You are on page 1of 66

PERCERAIAN KARENA PERSELINGKUHAN Oleh Joke Punuhsingon A.

Latar Belakang
1

Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Data jumlah perceraian tahun 2011 terjadi kenaikan di atas 10 persen dibanding angka tahun 2010.2 Tahun 2010 terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebabnya paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara.3 Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan data-data yang tercatat di pengadilan Agama dan Pengadilan negeri. Hal ini juga dapat kita

1 2

Dosen Fakultas Hukum UKIT. http://id.berita.yahoo.com/angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen010352821.html, diakses 5 Mei 2012 pukul 08.21. 3 Ibid..

buktikan bila mengunjungi pengadilan agama selalu ramai dengan orangorang yang menunggu sidang cerai. Secara historis, angka perceraian di Indonesia bersifat fluktuatif. Hal itu dapat ditilik dari hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA. Berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Tahun 2009 perceraian mencapai 250 ribu. Tampak terjadi kenaikan dibanding tahun 2008 yang berada dalam kisaran 200 ribu kasus. Ironisnya, 70% perceraian diajukan oleh pihak isteri atau cerai gugat. 4 Berikut ini adalah data tahun 2010 dari Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, yaitu dari 2 juta orang nikah setiap tahun seIndonesia, maka ada 285.184 perkara yang berakhir dengan percerain per tahun se-Indonesia. Adapun faktor perceraian disebabkan banyak hal, mulai dari selingkuh, ketidakharmonisan, sampai karena persoalan ekonomi. Faktor ekonomi merupakan penyebab terbanyak dan yang unik adalah 70% yang mengajukan cerai adalah istri, dengan alasan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Data ini memberikan gambaran bahwa, tingkat perceraian secara nasional cukup tinggi. Bagaimana dengan di

http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-diindonesia/diakses tgl 13 Februari 2013 pkl.03.06.

daerah-daerah? Ada beberapa daerah yang datanya menunjukkan tingginya angka perceraian. Kompas.com melansir, pada Tahun 2006, jumlah perkara cerai sebanyak 5 ribu kasus. Tahun 2007 sebanyak 4.625 perkara, dan 2629 merupakan gugatan cerai dari istri, dan 1571 dari suami.5 Istri jauh lebih banyak yang menggugat cerai dibanding suami. Tingginya angka

perceraian ini, dipicu banyaknya warga yang mengadu nasib sebagai Tenaga kerja Wanita di luar negeri. Untuk tingkat provinsi di Indonesia di Tahun 2011, Jawa Timur masih menempati urutan pertama di bandingkan dengan provinsi lain. Kalau tingkat kabupaten, Indramayu menempati urutan pertama dan Banyuwangi yang kedua. Faktor perceraian yang paling dominan adalah hubungan pasangan suami istri yang tidak harmonis sekitar 33 persen. Kalau masalah ekonomi, selingkuh, dan WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain) itu angkanya kecil. Dari 250 warga Surabaya yang bercerai setiap harinya, rangking tertinggi ternyata didominasi kaum guru. Data ini terungkap saat Walikota Surabaya Bambang DH memberi pembekalan terhadap CPNS guru. Menurut Bambang DH, data yang didapat dari Pengadilan Agama, guru menempati urusan pertama dalam kasus perceraian. Di Kabupaten Bantul, Berdasarkan data Pengadilan

http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-diindonesia/, diakses 5 Mei 2012 pukul 08.33.

Agama Bantul kasus perceraian tahun 2007 mencapai 699 kasus, padahal tahun 2006 baru 577 kasus. Tahun 2008 sampai dengan bulan Mei sudah ada 336 kasus. Tren kasus perceraian di Bantul terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebulan rata-rata ada 60 kasus dan sebagian besar karena faktor perselisihan. Perselisihan dipicu karena pihak laki-laki

menelantarkan atau tidak memberikan nafkah kepada istrinya. Sebagian besar yang bercerai berusia antara 30-40 tahun6. Sampai akhir tahun 2011, sebanyak 1.195 kasus cerai yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo. Dari kasus perceraian yang didaftarkan ke Pengadilan Agama Sidoarjo itu, sebagian besar disebabkan suami yang meninggalkan kewajibannya terhadap istri. Pada 2006 lalu sebanyak 1.873 kasus cerai yang didaftarkan ke PA Sidoarjo. Jumlah itu meningkat 201 kasus atau menjadi 2.074 kasus cerai pada 2007. Penyebab lain perceraian di Sidoarjo adalah karena suami berbuat selingkuh. Di Pontianak, faktor rendahnya ekonomi menyebabkan tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama Pontianak, Kalimantan Barat. Terhitung sejak Januari hingga Juni 2008, sudah ada 452 perkara yang masuk ke pengadilan. Bagaimana dengan di Manado? Memasuki awal tahun 2012, angka perceraian di Kota Manado ternyata sangat tinggi dibanding tahun sebelumnya. Data dari Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan sedikitnya

http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-diindonesia-392465.html, diakses tgl 13 Feb.2013 pkl. 12.00.

telah menerbitkan 23 surat akte perceraian. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdukcapil Manado Ventje Pontoh menjelaskan, Disdukcapil

merupakan instansi atau lembaga yang menetapkan perceraian. Sedangkan yang memutuskan perceraian adalah lembaga peradilan. Artinya kami mengeluarkan surat perceraian berdasarkan putusan pengadilan. Jadi, kita tidak langsung menerbitkan surat cerai begitu saja.7 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil)

menerbitkan akte perceraian yang dilakukan warga Kota Manado, lebih banyak dilandasi karena ketidakcocokan dalam menjalani perkawinan. Rata-rata mereka yang mengurus akte perceraian, usia perkawinan masih di bawah 10 tahun. Biasanya kalau sudah di atas sepuluh tahun, apalagi kalau sudah merayakan tahun perak dua puluh lima tahun, mereka lebih matang dalam berumahtangga, tidak mudah bagi mereka untuk bercerai. Meski demikian, bukan berarti tidak ada dari kelompok 10 tahun ke atas mengurus surat cerai.8 Keretakan rumah tangga yang berujung perceraian di Sulawesi Utara mencengangkan. Rata-rata terjadi satu kasus perceraian setiap hari sepanjang tahun. Faktor pemicunya beragam namun paling dominan justru ketidaksetiaan.9 Suami memiliki Wanita Idaman Lain (WIL) dan

7 8 9

http://beritamanado.com/kota-manado/angka-cerai-di-manado-tinggi/79103/ Ibid.

Tribun Jogja - Jumat, 13 April 2012 18:16 WIB

sang istri menyimpan Pria Idaman Lain (PIL) dan akibatnya anak adalah korban paling menderita akibat perpisahan orang tuanya. Data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Manado dan Pengadilan Agama Kotamobagu bisa memberi gambaran tentang tingginya frekwensi perceraian di Sulut. Dalam tiga bulan pertama tahun 2012 (Januari-Maret) total 94 kasus gugatan cerai pasangan suami istri di PN Manado. Bulan Januari 30 kasus, Februari 35 dan Maret 29 kasus. Pada tahun 2012 PN Manado mencatat 291 kasus perceraian terbanyak pada bulan Oktober dengan 37 pasutri bercerai. Angka perceraian di Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya pun mencatat rekor tertinggi dibanding daerah lain di Sulut. Setiap tahun, trend perceraian di empat kabupaten dan satu kota di Bolmong naik antara 20 hingga 25 persen. Catatan Pengadilan Agama Kotamobagu, hingga Maret 2012 sudah 217 kasus gugat cerai. Bandingkan dengan jumlah perkara tahun 2011 yang mencapai 661 kasus. Dari jumlah tersebut, 664 di antaranya sudah putus.10 Data yang diperoleh melalui Humas PN Tondano, Uli Purnama SH MH, "Prosentasi kenaikan berkisar delapan persen per tahun. Ia menyebutkan, tahun 2009 tercatat 134 kasus perceraian yang ditangani PN Tondano. Tahun 2010 meningkat jadi 140 kasus dan tahun 2011 146

10

Ibid.

kasus. Berdasarkan fakta sidang, perceraian umumnya disebabkan ketidakcocokan, selingkuh dan KDRT.11 Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Sumpah yang diucapkan di depan altar pernikahan bukan hanya janji kepada manusia tetapi janji kepada Tuhan. Namun ternyata ada juga pasangan yang sudah diikat dengan sumpah itu berakhir dengan bercerai. Faktor utama terjadinya perceraian adalah karena krisis akhlak. Perselingkuhan adalah krisis akhlak yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya. Karena

perselingkuhan, pemicu terjadinya konflik yang berkepanjangan. Juga faktor pendidikan dan ekonomi bukan hal utama yang memicu perceraian. Data yang tercatat dalam kurun waktu 2010 sampai September 2011 sudah ada 472 kasus perceraian di PA Manado. Sementara di PN Kelas I Manado ada 479 kasus yang terjadi. Di PA Manado 2010 ada 302 kasus perceraian yang harus diselesaikan dan sampai September ada 170 kasus, kata Suroso. Sedangkan di PN Manado, ada 215 yang tercatat sampai September tahun ini dan 264 kasus yang tercatat sepanjang 2010. Suroso juga menambahkan bahwa pihak Pengadilan selalu menawarkan jalan mediasi untuk pihak-pihak yang berseteru, tapi semua tergantung para pihak yang ada.12 Dari data yang ada di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa:

11 12

http://jogja.tribunnews.com/2012/04/13/tak-setia-pemicu-utama-perceraian http://beritamanado.com/kota-manado/angka-cerai-di-manado-tinggi/79103/

1. Tren perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ketahun. 2. Dari 2 juta pernikahan setiap tahun, ada 200 ribuan yang bercerai. 3. Masalah ekonomi (suami tidak bisa menafkahi) adalah no 1 penyebab perceraian, kemudian ketidak harmonisan pribadi, perselingkuhan. 4. 70 % yang menggugat cerai adalah Isteri.13 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka penuilis tertarik untuk menelitinya dengan judul: PROSES

PERCERAIAN KARENA

SELINGKUH DI PENGADILAN NEGERI.

B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana proses cerai gugat karena istri selingkuh di Pengadilan Negeri? 2. Bagaimana Tatacara perceraian di Pengadilan Negeri dalam perkara cerai gugat karena selingkuh? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. 2. Bagaimana proses cerai gugat karena istri selingkuh di Pengadilan Negeri? Bagaimana Tatacara perceraian di Pengadilan Negeri dalam perkara cerai gugat karena selingkuh?

D. Manfaat Penelitian

13

Di kumpulkan dari beberapa Sumber: Kompas.com, detik.com, vivanews.com, suara karya, Antara.

Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi terhadap kajian akademis sekaligus sebagai masukan bagi penelitian yang lain dalam tema yang berkaitan, sehingga bisa dijadikan salah satu referensi bagi peneliti berikutnya. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengetahuan tentang fenomena cerai gugat karena istri selingkuh, dan diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi hakim-hakim di Pengadilan Agama yang lain. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan masukan bagi badan pembuat undang-undang perkawinan mengenai alasan perceraian. b. Sebagai bahan wacana dan diskusi bagi para mahasiswa Fakultas Hukum UKIT khususnya, serta bagi para masyarakat pada umumnya. c. Sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya dengan tema yang sama.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian Desain penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungannya antar fakta. Penelitian deskriptif ini mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasisituasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,

pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruhpengaruh dari suatu fenomena.14 Penelitian kualitatif menggunakan berbagai macam sarana guna

mempermudah peneliti dalam mendapat data yang valid dan obyektif. Pelaksanaan penelitian kualitatif terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada deskripsi secara alami. 2. Paradigma Penelitian Pada hakikatnya, penelitian merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Seorang peneliti merupakan salah satu pihak yang berperan untuk mengejar kebenaran dengan menggunakan model-model tertentu. Model ini kemudian disebut dengan istilah paradigma. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu di struktur atau bagian-bagian yang berfungsi mengarahkan cara berpikir dan penelitian.15 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma naturalistik yang bersumber pada pandangan fenomenologis yang berusaha memahami perilaku manusia dari segi berfikir maupun bertindak. Fenomenologi yang merupakan suau bidang studi tentang persepsi dan pengalaman subjektif dari individu-individu yang ada dalam suatu sistem soasial.16 Kaitannya dengan penelitian ini, peneliti berusaha mengungkapkan fenomena gugat cerai karena istri selingkuh yang digali melalui wawancara dengan Majelis Hakim yang telah memutus perkara gugat cerai karena istri selingkuh di Pengadilan Agama Malang.

3.
14 15

Pendekatan Penelitian

Moh. Nadzir, Metode Penelitian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 26. Lexy J.Moleong, Op. Cit., 30 16 Amiruddin dan Zainal Asikin, PengantarMetodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo 9P1ersada, 2004), 218.

Terkait dengan pendekatan kualitatif yang dipakai dalam penelitian ini, tentu saja tidak membutuhkan statistik atau bentuk hitungan. Penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. 17 Secara umum penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi dan lain sebagainya. Sifat yang tidak kaku memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. 18

F. Sistematika Penulisan Demi mempermudah pembahasan masalah secara garis besar terhadap penyusunan skripsi, maka penulisan skripsi ini akan disusun dalam empat bab yang masing-masing bab dibagi dalam sub-sub bab, adapun rinciannya adalah sebagai berikut: Bab I, Pendahuluan: terdiri dari latar belakang masalah yang berisi deskripsi umum tentang pentingnya masalah yang akan diteliti, kemudian rumusan masalah yakni beberapa pokok permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini, kemudian tujuan dan manfaat penelitian berisi tujuan yang ingin dicapai dan manfaat yang akan dihasilkan dalam skripsi ini, selanjutnya Metode penelitian dan sistematika Penulisan. Bab II, Kajian Teori: kajian teori merupakan bahan rujukan untuk menganalisis materi pokok yang akan diteliti, oleh karena itu dalam kajian teori ini akan dipaparkan mengenai teori perceraian dalam Islam, perceraian menurut perundang-undangan Indonesia, syarat dan tugas Hakim, serta faktor-faktor selingkuh.

17 18

Lexi J. Moleong, Op. Cit., 4. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2006), 14-15.

Bab III,

PROSES PERCERAIAN KARENA SELINGKUH


Proses cerai gugat

DI PENGADILAN NEGERI, yang memuat tentang

karena istri selingkuh di Pengadilan Negeri dan Tatacara perceraian di Pengadilan Negeri dalam perkara cerai gugat karena selingkuh. Bab IV, Penutup: merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yaitu menyimpulkan pembahasan sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat. Selain itu juga terdapat saran-saran yang bersifat konstruktif.

BAB II KAJIAN TEORI A. Perceraian 1. Pengertian Perceraian

a. Perceraian Dalam Pandangan Kristen

Perceraian merupakan persoalan yang biasa dihadapi oleh kebanyakan orang dalam kehidupan berumah tangga. Bukan saja di kalangan para artis yang marak, tetapi juga di kalangan orang Kristen sendiri, perceraian menjadi persoalan yang serius. Dalam tulisan ini Hendi Rusli19, mencoba melihat persoalan etis perceraian dari sudut pandang Paulus dalam I Korintus 7. Ada pun sebelum saya menarik sumbangsih etis dari pandangan Paulus mengenai perceraian, terlebih dahulu meninjau latar belakang historis dari surat I Korintus tersebut; menelusuri sumber ajaran etis Paulus; dan menggali teks I Korintus 7 terkait dengan masalah perceraian. 1) Latar Belakang Historis Kota Korintus merupakan kota pelabuhan yang penting karena letaknya yang strategis. Menurut Groenen, kota ini terletak di lajur tanah yang menghubungkan antara Yunani Selatan dan Yunani Utara, oleh karena itu juga kota ini menjadi titik sambung lalu lintas bagi Yunani Selatan dan Yunani Utara. Dan hal inilah yang menyebabkan kota Korintus menjadi pusat perdagangan dan industri, bukan sebagai pusat kebudayaan seperti Athena.20 Penduduk Korintus sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka anut. Penduduk Korintus menyembah Dewi Venus yang adalah
19

http://hendirusli.blogspot.com/2010/05/perceraian-dalam-pandangan-paulus.html, diakses 5 Mei 2012 pukul 13.39. 20 Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta:1986), 227.

Dewi Cinta berdasarkaan hawa nafsu.21 Peraturan di Korintus menetapkan bahwa di dalam kuil Dewi Venus harus ada seribu gadis cantik yang tetap tinggal sebagai pelacur dan beribadah kepada Dewi Cinta itu. Wesley menambahkan bahwa dengan adanya agama yang demikian, maka tidaklah heran jika kota Korintus disebut sebagai kota kenajisan dan Kota Main Korintus yang berarti kota untuk berbuat zinah. Di sisi lain, Barclay juga berpendapat22 bahwa kota Korintus memiliki reputasi makmur di bidang perdagangan, namun juga merupakan pemeo bagi kehidupan yang jahat. Menurut Barclay, kata korinthiazesthai yang telah menjadi kosa-kata bahasa Yunani secara harfiah berarti hidup seperti orang Korintus, yaitu hidup bermabuk-mabukan dan penyelewengan yang tidak terkendali. Paulus menulis suratnya yang pertama kepada jemaat Korintus di tengah-tengah situasi yang seperti ini. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Paulus menulis surat ini? Ada kemungkinan bahwa surat yang petama ini ditulis untuk membalas surat dari jemaat Korintus itu sendiri, misalnya dapat kita rujuk dari I Korintus 7:1.23 Melalui suratnya, Paulus mau menjawab pergumulan-pergumulan yang jemaat hadapi. Kapan surat ini

21 22

J. Wesley Brill, Tafsiran Surat Korintus, (Bandung:1998), 11-12. Barclay, William. F.F. Bruce (ed). Paul And His Converts. London: Lutterworth Press. 1962 23 J. Wesley Brill, Ibid.

ditulis? Para penafsir mengatakan bahwa surat ini ditulis sekitar tahun 54 atau 55, namun ada juga yang mengatakan sekitar tahun 57 atau 58. Menurut Bruce,24 kemungkinan surat I Korintus ini ditulis pada tahun 55 sebelum hari raya Pentakosta ( I Kor 16:8), ketika Paulus berada di Efesus pada tahun yang ketiga.

2) Sumber Ajaran Etis Paulus Dari manakah sumber ajaran etis Paulus mengenai perceraian? Mungkin ini menjadi pertanyaan yang terlintas dalam benak pembaca. Dalam bagian ini, saya merujuk pada tiga sumber yang sekiranya dapat menjawab pertanyaan di atas. Perjanjian Lama Kemungkinan pertama, sumber dari ajaran Paulus mengenai perceraian dalam I Korintus 7 bisa bersumber dari Perjanjian Lama.25 Bagian dari Perjanjian Lama yang membahas khusus

mengenai hukum perceraiaan terdapat dalam Ulangan 24:1-5 (teksteks lain dapat dirujuk, misalnya: Ul. 22:13-21; Ul. 22:28-29; Im. 21:7-14.26 Penulis Deuteronomis yang menjadi sumber tulisan ini,27 sangat tidak setuju dengan perceraian di kalangan umat Israel. Hukum-hukum itu dibuat untuk mencegah terjadinya perceraian.
24

F.F Bruce, The New Century Bible Commentary: I & II Corinthians, (Grand Rapids: 1992), 25. 25 Lihat diktat Candra Gunawan, Etika Paulus: Sumber-Sumber Ajaran Etis/Moral Tulisan Rasul Paulus, Cipanas: 25 Januari, 2010. 26 Glen H. Stassen, Etika Kerajaan, (Surabaya:2008), 356. 27 Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, (Jakarta: 2004, 68.

Dari sini tentunya kita dapat katakan bahwa, Paulus sebagai seorang murid dari guru besar Gamaliel (Kis. 22:3) mengetahui hukumhukum yang tertulis dalam kitab Ulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar sumber ajaran etis Paulus mengenai perceraian ini bersumber dari Perjanjian Lama? Hal ini memang dapat dibantah, karena Paulus tidak mengutip secara langsung teks-teks dalam PL sebagaimana dilontarkan oleh Adolf von Harnack. Menurut Holtz yang dikutif Candra Gunawan,28 Rasul Paulus mengembangkan nasehat etisnya dari ajaran PL sebagaimana dipahami oleh Yudaisme Bait Allah Kedua (BAK). Pandangan Paulus dalam I Korintus 7:2 yang menyatakan bahwa, lebih baik menikah daripada jatuh dalam bahaya percabulan, menurut Holtz, bersumber pada pandangan Yudaisme BAK. Demikian juga dengan nasehat mengenai anjuran selibat dalan I Korintus 7:7, 26, 32 memiliki kemiripan dengan anjuran dan nesehat yang diberikan dalam komunitas Qumran. Tradisi/Ajaran Yesus Sumber kedua yang dapat dirujuk dari ajaran etis Paulus dalam I Korintus 7 adalah dari tradisi/ajaran Yesus.29 Mengenai ajaran Yesus tentang perceraian yang telah dibukukan terdapat

28 29

Candra Gunawan, Ibid, 12. Candra Gunawan, Ibid.

dalam Injil sinoptik,30 yaitu Matius 5:31-32; 19:3-12, Lukas 16:18 dan Markus 10:2-12. Masing-masing bagian ini menegaskan bahwa Yesus sebenarnya menentang perceraian. Perikop Matius 19:3-12 dan Markus 10:2-12 memiliki kemiripan. Menurut Stassen,31 kedua bagian tersebut mencatat perjumpaan Yesus dengan orang-orang Farisi di mana mereka berusaha menguji Dia di hadapan orang banyak. Kedua perikop tersebut berkenaan dengan isu tentang apakah perceraian sejalan dengan hukum Yahudi. Paulus Sendiri Sumber ketiga yang dapat saya rujuk dari ajaran etis Paulus dalam I Korintus 7 adalah hasil dari pergumulan Paulus sendiri dengan konteksnya, yaitu di jemaat Korintus. Sebagaimana disinggung pada bagian latar belakang historis, kota Korintus dikenal sebagai kota yang penuh dengan kejahatan, rawan akan perzinahan dan tindakan asusila. Hal ini menimbulkan persoalan etis di jemaat Korintus, yang mengancam hidup pernikahan jemaat tersebut. Paulus menjawab pergumulan ini melalui suratnya, terkhusus dalam I Korintus 7 yang terkait dengan isu tersebut. Barclay juga menegaskan bahwa ayat 12-16 merupakan hasil pergumulan Paulus dari persoalan yang terjadi di jemaat Korintus. Penjelasan I Korintus 7
30

Injil-injil sinoptik ditulis dengan periode waktu yang berbeda-beda. Menurut Marxsen, Markus ditulis sekitar tahun 67-69 M, Matius sekitar tahun 80an, dan Lukas ditulis sekitar tahun 90 M.
31

Glen H. Stassen, Ibid, 350..

Isu utama dalam bagian I Korintus 7 sebenarnya bukan berbicara mengenai perceraian tetapi mengenai perkawinan. Dapat dikatakan bahwa isu perceraiaan merupakan sub-ordinasi dari isu utama, yaitu perkawinan. Sebelum saya masuk ke dalam penjelasan ayat-ayat yang terkait dengan masalah perceraian, saya akan mencoba meninjau pengertian dari istilah perceraian itu sendiri dalam konteks sekarang, kemudian menelusuri, persoalan apa yang sebenarnya digumuli oleh jemaat Korintus terkait dengan surat I Korintus pasal 7 ini. 3) Pengertian Perceraian Perceraian adalah32 putusnya hubungan pernikahan antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah hidup bersama sebagai suami isteri. Istilah perceraian memiliki dua pengertian yang digunakan dalam keadaan yang berbeda. Pertama, adalah perceraaian dengan istilah a mensa et thoro (dari meja dan tempat tidur), lebih tepat lagi didefinisikan sebagai pemisahan. Dalam hal ini, pasangan suami isteri tersebut hidup terpisah dan berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri (pisah ranjang), tetapi masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan orang lain ketika pasangannya masih hidup. Keadaan seperti ini diakui oleh hukum dan diijinkan oleh

32

Dr. Endang Sumiarti, Problematika Hukum Perceraian Kristen dan Katolik, (Yogyakarta:2005), 85.

tradisi Kristen di dalam pernikahan. Kedua, adalah dengan istilah a Vinculo yang berarti putusnya hubungan dari ikatan perkawinan (secara hukum/resmi). Mereka sudah tidak terikat satu dengan lainnya dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain. 4) Masalah yang diajukaan kepada Paulus Menurut Wesley,33 sebenarnya ada 8 pertanyaan atau

masalah yang ditanyakan jemaat Korintus kepada Paulus terkait dengan I Korintus 7 ini. Persoalan tersebut yaitu: Salahkah jika seseorang menikah? Jawaban atas pertanyaan ini adalah tidak (ayat 1 dan 2). Bolehkah seseorang yang sudah menikah menjauhi pasangannya dan tidak bersetubuh dengan dia? Jawabannya ialah tidak (ayat 3-5). Bolehkah seorang janda atau seorang duda menikah lagi? Jawabannya ialah: mereka boleh menikah lagi, tetapi hanya dengan orang yang percaya kepada Tuhan Yesus. Namun Paulus berpendapat bahwa lebih baik kalau janda-janda itu tidak menikah (ayat 7-8). Bolehkan seorang isteri Kristen menceraikan suaminya atau sebaliknya? Jawabannya ialah tidak (ayat 10-11). Bolehkah perkawinan di antara seorang yang beriman dan seorang yang tidak beriman dibatalkan? Jawabannya adalah
33

Wesley, Ibid, 135-136.

tidak (ayat 13-14). Apakah peraturan umum yang berhubungan dengan masalah perkawinan ini? Jawabannya ialah: hendaklah tiap-tiap orang tetap tinggal dalam keadaannya seperti pada waktu ia dipanggil Allah (ayat 18-24). Apakah membujang lebih baik/lebih mulia daripada menikah atau menikah lebih baik/lebih mulia daripada membujang? Jawaban atas kedua pertanyaan itu adalah tidak (ayat 25-35). Apakah kewajiban seorang ayah terhadap anak gadisnya? Bolehkah ia mendorong atau memaksa anak gadisnya itu menikah atau tidak menikah? Jawaban atas kedua pertanyaan ini ialah tidak (ayat 36-40). Adapun ayat-ayat khusus yang berbicara langsung mengenai isu perceraian dalam I Korintus 7 adalah sebagai berikut: Ayat 10-11, Paulus menegaskan agar seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya, demikian juga suami tidak

diperbolehkan menceraikan isterinya. Menurut Barclay,34 Paulus melarang perceraian karena Yesus juga melarangnya. Jika terjadi perceraian yang semacam itu, Paulus melarang mereka untuk kawin lagi. Hal ini mungkin terlihat seperti sebuah ajaran yang keras, namun dalam konteks di Korintus, lebih baik memelihara normanorma yang demikian sehingga kehidupan moral yang baik tetap
34

Barclay, Ibid, 115.

terpelihara dalam kehidupan jemaat. Di samping Barclay, Bruce juga menegaskan bahwa otoritas Paulus dalam ajarannya mengenai larangan perceraian ini, bersumber dari pengajaran Yesus (misalnya dapat kita rujuk dari Markus 10:2-12).35 Ayat 12-16, bekenaan dengan perkawinan di antara orangorang beriman dan orang-orang yang tidak beriman. Bagian ini kemungkinan adalah hasil dari pergumulan Paulus, karena tidak ada perintah dari Yesus yang dapat ditunjukkan oleh Paulus kepada jemaat Korintus tersebut. Latar belakang dari bagian ini adalah bahwa ada orang-orang di Korintus yang menyatakan bahwa orang beriman tidak boleh tinggal bersama orang tidak beriman; dan mereka juga berpandangan bahwa jika salah seorang dari pasangan dalam sebuah perkawinan menjadi Kristen, maka jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk memisahkan mereka adalah perceraian. Paulus menghadapi masalah ini dengan kebijaksanaan yang paling praktis. Ia berkata bahwa jika keduanya sepakat untuk tinggal bersama, biarkanlah mereka melakukannya; tetapi jika mereka menghendaki untuk bercerai serta didapati sesuatu yang amat memberatkan mereka jika harus tetap tinggal bersama, maka biarlah mereka melakukan perceraian itu. Barclay berpendapat bahwa dalam bagian ini, ada dua hal penting yang disebut Paulus sebagai nilainilai kekal, yaitu: 1) Bahwa pasangan yang tidak beriman akan
35

Bruce, Ibid, 69.

dikuduskan oleh pasangannya yang beriman. Yang menakjubkan dari kasus seperti ini adalah bahwa bukan noda dari kekafiran, melainkan anugerah kekristenanlah yang menang. 2) Bahwa hubungan ini pun mungkin merupakan cara untuk menyelamatkan jiwa pasangan yang tidak beriman. Pasangan yang tidak beriman harus dianggap, bukan sebagai sesuatu yang najis untuk dihindari dengan penolakan, melainkan sebagai jiwa yang harus dimenangkan bagi Allah. Ayat 27-28, kelihatannnya Paulus menomorduakan

perkawinan. Paulus mengijinkan perkawinan seakan-akan hanya sebagai sebuah kelonggaran untuk menghindari percabulan dan perzinahan. Namun meskipun demikian, Paulus menegaskan bahwa jikalau seseorang sudah terikat oleh seorang perempuan, artinya telah memiliki isteri, ia tidak boleh menceraikannya. Hal ini juga ditegaskan oleh Bruce, ia berpendapat bahwa di samping Paulus secara eksplisit melarang untuk menikah, Paulus tidak keberatan jikalau toh seandainya mereka mengabaikan nasehatnya, mereka tidak berdosa. Ayat 39, Paulus mengemukakan pandangannya yang

konsisten. Perkawinan adalah hubungan

yang hanya dapat

diceraikan oleh kematian. Perkawinan kedua memang diperbolehkan apabila salah satu pasangan dari mereka telah meninggal. Bruce mengaitkan bagian ini dengan Roma 7:2 yang berbicara mengenai

hukum perkawinan yang mengatakan, Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Kemungkinan Paulus merujuk pada nats ini, atau juga malah sebaliknya. Karena surat Roma juga di tulis sekitar tahun 55/56 M. 5) Sumbangan Etis Pandangan Paulus dalam I Korintus 7 khususnya mengenai perceraian, dapat dijadikan bahan acuan yang baik untuk bina pranikah di gereja-gereja dewasa. Memberi pemahaman yang lebih humanis, terkait dengan pasangan suami isteri yang berbeda keyakinan. Mereka tidak harus bercerai, kecuali atas kesepakatan bersama. Pernikahan adalah sesuatu yang kudus dan harus dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Perceraian tidak seharusnya dijadikan senjata, ketika persoalan melanda kehidupan rumah tangga. Hanya maut yang dapat menceraikan manusia dari pernikahan. Persoalan etis dari surat I Korintus 7 sebenarnya berkaitan erat dengan isu mengenai perkawinan. Masalah perceraian sebenarnya adalah bukan isu utama dalam bagian I Korintus pasal 7 ini. Namun demikian, bukan berarti kita tidak dapat berbicara mengenai hal tersebut. Melalui pengkajian sederhana yang saya lakukan di atas, ternyata banyak nilai-nilai etis yang dapat ditarik dari I Korintus 7

terkait dengan masalah perceraian. Dari hasil pengkajian Hendi Rusli, ia menyimpulkan bahwa sumber dari ajaran paulus dalam I Korintus 7:1-40 bisa berasal dari tiga sumber utama, yaitu Perjanjian Lama, ajaran Yesus, dan pemikiran Paulus sendiri, yaitu hasil pergumulannya dengan konteks jemaat Korintus. Juga, pengkajian yang serius atas teks-teks kitab suci dapat memberi manfaat yang besar bagi kehidupan orang-orang percaya, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai etis Kristiani serta menghasilkan pesan atau kerugma yang segar dan relevan untuk kehidupan kita sekarang ini.

b.

Tinjauan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 1. Aturan tentang Perceraian Aturan perceraian di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan termaktub dalam pasal 39 berbunyi: (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suamiisteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Di dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 disebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

a.

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b.

Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.

c.

Salah satu pihak mendapat hukuman hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

e.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f.

Antara suami dam isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga. Ketentuan ini juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19 yang berbunyi:

Perceraian dapat

terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan

berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

suami/isteri; f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
2. Aturan tentang Izin Poligami Pembahasan yang berkaitan dalam masalah poligami dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 ada dalam pasal 3 sampai dengan pasal 5. Pasal 3 berbunyi: (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihakyang bersangkutan. Pasal 4 berbunyi: (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. b. c.

isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disebuhkan; isteri tidak dapat melahirkan keturunan; Pasal 5 menyatakan

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. b. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka; (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mugkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

B. Selingkuh Penyebab Utama Perceraian by EYANKGHAIB on 03:32 AM, 12-Oct-11 Setiap dua jam tiga pasang suami istri bercerai gara- gara selingkuh. Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, Yusman Arifin, tertangkap basah bersama pasangan selingkuhannya di sebuah wisma di Jalan Mardani, Jakarta Pusat. Sang istri, Naila Ibrahim sendiri yang memergokinya sembari membawa rombongan wartawan.36 Sementara itu, Polres Tulungagung menetapkan anggota DPRD Kabupaten Tulungagung Agus Sukarno Putro (29) dari Fraksi PKNU dan pasangan selingkuhnya, Apriliana (30) yang juga bendahara sekwan sebagai tersangka. Mereka dijerat pasal 284 KUHP tentang perzinaan. Berita seperti itu banyak menghiasi media massa, bukan satu-dua kasus. Bukan hanya menyangkut kalangan artis, tapi juga kaum elitis. Itupun yang ketahuan saja, yang tak terendus jauh lebih banyak. Tak heran bila di Indonesia, detektif swasta banyak yang disewa untuk menyelidiki perselingkuhan, khususnya yang dilakukan pejabat. Memang, klien kami kebanyakan mengadukan soal perselingkuhan, kata CJ Ryon, pimpinan dan pendiri Pancaindera.com, sebuah lembaga penyelidik swasta spesialis perselingkuhan. Picu Perceraian Ya, praktik selingkuh telah begitu meluas. Bahkan, kini menjadi ancaman serius bagi institusi keluarga bahagia. Sejumlah hasil penelitian dalam dan luar negeri membuktikan bahwa dari sekian banyak penyebab perceraian, selingkuh menjadi penyebab utama. Menurut data Ditjen Pembinaan Peradilan Agama (PPA) Mahkamah Agung, persentase perselingkuhan perempuan lebih kecil dari pria. Sedangkan Amir Sjarifoedin Tjunti Agus, dalam bukunya Wanita-Wanita Selingkuh; Rumput Tetangga Terlihat lebih Hijau, melakukan penelitian terhadap 100 "wanita peselingkuh" usia 24-50 tahun, berdasarkan strata ekonomi, sosial, dan
36

http://eyank.mywapblog.com/selingkuh-penyebab-utama-perceraian.xhtml

sebagainya, -dengan latar belakang pendidikan (SLTA sampai S-2). Terungkap, banyak wanita lebih memilih selingkuh daripada memperbaiki hubungan dengan suami. Bahkan, mereka berselingkuh tidak saja dengan PIL (pria idaman lain), tapi juga dengan adik ipar, anak kos, siswa, mahasiswa, "brondong", lesbian, bahkan gigolo. Menjijikkan! Hasil perselingkuhan ini, mendorong pergerakan stastistik perceraian dari tahun ke tahun. Direktorat Jendral Pembinaan Peradilan Agama mencatat, kini selingkuh menjadi virus keluarga nomor empat. Tahun 2005 lalu, misalnya, ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh; 9.071 karena gangguan orang ketiga, dan 4.708 akibat cemburu. Persentasenya mencapai 9,16 persen dari 150.395 kasus perceraian tahun 2005 atau 13.779 kasus. Alhasil, dari 10 keluarga bercerai, 1 di antaranya karena selingkuh. Atau, rata- rata, setiap 2 jam ada tiga pasang suami istri bercerai gara-gara selingkuh. Perceraian karena selingkuh itu jauh melampaui perceraian akibat poligami tidak sehat yang hanya 879 kasus atau 0,58 persen dari total perceraian tahun 2005. Perceraian garagara selingkuh juga 10 kali lipat dibanding perceraian karena penganiayaan yang hanya 916 kasus atau 0,6 persen. Dan, data perselingkuhan itu diprediksi akan terus meroket. "Karena banyak tokoh yang melakukannya," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti. "Selingkuh adalah fenomena tidak sehat bagi bangsa ini. Selingkuh itu zina," tandas Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag. Sayang, istilah selingkuh sendiri kerap diakronimkan 'selingan indah keluarga utuh', hingga banyak yang penasaran mencobanya. Padahal mereka Muslim dan Muslimah. Ironi! Selingkuh Haram Lafal selingkuh berasal dari bahasa Jawa yang artinya perbuatan tidak jujur, sembunyi-sembunyi, atau menyembunyikan sesuatu yang bukan haknya. Dalam makna itu ada pula kandungan makna perbuatan serong.

Namun, lafal selingkuh di Indonesia muncul secara nasional dalam bahasa Indonesia dengan makna khusus "hubungan gelap" atau tingkah serong orang yang sudah bersuami atau beristri dengan pasangan lain. Sehingga begitu bahasa Jawa selingkuh ini mencuat jadi bahasa Indonesia tahun 1995-an, langsung punya makna lain (tersendiri) yaitu hubungan gelap ataupun perzinaan orang yang sudah bersuami atau beristri. Ini satu perpindahan makna bahasa serta budaya bahkan ajaran. Sebab menurut budaya Barat (bahkan hukum Barat), yang namanya zina itu hanya kalau sudah bersuami atau beristri, sedangkan jika masih bujangan atau suka sama suka, dianggap tidak. Itu sama sekali berlainan dengan Islam, karena ada zina muhshan (yang sudah pernah berhubungan badan karena nikah yang sah, hukumannya menurut Islam, dirajam/dilempari batu sampai mati) dan zina ghairu muhshan (belum pernah nikah, hukumannya dicambuk 100 kali dan dibuang setahun bagi lelaki, dan didera 100 kali bagi perempuan). Sampai sekarang, lafal selingkuh lebih dekat kepada makna hubungan gelap antara orang yang sudah bersuami atau beristeri dengan pasangan lain. Kalau pacaran dianggap bukan selingkuh, tetapi kalau diamdiam ada pacar lain lagi, baru dianggap selingkuh. Ini semua makna-makna yang berkembang, tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan syariat Islam karena Islam tidak memperbolehkan pacaran. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), selingkuh adalah: (1). Suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong. (2) Suka menggelapkan uang; korup. (3) Suka menyeleweng. Dilihat dari definisi itu, lafal selingkuh sekarang sudah mengalami perubahan makna, menjadi makna khusus, hubungan gelap bagi orang bersuami atau beristeri. Dan perbuatan itu dianggapnya lumrah. Padahal diharamkan menurut Islam Pernikahan Ditinggalkan Rusaknya moral kaum elite (al-mutrafin) adalah menyangkut selingkuh secara utuh, yaitu makna secara

keseluruhan. Baik selingkuh yang maknanya korupsi, tidak jujur, serong maupun zina. Diadili saja tidak, apalagi dirajam, yaitu dibunuh dengan cara dilempari batu. Kalau yang cerai gara-gara selingkuh saja tiap dua jam ada, lantas kalau mereka diadili, berarti tiap dua jam ada sepasang selingkuh yang bisa divonis mati dengan dirajam. Karena yang diseret ke pangadilan hanya yang korupsi, bukan yang berzina, maka suatu ketika lembaga ulama mengeluarkan semacam fatwa atau imbauan hanya menyangkut pemberantasan korupsi, bukan untuk mengadili yang berzina. Kenapa separah ini? Karena, ada kekuatan-kekuatan jahat yang bersekongkol atau berkomplot yang merusak umat Islam Indonesia ini secara sistematis. Antara lain melalui majalah porno (Playboy misalnya), film porno, situs porno, dll. Sedangkan aturan yang 'berbau' Islam terus diobrak-abrik. Seperti UU Perkawinan, tentang kebolehan poligami, diikuti dengan syarat yang ketat. Sebaliknya, bagi yang ingin zina, sarananya telah tersedia, sedang sistemnya tidak mempersoalkannya. Lebih dari itu justru perzinaan menjadi salah satu lahan pemasukan bagi pemerintah daerah atau orang-orang yang berbisnis maksiat. Bahkan ketika kerusakan akibat perzinaan ini terjadi, seperti menjalarnya penyakit AIDS, pemerintah dan media menolong mereka dengan berbagai program indahnya. Seperti kondomisasi, kesehatan reproduksi, antidiskriminasi ODHA (orang dengan HIV/Aids), dll. Dianjurkanlah kondom, disebar gratis di lokasi maksiat. Merebaklan seks bebas. Dan ketika seks bebas sudah menjadi budaya, ikatan suci pernikahan pun ditinggalkan. Ya, saat angka perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun, pernikahan justru terus mengalami penurunan. Lembaga pernikahan tidak lagi menarik. Jumlah pernikahan tahun 2005 lalu, bahkan hanya sedikit meningkat dibanding 1950-an, di saat jumlah penduduk baru 50 juta orang. "Jumlah pernikahan tahun 1950-an lalu sudah mencapai 1,4 juta, lho," kata peneliti ahli Litbang Departemen Agama, Moh Zahid (Republika, 7/1/07). Kalau

sudah begitu, malapetaka kehancuran keluarga, runtuhnya institusi pernikahan tinggal menunggu waktu. Semai generasi mujahid dalam keluarga pun terancam gagal. Ini jelas harus dihentikan! Ingat, akronim selingkuh sebagai `selingan indah keluarga utuh', tidak pernah berlaku, karena sejatinya selingkuh adalah `selingan indah keluarga runtuh'. Untuk menghentikan itu, tegakkan hukum zina! Tegakkan Syariat Islam melalui Khilafah Islamiyah!37

Menurut Psikolog Augustine menyebutkan bahwa perselingkuhan bisa dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal.38 Tidak hanya dilakukan oleh salah satu pasangan suami istri saja, bahkan kadang ditemui kasus sepasang suami istri sama-sama melakukan perselingkuhan. Selanjutnya perselingkuhan akan memicu terjadinya pertengkaran, dan pertengkaran menimbulkan suasana ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Sehingga kata perceraian disebut sebagai jalan keluar untuk mengakhiri sebuah ikatan perkawinan yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berbuat selingkuh antara lain adalah ketidakpuasan salah satu pasangan dalam pergaulan biologis, pengaruh gaya hidup tinggi dalam pergaulan di lingkungan kerja, dekadensi moral, lemahnya iman dan lain sebagainya.

37

http://eyank.mywapblog.com/selingkuh-penyebab-utama-perceraian.xhtml, diakses 5 Mei 2012 pukul 09.17.


38

Budi Sutomo, Teman Tapi Mesra Sebuah Awal Perselingkuhan,, http://budiboga.blogspot.com/2006/04/temantapi-mesra-sebuah-awal.html, (diakses pada tanggal 11 November 2009).

Perbuatan selingkuh bukan hanya berpeluang pada perzinahan, melainkan juga memberikan kontribusi kedhaliman yang dahsyat terutama kehancuran hubungan keluarga. Akibat dari selingkuh itu sendiri akan mendorong seseorang untuk melakukan dosa-dosa yang lain misalnya berbohong, zina, menyakiti hati pasangan dan lain sebagainya. Beberapa akibat tersebut kemudian bisa membawa pada dampak yang lebih besar yaitu kehancuran rumah tangganya sendiri bahkan juga dapat menghancurkan rumah tangga orang lain. 39 Menjadi suatu kewajaran jika seorang istri mencerai gugat suaminya karena suaminya selingkuh dengan wanita lain, begitu pula sebaliknya, wajar jika seorang suami mentalak istrinya karena istrinya melakukan hubungan gelap dengan laki-laki lain. Namun menjadi menarik jika ada seseorang yang telah bersuami atau beristri melakukan perselingkuhan dengan orang lain, kemudian atas inisiatifnya sendiri mengajukan perceraian terhadap suami atau istrinya ke pengadilan. Dalam kasus yang nyata, dapat dilihat kasus perceraian selebritis Indonesia yaitu penyanyi Krisdayanti dan Anang Hermansyah. Diberitakan oleh berbagai media, bahwa penyebab keretakan rumah tangga pasangan selebritis tersebut karena istri yaitu Krisdayanti telah selingkuh dengan seorang pengusaha kaya dari Timor Leste. Namun alasan perselingkuhan tersebut tentu saja tidak secara mentah dijadikan alasan cerai gugat oleh krisdayanti dalam surat gugatannya. Perceraian dapat diterima dan dilakukan di PA apabila sudah memenuhi alasan yang dibenarkan oleh hukum maupun pertimbangan hakim. Perceraian tidak dapat dilakukan dengan jalan permufakatan saja, hal ini sesuai dengan pendapat Subekti bahwa undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami istri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan perceraian menurut Undang-undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diatur di dalamnya, akan tetapi hal ini diterapkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, selain itu juga disebutkan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 pasal 116, yang dalam keduanya sama-sama menyebutkan alasan perceraian dari huruf a sampai f, alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
39

Nurul Huda Haem, Awas Illegal Wedding, (Jakarta: Hikmah, 2007), 188.

c.

Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

f.

Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dari beberapa poin alasan perceraian tersebut yang termasuk dalam kategori selingkuh terdapat pada huruf (a). Dalam ayat tersebut terdapat kalimat "salah satu pihak berbuat zina" yang secara tersirat dapat juga diistilahkan dengan perselingkuhan. Adapun kata selingkuh dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai "sikap tidak berterus terang, tidak jujur, suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri". Dalam kaitannya dengan hubungan gelap lawan jenis, maka perselingkuhan bisa diartikan sebagai perbuatan menjalin hubungan dengan orang lain (hubungan gelap) baik hubungan yang sudah sampai pada perbuatan zina atau belum, yang dilakukan oleh orang yang telah bersuami atau beristri. Perselingkuhan merupakan salah satu alasan diperbolehkannya seorang pasangan mengajukan perceraian di pengadilan. Misalnya seorang istri boleh mengajukan cerai gugat apabila dapat dibuktikan bahwa suaminya telah melakukan perselingkuhan dengan wanita lain dan sebaliknya. Akan tetapi tidak dibenarkan apabila seorang suami atau istri menceraikan pasangannya karena dia sendiri telah melakukan perceraian. Walaupun dalam fenomena perceraian hal semacam ini memang terjadi, akan tetapi pihak yang akan mengajukan perceraian biasanya menggunakan alasan lain yang dibenarkan secara hukum untuk mengajukan perceraian, dalam hal ini pasal yang dipakai adalah PP No. 9 tahun 1975 pasal 19 huruf (f). Mengacu pada pasal ini, pihak penggugat atau pemohon yang akan mengajukan perceraian bisa saja membuat-buat masalah dan konflik rumah tangga agar menimbulkan keadaan tidak harmonis hingga akhirnya dapat mengajukan perceraian di pengadilan. Padahal majelis hakim dalam proses persidangan perceraian tidak bisa begitu saja mengeluarkan putusannya tanpa memperhatikan

pertimbangan-pertimbangan yang memberatkan pada jatuhnya perceraian. Maka untuk dapat mengetahui faktor-faktor penyebab terjadi perceraian yang sebenarnya terjadi dalam sebuah rumah tangga, dalam proses cerai gugat akan didahului dengan proses perdamaian yang bersifat tertutup. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Mediasi menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa di pengadilan.40 Mediasi pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam hukum acara pasal 2 PERMA No. 02 Tahun 2003, yaitu semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui upaya perdamaian dengan bantuan seorang mediator. Mediasi berasal dari kata "mediation" dalam bahasa inggris yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, dan yang menengahi dinamakan

40

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari'ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), 306.

mediator.41 Mediator tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah sengketa. 42 Munasik43 sebagai salah seorang Hakim di Pengadilan Agama Kota Malang menjelaskan bahwa sebelum melaksanakan mediasi, seorang mediator terlebih dahulu mempelajari surat gugatan yang memuat latar belakang terjadinya sebuah perkara. Sehingga ketika melaksanakan mediasi, seorang mediator tahu siapa yang harus ditekan dalam pemberian nasihat supaya yang bersangkutan introspeksi diri. Dari sini mediator akan dengan mudah menggali faktor yang sebenarnya menjadi penyebab sebuah perceraian. Dari proses mediasi inilah kemudian secara lebih mendalam seorang mediator bisa mengetahui alasan sebenarnya terjadi perceraian antara suami dan istri, termasuk alasanalasan perceraian yang disembunyikan oleh pasangan suami istri. Termasuk juga dalam penelitian ini, cerai gugat yang diajukan oleh istri dengan alasan ketidakjujuran dari suami, ternyata terungkap masalah yang sebenarnya yaitu kesalahan yang telah dibuat oleh pihak istri sendiri. Dalam mengajukan perceraian, apabila pihak yang mengajukan adalah pihak yang bersalah, maka gugatan perceraian tersebut akan ditolak di Pengadilan Agama. Karena berdasarkan prinsip yang ada, seseorang yang berbuat salah tidak boleh mengajukan gugatan.

41

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian di Luar Pengadilan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), 79. 43 Ibid., 80. 12 Hasil Wawancara dengan Munasik, M.HI Hakim Pengadilan Agama Malang, 6 November 2009, Pengadilan Agama Malang.

BAB III

PROSES PERCERAIAN KARENA SELINGKUH DI PENGADILAN NEGERI

A. PROSES

PERCERAIN DI PENGADILAN NEGERI

Mengenai proses persidangan apabila dalam mengajukan gugatan perceraian, kami akan menjelaskan mengenai proses-prosesnya sebagai berikut: 1. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian harus memahami bahwa gugatan yang diajukan telah memenuhi syarat-syarat alasan perceraian sesuai ketentuan undangundang; 2. Suami atau isteri yang akan mengajukan gugatan perceraian dapat mewakili dirinya sendiri di pengadilan atau mewakilkan kepada advokat atau kuasa hukum, dan gugatan dapat dibuat sendiri, jika tidak mengetahui format gugatan dapat meminta contoh gugatan perceraian kepada kepaniteraan pengadilan, pengadilan agama dan lembaga bantuan hukum yang ada; 3. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian dapat mempersiapkan gugatan perceraian dengan alasan-alasan yang jelas secara hukum (serta dapat juga memasukan tuntutan pengasuhan anak dan harta gono gini), seperti penjelasan di bawah ini: * Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemakai obat terlarang, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan; * Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan alasan yang sah serta karena hal lain diluar kemampuannya; * Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat; * Salah satu pihak mengalami cacat badan atau penyakit sehingga tidak bisa melakukan kewajiban sebagai suami/isteri; * Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa ada kemungkinan penyelesaian; dan * Salah satu pihak dipenjara selama lima tahun atau hukuman yang lebih berat, yang menimbulkan tidak adanya harapan untuk hidup berumah tangga lagi. 4. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal tergugat; 5. Bila tempat tinggal tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat tinggal tetap, gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat, dan bila tergugat di luar negeri gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat melalui perwakilan RI setempat; 6. Gugatan yang telah dibuat, ditandatangani di atas materai dan dibuat rangkap lima (tiga rangkap untuk hakim, satu rangkap untuk tergugat dan satu rangkap untuk berkas di kepaniteraan); 7. Gugatan tersebut didaftarkan di kepaniteraan perdata Pengadilan Negeri yang berkompeten; 8. Saat mendaftarkan gugatan diharuskan membayar biaya perkara; dan 9. Setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan, maka harus segera mengurus akta cerai di kantor catatan sipil tempat perkawinan dicatat.

Lamanya proses perceraian tidak bisa diprediksi secara pasti, karena sejak panggilan untuk sidang pertama yang selambat-lambatnya dilakukan 30 (tiga puluh) hari setelah pendaftaran gugatan, kemudian dilanjutkan dengan acara dalam persidangan yang memuat pembacaan gugatan, jawaban tergugat, Replik (jawaban balasan penggugat atas jawaban tergugat), Duplik (jawaban tergugat atas replik penggugat), pembuktian (bukti tertulis ataupun bukti saksi), kesimpulan (terbukti atau tidaknya gugatan) dan yang terakhir adalah putusan atau hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan. Besarnya biaya dalam persidangan juga memiliki jawaban yang relatif, namun dalam hal pihak penggugat tidak mampu membayar biaya perkara maka dapat bisa mengajukan permohonan prodeo atau berperkara tanpa biaya kepada ketua Pengadilan Negeri, dengan catatan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa pihak tersebut tidak mampu membayar berdasarkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan atau kecamatan. Dalam hal terjadinya perceraian, maka harta yang pernah didapat selama perkawinan akan menjadi harta bersama, Persoalan pembagian harta ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai. Dalam hal demikian maka daftar harta bersama dan bukti-bukti jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita), yang kemudian disebutkan dalam permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Akan tetapi jika dalam gugatan cerai tidak menyebutkan tentang pembagian harta bersama, suami atau istri harus mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah putusan perceraian dikeluarkan pengadilan. Gugatan terhadap pembagian harta bersama ini diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tergugat tinggal dan Pengadilan Negeri yang akan mensahkan tentang pembagian harta bersama tersebut. (dalam KUH Perdata ketentuan mengenai harta bersama perkawinan diatur pada Pasal 119 sampai 122 dan Pasal 128). Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, dan perkawinan tersebut dicatatkan pada lembaga yang berkompeten, yakni catatan sipil bagi non muslim. Berdasarkan Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 ada 6 (enam) agama yang dianut di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu, maka sepanjang perkawinan tersebut dilakukan antara calon suami dan calon isteri yang menganut agama atau kepercayaan yang sama serta dicatatkan pada kantor catatan sipil (bagi non muslim), maka perkawinan tersebut sah dimata hukum dan diakui oleh negara, namun bilamana antara calon suami dan isteri menganut agama yang berbeda dan salah satu tidak mau menundukan diri kepada agama pasangannya, maka dapat dilakukan perkawinan di luar negeri yang kemudian dicatatkan di Indonesia. Terkait pengasuhan anak, apabila terjadi perceraian maka pengasuhan dan pemeliharaan anak dapat disepakati oleh orangtua, namun jika terjadi perselisihan ketika masingmasing pihak menuntut pengasuhan dan pemeliharaan, maka permohonan dapat diajukan bersamaan dengan gugatan cerai atau diajukan terpisah setelah ada putusan perceraian ke Pengadilan Negeri tempat Tergugat tinggal. Penggugat disini adalah pihak yang mengajukan permohonan hak pengasuhan dan pemeliharaan kepada Pengadilan Negeri, sedangkan Tergugat adalah pihak yang dituntut untuk memenuhi permohonan dari pemohon.

B.

TATACARA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI MAUPUN DI

PENGADILAN AGAMA

Adapun tata cara perceraian sebagaimana diatur dan ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan : Pasal 14 Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasanalasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 15 Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

Pasal 16 Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila memang terdapat alasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 17 Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat Keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

Pasal 18 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan. Pasal 19 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa

izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 20 (1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. (2) Dalam hal kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. (3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 21 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampaui 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. (3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama. Pasal 22 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman tergugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu. Pasal 23 Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk rnendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakaan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 24 (1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Pengadilan dapat

mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. (2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat atau tergugat, Pengadilan dapat: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Pasal 25 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 26 (1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. (2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama. (3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu. (4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambatlambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. (5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan. Pasal 27 (1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. (2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. (3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud dalam ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. (4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tercatat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 28 Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 29 (1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. (2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. (3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20 ayat (3) sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan. Pasal 30 Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Pasal 31 (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang perneriksaan. Pasal 32 Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Pasal 33 Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 34 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

PAPARAN DAN ANALISIS DATA

A. Paparan Data 1.

2. "Kalau dalam masalah ini sebenarnya asasnya adalah apabila dia sendiri yang mengaku berselingkuh, maka sebenarnya yang menggugat perceraian itu adalah suami. Dalam masalah ini kan sudah terjadi suatu pertengkaran, karena dia tidak bisa mendahului apapun yang terjadi istri berfikir kalau begitu lebih baik selingkuh sekalian. Tadinya tidak ada dasarnya seperti itu, tapi akhirnya itu ditonjolkan dalam gugatannya bahwa dia telah dibohongi

suaminya. Cuma didalamnya nanti dasar hukum untuk memutuskan itu adalah pertengkaran dan perselisihan tidak selingkuhnya. Sehingga majelis hakim memberi suatu pertimbangan kita merujuk kepada yurisprudensi mahkamah agung dan sebagainya yang nomer dan tanggalnya berbeda-beda, nanti kita hanya merujuk kesitu untuk menyesuaikan dengan kasus itu. Sedangkan dalam huruf (f saja seperti itu, Karena tidak percaya terus akhirnya dibuat seperti itu. Makanya kalau alasannya hanya pertengkaran maka tidak bisa. Kalau itu yang mengajukan istri juga tidak bisa ya harus suami. Maka kami sebagai majelis hakim harus menarik dalam beberapa cabang agar sesuai dengan dasar hukum dalam masalah ini. "

Huruf (f) yang dimaksud Ibu Masnah adalah pasal 19 huruf (f) PP No. 9

Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI, yang bunyinya sebagai berikut:

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Adapun dasar hukum yang lain selain dari kedua pasal tersebut, Ibu Masnah tidak menyebutkan secara terperinci.

b. Drs. Munasik, M.H. Bapak Munasik adalah salah satu Hakim Anggota dalam menangani perkara cerai gugat karena istri selingkuh. Selain itu Bapak Munasik juga bertindak sebagai hakim Mediator dalam proses mediasi atau perdamaian antara kedua belah pihak. Menanggapi pertanyaan peneliti mengenai dasar hukum yang digunakan hakim dalam putusan gugat cerai karena istri selingkuh, Bapak Munasik memaparkan sebagai berikut:

"Dalam undang-undang perkawinan tidak ada pasal yang menyebutkan perselingkuhan sebagai salah satu alasan perceraian, jadi perselingkuhan tidak bisa dijadikan alasan cerai. Lalu perselingkuhan seperti apa yang bisa dijadikan alasan perceraian? Adalah perselingkuhan yang menyebabkan suami istri melalaikannya hak dan kewajibannya, rumah tangga berjalan tidak seperti pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974, maka hal ini bisa dianalogikan ke pasal 19 huruf (f) PP no. 9 Tahun 1975. " Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 sebagai dasar hukum diputuskan cerai gugat karena selingkuh, bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 33 Suami istri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. 44 "Dalam undang-undang tidak ada pasal yang mengatur alasan perceraian tentang selingkuh. Yang terakhir adalah terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Alasan yang terakhir ini kan macam-macam. Pertengkarannya adalah fakta, tapi faktor penyebabnya banyak. Sekarang

44

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, BAB VI, Pasal 33.

dalam kasus ini perselingkuhan ini adalah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Karena adanya perselingkuhan menimbulkan pertengkaran antara suami dan istri, sehingga perselingkuhan dalam pasal itu merupakan bagian dari pada faktor penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Selain dari pada pasal yang menyebutkan tentang alasan perceraian ini, dasar hukum lain yang pasti dipakai itu bahwa keadaan rumah tangga sudah tidak seperti yang dimaksud dalam pasal 1 dan pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974.

Selain itu juga dasar hukum berupa pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang bunyinya sebagai berikut: Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Cerai Gugat Karena Selingkuh Adapun pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara cerai gugat karena istri selingkuh yang telah peneliti dapatkan melalui hasil wawancara dengan hakim yang sama, dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Dra. Hj. Masnah Ali Dalam menanggapi pertanyaan peneliti tentang pertimbangan hakim dalam putusan gugat cerai karena istri selingkuh, Ibu Masnah memberikan keterangan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah disampaikan tentang dasar hukum dalam putusan gugat cerai karena istri selingkuh, sebagai berikut: "Kalau dalam masalah ini sebenarnya asasnya adalah apabila dia sendiri yang mengaku berselingkuh, maka sebenarnya yang menggugat perceraian itu adalah suami. Dalam masalah ini kan sudah terjadi suatu pertengkaran, karena dia tidak bisa mendahului apapun yang terjadi istri berfikir kalau begitu lebih baik selingkuh sekalian. Tadinya tidak ada dasarnya seperti itu, tapi akhirnya itu ditonjolkan dalam gugatannya bahwa dia telah dibohongi suaminya. Cuma didalamnya nanti dasar hukum untuk memutuskan itu adalah

46

Masnah Ali, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 24 Juni 2010).

pertengkaran dan perselisihan tidak selingkuhnya. Sehingga majelis hakim memberi suatu pertimbangan kita merujuk kepada yurisprudensi mahkamah agung dan sebagainya yang nomer dan tanggalnya berbeda-beda, nanti kita hanya merujuk kesitu untuk menyesuaikan dengan kasus itu. Sedangkan dalam huruf (f) saja seperti itu, Karena tidak percaya terus akhirnya dibuat seperti itu. Makanya kalau alasannya hanya pertengkaran maka tidak bisa. Kalau itu yang mengajukan istri juga tidak bisa ya harus suami. Maka kami sebagai majelis hakim harus menarik dalam beberapa cabang agar sesuai dengan dasar hukum dalam masalah ini. "1U

Pada intinya, Ibu Masnah selaku Hakim Ketua memiliki pertimbangan untuk memutus perkara gugat cerai karena istri selingkuh ini kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung

47

Masnah Ali, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 24 Juni 2010).

b. Drs. Munasik, M.H. Tidak berbeda dengan pertimbangan yang telah disampaikan Ibu Masnah, Bapak Munasik memberikan pertimbangan yang sama dengan memberikan informasi tentang tanggal dan isi dari Yurisprudensi tersebut. Hasil wawancara adalah sebagai berikut: "Hakim PA itu hakim hukum perdata, perdata yang dicari adalah kebenaran formal. Nah kalau ditanyapertimbangan hakimnya apa? Kenapa kok istri selingkuh bisa mengajukan gugat cerai di pengadilan? Itu berdasarkan Yurisprudensi No. 38 tahun 1990 MA 38/K/AB/1990 tanggal 5 Desember 1991. Isinya begini "bahwa dalam perkara perceraian itu tidak mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang benar, serta apa penyebabnya". Jika dulu masih diteliti siapa yang salah dan siapa yang benar dan apa penyebab perceraian. Namun sekarang asas ini sudah tidak dipakai lagi karena sudah ada yurisprudensi yang baru. Yang jadi masalah sekarang sejauh mana perselisihan itu terjadi dalam rumah tangga dan
113

tidak ada harapan lagi untuk kembali. "

c. Drs. Sarmin Syukur, M.H. Bapak Sarmin juga memberikan pertimbangan yang sama dalam perkara ini. Beliau juga memberi perbandingan dengan Yurisprudensi yang berlaku sebelumnya. Hasil wawancaranya adalah sebagai berikut: "Hakim itu juga punya pendapat bahwa orang yang berbuat salah tidak bisa mengajukan gugutan karena dia sebagai pembuat masalah, oleh karena itu putusan-putusan yang diajukan oleh salah satu pihak suami atau istri dimana penyebab terjadinya masalah dalam rumah tangga itu suami atau istri sendiri itu ditolak oleh pengadilan, dengan asumsi tersebut. Ini berdasarkan Yurisprudensi dulu kala. Tetapi ada yurisprudensi baru yang membatalkan, putusan-putusan yang berdasarkan pemikiran semacam itu. Isi dari yurisprudensi itu bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh melihat siapa yang membuat masalah. Tapi yang dilihat adalah dimana fakta rumah tangganya sekarang, jika

48

Munasik, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 25 Maret 2010).

sudah sedemikian parah tidak harmonisnya, maka hakim harus memutuskan cerai, tanpa melihat siapa yang membuat salah dan siapa yang mengajukan cerai. Sebab kalau logica hukum yang pertama tadi dipertahankan, nanti kasihan rumah tangga

49

Munasik, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 25 Maret 2010).

mereka akan mendatangkan madharat yang luar biasa lebih besar dari maslahat nya. Itu pertimbangan pokok yang diambil hakim dari yurisprudensi." 114

B. Analisis Data 1. Dasar Hukum Yang Digunakan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Gugat Karena Istri Selingkuh Dalam Cerai gugat yang menjadi penggugat adalah dari pihak istri. Jika seorang istri menggugat cerai suaminya, maka idealnya yang menjadi penyebab keretakan rumah tangga berasal dari suami, sehingga istri merasa hak-hak dan kewajibannya sebagai suami terhadap istri telah dilanggar. Dengan berbagai alasan perceraian yang diperbolehkan seperti yang telah diatur dalam fikih maupun undangundang perkawinan, seorang istri boleh mengajukan gugat cerai terhadap suaminya. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam keterangan para saksi, dalam perkara ini ternyata Penggugat terbukti telah selingkuh dengan laki-laki lain. Alasan ini menjadi salah satu faktor terjadinya perselisihan antara Penggugat dan Tergugat, padahal inisiatif untuk bercerai justru datang dari pihak istri. Sedangkan dalam undang-undang, tidak ada satupun Pasal yang menyebutkan tentang alasan gugat cerai karena istri selingkuh. Perkara yang dasar-dasarnya tidak terdapat dalam kitab-kitab fikih atau perundang-undangan Indonesia tidak boleh menjadi suatu alasan bagi Hakim untuk tidak mau memutuskan perkara yang telah diajukan di Pengadilan. Hakim harus tetap mencari hukumnya baik dengan menganalogikan dengan undang-undang yang ada

50

Sarmin Syukur, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 24 Juni 2010).

atau mengeluarkan ijtihad sendiri sepanjang dipandang adil dan mengandung kemashlahatan. Tidak mustahil jika perkara gugat cerai karena istri ini bisa diputuskan oleh Majelis Hakim. Hal ini dilatarbelakangi oleh dasar-dasar hukum yang ada serta pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim dalam menganalisa perkara gugat cerai karena istri selingkuh. Mengingat bahwa pada awal proses persidangan sampai akhir persidangan, Penggugat tidak dapat dirukunkan lagi dengan Tergugat, dan Penggugat bersikeras untuk bercerai dari Tergugat. Tergugat pun menyatakan tidak keberatan atas permintaan Penggugat untuk bercerai dengan Tergugat, maka sudah menunjukkan bahwa keutuhan rumah tangga benar-benar tidak dapat dipertahankan lagi. Apabila dipaksakan untuk tetap bersatu akan dikhawatirkan menimbulkan madharat bagi Penggugat dan Tergugat. Oleh karena itu penyelesaian yang dipandang adil dan mengandung maslahat bagi Penggugat dan Tergugat adalah perceraian. Seperti yang telah dijabarkan dalam paparan data mengenai dasar hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan cerai gugat karena istri selingkuh, maka secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak bisa dirukunkan lagi, sehingga maksud dan tujuan perkawinan sebagaimana yang dikendaki oleh Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 dan pasal 77 KHI sudah sangat sulit diwujudkan dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat. 2. Karena antara Penggugat dan Tergugat terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang berakibat Penggugat dan Tergugat pisah tempat tinggal dan

sudah tidak ada harapan untuk rukun lagi, maka hal ini telah memenuhi pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI. 3. Demi menghindari madharat apabila rumah tangga ini tetap dipertahankan, maka penyelesaian yang dipandang adil dan mashlahat bagi keduanya adalah peceraian, hal ini sesuai dengan pendapat Abdurrahman Ash-Shabuni dalam kitab Mada Hurriyyatuzzaujain fi ath-thalaq. 4. Selain itu juga merujuk pada pendapat Syekh al-Majidi dalam kitab Ghayatul Maram tentang talak. 5. Kaidah fiqih tentang sad ad-dzari'ah yang berbunyi sebagai berikut:

U^aAl! j,/'^ ^-ic ^Aia AuiLaAl! f-!jA

"Menolak kerusakan diutamakan daripada mengambil kemashlahatan."

Untuk landasan hukum yang pertama mengenai Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 dan pasal 77 KHI yang menyebutkan tentang maksud dan tujuan perkawinan, menjadi landasan bagi setiap putusan perceraian, baik permohonan cerai talak maupun cerai gugat. Dalam pasal-pasal tersebut membicarakan tentang maksud, tujuan serta hak dan kewajiban suami istri yang harus dipenuhi dalam membangun sebuah rumah tangga. Dalam pasal-pasal ini secara tegas menekankan bahwa pintu terjadinya perkawinan telah tertutup karena pada dasarnya perundang-undangan Indonesia yang mengatur tentang perkawinan menganut asas mempersulit perceraian. Kendati demikian, selama dalam kondisi rumah tangga kemudian didukung oleh alasan-alasan yang dibenarkan syariat, maka peluang untuk bercerai tetap terbuka. Adapun mengenai kasus cerai gugat ini, apabila dilihat melalui sudut pandang undang-undang terutama pada Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3

dan pasal 77 KHI ini bahwa fakta antara suami istri tersebut sudah tidak bisa dirukunkan lagi dalam satu ikatan perkawinan. Meski pada dasarnya yang berbuat salah adalah istri, namun berdasarkan pasal-pasal ini tujuan perkawinan sudah tidak dapat dicapai dan hak serta kewajiban suami istri tidak bisa dipenuhi, maka perceraian dianggap solusi yang paling adil. Selanjutnya mengenai dasar hukum yang merujuk pada pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI yang membicarakan tentang alasan perceraian yaitu antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga, hal ini masih bersifat umum. Bunyi huruf (f) dalam kedua pasal tersebut merupakan implikasi dari gejolak rumah tangga yang dilatarbelakangi oleh berbagai macam faktor sehingga menimbulkan perselisihan diantara suami dan istri. Dalam hal ini yang menjadi faktor perselisihan adalah selingkuhnya istri yang memiliki PIL diluar pernikahan. Oleh karena alasan selingkuh secara khusus tidak diatur dalam pasal yang mengklasifikasikan alasan-alasan perceraian, maka selingkuh dianggap masuk dalam salah satu faktor yang menjadikan pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI terpenuhi. Maka dari itu dalam membahasakan alasan perselingkuhan, hakim menggunakan kedua pasal ini sebagai alasan perceraian yang dijadikan landasan dalam memutus perkara cerai gugat karena istri selingkuh. Mengenai dasar hukum yang ketiga dan keempat terkait dengan pendapat para ahli fiqih, hal ini sangat terkait dengan dalil saddu al-dzari 'ah. Bahwa segala sesuatu itu memiliki akibat, yaitu akibat yang baik dan yang buruk. Dalam suatu hal yang mengarahkan pada kebaikan, maka dituntut untuk dikerjakan. Begitu juga dalam

suatu hal yang mengarahkan pada keburukan, maka dituntut untuk menghindari. Apabila kebaikan dan keburukan itu bercampur, maka akibat yang paling berpengaruh harus diprioritaskan. Dalam kasus cerai gugat karena selingkuh ini, mempertahankan rumah tangga dianggap sama halnya dengan hukuman seumur hidup karena sudah tidak tercapai lagi perdamaian antara suami dan istri. Oleh karena itu perceraian merupakan solusi yang yang tidak bisa ditawar demi menghindari madharat yang lebih besar.

2. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Cerai Gugat Karena Istri Selingkuh Seorang hakim akan mendapatkan informasi tentang duduk perkara yang jelas ketika melaksanakan proses mediasi. Mediasi yang dimaksud adalah mediasi sebagaimana yang diatur dalam PERMA No. 01 tahun 2008 yaitu mediasi tertutup yang dilaksanakan diluar persidangan dengan perantara seorang mediator. Dalam mediasi Penggugat dan Tergugat juga dituntut untuk menjelaskan secara terbuka tentang masalah dalam rumah tangga mereka, agar mediator bisa menengahi dan memberikan alternatif solusi yang terbaik selain perceraian. Apabila mediasi tidak berhasil mendamaikan Penggugat dan Tergugat, maka hasil mediasi tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang mana dalam hal ini adalah perkara gugat cerai karena istri selingkuh. Dalam mediasi ini pula, Bapak Munasik selaku hakim mediator mendapatkan beberapa informasi mengenai duduk perkara yang sebenarnya antara Penggugat dan Tergugat, bahwa ternyata Penggugat telah memiliki PIL .

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa hakim di atas dapat dijelaskan bahwa dahulu sistem yang berlaku di Pengadilan Agama terkait dengan penanganan kasus permohonan atau gugatan perceraian, masih menekankan prinsip bahwa orang yang berbuat salah tidak boleh mengajukan gugatan. Oleh karena itu permohonan atau gugatan yang diajukan oleh salah satu pihak suami atau istri dimana penyebab terjadinya masalah dalam rumah tangga itu suami atau itu istri sendiri, maka ditolak oleh pengadilan. Contoh dari penelitian ini, dimana seorang istri mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan, padahal penyebab diajukannya gugatan perceraian ini adalah karena perselingkuhan yang dilakukan oleh Penggugat itu sendiri, maka dengan menerapkan prinsip tersebut, gugatan cerai ini akan ditolak di Pengadilan. Namun kemudian, prinsip tersebut saat ini telah dibatalkan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang baru yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 38 tahun 1990 MA 38/K/AB/1990 tanggal 5 Desember 1991 yang isinya telah disampaikan dalam paparan data di atas.. Yurisprudensi inilah yang menjadi pertimbangan utama hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena istri selingkuh. Yurisprudensi Mahkamah Agung ini sekilas terkesan mengabaikan prinsip yang dianut dalam undang-undang perkawinan yaitu prinsip mempersulit perceraian. Hal ini dikarenakan prinsip yang dipakai dalam Yurisprudensi ini sudah tidak lagi mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang benar, serta apa penyebabnya. Dengan Yurisprudensi ini hakim diwajibkan untuk melihat fakta yang sebenarnya. Sejauh mana perselisihan itu terjadi sehingga keduanya tidak dapat disatukan kembali dalam ikatan perkawinan. Sehingga dalam penelitian ini, walaupun dalam

kasus cerai gugat ternyata Penggugat sendirilah yang berperan sebagai penyebab retaknya rumah tangga, maka gugatan cerai tetap dapat dikabulkan. Sedangkan prinsip mempersulit perceraian tetep dijalankan dalam menangani kasus gugatan perceraian. Hal ini dapat dilihat dalam proses jalannya persidangan, bahwa sebelum melaksanakan persidangan hakim wajib mendamaikan para pihak. Terlebih saat ini telah berlaku PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang mediasi yang mewajibkan hakim, mediator dan para pihak yang berperkara untuk mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Dengan adanya Yurisprudensi ini, setiap pasangan yang mengajukan permohonan atau gugatan cerai akan dijatuhkan putusan perceraiannya asalkan pasangan tersebut bisa menunjukkan kepada Pengadilan bahwa kehidupan rumah tangga mereka sudah tidak dapat disatukan kembali. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi mengapa Penggugat selingkuh, faktor-faktor ini yang kemudian membawa pada pertengkaran dan perselisihan antara Penggugat dan Tergugat, sehingga bisa menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena istri selingkuh. Perselingkuhan yang termasuk dalam jenis The boat-rocking affair ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut: a. Tidak Kufu Kafaah atau kufu dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan pasangan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi atau sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Ukuran kafaah yang

disebutkan dalam hadis mencakup agama, nasab, harta dan kecantikan merupakan ukuran standar dalam memilih calon pasangan. Namun bukan berarti hal-hal diluar ukuran empat itu tidak penting untuk dipertimbangkan, seperti usia. Dalam kasus gugat cerai karena istri selingkuh ini, perbedaan usia yang cukup jauh menjadikan ketimpangan atau tidak sekufunya antara Penggugat dan Tergugat. Penggugat berumur 33 tahun dan Tergugat berumur 54 tahun. Jadi selisih umur mereka adalah 21 tahun. Hal ini juga sangat terlihat secara fisik, bahwa Penggugat terlihat masih muda sedangkan Tergugat terlihat sangat tua, bahkan berjalannya sudah bungkuk. Perbedaan usia berpengaruh pada psikis dan fisik seseorang, maka hal ini sangat mungkin menjadi salah satu penyebab keretakan rumah tangga Penggugat dan Tergugat. b. Menikah karena Terpaksa

Bapak Munasik sebagai mediator dalam mediasi antara Penggugat dan Tergugat juga memberikan keterangan tentang bagaimana awal mulanya Penggugat kenal dan akhirnya menikah. Bahwa Penggugat berprofesi sebagai penyanyi di Malang dan Tergugat sebagai salah satu penggemar Penggugat. Karena Tergugat sangat menggemari Penggugat, Tergugatpun sering mengikuti kemana Penggugat sedang ada acara untuk bernyanyi. Berawal dari situ, Tergugat memberanikan diri untuk mengantar pulang Penggugat setelah selesai acara. Hal ini berlangsung terus menerus sehingga keduanya akrab. Sampai pada akhirnya Tergugat melamar Penggugat untuk dinikahi. Penggugat pun menerima lamaran Tergugat karena tidak sampai hati menolak mengingat selama ini Tergugat telah banyak membantu dalam karirnya. c. Ketidakjujuran

Status Penggugat sebelum menikah dengan Tergugat adalah janda beranak dua, sedangkan Tergugat adalah Duda beranak tiga. Sebagaimana yang telah dideskripsikan tentang surat gugatan Penggugat terhadap Tergugat, bahwa yang menjadi faktor perselisihan yang terjadi antara keduanya adalah karena Tergugat telah membohongi Penggugat dengan mengatakan Tergugat memiliki dua anak, padahal sebenarnya Tergugat memiliki tiga anak. Namun dalam kesempatan wawancara Bapak Munasik memberikan penilaiannya tentang faktor ketidakjujuran bahwa masalah tidak jujur itu sebenarnya hanya alasan yang dibuat-buat dan dibesar-besarkan oleh Tergugat agar bisa cerai dari suaminya. Kalau hanya masalah jumlah anak saja tidak terlalu berarti, Penggugat juga sudah tahu bahwa sebelum menikah Tergugat telah mempunyai anak, maka selanjutnya tidak penting anaknya berapa, lagipula antara keterangan awal dan akhir hanya selisih satu anak saja.

Dalam kesempatan mediasi yang sempat peneliti ikuti, ketika bapak Munasik mendapat pengakuan dari Penggugat bahwa Penggugat telah selingkuh, kemudian Bapak Munasik memberikan kesimpulan bahwa Penggugat telah nusyuz terhadap suaminya. Dalam hal ini Penggugat sebagai orang yang memiliki inisiatif perceraian ternyata mengakui bahwa dirinya sendiri telah ikut bagian dalam menjadi sumber keretakan rumah tangga, maka dalam putusan yang dikabulkan oleh hakim tidak menyebutkan bahwa perselingkuhan sebagai faktor utama perceraian karena dalam undang-undang tidak disebutkan pasal tentang gugat cerai dengan alasan istri selingkuh.

Kemudian bagaimana hakim membahasakan perselingkuhan istri sebagai salah satu faktor keretakan rumah tangga dalam kasus gugat cerai. Bapak munasik menjelaskan bahwa segala faktor penyebab keretakan rumah tangga akan berujung pada perselisihan terus menerus dan sudah tidak ada harapan untuk dapat disatukan lagi dalam ikatan perkawinan. Tidak mungkin setiap pasangan akan berselisih atau bertengkar tanpa alasan. Untuk itu dalam perselisihan yang terjadi pasti ada masalah yang sedang dihadapi oleh pasangan suami istri. Namun tidak semua faktor penyebab perceraian dijadikan sebagai konflik dalam rumah tangga. Misalnya perselingkuhan yang dilakukan oleh suami kemudian istri diam saja karena merasa hak dan kewajibannya masih dipenuhi atau karena jika mengajukan cerai si istri takut akan masa depan anak-anaknya jika harus bercerai dari suaminya. Untuk itu dalam kasus gugat cerai karena istri selingkuh ini, hakim tidak menjadikan perselingkuhan sang istri sebagai alasan utama dikabulkannya tuntutan Penggugat. Akibat dari beberapa faktor yang melatarbelakangi keretakan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat terutama selingkuh akan berujung pada Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam tentang alasan perceraian.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Setelah melalui beberapa tahap pengolahan serta analisis data penelitian, maka dalam langkah terakhir ini peneliti menarik kesimpulan dari kumpulan data yang sudah melalui tahapan-tahapan sebelumnya dengan cermat terutama dalam menjawab permasalahan yang tertuang dalam rumusan masalah. Kesimpulan tersebut adalah: 1. Bahwa dasar hukum yang digunakan Hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena istri selingkuh adalah sebagai berikut: a. b. c. Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 dan pasal 77 KHI. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI. Kaedah fiqhiyyah tentang saddu al-dzari 'ah:

L^a-oJI j./'?'

^A2-a .luila-oil f l j A

"Menolak kerusakan diutamakan daripada mengambil kemashlahatan. " d. Pendapat Abdurrahman Ash-Shabuni dalam kitab Mada Hurriyyatuzzaujain fi ath-thalaq, yang artinya sebagai berikut: "Islam telah memilih jalan perceraian pada saat kehidupan rumah tangga mengalami ketegangan dan kegoncangan yang berat, sudah tidak berguna lagi nasehat-nasehat dan tidak tercapai lagi perdamaian antara suami-istri serta ikatan perkawinan sudah mencerminkan tidak mungkin akan dapat mencapai tujuannya, sebab mengharuskan untuk tetap melestarikan dan mempertahankan perkawinan tersebut sama halnya dengan menghukum salah satu pihak dengan hukuman seumur hidup dan ini adalah kedzaliman yang ditentang oleh jiwa keadilan." e. Selain itu juga merujuk pada pendapat Syekh al-Majidi dalam kitab GhayatulMaram tentang talak sebagai berikut:

^IJAJI AJ Li) ASHa ^gjJa LSI I AJIC. (jUa L^?JJJ

AJC-J ^Ac. Aluil Iijj

"Dan apabila kebencian istri terhadap suaminya telah memuncak, maka saat itu Hakim diperkenankan menjatuhkan talak satu suami terhadap istri tersebut" 2. Pertimbangan yang digunakan hakim dalam memutus perkara gugat cerai karena istri selingkuh adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 38 tahun 1990 MA 38/K/AB/1990 tanggal 5 Desember 1991 yang bunyinya adalah sebagai berikut: "bahwa dalam perkara perceraian itu tidak mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang benar, serta apa penyebabnya"

B. Saran Adapun saran-saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas adalah sebagai berikut: 1. Dalam mengajukan permohonan atau gugatan perceraian, hendaknya masing-masing pihak terlebih dahulu instropeksi diri untuk tidak tergesa-gesa memutuskan perceraian. Apalagi pihak yang menggugat adalah pihak yang

sebenarnya menjadi penyebab retaknya rumah tangga. Hal ini perlu diperhatikan, karena walaupun secara hukum positif perceraian dapat dikabulkan, namun secara syari'ah orang yang mengajukan perceraian tanpa alasan yang sah, maka haram baginya bau surga. 2. Untuk hakim mediator yang bertugas mendamaikan para pihak, hendaknya selalu teliti dan cermat dalam mempelajari perkara perceraian yang masuk di Pengadilan. Karena jika hakim mediator jeli dalam menangkap permasalahan yang ada, maka hakim mediator akan dengan mudah menggali fakta yang sebenarnya dalam rumah tangga para pihak.

DAFTAR PUSTAKA Abbas, Syahrizal. 2009. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari'ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana. Abdul Mun'im, Amru. 2005. Fiqh Ath-Thalaq min AlKitab wa Shahih As-Sunnah, penerjemah Futuhatul Arifin dalam Judul Fikih Thalak Berdasarkan Al-Qur 'an dan Sunnah. Jakarta: Pustaka Azzam. Akmal Tarigan, Azhari, Nurudin, Amiur. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Amiruddin dan Asikin, Zainal. , 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Arto, Mukti. 2004. Prakterk Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ashshofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Basri, Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Daryanto S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo. Departemen Agama RI. 2003. Al-Qur'an dan Terjemahan. Bandung: Diponegoro. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1998. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. Farid Muhammad Washil, Nashr dan Azzam, Abdul Aziz Muhammd. 2009. alMadkhalu fi al-qawa 'idi alfiqhiyyati wa atsaruha fi al-ahkami asy-syar 'iyyati. penerjemah Wahyu Setiawan dalam judul Qawa'idFiqhiyah. Jakarta: Amzah. Febianto, Totok Hari. 2008. Tinjauan Yuridis Sosiologis Terhadap Penganiayaan sebagai Alasan Gugat Cerai dan Prosedur Pembuktian. Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang. Ghazali, Abdul Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.

_____________ . 1998. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama R.I. _____________ . 2008. Kamus Hukum. Bandung: Mandar Maju. Hamami, Taufiq. 2003. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni. Harahap, M. Yahya. 2006. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Hasby Ash-Shiddieqy, Muhammad. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Idhami, Dahlan. 1984. Azaz-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. Jauhari, Heri. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia. _____________ . 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Kamal, Malik. 2007. Fiqih Sunnah Wanita. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Mahmud Marzuki, Peter. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Manan, Abdul dan Fauzan. 2002. Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Marzuki. 1995. Metodologi Riset. Jakarta: BPFE-UII. Masrurotin, Malik. 2008. Persepsi Hakim Tentang Keterlibatan Pihak Ketiga Terhadap Terjadinya Perceraian. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Fakultas Syari'ah, Jurusan Al-Ahwal Asy-Shakhshiyyah. Mertokusumo, Sudikno. 1999. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Moleong, Lexi J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Muchtar, Kamal. 1974. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. Muhammad Bin Isa Saurah, Abi Isa. 1994. Sunan At-Tirmidzi, Juz II. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr.

Nadzir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bandung: Remaja Rosdakarya. Narbuko, Cholid, Abu Achmadi. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara Nashiruddin Al-Bani, Muhammad. 2002. Dha'if Sunan Abi Dawud, Juz III. Kuwait: Gharras. Nurudin, Amiur, Akmal Taligan, Azhari. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Rahman, Abdul. 1996. Perkawinan dalam Syari 'at Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Redaksi Sinar Grafika. 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar Grafikan. Salim, Peter dan Salim, Yenny. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press. Siregar, Bismar. 1995. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Jakarta: Gema Insani Press. Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty. Strauss, Anselm, Corbin, Juliet. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Subagyo, Joko. 1999. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Subekti, R. Tjitrosoedibio. 1980. Kamus Hukum. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Subekti. 1985. Pokok-pokokHukum Perdata. Jakarta: Intermasa. Sukandarrumidi. 2006. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Zuhriah, Erfaniah. 2008. Peradilan Agama di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut. Malang: UIN Press.

RUJUKAN DARI INTERNET

http://www.harianku.com/2008/11/faktor-perceraian-dalam-rumah-tangga.html http://budiboga.blogspot.com/2006/04/teman-tapi-mesra-sebuah-awal.html http://fadliyanur.blogspot.com/2008/01/kode-etik-hakim.html. http://www.komisiinformasi.go.id/assets/data/arsip/UU_48_Tahun_2009.pdf http://pamalangkota.go.id/news/pengadilan/faktor-faktor-penyebab-perceraian-tahun-2009.html.

You might also like