You are on page 1of 21

TEBU

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) adalah satu anggota familia rumputrumputan (Graminae) yang merupakan tanaman asli tropika basah, namun masih dapat tumubh baik dan berkembang di daerah subtropika, pada berbagai jenis tanah dari daratan rendah hingga ketinggian 1.400 m diatas permukaan laut (dpl). Ada berbagai macam varietas unggul twbu yang dapat dibudidayakan petani, a.l. PS851, PS862, PS863, PS864, PSBM901, PS921, Bululawang, PSCO902, PSJT941, Kidang Kencana, PS865, PS881, PS882 dan varietas Kentung yang merupakan varietasvarietas unggulan dengan kategori pengelompokan masak awal, masak tengah dan masak akhir sebagai salah satu penerapan manajemen pembibitan untuk menyelaraskan pelaksanaan tertib tanam dan panen. Usaha budidaya tebu di Indonesia dilakukan pada lahan sawah berpengairan dan tadah hujan serta pada lahan kering/tegalan dengan rasio 65% pada lahan tegalan dan 35% pada lahan sawah. Sampai saat ini daerah/wilayah pengembangan tebu masih terfokus di Pulau Jawa yakni di Provinsi, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta dan Jawa Barat yang diusahakan di lahan sawah dan tegalan. Sedangkan usahatani tebu pada lahan tegalan pengembangannya diarahkan ke Luar Jawa seperti di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan dan Gorontalo.

TEHNIK BUDIDAYA TANAMAN TEBU 1. Syarat Tumbuh Tebu (Saccarum officinarum) Tebu termasuk jenis tanaman rumput yang kokoh dan kuat. Adapun syaratsyarat tumbuh tanaman tebu adalah: Tumbuh di daerah dataran rendah yang kering. Iklim panas yang lembab dengan suhu antara 25C-28C Curah hujan kurang dari 100 mm/tahun Tanah tidak terlalu masam, pH diatas 6,4. Ketinggian kurang dari 500 m dpl. Agar tanaman tebu mengandung kadar gula yang tinggi, harus diperhatikan musim tanamnya. Pada waktu masih muda tanaman tebu memerlukan banyak air dan ketika mulai tua memerlukan musim kemarau yang panjang. Daerah

penghasil tebu terutama di Jawa, Sumatera Selatan, Sumateran Barat, Lampung dan Nusa Tenggara

2.

Persiapan Bibit Bibit yang akan ditanam terdiri dari beberapa jenis, diantaranya bibit pucuk, bibit batang muda, bibit rayungan dan bibit siwilan. a. Bibit pucuk Bibit diambil dari bagian pucuk tebu yang akan digiling berumur 12 bulan. Jumlah mata (bakal tunas baru) yang diambil 2-3 sepanjang 20 cm. Daun kering yang membungkus batang tidak dibuang agar melindungi mata tebu. Biaya bibit lebih murah karena tidak memerlukan pembibitan, bibit mudah diangkut karena tidak mudah rusak, pertumbuhan bibit pucuk tidak memerlukan banyak air. Penggunaan bibit pucuk hanya dapat dilakukan jika kebun telah berporduksi. b. Bibit batang muda Dikenal pula dengan nama bibit mentah / bibit krecekan. Berasal dari tanaman berumur 5-7 bulan. Seluruh batang tebu dapat diambil dan dijadikan 3 stek. Setiap stek terdiri atas 2-3 mata tunas. Untuk mendapatkan bibit, tanaman dipotong, daun pembungkus batang tidak dibuang. Setiap hektar tanaman kebun bibit bagal dapat menghasilkan bibit untuk keperluan 10 hektar. c. Bibit rayungan (1 atau 2 tunas). Bibit diambil dari tanaman tebu khusus untuk pembibitan berupa stek yang tumbuh tunasnya tetapi akar belum keluar. Bibit ini dibuat dengan cara: Melepas daun-daun agar pertumbuhan mata tunas tidak terhambat. Batang tanaman tebu dipangkas 1 bulan sebelum bibit rayungan dipakai. Tanaman tebu dipupuk sebanyak 50 kg/ha Bibit ini memerlukan banyak air dan pertumbuhannya lebih cepat daripada bibit bagal. 1 hektar tanaman kebun bibit rayungan dapat menghasilkan bibit untuk 10 hektar areal tebu. Kelemahan bibit rayungan adalah tunas sering rusak pada waktu pengangkutan dan tidak dapat disimpan lama seperti halnya bibit bagal. Bibit siwilan. Bibit ini diambil dari tunas-tunas baru dari tanaman yang pucuknya sudah mati. Perawatan bibit siwilan sama dengan bibit rayungan. Penentuan Komposisi Bibit secara Umum dikaitkan dengan Tingkat Kemasakannya, Masa Tanam, Iklim, Kondisi Lahan serta Lamanya Musim Giling. Bibit-bibit yang ditanam diharapkan mempunyai kriteria :

Mempunyai Potensi Kwintal Tebu dan Rendemen tinggi. Mempunyai Tingkat Kemurnian tinggi ( > 90 % ). Bebas dari Hama dan Penyakit. Mempunyai Daya Kecambah tinggi. Tahan terhadap kekeringan dan tidak mudah roboh.

Pada kondisi fisik lingkungan yang ada, yaitu pada areal lahan kering atau tegalan, maka agar dapat dicapai produksi yang tinggi diperlukan bibit tebu dengan varietas tebu yang sesuai dengan kondisi lahan kering. Varietas untuk lahan kering harus memiliki sifat-sifat tertentu, antara lain: Mempunyai daya tahan kekeringan Mudah berkecambah, cepat beranak dan bertunas banyak. Mempunyai daya tahan kepras yang baik. Rendemen tinggi Mudah diklentek Tahan roboh Pengadaan bibit tebu dilakukan melalui tahapan penjenjangan kebun pembibitan, mulai dari Kebun Bibit Pokok (KBP), Kebun Bibit Nenek (KBN), Kebun Bibit Induk (KBI) hingga Kebun Bibit Datar (KBD) sebagai sumber bibit bagi pertanaman atau Kebun Tebu Giling (KTG).

3.

Persiapan Lahan Pada prinsipnya, persiapan lahan untuk tanaman baru (PC) dan tanaman bongkaran baru (RPC) adalah sama tetapi untuk PC kegiatan persiapan lahan tidak dapat dilaksanakan secara intensif. Hal tersebut disebabkan oleh tata letak petak kebun, topografi maupun struktur tanah pada areal yang baru dibuka masih belum sempurna, sehingga kegiatan mesin/peralatan di lapang sering terganggu. Pada areal tersebut masih terdapat sisa-sisa batang/perakaran yang dapat mengganggu operasional mesin di lapang. 1. Perbaikan lahan Perbaikan lahan dilakukan sebelum pengelolaan lahan pada tanaman RPC. Kegiatan ini bertujuan untuk memperbaiki petak kebun, memperbaiki sistem drainase,

menghilangkan water lock pada petak, dan mengembalikan tanah yang tererosi ke

tengah petak. Peralatan yang digunakan untuk perbaikan lahan adalah bulldozer, excavator, dan dum truck. 2. Brushing Brushing bertujuan untuk memotong sisa-sisa tunggul dari tanaman tebu sebelumnya dan meratakan guludan sehingga memudahkan dalam kegiatan pembajakan. Implemen yang digunakan dalam kegiatan brushing adalah garu piring (disc harrow) dengan jumlah piringan sebanyak 28 buah dengan arah kerja searah dengan barisan tebu. Kapasitas kerja traktor untuk brushing adalah 1.2 ha/jam dengan kedalaman olah 20 cm. 3. Aplikasi stillage

Pemberian stillage diberikan sebagai pengganti pupuk KCl, karena salah satu unsur hara yang terkandung dalam stillage unsur K. Stillage merupakan hasil samping dari proses pengolahan tetes menjadi etanol dan digunakan sebagai pengganti pupuk KCl karena mengandung N, P2O5, dan K2O sebagai unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman. Kandungan K2O dalam stillage berkisar antara 1.8-2.4 %, sedangkan kandungan N adalah 0.34 % dan kandungan P2O5 adalah 0.65 %. Pemberian stillage biasanya dilakukan untuk semua kategori tanaman baik RPC maupun RC. Untuk tanaman RPC, stillage diaplikasikan setelah penebangan dan sebelum kegiatan bajak . Stillage diaplikasikan diantara barisan tanaman tebu. Sedangkan untuk tanaman ratoon, stillage diberikan setelah kegiatan penggemburan oleh Terra Tyne pada barisan rumpun tebu. Pelaksanaan pemberian stillage di lapangan dilakukan oleh traktor kecil 80 HP . Dosis pemberian stillage adalah 20 000 l/ha. 4. Penebaran blotong

Blotong merupakan produk samping pengelolaan tebu menjadi gula. Pemberian blotong ke areal bertujuan untuk menangani permasalahan limbah industri sekaligus meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Penyebaran blotong ke lahan dilakukan dengan menggunakan dum truck dengan muatan 8 ton dan dosis pemberian blotong adalah 40 ton/ha. Untuk memudahkan penebaran blotong sebelumnya lahan yang akan diaplikasikan dipasang pancang atau tanda. Penebaran blotong dilakukan secara merata dengan menggunakan tenaga manusia dengan jarak berkisar 2-3 m antar tumpukan kecil. Penebaran blotong dilakukan dengan sistem borongan dengan kapasitas kerja 3-4 tumpukan/orang.

5.

Pengapuran

Pengapuran bertujuan untuk meningkatkan pH tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, menambahkan unsur Ca kedalam tanah. Hal ini mengingat kondisi tanah di PT Gula Putih Mataram didominasi oleh podsolik merah kuning atau ultisol yang pada umumnya memiliki pH tanah, kadungan bahan organik serta KTK tanah yang rendah. Pengapuran dilakukan dengan cara penaburan Gypsum (CaSO4.2H2O) dan Lime (Ca). Penaburan kapur dilakukan pada lahan secara merata dengan dosis Gypsum 1 ton/ha dan Lime 2 ton/ha. Penaburan kapur dilakukan dengan sistem borongan dengan kapasitas kerja sebesar 1.67 ha/orang. 6. Pembajakan

Aktivitas ini bertujuan untuk membalik tanah serta memotong sisa-sisa vegetasi awal dan memperbaiki aerasi dan drainase tanah. Implemen yang digunakan dalam kegiatan ini adalah bajak singkal (moldboard plough) dengan tiga titik. Implemen moldboard plough ditarik dengan menggunakan traktor medium berdaya 150 HP dengan sistem penggandengan fully mounted implement dengan tiga titik gandeng. Pada kondisi normal dimana tanah dalam kondisi lapang, kedalaman olah mencapai 35-40 cm dengan kapasitas kerja pembajakan adalah 0.30-0.33 ha/jam. 7. Penggaruan

Penggaruan bertujuan untuk menghancurkan bongkahan-bongkahan tanah dan meratakan permukaan tanah hasil pembajakan serta membenamkan gulma yang tumbuh sehingga diperoleh kondisi tanah yang remah, permukaan relatif rata. Aktivitas ini biasanya dilaksanakan sebanyak 2 kali setelah pembajakan. Implemen yang digunakan sama dengan implemen brushing yaitu garu piring (disc harrow) dengan 28 disk dengan jumlah disk sebanyak 28 buah dan arah kerja searah memotong arah bajak. Kapasitas kerja traktor untuk penggaruan adalah 1.2 ha/jam dengan kedalaman olah 20 cm. 8. Track Marking

Kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan tempat bibit tebu yang akan ditanam (alur tanaman) dan alur untuk pemupukan dasar. Pembuatan kairan dilakukan sedalam 40-50 cm dengan jarak antara pusat guludan 185 cm. Implement yang digunakan adalah track marker yang ditarik dengan menggunakan traktor medium 150 HP. Kapasitas kerja track marking adalah sekitar 0.5-0.6 ha/jam.

9.

Ripping

Kegiatan ripping bertujuan untuk memecah lapisan dalam tanah ataumlapisan kedap air sehingga memperbaiki aerasi dan drainase tanah. Implemen yang digunakan adalah ripper yang dilengkapi dengan hollow buster yang berfungsi membentuk rongga tanah hasil ripper. Implement ini ditarik dengan traktor medium 150 HP. Kedalam olah ripping berkisar 60-65 cm dengan kapasitas kerja traktor sebesar 0.7 ha/jam. 10. Furrowing dan basalt dressing Kegiatan ini bertujuan untuk membuat alur tanam sekaligus memberikan pupuk basalt atau pupuk dasar dan insektisida ke dalam tanah. Jarak tanam dalam row sekitar 60-70 cm sedangkan jarak antar row sekitar 120 cm dengan kedalaman 30 cm . Pupuk yang diberikan adalah pupuk ZA dan TSP dengan dosis masing-masing sebanyak 100 kg/ha sedangkan insektisida yang digunakan adalah karbofuran yang berbentuk granular dengan dosis 30 kg/ha. Implemen yang digunakan adalah furrower dengan kapasitas kerja 0.5-0.6 ha/jam.

4. Penanaman Pada saat penanaman tebu, kondisi tanah yang dikehendaki lembab tapi tidak terlalu basah dan cuaca cerah. Untuk saat ini tanam tebu lahan kering yang paling tepat adalah masa pancaroba yakni akhir musim kemarau sampai awal musim hujan atau sebaliknya. Menurut Tonny Kuntohartono dkk. (1976). Untuk daerah kering (tipe iklim C dan D Schimdt-Fergusson) saat tanam adalah antara pertengahan Oktober-Desember, sedang pada daerah basah (tipe iklim B) adalah awal musim kemarau. Pada daerah dengan musim kemarau panjang (daerah kering) tebu ditanam sebagai bibit stek mata tiga dengan jumlah 8-9 mata tunas per meter juringan (15.00020.000 stek per hektar) atau pada prinsipnya mengarah pada jumlah mata tumbuh 40.000-45.000 per hektar. Stek tebu diletakkan pada dasar juringan dengan jarak tanam 1,25-1,35 m. Pada daerah dengan musim kemarau pendek, digunakan stek 3 mata ditanam, bersentuh ujung (end to end) atau tumpang tindih (overlapped 20 percent) pada dasar juringan yang dangkal. Pada keadaan yang mendesak dan kekurangan tenaga dapat dipakai tebu lonjoran dengan 5-6 mata, dipotong menjadi dua. Untuk menghindari penyulaman yang membutuhkan biaya besar, kebutuhan bibit yang akan ditanam adalah 11 mata tumbuh per meter juringan. Bibit ditanam

dengan posisi mata disamping dan disusun secara end to end (nguntu walang). Cara penanaman ini bervariasi menurut kondisi lahan dan ketersediaan bibit, perlu diketahui, pada umumnya kebutuhan air pada lahan kering tergantung pada turunnya hujan sehingga kemungkinan tunas mati akan besar. Oleh karena itu, dengan over lapping atau double row, tunas yang hidup disebelahnya diharapkan dapat menggantikannya. Pada prinsipnya persiapan bibit yang ditanam di areal lahan kering sama dengan yang ditanam di sawah. Namun karena kondisi yang terlalu kering kadang dipakai pula bagal mata empat. Waktu tanam tebu di lahan kering terdiri dari dua periode, yaitu. Periode I Menjelang musim kemarau (Mei Agustus) pada daerah daerah basah dengan 7 bulan basah dan daerah sedang yaitu 5 6 bulan basah, atau pada daerah yang memiliki tanah lembab. Namun dapat juga diberikan tambahan air untuk periode ini. Periode II Menjelang musim hujan (Oktober November) pada daerah sedang dan kering yaitu 3 4 bulan basah. Cara penanaman tebu bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut : bibit yang telah diangkut menggunakan keranjang diecer pada guludan agar mudah dalam mengambilnya, kemudian bibit ditanam merata pada juringan/kairan dan ditutup dengan tanah setebal bibit itu sendiri, untuk tanaman pertama pada lahan kering biasanya cenderung anakannya sedikit berkurang dibandingkan tanah sawah (reynoso), sehingga jumlah bibit tiap juringan diusahakan lebih apabila dibandingkan dengan lahan sawah ( 80 ku), dan apabila pada saat tanam curah hujan terlalu tinggi, diusahakan tanam dengan cara glatimong up (bibit sedikit terlihat).

5. Pemeliharaan Pemeliharaan secara mekanis ( Mechanical maintanance)

Pemeliharaan tanaman secara mekanis merupakan pemeliharaan tanaman yang dalam aplikasinya mengunakan peralatan-peralatan mekanik. Adapun kegiatan pemeliharaan secara mekanik adalah sebagai berikut : 1. Pengeprasan tunggul Pengeprasan tunggul dilakukan setelah tanaman tebu ditebang dengan tujuan agar tunas yang tumbuh berasal dari perakaran tebu sehingga perakaran tebu lebih kuat selain itu

agar tunas yang tumbuh lebih banyak dan seragam sehingga pertumbuhan tebu menjadi seragam. Implemen yang digunakan adalah stable saver yang terdiri dari sebuah plat lingkaran dengan enam mata pisau pemotong dan rantai disekeliling implemen. Implemen ditarik menggunakan traktor kecil 80 HP dengan kapasitas kerja 0.5 ha/jam.

2.

Pemupukan

Pemupukan bertujuan untuk memberikan tambahan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi tanaman tebu dalam jumlah yang cukup dan berimbang, selain itu juga untuk merangsang pertumbuhan dan menstimulasi perkembangan akar. Berdasarkan waktu aplikasi, pemupukan dibedakan dua kali, yaitu pemupukan sekali dan pemupukan bertahap. Dosis pupuk yang diberikan harus sesuai dengan jumlah yang mencukupi untuk tanaman. Untuk mengetahui kebutuhan hara tanaman dan menentukan dosis pupuk dilakukan analisis tanah dan analisis daun. Selain itu penentuan dosis pupuk juga berdasarkan hasil percobaan pemupukan yang dilakukan. Pertimbangan yang diambil adalah jumlah pupuk yang diberikan paling sedikit tetapi dapat memberikan produksi yang tinggi. Jenis pupuk yang digunakan PT GPM antara lain Urea (40% N), KCl (60% K2O), TSP (40 % P2O5), dan ZA (24 % N). Sebelum aplikasi, pupuk yang akan digunakan dicampur terlebih dahulu agar pupuk menjadi homogen sehingga memudahkan aplikasi. Pencampuran pupuk dilakukan pada hari yang sama dengan waktu aplikasi setelah dosis pupuk ditentukan. Pupuk dicampur di tempat pencampuran pupuk setelah dicampur, pupuk lalu didistribusikan ke areal yang akan dipupuk. Kemudian pupuk tersebut dituangkan ke dalam corong penampung Fertilizer Aplicator (FA).

Pemeliharaan secara manual (Manual maintanance)

Pemeliharaan tanaman tebu secara manual merupakan pemeliharaan yang sebagian besar dilakukan menggunakan tenaga manusia. Adapun kegiatan pemeliharaan yang termasuk pemeliharaan secara manual adalah sebagai berikut : 1. Penyulaman Penyulaman bertujuan untuk menggantikan bibit tebu yang tidak tumbuh, sehingga diperoleh populasi tebu yang optimal, baik pada tanaman tebu baru maupun keprasan. Penyulaman dilakukan 30-40 hari setelah tanam (HST) untuk tanaman baru

tanaman replanting, sedangkan untuk tanaman keprasan penyulaman dilakukan paling lama 5 hari setelah tebang. Untuk tanaman keprasan sebelum penyulaman dilakukan pembakaran sampah atau serasah sisa tebang dan pengeprasan tunggul. Kegiatan pembakaran sampah dilakukan paling lambat 3 hari setelah tebang dan diikuti dengan pengeprasan tunggul. Bibit sulaman yang digunakan harus diklentek dan dipotong menjadi 2-3 mata tunas. Penyulaman dilakukan pada baris tanaman yang gapnya lebih dari 40 cm. Bila penyulaman pertama gagal, maka sesegera mungkin dilakukan penyulaman ulang sekitar 30 hari setelah sulam pertama, sedangkan untuk tanaman ratoon penyulaman ulang dapat dilakukan setelah penyemprotan pre emergence sekitar 1.5 bulan setelah tebang. Pelaksanaan penyulaman untuk tanaman baru atau RPC dilakukan oleh kontraktor tanam, sedangkan untuk tanaman keprasan dilakukan oleh tenaga harian. Kebutuhan tenaga kerja untuk pelaksanaan sulaman tergantung dari presentase gap (barisan tanaman kosong). Kegiatan penyulaman membutuhkan tenaga kerja 6 HOK/ha.

2. Pengendalian gulma Gangguan gulma merupakan salah satu kendala yang cukup serius dalam pembudidayaan tanaman tebu. Gulma selalu menjadi masalah dalam persaingan pengambilan hara, air dan cahaya dengan tanaman tebu, sehingga dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada tanaman tebu yaitu terhambatnya pertumbuhan tanaman dan penurunan produksi. Selain itu pertumbuhan gulma yang tak terkendali menyebabkan lingkungan pertumbuhan tebu menjadi kotor sehingga dapat meningkatkan serangan hama dan penyakit. Pengendalian gulma di PT. Gula Putih Mataram dilakukan secara manual dan kimiawi. Pengendalian gulma secara manual terutama dilakukan pada gulma merambat, gulma berkayu, atau gulma berumbi seperti rayutan (Micania micrantha), kedelaian, parean (Momordica charantia), puyangan (Curcuma sp.) dan sebagainya. Untuk serangan gulma merambat, penyiangan gulma secara manual menjadi sangat penting karena sifat gulma yang merambat dan melilit tanaman tebu menyebabkab tanaman tebu mudah roboh serta menyulitkan kegiatan pemeliharaan seperti klentek , penyemprotan post emergence bahkan menyulitkan penebangan tebu. Peralatan yang digunakan dalam penyiangan gulma diantaranya golok, sabit, cangkul, kored, dan sebagainya. Kapasitas kerja untuk penyiangan gulma terutama gulma

merambat yaitu untuk serangan ringan (3 orang/ha), serangan sedang (5 orang/ha), dan serangan berat 15 orang/ha). Penyemprotan post emergence bertujuan untuk mengendalikan gulma pasca tumbuh dengan herbisida. Penyemprotan post emergence dilakukan dalam dua tahap yaitu penyemprotan post emergence I dan penyemprotan post emergence II. Penyemprotan ost emergence I dilakukan pada saat tanaman tebu berumur 1-2 bulan dengan menggunakan herbisida yang bersifat sistemik, sedangkan penyemprotan post emergence II dilakukan pada tanaman berumur 5-6 bulan dengan menggunakan herbisida yang bersifat kontak, hal ini karenakan tebu muda sangat rentan terhadap herbisida kontak, apabila digunakan herbisida kontak dapat menyebabkan kerusakan kematian pada tebu. Jenis dan dosis pemberian herbisida disesuaikan dengan jenis gulma dan tingkat serangan gulma, penyemprotan dilakukan sebelum gulma berbunga. Penyemprotan post emergence sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari, hal ini dilakukan untuk menghindari penguapan dan penguraian herbisida yang akan mengurangi efektifitas kerja herbisida.

3.

Pengendalian Hama Hama dominan yang menyerang tanaman tebu diantara penggerek pucuk,

penggerek pucuk, kutu perisai, kutu buku babi, kutu bulu putih. Pengamatan serangan hama dilakukan seminggu sekali untuk mengetahui populasi dan tingkat serangan hama untuk selanjutnya dapat ditentukan upaya penanggulangan dari serangan hama yang terjadi di lapang. Pengendalian hama yang dilakukan di PT Gula Putih Mataram dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara kimiawi, mekanis, dan biologis. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan insektisida sistemik yang berbahan aktif carbofuran. Pemberian carbofuran dilakukan bersamaan dengan kegiatan pemupukan, dengan dosis pemberian pertama 30 kg/ha dan pemberian kedua 45 kg/ha. Pemberian karbofuran dimaksudkan untuk mencegah serangan penggerek batang, penggerek pucuk, dan uret. Pengendalian secara mekanik diakukan manual dengan tenaga manusia, kegiatan ini dikenal dengan klentek atau kegiatan membuang pelepah daun tebu yang telah kering. Klentek dilakukan untuk mengatasi serangan hama kutu perisai, kutu bulu babi dan kutu bulu putih. Alat yang digunakan adalah ganco dan kapasitas kerjanya sekitar 25 orang/ha.

Pengendalian hama secara biologis dilakukan dengan cara menggunakan musuh alami dari hama tersebut. Pengendalian secara biologis dilakukan dengan cara pemasangan pias di areal. Pias merupakan kumpulan telur dari musuh alami hama, pias dipasang pada daun tebu dengan jumlah sekitar 12 lembar/ha. Pemasangan pias ini dilakukan untuk menanggulangi serangan hama penggerek pucuk dan penggerek batang.

6. Pemanenan Pemanenan merupakan kegiatan akhir dari budidaya tebu, kegiatan ini bertujuan untuk mengambil tebu dalam jumlah yang optimal dari setiap petak tebu, mengangkut dan memuat tebu yang ada dilahan ke pabrik, dan mempertahankan hasil gula (pol) potensial yang terdapat dalam tanaman tebu. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan penebangan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan tebang, dan tahap bongkar muat. 1. Tahap persiapan tebang (Estimasi produksi tebu). Estimasi produksi tebu dilakukan untuk mengetahui potensi tebu yang tersedia (TCH). Data estimasi produksi digunakan untuk menghitung jumlah tebu yang akan ditebang per hari atau per bulan, waktu tebang angkut, jumlah tenaga kerja, dan jumlah peralatan yang perlu disediakan. Perencanaan program tebang. Perencanaan program tebang merupakan pedoman dalam menentukan pengaturan pelaksanaan kegiatan tebang. Dalam membuat perencanaan program tebang terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya, luas aral tebu yang akan ditebang, waktu giling tebu, kapasitas pabrik, umur tanaman tebu, estimasi produksi, distribusi varietas, distribusi RPC dan RC yang seimbang, dan perencanaan sumber daya manusia dan angkutan yang digunakan untuk mempertahankan kualitas bahan baku. Diperlukan koordinasi yang baik dengan divisi dalam pengaturan dan pelaksanaan program tebang. Aplikasi zat pemacu kemasakan (Rippenner). Rippenner merupakan kegiatan pemberian zat pemacu kemasakan atau hormon untuk

mempercepat pemanenan. ZPK (zat pemacu kemasakan merupakan zat yang termasuk zat penghambat tumbuh sistesis yang berfungsi sebagai pengatur tumbuh tanaman.aplikasi rippenner biasanya dilakukan pada saat 28-35 hari sebelum tebang. Aplikasi ZPK dilakukan dengan cara disemprot menggunakan pesawat terbang ringan jenis Air tractor AT-502 B dengan bahan bakar aftur. Penentuan kemasakan tebu. Penentuan kemasakan tebu dilakukan untuk menentukan periode kemasakan optimal tebu setelah aplikasi ZPK dan memperkirakan waktu dimulainya tebangan. Untuk menentukan kemasakan tebu dilakukan analisas kemasakan tebu (maturity test) sehingga dapat diperoleh data kandungan pol, brix, serta purity (perbandingan pol dan brix) dari setiap petak tebu.

2. Pelaksanaan penebangan Sebelum dilakukan penebangan terlebih dahulu dilakukan pembakaran tebu untuk mempermudah kegiatan penebangan. Pembakaran tebu biasanya dilakukan dalam dua tahap, hal ini dilakukan untuk menjaga kesegaran tebu dan disesuaikan dengan kapasitas tenaga kerja. Pembakaran tebu dilakukan dengan menggunakan cane lighter yang berbahan bakar campuran avtur dan bensin, serta diperlukan unit pemadaman kebakaran (PMK) untuk mencegah menjalarnya api ke petak yang tseharusnya tidak dibakar. Pembakaran tebu dilakukan berlawanan dengan arah angin. Bundle cane. Sistem bundle cane merupakan sistem tebangan tebu yang dalam pelaksanaan tebang, ikat, dan angkut tebu dilakukan secara manual dan pengangkutan tebu ke pabrik dilakukan dengan menggunakan truk terbuka. Tenaga tebang yang merupakan tenaga rombongan yang terdiri dari 7-15 orang. Tiap rombongan mampu menyelesaikan 4-5 baris tanaman. Ikatan tebu ditumpuk pada baris ke 3 dan 4. Penebangan dengan sistem bundle cane diterapkan pada areal yang hendak diratoon karena kerusakan lahan lebih kecil dan dapat dilaksanakan pada kondisi basah. Kekurangan sistem bundle cane adalah tenaga tebang sulit diperoleh dan kualitas hasil tebangan berfluktuasi tergantung pengawasan di lapangan.

3.

Pembayaran tenaga tebang

menggunakan sistem tonnage yang artinya dibayar berdasarkan berat hasil tebu yang ditebang.

4. Loose cane. Sistem ini merupakan sistem penebangan dengan kegiatan tebang dilakukan secara manual namun dalam pengangkutan ke atas truk dilakukan secara mekanik yaitu pada saat pengangkutan di areal menggunakan grab loader. Sedangkan pengangkutan ke pabrik menggunakan trailer atau truck tebu. Dalam perhitungan upah kapasitas kerja penebang dihitung dalam hektar dengan satuan K (1 K = areal tebangan yang ditebang sebanyak 8 baris double row sepanjang 15 m) perharinya seorang penebang mampu mencapai 2 K. tenaga tebang dibayar berdasarkan luasan areal tebu yang ditebang dengan sistem penumpukan 8:1 artinya 8 baris tanaman yang ditebang ditumpuk pada satu tumpukan yaitu pada baris ke 4 dan 5. Keuntungan dari sistem loose cane adalah luas areal yang ditebang lebih luas dan pengiriman tebu ke pabrik relatif lebih besar lebih kontinyu. Kekurangan sistem loose cane adalah kehilangan tebu lebih besar dibandingan sistem bundle cane dan kerusakan lahan lebih besar karena penggunaan alat berat di areal. Pelaksanaan sistem loose cane cendrung dilaksanakan pada areal yang akan di RPC

5. Gleaning. Gleaning merupakan kegiatan membersihkan tebu yang tertinggal di lahan yang dipanen dengan sistem tebu urai atau tebu yang jatuh di jalan saat pengangkutan tebu ke pabrik. Kapasitas kerja gleaning adalah 3 orang/ha.

6. Bongkar muat Kegiatan ini merupakan proses yang dilakukan di pabrik untuk menumpuk dan menurunkan tebu yang diangkut dari areal sebelum dimasukkan ke tempat pencacahan dan penggilingan. Kegiatan ini dilakukan pada areal yang disebut cane yard. Pembongkaran tebu dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 7. Menggunakan lifter.

Penggunaan mesin ini dkhususkan untuk trailer dan tronton pada tebangan sisten loose cane dengan cara mengaitkan pangkat di besi yang telah dihubungkan dengan rantai yang berada di bawah tebu kemudian diangkat dan tebu dimasukkan ke table carry cane .

8. Menggunakan feeding table. Biasanya digunakan pada loose box truck dengan cara mengaitkan muka truck dengan rantai kemudian permukaan tempat berpijak truk diangkat hingga muatan yang ada di dalam box keluar semua diperkirakan sudut yang dibentuk lebih dari 450 dan tebu langsung jatuh ke table carry can.

9. Menggunakan cane stacker. Biasanya digunakan pada truk untuk muatan bundle cane yaitu dengan mendorong tebu dengan cane stacker dan tebu jatuh ke areal cane yard dikumpulkan dan ditumpuk dahulu baru kemudian dimasukkan ke table carry cane menggunakan cane stacker.

7. Pengolahan Gula Proses pengolahan tebu terdiri atas beberapa tahap yaitu persiapan (cane preparation), pemerahan/penggilingan (cane milling), pemurnian dan penguapan (clarification and evaporation), pengkristalan dan pemisahan (cyristalization/boiling and centrifugal), pengeringan dan pendinginan (dryer and cooler), serta penimbangan dan pengemasan (weighing and bagging). 1. Persiapan (cane preparation) Tebu yang telah dipanen dan diangkut, sebelum masuk kedalam pabrik terlebih dahulu dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat/jumlah tebu yang akan digiling, setelah itu tebu ditampung di emplasment (cane yard). Kapasitas cane yard sekitar 20-30% dari kapasitas giling. Tebu yang berada di cane yard dimasukkan kedalam meja tebu (feeding table) dengan menggunakan alat stacker, kemudian tebu melewati krepyak (intermediate cane carrier) menuju pisau pencacah (cane cutter I dan carrier) sehingga tebu akan menjadi cacahan yang lebih kecil. Tebu yang telah dicacah kemudian masuk ke mesin penghancur (cane hammer shedder) sehingga

menjadi serpihanserpihan halus yang siap diperah. Pada tahap ini belum ada nira tebu (juice) yang terperah. 2. Pemerahan/penggilingan (cane milling) Tebu yang menjadi serpihan halus dengan melewati krepyak menuju

pemerahan/penggilingan yang berulang-ulang sehingga akan diperoleh nira tebu (mixed juice). Jumlah tandem gilingan di PT. Gula Putih Mataram berjumlah 5 tandem/5 mill dengan masing-masing mill mempunyai 4 roll. Dari hasil pemerah dihasilkan nira dan ampas (bagasse), bagasse yang sudah tidak mengandung nira digunakan untuk bahan bakar boiler sebagai penghasil uap (steam) yang berfungsi untuk penggerak turbin , memasak nira tebu dan pembangkit tenaga listrik. 3. Pemurnian dan penguapan (clarification and evaporation). Nira tebu (mixed juice) hasil pemerahan setelah penambahan asam phosphate akan melewati flow rate untuk mengetahui jumlah juice yang diperoleh, menuju alat pemanas (juice heater) yang akan dipanasi pada suhu 750 untukmematikan mikroorganisme. Kemudian juice dipompa menuju tanki sulphitasi (juice sulphitator) untuk ditambah gas SO2 sehingga pH menjadi 6.8-7.2 (sulphured juice). Kemudian juice dipanaskan kembali ke juice pada suhu 1050C, menuju alt pengembang (flash tanck) untuk dibuang gas-gas yang ada didalam juice, selanjutnya ditambah bahan pembant penggumpal yaitu flocculant dan diendapkan atau dilakukan pemurnian (clarification). Dari hasil pemurnian dihasilkan nira jernih (clear juice) dan lumpur juice (mud). Lumpur juice/mud dipompa menuju alat penapis (vacuum filter) sehingga diperoleh blotong (filter cake) dan nira tapis (filtrate juice). Nira tapis akan dikembalikan ke tanki pengapuran untuk diolah kembali, sedang clear juice dipompa untuk diupkan ke badan penguapan (evaporator) sehingga akan diperoleh nira kental (raw syrup). 4. Pengkristalan dan pemisahan (crystallization (boiling) and centrifugal) Pemasakan gula di PT. Gula Putih Mataram dilakukan dengan 3 tingkatan yaitu A B C. Tingkatan pemasakan ini bertujuan untuk menekan kehilangan hasil yang terikut dalam tetes tebu (final molasses). Jumlah tingkatan pemasakannnya didasarkan atas kualitas bahan baku tebu, jika kualitas bahan baku rendah cukup memakai sistem 3 tingkat dan jika kualitas bahan baku tinggi memakai 4 tingkat.

5. Pengeringan dan pendinginan (dryer and cooler) Gula yang telah terpisah kemudian masuk ke stasiun ini untuk dikeringkan dan didinginkan. dengan menggunakan alat berupa drayer dan cooler selanjutnya akan dipisahkan gula dengan ukuran normal dari gula yang ukurannya tidak normal. Gula yang tidak normal akan dilebur kembali dan diproses ulang. 6. Penimbangan dan pengemasan (weighing and bagging). Gula yang berukuran normal selanjutnya dikirim ke tempat penimbangan dan pengemasan. Penimbangan gula dibagi menjadi beberapa ukuran diantaranya 50 kg, 1 kg, 0.5 kg dan selanjutnya dikemas dalam karung plastik maupun kantong plastik sesuai ukuran, dan kemudian akan disimpan ke dalam gudang penyimpanan.

8. Pascapanen a. Pengumpulan hasil panen dilakukan dengan cara diikat untuk dibawa ke pengolahan. b. Penyortiran dan penggolongan syarat batang tebu siap giling supaya rendeman baik : Tidak mengandung pucuk tebu Bersih dari daduk-daduk (pelepah daun yang mengering) Berumur maksimum 36 jam setelah tebang. Kemudian hasil panen tersebut diangkut dengan menggunakan truk yang ada baknya (truk box), hal tersebut berkaitan dengan hasil tebangan Cane Harvester berbentuk potongan dengan panjang 20 30 cm. Pada saat pembongkaran muatan, tebu dengan tebangan Chopped Cane harus diprioritaskan, tebu langsung ditampung di meja tebu (feeding table).

PEMASARAN DAN TATANIAGA TEBU

1. Pengelola Perkebunan Tebu Usaha pembibitan (kebun bibit datar, KBD) antara lain dilakukan oleh perusahaan besar, baik PTPN maupun perusahaan swasta serta Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Untuk PTPN, usaha pembibitan yang dilakukan dimaksudkan untuk memenuhi PTPN sendiri serta untuk pekebun tebu rakyat. Untuk di Jawa di mana PTPN lebih banyak mengandalkan tebu rakyat, usaha pembibi tan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan tebu rakyat. Berbeda dengan usaha pembibitan pada umumnya, pembibitan tebu memerlukan areal yang relatif luas. Hal ini dikarenakan satu ha KBD akan menghasilkan bibit hanya untuk sekitar 7-8 ha tanaman. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab harga bibit tebu relatif mahal, yaitu Rp 1,51,7 juta per ha tanaman. Perkembangan produksi yang cenderung menurun tidak bisa juga terlepas dari kinerja Pabrik Gula (PG) dan berdampak pula pada keberadaan PG. Sampai dengan tahun 2004, PG yang beroperasi adalah 58 PG yang terdiri dari 51 PG BUMN dan 7 PG swasta. Lokasi PG menyebar di delapan propinsi dengan Jawa Timur sebagai sentra utama yaitu 32 PG yang masih aktif. Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki 8 dan 5 PG. Untuk luar Jawa, Lampung menempati peringkat pertama dengan 5 PG diikuti oleh Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Gorontalo masing-masing 3 PG, 2 PG, 1 PG, dan 1 PG. Pada dekade terakhir, kinerja PG cenderung menurun. Di samping disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak mencapai standar. Sebagai contoh, PG-PG yang ada di Jawa mempunyai kapasitas giling 23,8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling). Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12,8 juta ton sehingga PGPG di Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46,2%. Selanjutnya, PG diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14,2 juta ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8,6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39,4%. Hal ini memberikan indikasi bahwa PG-PG di Jawa perlu melakukan konsolidasi dan rehabilitasi. Berkaitan dengan produk derivat tebu (PDT), pabrik gula di Indonesia sebenarnya sudah sejak awal merintis produksi produk derivat tebu (PPDT), namun

pengembangannya kalah cepat dengan investor swasta. Sebelum berbagai jenis PPDT berkembang seperti saat ini, pada tahun 1960 telah ada 4 pabrik alkohol/spiritus yang dimiliki industri gula. Pada saat ini sudah ada sekitar 45 buah pabrik PDT dengan 14 jenis produk derivat tebu. Diantara jumlah tersebut sekitar 9 buah pabrik yang dimiliki industri gula. Adapun jenis produk PDT yang diproduksi secara komersial saat ini meliputi satu jenis produk dari kelompok produk pucuk tebu, lima jenis produk dari kelompok produk ampas tebu dan delapan jenis produk dari kelompok produk tetes (Tabel1). Tabel 1. Jenis produk PDT di Indonesia (Balitbangtan, 2007) No. Kelompok Jenis produk

1. 2.

Pucuk tebu Produk ampas

- Wafer pucuk tebu - Jamur - Kertas - Papan partikel - Papan serat - Kampas rem

3.

Produk tetes

- Alkohol - Asam asetat - Ethyl asetat - Asam glutamat - MSG - L-Lysine - Ragi roti - C02 padat/cair

2. Kelembagaan Mengembangkan kelembagaan-kelembagaan di atas sebagai landasan gerak pengembangan agribisnis bagi para petani di perdesaan bukanlah merupakan hal yang mudah dan sederhana. Dibutuhkan dukungan kebijakan pemihakan yang lebih kuat, tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya (the under privileged). Kebijakan yang bersifat netral saja tidak

cukup dalam pembangunan pertanian dan agribisnis, karena dibutuhkan pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat (petani) yang merupakan bagian terbesar di lapisan bawah. Untuk itu, pemerintahan memang harus mampu mengatasi hambatan psikologis, karena seringkali birokrasi strata atas di banyak negara berkembang seperti Indonesia umumnya merupakan kelompok elit suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan diri atau mengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang. Disamping kelembagaan kemasyarakatan, juga terdapat kelembagaan ekonomi seperti, BRI Unit, Kospin Jasa, KUD dan KPTR Raksa Jaya yang merupakan koperasi milik komunitas petani tebu. Koperasi petani tebu misalnya di kelurahan Paduraksa merupakan koperasi yang spesifik, karena hanya melayani keperluan-keperluan petani tebu, baik petani tebu sebagai anggota maupun petani tebu bukan anggota yang memerlukan pelayanan dari koperasi. KPTR Raksa Jaya didirikan pada tahun 1999 atas keinginan petani tebu di kelurahan paduraksa dan sekitarnya sebagai wadah petani tebu lahan kering. Dalam perkembangannya koperasi tersebut, akhirnya mewadahi petani tebu di wilayah kerja pabrik gula Sumberharjo yang berkeinginan untuk bergabung dengan koperasi.

3. Tataniaga Tebu Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam tataniaga tebu ini adalah fungsi pertukaran dilakukan oleh lembaga tataniaga dan petani tidak melakukan kegiatan pembelian. Pada saluran I dan II petani melakukan fungsi fisik yaitu pegangkutan. Fungsi fisik penyimpanan dilakukan APTRI dan pedagang sari tebu. Fungsi fasilitas penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar dilakukan pada setiap lembaga tataniaga. Fungsi sortasi dilakukan petani dan kontraktor tebu. Fungsi pengolahan dilakukan oleh pedagang sari tebu yang mengolah tebu menjadi minuman sari tebu. Struktur pasar yang dihadapi petani, kontraktor tebu dan pedagang sari tebu mendekati pasar persaingan karena terdapat banyak penjual, barang yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk keluar dan masuk pasar. Pasar oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani karena sedikitnya penjual, sifat produk homogen dan ada kesulitan untuk keluar masuk pasar.

Perilaku pasar dapat dilihat dari praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antara lembaga tataniaga. Praktek pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara langsung. Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah melalui tawar menawar antara petani dan lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan kontraktor tebu berdasarkan harga lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah. Pembayaran hasil penjualan dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama antar lembaga tataniaga dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan. Tata niaga gula, mekanisme pasar berjalan secara sempurna yaitu antara penjual dan pembeli mempunyai nilai tawar yang seimbang, penjualan gula dilakukan melalui pasar lelang terbuka sehingga siapapun penawar tertinggi, ia yang memperoleh barang. Proses lelang dilaksanakan melalui Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) di tingkat Provinsi Jawa Tengah. Pemasaran tidak terbatas pada pasar lokal, penjualan gula (lelang) ditingkat regional sedangkan pembeli dapat berasal dari lokal, regional maupun nasional. Penjualan gula melalui lelang tersebut merupakan kesepakatan antara PT. Perkebunan Nasional IX (PTPN IX Persero) dengan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) dimana dalam kesepakatan tersebut antara lain mengatur, 1) Pemasaran dilaksanakan melalui sistem dana talangan, 2) APTRI menjual gula dengan sistem tender/lelang di Semarang oleh panitia lelang, 3) Dana talangan oleh investor sesuai kesepakatan APTRI dan Investor diketahui PTPN IX (Persero).

SUMBER : Balitbangtan. 2007. PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEBU. Edisi Ke Dua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 2007 Anonym. 2012. Cara Budidaya Tebu Lengkap. (Diakses 31

http://forester84.blogspot.com/2012/05/cara-budidaya-tebu-lengkap.html Maret 2013)

Deptan. 2012. Perkebunan Budidaya Tebu. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/wpcontent/uploads/2012/08/perkebunan_budidaya_tebu.pdf Anoym. 2012. Pelaksanaan Budidaya Tebu. Melalui : http://repository.ipb.ac.id. (Diakses 23 Maret 2013) Deptan. 2012. Budidaya Tebu. Melalui : http://ditjenbun.deptan.go.id. (Diakses 23 Maret 2013) Anonym. 2008. Jurnal Penelitian Tebu Kelurahan Paduraksa Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang. (Diunduh 31 Maret 2013)

You might also like