You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property rights) itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja ratio. Hasil dari pekerjaan ratio manusia yang menalar. Hasil kerja itu berupa benda immateril, benda tidak berwujud. Misalnya karya cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak. Menurut ahli biologi otak kananlah yang berperan untuk menghayati kesenian, berkhayal, menghayati kerohanian termasuk juga kemampuan melakukan sosialisasi dan mengendalikan emosi. Fungsi tersebut sebagai fungsi non verbal, metaforik, intuitif, imaginatif dan emosional. Spesialisasinya bersifat intuitif, holistic dan mampu memproses informasi secara simultan. Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai seorang terpelajar, mampu menggunakan ratio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.1 Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga dirumuskan sebagai hak atas kekayaan intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis, dan analitis yang merupakan pekerjaan belahan otak kiri. Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, ratio, intellectual) secara maksimal. Karena itu tidak semua orang pula dapat menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak
1

OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 10.

yang membuahkan hak atas kekayaan intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia dimulai dari kerja otak itu. Jika ditelusuri lebih jauh Hak Atas Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hukum perdata diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah satu diantara kategori itu adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Hal ini dapat dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.2 Untuk pasal ini, Prof Mahadi menawarkan, seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat ini sebagai berikut: yang dapat menjado obyek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak. Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi barang yang dimaksud oleh pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil ( stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immaterial. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu: Ada barang yang bertubuh, dan ada barang yang tak bertubuh.3 Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak gunan bangunan, hak guna usaha hak atas benda berupa jaminan, hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan lain sebagainya. Hak milik immateril termasuk ke dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Karena itu hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi obyek dari suatu hak benda. Hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang obyeknya bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama Hak Atas Kekayaan Intelektual (intellectual property rights).4
2

R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 155. 3 Soedharyo Soimin, SH., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Cet. II, 1999, hal. 156. 4 Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985, hal. 5-6.

Kata hak milik (hak atas kekayaan) atau property yang digunakan dalam istilah tersebut diatas, sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor Mout-Bouwman. Karena kata harta benda / property mengisyaratkan adanya suatu benda nyata. Padahal Hak Atas Kekayaan Intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia bukanlah benda materil. Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik materil maupun immateril. Bukan bentuk penjelmaan yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta dapat berwujud dalam bidang seni, industri dan ilmu pengetahuan atau paduan dari ketiga-tiganya.5 Mungkin karena adanya unsur daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir manusia untuk melahirkan sebuah karya, berpikir manusia tersebut. Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini adalah terpisahnya antara Hak Atas Kekayaan Intelektual itu sendiri dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya (benda berwujud). Sebagai contoh, Hak Cipta dalam ilmu pengetahuan (berupa Hak Atas Kekayaan Intelektual) dan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan (invensi) dalam bidang Paten (bagian Hak Atas Kekayaan Intelektual), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaan adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi dalam kerangka Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hukum benda dalam kategori benda materil (benda berwujud). Pengelompokan Hak Atas Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut: 1. Hak Cipta (Copy Rights)
2. Hak Milik (hak kekayaan) Perindustrian (industrial property rights).6

hingga akhirnya kata

intelektual itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas

Bouwman-Noor Mout, Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan atau Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, Makalah, FH-USU, 10 Januari 1989. Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, Komps, Jakarta, 19 Februari 1986, hal. 1.

Hak Cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu: 1. Hak Cipta dan 2. Hak yang berkaitan (bersepadan) dengan Hak Cipta (neighboring rights). Istilah Neighboring Rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan istilah hak bertetangga dengan Hak Cipta, ada pula yang menerjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan dengan Hak Cipta, seperti yang termaktub dalam Bab V A UU No. 12 Tahun 1997, atau Hak Terkait seperti yang tercantum dalam Bab VII UU No. 19 Tahun 2002. Neighboring Rights, dalam hukum di Indonesia, pengaturannya masih

ditumpangkan dengan pengaturan Hak Cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut Neighboring Rights itu lahir dari adanya Hak Cipta induk. Misalnya liputan pertandingan sepak bola atau pertandingan tinju, Live Show artis penyanyi adalah Hak Cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di televisi yakni berupa hak siaran adalah Neighboring Rights. Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi dapat dipisahkan. Begitu pula antara Hak Cipta lagu dengan hak penyiaran. Yang pertama merupakan Hak Cipta, sedangkan hak yang disebutkan terakhir adalah Neighboring Rights. Itulah alasannya menggunakan istilah yang bersepadan dengan Hak Cipta untuk terjemahan Neighboring Rights. Kedua hak itu saling melekat, menempel tetapi dapat dipisahkan. Adanya Neighboring Rights selalu diikuti dengan adanya Hak Cipta, namun sebaliknya adanya Hak Cipta tidak mengharuskan adanya Neighboring Rights.7 Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi: 1. Patent (Paten) 2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hukun Indonesia dikenal dengan istilah Paten sederhana (simple Patent). 3. Industrial Design (Desain Industri) 4. Trade Mark (Merek Dagang) 5. Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)
6. Indication of Source Appelation of Origin (sumber tanda atau sebutan asal).8
7 8

OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 14 Convention Establishing The World Intelektual Properti Organization (WIPO).

Pengelompokan hak atas kekayaan Convention

seperti tertera diatas didasarkan pada

Establising The World Intellectual Property Organization . Dalam

beberapa literatur, khususnya yang ditulis oleh para pakar dari negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak atas kekayaan perindustrian yang dilindungi disamping yang tersebut diatas ditambah lagi beberapa bidang lain, yaitu: Trade Secrets, Service Mark dan Unfair Competition Protection. Sehingga hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Patent (Paten) 2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun) 3. Industrial Designs (Desain Industrial) 4. Trade Secrets (Rahasia Dagang) 5. Trade Marks (Merek Dagang) 6. Service Marks (Merek Jasa) 7. Appelations of Origin (Sebutan Asal Barang) 8. Trade Names of Commercial Names (Nama Dagang atau Nama Niaga) 9. Indication of Origin (Indikasi Asal Barang)
10. Unfair Competition Protection (Perlindungan Persaingan Curang).9

Berdasarkan kerangka World Trade Organization / Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (WTO/TRIPs) ada dua bidang lagi yang perlu ditambahkan, yakni: 1. Perlindungan Varietas Baru Tanaman, dan 2. Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu).

B.

PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahannya adalah Suatu Tinjauan Terhadap Sistem HAKI Dalam Kerangka Hukum Nasional dan Hukum Internasional.

William T. Frayer, Materi Ceramah pada Intellectual Property of Trachers Program Conducted by The Faculty of Law, University of Indonesia, Jakarta, 15 Juli s.d 2 Agustus 1996.

C.

TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan penulisn ini adalah untuk mengetahui: 1. 2. Sistem HAKI dalam kerangka Hukum Nasional. Sistem HAKI dalam kerangka Hukum Internasional. METODE PENULISAN Metode penulisan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada waktu sekarang, dan pelaksanaannya tidak hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan intepretasi data itu. Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau data ayang diperoleh dari hasil penelitian normative. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif untuk datang pada kesimpulan yang jelas dan tepat.

D.

BAB II SISTEM HAKI DALAM KERANGKA HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL 1. ISTILAH SISTEM

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani Systema. Menurut Shrode dan Voch, sebagaimana dikutip oleh OK. Saidin, mengartikannya suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compounded of several parts).10 Selanjutnya OK. Saidin menjelaskan bahwa menurut Awad, sistem diartikan sebagaihubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur (an organized functioning relationship among units or component ). Dengan demikian dapat dirumuskan istilah systema itu mengandung arti sehimpunan atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu totalitas atau keseluruhan. Rumusan ini sebenarnya hany merupakan salah satu dari berbagai pengertian sistem yang selalu digunakan dalam menjelaskan berbagaibagai hal, seperti sistem hukum, sistem politik, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem sosial-budaya, sistem pertahanan keamanan dan lainlain sebagainya. Dalam tulisan ini hanya dikemukakan beberapa rumusan saja, yaitu sebagai berikut: 1. Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau himpunan bendabenda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk yang saling berhubungan atau saling ketergantungan yang teratur; suatu himpunan bagianbagian yang tergabungkan secara alamiah maupun oleh budidaya manusia sehingga menjadi suatu kesatuan yang bulat dan terpadu; suatu keseluruhan yang terorganisasikan atau sesuatu yang organik; atau juga yang berfungsi, bekerja atau bergerak secara serentak bersama-sama, bahkan sering bergeraknya itu mengikuti suatu kontrol tertentu, sistem tata surya, ekosistem, merupakan contohnya. 2. Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun, terorganisasikan, suatu himpunan, gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan sebagainya yang dibentuk oleh satu kesatuan yang logok dan dikenal sebagai isis buah pikiran filsafat tertentu, agama atau bentuk pemerintahan tertentu. Sistem Teologi Agustinus, sistem pemerintahan demokratis, sistem masyarakat Islam, merupakan contohnya.
10

OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 19.

3. Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian, skema atau metode

pengaturan organisasi atau mode tata cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk atau pola pengaturan pelaksanaan atau pemrosesan dan juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian, dan sebagainya. Misalnya sistem pengelompokan Clasification).11 Dalam buku Prof. DR. Winardi, SE., ada sederetan difinisi sistem dan untuk praktisnya akan diambil 3 (tiga) definisi saja, yaitu: a. Ludwig von Bertalanffy: .. system are bahan pustaka menurut Dewey (Dewey Decimal

complexes of elementh in interaction, to which certain law can be applied . Kalau diterjemahkan secara bebas, maka Sistem adalah himpunan unsur (element) yang saling mempengaruhi, untuk mana hukum tertentu menjadi berlaku b. H. Thierry, een system is een geheel van elkaar wederzijds beinvloedende componenten, die volgens een plan geordendzijn, teneinde een bepaald doel to bereiken . . Terjemahannya adalah: Sebuah sistem adalah keseluruhan bagian ( componenten) yang saling mempengaruhi satu sama lainnya menurut suatu rencana yang ditentukan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu ... c. common William A. Shorde / Dan Voich Jr., A system is a set of interrelated parts, working independently and faintly in pursuit of objectives of the whole within a complex environment, Terjemahannya: Sebuah sistem adalah seperangkat bagian ( part) yang saling berhubungan, bekerja sedikit bebas, dalam mengejar keseluruhan tujuan dengan kesatuan lingkungan.12 Definisi tersebut menekankan hal sebagai berikut: a. b.
11 12

Kelakuan berdasarkan tujuan tertentu. Sistem tersebut berorientasi pada sasaran tertentu. Keseluruhan.

Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 2-3. Bachsan Mustafa, SH., Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 71-72.

Keseluruhan melebihi jumlah daripada semua bagian. c. Keterbukaan. Sistem tersebut saling berhubungan dengan sebuah sistem lebih besar, yakni lingkungannya. d. e. f. Transformasi. Bagian-bagian yang bekerja menciptakan sesuatu yang mempunyai nilai. Antarhubungan. Berbagai macam bagian harus cocok satu sama lain. Mekanisme kontrol. Terdapat adanya kekuatan yang mempersatukan yang mempertahankan sistem yang bersangkutan. Selanutnya Prof. Soerjono Soekanto, dan Soleman B. Taneko, dalam bukunya Hukum Adat Indonesia, telah membawakan sejumlah bahan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan sistem. Menurut mereka, sistem merupakan: 1. a set of interrelated elements; 2. a set of interdependent variables. Ada pandangan yang mengatakan, sistem merupakan: Any set of interrelated elements which are as they work and change together may be regorded as a single antity ... Jadi suatu sistem merupakan suatu keseluruhan terangkai, yang mencakup unsur-unsur, bagian-bagian, konsistensinya, kelengkapan dan konsepsi-konsepsi atau pengertian dasarnya.13 Berdasarkan rumusan dan beberapa kutipan di atas tidak semua rumusan sistem itu dapat diambil untuk memuat rumusan tentang sistem hukum. Rumusan sistem yang lebih tepat untuk merumuskan sistem hukum adalah suatu keseluruhan yang terangkai (tentang hukum yang mencakup aspek substansi, struktur dan kultur) yang terdiri atas komponen-komponen (sub sistem hukum) dimana antara
13

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981, hal. 3.

komponen hukum yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan atau berhubungan dan apabila salah satu komponen terpengaruh akan mempengaruhi keseimbangan sistem hukum secara keseluruhan. Hukum sebagai suatu sistem menurut Friedman, adalah satu keseluruhan yang terdiri dari komponen sebagai berikut: a. b.
c.

Substantif (norma/kaedah, asas hukum) Structure (struktur hukum) Culture (budaya hukum).14

Dalam kajian mutkhir tentang sistem, mulai dikembang satu visi baru yakni sistem tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang statis, seperti satu bangunan yang berdiri dari tumpukan kayu, semen dan lain-lain, tetapi sistem ditelaah sebagai sesuatu yang dinamis, hidup, tumbuh dan berkembang yang dielaborasi dari hakikat organisme hidup. Dengan paradigma ini, agaknya sistem hukum dapatlah dipandang sebagai sesuatu yang dinamis pula, dalam arti hidup, tumbuh dan berkembang, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia yang dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.15 Pembangunan hukum senantiasa menuntut adanya visi dari proses yang secara sadar diarahkan kepada pertumbuhan dan pembangunan hukum itu sendiri, karena itu tidak bisa tugas ini diserahkan kepada penguasa saja, sebab hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial. 2. SISTEM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM KERANGKA HUKUM NASIONAL Sejak Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di seluruh dunia, secara ketatanegaraan terputuslah seluruh tata tertib hukum Indonesia dengan tata tertib hukum Hindia Belanda, namun secara historis hubungan tersebut telah membawa
14 15

Lili Rosyidi dan L.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 93. Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Mahfud MD (ed), Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999, hal.335 dst.

10

dampak yang luas dalam sistem perundang-undangan dan sistem peradilan di Indonesia. Secara substantif materi peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tidak dengan mudah begitu saja digantikan dengan peraturan peraturan perundang-undangan produk Indonesia. Dengan demikian, tata tertib hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945, tidaklah mudah untuk dirumuskan dalam waktu singkat, sebab menyusun materi perundang-undangan memerlukan kecermatan dan dan didasarkan pada hasil penelitian dengan segala macam persyaratan ilmiah akademis. Semua itu memerlukan waktu yang panjang, meskipun pada akhirnya tuntutan kebutuhan hukum masyarakat mengalahkan (waktu) proses pembuatan materi hukum itu sendiri. Artinya materi hukum itu bisa tertinggal pada saat ia diberlakukan. Untuk menyusun tata tertib hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 membuutuhkan waktu karena suasana setelah proklamasi, dinyatakan sebagai masa peralihan. Menyadari hal itu maka para pembentuk UUD 1945, menempatkan beberapa pasal Aturan Peralihan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 adalah pasal yang terpenting, yang menyebutkan bahwa Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini Setelah mengalami waktu yang panjang, secara berangsur-angsur isi KUH Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya dinyatakan dicabut. Sebagai contoh Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku lagi setelah dikeluarkannya UUPA No. 5 Tahun 1960, Buku I KUH Perdata dicabut sepanjang mengenai perkawinan setelah dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) dicabut setelah dikeluarkannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beberapa pengecualian.

11

Denikian juga mengenai peraturan-peraturan lain yang dimuat

di luar KUH

Perdata seperti Auteurswet Stb. No. 600 Tahun 1912, dinyatakan tidak berlaku setelah keluarnya UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Octroiwet yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910 No. 313 dicabut melalui UU No. 6 Tahun 1969 kemudian secara berturut-turut direvisi melalui UU No. 13 Tahun 1997 dan terakhir UU No. 14 Tahun 2001, Reglement Industriele Eigendom yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1912 No. 545 yang digantikan dengan UU Merek No. 21 Tahun 1961, kemudian berturut-turut direvisi melalui UU No. 14 Tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 15 Tahun 2001. Demikianlah usaha-usaha pemerintah Indonesia dalam rangka pembangunan di bidang hukum sebagaimana diisyaratkan oleh GBHN Tap. No. II/MPR/1983, Tap MPR No. II/MPR/1988, dan Tap MPR No.II/MPR/1993, terakhir dengan Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara yang diupayakan untuk menuju penyusunan kodifikasi hukum nasional yang didasarkan kepada landasan sumber tertib hukum yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Pengaturan tentang hak cipta, paten, merek dan hak atas kekayaan intelektual lainnya jika diklasifikasikan termasuk dalam bidang hukum perdta yang merupakan bagian hukum benda. Khusus mengenai hukum benda, terdapat pengaturan tentang hak kebendaan. Hak kebendaan itu sendiri terdiri atas hak benda materil dan immateril. Hak benda immateril juga banyak macamnya, ada hak atas tagihan, hak yang ditimbulkan dari penerbitan surat-surat berharga, termasuk juga dalam lingkup ini adalah hak sewa, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Arti penting perlindungan hak atas kekayaan intelektual ini menjadi lebih dari sekedar keharusan setelah dicapainya kesepakatan GATT ( General Agreement on Tariff and Trade) dan setelah Konferensi Marakesh pada bulan April 1994 disepakati pula kerangka GATT akan diganti dengan sistem perdagangan dunia yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization) yang ratifikasinya dilakukan oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
12

Organisasi Perdagangan Dunia), diundangkan dalam Lembaran Negara RI 1994 No. 57, tanggal 2 November 1994. Dalam struktur lembaga WTO terdapat Dewan Umum (General Council) yang beada di bawah Dirjen WTO. Dewan Umum ini selanjutnya memvawahi tiga dewan, yang salah satu diantaranya adalah Dewan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).16 TRIPs ini dapat dikatakan sebagai issue baru dalam kancah perekonomian internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Mohtar Masoed bahwa dimasukkannya TRIPs dalam kerangka WTO lebih merupakan sebagai mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah alih teknologi, yang memainkan peranan kunci dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.17 Bagi Indonesia dan negara-negara Selatan, sudah barang tentu akan menimbulkan persoalan tersendiri, yang cenderung menempatkan negara-negara ini pada posisi yang sulit untuk tidak dikatakan pada posisi tertindas. Oleh karenanya perhatian khusus serta pemahaman tersendiri terhadap hak atas kekayaan intelektual dalam kerangka WTO ini, menjadi sangat penting artinya. Ternyata persoalan-persoalan di atas tidak pula berhenti sampai di situ saja. Era globalisasi yang ditandai dengan kecenduran negara-negara di dunia membentuk blok-blok ekonomi juga membawa persoalan tersendiri dalam perlindungan hukum hak atas kekayaan intelektual.18 Figur-figur hukum baru yang masih tercakup dalam Intellectual property rights, saat ini bermunculan seperti Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu atau desain tata letak sirkuit terpadu), New Varieties of Plants Protection (Perlindungan Varietas Baru Tanaman) dan aspek-aspek hukum lain yangv berkaitan dengan perikatan yang obyeknya hak atas kekayaan intelektual seperti: hak siaran, hak penyewaan atas hak cipta, dan lain-lain sebagainya. Mengenai perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam bidang hak cipta, iklim budaya Indonesia telah menawarkan sesuatu yang berbeda dengan budaya
16 17

Zaim Saidi, Selamat Datang WTO, Republika, Jakarta, 4 Januari 1995, hal. 6. Mohtar Masoed, Indonesia, APEC dan GATT, Makalah Pada Diskusi Yang Diselenggarakan oleh WALHI di Medan, bulan September 1994, hal. 6. 18 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 6.

13

hukum barat. Para pencipta Indonesia sangat berbesar hati bila ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Misalnya para pemahat dan pematung di Bali, sangat gembira apabila karya ciptaannya ditiru orang lain. Begitu pula bila ada kunjungan para pejabat luar negeri ke pabrik atau ke berbagai pusat industri di Indonesia, biasanya para pejabat Indonesia dengan senang hati memperkenalkan temuan dan hasil temuan kepada publik luar tersebut. Memberikan penjelasan, memperkenankan menggunakan tustel atau kamera vidio, bahkan sampai pada bagian-bagian yang spesifik, di dunia Barat termasuk dalam Trade Secrets atau Undisclosed Informatian. Mereka sudah lama memperkenalkan sistem perlindunan yang demikian sehingga jika berkunjung ke suatu pabrik atau pusat industri mereka akan membatasi aktivitas kita, misalnya menggunakan tustel, camera vidio dan lain-lain. Kiranya sudah saatnya Indonesia kembali mencermati segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka sistem. Dalam sistem sosial yang lebih luas, hukum hanyalah merupakan subsistem yang berada bersama-sama dengan subsistem sosial lainnya. Oleh karena itu pengaruh subsistem politik, ekonomi dan komponen sistem sosial lainnya mestinya sudah harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan hukum, apakah itu menyangkut segi sustantif, structure dan culture, demikian pula dengan penerapannya. 3. SISTEM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM KERANGKA HUKUM INTERNASIONAL Dalam kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi substansi, norma hukum yang mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh satu negara tertentu tetapi juga terikat pada norma-norma hukum Internasional. Di sini kita lihat hakikat hidupnya sistem hukum itu. Ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntutan masyarakat dalam bidang intellectual property rights didasarkan pada tuntutan perkembangan peradaban dunia.

14

Karena itu, negara-negara yang turut dalam kesepakatan Internasional, harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan Internasional, yang dalam kerangka General Agreement on Tarif and Trade / World Trade Organization (GATT/WTO 1994) adalah Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), sebagai salah satu dari Final Act Embodying The Uruguay Round of Multilateral Trade Negosiation, yang ditandatangani di Marakesh pada bulan April 1994 oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan itu dan ratifikasinya telah dilakukan melalui UU No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peraturan yang extra-teritorial yang menyengkut perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual serta semua isu yang terdapat dalam kerangka World Trade Organization (WTO) harus diakomodir paling tidak harus memenuhi (pengaturan) Standard minimum. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual dan menambah beberapa peraturan yang belum tercakup dalam peraturan yang sudah ada. Hal itu dilakukan oleh Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang mencakup perlindungan HAKI ditambah dengan ratifikasi beberapa konvensi dan traktat internasional. Disamping itu perlindungan secara internasional TRIPs mengisyaratkan agar negara-negara anggota menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan Paris Convention (1967), Bern Convention (1971), Rome Convention (1961) dan Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (1989) (Article 2 and Article 3, TRIPs Agreement 1994). Isyarat itu tentu menghendaki agar Indonesia turut meratifikasi keempat konvensi itu di samping WTOyang sudah diratifikasi. Sampai saat ini dari keempat konvensi itu, Indonesia baru hanya meratifikasi 2 konvensi dari 4 konvensi yang diharuskan tersebut yakni Paris Convention (1967) dan Bern Convention 1971). Suatu hal yang perlu dipahami bahwa sebagai suatu sistem, hukum yang mengatur hak kekayaan intelektual ini sangat banyak dipengaruhi oleh perkembangan
15

perdagangan dunia. Karena itu pengaruh sistem hukum Eropa Continental dan Anglo Saxon tampak jelas mewarnai lapangan hukum ini. Keduanya saling menghampiri dan saling mempengaruhi. Misalnya dapat dilihat dari segi struktur hukumnya dalam hal penyelesaian sengketa. GATT/WTO (1994) menempatkan satu badan khusus untuk menangani penyelesaian sengketa yang disebut dengan Dispute Settlement Body (DSB). Badan ini berperan untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul dari setiap persetujuan yang terdapat dalam Final Act (termasuk TRIPs). Tahapan penyelesaian sengketa yang dilalui adalah konsultasi, pembentukan panel, pemeriksaan banding dan pelaksanaan putusan. Jika tahapan konsultasi gagal, maka akan ditempuh cara-cara penyelesaian sengketa lain, yakni melalui tawaran Direktur Jenderal WTO agar sengketa itu segera diselesaikan melalui good offices, conciliation, atau mediation.19 Cara-cara penyelesaian sengketa dengan cara ini lazim di negara-negara penganut sistem hukum Anglo Saxon, meskipun di negara-negara penganut sistem hukum Eropa Continental dikenal juga cara penyelesaian melalui arbitrase (peradilan wasit). Karena itu penyelesaian sengketa konvensional (melalui lembaga peradilan formal) sudah patut pula dicermati kembali. Ini tentu menuntut keahlian khusus bagi para konsultan hukum Indonesia jika ingin mengambil bagian dalam sistem yang ditawarkan oleh WTO ini. Para notaris, dalam menyusun akta mengenai perjanjian lisensi misalnya, tidak lagi harus menyebutkan dalam salah satu klausulenya bila terjadi sengketa antara para pihak, akan memilih Pengadilan Negeri mana, tetapi melalui cara-cara yang telah ditetapkan dalam kesepakatan WTO misalnya. Hal ini perlu dicermati oleh karena struktur hukum tentang cara-cara penyelesaian sengketa telah turut berubah sebagai akibat dari sistem yang ditawarkan oleh WTO. Persetujuan yang dicapai dalam Uruguay Round mengatur tentang sistem penyelesaian sengketa yang terintegrasi atau Integrated Dispute Settlement system. Sengketa di bidang HAKI antara negara-negara peserta perjanjian akan ditangani melalui sistem penyelesaian sengketa terpadu tersebut. Untuk itu merupakan
19

Agus Brotosusilo, Analisis Dampak Juridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (OPD/WTO, Kerjasama Departemen Perdagangan RI dan Program Pascasarjana UI, Makalah, Jakarta 1995, hal.33.

16

tantangan bagi Indonesia untuk mempersiapkan para ahli hukum yang dapat menjadi spesialis dalam hal-hal yang menyangkut penyelesaian sengketa di bidang Hak Atas Kekayaan Inteletual. Dalam prosedur penyelesaian sengketa dan upaya untuk menjamin kepatuhan terhadap perjanjian TRIPs, sistem penyelesaian terpadu menurut WTO menetapkan adanya retalisasi lintas sektoral, yaitu suatu pihak dapat menunda konsesi yang diberikannya atau kewajiban lainnya di dalam sektor lain dari TRIPs di dalam kasus terjadinya penghapusan dan atau penghilangan keuntungan yang diperoleh dari perjanjian akibat kebijakan dari negara yang dituntut(paragraf 1 (b), (e) dan (f) dari sistem penyelesaian sengketa terpadu). Kemungkinan adanya retalisasi silang akan menempatkan keuntungan akses ke pasar menjadi suatu hal yang tidak pasti dalam hal adanya suatu tindakan yang tidak memenuhi atau melanggar ketetapan-ketetapan dari perjanjian ini.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. 1. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: Pembangunan hukum senantiasa menuntut adanya visi dari proses yang secara sadar diarahkan kepada pertumbuhan dan pembangunan hukum itu

17

sendiri, karena itu tidak bisa tugas ini diserahkan kepada penguasa saja, sebab hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial. 2. Sudah saatnya Indonesia kembali mencermati segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka sistem. Dalam sistem sosial yang lebih luas, hukum hanyalah merupakan subsistem yang berada bersama-sama dengan subsistem sosial lainnya. Oleh karena itu pengaruh subsistem politik, ekonomi dan komponen sistem sosial lainnya mestinya sudah harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan hukum, apakah itu menyangkut segi substantif, structure dan culture, demikian pula dengan penerapannya. 3. Persetujuan yang dicapai dalam Uruguay Round mengatur tentang sistem penyelesaian sengketa yang terintegrasi atau Integrated Dispute Settlement system. Sengketa di bidang HAKI antara negara-negara peserta perjanjian akan ditangani melalui sistem penyelesaian sengketa terpadu tersebut. Untuk itu merupakan tantangan bagi Indonesia untuk mempersiapkan para ahli hukum yang dapat menjadi spesialis dalam hal-hal yang menyangkut penyelesaian sengketa di bidang Hak Atas Kekayaan Inteletual. B. SARAN Berdasarkan uraian di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Untuk turut berkiprah dikancah pergaulan ekonomi dunia, Indonesia segera meratifikasi Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (1989) dan (Article 2 and Article 3, TRIPs Agreement 1994). 2. Segera mempersiapkan para ahli hukum yang dapat menjadi spesialis dalam hal-hal yang menyangkut penyelesaian sengketa di bidang Hak Atas Kekayaan Inteletual, terutama untuk menangani sengketa melalui sistem penyelesaian sengketa terpadu. DAFTAR PUSTAKA
1. 2. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003. R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.

18

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Soedharyo Soimin, SH., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Cet. II, 1999. Mahadi, Hak Milik Immateril, BPHN-Bina Cipta, Jakarta, 1985. Bouwman-Noor Mout, Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan atau Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, Makalah, FH-USU, 10 Januari 1989. Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, Komps, Jakarta, 19 Februari 1986. Convention Establishing The World Intelektual Properti Organization (WIPO). William T. Frayer, Materi Ceramah pada Intellectual Property of Trachers Program Conducted by The Faculty of Law, University of Indonesia, Jakarta, 15 Juli s.d 2 Agustus 1996.

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, CV. Rajawali, Jakarta, 1986. Bachsan Mustafa, SH., Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981. Lili Rosyidi dan L.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Mahfud MD (ed), Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999. Zaim Saidi, Selamat Datang WTO, Republika, Jakarta, 4 Januari 1995. Mohtar Masoed, Indonesia, APEC dan GATT, Makalah Pada Diskusi Yang Diselenggarakan oleh WALHI di Medan, bulan September 1994. Agus Brotosusilo, Analisis Dampak Juridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (OPD/WTO, Kerjasama Departemen Perdagangan RI dan Program Pascasarjana UI, Makalah, Jakarta 1995.

19

You might also like