You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Jumlah lanjut usia (lansia) di Indonesia saat ini sekitar 16,5 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 220 juta jiwa. Pada tahun 1980 jumlah lansia 7 juta jiwa, tahun 1990 naik menjadi 12 juta orang, sedangkan tahun 2000 menjadi 14 juta jiwa. Tahun 2010 diperkirakan menjadi 28 juta orang lebih (Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Yanrehsos), Depsos, 2009). Salah satu studi tentang orang dengan usia di atas 50 tahun, setelah 2 tahun kehilangan salah satu pasangannya akan timbul : syok emosional, tidak berdaya/menghindar, koping/kekuatan psikologis, marah/merasa bersalah/bingung, dan perilaku resolusi berduka. Secara statistik terdapat perubahan yang terlihat dalam semua area kecuali kekuatan /koping psikologis. Juga tidak terdapat perubahan bermakna dalam skor kepuasan hidup dalam studi ini (Coserta, Lund dan Dimond, 1985). Hasil studi lainnya, 12 % merasa kehilangan pada lansia dan 8 % tidak merasa kehilangan. Hal ini memperlihatkan terjadinya depresi setelah 2 bulan kematian pasangan mereka. Meskipun presentasinya kecil, perhatian harus dilakukan dalam menginterpretasikan hasil penemuannya. Mungkin depresi yang lebih besar berkembang jika berlawanan dengan situasi yang bermacam-macam dan batuan dan dukungan yang terbatas (Gallagher, Breckenridge, Thompson dan Peterson, 1983). Beberapa penelitian menunjukan bahwa pria lansia lebih sulit beradaptasi karena kehilangan pasangannya daripada wanita lansia. Secara spekulasi untuk dasar ini termasuk tidak terbiasa berperan dalam mengurus rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh istrinya, juga dalam melakukan aktivitas social. Pada penelitian lain memperlihatkan adanya perbedaan yang berarti diantara jenis kelamin (Gallagher, Breckenridge, Thompson dan Peterson, 1983). Menurut undang-undang No. 13 tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas baik lanjut usia yang mampu melakukan pekerjaan atau/dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan /jasa atau lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada orang lain (Direktorat Bina Pelayanan Sosial Lanjut, 2004). Usia Lanjut
1

dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna keliat, 1999). Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Menurut teori pembahasan (disenggament theory) menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia seseorang secara berangsur-angsur mulai melepasakan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi social lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga pada lanjut usia sering terjadi kehilangan ganda (tripel loss) yaitu kehilangan peran (loss of rol), hambatan kontak social (restraction of contacts and relationship), dan berkurangnya komitmen ( reduced commitment to social mores and values ). Kehilangan ( loss ) adalah suatu situasi actual maupun potensial yang dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Sejak lahir, individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Setiap individu akan bereaksi terhadap kehilangan. Respons terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh respons individu terhadap kehilangan sebelumnya (Potter dan Perry, 1997). Ketika suami atau istri meninggal pasangan yang masih hidup mempunyai masa berdukacita, banyak penelitian menyebutkan proses berbelasungkawa janda atau duda ditahun pertama setelah meninggalnya pasangan hidupnya. Menurut data sebelumnya mengindikasikan bahwa janda atau duda skalanya 6 : 1 setelah satu tahun banyak individu mulai menerima kehilangan suami atau istri dan menyesuaikan diri dengan alasan yang baik. Wanita sepertinya lebih midah menyesuaikan diri dari laki-laki mengenai kehilangan pasangan hidup dan orang lebih tua (dewasa) lebih mudah beradaptasi dari pada orang yang masih muda. Wanita mungkin lebih baik menanggulangi stress sejak mereka biasa mengatur tugas keseharian yang diminta dirumah, biasanya wanita mepunyai teman yang sangat dekat untuk membantunya membangkitkan semangatnya (Rybash, W. John, Roodin, A. Paul, santrock, W. Jhon, (1991), Adult Development & Aging, C. Brown Publishers). Para ahli gerontology telah memberikan perhatian yang lebih terhadap masalah masalah depresi dibandingkan dengan masalah kecemasan pada orang orang dewasa lanjut, namun penelitian terakhir menunjukkan bahwa
2

orang lanjut usia sebenarnaya memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan gangguan kecemasan daripada depresi, diperkirakan sekitar 7 % dari lansia memiliki gangguan-gangguan kecemasan (Santrock, W. John, (1995), Life Span Development, alih

bahasa Chusairi, Achmad, Penerbit Erlangga, Jakarta). Hasil studi pendahulu yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Wagir Malang, dari hasil wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal 29 Juli 2009 dengan menggunakan alat ukur harga diri pada lansia yang didalamnya terdapat salah satu aspek kehilangan atau berduka karena kematian mengalami adanya rasa kecewa terhadap diri sendiri tapi sedikit mengalami penurunan harga diri. Berdasarkan masalah diatas mendorong peneliti untuk mengetahui gambaran proses berduka pada lansia yang kehilangan pasangan karena kematian. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah gambaran proses berduka pada lansia yang kehilangan pasangannya karena kematian ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses berduka lansia yang kehilangan pasangannya karena kematian. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini untuk : 1). Bagi masyarakat Dapat menginformasikan kepada masyarakat luas, khususnya lansia yang kehilangan pasangan karena kematian tentang proses berduka. 2). Pengembangan ilmu dan teknologi keperawatan Sebagai salah satu sumber informasi bagi pelaksanaan studi kasus bidang keperawatan tentang proses berduka pada lansia yang kehilangan pasangan karena kematian pada masa yang akan datang dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. 3). Penulis Memperoleh pengalaman dalam melaksanakan aplikasi riset keperawatan khususnya tentang proses berduka lansia yang kehilangan pasangan karena kematian.
3

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia Usia Lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna keliat, 1999). Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. 2.1.2 Klasifikasi Lansia Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia : 1. Pralansia (prasenilis) Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. 2. Lansia Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih 3. Lansia resiko tinggi. Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003). 4. Lansia potensial Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa (Depkes RI, 2003). 5. Lansia yang tidak potensial Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

2.1.3 Karakteristik Lansia Menurut Budu Anna Keliat (1999), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut. 1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang kesehatan). 2. kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial samapai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif. 3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi. 2.1.4 Tipe Lansia Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho,2000). Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Tipe arif bijaksana Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan. 2. Tipe mandiri Mengganti kegiatan yang hilang dengan gaya yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan. 3. Tipe tidak puas Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehiggga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik,dan banyak menuntut. 4. Tipe pasrah Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
5

5. Tipe bingung Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh. Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen (kebergantungan), tipe defensive (bertahan), tipe militant dan serius, tipe

pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri). Sedangkan bila dilihat dari tingkat dari tingkat kemandiriannya yang hanya dinilai berdasarkan kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari (indeks kemandirian Katz), para lansia dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu lansia mandiri sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung dari keluarganya, lansia mandiri dengan bantuan secara tidak langsung, lansia dengan bantuan badan sosial, lansia dip anti wreda, lansia yang dirawat di rumah sakit, dan lansia dengan gangguan mental. 2.1.5 Mitos dan Stereotip tentang Lansia Menurut (Sheiera Saul, 1974) dalam (Nugroho, 2000) mitos-mitos tentang lansia antara lain sebagai berikut : 1. Mitos kedamaian dan ketenangan Adanya anggapan bahwa para lansia dapat santai menikmati hidup, hasil kerja, dan jerih payah di masa muda. Berbagai guncangan kehidupan seakan-akan sudah berhasil dilewati. Kenyataanya, sering ditemui lansia yang mengalami stress karena kemiskinan dan berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit. 2. Mitos konservatif dan kemunduran Konservatif berarti kolot, bersikap mempertahankan kebiasaan, tradisi,dan keadaan yang berlaku. Adanya anggapan bahwa lansia itu tidak kreatif, menolak inovasi, berorientasi kemasa silam, kembali ke masa kanak-kanak, sulit berubah, keras kepala, dan cerewet. Kenyataannya, tidak semua lansia bersikap dan mempunyai pikiran demikian. 3. Mitos berpenyakitan
6

Adanya anggapan bahwa masa tua dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai berbagai penyakit dan sakit-sakitan. Kenyataannya, tidak semua lansia berpenyakitan. Saat ini sudah banyak jenis pengobatan serta lansia yang rajin melakukan pemeriksaan berkala sehingga lansia tetap sehat dan bugar. 4. Mitos senilitas Adanya anggapan bahwa para lansia sudah pikun kenyataannya, banyak yang masih tetap cerdas dan bermanfaat bagi masyarakat, karena banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap penurunan daya ingat. 5. Mitos tidak jatuh cinta Adanya anggapan bahwa para lansia sudah tidak lagi jatuh cinta dan bergairah pada lawan jenis. Kenyataanya, perasaan dan emosi setiap orang berubah sepanjang masa serta perasaan cinta tidak berhenti hanya karena menjadi tua. 6. Mitos aseksualitas Adanya anggapan bahwa pada lansia hubungan seks menurun, minat, dorongan, gairah, kebutuhan dan daya seks berkurang. Kenyataannya, kehidupan seks para lansia normalnormal saja dan tetap bergairah, hal ini dibuktikan dengan banyaknya lansia yang ditinggal mati pasangannya, namun masih ingin ada rencana ingin menikah. 7. Mitos ketidakproduktifan Adanya anggapan bahwa lansia tidak produktif lagi. Kenyataannya banyak para lansia yang mencapai kematangan, kemantapan, dan produktifitas mental maupun material.

Mitos-mitos di atas harus disadari perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, karena banyak kondisi lansia yang sesuai dengan mitos tersebut dan sebagian lagi tidak mengalaminya.

2.2 Teori menua Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori biologi , teori psikologis, teori sosial, dan teori spiritual.

2.2.1 Teori biologi Teori biologi mencakup teori genetic dan mutasi, immunology slow teory, teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang. 1). Teori genetik dan mutasi Menurut teori genetik dan mutasi, menua terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi sebagai contoh khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsi sel). Terjadi penggumpalan pigmen atau lemak dalam keadaaan teori akumulasi dari produk sisa, sebagai contoh adalah pigmen lipofusin di sel otot jantung dan sel susunan saraf pusat pada lansia yang mengakibatkan terganggunya fungsi sel itu sendiri. Pada teori biologi dikenal istilah pemakaian dan perusakan (wear and tear) yang terjadi karena kelebihan usaha dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Pada teori ini juga didapatkan terjadinya peningkatan jumlah kolagen dalam tubuh lansia, tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit, dan kekurangan gizi. 2). Immunology slow theory Menurut immunology slow teory, sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. 3). Teori stress Teori stress mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan dalam tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

4). Teori radikal bebas Radikal bebas terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organic seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.

5). Teori rantai silang Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau usang menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.

2.2.2 Teori psikologis Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri atas motifasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seseorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah dengan nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya penurunan dari intelaktualitas yang meliputi persepsi, kemampuan koognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit utnuk dipahami dan berinteraksi. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi berbeda dari stimulus yang ada. Kemampuan koognitif dikaitkan dengan penurunan fisiologis organ otak. Namun untuk fungsi-funsgi positif yang dapat dikaji ternyata mempunyai fungsi tinggi, seperti
9

simpanan informasi usia lanjut, kemampuan member alasan secara abstrak, dan melakukan perhitungan. Memori adalah kemampuan daya ingat lansia terhadap suatu kejadian/peristiwa baik jangka pendek maupun jangka panjang. Memori terdiri atas tiga komponen sebagai berikut : 1). Ingatan yang paling singkat dan segera. Contohnya pengulangan angka. 2).Ingatan jangka pendek. Contohnya peristiwa beberapa menit hingga beberapa hari yang lalu. 3). Ingatan jangka panjang Kemampuan belajar yang menurun dapat terjadi karena banyak hal. Selain keadaan fungsional organ otak, kurangnya motivasi pada lansia juga berperan. Motivasiakan semakin menurun dengan menganggap lansia sendiri merupakan beban bagi orang lain dan keluarga. 2.2.3. Teori sosial Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement theory), teori akitivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity theory), teori perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification theory). a). Teori interaksi sosial Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Mauss (1954), Homans (1961), dan Blau (1964) mengemukakan bahwa interaksi sosial terjadi berdasarkan atas hukum pertukaran barang dan jasa. Sedangkan pakar lain Simmons (1945), mengemukakan bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya atas dasar kemampuannya untuk melakukan tukar-menukar.

10

Menurut Dowd (1980), interaksi antara pribadi dan kelompok merupakan upaya utnuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dan menekan kerugian hingga sesedikit mungkin. Kekuasan akan timbul apabila seseorang atau kelompok mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pribadi atau kelompok lainnya. Pada lansia, kekuasaan dan prestisenya berkurang, sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah. Pokok-pokok teori interaksi sosial adalah sebagai berikut : 1). Masyarakat terdiri atas aktor-aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya masingmasing. 2). Dalam upaya tersebut terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan waktu. 3). Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor harus memerlukan biaya. 4). Aktor senantiasa berusaha mencari keuntungan dan mencegah terjadinya kerugian. 5). Hanya interaksi yang ekonomis saja yang dipertahankan olehnya. b).Teori penarikan diri Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh Gumming d an Henry (1961). Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seseorang lansia secara perlahanlahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya. Selain hal tersebut, masyarakat juga perlu mempersiapkan kondisi agar para lansia tidak menarik diri. Proses penuaan mengakibatkan interaksi sosial lansia mulai menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada lansia juga terjadi kehilangan ganda (triple loss), yaitu : 1). Kehilangan peran (loss of roles) 2). Hambatan kontak sosial (restriction of contacs and relationships)

11

3). Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social morales and values). Menurut teori ini seorang lansia dinyatakan mengalami proses penuaan yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi serta mempersiapkan diri dalam menghadapi kematiannya. Pokok-pokok teori menarik diri adalah sebagai berikut : 1). Pada pria, kehilangan peran hidup terutama terjadi pada masa pensiun. Sedangkan pada wanita terjadi pada masa ketika peran dalam keluarga berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa serta meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah. 2). Lansia dan masyarakat mampu mengambil manfaat dalam hal ini, karena lansia dapat merasakan bahwa tekanan sosial berkurang, sedangkan kaum muda memperoleh kerja yang lebih luas. 3). Tiga aspek utama dalam teori ini adalah proses menarik diri yang terjadi sepanjang hidup. Proses ini tidak dapat dihindari serta hal ini harus diterima oleh lansia dan masyarakat. c). Teori aktivitas Teori aktivitas dikembangkan oleh Palmore (1965) dan Lemon et al. (1972) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantungan dari bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan. Dari satu sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi di lain sisi dapat dikembangkan, misalnya peran baru sebagai relawan, kakek atau nenek, ketua RT, seorang duda atau janda, serta karena ditinggal wafat pasangan hidupnya. Dari pihak lansia sendiri terdapat anggapan bahwa proses penuan merupakan suatu perjuangan untuk tetap muda dan berusaha untuk mempertahankan perilaku mereka semasa mudanya.

12

Pokok-pokok teori aktivitas adalah : 1). Moral dan kepuasan berkaitan dengan interaksi sosial dan keterlibatan sepenuhnya dari lansia di masyarakat. 2). Kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lansia. Penerapan teori aktivitas ini sangat positif dalam penyusunan kebijakan lansia, karena memungkinkan para lansia untuk berintraksi sepenuhnya di masyarakat. d). Teori kesinambungan Teori ini dianut oleh banyak pakar sosial. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi lansia. Menurut teori penarikan diri dan teori aktifitas, proses penuaan merupakan suatu pergerakan dan proses yang searah, akan tetapi pada teori kesinambungan merupakan pergerakan dan proses banyak arah, bergantung dari bagaimana penerimaan seseorang terhadap siklus kehidupannya. Kesulitan untuk menerapkan teori ini adalah bahwa sulit untuk memperoleh gambaran umum tentang seseorang, karena kasus tiap orang berbeda. Pokok-pokok teori kesinambungan adalah sebagai berikut: 1). lansia tak disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif dalam proses penuaan, tetapi berdasarkan pada pengalamannya di masa lalu, lansia harus memilih peran apa yang harus dipertahankan atau dihilangkan; 2).peran lansia yang hilang tak perlu diganti; 3). lansia berkesempatan untuk memilih berbagai macam cara untuk beradaptasi.

13

e). Teori perkembangan Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh lansia pada saat muda hingga dewasa, dengan demikian perlu dipahami teori Freud, Buhler, Jung, dan Erickson. Sigmund Freud meneliti tentang psikoanalisis serta perubahan psikososial andak dan balita. Erickson (1930), membagi kehidupan menjadi delapan fase yaitu : 1). lansia yang menerima apa adanya; 2). lansia yang takut mati; 3). lansia yang merasakan hidup penuh arti; 4). lansia yang menyesali diri; 5). lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan; 6). lansia yang kehidupannya berhasil; 7). lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri; 8). lansia yang perlu menemukan integritas diri melawan keputusasaan (ego integrity vs depair). Havigrust dan Duvali menguraikan tujuh jenis tugas perkembangan (development tasks) selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lansia, yaitu : 1). penyesuian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis; 2). penyesuaian terhadap pension dan penurunan pendapatan; 3). menemukan makna kehidupan. 4). mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan; 5). menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga;

14

6). penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia; 7). menerima dirinya sebagai seorang lansia. Joan Birchenall, RN., Med. dan Mary E. Streight R.N. (1973), menekankan perlunya mempelajari psikologi perkembangan guna memahami perubahan emosi dan sosial seseorang selama fase kehidupannya. Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagi tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang seharusnya diterapkan pada lansia tersebut. Pokok-pokok dalam teori perkembangan adalah sebagai berikut. 1). masa tua merupakan saat lansia merumuskan seluruh masa kehidupannya . 2). masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan sosial yang baru, yaitu pensiunan dan atau menduda atau menjanda. 3). lansia harus menyesuaikan diri sebagai akibat perannya yang berakhir di dalam keluarga, kehilangan identitas dan hubungan sosialnya akibat pension, serta ditinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-temannya. f). Teori stratifikasi usia Wiley (1971) menyusun stratifikasi usia berdasarkan usia kronologis yang meggambarkan serta membentuk adanya perbedaan kapasitas, peran, kewajiban, dan hak mereka berdasarkan usia. Dua model penting dari model stratifikasi usia tersebut adalah struktur dan prosesnya. 1). Struktur mencakup hal-hal sebagai berikut: bagaimanakah peran dan harapan menurut penggolongan usia; bagaimanakah penilaian strata oleh strata itu sendiri dan
15

strata lainnya; bagaimanakah terjadinya penyebaran dan kekuasaan yang tidak merata pada masing-masing strata, yang didasarkan pada pengalaman dan kebijakan lansia. 2). proses mencakup hal-hal sebagai berikut: bagaimanakah menyesuaikan kedudukan seseorang dengan peran yang ada bagaimanakah cara mengatur transisi peran secara berurutan dan terus-menerus. Pokok-pokok dari teori stratifikasi usia adalah sebagai beikut : 1). arti usia dan posisi kelompok usia bagi masyarakat. 2). terdapatnya transisi yang dialami oleh kelompok. 3). terdapatnya makanisme pengalokasian peran di antara penduduk. Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang dilakukan bersifat deterministik dana dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya. Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik.

f. Teori spiritual Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan presepsi individu tentang arti kehidupan. James Fowler mengungkapkan tujuh tahap perkembangan kepercayaan (Wong, et. al.1999). Fowler juga meyakini bahwa kepercayaan/demensia spiritual adalah suatu kekuatan yang member arti bagi kehidupan seseorang.

16

Fowler menggunakan istilah kepercayaan sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir. Menurutnya, kepercayaan adalah suatu fenomena timbale balik, yaitu suatu hubungan aktif antara seseorang dengan orang lain dalam menanamkan suatu keyakinan, cinta kasih, dan harapan. Fowler meyakini bahwa perkembangan kepercayaan antara orang dan lingkungan terjadi karena adanya kombinasi antara nilai-nilai dan pengetahuan. Fowler juga berpendapat bahwa perkembangan spiritual pada lansia berada pada tahap penjelmaan dari prinsip cinta dan keadilan. 2.3 Tugas Perkembangan Menurut Erickson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan seharihari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan orang-orang disekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, pengembangan hobi bercocok tanam, dan lain-lain. Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut : 1. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun. 2. Mempersiapkan diri untuk pension. 3. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya. 4. Mempersiapkan kehidupan baru. 5. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan social/masyarakat secara santai. 6. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangannya.

17

2.4 Perubahan yang terjadi pada lansia 2.4.1 Perubahan social 1). Peran : post power syndrome, single women, dan single parent.

2). Keluarga emptines : kesendirian, kehampaan. 3). Teman : ketika lansia lainnya meninggal, maka mmuncul perasaan kapan akan meninggal. Berada dirumah terus-menerus akan cepat pikun (tidak berkembang). 4). Abuse : kekerasan berbentuk verbal (dibentak) dan non verbal (dicubit, tidak diberi makan). 5). Masalah hukum : berkaitan dengan perlindungan aset dan kekayaan pribadi yang dikumpulkan sejak masih muda. 6). Pensiun : kalau menjadi PNS akan ada tabungan (dana pensiun). Kalau tidak, anak dan cucu akan member uang. 7). Ekonomi : kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok bagi lansia dan income security. 8). Rekreasi 9). Keamanan 10). Transportasi 11). Politik : untuk ketenangan batin. : jatuh, terpeleset. : kebutuhan akan sistem transportasi yang cocok bagi lansia. : kesempatan yang sama untuk terlibat dan memberikan masukan dalam sistem politik yang berlaku. 12). Pendidikan : berkaitan dengan pengentasan buta aksara dan kesempatan untuk tetap belajar sesuai dengan hak asasi manusia. 13). Agama 14). Panti jompo : melaksanakan ibadah. : merasa dibuang/diasingkan.
18

2.5 Perubahan psikologis lansia Perubahan psikologis pada lansia short term memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan. Dalam psikologi perkembangan, lansia dan perubahan yang dialaminya akibat proses penuaan digambarkan oleh hal berikut : Masalah-masalah umum yang sering dialami oleh lansia 1). Keadaan fisik lemah dan tak berdaya, sehingga harus bergantung pada orang lain. 2). Status ekonominya sangat terancam, sehingga cukup beralasan untuk melakukan berbagai perubahna besar dala pola hidupnya. 3). Menentukan kondisi hidup yang sesuai dengan perubahan status ekonomi and kondisi fisik. 4). Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang sudah meningal atau pergi jauh dan/cacat. 5). Mengembangkan kegiatan baru untuk mengisi waktu luang yang semakin bertambah. 6). Belajar untuk memperlakukan anak yang sudah besar sebagai oarng dewasa. 7). Mulai terlibat dalam kegiatan masyarakat yang secara khusus direncanakan untuk orang dewasa. 8). Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang sesuai untuk lansia dan memiliki kemauan untuk mengganti kegiatan lama yang berat dengan yang lebih cocok. 9). Menjadi sasaran atau dimanfaatkan oleh para penjual obat, buaya darat, dan kriminalitas karena tidak sanggup lagi untuk memperhatikan diri.

19

2.6 Konsep berduka 2.6.1 Pengertian berduka Berduka (grieving) merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini diwujudkan dalam bebagai cara yang unik pada masing-masing orang dan didasarkan pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Sedangkan istilah kehilangan (bereavement) mancakup berduka dan berkabung (mourning), yaitu perasaan di dalam dan reaksi keluar orang yang ditinggalkan. Berkabung adalah periode penerimaan terhadap kehilangan dan berduka. Hal ini terjadi dalam masa kehilangan dan sering dipengaruhi oleh kebudayaan atau kebiasaan. Pertimbangan gerontologi : 1). Orang yang berusia di atas 60 tahun yang kehilangan pasangan hidupnya karena penyakit kronis lebih dari 6 bulan lamanya sepertinya akan mengalami lebih banyak keluhan psikosomatik, mengunjungi dokter lebih sering, dan menggunakan obat-obatan dan alkohol dalam jumlah besar (Houser, 1983; Matterson & Mc Connell, 1986) 2). Berduka pada lansia sering dihubungkan dengan kehilangan yang menyangkut diri sendiri seperti perubahan peran, perubahan gambaran tubuh atau berkurangnya fungsi tubuh. Kehilangan ini kadang agak sedikit diterima daripada kehilangan orang yang berarti (Matteson dan McConnell, 1988). 3). Pada banyak kebudayaan, kematian pasangan dicatat sebagai penyebab stress yang terberat dalam kehidupan. Meningkatnya kemungkinan terhadap usia plus 50 tahun adri perkawinan pada pasangan yang sama, dengan dampak sangat besar dari kehilangan pasangan tersebut. Pasangan mungkin dapat satu-satunya anggota keluarga dekat yang lebih lebih tua dan kontak social (Gallagher, Breckenridge, Thompson dan Peterson, 1983). 4). Salah satu studi tentang orang dengan usia di atas 50 tahun, setelah 2 tahun kehilangan salah satu pasangannya akan timbul : syok emosional, tidak

berdaya/menghindar, koping/kekuatan psikologis, marah/merasa bersalah/bingung, dan perilaku resolusi berduka. Secara statistik terdapat perubahan yang terlihat dalam semua
20

area kecuali kekuatan /koping psikologis. Juga tidak terdapat perubahan bermakna dalam skor kepuasan hidup dalam studi ini (Coserta, Lund dan Dimond, 1985). 5). Hasil studi lainnya, 12 % merasa kehilangan pada lansia dan 8 % tidak merasa kehilangan. Hal ini memperlihatkan terjadinya depresi setelah 2 bulan kematian pasangan mereka. Meskipun presentasinya kecil, perhatian harus dilakukan dalam

menginterpretasikan hasil penemuannya. Mungkin depresi yang lebih besar berkembang jika berlawanan dengan situasi yang bermacam-macam dan batuan dan dukungan yang terbatas (Gallagher, Breckenridge, Thompson dan Peterson, 1983). 6). Beberapa penelitian menunjukan bahwa pria lansia lebih sulit beradaptasi karena kehilangan pasangannya daripada wanita lansia. Secara spekulasi untuk dasar ini termasuk tidak terbiasa berperan dalam mengurus rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh istrinya, juga dalam melakukan aktivitas social. Pada penelitian lain memperlihatkan adanya perbedaan yang berarti diantara jenis kelamin (Gallagher, Breckenridge, Thompson dan Peterson, 1983). 7). Resiko kematian lebih besar pada laki-laki daripada wanita selama 6 bulan pertama setelah kehilangan. Perubahan dalam pola perilaku kesehatan seperti penggunaan alcohol, merokok, berkurangnya tingkat aktivitas fisik mungkin mendukung adanya peningkatan rata-rata kematian (Kaprio dan Kosken-vuo, 1987).

2.6.2 Jenis berduka 1). Berduka antisipasi : Suatu keadaan dimana individu/kelompok mengalami reaksi-reaksi dalam berespon terhadap kehiangan yang bermakna yang diperkirakan. 2). Berduka disfungsional : Suatu kondisi dimana individu atau kelompok mengalami berduka jangka panjang yang takteratasi dan menimbulkan aktivitas yang merusak.

21

3). Berduka normal

: Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan.

4). Berduka tertutup

; Kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.

2.6.3 Respon berduka Respon berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut (Kubler-Ross, dalam Potter dan Perry, 1997) :

Tahap Marah

Tahap Depresi

Tahap Pengingkaran

Tahap Penawaran

TahapPenerimaan

1. Tahap Pengingkaran. Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis terminal akan terus berupaya mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung dalam beberapa menit hingga berapa tahun. 2. Tahap Marah. Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respons fisik yang sering terjadi, antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya.

22

3. Tahap Tawar-menawar. Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah-olah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan tuhan. 4. Tahap Depresi. Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadangkadang bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukksn, antara lain menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain-lain. 5. Tahap Penerimaan. Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada obyek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan memulai memandang kedepan. Gambaran tentang objek atau oarng yang hilang akan mulai dilepaskan secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang beru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap penerimaan akan mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

23

BAB III METODE STUDI KASUS 3.1 Rancangan Studi Kasus Pada studi kasus ini rancangan penelitian yang dilakukan adalah deskriptif observatif partisipatif yaitu metode ilmiah yang diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki secara langsung maupun tidak langsung, dimana penyelidik turut ambil bagian dalam perikehidupan orang/orang-orang yang diobservasi. (Notoatmodjo, 2002). 3.2 Subyek dalam Studi Kasus Pada studi kasus ini subyek yang digunakan adalah 1 orang. Adapun subyeknya adalah sebagai berikut : 1). Lansia dengan usia 60 tahun. 2). Lansia yang kehilangan pasangan karena kematian kurang dari 1 tahun. 3). Bersedia menjadi responden dalam studi kasus ini. 4). Tidak sedang menderita penyakit terminal. 5). Kooperatif. 3.3 Fokus Studi Kasus Fokus studi kasus adalah kajian utama masalah yang dijadikan titikan acuan dari kasus. Fokus studi kasus ini adalah mengidentifikasi tahapan-tahapan proses berduka pada lansia yang kehilangan pasangan karena kematian. 3.4 Definisi Operasional 3.4.1 Lansia

24

Yang dimaksud dengan lansia dalam studi kasus ini menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. 3.4.2 Berduka (grieving) Merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini diwujudkan dalam bebagai cara yang unik pada masing-masing orang dan didasarkan pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Dalam respon berduka terdapat tahapan-tahapan yang dilalui dalam prosese berduka sebagai berikut : 1) Tahap pengingkaran. 2) Tahap marah. 3) Tahap tawar-menawar. 4) Tahap depresi. 5) Tahap penerimaan. 3.5 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah kegiatan studi kasus ini yang bertujuan untuk mengungkapkan gambaran nyata mengenai subyek penelitian agar lebih akurat diperlukan alat untuk mengungkapkan data atau instrumen yang tepat. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah : 3.5.1 Wawancara Wawancara yang dilakukan adalah wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai instrumennya serta pertanyaan dapat berkembang secara luas (Arikunto, 2002). Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mendapatkan data mengenai tahapan dalam respon berduka yang dilalui oleh lansia yang mengalami kehilangan pasangan karena kematian. 3.5.2 Observasi

25

Observasi disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indera. Jadi, mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan pengecapan (Arikunto, 2002). Observasi digunakan untuk mendapatkan data tentang tahapan dalam respon berduka yang dilalui oleh lansia yang mengalami kehilangan pasangan karena kematian. 3.6 Prosedur Penelitian

26

27

You might also like