You are on page 1of 4

Browse > Home > profesi keguruan > Kode Etik Profesi Keguruan Kode Etik Profesi Keguruan

A. Pengertian Kode Etik Setiap profesi, seperti telah dibicarakan dalam bagian terdahulu, harus mempunyai kode etik profesi. Dengan demikian, jabatan dokter, notaris, arsitek, guru, dan lain-lain yang merupakan bidang pekerjaan profesi mempunyai kode etik. Sama halnya dengan kata profesi sendiri, penafsiran tentang kode etik juga belum memiliki pengertian yang sama. Sebagai contoh, dapat dicantumkan beberapa pengertian kode etik, antara lain sebagai berikut: Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian jelas menyatakan bahwa Pegawai Negeri/Sipil mempunyai Kode Etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan. Dalam penjelasan Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya Kode Etik ini, pegawai negeri sispil sebagai aparatur Negara, abdi negara, dan abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya, dalam Kode Etik Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsipprinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri. Dari urai ini dapat kita simpulkan, bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari. Dalam pidato pembukaan Kongres PGRI XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari pendapat Ketua Umum PGRI ini dapat ditarik kesimpulan bahawa dalam Kode Etik Guru Indonesia terdapat dua unsur pokok yakni: Sebagai landasan moral, Sebagai pedoman tingkah laku. Dari uraian tersebut kelihatan, bahwa kode etik suatu profesi adalah normanorma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjukpetunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari di dalam masyarakat. B. Tujuan Kode Etik Pada dasarnya tujuan merumuskankode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut: Untuk menjunjung tinggi martabat profesi Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remes terhadap profesi akan melarang. Oleh karenya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atauk kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segin ini, kode etik juga sering kali disebut kode kehormatan. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya Yang dimaksud kesejahteraan di sini meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para anggota profesi, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merupakan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorium anggota profesi dalam melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tarif di bawah minimum akan dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin para anggota profesi, kode etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk para anggotanya untuk melaksanakan profesinya. Kode etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi dalam berinteraksi dengan sesama rekan anggota profesi. Untuk meningkatkan pengabadian para anggota profesi Tujuan lain kode etik dapat juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabian profesi, sehingga bagi anggota profesi daapat dengan mudah megnetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik

merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya. Untuk meningkatkan mutu profesi Untuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartispasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejateraan para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan mutu organisasi profesi. C. Penetapan Kode Etik Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para naggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang secara perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut. Kode etik suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin di kalangan profesi tersebut, jika semua orang yang menjalankan profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang bersangkutan. Apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung di dalam suatu organisasi atau ikatan profesional, maka barulah ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan seccara murini dan baik, karena setiap anggota profesi yang melakukan pelanggaran yang serius terhdap kode etik dapat dikenakan sanksi. D. Sanksi Pelanggaran Kode Etik Sering ktia jumpai, bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi, seingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Apabila hanya demikian, maka aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi aturan yang memberikan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya memaksa, baik berupa sanksi perdata maupun sanksi pidana. Sebagai contoh dalam hal ini. Jika seseorang anggota profesi bersaing secara tidak jujur atau curang dengan sesama anggota profesinya, dan jika dianggpakecurangan itu serius ia dapat dituntut di muka pengadilan. Pada umumnya, karena kode etik adalah landasan moral dan merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan maka sanksi terhadap pelanggaran kode etik akan mendapat celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah si pelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi tertentu, menandakan bahwa organisasi profesi itu telah mantap. E. Kode Etik Guru Indonesia Kode Etik Guru Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu sistem yang utuh dan bulat. Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menuunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru, baik di dalam maupun di luar sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarkat. Dengan demikian, maka Kode Etik Guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk pembentukan sikap profesional para anggota profesi keguruan. Sebagaimana halnya dengan profesi lainnya, Kode Etik Guru Indonesia ditetapkandalam suatu konges yang dihadiri oleh seluruh utusan Cabang dan Pengurus Daerah PGRI dari seluruh tanah air, pertama dalam Kongres PGRI XVI tahun 1973, dan kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI tahun 1989 juga di Jakarta. Adapun teks Kode Etik Guru Indonesia yang telah disempurnakan tersebut adalah sebagai berikut: KODE ETIK GURU INDONESIA Guru Indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhdapa Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada Undang-undang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdian Republik Indonesia terpanggil untuk

menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut: Guru berbakti membimbing peserta didik untukmembentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yangmenunjang berhasilnya proses belajar-mengajar. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhdap pendidikan. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengambangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan. F. Organisasi Profesional Keguruan Seperti yang telah disebutkan salah satu kriteria jabatan profesional, jabatan profesi harus mempunyai wadah untuk meyatukan gerak langkah dan mengendalikan keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi guru-guru di negara kita, wadah ini telah ada yakni Persatuan Guru Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan PGRI. PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 November 1945, sebagai perwujudan aspirasi guru Indonesia dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Salah satu tujuan PGRI adalah mempertinggi kesadaran, sikap, mutu, dan kegiatan profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan mereka (Basuni, 1986). Selanjutnya, Basuni menguraikan empat misi utama PGRI, yaitu:(a) Misi politis/ideologi, (b) Misi persatuan organisatoris, (c) Misi profesi, dan (d) Misi kesejahteraan. Kelihatannya, dari praktek pelaksanaan keempat misi tersebut dua misi pertama-misi politis/ideologis, dan misi perasatuan/oranisasi lebih menonjol realisasinya dalam program-program PGRI. Ini dapat dibuktikan dengan telah adanya wakil-wakil PGRI dalam badan legislatif seperti DPR dan MPR. Peranan yang lebih menonjol ini dapat kita pahami sesuai dengan tahap perkembangan bangsa dalam era orde baru ini. Dalam pelaksanaan misi lainnya, misi kesejateraan, kelihatannya masih perlu ditingkatkan. Sementara misi ketiga, misi profesi, belum tampak kiprah nyatanya dan belum terlalu melembaga. Dalam kaitannya dengan perkembangan profesional guru, PGRI sampai saat ini masih mengandalkan pihak pemerintah, misalnya dalam merencanakan dan melakukan program-program penataran guru serta program peningkatan mutu lainnya. PGRI belum banyak merencanakan dan melakukan program kualifikasi guru, atau melakukan penelitian ilmiah tentang masalah-masalah profesional yang dihadapi oleh para guru dewasa ini. Kebanyak kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan mutu profesi biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan-kegiatan ulangtahun atau kongres, baik di pusat maupun di daerah. Oleh sebab itu, peranan organisasi ini dalam peningkatan mutu profesional keguruan belum begitu menonjo. Di samping PGRI sebagai satu-satunya organisasi guru-guru sekolah yang diakui pemerintah sampai saat ini, ada organisasi guru yang disebut Musyawarah Guru Mata pelajaran (MGMP) sejenis yang didirikan atas anjuran pejabat-pejabat Departemen Pendidikan Nasional. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan profesional dari gur dalam kelompoknya masing-masing. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok ini diatur dengan jadwal yang cukup baik. Sayangnya, belum ada keterkaitan dan hubungan formal antara kelompok guru-guru dalam MGMP ini dengan PGRI. Selain PGRI, ada lagi organisasi profesional di bidnagn pendidikan yang harus kita ketahui juga yakni Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), yang saat ini mempunya divisi-divisi antara lain: Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN), Himpunan Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia )HSPBI), dan lain-lain. Hubungan formal antara organisasi-organisasi ini dengan PGRI masih belum tampak secara nyata, sehingga belum didapatkan kerja sama yang saling menunjang dan menguntungkan dalam peningkatan mutu anggotanya. Sebagian anggota PGRI yang sarjana mungkin juga

menjadi anggota salah satu divisi dari ISPI, tetapi tidak banyak anggota ISPI staf pengajar di LPTK yang juga menjadi anggota PGRI. Read more at: http://aadesanjaya.blogspot.com/2010/11/kode-etik-profesi-keguruan.html Copyright aadesanjaya.blogspot.com

You might also like