You are on page 1of 14

PEMBAHASAN A.

Pengertian Upacara Panggih Panggih dalam bahasa jawa berarti bertemu, maksud bertemu disini adalah bertemunya dua pasang pengantin (pria dan wanita) di rumah wanita, untuk melaksanakan prosesi erkwainan secara adat. Upacara Panggih adalah upacara adat yang diselenggarakan dalam rangka menyambut peristiwa pernikahan masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Upacara panggih ini harus dilakukan oleh seseorang yang melakukan perkawinan secara tradisional pada masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Dalam upacara ini banyak sekali simbolisasi dan sakralisasi dalam setiap prosesi upacaranya, yang kesemuanya bertujuan untuk kebaikan bersama kedua keluarga mempelai serta membentuk masa depan yang cerah bagi kedua mempelai. Sekilas Mengenai Bentuk Bentuk Perkawinan Adat Menurut cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk- bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu Perkawinan Pinang Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin perkawinan. Perkawinan Lari Bersama Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak untuk menghindarkan diri berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan. Kawin Bawa Lari Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa. Sedangkan bentuk perkawinan adat dalam upacara Panggih ini adalah termasuk jenis perkawinan model pertama, yaitu perkawinan pinang, di mana sebelum perkawinan dilangsungkan, mempelai pria terlebih dahulu meminang calon istri, kemudian dilanjutkan dengan prosesi perkawinan sesuai dengan adat masing-masing. B. Alat-Alat Yang Diperlukan Dalam Upacara Panggih

Sebelum upacara panggih dilaksanakan, maka terlebih dahulu kedua mempelai / anggota keluarganya mempersiapkan alat-alat yang diperlukan dalam upacara panggih ini. Adapun alat-alat yang diperlukan adalah: 1. Iringan Gending Jawa[1] Gending adalah lagu tradisional jawa yang biasanya dinyanyikan sendiri atau diiringi oleh gamelan (alat music tradisinal) atau semacamnya, setiap gending memiliki makna dan kegunaan masing-masing, bahkan beberapa gending dianggap mempunyai kekuatan spiritual, yang bisa mendatangkan jin, setan atau sebangsanya. Iringan gending jawa diperlukan untuk melengkapi upacara panggih tersebut sesuai dengan busana gaya Surakarta dan Yogyakarta, adapun gending jawa itu sendiri ada beberapa macam, yaitu: Gending Bindri untuk mengiringi kedatangan pengantin pria. Gending Ladrang Pengantin untuk mengiringi upacara panggih mulai dari balangan (saling melempar) sirih, wijik ( pengantin putri mencuci kaki pengantin pria ), pecah telor oleh Pemaes. Gending Boyong / Gending Puspowarno untuk mengiringi tampa kaya (kacarkucur), lambang penyerahan nafkah dahar walimah. Setelah dahar walimah selesai, gending itu bunyinya dilemahkan untuk mengiringi datangnya sang besan dan dilanjutkan upacara sungkeman. 2. Sesaji[2] Untuk menyambut upacara panggih, ada beberapa sesaji yang harus disiapkan sebelum acara itu berlangsung. Sesaji itu berupa : Gantalan: Gantal adalah lintingan sirih yang diikat dengan benang lawe yang di dalamnya sirih yang urat-urat bagian kanan-kirinya saling bertemu. Bokor: bokor ukuran sedang diisi dengan air dan bunga setaman yang terdiri dari bunga melati, mawar dan kenanga. Telur ayam : ditaruh diatas baki yang diberi taplak putih. Kacar-kucur : Perlengkapan yang harus dilengkapi dalam acara kacar-kucur adalah beras kuning, jagung, kacang hijau, kedelai hitam-putih, kluwak, kemiri, bunga telon,

uang logam, tikar bongko, dan sapu tangan/ kain putih. Kain sindur: kain selendang untuk Upacara Sinduran. Bokor: bokor ukuran sedang diisi dengan air dan bunga setaman yang terdiri dari bunga melati, mawar dan kenanga. Telur ayam : ditaruh diatas baki yang diberi taplak putih. Kacar-kucur : Perlengkapan yang harus dilengkapi dalam acara kacar-kucur adalah beras kuning, jagung, kacang hijau, kedelai hitam-putih, kluwak, kemiri, bunga telon, uang logam, tikar bongko, dan sapu tangan/ kain putih. Kain sindur: kain selendang untuk Upacara Sinduran. C. PROSESI UPACARA PANGGIH Sebgaimana upacara-upacara pernikahan pada umumnya, upacara panggih juga memiliki beberapa tahapan / prosesi, yaitu: 1. Penyerahan Sanggan & Tukar Kembang Mayang : Sebelum Upacara Panggih dimulai, mempelai wanita sudah lebih dulu didudukkan di pelaminan bersama kedua orang tuanya. Kemudian mempelai pria menyerahkan Sanggan dan Cikal kepada ibu dan ayah mempelai wanita, serta menukar kembang mayang. 2. Urutan Iring-Iringan Rombongan Pengantin Pria : Seorang ibu yang membawa sanggan yang berupa pisang ayu dan sirih ayu sebagai simbol ungkapan Sediyo Rahayu. Maksudnya, agar dalam berumah tangga keduanya diberkati dengan kesejahteraan yang lestari. Pembawa dua batang cikal (pohon kelapa muda yang baru tumbuh) Pembawa Kembang Mayang. Keluarga sekandung dan keluarga serta kerabat dekat pengantin pria. 3. Rangkaian Dan Tata Cara Upacara

Petugas membawa Sanggan, cikal, maupun Kembar Mayang, sebaiknya berjalan lebih dulu secara berurutan dan posisinya agak jauh dari posisi pengantin pria dan rombongan. Sebelum tiba disuatu titik (tempat upacara panggih) yang ditentukan, pengantin pria bersama rombongan di belakangnya berhenti, sementara tiga petugas terus maju melakukan tugasnya. Pembawa Pisang Sanggan menyerahkan kepada ibu mempelai puteri, sementara pembawa cikal menyerahkan bibit kelapa itu kepada ayah mempelai puteri. Pembawa Kembar Mayang naik ke pelaminan dan menggantikan Kembar Mayang yang terpasang disitu dengan Kembar Mayang baru yang dibawanya. Penggantian ini dimaksudkan agar Kembar Mayang yang berada di pelaminan tetap segar. Begitu selesai menggantikan Kembar Mayang, dengan digandeng oleh kedua orangtuanya mempelai puteri turun menuju arah tempat Upacara Panggih yang akan dilakukan. Sementara dari arah yang berlawanan mempelai pria dengan digandeng dua sespuh juga berjalan menuju ke tempat yang sama. Dalam acara ini panitia harus mempersiapkan : Musik : Gending Kebo Giro. Ladrang Wilujeng Iromo Satunggal. Alat Upacara : Sanggan, Cikal dan Kembar Mayang. 4. Bucalan Gantal Inilah saat-saat memasuki upacara panggih ini. Ketika dua mempelai ini sampai pada satu titik yang sudah direncanakan, jarak sekitar satu setengah meter sebelum bertemu (panggih), diantara keduanya bersiap-siap melakukan Upacara Buntalan Gantal. Ada empat buah gantal tersedia, masing-masing pengantin mendapat dua gantal, yaitu Gantal Gondang Asih dan Gantal Gondang Telur. Makna yang terkandung didalamnya adalah bahwa dalam kedua mempelai sewcar lahir batin telah menyatukan tekad dan rasa yang utuh untuk menghadapi suka-duka maupun getirpahitnya kehidupan berumah tangga.

Diantara keduanya harus saling mendahului melempar gantal tersebut, pengantin wanita mengarahkan ke kaki pria sebagai lambang tunduk kepada sang suami, sementara pengantin pria mengarahkan ke arah jantung pengantin puteri sebagai lambang kasih sayang. Mereka berusaha saling melempar terlebih dahulu, maksudnya adalah bahwa diantara mereka saling berlomba memberika jiwa-raga mereka, atau saling berlomba mendapatkan kemuliaan/keutamaan. Setelah acara ini adalah Upacara Pasang Garu. Sesudah saling melempar gantal keduanya langsung memasukkan kepalanya ke pasangan kepala sapi atau garu (alat pembajak sawah). Mepelai pria disebelah kanan dan mempelai puteri disebelah kiri. Maksud darui Upacara Pasang Garu ini adalah bahwa kedua mempelai sudah siap mengarungi bahtera kehidupan. Dalam acara ini panitia harus mempersiapkan : Musik: Gending ayak-ayak Alat Upacara: Gantal (pinang yang dibungkus dengan daun sirih yang urat-urat daunnya saling bertemu, lalu diikat dengan daun lawe). 5. Ngidak Tigan Acara selanjutnya adalah Ngidak Tigan, Wiji Dadi (injak telor jadi bibit). Pengantin pria berdiri dengan kaki diposisikan menginjak telor yang ditaruh di atas baki (nampan), sementara pengantin wanita jongkok di depannya. Upacara ini memiliki banyak makna, diantaranya: sebagai lambang peralihan masa lajang kedua pengantin yang akan memasuki kehidupan baru yang berat dan penuh tantangan dan juga sebagai simbol pemecahan selaput dara pengantin puteri oleh pengantin pria. Karena saat menginjak telor itu pengantin pria berucap Ambedaning korining kasuwargan. Upacara ngidak tigan ini hanya dilakukan oleh Upacara Adat Jawa gaya Surakarta, khusus bagi Upacara Adat Jawa gaya Yogyakarta, telor tidak ditaruh di bawah kemudian diinjak, tapi ditempatkan disebuah nampan. Juru rias memimpin ini, dengan mengusapkan telor ke dahi pengantin pria maupun

wanita, baru setelah itu dipecahkan oleh juru riasnya, sebagai tanda bahwa pengantin pria sudah terbuka nalarnya, dan juga sebagai simbol tersambungnya kasih sayang diantara keduanya. Bahkan sebagian masyarakat ada yang melanjutkan dengan meminimumkan air kendi sebagai lambang, bahwa setelah terbukanya nalar, pengantin diharapkan mampu berfikir lebih hening dan tenang dalam menghadapi masalah. Dalam acara ini panitia harus mempersiapkan : Musik : Gending Kodok Ngorek Alat Sesaji : Telor ayam (agar pecahan telur tidak mengotori kemana-mana sebaiknya telor utuh itu dimasukkan kedaolam plastik) Tambahan : Kendi yang diisi air putih matang dingin. 6. Wijik Sekar Setaman Sepasang pengantin kemudian saling berdampingan, pengantin putri di sebelah kiri dan pria sebelah kanan. Ibu pengantin putri mengenakan dan memegangi sindur dari belakang, sementara ayahnya berada di depan pengantin berjalan di depan pengantin pelan-pelan. Dengan mengalungkan kain sindur di pundak kedua mempelai, adalah sebagai simbol menyatukan keduanya menjadi satu. Kedua kelingking sepasang mempelai itu saling bergandengan, sementara tangan mereka yang lain memegang bahu ayah pengantin puteri. Secara bahasa jawa, sindur bisa berarti Isin Mundur (malu untuk mundur). Maksudnya, walau badai kehidupan yang harus mereka hadapi sangat berat, kedua mempelai harus bersikap malu untuk mundur kalau sangat berat. Selain itu, Kemul Sindur memiliki makna yang cukup dalam, selain itu juga mempelai menyatu lahir batin dalam satu tujuan hidup. Ibu yang berada dibelakang merestui pasangan itu, Tut Wuri Handayani, sementara sang Ayah berada di depan sebagai teladan Ing Ngarso Sun Tulodo. Dalam acara ini panitia harus meempersiapkan : Musik: Gending Ketawang Laras Moyo atau Kebo Giro (Surakarta) dan gending Lancaran Bidri (Yogyakarta).

Alat Upacara : Kain Sindur. 7. Pangkon Timbang Acara Timbang Pangkon ini hanya dilaksanakan dalam Upacara Adat Jawa gaya Jogyakarta, yaitu sebagai lambang bahwa kedua orang tua puteri tidak membedabedakan antara anak sendiri dan menantu, dalam upacara ini pula diadakan Upacara Nimbang, yaitu ayah pengantin puteri duduk di pelaminan dengan posisi lutut tegak siku-siku, pengantin pria kemudian duduk di paha kaki kanan ayah mertuanya, sementara pengantin puteri duduk di paha kaki kiri ayahnya. Ibu pengantin puteri berdiri di depannya, lalu bertanya, Pak, timbangane abot endi? Podo abote, Bu kata sang suami. Dalam acara ini panitia harus mempersiapkan : Musik : Gending Ketawang Laras Moyo 8. Tanem Jero Ayah pengantin puteri yang sudah berdiri di hadapan kedua mempelai lalu didampingi oleh Trinya mendudukan sepasang pengantin di pelaminan (dengan gerakan menekan pundak sambil berucap : Slamet yo podo singh rukun! Upacara sejenak itu disebut tanem jero atau nandur (menanam), ini sebagai simbol bahwa kedua orangtua calon mempelai wanita telah mendudukkan mereka di tempat yang selayaknya. Dalam acara ini panitia harus mempersiapkan : Musik : Gending Udan Basuki 9. Kacar-Kucur Upacara ini merupakan lambang bahwa suami yang bertugas mencari nafkah untuk keluarganya, sebagai simbolik tengah menyerahkan hasil jerih payahnya pada istrinya. Pengantin pria berdiri di depan pengantin puteri dalam posisi agak menunduk lalu lalu mengucurkan bungkusan Kacar-Kucur itu ke dalam bentangan sapu tangan Tulak

di atas pangkuan pengantin puteri. Kemudian setelah itu dibungkus oleh sang istri dan diserahkan kepada ibundanya ditemani oleh sang suami. Bersamaan saat penyerahan itu, pihak MC yang bertindak mewakili pengantin puteri mengucapkan Bu..kami titipkan penghasilan kami dari sang suami, kami mohon petunjuk bagaimana langkah yang harus kami lakukan selanjutnya. Dalam acara ini panitia harus mempersiapkan : Musik : Gending Rahayu Alat Upacara : sapu tangan, kloso bongko, uang recrh logam, beras kuning, kedelai putih/hitam, kacang hijau, kacang tolo, kluwak, kemiri dan bunga talon. 10. Dahar Klimah Acara ini memiliki kandungan makna bahwa kedua mempelai agar bias hidup rukun, saling mengisi, dan tolong-menolong, dan dapat menyatukan keduanya dalam suka maupun duka. Pengantin pria membuat kepalan dari nasi punar/banding lalu disuapkan kepada istrinya, begitu juga sebaliknya istrinya menyuapi suaminya, keduanya melakukannya sebanyak tiga kali. Dalam acara ini panitia harus mempersiapkan : Musik : Gending Mugi Rahayu Alat Upacara : piring yang agak lonjong yang berisi nasi kuning, irisan telor dadar, gorengan kedelai hitam dan tempa kering. Dengan dihiasi seledri, tomat dan bunga lombok merah, kenudian makanan ini diatur sedemikian ruoa agar terliht menarik, baserta dua buah sendok makan dan sebuah nampan untuk menyajikan piring tersebut. 11. Ngunjuk Rujak Degan Acara selanjutnya adalah ngunjuk rujak degan, yamg mempunyai makna sikap puas Ayah maupun Ibu pengantin puteri atas pesta perkawinan itu. Diawali dengan oleh Ayah pengantin puteri. Ibu pengantin puteri bertanya, Rasane kepiye, Pak? sang ayah pun langsung menjawab, Wah seger sumyah, mugo-mugo sumrambah menyang wong sak omah.

Setelah itu Ibu pengantin putripun ikut minum rujak degan itu, disusul kemudian pengantin pria dan puteri. Dalam acara ini panitia harus memprsiapkan : Musik : Gending Laras Moyo Laras Pelog Patet Barang Alat Upacara : kelapa muda yang sudah dikerok, ditambah gula/sirup, dan dihias sedemikian rupa sehingga menarik dan dua buah sendok. 12. Tilik Pitik Saat itu kedua pengantin pria datang, tapi belum masuk ruangan. Kedua orang tua pengantin puteri turun dari pelaminan untuk menjemput kedua orang tua pengantin pria memasuki rumah/tempat pesta dengan posisi kedua ibu mempelai berada di depan, sementara kedua ayah mereka dibelakangnya. Maksud besan ini untuk tilik / menengok putranya yang tengah menikah dan sekaligus untuk merestui acara ini, selain itu juga bertujuan untuk mempererat persaudaraan di antara kedua keluarga besar itu. Dalam hal ini panitia harus mempersiapkan ; Musik : Gending Tirto Kencono Pelog (Pelog Barang) atau Ladrang KapangKapang.

13. Sungkeman Upacara ini dilakukan sebagai wujud bahwa kedua mempelai akan patuh dan berbakti kepada kedua orang tua mereka. Sebelum melakukan sungkem pengntin pria melepas selopnya. Sungkeman dimulai pengantin putri kepada Ayah Ibu Eyang (kalau masih ada baik dari ayah maupun ibunya) Ayah mertua, dan Ibu mertua, Eyang (pihak pengantin pria kalau masih ada) disusul oleh pengantin pria. Pada saat itu bisa dipersiapkan acara hiburan berupa musik, tarian tradisional atau sajian lagu-lagu.

Dalam acara ini panitia harus mempersiapkan : Musik : Ketawang Tumandah, atau Ladrang Sri Widodo Laras Pelog Patet Barang. Jenis Tarian : Beksan indah, Gambyong, Gatutkaca Gandrung. 14. Kirab Acara ini sekaligus menendai berakhirnya acara panggih yang merupakan puncak acara perkawinan Tradisional jawa. Diawali dengan kehadiran cucuk lampah, senopati kembar, patah sakembaran, putri domas, manggoluyodo yang berjalan berurutan menuju ke pelaminan, dan kedua mempelai diikuti oleh kedua pengantin putrid dan pria langsung mengikuti rombongan ini menuju ruang ganti pakaian. D. Dampak Positif Dan Negatif Dari Upacara Adat Panggih Berdasarkan paparan penulis mengenai prosesi upacara adat panggih dalam masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, kemudian penulis menemukan beberapa dampak positif dan negatif dalam upacara tersebut. Adapun beberapa dampak positif yang penulis temukan adalah: Dampak Positif 1. Mempererat hubungan kedua keluarga mempelai. Dalam upacara panggih ini terdapat kewajiban bagi seorang mempelai pria untuk saling beramah-tamah dengan mempelai wanita berikut keluarganya. Hal ini tampak dalam acara Penyerahan Sanggan & Tukar Kembang Mayang dan dahar klimah. 2. Doa dan harapan demi kesejahteraan kedua mempelai yang tertuang dalam simbolisasi pemberian sanggan yang berupa pisang ayu dan sirih ayu sebagai simbol ungkapan Sediyo Rahayu, yaitu kesejahteraan yang lestaribagi kedua mempelai. 3. Menyatukan tekad dan rasa yang utuh untuk menghadapi suka-duka kehidupan berumah tangga, hal ini tampak pada acara keempat, yaitu Bucalan Gantal. Gantal (sirih) adalah simbolik, yaitu meski keduanya mempunyai permukaan yang berbeda namun sirih mempunyai rasa yang sama, ini melambangkan sebagai rasa bersatunya antara rasa pria dan wanita.

4. Pemaknaan simbolisasi untuk mempererat hubungan kedua mempelai sebelum memulai perkawinan, agar kedua mempelai siap secara lahir dan bathin, dalam upacara pangih banyak sekali simbolisasi yang ditujukan untuk mempererat hubungan kedua mempelai, misalnya saja dalam acara pelemparan gantal, pasang guru, dll. 5. Asas keseimbangan hak dan kewajiban bagi kedua mempelai, ssebagaimna yang tertuang dalam upacara pangkon timbang, dimana dalam acara itu tidak membedakan antara pengantin pria dan wanita, keduanya dianggap sama. 6. Pemberian restu kedua orang tua mempelai dalam pernikahan kedua anaknya, sebagamana dalam acara tanem jero, telik pitik dan sungkeman, sehingga diharapkan kedua mempelai semakin percaya diri dalam mengarungi kehidupan barunya karena mendapatkan restu dan doa dari kedua orang tua masing-masing. 7. Memberikan kewajiban kepada kaum pria untuk menafkahi istrinya, seperi tertuang dalam acara kacar-kucur. Dalam adat masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, suamilah yang berhak dan berkewajiban mencari nafah untuk keluarga sedangkan pihak istri menunggu dirumah, memelihara rumah da anak-anknya. 8. Memperkecil kemungkinan berpisah/ bercerai, dengan prosesi pernikahan yang lama dan sakral serta penuh suasana mistik, serta menghabiskan biaya dan persiapan yang banyak untuk menyelenggarakan perkawinan ini, sehingga akan membuat kedua mempelai berpikir-pikir ulang untuk bercerai setelah prosesi-prosesi panjang nan sakral itu. Dampak Negatif 1. Perkawinan adat ini membutuhkan biaya yang banyak dan persiapan yang lama, yang hanya akan menghamburkan uang banyak saja. Hal ini juga berimbas pada kurangnya minat para pria / wanita yang ingin menikah karena menghadapi masalah perekonomian yang pas-pasan. 2. Beban menafkahi hanya untuk suami saja, padahal secara gender, pihak istri juga bisa turut andil dalam hal pencarian nafkah, apalagi bila berhubungan dengan arta gono-gini, baik dalam masa perkawinan atau pasca perkawinan. 3. Terlalu banyak simbolisasi dan sakralisasi dalam upacara panggih ini, sehingga

terkadang beberapa orag merasa rikuh untuk melaksanakannya, terutama bagi masyarakat modern / perkotaan. 4. Kurangnya pemaknaan simbolisasi dan sakralisasi pada setiap prosesi dalam upacara, sehingga bagi mempelai yang masih awam tentang tujuan dan pemaknaan prosesi ini kurang mengerti dan memaknainya, hal ini dikarenakan dalam prosesi ini, tidak ada penyampaian nasehat-nasehat secara lisan, namun hanya secara simbolik saja. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Upacara Panggih adalah upacara adat yang diselenggarakan dalam rangka menyambut peristiwa pernikahan masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Alat-alat yang diperlukan dalam upacara Panggih adalah: 1. Iringan Gending, seperti: Gending Bindri, Ladrang Pengantin, Boyong / Puspowarno 2. Sesaji, berupa: Gantalan, Bokor, Telur ayam, Kacar-kucur dan Kain sindur. Urutan Prosesi Upacara Panggih: Penyerahan Sanggan & Tukar Kembang Mayang, Iring-Iringan Rombongan Pengantin Pria, Rangkaian Dan Tata Cara Upacara, Bucalan Gantal, Ngidak Tigan, Wijik Sekar Setaman, Pangkon Timbang, Tanem Jero, Kacar-Kucur, Dahar Klimah, Ngunjuk Rujak Degan, Tilik Pitik, Sungkeman, dan Kirab. Dampak Positif: Mempererat hubungan kedua keluarga, harapan kesejahteraan kedua mempelai, Menyatukan tekad dan rasa untuk menghadapi suka-duka kehidupan berumah tangga, Pemaknaan simbolisasi untuk mempererat hubungan kedua mempelai sebelum memulai perkawinan, Asas keseimbangan hak dan kewajiban bagi kedua mempelai, Memberikan kewajiban kepada kaum pria untuk menafkahi istrinya, Memperkecil kemungkinan berpisah/ bercerai, Dampak Negatif: Membutuhkan biaya yang banyak dan persiapan yang lama, Beban menafkahi hanya untuk suami saja,Terlalu banyak simbolisasi dan sakralisasi

dalam upacara panggih ini, Kurangnya pemaknaan simbolisasi dan sakralisasi pada setiap prosesi dalam upacara. B. Penutup Demikian makalah ini kami buat, ibarat kata pepatah Tak Ada Gading Yang Tak Retak, begitu juga dengan penulisan makalah ini, pemakalah menyadari bahwa sebagai manusia biasa, kami tidak akan luput dari kesalahan, oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun senantiasa kami nantikan dari segenap pembaca dan Dosen Pengampu demi kesempurnaan makalah ini. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes Artati, Kiat Sukses menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa (Gaya Surakarta & Yogyakarta), (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001). Hilman, H, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992). http://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_pernikahan#Panggih Soedibyo (B.R.A.), Mooryati. Pengantin Indonesia: Upacara Adat, Tata Busana, dan Tata Rias. (Jakarta: Overseas Office, 2001) Zuhdi, Muhdhor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: al-Bayan,1994), Cet. Ke-1. Aljaberi. M Abid, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta, LkiS, 2000. Abdulrachman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, Soerojo Wignjodipoero, SH, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta. www.hukumonline.com www.scribd.com www.wikipedia-indonesia.com

You might also like