You are on page 1of 30

Demam Tifoid Pada Anak

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Penyakit ini pertama kali muncul dalam wabah yang terjadi di Athena sampai Sparta Yunani pada tahun 430-424 SM. Sejarah yang tidak kalah menarik adalah tentang Tifoid Marry yang pada tahun 1907 menjadi seorang carier/ pembawa penyakit tifoid di Amerika, dimana setiap restoran tempat dia bekerja selalu terjadi epidemi tifoid. Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau demam tifoid sepanjang tahun. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang, peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) didapatkan 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan salah satunya tempat pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Prevalensi kasus 91% demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah usia 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Demam yang terjadi biasanya bertipe berkepanjangan (prolonged fever), yaitu demam yang berlangsung minimal lebih dari 5 hari dengan pola yang biasanya khas/klasik yaitu demam yang rendah dan perlahan
1 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak lahan lalu meningkat dari hari ke hari hingga cenderung konstan tinggi. Namun pola demam yang seperti itu sudah jarang ditemui karena pengaruh pemakaian antibiotik dalam pengobatan pribadi. Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhii bersama turunan lainnya Salmonella paratyphii A dan parathypii B kedua kuman ini dapat mencemari makanan dan minuman penderita karena paling sering ditemukan di tinja atau air kemih penderita. Sanitasi yang kurang adalah penyebab utama seperti pencucian tangan yang kurang bersih, makanan atau minuman yang tercemar vektor pembawa penyakit seperti lalat sehingga memudahkan penularan penyakit melalui media fecal-oral. Pada anak- anak demam tifoid cukup sering ditemui, salah satu penyebabnya selain sanitasi adalah system kekebalan atau imunitas yang belum berkembang dengan baik. Komplikasi atau penyulit pun tidak jarang terjadi seperti gangguan SSP (delirium sampai gangguan kesadaran) dan perforasi usus yang menyebabkan peritonitis. Sedangkan pada bayi relative jarang ditemukan karena masih mendapatkan perlindungan dari ASI yang mengandung IgA sekretorik yang memberikan proteksi local khususnya pada saluran cerna. Seringkali keterlambatan diagnosis dan ketidakpahaman orang tua terhadap apa yang dialami oleh anak menjadikan demam tifoid cukup serius untuk ditangani. Penularan yang cukup mungkin terjadi adalah pada orang tua atau orang- orang serumah yang kontak dengan penderita. Sangatlah mungkin dari penderita yang sifatnya tidak memperlihatkan gejala tapi sesungguhnya membawa penyakit dalam tubuhnya (carier). Pada tahun 1897, Almorth Edward Wright mengembangkan vaksin untuk penyakit ini disusul pada tahun 1909 Frederik F. Russell, seorang dokter Angkatan Darat AS yang mengembangkan vaksin ini untuk kemudian divaksinasikan guna mengeliminasi epidemi tifus kala itu. Saat ini telah berkembang imunisasi untuk demam tifoid ini yaitu Ty21a dan ViCPS, namun masih dicari tingkat efektivitas dan keamanannya terutama bagi anak anak.

2 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak

BAB II ISI
II.1 Definisi Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini memiliki mnanifestasi yang hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan oleh bakteri Rickettsia oleh karena itu penyakit ini diberi akhiran id yang berarti mirip. Di Indonesia sendiri penyakit ini lebih akrab dengan sebutan Tifus atau Tipes karena kemiripannya dengan demam Tifus tersebut. Demam tifoid merupakan suatu infeksi Fecal-Oral yang pada nantinya akan menyerang saluran Cerna khususnya usus halus (jejunum dan ileum) dilanjutkan dengan masuknya ke dalam aliran darah (bakteremia) yang akan menyebabkan gejala atau tanda yang khas tempat dimana kuman melewati organ selama bakteremia tersebut. II.2 Etiologi Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk bacil atau batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella peritrik, memiliki ukuran 2-4 m x 0,5 -0,8 m. Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob, mati dalam suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat bertahan selama 4 minggu dan hidup subur dalam media yang mengandung garam empedu. Memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel) dan antigen Vi Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4: Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Serotipe group D. Salmonella typhi, Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab infeksi utama pada manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral, biasanya dengan mengkontaminasi makanan dan minuman. Faktor- faktor lain yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp. adalah keasaman lambung, flora normal usus, dan ketahanan usus lokal.
3 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak

II.3 Epidemologi Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemic di Asia, Afrika, Amerika Latin, kep. Karibia, dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.

Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar 16 juta per tahun, 600.000 diantaranya berakhir dengan kematian. Di Indonesia prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun dengan kejadian yang meningkat setelah usia 5 tahun. Ada dua sumber penularan penyakit ini yaitu pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering adalah dari carier yaitu orang yang sudah sembuh dari demam tifoid tapi masih mengekskresikan S. typhii dalam tinja selama lebih dari setahun.

4 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui secret saluran nafas, urin, tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Mudah mati pada klorisasi dan pasteurinisasi (temp 63oC). Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman (carier), biasanya keluar bersama- sama dengan tinja (rute fecal-oral). Dapat juga terjadi transmisi transprasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.

5 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak II.4 Patofisiologi Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.

6 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut. Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya. Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.

7 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak Bagan patomekanisme Infeksi Salmonella typhi :

8 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak II.5 Gejala Klinis Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi dari gejala yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf pusat. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. Demam yang terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat mencapai 39-40 oC dan cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan berangsur- angsur turun dan normal pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas seperti di atas pada demam tifoid. Tipe deman menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi pengobatan (penggunaan antipiretik atau antibiotic lebih awal) atau komplikasi yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat menyebabkan kejang. Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam akibat infeksi pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang memproduksi endotoksin merupakan pirogen eksogen selain mediator- mediator radang yang disekresi oleh sel- sel mukosa usus yang mengalami infeksi (IL-1, IL-6, TNF-alfa, & IFN-6) yang merupakan pirogen endogen. Kedua pirogen ini akan mengaktivasi pelepasan Fosfolipase A2 pada membran sel yang mana akan mengaktivasi asam arakidonat yang melalui jalur siklooksigenase memproduksi Prostaglandin E2 (PGE2). Prostaglandin E2 bersama dengan AMP siklik yang diaktivasinya akan mengubah seting termostat yang terdapat di hipothalamus sehingga terjadilah demam. Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, perut kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal problem biasanya dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada sirkulasi. Dari cavum oris didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih dengan tepi yang kemerehan kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan tremor kesemua tanda pada lidah ini disebut dengan Tifoid Tongue. Meskipun jarang ditemukan pada anak- anak tapi cukup
9 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak berarti diagnostik. Gejala- gejala lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena bakteri menempel pada mukosa usus dan berkembang biak dalam Peyer patch di dalamnya maka tidak jarang akan muncul gejala- gejala seperti diare atau kadang diselingi konstipasi. Diare merupakan respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus yang perlu untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada demam tifoid tidak sampai menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi yang mungkin baru dialami setelah mengalami diare beberapa kali. Penderita anak- anak lebih sering mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah yang kadang- kadang membuat sering miss diagnosis ketika penderita datang berobat. Kuman yang mengalami perjalanan dalam sirkulasi (bekteremia) juga menimbulkan gejala pada organ Retikulo Endotelial System salah satunya Hepar dan Lien. Hepato- splenomegali terjadi akibat dari replikasi kuman dalam sel- sel fagosit atau sinusoid. Replikasi dalam hepar dan lien ini tentunya akan menyebabkan respon inflamasi lokal yang melibatkan mediator radang seperti InterLeukin (IL-1, IL-6), Prostaglandin (PGE-2) dimana menyebabkan permeabilitas kapiler akan meningkat sehingga terjadi oedema. Pembesaran pada hepar-lien ini umumnya tidak selalu nyeri tekan dan hanya berlangsung singkat (terutama terjadi waktu bakteremia sekunder). Penanda ini cukup spesifik dalam membantu diagnostik. Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood Brain Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering bersifat Sindrom Otak Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan gangguan kesadaran seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma. Pada anak- anak tanda- tanda ini sering muncul waktu mereka tidur dengan manifestasi khas mengigau atau nglindur yang terjadi selama periode demam tifoid tersebut. Gangguan otak organik ini biasanya lebih berat ditemukan pada demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah mengalami komplikasi. Pada keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya sewaktu tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu. Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi kulit berupa ruam makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip dengan ptechiae disebut dengan Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena emboli basil dalam kapiler kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga menyerupai bentuk bunga roseola. Ruam ini muncul paa hari ke 7-10 dan beratahn selama 2-3 hari. Namun
10 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak menurut IDAI penyakit tropik infeksi ruam/rose spot ini hampir tidak pernah dilaporkan pada kasus anak di Indonesia.

Bradikardi Relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada infeksi tifoid. Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1oC akan diikuti oleh peningkatan denyut nadi sampai 10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid peningkatan suhu tubuh tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sehingga dikatakan Bradikardi yang relatif pada demam. Bradikardi relatif ini juga cenderung jarang terjadi pada anak.

11 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak


Makanan yang terkontaminasi Salmonell typhii Masuk Saluran Cerna dalam jumlah minimal 105109 untuk menimbulkan infeksi Masuk ke dalam Bakteri memproduksi Endotoksin (Pirogen Eksogen) usus halus melalui mikrovilli Mencapai Plak Peyer Masuk Pembuluh darah (Bakteremia Primer) Mencapai organ Retikulo Endothelial System (Hepar, Splen) = Bakteremia Sekunder

Mukosa Usus yang terinfeksi akan menstimulasi datangnya sel- sel fagosit (Netrofil dan makrofag) Sel-sel yang mengalami cedera, netrofil, dan makrofag sekresi mediator peradangan: IL-1, IL-6, TNFalfa, & IFN-6 (Pirogen Endogen) Aktivasi Fosfolipase A2 pada membran fosfolipid Aktivasi Asam Arakidonat Asam Arakidonat melalui jalur siklooksigenase membuat Prostaglandin E2 (PGE2)

Bakteri, toksin atau faktor virulensi lainnya menyebabkan proliferasi selsel organ Pembesaran organ

Hepatome gali

Splenome gali

Aktivasi AMP siklik

Mengubah setting termostat di hipothalamus

Suhu tubuh diatur agar lebih tinggi

DEM AM

12 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak II.6 Diagnosis II.6.a Anamnesis Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti Salmonella typhi. Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan terhadap demam tifoid: Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari dan turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin, sejak kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai kejang atau tidak Gejala gastrointestinal, Diare (sejak kapan, frekuensi, ampas +/-, konsistensi, volume tiap diare, warna, darah, lender), konstipasi (sejak kapan mulai tidak BAB), mual atau muntah, anoreksia, malaise, perut kembung Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya sebatas ngelindur atau mengigau saja waktu tidur. Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah pernah sakit seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang sangat mungkin menjadikan penderitanya sebagai carier atau pembawa meskipun tidak menunjukkan gejala Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik dan atau antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin sudah mengalami perubahan Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan mengingat salah satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah lingkungan yang padat dan sanitasi perorangan yang kurang baik.

13 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau minum sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah dihinggapi lalat dan vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian ASI juga perlu diketahui karena pentingnya ASI dalam pembentukan IgA yang berperan dalam imunologi lokal dalam saluran cerna. Anak yang minum susu formula sejak kecil tentunya memiliki saluran cerna yang kurang diproteksi dengan baik oleh Imunoglobulin. Riwayat Imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah ditemukan vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi pasien tetap terinfeksi Tifoid sangat mungkin titer antibodi yang dibentuk oleh vaksinasi sebelumnya tidak cukup kuat untuk mengantisipasi infeksi berikutnya. Atau terdapat kegagalan dalam vaksinasi yang dipengaruhi banyak faktor. II.6.b Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya. Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium, stupor hingga koma. Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada infeksi demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan bibir kering dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai tremor. Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi extraintestinal pada cavum pleura yang menyebabkan pleuritis, namun sangat jaarang terjadi pada anak- anak.

14 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising usus biasanya meningkat baik pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi organ kemungkinan didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata dengan nyeri tekan minimal. Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan rose spot atau Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter 1-5 mm. Namun sangat jarang terjadi pada anak- anak II.6.c Pemeriksaan Penunjang Darah Lengkap, pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan leukositosis dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the Left). Namun untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai leukopenia. Penyebab dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi diyakini akibat replikasi kuman di dalam Peyer Patch yang merupakan makrofag jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh polimorfonuklear leukosit granul seperti Netrofil stab ataupun segmen. Makrofag jaringan merupakan Limfosit sehingga tidak jarang terjadi Limfositosis relatif, karena makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung jenis bisa jadi Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang meningkat (leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit demam tifoid itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi tumpangan. Pada keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi komplikasi berupa perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe Hipokromik Mikrositik. Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman

Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin/antibodi dalam serum
I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

penderita
15

Demam Tifoid Pada Anak tersangka demam tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari flagella kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B (antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B) o Uji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung (Tube Aglutination Test), dengan rincian sebagai berikut: Tabung Larutan garam fisiologis (ml) Serum pasien (ml) Suspensi antigen (ml) Titer antibodi 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,1 0,5 0,5 0,5 0,5 I 0,9 II 0,5 III 0,5 IV 0,5 V 0,5

o Dengan keterangan sebagai berikut: Tabung I = solut : 0,1 ml serum pasien, solven: 0,9 larutan garam fisiologis -> 0,1 dibagi 0,9 + 0,1 = 0,1/0,1 = 1/10. Tabung II = 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan serum pasien tabung I (1/10) + 0,5 ml larutan garam fisiologis tabung II = 1/20 Titer 1/10 mengandung arti dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi Cara menentukan titer antibodi sebagai berikut: Tabung Titer I 1/10 II 1/20 + + + III 1/40 + + IV 1/80 + V 1/160 +
16 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Deretan + Tabung + +

Demam Tifoid Pada Anak o Keterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi antigen antibodi dan yang digunakan adalah tabung aglutinat terakhir (titer 1/160) o Uji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi peningkatan sebanyak 4x Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula- mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada penderita yang sudah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) pengobatan dini dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed, 3) pemberian kortikosteroid, 4) waktu pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi, 6) Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau infeksi tifoid pada masa lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium,akibat aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen. Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila terjadi penekanan sumsum tulang akibat bakteremia kuman. Kultur, hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2) volume darah yang kurang (< 5cc darah). Bila volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedsaide langsung dimasukkan ke media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman. 3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi in dapat menekan
17 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak bakteremia hingga biakan darah dapat negatif, 4) saat pengambilan darah yang kurang tepat pada waktu antibodi meningkat (minggu pertama). Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur sebaiknya diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena sensitifitasnya cukup tinggi, dikarenakan kuman hampir pasti didapatkan diseluruh organ dan jaringan tubuh. Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik yang penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam empedu) karena kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di media ini. Spesimen lain yang mengandung arti diagnostik penting adalah biopsi sumsum tulang yang memiliki hasil positif hampir 90% kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari adalah Fecal Monocyte sebagai respon dari usus yang mengalami reaksi dengan skuman salmonella yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini khususnya bermanfaat bagi carier tifoid Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut. Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan > 91%. Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding

Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09 (reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.
18 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak Ada 4 interpretasi hasil : Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian. Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut: Immunodominan yang kuat Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B. Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat. Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain. Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme Kelebihan pemeriksaan menggunakan IgM anti Salmonella: Mendeteksi infeksi akut Salmonella Muncul pada hari ke 3 demam Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit Hasil dapat diperoleh lebih cepat
19 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak Pemeriksaan radiologi, bukan merupakan pemeriksaan wajib untuk menegakkan diagnosa, tapi untuk evaluasi sudah terjadi komplikasi atau belum: Foto thorax, apabila saat perawatan didapatkan sesak, sangat mungkin terjadi infeksi sekunder berupa pneumonia Foto Polos abdomen (BOF), bila diduga sudah terjadi komplikasi intestinal seperti perforasi usus. Gambaran yang tampak bisa distribusi udara yang tidak merata, air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, tanda- tanda udara bebas dalam cavum abdomen. II.7 Diagnosa Banding Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya influenza/common cold, gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia bila didapatkan tanda- tanda sesak, batuk dan demam. Pada demam tifoid yang berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding. II.8 Penatalaksanaan Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian antibiotika. Pada kasus tifoid yang berat hasus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, eletrolit, serta nutrisi disamping observasi kemungkinan penyulit. a) Istirahat dan perawatan bertujuan untuk menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Anak yang menderita demam tifoid sebaiknya tirah baring/ Bed rest total dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi anak juga perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

20 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak b) Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), bertujuan untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid terutama sekali pada anak- anak, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun serta proses penyembuhan yang akan menjadi lama. Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi,yang mana perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan karena usus harus diistirahatkan. Pemberian makanan padat dini terutama tinggi serat seperti sayur dan daging dapat meningkatkan kerja dan peristaltic usus sedangkan keadaan usus sedang kurang baik karena infeksi mukosa dan epitel oleh kuman Salmonella typhi. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung gejala yang muncul pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus pada anak- anak penting tapi tidak mutlak, mengingat resiko untuk terjadinya phlebitis cukup tinggi. Oleh karena itu pemberian infuse sebaiknya diberikan bagi anak yang sakit dengan intake perOral yang kurang. Jenis infus yang diberikan tergantung usia: 3 bln-3 tahun D5 Normal saline, > 3 tahun D5 Normal saline. Jumlah pemberian infus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pada anak. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya. Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
21 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin. c) Antibiotika Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier. Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten. Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah

dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anakanak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol. Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
22 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per Oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari. d) Terapi penyulit Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol. II.9 Pencegahan Pencegahan demam tifoid sangatlah penting, selain utntuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat pencegahan juga berperan dalam mengurangi penderita carier sehingga resiko penularannya akan berkurang. Yang terpenting adalah hygiene pribadi dengan menjaga kebersihan dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Macam- macam pencegahan untuk demam tifoid antara lain: Preventif dan control penularan, merupakan tindakan pencegahan penularan dan peledakan Kasus Luar Biasa (KLB) demam tifoid. Mencakup kuman Salmonella typhi, faktor pejamu, serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan tranmisi tifoid: o Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien Tifoid

Asimtomatik, carier, dan akut. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu terutama anak- anak yang tinggal di lingkungan padat dengan sanitasi yang kurang. o Pencegahan transmisi langsung dari penderita terifeksi Salmonella typhi akut maupun carier. o Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi

23 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak Vaksinasi. Vaksin tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektifitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO). Jenis vaksin ada yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian Sub Kutan, namun daya kekebalannya terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan disebut : Ty21a (vivotif Berna) pemberiannya secara Oral belum beredar di Indonesia, parenteral: ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merineux) yang merupakan vaksin kapsul polisakarida. Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3x secara bermakna dengan selang 1 hari (hari 1,3,5) dapat memberi daya perlindungan selama 6 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, untuk anak usia > 10 tahun insiden yang turun dapat sebesar 53% sedangkan anak usia 5-9 tahun insiden turun sebesar 17%. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3-5 tahun. Vaksin jenis ini diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin oral ini pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid. Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan pemberian peroral. Diberikan pada usia > 2 tahun dan di booster tiap 3 tahun. Kemasannya di dalam prefilled syringe 0,5 cc dan diberikan secara Intra Muskuler. Kelompok orang yang menjadi sasaran vaksinasi tergantung pada faktor resiko yang berkaitan diantaranya: anak usia sekolah terutama yang berada di daerah endemik, pengunjung yang akan berwisata ke daerah endemic, dan anak- anak yang kontak erta dengan pengidap tifoid (carier) Efektivitas vaksin secara serokonversi dapat membuat peningkatan antibodi sampai 4x setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari- 3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Perlu diperhatikan tentang efek samping vaksin yang dapat berupa demam, sakit kepala akibat pemberian vaksin Ty21a, sedangkan pada ViCPS efek samping yang timbul lebih ringan. Efek samping yang paling sering terjadi bila diberikan
24 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak secara Intravena karena dapat terjadi reaksi lokal berat, edema, hipotensi dan nyeri dada. II.10 Komplikasi dan Penatalaksanaannya Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi intestinal dan komplikasi ekstra intestinal. Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan perforasi usus. Pada perdarahan intestinal diawali dari Peyer Patch yang mengalami infeksi terutama pada ileum terminal dapat terbentuk tukak/luka yang berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi gangguan koagulasi darah atau gabungan keduanya. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor dan tidak memerlukan tranfusi darah. Perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita dapat mengalami syok hipovilemik. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam dengan factor hemostasis yang masih dalam batas normal. Perforasi Usus terjadi sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi, penderita demam tifoid dengan perforasi usus akan mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah lalu menyebar ke seluruh lapang perut dan disertai tanda- tanda ileus. Bising usus melemah, pekak hapar juga menghilang yang menandakan adanya udara bebas dalam cavum abdomen. Untuk lebih menguatkan kea rah perforasi usus dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen AP dan lateral dimana akan didapatka gambaran air fluid level dan bayangan radiolusen pada hepar. Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan antibiotik spectrum luas untuk infeksi kuman Salmonella typhi dengan kombinasi Chloramphenicol dan Ampisilin IV serta untuk mengatasi kuman yang fakultatif anaerob pada flora

25 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak usus digunakan Gentamisin atau Metronidazole. Walaupun jarang terjadi pada anak- anak namun mortalitasnya cukup tinggi bila sampai terjadi perforasi usus. Komplikasi extraintestinal yang paling sering terjadi pada anak- anak adalah manifestasi neuropsikiatrik yang mana sering terjadi delirium dan atau Sindroma Otak Organik yang lain. Hal ini sering juga disebut sebagai tifoid toxic atau tofoid ensefalopati. Pengobatannya ditambah dengan Kortikosteroid (dexamethasone) 3x5 mg. II.11 Prognosis Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps atau kambuh dapat timbuh beberapa kali. Individu yang mengeluarkan Salmonella typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi carier yang kronis. Resiko menjadi carier pada anak- anak rendah dan meningkat sesuai usia. Carier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada carier kronis dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis juga dapat terjadi, namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan schistosomiasis.

26 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak

BAB III KESIMPULAN


Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal. Jumlah minimal kuman yang masuk saluran cerna minimal berjumlah 10 5 dimana kuman ini akan masuk ke lamina propria usus kemudian difagosit oleh makrofag jaringan yang mana kuman akan melakukan replikasi di dalam makrofag itu sendiri dan dibawa ke Peyer Patch lalu mengalami bakteremia primer dan sekunder melewati organ- organ Retikulo Endotelial Sistem diantaranya Hepar dan Lien. Baketermia ini sendiri akan memberikan gejala seperti hepatosplenomegali karena proses inflamasi lokal organ. Lalu akan kembali lagi ke dalam usus tempat masuknya kuman pertama kali. Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastro intestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma. Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella. Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella typhi. Komplikasi terdiri dari Intraintestinal dan ekstraintestinal. Komplikasi

intraintestinal berupa perdarahan sampai perforasi usus. Sedangkan komplikasi

27 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak ekstraintestinal yang tersering didapatkan gangguan neuropsikiatrik selain gangguan hematologi. Pencegahan demam tifoid terutama menjaga sanitasi atau hygiene pribadi atau lingkungan, mengurangi makanan yang memiliki resiko tertular penyakit ini, serta dengan vaksinasi (Ty21a dan ViCPS). Prognosis dipengaruhi masa inkubasi, periode of onset, berobat, imunisasi, lokasi, focus infeksi, penyakit lain yang menyertai dan beratnya penyakit timbul.

28 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegma dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume Z. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. 2. Burnside, Mc Glynn. 1995. Adams Diagnosis Fisik. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 3. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. 4. Ilmu Kesehatan Anak.1985. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK UI 5. Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. 6. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSU Dr. Soetomo Surabaya. 7. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI. 8. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 9. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
10. www.medicastore.com 11. www.pediatric.com

12. www. emedicine/tifoidfever/patofisiogy.com

29 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

Demam Tifoid Pada Anak

30 I PUTU SISTAWIDYAUTAMA S.KED DM FK UWKS 2011-2013

You might also like