You are on page 1of 17

HUBUNGAN DENGAN TULANG

RIWAYAT KEJADIAN

ASUPAN FRAKTUR TIBIA DI

dalam darah untuk memenuhi 500 mg. Hal ini diatur oleh hormone paratiroid/ PTH, dan tirokalsitonin dari kelenjar tiroid. Ketidak seimbangan antara jumlah kalsium yang diserap dan jumlah kalsium yang dilepas dalam jangka waktu yang lama, maka persediaan kalsium di dalam tulang akan menipis dan menyebabkan rendahnya massa ( 2 ). Penyimpanan mineral dalam tulang akan mencapai puncaknya sekitar umur 2030 tahun. Pada massa ini jika massa tulang tercapai dengan kondisi maksimal akan dapat menghindari terjadinya osteoporosis pada usia lanjut dan massa tulang wanita mulai berkurang pada umur 35 tahun. Pencapaian puncak massa tulang akan menjadi rendah jika dan individu minum kurang kalsium alkohol. 1,5-1 % berolahraga, rendah,merokok Kepadatan tulang konsumsi menyusut tulang dan kepadatan tulang, sehingga meningkatkan resiko osteoporosis

PROTEIN, KALSIUM DAN PHOSPOR FEMUR ATAU

POLIKLINIK ORTOPEDI DI RSUD ULIN BANJARMASIN TAHUN 2010 Mahpolah, M.Kes, Rijanti A, DCN., M.Kes, Magdalena, A, M.Kes PENDAHULUAN

Salah satu masalah kesehatan yang perlu adalah mendapatkan masalah perhatian serius osteoporosis.

Osteoporosis atau tulang keropos adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya kepadatan massa tulang yang menyebabkan tulang rapuh dan mudah patah. Diperkirakan dalam kehidupan manusia resiko terjadinya fraktur >40% pada wanita dan 13% pada pria. Penyakit ini sebenarnya banyak terjadi pada masa usia lanjut, namun dapat terjadi pada usia muda (25 tahun) (1 ). Tulang sebagai tempat mempunyai persediaan peranan kalsium.

pertahun hingga masa menopause dan sepanjang 5 tahun pasca menopause laju penyusutan tulang meningkat menjadi 3-5 % (3,4). Berdasarkan penelitian oleh Puslitbang Gizi dan Makanan tahun 2002 , rata-rata konsumsi kalsium masyarakat Indonesia hanya 254 mg/hari, oleh karena itu Depkes RI pada Konferensi pers Walls MOO tahun 2007 menyatakan kebutuhan kalsium anak usia 1-3 tahun sebanyak 500 mg , uisa 4-15 tahun sebanyak 700 mg/hari dan orang dewasa untuk mencegah 1

Sekitar 99% kalsium terdapat dalan tulang dan gigi, 1% sisanya dalam cairan tubuh dan jaringan lunak. Agar tubuh dapat berfungsi dengan baik, maka tingkat kalsium yang konstan harus tetap terjaga di dalam plasma darah. Pada orang dewasa sehat, terjadi perputaran kalsium yaitu 500 mg kalsium masuk ke tubuh dan 500 mg yang dilepas oleh tulang setiap hari. Oleh karena itu apabila asupan kalsium tidak memadai maka tulang akan melepaskan kalsium ke

osteoporosis sebesar 800-1200 mg/hari (3). Berdasarkan data Riskesda 2007 angka kejadian fraktur tulang di Indonesia sebesar 4,5% dan Kalimantan Selatan sebesar 2,2%. Data Perosi 2007 didapatkan resiko osteoporosis usia 50 tahun ke atas sebesar 32.3% wanita dan 28,8% pria . Kasus osteoporosis tahun 2005 di Jakarta yaitu pada fraktur tulang femur/paha sebanyak 14,7% dan di Surabaya tangan belakang. Pada tahun 2007 di Kota Banjarmasin pernah dilakukan survey tingkat resiko. dengan hasil 32,1% resiko kasus ringan, 50,8% resiko kasus sedang dan 17,08% resiko kasus berat. Data tersebut menggambarkan resiko pada sudah ada kecenderungan osteoporosis Banjarmasin ( 5,6). Sementara data konsumsi protein di Indonesia rata-rata sebanyak 55,5 26,4 gr, Kalimantan Selatan 58,7 25,6 gr per kapita perhari. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat daya beli untuk makanan khususnya sumber protein pada masyarakat Kalimantan Selatan berada di atas data nasional. Berdasarkan data BPS tahun 2009, tingkat konsumsi riil perkapita di Kota Banjarmasin tahun 2007 dan 2008 mengalami kenaikan sebesar 0,79% dari terjadinya masyarakat sebanyak dan 2,73% 16,78% fraktur fraktur tulang panggul, 18.15% fraktur pergelangan

Rp 633.870,- menjadi

Rp 638.870,-.

Tingkat konsumsi riil perkapita memberikan gambaran tingkat daya beli masyarakat dan dapat mempengaruhi derajat kesehatan . Tingkat tingkat konsumsi standar hidup pengeluaran layak yang makan/kapita sebagai salah satu ukuran dikelompokkan menjadi pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran non makanan. Pada tahun 2008 pengeluaran untuk makanan sebesar 42,85% tahun 2007 yaitu 49,17% (7). Peningkatan penting sekali diperhatikan konsumsi terutama pengeluaran/kapita untuk konsumsi pangan konsumsi akan sumber protein protein, kalsium, phospor karena telah diketahui mempunyai efek pada tulang. Pencegahan yang dapat dilakukan melalui makanan adalah meningkatkan kalsium konsumsi pangan akan efektif bila sumber protein, kalsium, dan Phospor. Konsumsi perbandingan dengan phospor tidak lebih dari 2:1. Selain itu perlu menghindari makanan yang menghambat penyerapan kalsium seperti merokok, menilai food minuman asupan dengan frekuensi beralkohol, kopi, oksalat (1, 2). Beberapa protein, menggunakan peneliti metode kalsium dan phospor menurun dari

quesioner semi kuantitatif menyebutkan bahwa asupan kalsium ada hubungannya dengan densitas tulang. Hasil yang diperoleh tidak berbeda dengan metode recall 3 X 24 jam (8,9).

Pada

penilaian

asupan

protein,

ketahun. Pada poli rawat jalan tahun 2006 terdapat 677 kasus nyeri tulang dan fraktur dengan rata-rata kunjungan perhari 2 pasien .Pada tahun 2007 terjadi peningkatan kasus nyeri tulang dan fraktur sebanyak 1326 ( 43,9%) , dengan rata-rata kunjungan perhari 3-4 pasien. Kasus terbanyak adalah pada kasus nyeri tulang belakang , fraktur tibia dan femur ( 11). Penelitian Prihartini, 2006 pada 3 propinsi Sulawesi Utara, Yogjakarta, proporsi Jawa risiko Barat didapat juga karena osteoporosis

kalsium dan phospor dengan dikontrol faktor pengganggu, dapat mencerminkan terpenuhinya kebutuhan kalsium dari tubuh. Hal ini agar tidak terjadi pelepasan kalsium tulang untuk memenuhi kalsium darah. Bila tanpa adanya gangguan produksi dari hormone paratiroid/ PTH, dan tirokalsitonin oleh kelenjar tiroid karena adanya suatu penyakit dapat menjadi gambaran apabila terjadi rendahnya asupan kalsium, protein dan phospor dalam jangka waktu lama, maka akan terjadi banyak pelepasan kalsium tulang untuk memenuhi kalsium darah tersebut (8,9,2). Selain itu faktor penyerapan kalsium dari makanan sebagai penyebab terjadinya keropos tulang, juga sangat dipengaruhi oleh jumlah asupan protein, phosphor, dan vitamin D dari makanan, serta berbagai faktor penghambat seperti adanya oksalat, asam pitat dari sayuran bayam dan serealia.Terlebih bagi wanita yang akan mulai masuk masa menopause. Akibat keropos tulang tersebut dapat menyebabkan terjadinya fraktur pada tulang paha (femur ) dan tulang kering (tibia). Hal ini akan menjadi penghalang bagi aktifitas seseorang yang masih produktif (10). Data dari RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2003-2006 kasus fraktur tulang yang dirawat di ruang ortopedi menduduki urutan ke 1 sampai dengan 6 dengan jumlah yang meningkat dari tahun

disebabkan asupan kalsium rendah adalah sebesar 22.3% (12). Berdasarkan alasan di atas, maka peneliti ingin menilai bagaimana hubungan riwayat protein, kalsium dan phosphor dengan kejadian fraktur tulang femur atau tibia di Poliklinik Ortopedi RSUD Ulin Banjarmasin. Adapun tujuan penelitian adalah: Menganalisis hubungan tingkat pengeluaran makan/ kapita, riwayat asupan tulang tibia atau femur di protein, Poliklinik Tahun kalsium dan phospor dengan kejadian fraktur Orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin 2010 dan menilai faktor resiko (OR).
METODE PENELITIAN

A. Lokasi penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dilaksanakan di poliklinik bedah ortopedi dan poli mata RSUD Ulin Banjarmasin B. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni s.d Agustus 2010 C. Desain penelitian Penelitian analitik dengan desain kasus dan kontrol penyebab dengan kejadian mengeksplorasi

peningkatan phospor, yang dapat

pankreatitis kadar

kronik, hipo dan hiperparatiroidisme mempengaruhi kalsium dalam darah rendah dan tinggi , dan tidak menderita hemofilia yaitu darah sulit berhenti (25). Kriteria ini dapat dilihat dari hasil laboratorium atau dengan menanyakannya merawat. Kontrol : Pasien yang ada di poliklinik mata RSUD Ulin tidak mengalami fraktur tulang femur atau tibia. Tidak mempunyai penyakit hipo dan hipertiroid, gagal ginjal kronik, hemophilia, pankreatitik kronik. Kriteria yang disamakan dengan kasus yaitu: jenis kelamin dan umur. F. Teknik pengumpulan data Teknik Pengumpulan data : a. Data primer: Identitas responden diperoleh dengan kuesioner. Riwayat asupan protein, kalsium dan phospor dengan menanyakan kebiasaan makan kurang lebih seminggu yang lalu sebagai gambaran menggunakan kepada dokter yang

fraktur tulang meliputi data identitas diri yaitu umur, jenis kelamin dan tingkat phospor. D. Instrumen penelitian Instrumen penelitian meliputi: 1.Formulir frekuensi makanan (FFQ semikuantitatif) 2.Formulir data pasien 3.Kuesioner E. Populasi dan sampel 1. Populasi adalah seluruh pasien yang berobat di Poliklinik RSUD Ulin Banjarmasin. 2. Sampel terdiri dari kasus dan kontrol Kasus yaitu: penderita fraktur tulang tibia atau femur yang berobat di poliklinik bedah Ortopedi RSUD Ulin Banjarmasin dengan kriteria inklusi: - Umur produktif: 30-55 tahun. - Bersedia sebagai subjek penelitian Kriteria eksklusi: - Pasien tidak menderita penyakit ginjal kronik dengan melihat kadar ureum, ke kreatinin dan cct yang lain karena ada menyebabkan kalsium darah dibuang jaringan pengeluaran makan/kapita, riwayat asupan protein, kalsium dan

kebiasaan responden. Diambil dengan menggunakan formulir FFQ semikuantitatif dan kuesioner (19).

Kurang b. Data sekunder: Gambaran responden mengenai jenis fraktur dan data klinis dengan melihat medical record pasien. Data jenis fraktur dan data klinis diperoleh pasien. G. Teknik pengolahan data: a. Data identitas responden: diolah dengan Meliputi: Distribusi responden menurut kelompk umur Distribusi responden menurut jenis kelamin Distribusi responden menurut tingkat makan/kapita Data riwayat asupan makan diolah tabel dengan distribusi menggunakan frekuensi. pengeluaran menggunakan tabel distribusi frekuensi. dari medical record

<

80%

kebutuhan

kalsium (640mr) Cukup : 80%-100% kebutuhan kalsium (640-800 mg) Lebih -Distribusi : >100% kebutuhan responden menurut kalsium (>800 mg) riwayat asupan phospor, yaitu|: Kurang : < 80% kebutuhan phospor (480 mg) Cukup : 80%-100% kebutuhan phospor (480-600 mg) Lebih : >100% kebutuhan phosphor (>600 mg) Data distribusi riwayat asupan protein, kalsium, phospor H. Analisis Data : ANALISI UNIVARIAT: Untuk mendapat gambaran distribusi frekuensi variabel independen yang beskala ordinal yaitu umur, tingkat pengeluaran makan/kapita, riwayat asupan protein, kalsium dan phospor pada responden. ANALISIS BIVARIAT: Untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen pada responden . Uji statistik yang digunakan yaitu Uji chi square dengan program komputer dengan p < 0.05: 1. Untuk melihat hubungan tingkat - Distribusi responden menurut riwayat asupan kalsium, yaitu: pengeluaran makan/kapita dengan kejadian fraktur femur atau tibia. dengan kejadian fraktur tulang tibia atau femur.

Distribusi responden menurut riwayat asupan protein, yaitu: Kurang : < 80% Kecukupan protein (<40 gr) Cukup : 80%-100% kecukupan protein (40-55 gr) Lebih : >100% Kecukupan protein (>55gr)

2. Untuk melihat hubungan riwayat asupan protein dengan kejadian fraktur femur atau tibia 3. Untuk melihat hubungan riwayat asupan kalsium dengan kejadian fraktur femur atau tibia 4. Untuk melihat hubungan riwayat asupan phospor dengan kejadian fraktur femur atau tibia. Pada desain kasus kontrol digunakan model regresi logistik ganda untuk mengetahui derajat hubungan yaitu Odd Rasio (OR) dengan membandingkan odds pada kelompok terekspos dengan odds kelompok tidak terekspos. ANALISIS MULTIVARIAT: Untuk menilai adanya interaksi pada semua variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama dan menganalisis faktor resiko yaitu: berapa seringnya terdapat paparan pada kasus dibandingkan kontrol dengan nilai Odd Ratio (OR) menggunakan model regresi logistic ganda.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Responden

dan

kontrol

yaitu

sebanyak

13

orang

perempuan dan 13 orang laki-laki. Sampel dan kontrol diperoleh dengan memperhatikan kriteria inklusi dan ekslusi, yaitu dengan cara mengamati hasil laboratorium dan menanyakan ke dokter. Hasil pemeriksaan kadar ureum, kreatinin, T3 dan 4 semua pasien tidak ada, karena hasil pemeriksaan klinis dokter tidak ada mengarah pada penyakit yang disebut dalam kriteria inklusi. Hasil penilaian kalsium darah diperiksa , yaitu semua masih batas normal yaitu antara 8.8-10.6 mg, yang berarti tubuh masih dapat mengusahakan sedemikian rupa sehingga kadar kalsium berada dalam keadaan normal. B. Keterbatasan penelitian. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah waktu penelitian terbatas dan untuk mencari kasus dengan fraktur bukan karena kecelakaan atau benturan keras sulit diperoleh, sehingga penelitian untuk kasus diambil semua kasus fraktur femur atau tibia yang datang ke poliklinik ortopedi dengan tetap memperhatikan kriteria eksklusi, yaitu tidak menderita gagal ginjal, hipertiroid, hemolisis yaitu dengan melihat hasil pemeriksaan kalsium darah. Penelitian pemeriksaan ini tidak urin dilakukan dapat

Penelitian ini dimulai pada bulan Juni sampai dengan Juli 2010 , bertempat di poliklinik Ortopedi dan poli mata RSUD Ulin Banjarmasin. Responden terdiri dari sampel dan kontrol berjumlah 26 orang dengan menyamakan jenis kelamin antara sampel

kalsium

untuk

mengetahui jumlah kalsium yang dapat diabsorpsi di saluran cerna, dan menilai bioavaibilitas absorpsi kalsium. Bila diketahui absorpsi kurang dari pemeriksaan kadar kalsium urin, dan kadar kalsium darah normal, maka dapat dipastikan sudah adanya 6

pelepasan kalsium dari tulang berarti terjadi gangguan keseimbangan kalsium dalam tubuh. Tidak dilakukan penilaian faktorfaktor penghambat dari absorpsi kalsium darah, seperti oksalat dari makanan, aktivitas fisik, vitamin Cdll. C. Karakteristik responden C.1. Umur dan jenis kelamin responden Umur dan jenis kelamin responden disamakan Diperoleh antara dengan kasus cara dan kontrol. wawancara Jenis kelamin C.2. Tabel pendidikan terakhir Pada kelompok kasus dan kontrol sama-sama mempunyai proporsi tingkat pendidikan SMA serta pendidikan lanjut D3 dan Perguruan Tinggi terbanyak. Namun pada kelompok kasus masih ada 6 orang (23.1%) tingkat pendidikan SD. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan Umur SD SMP SMA D3 PT Total Kasus n % 6 23,1 5 19,2 8 30,8 6 23,1 1 3,8 26 100 Kontrol n % 0 0 10 38,5 8 30,8 4 15,4 4 15,4 26 100

menggunakan kuesioner.

kasus maupun kontrol yaitu masing-masing Pria dan wanita sebanyak 50% dan sebagian besar (50%) berusia di atas 40 tahun. Pada usia di atas 40 tahun pembentukan tulang maksimal telah lewat. Karena pada saat usia di atas 30 tahun pembentukan tulang maksimal telah berkurang (osteoblast) dan pengeluaran kalsium tulang (osteoklas) mulai terjadi ( 1 ). Pada usia di atas 40 tahun mulai terjadi sehingga penurunan absorpsi kalsium, ada dimungkingkan sudah

D. Jenis Pekerjaan responden Jenis pekerjaan responden pada sebagian besar sebagai pegawai swasta dan PNS yaitu sebesar 76.9% pada kelompok kasus dan 61.5% kelompok kontrol dan selebihnya sebagai ibu rumah tangga. Sebagai pekerja swasta dan PNS bisa dikatakan tidak banyak melakukan aktivitas fisik secara konsisten. Menurut Metz. Jill, 1993 jenis pekerjaan dengan banyak aktivitas fisik yang dilakukan secara konsisten dengan durasi > 90 menit/minggu mempunyai hubungan linear positif dengan densitas tulang (27). Kurang kegiatan fisik menyebabkan ekskresi kalsium tinggi dan pembentukan tulang tidak maksimal. Namun aktifitas fisik yang terlalu berat pada usia menjelang menopause justru

pelepasan kalsium tulang (osteoklas) untuk memenuhi kadar kalsium darah. Distribusi umur responden dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan umur
Umur <30 tahun 30-40 tahun >40 tahun Total n 4 9 13 26 Kasus % 15,4 34,6 50,0 100 n 4 9 13 26 Kontrol % 15,4 34,6 50,0 100

dapat menyebabkan penyusutan tulang (14). Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Jenis Kasus Kontrol pekerjaa n % n % n Swasta 12 461 9 34,6 PNS 5 30, 7 26,9 8 Ibu 8 23, 10 38,5 rumah 1 tangga Total 26 100 26 100

sebagai salah satu ukuran tingkat standar hidup layak yang dikelompokkan menjadi pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran non makanan. Pada tahun 2008 pengeluaran untuk makanan sebesar 42,85% (Rp 273.75,-) menurun dari tahun 2007 yaitu 49,17% (Rp 311.673,-) (7). Hal ini menggambarkan bahwa dengan tingkat pendapatan meningkat, bertambah pula keperluan non pangan, sehingga proporsi pengeluaran untuk makan menurun. Hasil penelitian diperoleh tingkat pengeluaran untuk makan pada kelompok kasus rata-rata Rp 255.613,- perkapita dan kelompok kontrol Rp 291.410,-.Hal ini menunjukkan Rata-rata tingkat pengeluaran untuk makan perkapita baik kasus dan kontrol di bawah rata-rata perkapita penduduk Banjarmasin. G. Gambaran pola makan responden Berdasarkan kuesioner diperoleh bahwa pada kelompok sampel pola makan sekarang dengan dahulu sebelum terjadi fraktur hampir semua tidak berbeda (96,2%) dan pada kelompok kontrol semuanya (100%)

E.Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga pada sampel hampir sama berjumlah 4 dan 5 orang yaitu sebanyak 8 orang (30,8%) dan yang beranggotakan 3 orang sebanyak 5 orang (19,2%). Pada kontrol terbanyak beranggotakan 4 orang yaitu sebanyak 13 orang (50,0%) dan beranggotakan 5 orang sebanyak 6 orang (23,1%). Terlihat bahwa antara kasus dan kontrol mempunyai hampir sama jumlah anggota keluarga yaitu 4 dan 5 orang. F. Pengeluaran makan perkapita Pengeluaran perkapita adalah keadaan pengeluaran konsumsi keluarga per bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Tingkat konsumsi riil perkapita tahun 2008 di Kota Banjarmasin mengalami kenaikan sebesar 0.79% dari Rp 633.870,- menjadi Rp 638.870,-. Tingkat konsumsi riil perkapita memberikan gambaran tingkat daya beli masyarakat dan dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Tingkat konsumsi pengeluaran/kapita

tidak berbeda. Hampir semua responden mempunyai pola makan sebelum dan sesudah sakit yaitu 3 x sehari. Makanan pokok yang sering dikonsumsi yaitu beras. Bahan makanan lain yaitu seperti tepung terigu untuk kue tradisional Banjar. Konsumsi protein hewani yang sering yaitu telur , ikan air tawar. Protein nabati yaitu tempe , tahu dan kacang kedele. Sayuran yang sering dikonsumsi yaitu bayam, daun singkong dll. Mereka hampir jarang mengkonsumsi susu 8

atau hasil olahnya. Diharapkan sumbangan kalsium dapat diperoleh dari susu dan hasil olahnya. Jenis susu yang paling dikonsumsi yaitu susu kental manis. H. Gambaran konsumsi tablet kalsium responden. Mengenai kebiasaan mengkonsumsi tablet kalsium sebelum terjadi trauma pada kelompok sampel yaitu sebanyak 21 orang (80,8%) tidak pernah mengkonsumsi tablet kalsium dan pada kelompok kontrol semuanya tidak pernah mengkonsumsi tablet kalsium. Seseorang di atas usia 40 tahun kepadatan sehingga tulang mulai berkurang, harus mengkonsumsi kalsium

jauh di bawah kebutuhan yaitu 254 mg/hari ( 3 ). I. Gambaran riwayat konsumsi protein responden. Berdasarkan hasil penilaian rata-rata asupan protein dengan metode food frekuensi semi kuantitatif, diperoleh bahwa rata-rata konsumsi protein pada kasus adalah 54.2 gr lebih rendah dari data konsumsi protein untuk Kalimantan Berdasarkan Selatan tingkat yaitu 58.7 gr. konsumsi protein

diperoleh sebanyak 8 orang (30,8%) masih kurang dan masing-masing 9 orang (34,6%) masuk dalam kategori cukup dan lebih. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi protein total masih ada yang kurang dari kecukupan yang dianjurkan ( rata-rata 55 gram /hari). Bahan makanan hewani yang sering dikonsumsi adalah ikan air tawar dan telur. Untuk protein nabati rata-rata yang sering dikonsumsi sebanyak 26,3 gr lebih sedikit dari jumlah hewani yang dikonsumsi rata-rata yaitu 27,8 gram. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan konsumsi protein
Konsumsi protein Kurang Cukup Lebih Total Kasus % 30,8 34,6 34,6 100 Kontrol N % 8 30,8 8 30,8 10 38,5 26 100

yang cukup untuk mencukupi kebutuhan kalsium/ hari yaitu sebanyak 800 mg dan usia di atas 50 tahun dibutuhkan kalsium 1000-1200 mg/hari agar tidak terjadi pengambilan kalsium dari tulang untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh( 28 ). Berdasarkan hasil penelitian ternyata pada kelompok sampel hanya 5 orang (19,2%) yang mengkonsumsi tablet kalsium dalam sehari dan pada kelompok kontrol semuanya tidak mengkonsumsi tablet kalsium dalam sehari. Hal ini menunjukkan bahwa pengertian tentang perlunya asupan kalsium untuk memenuhi kebutuhan kalsium dalam sehari belum dipahami oleh sebagian besar responden. Sedangkan rata-rata konsumsi kalsium dalam sehari pada orang Indonesia masih

n 8 9 9 26

Peranan menyumbangkan

protein kalsium dari

dalam makanan penelitian

sangat penting. Berdasarkan

bahwa konsumsi protein yang berlebih dari sumber hewani dapat membawa suasana asam 9

sehingga menyebabkan kalsium banyak terbuang di urin (17). Pada kelompok kontrol konsumsi protein termasuk sebanyak konsumsi 10 orang protein (38,5%) lebih ,

hewani, seperti daging, ikan namun jumlah yang dikonsumsi belum mencukupi kalsium yang dianjurkan. Susu sebagai sumber kalsium belum mencukupi secara kualitas dan kuantitas baik pada kasus ataupun kontrol. Jenis susu yang banyak dikonsumsi adalah susu kental manis dan jumlah yang dikonsumsi tidak cukup untuk memenuhi jumlah kalsium yang dibutuhkan. Kebiasaan dari makanan mengkonsumsi kalsium sebelum terjadi fraktur antara

sedangkan masing-masing 8 orang (30,8%) masuk kategori kurang dan cukup. Ratarata konsumsi protein hewani sebanyak 26.19 gr dan nabati 23.98 gr. Pada kelompok protein kontrol lebih proporsi konsumsi besar masih lebih

dibandingkan kelompok kasus. Konsumsi protein yang tinggi khususnya hewani dapat menyebabkan kalsium di urin. J. Gambaran konsumsi kalsium meningkatnya ekskresi

kasus dan kontrol tidak berbeda secara proporsi, hal ini menggambarkan pola makan sumber kalsium masyarakat yang berobat di RSUD Ulin Banjarmasin sama. K. Gambaran riwayat konsumsi Phospat responden Gambaran riwayat konsumsi phospor pada kasus sebanyak 11 orang (42.3%) termasuk katergori kurang, 5 orang (19.2%) masuk kategori cukup dan 10 orang (38.5%) masuk kategori lebih. Pada kelompok kontrol sebanyak 12 orang (46.2%) masuk dalam kategori kurang, dan 7 orang (26.9%) masingmasing masuk kategori cukup dan lebih. Konsumsi phosfor tabel 6 .
Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan konsumsi phospor Konsumsi Kasus Kontrol Phospor n % n % Kurang 11 42.3 12 46.2 Cukup 5 19.2 7 26.9 Lebih 10 38.5 7 26.9 Total 26 100 26 100

responden Gambaran konsumsi kalsium responden baik kelompok kasus dan kontrol masing-masing sebanyak 25 orang (96.2%) masuk kategori konsumsi kalsium kurang. Jumlah kalsium yang dikonsumsi dalam sehari masih di bawah 80% kebutuhan kalsium (< 640 mg). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan konsumsi kalsium Konsumsi kalsium Kurang Cukup Lebih Total n 25 0 1 26 Kasus % 96.2 0 3.8 100 Kontrol n % 25 96.2 1 3.8 0 0 26 100

banyak terdapat pada

protein hewani. Hal ini dapat dilihat pada

Mereka mempunyai pola kebiasaan makan sangat rendah sumber kalsium seperti susu. Kelompok kasus dan kontrol sering mengkonsumsi sejumlah lauk

10

Pada tabel di atas terlihat bahwa pada kelompok kasus proporsi konsumsi phospor lebih ( > 480 mg /hari) Sementara proporsi konsumsi yaitu 38.5% lebih besar dari kontrol yaitu 26.9% phospor kurang ( <480 mg) pada kasus dan kontrol hampir sama yaitu 42.3% dam 46.2%. Menurt phospor Altmasir, 2003 bahwa dalam sangat membantu

L. Hubungan tingkat pengeluaran makan dengan kejadian fraktur Tingkat pengeluaran perkapita untuk makan ternyata antara kasus dan kontrol sama yaitu di bawah rata-rata untuk tingkat Kalimantan Selatan. Sehingga menunjukkan bahwa tingkat pemenuhan untuk makan yang baik khususnya sumber kalsium seperti susu dan hasil olahnya masih belum tercapai. Dan bila dilihat dari latar belakang pekerjaan ratarata keluarga mempunyai pekerjaan di swasta atau pegawai negeri sipil, dengan tingkat pendapatan pengeluaran diutamakan menengah. Rendahnya untuk makan dimungkinkan sehingga kebutuhan untuk

pembentukan tulang bersama kalsium dan mempengaruhi absorpsi kalsium (1). Rasio Kalsium dan phospor yang dikonsumsi perhari sangat membantu absorsi Kalsium. Rasio kalsium dan phospor yang tepat untuk membantu konsumsi kalsium adalah 1-2:1 . Apabila rasio absorpsi kalsium dan phospor kurang atau lebih dari rasio yang dianjurkan, maka absorpsi kalsium akan terganggu. Bila dilihat dari konsumsi masing-masing kalsium dan phospor, pada kelompok kasus proporsi konsumsi kalsium kurang mempunyai proporsi yang besar (96.2%) sedangkan konsumsi phospor pada kasus ada yang lebih. , jadi kemungkinan rasio kalsium dan phospor nilainya <1-2:1. Hal ini memungkinkan terjadi gangguan absorpsi kalsium. Sementara pada kontrol keadaan konsumsi kalsium kurang juga tinggi dan proporsi konsumsi phospor kurang, lebih tinggi dari kasus dan ada konsumsi phospor lebih (26.9%). sehingga walau kecenderungan gangguan absorpi kalsium juga ada namun kejadiannya lebih rendah dari pada kasus.

bahwa kebutuhan selain makan masih lebih pemenuhan makanan tinggi kalsium tidak terlalu diperhatikan. Terlihat dari mereka jarang mengkonsumsi bahan makanan olah dari susu, seperti keju, ice cream, yoghurt dll) dan mereka lebih mengutamakan sumber protein yang berasal dari hewani seperti ikan, telur dll. M. Hubungan riwayat konsumsi protein dengan kejadian fraktur. Rata-rata riwayat konsumsi protein pada kasus dan kontrol adalah 54,2 gram dan 50,1 gr pada kontrol . Data tersebut menunjukkan rata-rata konsumsi protein pada responden sudah di atas 80% rata-rata kecukupan protein yaitu 44 gr dan lebih rendah dari rata-rata untuk Kalimantan Selatan (58.7 gr). Baik kasus maupun pada kontrol lebih banyak mengkonsumsi sumber hewani dari pada sumber nabati. Pola 11

konsumsi orang Kalimantan Selatan lebih banyak mengkonsumsi sumber lauk hewani yaitu ikan air tawar dibandingkan dengan konsumsi nabati seperti halnya tempe, tahu atau kacang-kacangan. Hal ini berbeda dengan penelitian Shellyana, 2008 dimana konsumsi protein pada pasien fraktur tulang hanya sebanyak 23,2 gr/hari. Hal ini jauh di bawah angka kecukupan hewani kalsium kalsium membuat urin resiko ( 29 ). pengeluaran karena pada Konsumsi protein yang tinggi dari meningkat urin, dalam

dan kasus 34,6%. Pada kelompok kontrol rata-rata konsumsi protein hewani lebih besar dari protein nabati yaitu 26,19 gr dan 23,98 gram. Sedangkan pada kelompok kasus konsumsi protein hewani lebih besar sedikit dari konsumsi protein nabati yaitu 27.88 gr dan 26.33 gr . Menurut Sellmeyer Deborah dkk., tahun 2001 bahwa tingginya rasio dapat asupan protein hewani dan nabati

mempercepat resiko terjadinya fraktur tulang pinggang ( 24 ) dan Beasley Jeannette, 2010 ada hubungan asupan protein nabati rendah menyebabkan kurangnya densitas tulang ( 34). Penelitian Kestetter Jane E, dkk, 2003 dan Metz Jill A, 1993 diet tinggi protein menyebabkan juga hiperkalsiuria (22). Hal ini pada responden tidak ada perbedaan antara kedua kelompok tersebut, karena sama-sama proporsi konsumsi protein lebih mempunyai proporsi yang hampir sama dan juga konsumsi protein nabati sama-sama lebih sedikit daripada konsumsi protein hewani. Namun kemungkinan sudah ada peningkatan absorpsi kalsium dari tulang untuk memenuhi kadar kalsium yang kemungkinan menurun akibat tingginya proporsi protein hewani dan nabati pada kedua kelompok. Bila diperiksa kalsium urin akan nampak tingkat ekskresi kalsium urin akibat tingginya rasio protein hewani terhadap nabati. Selain itu pada kasus ada beberapa responden yang juga mengkonsumsi tablet kalsium, dan kelompok kontrol semuanya tidak mengkonsumsi tablet kalsium. Hal ini dimungkinkan sebagai salah satu penyebab 12

suasana asam dapat meningkatkan ekskresi melalui sehingga tubuh keseimbangan kalsium

menjadi negatif. Selain itu sumber protein baik hewani ataupun nabati juga tinggi kandungan phospornya seperti daging dan ikan. Jumlah konsumsi phospor yang tinggi bila melebihi rasio kalsium banding phospor yaitu 1-2:1 akan menghambat pula absorpsi kalsium dari makanan ( 14 ). Hal ini sesuai penelitian dkk, .yaitu dari Meikawati asupan Wulandari bahwa

protein berhubungan dengan kepadatan tulang dengan r=0.315 dan p = 0.004 ( 30 ). Hubungan konsumsi protein dengan kejadian fraktur pada responden didapatkan dan OR=0,85 (CI 95%:0,26-2,79) berarti tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan protein dengan kejadian fraktur tulang dengan derajat kekuatan lemah . Pada kelompok kontrol proporsi konsumsi protein dengan kategori lebih mempunya proporsi lebih besar dari pada kelompok kasus yaitu kontrol 38,5%

juga ada faktor-fakor lain yang juga menyebabkan tidak ada hubungan yang bermakna yaitu antra lain: faktor berat ringannya penghambat oksalat, aktivitas absorpsi fitat asam ,adanya kalsium dan faktor seperti

konsumsi kalsium dengan kejadian fraktur tulang femur dan tibia dengan derajat hubungan yang lemah. Pada kelompok kasus maupun kontrol proporsi asupan kalsium dengan katergori kurang menduduki proporsi paling besar yaitu semua sebesar 25 orang (96,2%). Rata-rata konsumsi kalsium perhari pada kelompok kasus dan kontrol masih lebih rendah dari angka kecupan kalsium yang dianjurkan , yaitu 331,5 gr pada kasus dan 270,6 gr pada kontrol. Angka kecukupan kalsium yang dianjurkan adalah 640-800 mg/hari. Hal ini terlihat dari kebiasaan responden dalam mengkonsumsi makanan sumber kalsium dengan frekwensi dan jumlah yang kurang yaitu seperti mengkonsumsi sumber kalsium seperti susu dan hasil olahnya. Jenis susu yang sering dikonsumsi responden adalah susu kental manis sementara hasil olah dari susu mereka hampir tidak pernah mengkonsumsi seperti keju, yoghurt dll. Hasil uji statistik di atas sesuai dengan penelitian Susanti Eka, I.D.P.Pramantara, Retno Pangastuti, tahun.2006 mengenai hubungan asupan kalsium dengan kejadian osteoporosis pada pria di Kecamatan Duren Sawit, kalsium Jakarta dengan dan Timur yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan densitas sesuai massa juga tulang dengan (P>0.05)(31)

obat-obatan,

konsumsi natrium, Indeks Massa Tubuh dll ( 1, 30). Berbeda dengan penelitan oleh Muller Ronald G, James R Cherham yaitu ada hubungan intake protein hewani yang rendah (p=0.01) dan intake protein nabati tinggi (p=0.02) dengan kejadian fraktur tulang (21). N. Hubungan Riwayat Asupan Kalsium dengan Kejadian Fraktur. Riwayat asupan kalsium sangat menentukan kepadatan tulang seseorang untuk mencegah terjadinya fraktur karena osteoporosis. Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Dan pada orang dewasa usia 50 tahun ke atas, sering terjadi kehilangan kalsium dari tulang. Hal ini karena semakin tua kemampuan untuk menyerap kalsium akan menurun, karena semakin tua enzim laktase untuk mencerna susu semakin berkurang ( 1). Kebanyakan kalsium hanya terserap setengah dari kalsium yang ada dalam makanan yang dikonsumsi. Ditambah pula pada usia semakin tua asupan kalsium juga sedikit. Hasil uji statistik Pearson chi-square diperoleh p p=0,368 (>0,05) dan OR= 0 (CI 95%:0,06-16,95) berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat

penelitian Owusu William, dkk, 2003 bahwa konsumsi lebih dari 2.5 gelas/hari (600 ml) dibandingkan dengan konsumsi susu perhari 240 ml atau kurang mempunyai RR 1.06(95% CI = 0.69-1.62) dengan p=0.82). 13

Ada faktor lain yang harus dikendalikan seperti umur, status merokok, IMT, aktivitas fisik, konsumsi alkohol( 32 ).

paratiroid mengatur pelepasan kalsium dari tulang , sehingga lama kelamaan tulang akan rapuh karena pengurangan kalsium tulang(1, 33). Rata-rata asupan phospor per hari pada kasus adalah 571,150 mg dan pada

O. Hubungan Riwayat Asupan Phospor dengan Kejadian Fraktur. Phospor sangat diperlukan dalam proses pembentukan tulang bersama dengan kalsium dengan rasio kalsium : phospor 12:1. Bila lebih dari rasio tersebut maka akan menghambat absorpsi kalsium. Pada penelitian ini berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat asupan phospor dengan kejadian fraktur tulang dengan kekuatan hubungan yang lemah yaitu p = 0,636 (p>0,05) dan OR= 1,696 (CI 95%:0,525-5,48). Proporsi asupan phospor dengan kategori kurang pada kasus dan kontrol lebih besar dari proporsi konsumsi phospor kategori lebih . Namun dalam hal ini proporsi konsumsi phospor kategori lebih pada kasus lebih besar dari kontrol , sehingga hal ini menunjukkan kasus.Namun sudah karena terjadi tidak adanya dilakukan hambatan dalam absorpsi kalsium pada pemeriksaan kalsium urin, maka tidak diketahui berapa yang diabsorpsi oleh tubuh. Pada kondisi absorpsi kalsium kurang, tubuh berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhan kalsium dalam darah. Dan apabila terjadi gangguan absorpsi kalsium dalam tubuh akibat perbandingan yang tinggi akan phospor, hormon

kontrol sebanyak 519,577 mg dan rata-rata konsumsi kalsium pada kasus dan kontrol yaitu 331.5 mg dan 270.6 mg. Konsumsi phospor masih lebih besar dari 80% AKG yaitu 480 mg/hari. Bila dibandingkan dengan rata-rata asupan kalsium sehari pada kasus dan kontrol, ternyata pada kedua kelompok tersebut asupan phospor perhari lebih besar dari asupan kalsium perhari, berarti rasio kalsium dan phospor 1:>1. Hal ini walaupun tidak ada hubungan secara bermakna antara konsumsi phospor dengan kejadian fraktur, namun kemungkinan sudah terjadi gangguan absorpsi kalsium sebagai dampak dari rasio yang tidak sesuai tersebut. Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan kalsium dalam urin untuk menggambarkan jumlah kalsium yang diabsoprsi. Menurut Altmatsier , 2003 bahwa jumlah kalsium yang diekskresi melalui urin mencerminkan jumlah kalsium yang diabsorpsi (1).
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Responden berjenis kelamin pria dan wanita masing-masing sebanyak 50% dan berusia di atas 40 tahun serta berpendidikan sebagian besar lulus SMA.

14

2. Tingkat pengeluaran untuk makan pada kelompok kasus rata-rata Rp 255.613,perkapita dan kelompok kontrol Rp 291.410,-. di bawah rata-rata perkapita penduduk Banjarmasin. 3. Baik kasus maupun pada kontrol lebih banyak mengkonsumsi sumber hewani dari pada sumber nabati 4. Baik kelompok kasus dan kontrol sebanyak (96.2%) kalsium. 5. Pada kedua kelompok asupan phospor perhari lebih besar dari asupan kalsium perhari, berarti rasio kalsium dan phospor 1:>1 6. Tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian fraktur tulang dengan p =0,946 (>0,05) dan OR=0,85 (CI 95%:0,26-2,79). 7. Tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat konsumsi kalsium dengan kejadian fraktur tulang femur dan tibia dengan p=0,368 (>0,05) dan OR= 0 (CI 95%:0,06-16,95) 8. Tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat asupan phospor dengan kejadian fraktur tulang dengan p = 0,636 (p>0,05) dan OR= 1,696 (CI 95%:0,525-5,48). 9. Tidak dapat dilakukan perhitungan interaksi karena analisis bivariat antara variabel tingkat pengeluaran, riwayat konsumsi protein, kalsium dan phospor tidak ada yang bermakna secara statistik. 15 masing-masing kurang 25 orang mengkonsumsi B. Saran 1. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar kalsium dalam urin untuk mengetahui jumlah kalsium yang dapat diabsorpsi. 2. Menambah variabel lain untuk dapat memastikan penyebab terjadinya fraktur tulang femur dan tibia, seperti: a. asupan serat b. adanya oksalat c. aktivitas fisik d. kebiasaan merokok e. kebiasaan minum kopi f. Melakukan penilaian kalsium dalam urin. dengan kasus fraktur femur atau tibia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Almatsier, dalam 2. Anonim. Sunita (2002). Mineral PT. hidup sehat .com. Prinsip Gizi. Gaya Jakarta:

Gramedia Pustaka,. http://www.keluarga

Diakses tanggal 8-11 -2007. 3. Anonim. Tanya Jawab dengan Dokter Ahli tanggal 22-1-2008. 4. Apriadji Wied Harry, 2001. Nanas Cukup Ampuh Memerangi Keropos Tulang. Sedap Sekejap Edisi 2/IIPebruari 2001. 5. HTA Indonesia, 2005. Penggunaan Bone Densitometry pada Osteoporosis, halaman 1. Osteoporosis. www.medicastore.com.2006Diakses

6. Data Penelitian Produk Susu Anlene. Tahun 2007. 7. BPS,2008. 2008. 8. Francis etal, 1997. A Comparison of Bone Density and Dietary intake in Postmenopausal Women who are Receiving Hormone and not Receiving Therapy. Replacement Index Pembangunan Manusia kota Banjarmasin tahun

13. HTA Hal 4.

Indonesia, 2005. Penggunaan

Bone Densitometry pada Osteoporosis. 14. Ardy, 2010. Keseimbangan Kalsium penting untuk cegah Osteoporosis.Http:// www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/. Diakses tanggal 20-1-2010. 15. Astawan Made, 2009. Tulang tidak hanya butuh Kalsium. Diakses www.medicastore.com.2006. tanggal 13-8-2010. 16. Depkes RI, 2005. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang dianjurkan. 17. Medicastore, Osteoporosis osteoporosis. 2008. dan faktor Penyebab Resiko to

Journal of the American Dietetic Association volume 97, Issue 9, 1 September 1997, p. A64. 9. Jensen Keith, etal. Development of a food frequency questionnaire estimate calcium intake of Asian, Hispanic and Shite Youth. Journal of the American Dietetic Association, Volume 104, Issue 5, May 2004, p.762-769. 10. Satalic Zvonimir, et al. Short food frequency calcium questionnaire intake in women. can Croatian Nutrition discriminate inadequate an adequate postmenopausal

www.medicastore.com..

Diakses tanggal 22-1-2008. 18. Anonim, 2008. Nyeri Tulang pada Penyakit Ginjal. http://www.keluarga sehat .com. Diakses tanggal 4-2-3008. 19. Supariasa, 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran. 20. Munger Ronald, et.al, Prospective study of dietary protein intake and risk of hip fracture in postmenopausal women. American Journal Clinical Nutrition 1999: USA. 21. Morin Patricia Fracois Hermann, Patrick Amman. A Rapid Self Administered food frequency questionnaire for the evaluation of dieteaty protein intake. Clinical Nutrition vol.24, Issue 5, Low protein October 2005, p.768-774. 22. Kestetter Jane E et.al, intake: the Impact on calsium and bone 16

Research 27 (2007), 543-547. 11. RSUD Ulin Banjarmasin. Laporan tahunan 12. Prihartini Kunjungan Sri, Rawat 2007. Jalan Faktor 2006-2007. Determinan Risiko Osteoporosis di Tiga Propinsi di Indonesia. Http:// www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/. Diakses tanggal 17-2-2010.

homeostasis in Humans. The Journal of Nutrition. Di akses tanggal 3 April 2010. 23. Spenser H et.al, Do protein and phosphours cause calsium loss? Prospective study of dietary protein intake and risk of hip fracture in postmenopausal women. American Journal Clinical Nutrition 1999: USA. 24. E. Deborah Sellmeyer et.al. A high ratio of dietary animal to vegetable protein increases the rate of bone loss and the risk of fracture in postmenopausal women. American J Clinical Nutrition 2001: 73; 118-22. 25. Gibson Rosalind, 1993. Nutritional Assesment a Laboratory Manual. Oxford University Press. 26 Lemeshow Stanley, 1990. Besar Sampel dalam Penelitian. Gadjah Mada University Press: Jogjakarta. 27. Metz. Jill, John JB Anderson and Philip N. Intake of Calcium, Phosporus and protein, and physical activity level are related to radial Bone Mass in young adult women. American Journal Clinical Nutrition 1993: 58; 537-42. 28. Anonim. Tulang tak hanya butuh kalsium. Nutrition Thur, 13-8-2009. 29. Shellyana, 2008. Gambaran asupan protein, vitamin D, kalsium, phospor serta dan perbandingan fraktur pasien kalsium rawat dan jalan phospor pada penderita nyeri tulang

poliklinik

Ortopedi

RSUD

Ulin

Banjarmasin 2008. skripsi 30. Meikawati Wulandari, S, Fatimah Muis, SA. Nugraheni. Faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang remaja (studi di SMAN 3 Semarang). Program Magistern Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro. Thesis. 31.Susanti Eka, IDP. Pramantara Retno Pangastututi.Asupan Kalsium, vitamin D, Kafein, merokok, Indeks Massa Tubuh dan hubungannya dengan kejadian osteoporosis pada pria di kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. 32. Feskanich Diane, Walter C, Willet dan Graham A Colditz. Calsium, vitamin D, milk consumption, and is prospective study among post menopause women. American Journal of Clinical Nutrition 2003 Vol 77, n0.2; 504-511. 33. Medicastore. Penyebab osteoporosis dan factor risiko osteoporosis. .www.osteo . Diakses tanggal 22-1-2008. 34. Beasley Jeannette M. Beasley, 2010. Is Protein Intake Associated with Bone Mineral Density in Young Women. American Journal Clinical Nutrition 91:1311-1316, May 2010.

17

You might also like