You are on page 1of 5

Randomized Controlled Comparison of Ofloxacin, Azithromycin, and an Ofloxacin-Azithromycin Combination for Treatment of Multidrug-Resistant and Nalidixic Acid-Resistant Typhoid

Fever_
Acak Terkendali Perbandingan Ofloxacin, Azitromisin, dan Kombinasi Ofloxacin-Azitromisin untuk Pengobatan dari Multidrug-Resistant dan Nalidiksat Acid-Resistant Demam Tifoid Christopher M. Parry,1,4* Vo Anh Ho,2 Le Thi Phuong,2 Phan Van Be Bay,2 Mai Ngoc Lanh,2 Le Thanh Tung,2 Nguyen Thi Hong Tham,2 John Wain,1,4 Tran Tinh Hien,3 and Jeremy J. Farrar1,4
Oxford University Clinical Research Unit,1 and Hospital for Tropical Diseases,3 Ho Chi Minh City, and Dong Thap Provincial Hospital, Cao Lanh City, Dong Thap Province, 2 Vietnam and Centre for Tropical Medicine, Nuffield Department of Clinical Medicine, John Radcliffe Hospital, Oxford OX3 9DU, United Kingdom 4
Received 10 April 2006/Returned for modification 16 May 2006/Accepted 27 November 2006

Isolates of Salmonella enterica serovar Typhi that are multidrug resistant (MDR, resistant to chloramphenicol, ampicillin, and trimethoprim-sulfamethoxazole) and have reduced susceptibility to fluoroquinolones (nalidixic acid resistant, Nar) are common in Asia. The optimum treatment for infections caused by such isolates is not established. This study compared different antimicrobial regimens for the treatment of MDR/ Nar typhoid fever. Vietnamese children and adults with uncomplicated typhoid fever were entered into an open randomized controlled trial. Ofloxacin (20 mg/kg of body weight/day for 7 days), azithromycin (10 mg/kg/day for 7 days), and ofloxacin (15 mg/kg/day for 7 days) combined with azithromycin (10 mg/kg/day for the first 3 days) were compared. Of the 241 enrolled patients, 187 were eligible for analysis (186 S. enterica serovar Typhi, 1 Salmonella enterica serovar Paratyphi A). Eighty-seven percent (163/187) of the patients were children; of the S. enterica serovar Typhi isolates, 88% (165/187) were MDR and 93% (173/187) were Nar. The clinical cure rate was 64% (40/63) with ofloxacin, 76% (47/62) with ofloxacin-azithromycin, and 82% (51/62) with azithromycin (P _ 0.053). The mean (95% confidence interval [CI]) fever clearance time for patients treated with azithromycin (5.8 days [5.1 to 6.5 days]) was shorter than that for patients treated with ofloxacinazithromycin (7.1 days [6.2 to 8.1 days]) and ofloxacin (8.2 days [7.2 to 9.2 days]) (P < 0.001). Positive fecal carriage immediately posttreatment was detected in 19.4% (12/62) of patients treated with ofloxacin, 6.5% (4/62) of those treated with

the combination, and 1.6% (1/62) of those treated with azithromycin ( P _ 0.006). Both antibiotics were well tolerated. Uncomplicated typhoid fever due to isolates of MDR S. enterica serovar Typhi with reduced susceptibility to fluoroquinolones (Nar) can be successfully treated with a 7-day course of azithromycin. Isolat serotipe enterica Salmonella typhi yang multidrug resistant (MDR, Resisten terhadap chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim-sulfametoxazole) dan yang telah berkurang kerentanannya terhadap floroquinolon (nalidixic acid resistant,NA) adalah umum di Asia. Pengobatan yang optimal untuk infeksi yang disebabkan oleh isolat tersebut tidak dapat ditegakan. Penelitian ini membandingkan perbedaan regimen antimikroba untuk pengobatan MDR/NAR demam typhoid. Orang Vietnam, anakanak dan dewasa dengan demam tifoid tanpa komplikasi dimasukan dalam uji coba terkontrol secara acak terbuka (Open randomized controlled trial). Ofloxacin (15 mg/kgBB/hari selama 7 hari), azithromycin (10mg/KgBB/hari selama 7 hari), dan Ofloxacin (15mg/kgBB/hari selama 7 hari) dikombinasi dengan azitromycin 910mg/kgBB/hari selama 3 hari pertama) telah dibandingkan. Dari 241 pasien yang terdaftar, 187 memenuhi syarat untuk analisis (186 serotipe enteric S. typhi, 1 serotipe enteric Salmonella paratyphi A). Delapan puluh tujuh persen (163/187) dari pasien adalah anak-anak; dari Isolat serovar enterica S. Typhi , 88% (165/187) adalah MDR dan 93% (173/187) adalah NAR. Tingkat kesembuhan klinis adalah 64% (40/63) dengan ofloksasin, 76% (47/62) dengan ofloksasin-azitromisin, dan 82% (51/62) dengan azitromisin ( P= 0,053). Rata-rata (95% confidence interval [CI]) waktu hilangnya demam pasien yang dirawat dengan azitromisin (5,8 hari [5,1-6,5 hari]) lebih pendek dari pasien yang dirawat dengan ofloksasin-azitromisin (7.1days [6,28,1 hari]) dan ofloksasin (8,2 hari [7,2-9,2 hari]) (P <0,001). Positif fecal carriage segera setelah terapi terdeteksi pada 19,4% (12/62) pasien yang diobati dengan ofloksasin, 6,5% (4 / 62) dari mereka diobati dengan kombinasi, dan 1,6% (1 / 62) dari mereka diobati dengan azitromisin (P = 0,006). Kedua antibiotik ditoleransi dengan baik. Demam tifoid tanpa komplikasi karena isolat MDR seropite enteric S. typhi dengan yang telah berkurang kerentanannya terhadap fluoroquinolones (NAR) dapat berhasil diobati dengan azitromisin selama 7 hari. Demam typhoid, karena infeksi dengan enterica Salmonella subsp. serotipe enteric Salmonella typhi atau subsp enterica. serotip entric paratyphi A, diperkirakan menyebabkan lebih dari 27 juta infeksi setiap tahun di seluruh dunia dengan 216.000 kematian (13). Multidrug-resistant (MDR) strain serotipe enterica S. typhi dan paratyphi A (resisten terhadap kloramfenikol, trimetoprim-sulfametoksazol, dan ampisilin) adalah endemik di negara-negara Asia (28). Sefalosporin berspectrum luas dan fluoroquinolone digunakan untuk mengobati infeksi tersebut.Dimana fluoroquinolones, seperti ciprofloxacin dan ofloksasin, telah banyak digunakan, isolat serovar enteric S. Typhi dan paratyphi A dengan yang telah berkurang kerentananya terhadap fluoroquinolones adalah hal yang umum (27, 30). Infeksi dengan isolat tersebut telah dikaitkan dengan kegagalan pengobatan, terutama bila pengobatan dengan jangka waktu yang sangat singkat digunakan (31, 35). Isolat ini kurang rentan terhadap ciprofloxacin juga resisten terhadap asam nalidiksat (NAR) (, 12 35). Pada isolat yang berkurang kerentanannya terhadap ciprofloxacin, resistensi terhadap asam nalidiksat telah diusulkan sebagai indikator bahwa infeksi dengan strain seperti ini mungkin tidak merespon terhadap pengobatan fluorokuinolon (24). Di beberapa daerah endemisitas, > 75% pasien terinfeksi tifoid yang dirawat di rumah sakit adalah NAR (27, 30), dan infeksi ini juga terlihat pada wisatawan yang pulang (2). Tidak jelas pilihan rejimen antimikroba oral untuk demam tifoid tanpa komplikasi yang disebabkan oleh isolat S. Typhi yang MDR dan NAR. Fluorokuinolon yang diberikan dalam dosis tinggi selama 7 hari adalah pilihan lini pertama yang paling terjangkau untuk infeksi MDR / NAR di daerah endemis, tetapi pada saat penelitian ini direncanakan, khasiat rejimen tersebut tidak diteliti dalam randomized controlled trial. Cephalosporins spektrum luas akan efektif untuk pengobatan infeksi tersebut, dan resistensi terhadap agen-agen ini tidak umum (15, 32). Namun, biaya dan kebutuhan terapi parenteral membatasi kegunaan mereka sebagai pengobatan lini pertama. Antimikroba azitromisin ,azalide adalah pilihan selanjutnya.Progam pengobatan 500 mg per hari (10 mg / kg berat badan / hari) selama 7 hari dan 1 g per hari (20 mg / kg / hari) selama 5 hari telah terbukti sukses untuk orang dewasa dan anak-anak (8, 18, 19, 21), termasuk orang dewasa dengan infeksi

MDR / NAR (10). Sebuah kombinasi dari fluoroquinolone dengan antimikroba lain yang diarahkan terhadap target lain adalah pilihan yang mungkin meningkatkan efektifitas dibandingkan dengan fluorokuinolon itu sendiri dan berpotensi mengurangi kemungkinan munculnya kuman yang resisten terhadap floroquinolone. Namun, tidak ada bukti percobaan terkontrol untuk mendukung pendekatan ini. Kami telah melakukan tiga macam perbandingan yaitu 7 hari ofloksasin (20 mg / kg / hari), 7 hari azitromisin (10 mg / kg / hari), dan 7 hari ofloksasin (15 mg / kg / hari) dikombinasikan dengan azitromisin (10 mg / kg / hari) selama 3 hari pertama untuk pengobatan demam typhoid tanpa komplikasi. Kombinasi ofloksasin dan azitromisin dirancang secara empiris sesuai dengan farmakokinetik yang berbeda dari kedua antimikroba. Dosis rendah ofloksasin dan durasi yang lebih singkat dari azitromisin dipilih untuk melihat apakah hal ini memungkinkan untuk menekan biaya, tetapi tatap menjaga kemanjuran rejimen.
MATERIALS AND METHODS

Tempat Penelitian dan Kepatuhan etika. Penelitian dilakukan di bangsal infeksi di Rumah Sakit Provinsi Dong Thap, Cao Lanh Town, Propinsi Dong Thap, Vietnam. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit provinsi dengan 300 tempat tidur untuk Dong Thap Propinsi di Delta Mekong. Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari Komite Ilmiah dan Etis dari Rumah Sakit Provinsi Dong Thap dan Rumah Sakit untuk Penyakit Tropis, Ho Chi Minh City. Pasien atau orang tua atau wali, untuk anak-anak, memberikan informasi persetujuan lisan sebelum mengikuti penelitian. Penelitian dilakukan sesuai dengan ICH dan Declaration of Helsinki guidelines. Objek Penelitian. Yang terdaftar dalam penelitian ini adalah anak-anak dan orang dewasa dengan gejala klinis demam typhoid. Persyaratan untuk pendaftaran diperlukan pasien yang mengalami demam (suhu 38 C) dan riwayat demam selama minimal 4 hari ditambah setidaknya satu dari kriteria berikut: nyeri perut / tenderness, diare atau konstipasi, hepatomegali, splenomegali, dan / atau rose spots. Pasien yang dikecualikan jika mereka terbukti memiliki penyakit berat atau dengan komplikasi (perdarahan gastrointestinal berat, perforasi usus, , visible jaundice, miokarditis, pneumonia, gagal ginjal, shock, atau perubahan tingkat kesadaran), ketidakmampuan untuk menelan obat oral, sejarah signifikan underlying disease atau hipersensitif terhadap salah satu obat percobaan, atau sedang hamil atau menyusui. Pasien yang memberikan riwayat pengobatan dengan fluoroquinolone atau sefalosporin spektrum luas atau macrolide dalam 1 minggu masuk rumah sakit juga dikecualikan Randomisasi dan Pengobatan. Pasien dialokasikan untuk salah satu dari tiga kelompok perlakuan dalam open randomized comparison. Daftar pengacakan yang dihasilkan komputer diproduksi oleh seorang anggota staf dinyatakan tidak terlibat dalam penelitian itu. Alokasi pengobatan disimpan dalam amplop tertutup bernomor seri yang hanya dibuka setelah pasien telah terdaftar dalam studi. Pasien secara acak menerima salah satu dari tiga rejimen berikut: (i) ofloksasin (Oflocet; Hoescht Marion Roussel, Paris, Perancis) 20 mg / kgBB /hari peroral dalam dua dosis terbagi (maksimal, 400 mg dua kali sehari) selama 7 hari; (ii) azitromisin suspensi (Zithromax; Pfizer Internasional) 10 mg / kgBB /hari per oral sekali sehari (maksimum 500 mg sehari) selama 7 hari (tablet digunakan untuk orang dewasa), (iii) ofloksasin (Oflocet; Hoescht Marion Roussel, Paris, Perancis) 15 mg / kgBB / hari per oral dalam dua dosis terbagi (maksimal, 300 mg dua kali sehari) selama 7 hari dikombinasikan dengan suspensi azitromisin (Zithromax; Pfizer Internasional) 10 mg / kgBB / hari secara oral sekali per hari (maksimal, 500 mg per hari) selama 3 hari pertama. Pengawasan dilakukan yaitu makanan atau obat-obatan yang mengandung kalsium (misalnya, susu atau antasida) tidak diberikan pada saat yang bersamaan dengan antimikroba untuk menghindari masalah dengan penyerapan ofloksasin. Laboratorium investigation. Hematokrit, sel darah putih, hitung jenis, trombosit, serum aspartat transaminase, alanin transaminase, kreatinin dan analisa urin dilakukan sebelum terapi. Aspartate transaminase dan alanin transaminase diulang 1 hari setelah akhir terapi.Pemeriksaan darah lengkap diulang jika sudah ada bukti perdarahan gastrointestinal atau bukti klinis anemia. Sebuah X-ray thorax dan radiologis lainnya, termasuk USG perut, dilakukan sebagai indikasi klinis. Kultur darah, sumsum tulang, dan feses diperoleh sebelum terapi. Kultur darah diambil pada

semua pasien sehari setelah akhir pengobatan. Selain itu, tiga spesimen tinja dikultur antara 2 dan 4 hari setelah akhir pengobatan. Isolat Salmonella diidentifikasi dengan uji biokimia standar dan aglutinasi dengan antiserum Salmonella-spesifik (Murex diagnostik, Dartford, Inggris). Sensitivitas antimikroba diperiksa dengan metode difusi cakram dimodifikasi Bauer-Kirby dengan interpretasi zona ukuran berdasarkan CLSI guidelines (sebelumnya NCCLS) (24). Cakram antibiotik yang diuji adalah kloramfenikol (30 g), ampisilin (10 g), trimetoprim-sulfametoksazol (1.25/23.75 g), ceftriaxone (30 g), ofloksasin (5 g), azitromisin (15 g), dan asam nalidiksat (30 g ). Isolat disimpan dalam protected beads (Prolabs, Oxford, Inggris) pada suhu -20 C untuk kemudian dilakukan pengujian MIC dengan pengenceran plate agar (25). Serbuk antibiotik dibeli dari Sigma, United Kingdom. MIC azitromisin ditentukan oleh E-test (AB Biodisk, Solna, Sweeden) sesuai dengan instruksi pabrik. Escherichia coli ATCC 25922 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923 digunakan sebagai strain kontrol untuk tes ini. Isolat didefinisikan sebagai MDR yang resisten terhadap kloramfenikol (32 g / ml), ampisilin (32 g / ml), dan trimetoprim-sulfametoksazol (8 dan 152g / ml). Isolat didefinisikan sebagai resisten asam nalidiksat (NAR) jika itu resisten terhadap asam nalidiksat (32 g / ml). Breakpoints CLSI untuk ofloksasin adalah 2 g / ml (rentan) dan 8 g / ml (resisten), tetapi ada tidak untuk azitromisin. (24) Definisi. Pasien diperiksa setiap hari sampai pulang dari rumah sakit, dengan referensi khusus gejala klinis, efek samping obat, dan komplikasi penyakit. Suhu tubuh diukur setiap 6 jam. Respon terhadap pengobatan dinilai dengan parameter klinis (resolusi gejala klinis dan sign), fever clearance time (waktu dari awal pengobatan sampai suhu tubuh mencapai 37,5 C dan atau tetap di 37,5 C selama 48 jam), pengembangan komplikasi, dan bukti kekambuhan infeksi. Sebuah kegagalan pengobatan klinis didefinisikan sebagai persistensi demam dan ada setidaknya satu gejala tifus terkait lainnya lebih dari 7 hari setelah dimulainya pengobatan atau terbentuknya komplikasi berat (perdarahan gastrointestinal berat, perforasi usus, visible jaundice, myocarditis, pneumonia , gagal ginjal, shock, atau perubahan tingkat kesadaran) selama pengobatan yang membutuhkan perubahan dalam terapi. Kegagalan pengobatan mikrobiologi didefinisikan sebagai adanya isolasi S. Typhi atau paratyphi A dari darah atau dari tempat steril setelah selesainya pengobatan. Mereka yang gagal pengobatan dan, menurut pendapat dokter yang merawat, diperlukan pengobatan ulang dengan menerima 60 mg / kg / ceftriaxone hari selama 7 sampai 10 hari. Early fecal carriage didefinisikan sebagai kultur tinja positif, dengan isolat memiliki pola kerentanan yang sama seperti isolat aslinya, setelah 7 hari pengobatandan sebelum dikeluarkan dari rumah sakit. Pasien diminta untuk kembali untuk penilaian tindak lanjut pada 4 minggu atau lebih awal jika gejalanya terulang. Selanjutnya tindak lanjut dilakukan pada 3 bulan dan 6 bulan setelah pengobatan. Pasien yang tidak kembali dikunjungi di rumah mereka oleh salah satu anggota tim penelitian. Pada tindak lanjut pertama, dicari bukti klinis kambuh, pasien ditanya tentang gejalagejala sendi, dan cultur tinja dilakukan satu kali. Kultur darah dilakukan jika ada gejala dan tandatanda relapse. Relapse didefinisikan sebagai kambuhnya gejala dan tanda sugestif demam typhoid dalam jangka waktu 4 minggu setelah pasien pulang dengan sembuh dari rumah sakit disertai dengan biakan darah positif untuk S. Typhi atau paratyphi A.

Ukuran sampel dan analisis statistik. Kami mengasumsikan bahwa tingkat kegagalan untuk pasien dirawat dengan azitromisin akan menjadi 5%. Ukuran sampel dari 59 pasien dalam kelompok masing-masing akan memberikan daya sebesar 80% pada tingkat signifikansi 5% untuk mendeteksi tingkat kegagalan sebesar 25% pada pasien yang diobati dengan ofloksasin (yaitu, perbedaan antara dua tingkat kegagalan sebesar 20%) .Hasil dari analisis terperinci dibatasi untuk pasien yang sebelum pengobatan memiliki kultur darah atau sumsum tulang positif dengan S. Typhi atau paratyphi A. Proporsi dibandingkan dengan chi-square test atau Fishers exact test. Biasanya data yang didistribusikan dibandingkan menggunakan one-way analisis varians dengan Tukey s HSD test post hoc multiple-comparison test,yang tidak biasa pendistribusian data menggunakan Kruskal-Wallis test. Fever clearence time dan durasi masuk setelah awal pengobatan dibandingkan menggunakan survival analysis dan log rank test. Asosiasi independen klinis, laboratorium, dan variable pengobatan dengan hasil kegagalan klinis ditentukan menggunakan multivariable logistic regression analysis , termasuk semua variabel yang bermakna

dikaitkan dengan analisis univariat (P = 0,05). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Epi-Info versi 6 (CDC, Atlanta, GA) dan SPSS untuk versi Windows 11 (SPSS, Inc, Chicago, IL). HASIL Dua ratus empat puluh satu pasien dengan suspek demam typhoid dimasukan dalam penelituan antara 1988 dan 2002. Delapan puluh pasien yang telah diacak mendapat pengobatan dengan ofloxacin, 81 dengan kombinasi ofloxacin dan azithromycin, dan 80 dengan azithromycin. Seratus sembilan puluh tiga pasien memiliki hasil kultur darah dan sumsum tulang yang positif, 192 diantaranya S.typhi dan 1 dengan paratyphi A. Seratus tiga puluh tujuh pasien memiliki hasil kultur darah dam sumsum tulang yang positif, 32 dari sumsum tulang dan 24 dari darah, 40/161 (24,8%) pasien dengan kultur darah dan sumsum tulang yang positif juga positif pada kultur feses. Empat pasien yang memiliki kultur positif yang dipilih secara acak telah diterapi dengan floroquinolon sebelum mengikuti penelitian dan 2 orang pulang sebelum menyelesaikan pengobatan, meninggalkan 187 pasien yang memenuhi syarat dengan hasil kultur darah atau sumsum tulang yang positif. Dari 55 pasien yang tersisa menyelesaikan pengobatan, semuanya sembuh, dengan rata-rata durasi pemberian obat 10 hari. Satu pasien acak dari grup yang di terapi dengan ofloxacin mengalami demam berkepanjangan sampai 12 hari, dan tambahan pasien secara acak yang diobati dengan ofloxacin memiliki hasil kultur feses positif S.typhi setelah tindak lanjut 6 bulan. Enam puluh 3 pasien yang memenuhi syarat secara acak dimasukan dalam grup ofloxacin, 62 ke grup ofolxacin dan azitromycin, dan 62 ke grup azitromycin(fig1). Dari 187, 163 (87%) diantaranya adalah anak-anak (usia <15 tahun); 165/187 (88%) terinfeksi isolat MDR; 173/187(93%) terinfeksi isolat NAR. Semua isolat rentan terhadap ofloxacin dan ceftriaxone dengan tes cakram antibiotik dan MIC. Dalam pengisolasian, MIC90 (range) dari azitrhomycin adalah 16g/ml (4-32 g/ml)dan ofloxacin 1.00 g/ml(0,03 1,00 g/ml). MICH 90 (range) untuk ofloxacin pada isolat NAR adalah 0,06 g/ml (0,03 0,125 g/ml) dan dengan demikian isolasi NAR adalah 1,0 g/ml (0,25 1,0 g/ml). Mayoritas isolat pada penelitian memiliki MIC ofloxacin 0,5 atau 1,0 g/ml. Tidak ada perbedaan berarti pada kriteria inklusi diantara pasien dari ketiga grup (Tabel 1). There were 49 treatment failures; 23 in the ofloxacin-treated patients, 15 in the ofloxacin-azithromycin-treated patients, and 11 in the azithromycin-treated patients (Table 2). The 23 ofloxacin-treated patients failed because of persistent fever and symptoms after the end of treatment, and repeat blood culture was positive for two of them. Fourteen patients required retreatment, while symptoms in the remaining nine resolved during the 3-day period posttreatment. The 15 patients who failed treatment with ofloxacin-azithromycin did so because of persistent fever and symptoms in 14, with a positive repeat blood culture in one, and one developed a gastrointestinal bleed on day 7. Five patients required retreatment, and symptoms resolved in the others in the 3 days posttreatment. All of the patients who failed treatment with ofloxacin or with ofloxacin plus azithromycin were infected with isolates that had an ofloxacin MIC of 0.5 or 1.0 _g/ml and were nalidixic acid resistant. Nine of the 11 patients who failed with azithromycin treatment did so because of persistent fever and symptoms, with a repeat blood culture positive in one, and two patients developed gastrointestinal bleeding on day 4 and day 6 of treatment. Five patients were retreated, while symptoms in the remaining six resolved over the succeeding 3 days. The posttreatment blood culture was positive in one further patient treated with azithromycin. In this patient, the symptoms had already completely resolved and no further treatment was given. Although blood culture was not repeated while the patient was still in the hospital, at the 1-, 3-, and 6-month followup visits, the patient was completely well without negative fecal cultures. All of the patients requiring retreatment responded promptly.

You might also like