You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Persoalan politik yang timbul sepeninggalan Usman Ibn Affan membawa perpecahan dikalangan umat Islam. Persoalan-persoalan politik yang terjadi dalam lapangan politik ini membawa timbulnya persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam. Perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan aliran-aliran teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi dikalangan umat Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masing-masing kelompok, ulama dari kedua kelompokpun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan. Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkan haq dan kebenaran pada kelompok yang ini atau itu. Dalam persoalan pertentangan ini, timbul suatu golongan baru yang bersifat netral, yaitu golongan Murji'ah. Kaum murjiah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertentanganpertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.

Dalam perjalanan sejarahnya, kaum murjiah mulai menanggapi persoalan-persoalan teologis yang mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, hukuman atas dosa. Hal ini nampaknya memicu perbedaan pendapat dikalangan para pendukung murji'ah sendiri, akhirnya kaum murjiah pecah menjadi beberapa golongan, yaitu Golongan Murjiah Moderat yang berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan dan golongan Murjiah Ekstrim yang berpendapat bahwa iman hanya pengakuan hati (tasdiq bi al-qalb). Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang Murjiah dan perkembangan pemikiran dalam mewarnai pemahaman ketuhanan dalam agama Islam, yaitu perbandingan dari pemikiran sekte-sekte antara aliran Murjiah ekstrim dan Murjiah moderat di mana mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana latar belakang kemunculnya kaum Murjiah? 2. Siapa sajakah tokoh-tokoh kaum Murjiah? 3. Apa saja dokrin-dokrin murjiah? 4. Bagaimana pandangan Aliran Murjiah Ekstrim dan Moderat tentang status pelaku dosa besar dan konsep keimanan? 5. Apa sajakah kesesatan kaum Murjiah? 6. Bagaimanakah definisi iman menurut kaum Murjiah?

1.3 Tujuan 1. Mengetahui latar belakang kemunculnya kaum Murjiah. 2. Mengetahui tokoh-tokoh kaum Murjiah. 3. Mengetahui dokrin-dokrin murjiah. 4. Memahami pandangan aliran Murjiah Ekstrim dan Moderat tentang status pelaku dosa besar dan konsep keimanan. 5. Mengetahui kesesatan kaum Murjiah. 6. Memahami definisi iman menurut kaum Murjiah.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Latar Belakang Kemunculan Kaum Murjiah Pada mulanya, kemunculan aliran murjiah beranjak dari sikap pasif atau tidak memihak antara dua kelompok umat Islam yang tengah bertikai setelah pembunuhan Utsman. Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman bin Affan oleh para pengacau keamanan yang digerakkan oleh Abdullah bin Saba telah menimbulkan kekacauan besar di tengah kaum muslimin. Ali bin Abi Thalib kemudian dibaiat menjadi khalifah yang baru. Selaku khalifah, Ali berpendapat langkah yang harus segera diambil adalah menegakkan ketertiban dan mengembalikan stabilitas keamanan dan politik. Sementara itu beberapa orang sahabat yang lain memandang langkah yang harus segera ditempuh adalah mengusut dan mengadili para pengacau yang terlibat dalam pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Perbedaan sudut pandang ini mengakibatkan terjadinya dua peperangan besar anatara kaum muslimin, yaitu perang jamal antara pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan rombongan ummul mukminin Aisyah, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, dan perang shiffin antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan.1 Mereka menahan diri untuk tidak memberi penilaian siapa yang benar dan salah di antara kedua belah pihak dan lebih memilih menangguhkan atau mengembalikan (irja) penilaiannya kepada keputusan Allah kelak di akhirat. Kerasnya paham khawarij melahirkan sikap kritis dari sejumlah ulama yang menyebut dirinya Murjiah. Dalam sejarah, Murjiah adalah istilah bagi mereka yang memisahkan dari kelompok Islam yang bertikai.2

Sarkowi, Aliran-aliran Teologi Islam Klasik.hlm: 45

Ahmad Sahidin, Aliran-aliran dalam Islam, Jakarta: PT Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hlm: 34

Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, konflik berdarah yang terjadi pada umat Islam menjadi alasan dari beberapa sahabat Nabi untuk menghindari peperangan. Agar tidak terjerumus dalam kubangan perang saudara, Saad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Amran bin Al-Husain, Abu Bakrah, dan sahabat lainnya mengambil sikap tidak berpihak pada siapapun. Karena sikap mereka itu, mereka dijuluki Murjiah. Kata irja' atau arja'a yang berarti penundaan, penangguhan dan pengharapan. Kata arja'a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan pada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja'a berarti pula melakukan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu, murji'ah artinya orang yang mengemudikan amal kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Mu'awiyah, serta pasukannya di hari kiamat kelak. Hal-hal yang melatarbelakangi kehadiran murjiah adalah: 1. Adanya perbedaan pendapat antara orang-orang syiah dan khawarij, mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengafirkan orang yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang Shiffin. 2. Adanya pendapat yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal. 3. Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan. Asal usul kemunculan kelompok Murjiah dapat dibagi menjadi dua sebab yaitu: 1. Permasalahan Politik Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan

dengan Al-Quran, dengan pengertian, tidak bertahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain.3 Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi Thalib, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syiah.4 Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah dan lebih baik menunda ( arjaa) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.5 Gagasan irja atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.6 2. Permasalahan Ke-Tuhanan Dari permasalahan politik, mereka kaum Murjiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi
3

Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007, Hlm: 57
4

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,

Jakarta: UI-Press, 1986, Hlm: 22


5

Ibid Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Op. Cit, 2007, Hlm: 56

mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murjiah menjatuhkan hukum mukmin.7 Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murjiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.8 Aliran Murjiah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.9 Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kata Murjiah itu sendiri yang berasal dari kata arjaa yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan, dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang melakukan dosa di hadapan Tuhan.10
7

Harun Nasution, Op. Cit, 1986, Hlm: 23 Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Op. Cit, 2007, Hlm: 57

Abuddin Nata.Ilmu Kalam, Filsafat dan Tassawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, Hlm: 33
10

Ibid, Hlm: 34

Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murjiah yang diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap orang Islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengaharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga.11 2.2 Tokoh-tokoh Murjiah Beberapa tokoh utama dari aliran Murjiah ini adalah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, Dirar bin Umar, Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Jahm bin Shafwan, Said bin Jubair, Thalq bin Habib, Amr bin Murra, Muharib bin Ziyad, Muqatil bin Sulaiman, Dharr, Amr bin Dharr, Hamdad bin Abu Sulaiman, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Qudaid bin Jafar.

2.3 Dokrin-dokrin Murjiah Dokrin atau ajaran pokok Murjiah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau dokrin irja dan arjaa yang diaplikasikan dalam banyak persoalan. Berkaitan dengan dokrin teologi Murjiaah, Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murjiah yaitu:12 1. Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak. 2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar. 3. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal. 4. Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

11

Harun Nasution, Op. Cit, 1986, Hlm: 24 Harun Nasution, Op. Cit, 1986, Hlm: 22

12

Sementara itu, Abu A la Al-Maududi menyebutkan dua dokrin pokok ajaran murjiah, yaitu:13 1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar. 2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan tnadarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

2.4 Sekte-sekte Murjiah Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murjiah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) di kalangan para pendukung ekstrim.14 1. Murjiah Moderat Pengagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadis. Kelompok ini berpendirian bahwa: a. Pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. b. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan rasul-rasul-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan namun dalam garis besar.
13

Murjiah

sendiri.

Harun

Nasution

secara

garis

besar

mengklasifikasikan Murjiah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan

Abu Ala Al-Maududi, Al-khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Al-baqir, Bandung: Mirzan, 1994, Hlm: 279
14

Harun Nasution, Op.Cit, hlm 24-27

c. Iman ini tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. 2. Murjiah Ektrim Adapun yang termasuk kelompok ektrim adalah Al-Jahmiyah, AshShalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut. a. Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia. b. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan. c. Yunusiyah dan Ubadiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist). d. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Kabah, tetapi saya tidak tahu apakah Kabah di India atau tempat lain.

10

2.5 Kesesatan murjiah Murjiah adalah sekelompok orang atau golongan yang berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengakui, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah. Dengan kata lain orang serupa itu tetap mengucapkan kedua syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetap mukmin dan bukan kafir. Itulah bahayanya pemikiran mereka karena jika banyak orang yang berpendapat seperti mereka maka akan banyak terjadinya maksiat dan kejahatan di muka bumi ini karena mereka berfikiran selama mereka berada dalam syahadat maka kelak. Adapun kesesatan murjiah yang lain selain tidak menganggap dosa besar adalah mereka berpendapat bahwa budak mereka itu para thaghut dan budak Laa Ilaaha Illallah. Murjiatul Ashri di sini memiliki syubhat lain yang berkaitan dengan yang sebelumnya, yang telah mereka warisi dari para guru mereka Murjiah pertama, yaitu ihitijaj mereka dengan sebagian hal-hal umum yang ada dalam khabar-khabar yang tsabit dari Nabi saw bahwa siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah maka dia masuk surga, atau haramnya darah dan hartanya, seperti hadits Usamah Ibnu Zaid Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan..? hadits bithaqah dan yang lainnya. Sedangkan al haq adalah bahwa orang yang suka mentelaah kitab-kitab ahlul ilmi, maka ia mengetahui bahwa ahlul ilmi telah membahas tuntas masalah-masalah ini sebagai bentuk bantahan dan penjelasan. Dan dengan ini nampak jelas kebatilan satu syubhat dari syubhat-syubhat Murjiatul Ashri yaitu penutupan mereka akan thaghut-thaghut mereka, dengan klaim bahwa An Najasyi memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan setelah dia masuk Islam, namun demikian Nabi saw tidak mengkafirkannya, namun kejahatan atau dosa-dosa mereka tidak akan diperhitungkan

11

justru beliau menyatakan ke-Islaman dia dan menshalatkannya tatkala meninggal dunia. Sungguh besar ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka, mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan . Justru beliau telah memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan kepada mereka saat itu, dan beliau mengikuti apa yang telah difardlukan atas mereka pada waktu itu, karena ajaran Islam saat itu belum sempurna, sehingga pemasrahan diri, ketundukan dan pengakuan akan laa ilaaha illallah dan makna yang dikandung di dalamnya berupa baraah dari setiap apa yang diibadati selain Allah adalah al iman dan ittiba syariat serta pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan saat itu, terutama bila engkau telah mengetahui bahwa An Najasyi telah menulis surat kepada Nabi saw seraya bersaksi bahwa beliau Rasulullah saat itu seraya jujur lagi membenarkan bahkan dia membaiat Rasulullah atas Islam, sehingga sebagian penduduk Habasyah memberontaknya seraya ingin merebut kerjaannya, dan bahwa dia mampu mengalahkan mereka, kondisi Habasyah tetap jadi miliknya setelah itu dan kaumnya pun mengakuinya di atas Islam dan ia akhirnya para usquf dan para pendeta

mengikutinya. Kemudian dia meninggal tidak lama setelah keislamannya, dan itu sebelum syariat turun sempurna. Adapun Najasyi yang disurati Nabi saw beserta Kisra, kaisar dan semua penguasa seraya mengajak mereka kepada Islam, maka ia adalah selain An Najasyi muslim yang dishalatkan Nabi saw sebagaimana dalam shahih Muslim, dan Ibnul Qayyim telah mengisyaratkan kepada hal ini dalam Zaadul Maad, serta beliau sebutkan kekeliruan sebagian para perawi di dalamnya dalam mencampur adukkan antara dua orang ini.

2.6 Definisi Iman Menurut Murjiah

12

Kaum murjiah yaitu kaum yang berkitikad bahwa dosa besar tidak menjadi masalah kalau disertai oleh iman. Jadi, seseorang tidak perlu bertobat karena berbuat dosa besar. Yang penting orang itu beriman, nanti imannya itu dapat mengikis atau kebal terhadap dosa. Mereka menyepelekan dosa besar, karena dosa besar dianggap tidak ada dampaknya terhadap iman seseorang. Aliran itu jelas sangat berbahaya kepada Islam karena membuka pintu selebar-lebarnya untuk berbuat dosa. Orang tidak segan-segannya melakukan dosa besar karena bagaimanapun besarnya, kalau ia masih beriman, pasti tidak akan mendapat sikasaan. Taat dan ibadah tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah iman, ikhlas, dan mahabbah (cinta) kepada Allah dan Rasul. Tanpa ibadah dan taat pun, kalau ia ikhlas dan yakin serta mahabbah kepada Allah dan Rasulnya, seseorang akan masuk surga. Orang mukmin masuk surga bukan dengan amal dan taatnya, melainkan karena keikhlasan dan keyakinan. Mereka menyakini bahwa iman adalah mengetahui Allah dan membenarkanNya tanpa melalui perbuatan. Meski tidak beramal baik, apabila sudah mengucapkan syahadah, ia sudah termasuk orang beriman. Meskipun pengusa Daulah Umayyah berbuat zalim, menurut Murjiah, wajib ditaati karena masih bisa disebut Mukmin. Jelaslah bahwa kehadiran Murjiah secara tidak langsung melegitimasi tampuk kekuasaan Daulah Umayyah. Menurut Murjiah, orang Islam yang melakukan dosa besar dan masih mengucap syahadah, masih termasuk Mukmin dan bukan kafir atau musyrik. Perbuatan-perbuatan baik orang yang melakukan dosa besar akan menjadi pertimbangan masuk tidaknya ke dalam surga. Perbuatan manusia tidak dapat dipakai sebagai ukuran menentukan Islam atau kafirnya seseorang. Karena yang menentukan adalah iman di hati dan apa yang ada di dalam hati manusia hanya ia dan Allah yang tahu. Karena itu, seorang manusia tidah berhak menilai atau menvonis seorang sebagai kafir atau Mukmin.15
15

Ahmad Sahidin, Aliran-aliran dalam Islam, Jakarta: PT Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hlm: 34

13

Iblis menurut mereka sangat arif terhadap Allah. Kalau hanya sekedar maksiat dan tidak mau menaati perintah Allah, ia tidak akan divonis dengan kutukan (laknat). Ia menjadi kafir oleh sebab takaburnnya, bukan karena maksiatnya. Ia sebenarnya mukmin, hanya tidak ikhlas dan tidak ada mahabahnya sehingga menjadi takabur. Kaum murjiah tidak mengakui bahwa iman bercabang-cabang seperti dinyakini oleh kaum ahlus sunnah, yaitu lebih dari tujuh puluh cabang, seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. Kaum Murjiah beriktikad bahwa iman hanya bulat dan utuh tidak terbagi-bagi. Dalam kitabnya yang berjudul Maqalat al islamiyin, Imam Al Asyari menulis, Mereka tidak mengakui bahwa iman terbagi-bagi dan juga tidak berkurang dan berlebih. (Juz 1 hal. 134). Menurut kaum ahlus sunnah waljamaah iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Iman bisa bertambah dengan taat dan ibadat. Sebaliknya iman akan berkurang dengan berkurangnya taat dan ibadat. Kaum Murjiah sanyai dalam pengamalan dan penghayatan agama karena yang penting niat dan ikhlas, bukan amal dan taat.16 Mereka berkeyakinan bahwa amalan ibadah bukan dari bagian keimanan karena hakikat keimanan itu ada tiga: pertama, keyakinan dalam hati dan diucapkan dengan lisan; kedua, keyakinan atau pembenaran dalam hati; ketiga perkataan dengan lisan saja.

Ada dua pangkal kesalahan golongan Murjiah: 1. Anggapan mereka bahwa iman hanya sekedar pembenaran dan ilmu, tidak perlu amal, keadaan, aktifitas, kehendak, cinta, dan rasa takut di dalam hati.

16

Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, hlm: 72

14

2. Anggapan mereka bahwa setiap orang yang dihukumi pembuat Syariat sebagai orang kafir, kekal di dalam neraka. Golongan murjiah berkata: Iman adalah pembenaran hati dan perkataan lidah, tapi amal tidak termasuk bagian darinya. Golongan Murjiah mempunyai beberapa alasan yang dianggap syariyah (bahwa amal tidak termasuk dalam iman), yang karenanya ada kerancuan pada diri mereka. Mereka melihat bahwa Allah membedakan antara iman dan amal dalam kitab-Nya. Apabila ada seseorang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pada suatu pagi lalu dia meninggal sebelum sempat mengerjakan amal-amal yang diwajibkan atas dirinya, maka dia mati dalam keadaan mukmin dan ia termasuk penghuni surga. Hal ini menunjukkan bahwa amal bukan temasuk bagian iman. Mereka berpaling dari sabda Nabi saw dalam sebuah hadits yang mulia, Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh lebih cabangnya. Yang paling tinggi adalah perkataan Laa Ilaaha Illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Mereka menganggap kandungan hadits ini sebagai majaz. Pemahaman golongan Murjiah mengenai iman adalah:17 1. Iman hanya sebatas penetapan dengan lisan, atau sebatas pembenaran dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran. 2. Iman tidak terbagi-bagi, orang yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama. 3. Iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang, akan tetapi ia merupakan satu kesatuan yang utuh. Sehingga suatu dosa besar (kemaksiatan) tidaklah dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun, sebagaimana pula suatu ketaatan tak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasiq, bahkan
17

tergolong orang yang

sempurna

imannya dan

tak akan

mendapatkan adzab apapun dari Allah SWT.


Ibnu Taimiyah, Al-Iman, Jakarta: Daarul Falah, 2001

15

4. Mengharamkan istitsn (mengucapkan saya beriman insya Allah) di dalam iman. 5. Orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram (dosa dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya. 6. Membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati. 7. Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hakikat keimanan, dengan tiga versi: Iman adalah keyakinan dalam hati dan perkataan dengan lisan (versi Murji`ah Fuqaha). Iman adalah pengetahuan/pembenaran dalam hati saja (versi Jahm bin Shafwan dan mayoritas Murji`ah). Iman adalah perkataan dengan lisan saja (versi Muhammad bin Karram). Murjiah dalam hal iman ada dua macam : a. Ghulatul Murjiah yakni Murjiah Mutakallimin (ahli kalam) Adapun murjiah mutakallimin, maka Jahm bin Shofwan dan para pengikutinya telah mengatakan: Iman itu cukup dengan tasdiq (pembenaran) di dalam hati dan mengetahuinya. Mereka tidak menjadikan amalan sebagai bagian dari iman. Mereka beranggapan bahwa seseorang bisa menjadi mukmin yang sempurna imannya hanya dengan hatinya, meskipun ia menghina Allah swt dan rasul-Nya, memusuhi dan meninggalkan isi mushaf-mushaf dan kaum wali-wali mukminin Allah, puncak memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Allah swt, menghancurkan masjid penghinaan yang luar biasa, sementara itu mereka memuliakan orangorang kafir setinggi-tingginya. Mereka berkata, Ini semua adalah maksiat

16

yang tidak merusakkan keimanan yang ada di dalam hatinya, akan tetapi ia melakukan semua ini sedangkan bathinnya tetap beriman kepada Allah. Kaum Murjiah seseorang kekafiran. Kekafiran menurut mereka hanyalah satu tingkat saja, yaitu kejahilan. Iman dalam pandangan mereka juga hanya satu tingkat, yaitu pengetahuan (ilmu) baik mereka hatinya mendustakan atau membenarkanya. Sesungguhnya berselisih apakah tasdiqul qolbi (membenarkan dengan hati) itu di berkata, Dijatuhkannya vonis kufur kepada

dunia hanyalah karena ucapan-ucapan yang menjadi tanda

merupakan entitas lain dari ilmu ataukah ia suatu entitas yang sama. Meskipun pendapat ini adalah pendapat yang paling rusak tetapi tetap digunakan untuk mendefinisikan iman. Banyak tokoh-tokoh ahli kalam dari madzhab Murjiah menyatakannya. Tetapi oleh tokoh salaf seperti Waki bin al-Jarrah, Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaid dan lain-lainnya telah mengkafirkan orang yang berpendapat seperti ini. Mereka menyatakan, Iblis dinyatakan kafir dengan nash Al-Quran. Dikafirkan karena istikbar (kesombongan) dan serta sikap penolakan terhadap perintah untuk sujud (menghormati) kepada Adam, bukan karena ia mendustakan khabar dari Allah. Begitu juga Firaun dan kaumnya dinyatakan kafir berdasarkan nash al-Quran. Allah swt berfirman:

Dan mereka mengingkarinya Karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. (TQS. An-Naml:14) Nabi Musa as berkata kepada Firaun :

17

Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mushaf-mushaf itu kecuali tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti bukti yang nyata (TQS Al-Isra:102) Ini adalah kata-kata Nabi Musa ash-Shadiq al-Mashduq (yang benar dan dibenarkan) kepada Firaun. Maka, ayat ini menunjukkan bahwa Firaun itu telah mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat-ayat ini, meskipun dia adalah makhluk Allah yang paling besar pembangkangan dan sikap aniayanya karena keburukan keinginan dan tujuannya, bukan karena ketidak tahuanya. Allah berfirman:

Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari mereka, membunuh anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka, sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (TQS Al-Qashas: 4). Begitu juga, Allah telah berfirman tentang orang-orang Yahudi

Orang-orang yang telah kami beri kitab mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak- anak mereka sendiri. (TQS Al-Baqarah:146)

Dan begitu juga kaum musyrikin yang telah disebut oleh Allah

18

Sesungguhnya mereka bukan mendustakan kamu akan tetapi orang orang yang zalim itu mengingkari ayat ayat Allah Subhaanahu Wa Taaalaa. (TQS Al-Anam 33) b. Murjiah Fuqaha (ahli fiqih) Murjiah Fuqoha, yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa iman itu adalah tashdiqul qolbi (membenarkan di dalam hati) dan ucapan di dalam lisan, sedang amal bukan bagian darinya. Di antara mereka ada beberapa ahli fiqih dari Kufah dan ahli ibadahnya. Pandangan mereka tidak sama dengan pandangan Jahm. Mereka mengakui bahwa seseorang itu tidak akan menjadi mukmin bila tidak menyatakan keimananya ketika dia mampu melakukannya. Mereka pun mengetahui bahwa Iblis, Firaun dan lain-lainnya adalah kafir meskipun hati mereka membenarkan keberadaan Allah. Mereka juga tidak berpendapat bahwa iman bisa bertambah dan berkurang karena amal. Namun mereka mengatakan bahwa bertambahnya iman itu terjadi sebelum sempurnanya tasyri, maksudnya setiap kali Allah menurunkan ayat maka ia wajib membenarkanya. Dengan demikian, tashdiq (pembenaran) ini akan bergabung dengan tashdiq yang telah ada sebelumnya, itulah yang dimaksud bertambahnya iman. Akan tetapi setelah sempurnanya ayat-ayat yang Allah turunkan, menurut mereka, iman tidak lagi bertingkat -tingkat, tetapi iman manusia seluruhnya sama. Imannya as-sabiqun al-awalun seperti Abu Bakar dan Umar adalah sama dengan iman manusia yang paling durjana seperti alHajaj, Abu Muslim al-Khurasani dan lain-lainya. Pada masa kita ini banyak terjadi irja, baik dikalangan orang-orang awam ataupun di kalangan santri. Diantara irja yang terjadi pada orang awam adalah ucapan mereka yang masyhur iman itu di hati atau kata mereka iman adalah keyakinan lalu mereka tidak memperhatikan amal, mereka mengabaikannya atau menyepelekanya dengan dalih sudah cukup dengan kebaikan hati dan yang penting niatnya.

19

Adapun irja yang terjadi di kalangan kaum santri atau juru dakwah. Pada umumnya irja tersebut bukan terletak dalam mendifinisikan iman, karena mereka telah mendifinisikannya dengan difinisi yang benar. Mereka mengatakan, Iman adalah ucapan dengan lesan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota tubuh. Atau mereka katakan, Iman adalah ucapan dan amalan. Definisi iman yang mereka katakan ini adalah pendapat ahlussunah. Namun ketika mereka menerapkan definisi tersebut di dalam realita dan khususnya dalam menerapkan nawaqidhul iman (pembatal keimanan) dimensi amal yang mereka tetapkan dalam definisi iman itu dikesampingkan, bahkan dimensi tersebut nyaris dinafikan. Mereka mengatakan bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Sebagaimana dikatakan oleh ahlussunah. Tetapi seluruh dosa-dosa, menurut mereka, hanyalah mengurangi. Kesempurnaan iman saja dan tidak ada dosa-dosa yang bisa menggugurkan pokok keimanan, kecuali pada satu keadaan saja yaitu, bila

perbuatan dosa itu disertai dengan pengingkaran atau istihlal (penghalalal) atau keyakinan. Begitulah mereka memandang perbuatan dan dosa-dosa secara mutlak, padahal nabi saw telah menjelaskan di dalam sabda beliau;

Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang [dan dalam riwayat at Tirmidzi dikatakan pintu] sedang yang paling utama [dalam riwayat at-Tirmidzi yang paling tinggi] adalah ucapan laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan sedangkan malu itu satu cabang dari iman (HR Muslim dan Ashab as-Sunan, dari Abu Hurairah).

20

Tidak seluruh cabang dan pintu iman itu memiliki kedudukan yang sama. Cabang Laa ilaha illallah tidak sama dengan cabang malu atau menyingkirkan kotoran dari jalan. Ada di antara cabang-cabang itu yang ketiadaannya hanya akan mengurangi kadar keimanan saja, seperti malu dan ada di antaranya yang ketiadaannya akan menggugurkan iman, seperti Laa ilaha illallah. Maksudnya kalau saya tidak menyingkirkan duri di jalan, anda tidak boleh menuduh saya tidak beriman. Anda baru boleh menuduh saya tidak beriman bila saya mengangkat Tuhan lain selain Allah swt (melanggar Laa ilaha illallah baik melalui perbuatan, perkataan maupun hati). Khawarij dan kaum ghulat mukaffiroh menjadikan ketiadaan salah satu cabang iman sebagai hal yang menggugurkan pokok keimanan. Kemudian datang murjiatul ashr (murjiah kontemporer) sebagai antitesa terhadap kaum ghulat mukaffirah, mereka menjadikan lenyapnya seluruh cabang iman hanya sekedar mengurangi kadar keimanan, dan tidak ada satupun tindakan yang bisa menghilangkan atau menggugurkan pokok keimanan kecuali bila hal itu berkaitan dengan pembangkangan atau keyakinan.

BAB III PENUTUP Nama murjiah diambil dari kata irja atau arjaa yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Kata arjaa mengandung pula arti

21

memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan Rahmat Allah. Oleh karena itu Murjiah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak. Asal usul kemunculan kelompok Murjiah dapat dibagi menjadi dua sebab yaitu: 1. Permasalahan Politik 2. Permasalahan ke-Tuhanan Beberapa tokoh utama dari aliran Murjiah ini adalah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, Dirar bin Umar, Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Jahm bin Shafwan, Said bin Jubair, Thalq bin Habib, Amr bin Murra, Muharib bin Ziyad, Muqatil bin Sulaiman, Dharr, Amr bin Dharr, Hamdad bin Abu Sulaiman, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Qudaid bin Jafar. Doktrin teologi Murjiah menurut Harun Nasution ada empet yaitu: 1. Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-Asy ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak. 2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar. 3. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal. 4. Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murjiah menjadi dua sekte, yaitu: 1. Murjiah Moderat

22

Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. 2. Murjiah Ektrim Murji'ah Ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya, mengakui dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul-Nya. Adapun kesesatan murjiah yaitu mereka menganggap orang yang berbuat dosa besar tidaklah kafir dan memiliki peluang masuk surga apabila bertobat. Mereka berpendapat bahwa budak mereka itu para thaghut dan budak Laa Ilaaha Illallah. Aliran Murjiah menyakini bahwa iman adalah mengetahui Allah dan membenarkanNya tanpa melalui perbuatan. Meski tidak beramal baik, apabila sudah mengucapkan syahadah, ia sudah termasuk orang beriman. Murjiah dalam hal iman ada dua macam : 1. Ghulatul Murjiah yakni Murjiah Mutakallimin (ahli kalam) 2. Kedua: Murjiah Fuqaha (ahli fiqih)

DAFTAR PUSTAKA

23

Abuddin, Nata. 1995. Ilmu Kalam Filsafat dan Tassawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Al-Maududi, Abu Ala. 1994. Al-khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Al-baqir. Bandung: Mirzan Muhammad, Ahmad. 1998. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press Rozak , Abdul dan Rosihan Anwar. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia Taimiyah, Ibnu. 2001. Al-Iman. Jakarta: Daarul Falah Sahidin, Ahmad. 2009. Aliran-aliran dalam Islam. Jakarta: PT Salamadani Pustaka Semesta Sarkowi,,,,,,,,,,,,,, Syihab, A.Z. 1998. Akidah Ahlus Sunnah. Jakarta: Bumi Aksara

24

You might also like