masa paceklik mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum muminat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Muminin langsung ber-istighfar dan berkata: "Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali...!" Subhanallah, demikianlah komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan RasulNya dalam segenap perkara yang diperselisihkan. Makna Ulil Amri Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas bahwa, Wa uulil amri minkum (Dan Ulil Amri di antara kamu), maknanya adalah ahli fiqh dan ahli agama. Sedangkan menurut Mujahid, Atha, Al-Hasan Bashri dan Abul Aliyah-begitu pula Ibnu Qayyim Al-Jauziyah-, bermakna ulama. Ibnu Katsir menambahkan, Yang jelas bahwa Ulil Amri itu umum mencakup setiap pemegang urusan, baik umara maupun ulama. Ibnu Qayyim dalam Ilamul Muwaqiin mengatakan, Allah SWT memerintahkan manusia agar taat kepada Ulil Amri, dan Ulil Amri itu tidak lain adalah ulama, akan tetapi diartikan juga sebagai umara (pemerintah/tokoh formal masyarakat). Jadi, tidaklah benar Ulil Amri bermakna satu-satunya pemimimpin dalam satu jamaah tertentu. Ibnu Katsir berkata, Ayat di atas (QS. An-Nisa: 59) adalah perintah untuk mentaati ulama dan umara. Untuk itu Allah berfirman, Taatlah kepada Allah, yaitu ikutilah Kitab-Nya (Al-Quran), Dan taatlah kepada Rasul, yaitu peganglah Sunnahnya, Dan Ulil Amri di antara kamu, yaitu pada apa yang mereka perintahkan kepada kalian dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. Karena, tidak berlaku ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah. Artinya taat kepada Ulil Amri ada batasannya, berbeda dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang merupakan sesuatu yang mutlak.

You might also like