You are on page 1of 45

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013

BAB I KERTAS KERJA FARMASI A. Data Umum


No MR Nama Pasien Alamat : 710956 : Mrs. SH : Dusun 1 Kec.Babat Kab.Muba : Islam Ruangan : Kamar 7 bad 7, RC

Dokter yang merawat : Dr.Bambang Farmasis : Dessy Fajarini, S.Farm, Futri Mayank Sari S.Farm, Septiani Martha S.Farm, Weni Septariza S.Farm, Winda Septiana S.Farm. : Jamkesmas : 13 Maret 2013 : 21 Maret 2013 :

Agama

Jaminan Tanggal Masuk Tanggal Keluar Berat Badan

Jenis Kelamin : Perempuan Umur Tinggi Badan : 48 Tahun :

Riwayat Penyakit sekarang : RPP 3 minggu SMRS, os mengeluh nyeri perut, hilang timbul yang menjalar kepinggang belakang seperti ditusuk-tusuk. Demam (-), mual/muntah (+), sesak (-), nafsu makan menurun. Os berobat di RS Sungai Lilin dan dirawat selama 4 hari dan dikatakan gejala maag. Os pulang dengan keluhan hilang. 2 hari SMRS keluhan berulang, nyeri perut kanan atas menjalar ke pinggang semakin hebat, hilang timbul. Demam (+), dan demam hilang saat nyeri redah, mual/muntah (+). Os berobat ke RSMH dan dirawat. Keluhan Utama: Nyeri perut kanan atas, menjalar ke pinggang sejak 2 hari yang lalu. Sejarah Pengobatan / Pembedahan yang telah dialami : Os pernah di rawat di RS Sungai Lilin Selama 4 hari. Diagnosa: Gastritis Kronis + tanda dehidrasi + nyeri epigastrik + DM tipe II tidak terkontrol Riwayat penyakit sebelumnya : Hipertensi disangkal, DM disangkal, sakit kuning disangkal Riwayat Penyakit keluarga : Tidak Ada

Page 1

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


B. Data Laboratorium
DATA LABORATORIUM (12 Maret 2013) Hasil Normal Penilaian 12,2 11,7-15,5 g/Dl Normal 11,8 4,5 11 x 103/mm3 Tinggi 35 38 44% Rendah 82 <20 mm/jam Tinggi 0 1-6% Rendah 0 2-6% Rendah 92 20-70% Tinggi 4 25-40% Rendah 70 <32 U/L Tinggi 102 <31 U/L Tinggi 3,4 3,6 5,5 mEq/L Rendah DATA LABORATORIUM (14 Maret 2013) Hasil Normal Penilaian 2,18 <1 mg/dL Tinggi 1,27 0 0,2 mg/dL Tinggi 0,91 <0,8 mg/dL Tinggi 56 <32 U/L Tinggi 92 <31 U/L Tinggi 5,9 6,4 8,3 g/dL Rendah 2,7 3,5 5,0 g/dL Rendah 8,8 4,4 6,4 % Tinggi Reaktif Non Reaktif 105 70 120 g/dl Normal 113 70 120 g/dl Normal Indikasi Lekositosis Reaksi Hemolitik Infeksi akut/kronik Eosipenia Neutropenia Neutrofilia Limfopenia Gangguan Hati Gangguan Hati Hipokalemia

Hemoglobin WBC Hematokrit LED Eusinofil Neutrofil Batang Neutrofil Segmen Limfosit SGOT SGPT Kalium

Indikasi

Bilirubin Total Bilirubin Direk Bilirubin Indirek SGOT SGPT Protein Total Albumin Hb-A1C HbsAg Glukosa Tidak Puasa Glukosa Puasa

C. Pemeriksaan Penunjang : D. Pemeriksaan Vital Sign : Tanggal 14 Maret 2013 15 Maret 2013 16 Maret 2013 17 Maret 2013 18 Maret 2013 19 Maret 2013 20 Maret 2013 TD (mmHg) 110/60 110/70 110/80 120/80 130/90 120/80 100/70 Nadi (x/menit) 101 84 80 82 84 80 84 Pernapasan (x/menit) 24 21 22 19 20 18 20 Suhu (C) 36,6 36,6 36,5 36 36,7 36,5 36,5

Page 2

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


21 Maret 2013 Permasalahan sosial yang Biaya pengobatan berhubungan dengan obat Alcohol : Jamkesmas Coffein :Tembakau : -

Alergi / intoleran Allergen Reaksi -

E. Daftar DRP Pengobatan:


Nama Obat IVFD RL IVFD NaCl 0,9% Omeprazole Sukralfat Sirup Domperidon Tab Metformin Tab Vitamin B1, B6, B12 Antasida Sirup Tepat Indikasi Tepat Obat Tepat Pasien Tepat Dosis Waspada Efek Samping Infeksi pada tempat injeksi Trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan. Urtikaria, mulut kering, mual, sakit kepala, diare, konstipasi, Konstipasi Kemerahan pada kulit Asidosis laktat, Sindrom neuropati. Konstipasi

F. Hasil Pemeriksaan BSS Tanggal 16 Maret 2013 17 Maret 2013 18 Maret 2013 19 Maret 2013 20 Maret 2013 06.00 210 315 215 167 180 11.00 228 190 189 156 220 17.00 203 222 244 184 179 22.00 224 256 245 220 210

Page 3

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


BAB II TINJAUAN PENYAKIT DIABETES MELITUS TIPE II A. Diabetes Melitus Tipe II Diabetes tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia diatas 45 tahun, tetapi akhir2 ini penderita DM tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasi meningkat. Etiologi DM tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2 antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pra disposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggungjawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM tipe 2. Berbeda dengan DM tipe 1, pada penderita DM tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat terdektesi jumlah insulin yang cukup didalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologi DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel beta langerhans secara otoimun sebagaimana pada DM tipe 1. dengan demikian defisiensi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu penanganan nya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel beta kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam 2 fase. Fase 1 sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM tipe 2 sel-sel beta menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel beta pankreas yang tejadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitaan mutakhir menunjukkan bahwa penderita DM tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM tipe 2 dibagi menjadi 4 kelompok :

Page 4

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal b. Kelompok yang hasil uji toleransinya abnormal, disebut juga diabetes kimia. c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal(kadar glukosa plasma puasa kurang dari140 mg/dl) d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa lebih dari140 mg/dl) B. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)

C. Faktor Resiko

Page 5

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013

D. Gejala dan Klinik Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf. E. Penatalaksanaan Diabetes The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Page 6

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013

Terapi Non Farmakologi a. Pengaturan Diet Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.

Page 7

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral. b. Olahraga Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olahraga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa. Terapi Farmakologi Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada. Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: a. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin). b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif. c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor -glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga starch-blocker.

Page 8

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013

F. Pemeriksaan HbA1C HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel. Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita diabetes (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya ) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih intensif untuk menghindari komplikasi.Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%. Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah ada kuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali. HEPATITIS

Page 9

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


Istilah "hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati. Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat-obatan, termasuk obat tradisional. Virus hepatitis terdiri dari beberapa jenis : hepatitis A, B, C, D, E, F dan G. Hepatitis A, B dan C adalah yang paling banyak ditemukan. Manifestasi penyakit hepatitis akibat virus bisa akut (hepatitis A), kronik (hepatitis B dan C) ataupun kemudian menjadi kanker hati (Hepatitis B dan C). HEPATITIS B A. Pendahuluan Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang menginfeksi hati hominoidae, termasuk manusia, dan menyebabkan peradangan yang disebut hepatitis. Virus hepatitis B adalah Hepadnavirus''hepa''dari''hepatotrophic''dan''''DNA karena itu adalah virus DNA partikel virus, (virion) terdiri dari sebuah amplop lipid luar dan inti nukleokapsid icosahedral terdiri dari protein. Nukleokapsid yang membungkus DNA virus dan DNA polimerase yang memiliki aktivitas reverse transcriptase. Pada amplop luar mengandung protein tertanam yang terlibat dalam mengikat virus, dan masuk ke dalam, sel-sel rentan. Virus ini salah satu virus yang terbungkus hewan terkecil dengan diameter virion dari 42 nm, tetapi bentuk-bentuk pleomorfik ada, termasuk badan-badan berserabut dan bola kurang inti. Partikelpartikel ini tidak menular dan terdiri dari lipid dan protein yang merupakan bagian dari permukaan virion, yang disebut antigen permukaan (HBsAg), dan diproduksi secara berlebih selama siklus hidup virus.

Gambar Virus Hepatitis B HBV tidak patogenik terhadap sel, tetapi respons imun terhadap virus ini yang bersifat hepatotoksik. Kerusakan hepatosit menyebabkan peningkatan kadar ALT yang terjadi akibat lisis hepatosit melalui mekanisme imunologis. Kesembuhan dari infeksi HBV bergantung pada integritas sistem imunologis seseorang. Infeksi kronik terjadi jika terdapat gangguan respon imunologis terhadap infeksi virus. Virus hepatitis B dapat menimbulkan hepatitis akut maupun kronik (berlangsung secara mendadak dan cepat memburuk). Selain itu Virus hepatitis B dan hepatitis C mempunyai resiko penderita terkena kanker hati. Virus Hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah, partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus.

Page 10

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. HBV merangsang respon imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respon imun non spesifik (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Untuk proses eradikasi HBV lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida HBVMHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presentating Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida HBV-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida HBV yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkanoleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik). Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti-Hbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel HBV bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik HBV bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg.

Page 11

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013

Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi HBV dapat diakhiri (akut), sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi HBV yang menetap (kronik). Proses eliminasi HBV oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu. Faktor virus antara lain: terjadinya imunotoleransi terhadap produk HBV, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan HBV yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom HBV dalam genom sel hati. Faktor pejamu antara lain: faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respon antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal. Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk HBV dalam persistensi HBv adalah mekanisme persistensi infeksi HBV pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HbsAg dan HbeAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi HBV, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi HBV dapat disebabkan karena mutasi pada daerahpre -core dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HbeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi.

B. Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronik Ada 4 fase pada perjalanan penyakit hepatitis B kronik, yaitu fase imunotolerans, fase imunklirens (imunoaktif), inactive carrier state, dan fase reaktivasi. Fase Imunutolerans
Page 12

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap HBV sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu HBV ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA HBV tinggi dan konsentrasi ALT (alanin aminotransferase) yang relatif normal. Pada fase imunotolerans praktis tidak ada respon imun terhadap partikel virus hepatitis B sehingga tidak ada sitolisis sel-sel hati yang terinfeksi dan tidak ada gejala. Fase imunoklirens Pada fase imunoklirens didapatkan kadar transaminase yang meningkat dan pada fase ini tubuh memulai memberikn respon imun terhadap hepatitis B dan hal ini akan mengubah HBeAg yang positif menjadi negatif dan anti HBe menjadi positif. Pada fase ini terjadi gejala klinik dan kenaikan transaminase dengan berbagai tingkat mulai dari yang asimptomatik sampai dengan gejala klinik yang parah yang dapat terjadi berulang kali. Pada fase ini dapat terjadi eksaserbasi akut yang disebut dengan flare. Bila flare ini terjadi berulang kali maka sirosis hati akan cepat terjadi. Fase inactive carrier state Setelah fase imunklirens ini berlangsung, penderita masuk ke dalam fase inactive carrier state di mana praktis tidak ada gejala klinik, trasaminase biasanya normal, HBeAg negatif dan anti HBe positif. Tetapi pada sebagian pasien, walaupun HBeAg negatif dan anti HBe positif, tetapi replikasi virus hepatitis B belum berhenti. Pasien-pasien ini mengidap infeksi hepatitis B dengan mutant pre core, virus yang telah mengalami mutasi ini tidak mampu membuat HBeAg tetapi anti HBe tetap dibentuk oleh host karena pada tingkat sel T respon imunologik terhadap HBcAg dan HBeAg sama. Pada pasien dengan VHB tipe liar, serokonversi HBeAg menjadi anti HBe merupakan pertanda baik dan kemungkinan untuk terjadi sirosis dan hepatoma kecil. Pada pasien-pasien dengan infeksi VHB mutant pre core karena masih adanya aktivitas penyakit dan jumlah partikel virus masih tinggi, maka lebih sering terjadi sirosis dan hepatoma. Berikut adalah skema perjalanan hepatitis B kronik menurut Schalm. Fase Reaktivasi Sekitar 20-30 % pasien hepatitis B kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan

C. Manifestasi Klinik dan Gejala Hepatitis Gejala mirip hepatitis A, tidak jauh berbeda dengan flu, yaitu hilangnya nafsu makan, mual, muntah, rasa lelah, mata kuning dan muntah serta demam. Penularan dapat melalui jarum suntik atau pisau yang terkontaminasi, transfusi darah dan

Page 13

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


gigitan manusia. Pengobatan dengan interferon alfa-2b dan lamivudine, serta imunoglobulin yang mengandung antibodi terhadap hepatitis-B yang diberikan 14 hari setelah paparan. Vaksin hepatitis B yang aman dan efektif sudah tersedia sejak beberapa tahun yang lalu. Yang merupakan risiko tertular hepatitis B adalah pecandu narkotika, orang yang mempunyai banyak pasangan seksual. Hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan anti HBs positif berarti Anda pernah terinfeksi virus Hepatitis B, namun virus tersebut sudah tidak ada lagi dalam darah Anda (HbsAg negatif). Itu bahkan menunjukkan bahwa Anda sekarang sudah mempunyai kekebalan terhadap Hepatitis B (anti HBs positif). Karena itu selama kadar antibodi anti HBs Anda tinggi, maka Anda tak perlu lagi divaksinasi. Imunisasi Hepatitis B dapat dimulai sejak bayi. Manifestasi klinis : 1) Secara klinis sangat menyerupai hepatitis A namun masa inkubasi jauh lebih lama 2) Gejala dapat samar dan bervariasi 3) Mengalami penurunan selera makan 4) Dispepsia, nyeri abdomen 5) Pegal-pegal yang menyeluruh, tidak enak badan dan lemah 6) Panas dan gejala pernafasan jarang dijumpai 7) Gejala ikterik bisa terlihat atau tidak. 8) Bila ikterik disertai tinja berwarna cerah dan urin berwarna gelap 9) Nyeri tekan pada hati dan splenomegali Gejala Hepatitis B >Jaundice/menguningnya kulit atau bagian putih pada mata, biasanya terjadi beberapa hari setelah Gejala Hepatitis B pertama muncul. Namun, mungkin terjadi hingga dua minggu setelah Gejala Hepatitis B dimulai. Pada titik ini, gejala awal cenderung membaik; tetapi gejala baru lain mungkin muncul, seperti sakit perut /sakit perut di sisi kanan. Namun dari Gejala Hepatitis B, tidak semua orang yang terinfeksi virus hepatitis B akan benar-benar merasakan gejalanya. Bahkan, sekitar 30 persen penderita penyakit ini merasakan gejalanya. Anda dapat terlihat dan merasa sangat sehat, namun masih terinfeksi penyakit dan dapat menulari orang lain. Namun, Bagi mereka yang menderita penyakit ini dan merasakan gejalanya, pada umumnya Gejala Hepatitis B dapat dirasakan dalam 1 sampai 4 bulan setelah terkena virus

D. Cara Penularan Ada dua cara penularan : 1. Secara horisontal dari pengidap hepatitis B ke orang lain, paling sering melalui suntikan, produk-produk darah, kontak sexual, akhir-akhir paling sering pada

Page 14

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


pecandu narkoba karena memakai alat suntik bersama dan dipakai berulang kali. Akhir-akhir ini diketahui bahwa antara keluarga yang serumah lebih mudah tertular bila ada pengidap hepatitis B, diduga penularan melalui air 1iur. Bila seorang tertular secara horisontal dan menderita Hepatitis B Akut, 5 -10 % akan menjadi hepatitis kronik, sedangkan yang 90- 95% akan sembuh, HbsAgnya menjadi negatif dan akan ditemukan Anti-HBs dalam darah. 2. Secara vertikal dari ibu pengidap hepatitis B ke bayi yang baru lahir . Penularan secara vertikal paling banyak menyebabkan hepatitis kronis, lebih kurang 80 -90 % akan menjadi pengidap hepatitis B. Tetapi diketahui bahwa HbsAg pada bayi yang tertular menjadi positif antara usia 6 minggu sampai 6 bulan. Hal ini memberi kesan bahwa penularan yang terjadi terutama saat terjadinya partus dan waktu ibu pengidap hepatitis B mengurus bayinya sehari -hari. Tetapi hal ini sangat tergantung pada keadaan replikasi ibu hamil tersebut. Bila ibu hamil berada dalam keadaan nonreplikasi ( HBeAg -), hanya kurang -lebih 56 % bayi yang menjadi hepatitis kronis. Sebaliknya jika dalam keadaan replikasi ( HBeAg + ) kurang lebih 90 % bayi akan menderita hepatitis kronis. Dengan dilakukanya vaksinasi secara masal, maka tingkat kronisitas hepatitis B menurun. Di negara-negara dengan prevalensi pengidap hepatitis B yang rendah penularan terutama secara horisontal, sedangkan di negaranegara dengan prevalensi sedang dan tinggi, penularan terutama secara vertikal. E. Gambaran Klinik Hepatitis B akut memiliki keluhan dan gejala yang sama dengan virus hepatitis akut lainnya. Sebagian besar (90%- 95 %) akan sembuh. Pada penularan secara vertikal biasanya gejala yang timbul minimal/subklinis dan justru banyak yangberprogresi menjadi hepatitis B kronis beserta komplikasi -komplikasinya di kemudian hari. Pada mereka yang kebetulan didapatkan HBsAg yang positif ( seperti pada medical check up) dan belum didapatkan adanya keluhan, biasanya memiliki prognosa yang lebih baik. Sebagian pengidap golongan ini termasuk kedalam pengidap sehat. Pada mereka yang ditemukan adanya HBsAg yang positif dan sudah didapatkan adanya keluhan, seperti cepat capek, mual, anoreksia, dll, biasanya sudah mengidap hepatitis B kronis. Dimana hepatitis B kronis persisten prognosanya lebih baik dibandingkan dengan hepatitis B kronis aktif. Mengapa pada sebagian penderita tetap pada stadium kronik persisten dan selama hidupnya tidak apa apa sedangkan pada penderita lainnya menjadi kronik aktif dan kemudian menjadi sirosis hati bahkan kanker hati? Tenyata hal ini tergantung dari interaksi antara replikasi virus hepatitis B yang kontinue dan status imunologi penderita (Sherlock). Bila penderita datang sudah didapatkan asites atau tandatanda hipertensi portal lainnya, dapat diduga bahwa os sudah menderita sirosis hati. Di Indonesia 30 % penderita sirosis hati berlanjut menjadi kanker hati (Sherlock). Hanya pada

Page 15

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


sebagian kecil penderita kanker hati tidak dapat kita temukanadanya sirosis hati. Untuk mengetahui secara tepat stadium yang diderita maka dibutuhkan biopsi hati. Namun tindakan ini jarang dilakukan karena kebanyakan pasien menolak untuk di biopsi, kecuali atas indikasi yang jelas. Karena itu kita menggunakan pemeriksaanpemeriksa-an penunjang lainnya yaitu : Petanda-petanda serologi HBV Pemeriksaan fungsi hati F. Tanda-Tanda Serologi HBV-Kronik a) HbsAg HBsAg sudah positif dalam masa inkubasi, biasanya 2-6 minggu sebelum timbulnya gejala-gejala. Pada Hepatitis B Akut HbsAg hilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan, kemudian timbul Anti-HBs yang akan tetap terdeteksi seumur hidup. Pada sebagian kecil Anti-HBS kemudian bisa tidak terdeteksi. Bila HBsAg tidak hilang,dan persisten lebih dari 6 bulan dinamakan Hepatitis B kronik. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap Hepatitis B kronis, HBsAg timbul antara usia 6 minggu sampai 6 bulan dan umumnya bersifat persisten. b) HbeAg HBeAg terdeteksi dalam serum dalam waktu singkat setelah terdeteksi HBsAg. HBeAg bersama dengan HBVDNA adalah tanda-tanda bahwa ada replikasi HBV yang masih aktif. Bi1a infeksi mereda HBeAg hilang dari serum dalam waktu singkat sebelum HbsAg menghilang. c) HBVDNA Seperti HBeAG, HBVDNA adalah petanda bahwa ada replikasi HBV yang masih aktif. Ditemukan dan hilang dari serum kira-kira bersamaan dengan HBeAg. Status Hepatitis B kronik ditentukan dengan memeriksa tanda-tanda berikut ini. Antara lain dapat dibedakan antara keadaan replikasi aktif dan nonreplikasi seperti di bawah ini : 1. Apakah HB kronik dapat menghilang dengan sendirinya ?? Pada HBV kronik umumnya; didapatkan HBsAg yang positif seumur hidup. Pada sebagian kecil HBsAg akan menghilang secara spontan dan akan timbul Anti-HBs yang positif, maka dalam keadaan demikian orang tersebut dapat dinyatakan sembuh. Banyak pasien berpindah-pindah antara keadaan replikasi dan non replikasi. Transformasi dari keadaan replikasi keadaan non replikasi disertai hilang HbeAg dan timbulnya Anti-Hbe. Serokonversi spontan dari HBeAg ke Anti-HBe dapat terjadi pada pasien dimana jumlahnya belum jelas, ada yang! mengatakan 10-15 % per tahun (Desai & Pratt ). 2. Pemeriksaan Transaminase

Page 16

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


Meningkatnya nilai transaminase (SGC SGPT) mencerminkan kerusakan hepatoseluler, namun enzimenzim tersebut dimiliki juga oleh organ lain SGPT lebih spesifik untuk hepar dibandingkan SGOT. Karena itu kami lebih menitikberatkan pada pemeriksa-an SGPT dalam penatalaksanaan hepatitis kronis. Transaminase bisa normal pada Hepatitis B kronik. Ada yang nilainya agak meningkat. Pada waktu terjadi eksaserbasi, reaktivasi proses replikasi ditandai peningkatan transaminase secara bermakna. Pada umumnya kita hanya memeriksa SGPT saja. Dalam penatalaksanaan HB kronik, yang dimaksud dengan SGPT meningkat adalah : peningkatan nilai lebih dari 2 kali batas normal, pada 3 kali pemeriksaan selang satu bulan berturut-turut dilakukan dalam waktu 3 bulan harus disingkirkan sebab-sebab dari peningkatan SGPT tersebut

G. Tujuan Penatalaksanaan HB kronik


Page 17

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


1. Menentukan status pasien pada waktunya pemeriksaan 2. Pada status replikasi memberi terapi spesifik dengan tujuan mengubah status replikasi ke arah status non replikasi. Transaminase jadi normal dan bila mungkin : HBeAg dan HBVDNA menjadi negatif. Tujuan ini biasanya dicapai dengan memberi terapi spesifik. HBsAg biasanya tetap positif. 3. Pada status non replikasi dimonitor secara berkala kadar transaminase dan diberi nasihat non spesifik. 4. Dalam keadaan tertentu perlu dilakukan biopsi yang hasilnya lebih tepat dibandingkan pemeriksaan seromarker dan transaminase. H. Terapi Non Farmakologi Hati yang normal halus dan kenyal bila disentuh. Ketika hati terinfeksi suatu penyakit, hati menjadi bengkak. Sel hati mulai mengeluarkan enzim alanin aminotransferase (ALT) ke dalam darah. Dengan keadaan ini memberitahukan pasien apakah hati sudah rusak atau belum. Bila konsentrasi enzim tersebut lebih tinggi daripada normal, menandakan hati mulai rusak. Sewaktu penyakit hati berkembang, perubahan dan kerusakan hati meningkat. Pengendalian atau penanggulangan penyakit hati yang terbaik adalah dengan terapi pencegahan agar tidak terjadi penularan maupun infeksi (DepKes, 2007). Penyakit hati dapat disebabkan oleh virus tetapi juga oleh bahan kimia hepatotoksik, termasuk alkohol, peroksid, toksin dalam makanan, obat, dan polusi. Ada obat yang khusus ditujukan pada penekanan virus hepatitis, dan juga ada pengobatan yang tidak spesifik (non farmakologik): mengobati gejala untuk mencegah atau mengurangi kerusakan pada sel hati; dan mencegah fibrosis dan lanjutan ke sirosis dan/atau kanker. Pengobatan non-spesifik ini dapat berasal dari produk jamu/alamiah. Banyak pasien hepatitis akut mengalami gejala yang dramatis (mual, sakit kuning, demam, kelelahan), dan mereka cenderung mendesak dokter untuk mengobatinya. Oleh karena itu, dokter meresepkan hepatoprotektor untuk menyamankan pasien. Satu ciri khas hepatitis virus ada flare pada ALT (tiba-tiba naik tajam pada satu tes, tetapi sudah kembali normal pada tes berikut). Hal ini terjadi walau tidak diberikan obat atau melakukan tindakan lain. Jadi penurunan pada ALT yang tinggi sering dianggap sebagai bukti keberhasilan hepatoprotektor. Terapi tanpa obat lainnya bagi penderita penyakit hati adalah dengan diet seimbang, jumlah kalori yang dibutuhkan sesuai dengan tinggi badan, berat badan, dan aktivitas. Pada keadaan tertentu, diperlukan diet rendah protein, banyak makan sayur dan buah serta melakukan aktivitas sesuai kemampuan untuk mencegah sembelit, menjalankan pola hidup yang teratur dan berkonsultasi dengan petugas kesehatan (DepKes, 2007). Tujuan terapi diet pada pasien penderita penyakit hati adalah menghindari kerusakan hati yang permanen; meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan dengan keluarnya protein yang memadai; memperhatikan simpanan nutrisi dalam tubuh; mengurangi gejala ketidaknyamanan yang diakibatkan penyakit ini; dan

Page 18

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


pada penderita sirosis hati, mencegah komplikasi asites, varises esofagus dan ensefalopati hepatik yang berlanjut ke komplikasi hepatik hebat. Diet yang seimbang sangatlah penting. Kalori berlebih dalam bentuk karbohidrat dapat menambah disfungsi hati dan menyebabkan terjadinya penimbunan lemak pada hati (DepKes, 2007). Jumlah kalori dari lemak seharusnya tidak lebih dari 30% jumlah kalori secara keseluruhan karena dapat membahayakan sistem kardiovaskular. Selain diet yang seimbang, terapi tanpa obat ini harus disertai dengan terapi non farmakologi lainnya seperti segera beristirahat bila merasa lelah dan menghindari minuman beralkohol (DepKes, 2007). Transplantasi hati dewasa ini merupakan terapi yang diterima untuk kegagalan hati yang tak dapat pulih dan untuk komplikasikomplikasi penyakit hati kronis tahap akhir. Penentuan saat transplantasi hati sangat kompleks. Para pasien dengan kegagalan hati fulminan dipertimbangkan untuk transplantasi bila terdapat tanda-tanda ensefalopati lanjut, koagulapati mencolok (waktu prothrombin 20 menit) atau hipoglikemia. Pada pasien dengan penyakit hati kronis dipertimbangkan untuk transplantasi bila terdapat komplikasikomplikasi yang meliputi asites refrakter, peritonitis bakterial spontan, ensefalopati, perdarahan varises atau gangguan parah pada fungsi sintesis dengan koagulopati atau hipoalbuminemia (DepKes, 2007) I. Terapi Spesifik Banyak obat anti-virus yang telah dicoba untuk mengobati Hepatitis B tapi belum ada yang memuaskan. Pada waktu ini yang dianggap paling baik hasilnya adalah interferon dan lamivudin. 1) Lamivudin a. Indikasi : Hepatitis B kronik. b. Dosis : Dewasa, anak > 12 tahun : 100 mg 1 x sehari. Anak usia 2 11 tahun : 3 mg/kg 1 x sehari (maksimum 100 mg/hari). c. Efek samping : diare, nyeri perut, ruam, malaise, lelah, demam, anemia, neutropenia, trombositopenia, neuropati, jarang pankreatitis. d. Interaksi obat: Trimetroprim menyebabkan peningkatan kadar lamivudine dalam plasma. e. Perhatian: pankreatitis, kerusakan ginjal berat, penderita sirosis berat, hamil dan laktasi. f. Penatalaksanaan Tes untuk HBeAg dan anti HBe di akhir pengobatan selama 1 tahun dan kemudian setiap 3 -6 bulan. Durasi pengobatan optimal untuk hepatitis B belum diketahui, tetapi pengobatan dapat dihentikan setelah 1 tahun jika ditemukan serokonversi HBeAg. Pengobatan lebih lanjut 36 bulan setelah ada serokonversi HBeAg untuk mengurangi kemungkinan kambuh.

Page 19

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


Monitoring fungsi hati selama paling sedikit 4 bulan setelah penghentian terapi dengan Lamivudine. Lamivudin diberikan per oral, efek sampingnya sedikit. Diberikan bersama dengan interferon atau tersendiri. Kedua preparat di atas tidak ada manfaatnya bila diberikan dalam waktu yang singkat. 2) Interferon a. Indikasi : Hepatitis B kronik, Hepatitis C Kronik b. Dosis : Hepatitis B kronik : Interferon -2a : SC atau IM 4,5 x 106 unit 3 x seminggu. Jika terjadi toleransi dan tidak menimbulkan respon setelah 1 bulan, secara bertahap naikkan dosis sampai dosis maksimum 18 x 106 unit 3 x seminggu. Pertahankan dosis minimum terapi selama 4-6 bulan kecuali dalam keadaan intoleran. Interferon -2b : SC 3 x 106 unit 3x seminggu. Tingkatkan 5-10 x 106 unit 3 x seminggu setelah 1 bulan jika terjadi toleransi pada dosis lebih rendah dan tidak berefek. Pertahankan dosis minimum terapi selama 4 6 bulan kecuali dalam keadaan intoleran. Interferon diberikan secara intensif, 3 kaIi seminggu. Minimal 4-6 bulan lamanya. Hasi1nya masih kurang memuaskan, hanya 40-50 % berhasil. Efek sampingnya mengganggu dan harganya sangat mahal. Ada jenis interferon kerja panjang yaitu Peggylated Interferon yang diberikan cukup lx seminggu (obat ini diperkirakan masuk ke Indonesia tahun 2002). c. Penatalaksanaan Peginterferon -2a dengan Ribavirin untuk infeksi genotif 1. Peginterferon dengan Ribavirin, interferon dengan Ribavirin untuk infeksi genotif 2 dan 3. Peginterferon tunggal untuk pasien dengan kontraindikasi terhadap ribavirin. Peginterferon tunggal : tes Hepatitis C RNA selama 12 minggu, jika ada respon lanjutkan pengobatan selama 48 minggu, jika tidak ada respon (positif HCV RNA) hentkan pengobatan. Tes Hepatitis C RNA 6 bulan setelah penghentian pengobatan untuk melihat respon. J. Penatalaksanaan Hepatitits B kronis HBeAg (-) dan anti-HBe (+)i HBVDNA( -) dan tidak ada tanda-tanda sirosis hati. Pengidap yang termasuk golongan ini jumlahnya paling besar, dahulu dinamakan pengidap sehat (healthy carrier). Istilah "healthy carrier" ini sekarang jarang dipakai, sebab dapat memberi kesan bahwa penderita dalam keadaan sehat. Sebagian besar golongan ini tidak akan berlanjut ke stadium
Page 20

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


yang lebih jelek. Ternyata pada sebagian tetap dapat terjadi sirosis dan kanker. Karena itu golongan ini tetap harus diawasi supaya bila terjadi reaktivasi replikasi virus dapat terdeteksi secara dini. Cara pengawasannya dengan memeriksa kadar SGPT tiap 6 bulan. Bila ditemukan peningkatan disusul dengan pemeriksaan HBeAg dan HBVDNA. Tindakan berikutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan seromarker tersebut. HBeAg (+), HBVDNA (+) dan SGPT yang meningkat menandakan bahwa adanya hepatitis kronik aktif. Golongan ini perlu pengobatan spesifik dengan interferon minimal 6 bulan dengan frekuensi 3x seminggu ditambah lamivudin minimal 1 tahun. 1) BeAg(-), Anti-HBe(+), HBVDNA(-) tetapi sudah ada tanda- tanda sirosis. Sirosis hati adalah kontraindikasi untuk pemberian interferon, tetapi bisa dicoba pemberian lamivudine. Diharapkan lamivudine dapat menghambat progresivitas dari sirosis hati tersebut. Golongan ini prognosanya kurang baik, karena itu harus dilakukan pengawasan terhadap terjadinya HCC dengan cara pemeriksaan USG, AFP tiap 3 bulan. 2) Precore-mutantHBeAg(-) dan anti-HBe (+) Seperti dapat dilihat pada (a) maka sebagian besar golongan ini dahulu dinamakan Healthy carrier , namun pada sebagian kecil dapat terjadi infeksi oleh precore mutan dari HBV, mengakibatkan terjadinya hepatitis kronik yang berat yang dapat berprogresi cepat ke sirosis, dimana didapatkan HBeAg yang tetap (-) namun HBV DNA menjadi (+) kembali. Sayangnya proses ini secara klinis tidak disertai tanda-tanda yang jelas. Oleh karena itu pada pasien pengidap sehat bila SGPT meningkat lagi perlu dilakukan pemeriksaan HBVDNA lagi.

NYERI EPIGASTRIUM A. Definisi Dispepsia

Page 21

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys-(buruk) dan peptein (pencernaan). Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators, dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan didaerah perut bagian atas, sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar diulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-hari. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman diepigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, dan rasa panas yang menjalar didada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga didalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag. Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H.pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan. B. Klasifikasi Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieksklusi. Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan begah setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome. Dalam praktik klinis, sering dijumpai kesulitan untuk membedakan antara gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome (IBS), dan dispepsia itu sendiri. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh ketidakseragaman berbagai institusi dalam mendefinisikan masing-masing entitas klinis tersebut. El-Serag dan Talley (2004) melaporkan bahwa sebagian besar pasien dengan uninvestigated dyspepsia, setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata memiliki diagnosis dispepsia fungsional. Talley secara khusus melaporkan sebuah sistem klasifikasi dispepsia, yaitu Nepean Dyspepsia Index, yang hingga kini banyak divalidasi dan digunakan dalam penelitian di berbagai negara, termasuk baru-baru ini di China.

Page 22

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


C. Pendekatan Diagnostik Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan kearah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benarbenar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2 subklasifikasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik. Esofago gastro duodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya. Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional seperti tertera pada boks 1. Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS. Pasien IBS, khususnya dengan predominan konstipasi, mengalami keterlambatan pengosongan lambung sehingga akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala saluran pencernaan bagian atas yang menyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya, pada pasien dispepsia, sering kali juga disertai dengan gejala-gejala saluran pencernaan bawah yang menyerupai IBS. Untuk membedakannya, beberapa ahli mengemukakan sebuah cara, yakni dengan meminta pasien menunjuk lokasi diperut yang terasa paling nyeri; dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut dapat didiferensiasi. Quigley et al. mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu dengan menyatakan IBS dan dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum penyakit fungsional saluran cerna. D. Diagnosis Banding Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan setelah penyebab lain dispepsia berhasil dieksklusi. Karena itu, upaya diagnosis ditekankan pada upaya mengeksklusi penyakit-penyakit serius atau penyebab spesifik organik yang mungkin, bukan menggali karakteristik detail dan mendalam dari gejala-gejala dispepsia yang dikeluhkan pasien.

E. Faktor Risiko

Page 23

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia: konsumsi kafein berlebihan, minum minuman beralkohol, merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta berdomisili di daerah dengan prevalensi H.pylori tinggi. F. Mekanisme Patologis Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini: 1) Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah. 2) Infeksi Helicobacter pylori 3) Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi. Sekresi Asam Lambung Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak diperut. Helicobacter pylori Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya di mengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.pylori pada dispepsia fungsional dengan H.pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku. Dismotilitas Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, di antaranya keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal. Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga

Page 24

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan motilitas. Disfungsi autonom Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Aktivitas mioelektrik lambung Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut Psikologis Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional. Faktor genetik Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya interaksi antara polimorfisme gen-gen terkait respons imun dengan infeksi Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional Dispepsia fungsional Kriteria diagnostik terpenuhi *bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini: a) Rasa penuh setelah makan yang mengganggu b) Perasaan cepat kenyang c) Nyeri ulu hati d) Rasa terbakar didaerah ulu hati/epigastrium 2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas

Page 25

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


[SCBA]). Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis a) Postprandial distress syndrome Kriteria diagnostik*terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu 2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu *Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang 1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan 2ndDapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium. b) Epigastric pain syndrome Kriteria diagnostik*terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu 2. Nyeri timbul berulang 3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium 4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin 5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfingter Oddi *Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mulamgejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang 1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal 2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa 3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.

Page 26

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


BAB III TINJAUAN OBAT A. INFUS RL FARMAKODINAMIK No Parameter Komposisi 1 2 Keterangan Per 100 mL : NaCl 600 mg, Na lactate anhidrat 310 mg, CaCl2 dihidrat 20 mg Mekanisme Kerja Keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan. Indikasi Sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang pada kondisi asam basa berkelanjutan atau asidosis ringan. Terapi pilihan utama untuk mengatasi kehilangan cairan pada keadaan darurat. Memelihara keseimbangan cairan pada kondisi pra, selama, dan pasca operasi. Mengatasi dehidrasi cairan interstisial sesudah pemberian pengganti cairan koloid. Efek Samping Demam, iritasi atau infeksi pada tempat injeksi, thrombosis atau flebitis yang meluas dari tepat injeksi ekstravasasi Kontraindikasi HIperhidrasi, hipernatremia, hiperkalemia, gangguan fungsi hati atau ginjal, asidosis laktat. Perhatian & Gagal jantung kongestif, edema dengan retensi Na, sepsis Peringatan berat, kondisi pra dan pasca trauma. Dosis Pengobatan Dosis bersifat individual. Kecepatan infus : 2,5 mL/kgBB/jam

4 5 6 7

B. IVFD NaCl 0,9 % FARMAKODINAMIK No Parameter Indikasi 1 2 3 4 Keterangan Mengganti cairan plasma isotonik yang hilang, penggantian cairan pada kondisi alkalosis hipokloremia. Efek Samping Panas, iritasi atau infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan. Kontraindikasi Hipernatremia, asidosis, hipokalemia Perhatian,Peringatan Gagal jantung kongestif, gangguan fungsi ginjal, hipoproteinnemia, udem paru, hipertensi, keseimbangan asam basa dan cairan pada terapi jangka panjang. Dosis Pengobatan Infus Iv dengan kecepatan s/d 7,7 ml/kgbb/jam yaitu : 180 tetes/ 70 kgbb/menit. dosis disesuaikan dengan kondisi

Page 27

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


C. VITAMIN B COMP TAB FARMAKODINAMIK No 1 2 Parameter Kelas Terapi Mekanisme Kerja Keterangan Vitamin B kompleks Sebagai co-enzim dari karboksilase, suatu enzim esensial pada metabolisme karbohidrat (proses dekarboksilasi) dan pembentukan bio-energi dan insulin. Indikasi Gejala kekurangan vitamin neurotropik, gangguan neurologis, morning sickness, anemia, kelelahan usia tua. Efek Samping Pemakaian vitamin B6 dosis besar dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan sindrom neuropati. Kontraindikasi Hipersensitif terhadap obat ini Perhatian & Sebaiknya tidak digunakan untuk pasien yang sedang Peringatan menerima terapi levodopa Dosis Pengobatan Dewasa 2-3 kali sehari Interaksi Obat Pemberian vit.B6 dosis tinggi dapat mengurangi kerja levodopa Informasi Pasien Diberikan bersama makanan untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada GI.

3 4 5 6 7 8 9

D. OMEPRAZOLE FARMAKODINAMIK No Parameter Kelas Terapi 1 Mekanisme Kerja 2 Keterangan Obat Untuk Saluran Cerna (PPI) Omeprazol merupakan penghambat pompa proton yang selektif dan irreversible. Omeprazol menekan sekresi asam lambung dengan menghambat sistem enzim Hidrogen-Kalium ATPase pada permukaan sel parietal. Efek penghambatan ini terkait dengan dosis. Penghambat pompa proton dapat meningkatkan risiko infeksi gastrointestinal karena efek penekanan sekresi asam Tukak duodenum, tukak lambung, refluks esofagitis, erosif ulseratif, sindrom Zollinger-ellison Ruam kulit, urtikaria, mulut kering, mual, sakit kepala, diare, konstipasi, kembung Hipersensitif terhadap Omeprazol. Kemungkinan adanya keganasan harus disingkirkan bila ada dugaan tukak lambung, Hamil, Laktasi dan anak. Gunakan dengan hati-hati pada pasien hipokalemia dan gangguan hati.Penggunaan Omeprazol jangka panjang dapat menyebabkan risiko atrofik gastritis. Tukak duodenum, tukak lambung, refluks esofagitis, erosif ulseratif 20mg 1x/hari selama 2-4 minggu. Sindrom

3 4 5 6

Indikasi Efek Samping Kontraindikasi Perhatian & Peringatan

Dosis Pengobatan

Page 28

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


Zollinger-ellison 60mg 1x/hari. Kasus berat 20-120mg 12x/hari. Simpan pada suhu 2-8C, dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya dan lembab. Omeprazol memperpanjang eliminasi Diazepam, Warfarin dan Fenitoin atau obat lain yang mengalami metabolisme oleh cytochrome P-450-mediated oxidation di hati. Omperazol mengurangi absorpsi Ketoconazol, Itraconazol, dimana absorpsinya tergantung pada pH asam lambung. Pada penggunaan bersama Voriconazol, konsentrasi plasma kedua obat ini dapat meningkat dan direkomedasikan untuk mengurangi dosis Omeprazol Diminum segera sebelum makan, lebih baik di pagi hari. Delayed-release capsules:Kapsul ditelan utuh atau jika kesulitan menelan,keluarkan isi kapsul (granul/pelet jangan dikunyah/digerus)kemudian dispersikan/ campurkan dengan jus buah(campuran ini jangan disimpan) dan segera minum dengan 1 gelas air dingin. Berkurangnya rasa tidak nyaman pada bagian perut / abdomen atau gastroesofageal, perbaikan hasil endoskopik, CBC (Complete Blood Count).

8 9

Stabilitas Penyimpanan Interaksi Obat

11

Informasi Pasien

12

Parameter Monitoring

FARMAKOKINETIKA No 1 Parameter Absorpsi Keterangan Bioavaibilitas menurun sampai dengan 50% karena pengaruh makanan karena tablet yang pecah di lambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfihidril mucus dan makanan,oleh sebab itu sebaiknya diberikan 30 menit sebelum makan. Distribusi Diffusi ke sel parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar dan mengalami aktivasi menjadi bentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfohidril enzim H+, K+, ATP ase (pompa proton) yang berada di membran apikal sel parietal sehingga menyebabkan penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung terhenti 80%-95%. T 0,5-1,5 jam T max 1-3,5 jam. Metabolisme,Eliminasi Obat ini di metabolism di hati oleh sitokrom P450 (CYP) terutama CYP2C19 dan CYP3A4. Ekskresi melalui feses (18-23%) dan ginjal (70-77%). Waktu paruh eliminasi pada dewasa 0,5-1 jam; penyakit hati kronis 3 jam; pasien geriatri 1 jam.

Page 29

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


E. SUKRALFAT SIRUP FARMAKODINAMIK No Parameter Kelas Terapi 1 Mekanisme Kerja 2 Keterangan Saluran cerna (Antasida dan antiulkus) Sukralfat bekerja dengan cara melindungi mukosa dari serangan asam pepsin pada tukak lambung dan duodenal setelah membentuk kompleks dengan eksudat yang bersifat protein seperti albumin dan fibrinogen pada lokasi tukak. Pada kondisi yang lebih ringan, Sukralfat membentuk viscous sehingga memberikan perlindungan pada permukaan mukosa lambung dan duodenum. Benign Gastric, tukak duodenal, gastritis kronis, Profilaksis tukak akibat stres. Konstipasi (paling sering, sekitar 2%, mual, muntah, kembung, mulut kering, gatal-gatal, sakit kepala, insomnia, diare (sangat jarang, < 1%) Hipersensitif terhadap produk sukralfat. & Antasida dapat digunakan sebagai tambahan pada terapi dengan Sukralfat untuk mengurangi rasa sakit, tetapi sebaiknya tidak diminum dalam waktu 30 menit sebelum atau setelah pemberian sukralfat. Penderita gagal ginjal kronis dan pasien dialisis dapat meningkatkan risiko akumulasi dan toksisitas aluminium. Dosis dewasa : Pengobatan Tukak duodenal: 1 gram per oral sehari empat kali atau 2 gram sehari dua kali selama 4-8 minggu. Perawatan Tukak duodenal: 1 gram per oral sehari dua kali. Perawatan Tukak peptic 1 gram per oral sehari dua kali. Profilaksis tukak akibat stress 1 gram secara nasogastrik atau per oral setiap 6 jam. Dosis anak-anak: Pengobatan Tukak Duodenal 40-80 mg/kg/hari secara oral dibagi setiap 6 jam atau 0,5 - 1 gram sehari empat kali. Perawatan Tukak Duodenal (1 - 10 tahun) 1 gram per oral pada malam hari. Pengobatan Tukak peptik 40-80 mg/kg/hari secara oral dibagi setiap 6 jam atau 0,51 gram sehari empat kali. Profilaksis Tukak akibat stres untuk bayi

3 4

Indikasi Efek Samping

5 6

Kontraindikasi Perhatian Peringatan

Dosis Pengobatan

Page 30

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


40 mg/kg/hari secara nasogastrik atau per oral dalam 4 dosis terbagi. Profilaksis Tukak akibat stres untuk anak-anak 40-80 mg/kg/hari secara nasogastrik atau per oral dalam 4 dosis terbagi, maksimum 4 g/hari. Tablet Sukralfat disimpan dalam wadah tertutup rapat, pada suhu kamar dan stabil selama 2 tahun setelah tanggal produksi. Suspensi Sukralfat disimpan pada suhu 15-30C, hindari penyimpanan yang terlalu dingin (beku). Absorpsi obat berikut berkurang bila digunakan bersamaan: Utama Ciprofloxacin, Cimetidine, Ranitidin, Digoxin, Ketoconazole, Teofilin, Fenitoin, Tetrasiklin. Sedang Moxifloxacin, Norfloxacin, Ofloxacin, Sparfloxacin, Warfarin. Penggunaan obat-obatan tersebut di atas sebaiknya dilakukan pada 2 jam sebelum atau sesudah pemberian Sukralfat Diminum dalam keadaan perut kosong, 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan dan sebelum tidur malam. Berkurangnya rasa tidak nyaman pada bagian perut/abdomen,perbaikan hasil endoskopik,CBC (Complete Blood Count), tanda-tanda dan gejala-gejala dari toksisitas aluminium terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronis atau pasien yang menjalani dialisis

Stabilitas Penyimpanan

Interaksi Obat

11

Informasi Pasien

12

Parameter Monitoring

FARMAKOKINETIKA No 1 Parameter Absorpsi Keterangan Setelah pemberian oral, sukralfat diabsorpsi dalam jumlah kecil dari saluran cerna, kemungkinan disebabkan karena polaritas yang tinggi dan kelarutan yang rendah dari Sukralfat pada saluran cerna. Bioavailabilitas oral (lokal) : komponen disakarida 5%, aluminium < 0.02%. Distribusi Distribusi : distribusi ke dalam jaringan dan cairan tubuh setelah absorpsi sistemik belum ditentukan. Studi pada hewan, volume distribusi kurang lebih 20% dari berat badan. Metabolisme,Eliminasi Ekskresi: Sukralfat bereaksi dengan asam klorida dalam saluran cerna, membentuk sukrosa sulfat yang tidak dimetabolisme. Studi pada hewan menunjukkan 90%

Page 31

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


dosis oral sukrosa sulfat diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui feses dalam waktu 48 jam. Sejumlah kecil sukralfat (3-5%) diabsorpsi sebagai sukrosa sulfat, diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dalam waktu 48 jam F. DOMPERIDON FARMAKODINAMIK No Parameter Kelas Terapi 1 Mekanisme Kerja 2 Keterangan Saluran cerna, obat untuk Antiemetik Domperidon merupakan antagonis dopamin, yang memblok reseptor D1 dan D2. Dopamin memfasilitasi aktivitas otot halus gastrointestinal dengan menghambat dopamin pada reseptor D1 dan menghambat pelepasan asetilkolin netral dengan memblok reseptor D2. Domperidon merangsang motilitas saluran cerna bagian atas tanpa mempengaruhi sekresi gastrik, empedu dan pankreas. Peristaltik lambung meningkat sehingga dapat mempercepat pengosongan lambung. Mual, muntah (pengobatan jangka pendek), dispepsia, refluks esofageal. Gangguan gastrointestinal termasuk kram (jarang), efek ekstrapiramidal (sangat jarang), dan kemerahan pada kulit. Hiperprolaktinemia/terjadi peningkatan konsentrasi prolaktin plasma, yang menyebabkan galactorrhoea atau gynaecomastia. Prolaktinoma, gangguan hati, dimana peningkatan motilitas gastro-intestinal dapat berbahaya dan hipersensitif terhadap domperidon. Penyesuaian dosis diperlukan pada pasien yang mendapat Domperidon bersama dengan Simetidine. Tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang atau pencegahan rutin mual-muntah pasca operasi. Dosis dewasa dan anak-anak dengan berat badan lebih dari 35 kg : Oral : 10-20 mg sehari 3-4 kali; maksimal 80 mg per hari. Per rektal (supositoria): 60 mg sehari 2 kali. Dosis anak-anak dengan berat badan kurang dari 34 kg / 15 - 34 kg (hanya untuk indikasi mual dan muntah). Oral : 250-500 mikrogram/ kg sehari 3-4 kali; maksimal 2,4 mg/ kg per hari. Per rektal

3 4

Indikasi Efek Samping

Kontraindikasi

Perhatian, Peringatan

Dosis Pengobatan

Page 32

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


(supositoria) : 30 mg sehari 2 kali. Anak-anak dengan berat badan kurang dari 15 kg tidak dianjurkan. Simpan dalam wadah terlindung dari cahaya. Analgesik opioid dan antimuskarinik memberikan efek antagonis terhadap efek prokinetik dari Domperidon. Domperidon dimetabolisme melalui cytochrome P450 isoenzyme CYP3A4; penggunaan bersama dengan Ketoconazole telah dilaporkan meningkatkan kadar plasma Domperidon 3 kali lipat dan sedikit penambahan panjang interval QT. Risiko aritmia pada Domperidon juga meningkat jika digunakan bersama Ketoconazol. Inhibitor CYP3A4 yang poten seperti Erythromycin atau Ritonavir juga meningkatkan konsentrasi Domperidon, sehingga sebaiknya kombinasi ini dihindari. Absorpsi oral Domperidon menurun jika sebelumnya diberikan Cimetidine 300 mg atau larutan Sodium bikarbonat.Domperidon merupakan antagonis efek hipoprolaktinemia dari Bromkokriptin.

8 9

S. Penyimpanan Interaksi Obat

FARMAKOKINETIKA No 1 Parameter Absorpsi Keterangan Absorpsi : Oral : Bioavailabilitas 13-17%. Rendahnya bioavailabitas sistemik ini disebabkan oleh metabolisme lintas pertama di hati dan metabolisme pada dinding usus. Distribusi: 91-93% terikat pada protein plasma. Volume distribusi : 5,71 L/kg Pengaruh metabolisme pada dinding usus jelas terlihat pada adanya peningkatan bioavailabilitas dari 13% ke 23% jika Domperidon tablet diberikan 90 menit sebelum makan dibandingkan jika diberikan dalam keadaan perut kosong. Konsentrasi puncak dicapai dalam waktu 30-110 menit. Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak lebih lama jika obat diminum sesudah makan. Per rektal : Bioavailabilitas 12%. Konsentrasi puncak dicapai dalam waktu 1 jam Metabolisme: terutama di hati (metabolisme lintas

2 3

Distribusi Metabolisme,Eliminasi

Page 33

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


pertama) Eliminasi : waktu paruh eliminasi : 7-9 jam. Sekitar 30% dari dosis oral diekskresi lewat urine dalam waktu 24 jam. Hampir seluruhnya diekskresi sebagai metabolit. Sisanya diekskresi dalam feses dalam beberapa hari, sekitar 10% sebagai bentuk yang tidak berubah G. METFORMIN FARMAKODINAMIK No Parameter Kelas Terapi 1 2 Mekanisme Kerja Keterangan Hormon, obat endokrin lain dan kontraseptik (Antidiabetes) Antidiabetik oral golongan biguanida mempunyai mekanisme kerja yang berbeda dengan golongan sulfonilurea. Obat-obat ini bekerja tidak melalui perangsangan sekresi insulin, melainkan langsung pada hati (hepar), yaitu menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis. Disamping itu, metformin juga meningkatkan sensitivitas sel-sel tubuh terhadap insulin dengan jalan memperbaiki transport dan meningkatkan penggunaan glukosa oleh sel-sel otot dan ekstrahepatik lainnya. Diabetes Melitus Tipe II yang gagal dikendalikan dengan diet dan OHO golongan sulfonilurea, terutama pada pasien yang gemuk. Gangguan pencernaan, antara lain mual, muntah, diare ringan. Anoreksia. Asidosis laktat, terutama terjadi pada penderita gangguan ginjal dan/atau hati, atau pada peminum alkohol. Gangguan penyerapan vitamin B12 Gangguan fungsi ginjal atau hati, Predisposisi asidosis laktat, Gagal jantung, Infeksi atau trauma berat, Dehidrasi Alkoholisme, Hamil atau menyusui Tidak ada Sebagaimana aturan umum pemberian OHO, harus dimulai dari dosis rendah, dan ditingkatkan sesuai respon terhadap terapi. Untuk metformin dalam bentuk tablet, dosis awal dimulai dari 2 kali sehari @ 250-500 mg diberikan pada saat sarapan/makan, sedangkan untuk tablet
Page 34

Indikasi

Efek Samping

Kontraindikasi

6 7

Perhatian, Peringatan Dosis Pengobatan

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


lepas lambat (Ss) 500 mg per hari diberikan satu kali sehari pada saat makan malam Untuk metformin dalam bentuk tablet dosis yang dianjurkan 250-500 mg tiap 8 jam atau 850 mg tiap 12 jam bersama/sesaat sesudah makan. Dosis maksimal yang dianjurkan untuk anak-anak 2000 mg perhari, untuk orang dewasa 2550 mg perhari, namun bila diperlukan dapat ditingkatkan sampai maksimal 3000 mg per hari Untuk metformin dalam bentuk tablet lepas lambat, dosis maksimal yang dianjurkan 2000 mg per hari. Tablet lepas lambat harus ditelan utuh, jangan dihancurkan atau dikunyah. Konsumsi metformin dianjurkan bersama atau sesaat sesudah sarapan, untuk mengurang efek samping mual, muntah, diare dan gangguan pencernaan lainnya Simpan pada suhu 20-25C Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik, risiko asidosis laktat Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadangkadang mengganggu toleransi glukosa Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat mempercepat metabolisme OHO; oktreotid dapat menurunkan kebutuhan insulin dan OHO Antihipertensi diazoksid: melawan efek hipoglikemik Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek hipoglikemik Anti ulkus: simetidin menghambat ekskresi renal metformin, sehingga menaikkan kadar plasma metformin Hormon steroid: estrogen dan progesterone (kontrasepsi oral) antagonis efek hipoglikemia Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mempunyai efek aditif terhadap OHO Penyekat adrenoreseptor beta : meningkatkan efek hipoglikemik dan menutupi gejala peringatan, misalnya tremor Penghambat ACE: dapat menambah efek hipoglikemik Kadar glukosa darah puasa : 80120 mg/dl Kadar hemoglobin A1c : < 100 mg/dl Gejala hipoglikemia
Page 35

8 9

S. Penyimpanan Interaksi Obat

10

Parameter monitoring

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


11 Informasi Pasien Jangan konsumsi obat lain tanpa seizin dokter atau apoteker Obat ini hanya berperan sebagai pengendali diabetes, bukan penyembuh Obat ini hanya faktor pendukung dalam pengelolaan diabetes, faktor utamanya adalah pengendalian diet (pola makan) dan olah raga Konsumsi obat sesuai dosis dan aturan pakai yang diberikan dokter Monitor kadar glukosa darah sebagaimana yang dianjurkan oleh dokter Jika Anda merasakan gejala-gejala hipoglikemia (pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunangkunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, segera hubungi dokter Laporkan pada dokter jika Anda berencana untuk hamil. Obat ini tidak boleh dikonsumsi semasa hamil atau menyusui, kecuali sudah diizinkan oleh dokter

FARMAKOKINETIKA No 1 2 3 Parameter Absorpsi Distribusi Metabolisme,Eliminasi Keterangan Absorbsi diusus, dalam darah tidak terikat protein plasma Ekskresi melalui urine dalam keadaan utuh, Waktu Paruh 2 jam,

H. ANTASIDA FARMAKODINAMIK No Parameter Kelas Terapi 1 Mekanisme Kerja 2 Keterangan Antasida dan antiulkus a) Menetralkan HCl dalam lambung dengan membentuk garam Al(Cl)3 dan H2O b) Magnesium hidroksida per oral bereaksi relatif cepat dengan HCl dalam lambung membentuk magnesium klorida dan air. Magnesium hidroksida juga mengosongkan usus dengan menyebabkan retensi osmotik cairan yang mengembangkan kolon dengan aktivitas peristaltik yang meningkat. c) Bila diberikan secara oral bereaksi lebih lambat

Page 36

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


dengan HCl di lambung dari pada magnesium hidroksida d) Pada pemberian per oral bereaksi dengan asam lambung membentuk magnesium klorida yang larut dan karbondioksida Untuk pengobatan hiperasiditas, hiperfosfatemia. Untuk pengobatan jangka pendek konstipasi dan gejala-gejala hiperasiditas, terapi penggantian magnesium. Magnesium hidroksida juga digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan suplemen magnesium pada kondisi defisiensi magnesium, sebagai Antasida. Gastrointestinal: konstipasi, kram lambung, fecal impaction, mual, muntah, perubahan warna feses (bintik-bintik putih). Endokrin dan metabolisme:hipofosfatemia, hipomagnesemia. Kardiovaskuler: hipotensi. Endokrin dan metabolisme:hipermagnesemia. Gastrointestinal:diare, kram perut. Neuromuskuler dan skeletal:kelemahan otot. Pernapasan:depresi pernapasan Kadang-kadang menyebabkan konstipasi, kembung akibat pelepasan karbondioksida pada beberapa pasien. Dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan hipersekresi lambung dan kembalinya asam (acid rebound). Hipersensitivitas terhadap garam aluminum atau bahanbahan lain dalam formulasi, Hipersensitivitas terhadap bahan-bahan dalam formulasi, pasien dengan kolostomi atau ileostomi, obstruksi usus, fecal impaction, gagal ginjal, apendisitis, Pada pasien yang harus mengontrol asupan sodium (seperti:gagal jantung, hipertensi, gagal ginjal, sirosis, atau kehamilan). Hiperfosfatemia dapat terjadi pada pengunaan jangka lama atau dosis besar; intoksikasi aluminium dan osteomalasia dapat terjadi pada pasien dengan uremia. Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gagal jantung kongesti, gagal ginjal, edema, sirosis Antasida:dewasa:oral:600-1200 mg antara waktu makan dan sebelum tidur malam, Dosis sebagai antasida biasanya sampai dengan 1,5 g per oral. Kalsium karbonat mengikat posfat dalam saluran cerna untuk membentuk komplek yang tidak larut dan absobsi mengurangi posfat Simpan dalam wadah rapat dan terlindung dari cahaya. Aluminium hidroksida dapat mengurangi absorpsi allopurinol, efek antibiotik (tetrasiklin, kuinolon, beberapa sefalosporin), turunan bifosfonat,kortikosteroid, siklosporin, garam-garam

Indikasi

Efek Samping

Kontraindikasi

Perhatian, Peringatan

Dosis Pengobatan

8 9

S. Penyimpanan Interaksi Obat

Page 37

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


besi, antifungi imidazol, isoniazid, penisilamin, suplemen fosfat, fenitoin, fenotiazin. Absorbsi aluminium hidroksida dapat dikurangi oleh turunan asam sitrat. Menurunkan absorpsi tetrasiklin, digoksin, garamgaram besi, isoniazid, atau kuinolon. Kalsium karbonat berinteraksi dengan banyak obat karena mengubah pH asam lambung dan pengosongan lambung dengan pembentukan kompleks yang tidak diabsorpsi. Sebaiknya diminum 1-3 jam setelah makan bila digunakan sebagai antasida. Bila digunakan untuk menurunkan kadar fosfat, sebaiknya diminum dalam 20 menit dari saat makan. Setelah minum obat harus diikuti minum air. Bentuk sediaan tablet seharusnya dikunyah seluruhnya untuk mencapai efektivitas optimal, namun bentuk sediaan cair/suspensi dipilih terutama untuk ulcer duodenum. Bentuk sediaan tablet seharusnya dikunyah seluruhnya untuk mencapai efektivitas optimal, namun bentuk sediaan cair/suspensi dipilih terutama untuk ulcer duodenum

10

Informasi pasien

Page 38

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


PEMBAHASAN Penderita mengeluh nyeri perut lebih kurang 3 minggu sebelum masuk rumah sakit, nyeri hilang timbul mejalar ke pinggang belakang, seperti ditusuk-tusuk, penderita mual dan muntah. Kemudian berobat di rumah sakit Sungai Lilin, dan dirawat selama 4 hari. Dan dikatakan gejala maag, kemudian pulang dengan keluhan hilang. Keluhan berulang 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyri semakin hebat, hilang timbul, demam, mual dan muntah, kemudian dirujuk ke RSMH dan dirawat. Penderita didiagnosa menderita gastritis kronis, hiperglikemia tidak terkontrol, nyeri epigatrik, tanda-tanda dehidrasi. Selama dirawat penderita diberikan IVFD Ringer laktat gtt XX/menit, mulai tanggal 14-17 Maret 2013. Untuk mengganti cairan tubuh dan elektrolit tubuh akibat mual dan muntah. Kemudian dilanjutkan menggunkan IVFD NaCl 0,9% gtt XX/menit. Untuk menghindari terjadinya ketoasidosis. Penderita diberikan terapi injeksi omeprazole IV 1x40mg, dilanjutkan omeprazole kapsul pada hari ke-6, 1 x 20mg. Omeprazole digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, dengan menghambat pompa proton dengan mekanisme kerja berikatan dengan gugus sulfihidril enzim H+K+ATPase yang dikenal sebagai pompa proton. Kemudian penderita juga diberikan antasida sirup untuk menetralkan asam lambung yang terlanjur terbentuk. Penderita juga diberikan sukralfat sirup untuk membantu proteksi lambung. Sukralfat bekerja dengan cara melindungi mukosa dengan membentuk polimer mirip lem dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik secara selektif. Sukralfat hanya bisa membentuk polimer dalam suasana asam, pemberian sukralfat bersamaan dengan antasid sirup dan Omeprazole dapat menghambat pembentukan polimer oleh sukralfat karena lambung tidak berada dalam suasana asam. Oleh sebab itu, penggunaan sukralfat sirup diberikan 90 menit sebelum makan, dan pemberian omeprazole dan antasid sirup diberikan 30 menit sebelum makan. Domperidon digunakan untuk mengatasi mual dan muntah. Domperidon merupakan antagonis dopamin, yang memblok reseptor D1 dan D2. Dopamin memfasilitasi aktivitas otot halus gastrointestinal dengan menghambat dopamin pada reseptor D1 dan menghambat pelepasan asetilkolin netral dengan memblok reseptor D2. Metformin digunakan untuk mengurangi glukosa darah penderita dengan mekanisme kerja menurunkan produksi glukosa dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Metformin diberikan karena adanya indikasi peningkatan HbA1C sebesar 8,8 % dimana nilai normalnya 4,4-6,4 %, sedangkan kadar glukosa darah puasanya 113 g/dL dengan nilai normal 70-120 g/dL. Kemudian pada hari ke delapan pasien pulang dengan keadaan umum baik, nyeri pada perut sudah hilang dan mual/muntah tidak lagi. Untuk indikasi hepatitis B nya pasien tidak mendapat terapi antivirus. Hal ini kemungkinan disebabkan untuk melihat respon imun pasien terhadap virus hepatitis B dapat dieliminasi dari sel hati oleh sel T CD8+. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang

Page 39

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


terinfeksi melalui aktivitas interferon gama dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik) yang menghasilkan produk antibody yaitu anti HBs, HBc, dan HBe yang fungsinya menetralisasi partikel virus hepatitis B bebas dan mencegah masuknya virus kedalam sel. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi HBV dapat diakhiri (akut), sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi HBV yang menetap (kronik). Untuk itu pasien dianjurkan untuk kontrol ulang secara berkala dan rutin dan memeriksakan fungsi hati serta HBsAg untuk melihat perkembangan dari infeksi Virus hepatitis B. Sehingga dapat ditetapkan terapi yang tepat untuk pengobatan.

Page 40

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


KERTAS KERJA FARMASI MASALAH YANG TERKAIT DENGAN OBAT Permasalahan yang Terkait dengan Obat 1. Adakah masalah 1, 2, 3 2. Tidak ada permasalah.

No 1

Jenis Permasalahan Korelasi antara terapi obat dengan penyakit

Analisa Masalah 1. Adakah obat tanpa indikasi medis? 2. Adakah pengobatan yang tidak dikenal? 3. Adakah kondisi klinis yang tidak diterapi? Dan apakah kondisi tersebut membutuhkan terapi obat?

Komentar Ada permasalahan, penurunan fungsi hati, namun tidak diberikan obat hepatoprotektor untuk menjaga fungsi hati. Tidak ada permasalahan

Pemilihan Obat yang Sesuai

1. Bagaimana pemilihan obat? Apakah sudah efektif dan merupakan obat terpilih pada kasus ini? 2. Apakah pemilihan obat tersebut relative aman? 3. Apakah terapi obat dapat ditoleransi oleh pasien? 1. Apakah dosis, frekwensi dan cara pemberian sudah mempertimbangkan efektifitas keamanan dan kenyamanan serta sesuai dengan kondisi pasien? 2. Apakah jadwal pemberian dosis bisa memasikmalkan efek terapi, kepatuhan , meminimalkan efek samping, interaksi obat, dan regimen yang komplek? 3. Apakah lama terapi sesuai dengan indikasi ?

1. Adakah masalah 1, 2, 3 2. Tidak ada permasalah.

Regimen Dosis

1. Adakah masalah 1, 2, 3 2. Tidak ada permasalah.

1. Pemberian sukralfat menjadi tidak efektif karena digunakan bersamaan dengan antasida sirup dan omeprazole. 2. Pemberian metformin setelah makan

Page 41

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


4 5 Duplikasi terapi Alergi obat atau intoleran 1. Apakah ada duplikasi terapi? 1. Apakah pasien alergi atau intoleran terhadap salah satu obat (atau bahan kimia yang berhubungan dengan pengobatanya)? 2. Apakah pasien telah tahu yang harus dilakukan jika terjadi alergi serius? 1. Apakah ada gejala/permasalahan medis yang diinduksi obat? 1. Apakah ada interaksi obat dengan obat? Apakah signifikan secara kilnik? 2. Apakah ada interaksi obat dengan makanan? Apakah bermakna secara klinis? 3. Apakah ada interaksi obat dengan data laboratorium?Apakah bermakna secara klinis? 4. Apakah ada pemberian obat yang kontraindikasi dengan keadaan pasien? 1. 2. 1. 2. Adakah masalah 1, 2, 3 Tidak ada permasalah. Adakah masalah 1, 2, 3 Tidak ada permasalah. Tidak ada masalah

6 7

Efek merugikan obat Interaksi dan Kontraindikasi

1. 2. 1. 2.

Adakah masalah 1, 2, 3 Tidak ada permasalah. Adakah masalah 1, 2, 3 Tidak ada permasalah.

Tidak ada masalah Adanya interaksi farmasetik antara sukralfat dengan antasida dan omeprazole.

Page 42

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013

DAFTAR PERMASALAHAN TERKAIT OBAT DAN REKOMENDASI Nama Pasien SMF/ Ruangan Farmasis : : : SH Kamar 7 bad 7 RC Dessy Fajarini, S.Farm Futri Mayank Sari S.Farm Septiani Martha S.Farm Weni Septariza S.Farm, Winda Septiana S.Farm. Rekomendasi/Saran Tujuan Farmakoterapi Monitoring

Tanggal

Permasalahan Penggunaan bersamaan antara omeprazole, antasid dan sukralfat dapat menghambat mekanisme sukralfat membentuk polimer perlindung mukosa lambung

14 Maret 2013

Penggunaan omeprazole dan Untuk efektifitas terapi sukralfat antasida 60 menit sebelum makan sebagai perlindungan mukosa Nyeri lambung dan sukralfat 90 jam sebelum lambung makan

14 Maret 2013

19 Maret 2013

Untuk melindungi dan menjaga Diberikan hepatoprotektor sebelum Pemeriksaan HbsAg Reaktif, fungsi hati, karena adanya diberikan terapi antivirus hepatitis Fungsi Hati SGOT, SGPT, Bilirubin tinggi indikasi peningkatan SGOT, B. SGPT, Bilirubin. Tes Glukosa darah dan Penggunaan metformin selagi Untuk efektivitas terapi Penggunaan Metformin sesudah gejala asidosis laktat makan untuk menghindari metformin sebagai makan seperti kejang dan nyeri gangguan pada perut. antihiperglikemia. otot.

Page 43

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


TABEL PEMBERIAN OBAT

No

Nama Obat

Bentuk sediaan
P

Tgl 14 Maret 2013


Si Sr M P

Tgl 15 Maret 2013


Si Sr M P

Tgl 16 Maret 2013


Si Sr M P

Tgl 17 Maret 2013


Si Sr M

Tgl 18 Maret 2013


P Si Sr M

Tgl 19 Maret 2013


P Si Sr M

Tgl 20 Maret 2013


P Si Sr

Tgl 21 Maret 2013


M P Si S r M

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ringer Laktat gtt XX/mnt NaCl 0,9% gtt XX/mnt Omeprazole Omeprazole Antasida Sukralfat B1,B6,B12 Domperidon Metformin

IVFD IVFD Injeksi Kapsul Sirup Suspensi Tablet Tablet Tablet

- -

- -

Page 44

CASE BANGSAL PENYAKIT DALAM 2013


DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M., Gunawan, J.2012. Dispepsia. Divisi Gastroenterologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012 AHFS Drug Information 2005 Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati, Jakarta. Depkes RI. www. binfar.depkes.go.iddownloadPC_HATI. pdf. diakses tanggal 10 mei 2012. Departemen Kesehatan, 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati. Jakarta: Departemen Kesehatan. Departemen Kesehatan, 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan. Departemen Farmakologi dan Terapetik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FK UI. Yayasan Spiritia. 2007. Penanganan HBV dan HCV sebagai Koinfeksi HIV. Dapat diakses online di:http://spiritia.or.id/cst/bacacst.php?artno=1030 &menu =hepmenu [Diakses pada tanggal 27 Maret 2013].

Page 45

You might also like