You are on page 1of 18

BAB II PEMERIKSAAN PENUNJANG PENYAKIT KULIT

A. Teknik Khusus dalam Pemeriksaan Kulit Ada beberapa macam teknik khusus yang digunakan dalam pemeriksan klinis kulit, yaitu : 1. Pemeriksaan Lampu Wood Lampu Wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm, (atau sinar hitam) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakitpenyakit kulit dan rambut tertentu. Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna pigmentasi melanin yang subtle bisa divisualisasi; Gambar 1: Lampu Wood2 Prinsip: Sinar Wood diarahkan ke lesi akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul metabolit organisme penyebab, sehingga menimbulkan indeks bias berbeda, dan menghasilkan pendaran warna tertentu. Alat : Lampu Wood dan ruangan kedap cahaya Cara : Kulit dan rambut yang akan diperiksa harus dalam keadaan sealamiah mungkin. Obat topikal, bahan kosmetik, lemak, eksudat harus dibersihkan terlebih dahulu karena dapat memberikan hasil positif palsu.

Pemeriksaan harus dilakukan di dalam ruangan kedap cahaya agar perbedaan warna lebih kontras. Jarak lampu Wood dengan lesi yang akan diperiksa 10-15cm Lampu Wood diarahkan ke bagian lesi dengan pendaran paling besar/jelas

Gambar 2 : Fluoresensi merah muda koral pada eritrasma di alat kelamin laki-laki3 Gambar 3: Vitiligo sebelum disinar lampu Wood (kiri) dan setelah disinar lampu Wood (kanan)4 Dibawah ini terdapat tabel kegunaan dari lampu wood :

Tabel 1 : Kegunaan Lampu Wood3 2. Diaskopi Diaskopi terdiri dari penekanan pada lesi dengan menggunakan sebuah lensa datar transparan atau objek lain (seperti slide kaca atau sekeping plastik yang tidak berwarna, jernih, dan kaku).5 Alat ini mengkompresi darah dari pembuluh darah kecil, supaya warna lain pada lesi dapat dievaluasi.3 Diaskopi membantu pemeriksa menilai seberapa banyak darah intravaskular sebuah lesi yang merah atau ungu. Jika lesi terutama terdiri dari kongesti vaskular, diakopi akan memucat. Tekanan yang lebih kuat pada kapiler akan mendorong sel darah merah ke dalam pembuluh darah di sekitarnya yang mempunyai tekanan yang lebih rendah. Jika pada diaskopi gagal terjadi pucat, atau pucat tidak sempurna, hal ini bermakna banyak sel darah merah mengalami ekstravasasi atau jaringan pembuluh yang berisi darah tersebut abnormal, sehingga tidak memungkinkan sel lewat dengan sempurna. Sarkoma Kaposi mencakup baik pembuluh darah neoplastik aberan maupun eritrosit yang ekstravasasi, sehingga tidak memucat.5 Pada nodul granulomatous, tampak gambaran warna kecoklatan yang trasnlusen, dikenal sebagai nodul apple jelly (contohnya pada lupus vulgaris).3

Gambar 4: Diascopy highlights the "apple jelly" coloration of cutaneous sarcoidosis.5

Gambar 5: Granulomatous rosacea after diascopy6 3. Dermoskopi Dermoskop, juga dikenal sebagai mikroskop epiluminesens adalah lensa tangan dengan built-in lighting dan magnifikasi 10x hingga 30x ; dermoskop membantu inspeksi terhadap lapisan kulit epidermis yang lebih dalam dan dalam lagi secara non-invasif. Dermoskopi sangat berguna untuk lesi pigmentasi bagi membedakan corak pertumbuhan yang jinak atau ganas.1 Gambar 6, 7 : Dermoskop7 Dermoskopi digital terutama bermanfaat dalam memonitor lesi kulit pigmentasi karena gambaran atau imej yang diperiksa disimpan secara elektronik dan bisa didapatkan kembali dan diperiksa di kemudian hari agar bisa dibandingkan secara kuantitatif dan kualitatif serta untuk mendeteksi perubahan lesi seiring dengan waktu. Dermoskopi digital menggunakan program analisis image komputer (computer image analysis program) yang bisa:1 menyediakan pengukuran yang objektif terhadap perubahan penyimpanan, pengambilan, dan transmisi imej yang cepat kepada spesialis untuk diskusi lanjutan (teledermatology) ekstraksi gambaran morfologi untuk analisis numerikal.

Namun yang demikian, dermoskopi dan dermoskopi digital memerlukan pelatihan yang khusus.1

Gambar 8: Dermoskop digital 8

Gambar 9: Dermoscopy signs in favor of seborrheic keratosis 9 B. Tanda-tanda klinis (Clinical signs) 1. Darier sign Dariers sign adalah urtikaria dan halo eritematosa yang terbentuk sebagai respon terhadap penggosokan atau penggoresan lesi mastositosis kutaneus. 10 Dariers sign dinamai dari dermatologis Perancis yang pertama kali menggambarkan tanda tersebut, Ferdinand-Jean Darier. Deskripsi mastositosis pertama kali dibuat oleh Nettleship dan Tay pada tahun 1869, dan pada tahun 1878, Sangster menciptakan istilah urtikaria pigmentosa. 10 Metode Elisitasi Pada Dariers sign klasik, penggosokan lesi dengan lembut akan diikuti oleh rasa gatal, eritema dan pembentukan urtika dalam 2 hingga 5 menit. Hal ini mungkin terjadi selama 30 menit hingga beberapa jam. Pada anak, vesikulasi bisa terjadi pada lesi yang digosok. Walaupun tanda ini positif pada kulit yang berlesi, namun, tanda ini juga bisa positif pada kulit yang secara klinisnya normal pada pasien dengan mastositosis. Pada pseudoxanthomatous mastocytosis, suatu variant dari diffuse cutaneous mastocytosis, yang akan timbul hanyalah eritem tampa urtika.10 Kondisi Terkait Dariers Sign a. Cutaneous mastocytosis Pada urticaria pigmentosa, bentuk klinis paling sering dari cutaneous mastocytosis, Darier's sign terdapat pada 94% kasus.10 b. Leukemia kutis Leukemia kutis terjadi pada 25-30% bayi dengan leukemia kongenital dan lebih sering terkait dengan leukemia myeloid akut berbanding

leukemia limfoblastik akut. Lesi seperti-urtikaria-pigmentosa telah dilaporkan pada leukemia limfoblastik akut.10 c. Juvenile xanthogranuloma Juvenile xanthogranuloma adalah merupakan bentuk paling sering dari histiocytosis sel non-Langerhans. Nagayo et al. melaporkan terdapat tanda Darier pada kelainan ini.10 d. Histiocytosis X Foucar et al. menerangkan bahwa terdapat Darier's sign yang positif pada pasien dengan mast cell rich variant' dari histiocytosis X.10 e. Lymphoma Pada beberapa kasus jarang, Darier's sign telah dilaporkan terdapat pada cutaneous large T-cell lymphoma dan pada non-Hodgkin's lymphoma. 10 Signifikan Darier's sign merupakan patognomonik dari mastositosis kutaneus walaupun beberapa pasien mungkin mengalami rasa gatal atau urtika yang sedikit atau sama sekali tidak ada walaupun kulit tersebut menunjukkan populasi padat sel mast, terutama pada pasien dengan riwayat yang lama dengan kelainan tersebut. Walaubagaimanapun, Dariers sign tidak 100% spesifik untuk mastositosis sejak pertama kali ia dideskripsikan, meskipun jarang, pada xanthogranuloma juvenil dan leukemia limfoblastik akut.10 2. Auspitz sign Auspitz Sign, atau Auspitz Symptom (dinamai dari Heinrich Auspitz, 1835-1886), merupakan perdarahan pin-point dan lambat yang terjadi setelah sisik psoriasis diangkat. Auspitz Sign terjadi karena dibawah lesi psoriasis, kapiler-kapiler di bawah epidermis adalah sangat banyak dan berlingkar-lingkar, dan berada sangat dekat dengan permukaan kulit, sehingga pengangkatan skuama tersebut pada dasarnya akan menarik bagian atas kapiler-kapiler tersebut, yang akhirnya menyebabkan

perdarahan.11 Auspitz sign juga dapat ditemukan pada kelainan skuama yang lain seperti pada Darier's disease dan keratosis aktinik. Auspitz Sign bisa digunakan sebagai sarana diagnostik untuk psoriasis, dengan peringatan bahwa beberapa penyakit lain juga menghasilkan Auspitz Sign. Walaubagaimanapun, kombinasi dari kulit yang menebal, meradang, dengan skuama yang berwarna silver dan Auspitz Sign merupakan ciri unik dari psoriasis. 12 Sebaliknya, sebuah laporan dari Bernhard (1990) menyimpulkan bahwa hanya minoritas dari pasien psoriasis yang mempamerkan Auspitz Sign; yang memberi arti bahwa ia bukanlah tes yang baik walaupun disertai dengan simptom psoriasis yang lain.13 Namun yang demikian, laporan ini telah diabaikan.11 Cara untuk melakukan tes ini adalah dengan mengerok skuama dengan perlahan menggunakan object glass hingga skuama habis. Hasilnya positif apabila terdapat bintik-bintik perdarahan sebagai akibat dari papilomatosis. 3. Nikolskiy sign Nikolsky sign dinamai dari dermatologis Russia Piotr Vasiliyevich Nikolskiy yang mendeskripsikannya pada tahun 1894.13 Nikolskiy sign yang positif menunjukkan pembelahan intraepidermal dan membedakan lepuh intraepidermal dari lepuh subepidermal.13 Tanda ini merupakan patognomonik dari pemfigus dan staphylococcal scalded skin syndrome.13 Nikolsky sign juga bisa dielisitasi pada ichthyosis bullosa of Siemens (yang jarang terjadi), di mana ia dinamakan sebagai `mauserung phenomenon'.13 Tanda ini dielisitasi dengan memberikan tekanan lateral dengan menggunakan ibu jari atau fingerpad pada kulit pada tonjolan tulang (bony prominence). Hal ini akan menyebabkan tekanan penggeseran yang akan memisahkan lapisan atas epidermis dari lapisan bawah epidermis. 13 Penghapus (rubber eraser) atau sebarang objek tumpul yang bisa mencengkeram kulit dengan utuh juga bisa digunakan. Nikolsky sign juga

bisa dielisitasi pada mukosa oral dengan menggunakan penghapus atau swab kapas. Penyebab tersering:

Kondisi autoimun (Pemphigus vulgaris) Infeksi bakteri ( Scalded skin syndrome) Toxic drug reaction (Toxic epidermal necrolysis) Nikolskiy sign memberikan hasil positif pada fase aktif atau progresif

penyakit pemfigus. Bila tanda ini menjadi negatif pada pasien yang menerima terapi imunosupresif, hal ini memnunjukkan berakhirnya fase akut dari penyakit tersebut.13 Namun demikian, kemunculan kembali saat pengobatan menunjukkan terjadinya flare-up.13 Pasien ini akan memerlukan peningkatan dosis imunosupresan atau pemberian obat baru. Istilah "Nikolskiy phenomenon" digunakan bila lapisan superfisial epidermis dirasakan bergerak melewati lapisan yang lebih dalam lagi, dan tidak seperti pada Nikolskys sign yang hanya membentuk erosi, pada Nikolsky phenomenon, lesi lepuh terbentuk setelah beberapa waktu.13 4. Asboe-Hansen sign Asboe-Hansen sign (juga dikenal sebagai "indirect Nikolsky sign" atau "Nikolsky II sign") pertama kali dideskripsikan pada tahun 1960 oleh Gustav Asboe Hansen (1917-1989), seorang dermatologis Danish. 14 Asboe-Hansen sign juga dikenal sebagai blister-spread sign yang merujuk kepada terjadinya ekstensi dari lepuh terhadap kulit normal yang berdekatan dengan lepuh tersebut apabila diberikan tekanan di atas bula tersebut.14 Pembentukan lepuh yang angular terkait dengan penyakit akantolitik intraepidermal seperti pemfigus, sedangkan pembentukan lesi lepuh yang bulat terkait dengan penyakit akantolitik subepidermal seperti pemfigus bulosa.
14

Asboe-Hansen sign juga bisa ditemukan pada erupsi obat

bulosa.14 Tanda ini sama sekali berbeda dari Nikolsky Sign.

C. Tes Klinis ( Clinical tests) 1. Tes Tempel (Patch Test) Metode ini adalah dengan menerapkan alergi untuk sebuah patch yang kemudian diletakkan pada kulit. Hal tersebut dapat dilakukan untuk menunjukkan yang memicu dermatitis kontak alergi. 15 Jika ada alergi antibodi dalam sistem tubuh, kulit akan menjadi jengkel dan mungkin gatal, lebih mirip gigitan nyamuk. Reaksi ini berarti pasien alergi terhadap zat tersebut

Pemeriksaan status imunologik selular dapat dilakukan secara in vivo maupun secara in vitro. Uji kulit tipe lambat digunakan untuk mengukur reaksi imunologi selular secara in vivo dengan melihat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat setelah penyuntikan antigen yang sudah dikenal sebelumnya (recall antigen) pada kulit.15 Uji ini menggunakan antigen spesifik yang disuntikkan secara intradermal. Antigen yang digunakan biasanya yang telah berkontak dengan individu normal, misalnya tetanus, difteria, streptokokus, tuberkulin (OT), Candida albicans, trikofiton, dan proteus.15 Pada 85% orang dewasa normal reaksi akan positif dengan paling sedikit pada satu dari antigen tersebut. Pada populasi anak persentase ini lebih rendah, walaupun terdapat kenaikan persentase dengan bertambahnya umur. Hanya 1/3 dari anak berumur kurang dari satu tahun yang akan bereaksi dengan kandida, dan akan mencapai persentase seperti orang dewasa pada usia di atas 5 tahun.15 Sebuah aplikator sekali pakai yang berisi semua antigen tersebut dengan larutan gliserin sebagai kontrol, misalnya seperti Multi-test CMI buatan Merieux Institute sekarang banyak dipakai. Kit ini mengandung 7 jenis antigen (Candida albicans, toksoid tetanus, toksoid difteri,

streptokinase, old tuberculine, trikofiton, dan proteus) serta kontrol gliserin secara bersamaan sekaligus dapat diuji.15 Persiapan Pastikan bahwa kondisi antigen yang digunakan dalam keadaan layak pakai, perhatikan cara penyimpanan dan tanggal kadaluarsanya Harus diingat bahwa kortikosteroid dan obat imunosupresan dapat menekan reaksi ini sehingga memberi hasil negatif palsu. Setelah itu lakukan anamnesis tentang apakah pernah berkontak sebelumnya dengan antigen yang akan digunakan. Melakukan uji Kalau memungkinkan gunakan aplikator seperti di atas sehingga dapat digunakan banyak antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup antigen, harus dengan posisi menghadap ke atas sehingga antigen tidak tumpah. Kalau tidak ada aplikator seperti itu dapat digunakan antigen yang mudah didapat (tetanus, tuberculin, dan sebagainya). Dengan menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan bahwa sejumlah 0,1 ml antigen masuk secara intrakutan hingga berbentuk gelembung dan tidak subkutan. Beri tanda dengan lingkaran masing-masing lokasi antigen. Hasil pemeriksaan Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam.15 Bila setelah 24 jam hasil tes tetap negatif maka cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih kuat. Indurasi yang terjadi harus diraba dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur dalam mm dengan diameter melintang (a) dan memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula (a+b):2. Suatu reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih.15 Efek samping Dapat terjadi suatu reaksi kemerahan yang persisten selama 3-10 hari tanpa meninggalkan sikatriks. Pada orang yang sangat sensitif dapat timbul vesikel dan ulserasi pada lebih dari satu lokasi antigen. Interpretasi

Uji kulit ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan status imunologik selular seseorang karena untuk dapat disimpulkan hasil uji harus disesuaikan dengan anamnesis dan keadaan klinik. Untuk menilai suatu uji kulit, seperti juga prosedur diagnostik yang lain, sangat tergantung pada pemeriksanya. Bila disimpulkan bahwa kemungkinan terdapat gangguan pada sistem imunitas selular, maka dapat dipertimbangkan pemberian imunoterapi. Tetapi untuk memulai terapi sebaiknya pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan secara in vivo. 2. Prick Test (Uji tusuk) Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah. Kontrol Untuk kontrol positif digunakan 0,01% histamin pada uji intradermal dan 1% pada uji tusuk. Kontrol negatif dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme akibat trauma jarum. Untuk kontrol negatif digunakan pelarut gliserin. Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji kulit. Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit dilakukan. Obat golongan agonis juga mempunyai pengaruh, akan tetapi

karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah dilakukan setelah usia 3 tahun. Reaksi terhadap histamin dibaca setelah 10 menit dan terhadap alergen dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan positif bila terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan adanya indurasi yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter terbesar (D) dan diameter terkecil (d) diukur dan reaksi dinyatakan ukuran (D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi dengan pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur diameternya. Kertas dapat disimpan untuk dokumentasi. Dengan teknik dan interpretasi yang benar, alergen dengan kualitas yang baik maka uji ini mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat, murah, aman dan tidak menyakitkan. Uji gores kulit (SPT) disarankan sebagai metode utama untuk diagnosis alergi yang dimediasi IgE dalam sebagian besar penyakit alergi. Memiliki keuntungan relatif sensitivitas dan spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan demonstrasi yang jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya tergantung pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas. 3. Injeksi intradermal Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm. 3 Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi mungkin untuk

mendeteksi racun dan diagnosis alergi obat. Ini membawa resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan tenaga medis yang berkopeten melalui pelatihan spesialis. 4. Uji Gores (Scratch Test) Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Karena test adalah perkutan, langkah-langkah pengendalian infeksi sangat penting. Pasien harus benar-benar dan tepat mengenai risiko dan manfaat. Masing-masing pasien kontraindikasi dan tindakan pencegahan harus diperhatikan. Uji gores kulit harus dilakukan oleh yang terlatih dan berpengalaman staf medis dan paramedis, di pusat-pusat dengan fasilitas yang sesuai untuk mengobati reaksi alergi sistemik (anafilaksis). Praktisi medis yang bertanggung jawab harus memesan panel tes untuk setiap pasien secara individual, dengan mempertimbangkan karakteristik pasien, sejarah dan temuan pemeriksaan, dan alergi eksposur termasuk faktor-faktor lokal. Staf teknis perawat dapat melakukan pengujian langsung di bawah pengawasan medis (dokter yang memerintahkan prosedur harus di lokasi pelatihan yang memadai sangat penting untuk mengoptimalkan hasil reproduktibilitas. Kontrol positif dan negatif sangat penting. Praktisi medis yang bertanggung jawab harus mengamati reaksi dan menginterpretasikan hasil tes dalam terang sejarah pasien dan tanda-tanda. Hasil tes harus dicatat dan dikomunikasikan dalam standar yang jelas dan bentuk yang dapat dipahami oleh praktisi lain.

Konseling dan informasi harus diberikan kepada pasien secara individual, berdasarkan hasil tes dan karakteristik pasien dan lingkungan setempat.

5. Tes Provokasi Oral Tes Provokasi (TP) adalah administrasi terkontrol dari obat yang digunakan untuk mendiagnosis reaksi hipersensitivitas. Pengertian lain mengatakan bahwa tes provokasi merupakan tes yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan dosis yang lebih kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan reaksi berat, kemudian dosis ditingkatkan dan diberikan jarak tertentu sampai tercapai dosis penuh sesuai dengan yang diharapkan. TP merupakan baku emas (gold standard) yang digunakan untuk menetapkan dan meniadakan diagnosis hipersensitivitas dari zat tertentu, tidak hanya yang dapat menyebabkan gejala alergi, tetapi juga manifestasi klinis yang merugikan terlepas dari mekanismenya.3 TP merupakan salah satu upaya pendekatan diagnosis dari alergi obat yang relatif sederhana namun harus dikerjakan di RS dengan pengawasan, serta siap antisipasi jika terjadi reaksi alergi kembali terlebih lagi bila timbul reaksi yang berat seperti misalnya reaksi anafilaksis. Karena itu hendaknya dikerjakan oleh tenaga yang memiliki kompetensi, dan fasilitas resusitasi lengkap sudah dipersiapkan sebelum dilakukan tes, serta dilengkapi dengan informed consent.The European Network for Drug Allergy (ENDA) dari the European Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) merekomendasi TP sebagai alternatif upaya pendekatan diagnosis dari alergi obat sebagai penunjang anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sebelum melakukan TP, evaluasi resiko dan manfaat harus dilaksanakan terlebih dahulu. Adapun indikasi untuk melakukan TP adalah Untuk membedakan adanya kemungkinan reaksi yang terjadi bukan suatu reaksi hipersensitivitas, misalnya terjadinya reflek vagal setelah pemberian anestesi lokal.

Untuk memberikan farmakologi (obat) yang aman, yaitu obat yang tidak berhubungan dengan obat yang terbukti memiliki hipersensitivitas.

Untuk menyingkirkan kemungkinan adanya reaksi silang (crossreaktivity) dari obat-obatan yang berhubungan dalam hipersensitivitas, misalnya sefalosporin dalam subyek alergi penisilin atau NSAID alternatif pada asma yang sensitif terhadap aspirin.

Untuk mengkonfirmasi obat penyebab timbulnya reaksi atau standar baku. Kontraindikasi TP adalah pada wanita hamil, pada penderita yang

diprediksi kondisinya akan menjadi lebih buruk dengan TP obat tersebut (infeksi akut, asma tak terkontrol, penderita dengan penyakit jantung, hati dan ginjal).4 Demikian juga pada penderita; sindroma vaskulitis, dermatitis exfoliative, sindroma Stevens-Johnson, Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), SLE, Pemphigus Vulgaris, dan Bullous Pemphigoid. Pengecualian dapat dilakukan jika obat dicurigai sangat penting bagi pasien, misalnya pada neurosifilis dan terapi penisilin. Pelaksanaan TP ini dilakukan dengan tahapan meliputi cara pemberian obat, uji agen, dosis dari persiapan tes, interval waktu pemberian obat, interval waktu antara reaksi dengan TP, persiapan untuk prosedur provokasi, pelaksanaan tes, dan penilaian terhadap hasil tes. Pemberian obat dilakukan dengan berbagai cara, oral, parenteral (iv,im,sc), topical (nasal), bronchial, konjungtiva, kutaneus, dsb. Namun, dalam hal ini oral menjadi pilihan utama karena penyerapan lebih lambat sehingga reaksi yang tidak diinginkan dapat diobati lebih awal dibandingkan dengan TP pada pemberian secara parenteral. Dosis dari persiapan tes dan interval waktu pemberian obat tergantung dari berbagai variable, termasuk jenis obat itu sendiri, tingkat keparahan dari reaksi hipersensitivitas obat saat pemeriksaan, cara pemberian, perkiraan waktu antara aplikasi dan reaksi, kondisi kesehatan dari pasien,

dan co-medication mereka. Umumnya tes harus mulai dengan dosis rendah, kemudian ditingkatkan sedikit-demi sedikit dan segera dihentikan ketika gejala objektif pertama terjadi. Jika tidak ada gejala muncul, yang dosis tunggal maksimum obat yang spesifik harus dicapai, dan pemberian dosis harian sangat diperlukan. Dalam kasus reaksi langsung sebelumnya (yakni terjadi kurang dari 1 jam setelah pemberian obat) dosis awal harus diantara 1:10.000 dan 1:10 dari dosis terapi, tergantung pada beratnya reaksi.3 Interval waktu antara dosis minimal 30 menit, namun banyak obat dan situasi tertentu memerlukan interval waktu yang lebih lama. Dalam kasus reaksi non-langsung sebelumnya (yakni terjadi lebih dari 1 jam setelah pemberian obat terakhir) dosis awal tidak boleh melebihi 1:100 dari dosis terapi. Tergantung pada obat dan ambang respon pasien, TP dapat diselesaikan dalam waktu beberapa jam, hari atau, kadang-kadang minggu. Persiapan untuk prosedur tes provokasi terdiri dari pertimbangan etis, perlindungan untuk TP, dokumentasi, dan aspek praktis. Tes provokasi harus dilakukan dengan metode placebo terkontrol, single blind, dan dalam situasi tertentu dimana aspek psikologis mungkin berlaku, bisa juga dengan double blind. Rekomendasi yang harus diberikan sebelum melakukan TP adalah sebagai berikut. a. Hilangkan hipersensitivitas pada riwayat non-sugestif. Banyak pasien salah diberikan label alergi berdasarkan riwayat penyakitnya tanpa dites, atau dibuktikan dengan tes dengan nilai prediktif terbatas, seperti tes kulit dengan opiat, deteksi IgE dalam hipersensitivitas aspirin atau tes biologi yang tidak valid. Sebagai contoh, banyak reaksi merugikan pada anestesi lokal karena faktor nonalergi yang mencakup vasovagal atau respon adrenergik. Untuk menghilangkan kemungkinan reaksi yang dimediasi oleh imun, tingkat paparan harus diketahui. b. Menyediakan alternatif yang aman pada pasien dengan alergi dan membuktikan toleransi.

Pasien dengan alergi penisilin yang diklaim memiliki risiko meningkat sekitar sepuluh kali lipat memiliki reaksi alergi terhadap obat antimikroba selain penisilin dan sefalosporin. Lebih lengkapnya akan dibahas pada contoh kasus. c. Hilangkan reaktivitas silang-obat yang terbukti menyebabkan hipersensitivitas Pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin dan tes kulit positif mempunyai peningkatan resiko tiga kali lebih tinggi jika suatu sefalosporin diberikan, oleh karena itu sefalosporin mengganggu. d. Menetapkan diagnosis pada kasus-kasus dengan riwayat yang sugestif namun dengan tes yang negatif (kulit atau in vitro). Untuk mengklarifikasi hipersensitivitas obat yang dicurigai pada tes kulit biasanya adalah hal pertama yang akan dilakukan, tetapi sering dengan hasil negatif. Agen penyebabnya kemudian hanya dapat diidentifikasi dengan TP. Tes provokasi dikatakan positif jika hasilnya menunjukkan gejala yang sebenarnya. Jika reaksi sebenarnya diwujudkan dengan gejala yang subjektif dan pada pengujian ulang menunjukkan hal yang sama, gejala yang tidak diverifikasi, maka tes berulang dengan plasebo harus dilakukan. Jika dengan placebo hasilnya negatif, maka pengulangan dengan dosis obat sebelumnya sangat direkomendasikan. Nilai prediktif TP terutama tergantung pada jenis / mekanisme reaksi dan obat yang terlibat. Seorang dokter dalam melakukan TP untuk reaksi hipersensitivitas obat harus mengetahui literatur tertentu dan kebutuhan pengalaman yang cukup dalam membedakan banyak alasan untuk hasil tes false-negatif dan false-positif. Alasan ini adalah banyak tetapi dapat dievaluasi dan dihindari di sebagian besar kasus. TP dalam kondisi yang terkendali setelah melakukan tes kulit, penting dilakukan sebelum rating

D. Pemeriksaan Radiologi dan Imaging Karena kelainan pada kulit bisa dilihat dengan mata telanjang, pemeriksaan radiologi dan imaging pada penyakit-penyakit kulit memiliki kepentingan yang lebih rendah berbanding pada spesialti yang lainnya. Namun yang demikian, pemeriksaan ini masih memainkan peran yang penting dalam dermatologi pada kasus-kasus tertentu. Dalam praktek dermatologi, Ultrasonografi (USG), Magnetic Resonance Imaging (MRI), scan radioisotope, dan PET scan semuanya digunakan terutama untuk yang berkaitan dengan deteksi limfadenopati atau keganasan kulit metastatik yang lainnya. Peran Ultrasound resolusi tinggi semakin penting dalam dokumentasi pembesaran nodul dan infiltrasi tumor, serta bisa digunakan untuk memandu biopsi.3 Selain dari itu, prosedur radiologi juga digunakan untuk menilai dengan tepat lesi tebal pada skleroderma, derajat ekstensi infeksi pada selulitis tipe berat (dan membedakannya dari necrotizing fasciitis menggunakan MRI), serta assessment invasi lokal tumor.3 Teknik-teknik imaging juga berperan penting dalam manajemen penyakit seperti neurofibromatosis, di mana terdapat keterlibatan sistem saraf pusat, atau dalam penilaian perubahan otot pada dermatomiositis.3 Limfosintigrafi mungkin berguna untuk penilaian fungsi sistem limfatik pada ekstremitas bawah yang edem.3

You might also like