You are on page 1of 22

Prosedur Penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

oleh:

I GEDE PRANADATA RIZA RIZKY FITRI RIZA PURUHITA

105020307111002 105020307111012 105020305111007

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda


Suatu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang bersifat komprehensif pada umumnya terdiri dari ketentuanketentuan sebagai berikut: 1. Ketentuan tentang hal-hal yang menjadi ruang lingkup (scope provisions) dari suatu perjanjian penghindaran pajakberganda 2. Ketentuan yang mengatur tentang definisi dari istilah atau terminology yang ada dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (definition provisions); 3. Ketentuan yang mengatur tentang hak pemajakan suatu Negara atas suatu jenis penghasilan (substansive provisons);

(cont.)
4. Ketentuan yang mengatur tentang fasilitas eliminasi atau keringanan pajak berganda (provisions for elimination of double taxation); 5. Ketentuan yang mengatur tentang pencegahan upaya penghindaran pajak (anti avoidance provisions 6. Ketentuan lainnya (special provisions) seperti ketentuan tentang non-diskriminasi, diplomat, territorial ekstensi, dan bantuan untuk melakukan pemungutan pajak; 7. Ketentuan tentang saat dimulai dan berakhirnya suatu perjanjian penghindaran pajak berganda (final provisions).

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda


Untuk dapat menerapkan suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, kita harus melakukan dengan cara tahap-per-tahap sebagai berikut:
1. Tahap pertama Tahap pertama yang harus dilakukan adalah untuk mengetahui, apakah subjek pajak, objek pajak, dan Negara yang diperdebatkan termasuk dalam cakupan atau ruang lingkup dari perjanjian penghindaran pajak yang bersangkutan. 2. Tahap Kedua Memastikan definisi penghasilan yang diperdebatkan. 3. Tahap Ketiga Menentukan pasal substansif (substansive provisions) mana yang berlaku. 4. Tahap Keempat Tahap keempat ini dilakukan untuk menghilangkan dampak pemajakan berganda seandainya dalam pasal-pasal substansif yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, masing-masing diberikan hak pemajakan. 5. Tahap Kelima Apabila keempat tahap tersebut masih terdapat persengketaan antara Negara yang satu dengan negara yang lainnya, masalah pemajakan berganda dapat diselesaikan melalui Mutual Agreement Procedure (MAP).

Person Covered Tahap Pertama


1. Konsep Person dan Resident Subjek pajak yang dapat menerapkan perjanjian penghindaran pajak harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1. Untuk memastikan apakah subjek pajak merupakan persons sesuai dengan definisi yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan b OECD Model Tahap selanjutnya adalah mempertanyakan pakah subjek pajak tersebut merupakan resident dari negara yang mengadakan perjanjian Resident atau subjek pajak dalam negeri yang berhak untuk mengaplikasikan suatu perjanjian penghindaran pajak adalah resident yang terutang pajak (is liable to tax) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari dalam dan luar negeri (world wide income).

(cont.)
2. Tie Breaker Rule Konsep dasar tie breaker rule diatur dalam pasal 4 ayat (2) dan (3) bahwa dalam rangka pencegahan terjadinya pajak berganda,subjek pajak hanya boleh menjadi resident di satu negara saja.Pasal 4 ayat (2) dan (3) ini akan menghilangkan kemungkinan adanya pemajakan berganda.

(cont.)
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Amerika Berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda IndonesiaAmerika jika seseorang tidak memiliki tempat tinggal tetap di indonesia dan amerika serikat,maka status subjek pajak dalam negeri ditentukan berdasarkan dengan negara mana hubungan pribadi dan ekonomi seseorang tersebut paling dekat (vital interest) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia Singapura Berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda IndonesiaSingapura adalah apabila seseorang terdapat subjek pajak bdan yang menjadi subjek pajak dalam negeri indonesia dan singapura maka pemecahannya dengan konsultasi antara pihak-pihak yang berkompeten di masing-masing negara melalui Mutual agreement procedure (MAP)

Taxes Covered Tahap Pertama


Perjanjian penghindaran pajak berganda tidak hanya mengatur pajak penghasilan akan tetapi perjanjian penghindaran pajak berganda juga mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti antara Indonesia- Korea selatan Pasal 8 ayat (3) menyatakan : Apabila terdapat perusahaan yang menjadi subjek pajak dalam negeri indonesia yang melakukan pengoperasian kapal atau pesawat udara perusahaan di dalam lalu lintas internasional akan dibebaskan dari pengenaan PPN di korea.Demikian juga apabila terdapat perusahaan yang mejadi subjek pajak dalam negeri korea sealatan yang melakukan pengoperasian kapal atau pesawat udata di dalam lalu lintas internasional akan dibebaskan dari pengenaan PPN di Indonesia.

Definisi Istilah Tahap Kedua


Untuk dapat menerapkan suatu perjanjian penghindaran pajak berganda istila histilah yang terdapat dalam perjanjian diberikan definisi dalam satu pasal tertentu yaitu pasal 3 ayat (1)

Istilah-istilah yang diatur dalam pasal 3 ayat (1) adalah : Person, Company, Enteprise, Enterprise of a contracting state dan enterprise of the other contracting state, International traffic, Competent authority, National, Business

Pembagian Hak Pemajakan dalam Pasal pasal Substantif Tahap Ketiga


Metode yang dipergunakan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda untuk menghindari adanya pemajakan berganda adalah dengan cara menggolongkan suatu penghasilan berdasarkan suatu penggolongan tertentu. Pada umumnya penggolongan penghasilan yang disebut sebagai distributive rules tersebut adalah sebagai berikut :

1 Active Income

2 Passive Income

3 Other Income

Makna Terminologi Shall be Taxable Only dan May be Taxed


Dalam model perjanjian penghindaran pajak berganda yang dikembangkan oleh OECD, dalam rangka untuk membagi hak pemajakan antara negara yang mengadakan perjanjian, terdapat 2 (dua) terminologi yang digunakan, yaitu : Ada dua cara untuk melihat manfaat dari adanya riset akuntansi, yaitu:

1 Shall be taxable only

Terminologi ini untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada satu negara yang biasanya diberikan kepada negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri (residence state).

Makna Terminologi Shall be Taxable Only dan May be Taxed

2 May be taxed
Terminologi ini dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisili dan negara sumber. Makna terminologi tersebut adalah negara sumber juga dapat mengenakan pajak.

Mutual Agreement Procedure (MAP) Tahap Kelima


Apabila masih terdapat pemajakan berganda atas penerapan ketentuan ketentuan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda sebagaimana dijelaskan diatas maka dapat ditempuh melalui prosedur persetujuan bersama atau disebut dengan Mutual Agreement Procedure (MAP). Pasal 25 ayat (1) menjelaskan lebih lanjut mengenai prosedur persetujuan bersama atau MAP dalam OECD Model 2008 maupun UN Model.

Interpretasi P3B
Pasal 3 ayat (2) OECD model dan UN model yang mengatur prinsip umum interpretasi terhadap istilah yang dipergunakan di dalam P3B tapi tidak diberikan definisinya oleh perjanjian tersebut Dalam melakukan interpretasi harus sesuai dengan hukum perjanjian internasional yaitu : 1. Interpretasi harus berdasarkan itikad baik 2. Interpretasi harus sesuai dengan arti yang diberikan dalam context perjanjian international 3. Interpretasi harus dikaitkan dengan maksud dan tujuan dibuatnya perjanjian internasional

Peran VCLT dalam Interpretasi P3B


VCLT (Vienna Convention on the law of Tax treaties) diadopsi tanggal 22 mei 1969 dan dibuka ditanda tangani pada tanggal 23 mei `969. Sudah 179 negara menandatangai Konvensi Wina (Indonesia tidak termasuk) Prinsip-prinsip interpretasi yang diatur dalam Konvensi Wina harus ditempakan diatas daripada prinsip interpretasi dalam ketentuan domestik suatu negara. Dalam melakukan interpretasi atas P3B hasil akhirnya harus sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya P3B yaitu :
1. 2. Untuk menghilangkan atau meringankan beban pajak berganda Untuk mencegah terjadinya pemnyelundupan pajak

Tata Cara Interpretasi dalam VCLT


Pasal 31 mengatur tentang pendekatan umum dalam melakukan interpretasi dan juga memuat beberapa ketentuan khusus dalam melakukan interpretasi Pasal 32 mengatur tentang prosedur tambahan sebagai pelengkap dalam melakukan interpretasi Pasal 33 mengatur tentang tata cara interpretasi dari suau perjanjian internasional yang menggunakan berbagai bahasa berbeda

Prosedur tambahan sebagai pelengkap dalam melakukan interpretasi


Prosedur tambahan ini sering disebut Supplementary means of interpretation Prosedur ini dapat meliputi melihat kembali kertas kerja saat proses pembahasan perjanjian,seperti minute of meeting,korespondensi,dan draf perjanjian yang tidak disepakati Prosedur ini diatur dalam Pasal 32 VCLT

Kedudukan OECD Commentaries dan UN Commentaries


Peran commentaries adalah untuk menjelaskan secara lebih terinci arti dan maksud tentang ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal model masing-masing OECD commentaries dibuat oleh ahli perpajakan dari negara-negara yang tergabung dalam OECD sedangkan UN dibuat oleh para ahli perpajakan yang tergabung dalam Ad Hoc Group of Tax Expert (PBB)

(cont.)
Apabila suatu negara tidak setuju dengan interpretasi yang diberikan oleh commentaries dapat melakukan tindakan berikut : 1. Merubah ketentuan yang terdapat dalam pasal model perjanjian 2. Membuat pernyataan secara spesifik terhadap ketentuan yang diatur dalam suatu pasal tertentu 3. Membuat pernyataan tidak setuju dalam protokol perjanjian 4. Membuat pernyataan yang tidak setuju dalam MOU yang merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu perjanjian

Interpretasi yang Bersifat Statis atau Dinamis?


Commentaries sering dilakukan perubahan sejak tahun 1992 yaitu pada tahun 1994,1995,1997,2000,2003,2005,dan 2008.Karena sering berubah ini lah yang menyebabkan banyak negara bingung commentaries mana yang digunakan yang bersifat statis atau dinamis OECD menyarankan sebaiknya commentaries yang digunakan adalah commentaries yang Dinamis,namun banyak para ahli yang tidak setuju karena commentaries yang dinamis tidaklah mengikuti prosedur persetujuan berdasarkan hukum domestik masing-masing negara

Interpretasi Berdasarkan Pengertian Domestik


Menurut paragraf 11 dari OECD commentaries tahun 2008 pasal 3 ayat (2) menyatakan bahawa interpretasi yang diutamakan adalah interpreasi yang diberikan paling belakang dan disesuaikan atau diartikan berdasarkan perubahan hukum yang terakhir kali dibuat di negara tersebut.

Terima Kasih

You might also like