You are on page 1of 30

MAKALAH SEMINAR TUBERKULOSIS

TUBERKULOSIS PADA PENDERITA HIV

Disusun oleh:

Reiva Wisharilla MD Samuel Raymond RW Wahyu Permatasari Yohanes Edwin Budiman

0906639865

0906639915 0906639972 0906508541

Modul Praktik Klinik Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia November 2012

BAB I PENDAHULUAN

AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) merupakan masalah global yang penting dan merupakan masalah yang sangat kompleks. Dewasa ini dunia telah mengalami suatu pandemi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) sebagai penyebab AIDS. Penyakit HIV/AIDS sampai sekarang masih ditakuti karena sangat mematikan. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan kemanusiaan. Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit menular yang endemis di Indonesia. Tahun 1940 sampai 1970an ditemukan berbagai obat TB sehingga angka TB diberbagai negara Eropa dan Amerika menurun dengan amat tajam dari waktu ke waktu, tetapi belakangan tampak fenomena baru dan penurunan yang tajam ini tidak terjadi. Beberapa faktor jelas berperan dalam perlambatan penurunan TB ini seperti perpindahan penduduk, pengungsi akibat perang, kemiskinan dan infeksi HIV.1,2 Antara TB dan HIV mempunyai hubungan yang kuat karena dengan infeksi HIV maka angka penyakit TB mengalami peningkatan lagi. Tuberkulosis paru merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV. Infeksi HIV merupakan faktor resiko untuk berkembangnya TB melalui mekanisme berupa reaktivasi infeksi laten, progresiviti yang cepat pada infeksi primer atau reinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis).1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi dan permasalahan ko-infeksi TB pada HIV Menurut data UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) yaitu badan WHO dunia yang menanggulangi permasalahan AIDS memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 24 juta orang di dunia sejak tahun 1981 dan menjadikannya sebagai suatu destruksi pandemik yang terbesar dalam sejarah manusia. 3 Sampai saat ini, benua Afrika masih menjadi region terbanyak dengan penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan fakta epidemiologi HIV/AIDS di Afrika Selatan menurut UNAIDS pada tahun 2008 ini, bahwa sekitar 5,7 juta (64%) orang yang telah menjadi ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), dengan rata-rata prevalensi usia 15-49 tahun sekitar 5,4 juta orang, 3,2 juta diantaranya termasuk wanita 15 tahun keatas, 280.000 anak-anak usia 0-14 tahun dan telah tercatat 350.000 pengidap HIV AIDS yang meninggal. Kemudian disusul Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan, sehingga menyebabkan kematian lebih dari 500.000 anak.4 Statistik kasus yang dilaporkan oleh Ditjen PPM & PL Depkes RI, sampai dengan September 2009 secara kumulatif jumlah kasus yang dilaporkan adalah 18442 di 32 Provinsi. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun, disusul kelompok umur 30-39 tahun dan kelompok umur 40-49 tahun.5 Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat HIV paling nyata di Afrika namun angka morbiditas dan mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling banyak di Asia Tenggara. Situasi di Asia berpotensi untuk menyebabkan peningkatan koinfeksi ini karena beberapa alasan yaitu karena prevalensi TB laten di Asia lebih tinggi dibandingkan Afrika (40-45% di Asia dan 30% di Afrika), persentase jumlah populasi penduduk yang tinggal di lingkungan kumuh lebih besar di Asia sehingga mempermudah penularan serta prevalensi TB dengan resistensi obat yang lebih besar pada daerah Asia Tenggara akibat program pengobatan TB yang tidak efektif. WHO memperkirakan akan adanya peningkatan yang dramatis infeksi HIV di Asia pada dekade berikut. Kasus koinfeksi TB-HIV terjadi sebanyak 24% - 45% kasus TB pada infeksi HIV asimptomatik dan sebanyak 70 % pada pasien dengan AIDS, dengan bentuk terbanyak adalah

TB ekstrapulmoner termasuk limfadenitis, bakteremia, penyakit sistem saraf pusat (tuberkuloma, meningitis TB). Tingginya angka kejadian TB pada penderita HIV dengan uji tuberkulin positif dan berpotensi terjadi TB aktif maka perlu diadakan strategi terapi pencegahan TB yang optimal dan sebaiknya mendapat prioritas tinggi pada pasien HIV. Menurut data dari WHO tahun 2008, TB merupakan penyebab utama kematian terkait HIV di seluruh Dunia. Di beberapa negara dengan prevalensi HIV yang lebih tinggi, hingga 80% dari orang uji TB positif HIV. Sekitar 30% dari orang yang terinfeksi HIV diperkirakan memiliki infeksi laten TB. Pada tahun 2008, ada sebuah perkiraan 1,4 juta kasus baru TB di antara orang dengan infeksi HIV dan TB menyumbang 23% dari kematian terkait AIDS.

2.2 HIV/AIDS A. Definisi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai Nol)6 AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006). HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat

virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik

B. Etiologi AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)6,7 Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-17 Struktur HIV : Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut envelope dan di bagian dalam terdapat sebuah inti (CORE). 1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti bola. Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul lemak yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus yang baru terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut. Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan (rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope virus. 3 2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang

diperlukan untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang merupakan komponen env.3 buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu : REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope1

Gambar 1: struktur virus HIV-1

C. Cara Penularan 1. Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering

berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. 1.1. Homoseksual Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital. 1.2. Heteroseksual Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual 2.1 Transmisi Parenral 2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

2.1.2. Darah/Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%. 2.2. Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

TABEL 1. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan faktor resiko dilapor s/d Desember 2010 Faktor Resiko Heteroseksual/HeterosexuaL Homo-Biseksual/Homo-Bisexual Transfusi Darah/Blood Transfusion Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. Tak Diketahui/Unknown AIDS 12717 724 48 628 772

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain: 1. Kontak fisik Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular. 2. Memakai milik penderita Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular. 3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya. 4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

D. Patofisiologi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical, horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala

dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD 4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS1. Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhans, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.

Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru. Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme1 : 1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi dengan nucleus akan menggangu sintesis makromolekul. 2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi 3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya. 4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi1. 5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis. Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit TCD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

E. Perkembangan klinis AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang dikenal sebagai spektrum infeksi HIV. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut window period (masa jendela). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan. Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan. Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten5. Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah turun di bawah 300 sel /. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

F. Manifestasi klinis Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik : 1. Manifestadi tumor diantaranya;

a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer. b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun. 2. Manifestasi Oportunistik diantaranya 2.1. Manifestasi pada Paru-paru 2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP) Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paruparu PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam. 2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV) Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS. 2.1.3. Mycobacterium Avilum Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan. 2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru. 2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal Berkurangnya nafsu makan, diare khronis, penurunan berat badan lebih 10% per bulan. 3. Manifestasi Neurologis Manifestasi Neurologis timbul pada sekitar 10% kasus AIDS. Biasanya manifestasi ini timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang biasa terjadi adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer.

G. Pemeriksaan HIV Skrining HIV Terdapat banyak pendapat mengenai populasi yang sebaiknya mendapatkan skrining HIV. The U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) merekomendasikan skrining HIV bagi semua

remaja dan orang dewasa dengan faktor risiko HIV, dan wanita hamil. The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan skrining pada pasien semau pasien di instansi kesehatan, kecuali pasien tersebut menolak; serta bagi semua orang dengan faktor risiko tinggi HIV, harus diskrining minimal setahun sekali.7 Modalitas skrining yang banyak digunakan yaitu ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay) dengan sensitivitas tinggi. Kebanyakan ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi HIV-1 tipe M, N, O, serta HIV-2. Hasil ELISA yang positif sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yaitu Western Blot. Kriteria diagnostik spesifik yang dihasilkan dari pemeriksaan tersebut termasuk positif, negatif, maupun indeterminate. Pemeriksaan terhadap HIV-2 juga sebaiknya dilakukan pada semua pasien di daerah endemik HIV-2, atau memiliki hasil indeterminate dari HIV-1.8

Hitung Sel T CD4+ Pemeriksaan ini adalah indikator yang cukup dapat diandalkan untuk mengetahui risiko terkena infeksi oportunistik. Jumlah normal CD4 berkisar antara 500-2000 sel/L. Setelah serokonversi, CD4 biasanya berada dalam jumlah rendah (rata-rata 700 sel/L). Di Amerika, definisi AIDS adalah CD4 <200 sel/L, karena tingginya risiko infeksi oportunistik pada level ini. Pada anak usia di bawah 5 tahun, persentase CD4 lebih bermakna daripada hitung absolutnya. Persentase <25% adalah indikasi memulai terapi.9

Viral Load (VL) VL pada darah perifer biasanya dipakai sebagai penanda alternatif untuk mengetahui laju replikasi virus. Disebut alternatif, karena kebanyakan replikasi viral terjadi pada nodus limfatik, daripada darah perifer. Tes ini dapat menyajikan data berupa amplifikasi RNA viral menggunakan nucleic acid sequence-based amplification (NASBA), atau reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). Akan tetapi, pemeriksaan VL kuantitatif tidak bisa digunakan sebagai alat diagnosis, karena kemungkinan adanya positif palsu. Biasanya, VL berkaitan dengan laju progresi menjadi AIDS, walaupun kemampuan prediktabilitasnya masih lebih inferior dari CD4. Dari literature, diketahui bahwa pasien dengan VL >30.000/L memiliki kemungkinan meninggal karena AIDS lebih tinggi daripada pasien terinfeksi HIV dengan VL tidak terdeteksi.

Dengan terapi ART (anti-retroviral) yang adekuat, VL dapat ditekan hingga mencapai tingkat tidak terdeteksi (<20-75 kopi/ L). Pada tingkatan ini, biasanya jumlah CD4 meningkat, dan risiko infeksi oportunistik berkurang. Virologic Failure (VF) didefinisikan sebagai jumlah VL yang secara persisten mencapai angka >200 kopi/ L, walaupun sudah mendapatkan regimen terapi yang adekuat.10

Pemeriksaan HIV Sekunder Kultur virus dapat digunakan pada pemeriksaan resistensi obat secara fenotipik, walaupun sensitivitasnya berkurang seiring dengan menurunnya VL. Selain itu, pemeriksaan ini sangat mahal. PCR untuk deteksi DNA proviral juga dapat dilakukan; namun hanya terbatas pada bayi baru lahir, karena populasi ini tidak bisa dites dengan pemeriksaan serologis (oleh karena adanya antibodi maternal yang persisten hingga 9 bulan atau lebih). Sementara pemeriksaan genotipe DNA/RNA virus digunakan untuk mengetahui mutasi dan membantu memilih terapi.

Temuan Histologis Pemeriksaan PA dapat memberikan gambaran infeksi HIV atau AIDS, misalnya penampakan nodus limfa yang mengalami kerusakan, hiperplasia, sel T multinuklear raksasa (khas pada HIV ensefalopati), mikrogliosis, serta hilangnya gambaran folikuler dendritik yang normal. Mikroskop elektron dapat menunjukkan keberadaan virion di dalam fagosom makrofaga.

Pemeriksaan Infeksi Oportunistik Pemeriksaan ko-infeksi oportunistik di bawah ini sebaiknya dilakukan dengan segera pada pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV. 11 a. PPD (purified protein derivative) pada skin test untuk TB/tuberkulosis, dilanjutkan dengan foto toraks. b. Cytomegalovirus (CMV) dengan tes serologi. Keberadaan IgG anti-CMV

mengindikasikan pasien yang pernah terpajan CMV. Lanjutkan dengan pemeriksaan oftalmologi untuk mengevaluasi retinitis CMV pada hasil tes CD4 yang rendah. c. Sifilis dengan RPR (rapid plasma reagent). Hasil positif sebaiknya dilanjutkan dengan pungsi lumbal, terutama jika terdapat gejala neurologis.

d. Tes amplifikasi cepat untuk infeksi gonokokus dan klamidia. Pemeriksaan panggul dilakukan pada wanita, untuk menyingkrkan kemungkinan trikomoniasis. e. Serologi hepatitis A, B, dan C dilakukan pada pasien untuk menentukan kebutuhan akan vaksinasi dan mengevaluasi infeksi kronik. Pemeriksaan krusial lainnya adalah tes fungsi liver. f. Antibodi anti-toksoplasma diukur untuk mengetahui kejadian toksoplasmosis, karena pada imunosupresi, reinfeksi dapat terjadi sewaktu-waktu. Pasien dengan infeksi toksoplasma sebelumnya memerlukan profilaksis apabila CD4 berada dalam jumlah <100/ L. g. Pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya untuk mengetahui adanya diare, angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster.

Pemeriksaan lainnya Pemeriksaan lainnya, yaitu BUN, kreatinin serum, serta urinalisis lengkap, dilakukan untuk mengetahui nefropati yang terasosiasi HIV. Skrining kimiawi serum dan obat-obatan dilakukan untuk menyingkirkan etiologi metabolit atau infeksius lainnya.12

Klasifikasi Hasil Pemeriksaan CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi kategori sebagai berikut: a. Kategori A adalah infeksi HIV asimtomatik, tanpa adanya riwayat gejala maupun keadaan AIDS. b. Kategori B adalah terdapatnya gejala-gejala yang terkait HIV; termasuk: diare, angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster. c. Kategori C adalah infeksi HIV dengan AIDS. d. Kategori A1, B1, dan C1 yaitu CD4 >500/ L. e. Kategori A2, B2, dan C2 yaitu CD4 200-400/ L. f. Kategori A3, B3, dan C3 yaitu CD4 <200/ L.

H. Tatalaksana HIV Agen Antiretroviral (ARV)13 Terapi Antiretroviral/ARV merupakan bagian dari Integrated Management of Adolescence and Adult Illness (IMAI). Selain sebagai tatalaksana, saat ini terapi ARV juga dianggap sebagai suatu bentuk pencegahan.Terapi ARV yang baik pada ODHA akan menurunkan penyebaran HIV hingga 92%. Pemilihan Terapi Antiretroviral13,14 Terapi antiretroviral, sebaiknya, diberikan dalam bentuk kombinasi dan dipantau secara ketat untuk mengevaluasi kemajuan terapi, munculnya efek samping, dan kemungkinan timbulnya resistensi. Untuk memulai terapi ARV, perhatikan apakah pasien telah memenuhi syarat berikut ini: a. Jika tidak tersedia tes CD4, maka penentuan mulai terapi didasari oleh pemantauan klinis. Stadium klinis tatalaksana HIV/AIDS dirangkum dalam tabel berikut. Stadium 1 a. Tidak ada gejala b. Limfadenopati generalisata persisten a. Penurunan berat badan <10% yang tidak diketahui penyebabnya b. ISPA berulang c. Herpes zoster Stadium 2 d. Keilitis angularis e. Ulkus mulut berulang f. Ruam papul yang gatal di kulit (PPE/Papular Pruritic Eruption) g. Dermatitis seboroik h. Infeksi jamur pada kuku a. Penurunan BB >10% yang tidak diketahui penyebabnya b. Diare kronis >1 bulan c. Demam menetap idiopatik Stadium 3 d. Kandidiasis mulut menetap e. Oral Hairy Leukoplakia f. TB paru g. Infeksi bakteri berat (pneumonia, empiema, meningitis, infeksi

tulang/sendi, bakteremia, dll) h. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, gingitivis atau periodontitis i. Anemia idiopatik (<8 g/dL), neutropenia (<0,5x109/L) j. Trombositopenia kronik (<50x109/L) a. Sindrom wasting b. Pneumonia berulang c. Infeksi HSV d. Kandidiasis esofageal e. TB ekstra-paru f. Kaposi-Sarkoma g. Infeksi CMV h. Toksoplasmosis CNS i. Ensefalopati HIV Stadium 4 j. Infeksi kriptokokus ekstrapulmoner k. Infeksi mycobacteria non-tuberkulosis l. Leukoensefalopati multipel yang progresif m. Kriptosporidiosis kronis n. Isosporiasis kronis o. Mikosis diseminata p. Septikemia yang berulang q. Limfoma r. Kankr serviks invasif s. Leishmaniasis diseminata t. Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatik b. Jika tersedia pemeriksaan CD4, lakukan: 1) Mulai terapi ARV pada semua pasien HIV dengan jumlah CD4 <350 sel/mm 3 tanpa memandang stadium klinis. 2) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien HIV dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. c. Saat memulai terapi ARV pada ODHA dewasa: Target Populasi Stadium Klinis Jumlah Sel CD4 Rekomendasi

ODHA dewasa

1 dan 2

>350 sel/mm3

Belum mulai terapi. Monitor gejala klinis dan jumlah CD4

selama 12 bulan <350 sel/mm3 3 dan 4 Ko-infeksi TB Apapun CD4 berapapun CD4 berapapun CD4 berapapun Mulai terapi Mulai terapi Mulai terapi Mulai terapi

Ko-infeksi Hepatitis B Apapun kronik aktif Ibu hamil Infeksi oportunistik Apapun

CD4 berapapun

Mulai terapi Mulai terapi ARV setelah diagnosis

4: Leukoensefalopati, CD4 berapapun Kaposi, CMV,

langsung penegakan infeksi

Mikrosporidiosis, Kriptosporidiosis 4: TB, PCP, MAC, CD4 berapapun Kriptokokosis

Mulai terapi ARV 2 minggu antibiotik setelah

Obat Antiretroviral13,15 Obat antiretrovirus dapat dibagi menjadi lima golongan:

Enfuvirtide Penetration

amantadine

Uncoating Early protein synthesis Nucleic acid synthesis purine or pyrimidine analogs

adsorption

Late protein synthesis and processing Packaging and assembly protease inhibitors

Viral release
Neuraminidase inhibitors

1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)

Reverse transcriptase (RT) merupakan pengubah RNA virus menadi DNA proviral sebelum bergabung dengan kromosom hospes. NRTI merupakan suatu penghambat RT. Oleh karena RT bekerja pada awal infeksi, NRTI juga bekerja pada tahap awal replikasi virus HIV sehingga obat ini akan menghambat infeksi akut pada sel yang rentan, tetapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV.

Obat NRTI akan jauh lebih efektif jika sehingga lebih efektif jika diberikan dalam kombinasi dengan 3 atau 4 obat lainnya. Komplikasi utama golongan obat ini adalah asidosis laktat dan hepatomegali berat dengan steanosis. Contoh obat golongan ini yaitu zidovudin, didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, emtrisitabin, abakavir.

Zidovudin menghambat enzim RT HIV, setelah gugus azitomidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi untuk berikatan ke ujung rantai 3 virus dan menghambat rekasi transkripsi terbalik. Monoterapi dengan zidovudin direkomendasikan sebagai profilaksis transmisi HIV dari ibu ke anak. Semua obat lainnya di golongan ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

2. NtRTI (Nucleotide reverse Transcriptase Inhibitor) Tenofovir disoproksil fumarat merupakan NtRTI pertama untuk terapi infeksi HIV-1. Bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Obat ini digunakan dalam kombinasi dengan obat antiretrovirus lainnya. Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilasi intraselular untuk menjadi bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap fosforilasi saja. Dengan ini, reaksi obat menjadi lebih cepat dan konversinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna.

Contoh obat golongan ini adalah Tenofovir disoproksil. Kebanyakan digunakan untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan efavirenz, tidak boleh dalam kombinasi dengan lamivudin dan abakavir.

3. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)

Merupakan penghambat enzim RT dengan cara berikatan di tempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi situs aktif enzim. NNRTI tidak mengalami fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif, seperti NRTI dan NtRTI. Golongan obat ini hanya efektif terhadap HIV-1,. Seluruh senyawa NNRTI dimetabolisme oleh P450 sehingga memiliki kecenderungan untuk berinteraksi dengan obat lain.

Contoh obat golongan ini adalah nevirapin, delavirdin, efavirenz. Cara kerjanya adalah pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT. Obat ini sering dipakai dengan kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI dan NtRTI.

4. PI (Protease Inhibitor) Golongan PI bekerja dengan berikatan dengan situs aktif HIV-protease secara reversibel. HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan pelepasan poliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya pelepasan polipeptida prekursor virus oleh enzim protease, sehingga menghambat maturasi virus. Oleh karena itu, sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak virulen.

Resistensi terhadap PI, pada umumnya, terjadi akibat akumulasi mutasi gen protease. Pada mulanya, terjadi resistensi tingkat rendah, namun berujung pada resistensi berat yang menyebabkan resistensi silang dengan PI lainnya.

Semua golongan PI dapat mengakibatkan efek samping gastrointestinal, seperti mual, muntah, diare, dan paraestesia; serta intoleransi glukosa, diabetes, hiperkolestrolemia, dan hipertrigliseridemia. Karena semua HIV-PI merupakan substrat dan inhibitor sitokrom P450 yang banyak dipakai obat lain, interaksi sangat umum terjadi. Contoh obat golongan ini ialah sakuinavir, ritonavir, indinavir, nelfinavir, amprenavir, lopinavir, atazanavir.

Sakuinavir bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease. Sedangkan semua obat lainnya selain Sakuinavir merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor. Penggunaan obat ini adalah dikombinasikan dengan sesame PI atau bersama NRTI.

5. Viral Entry Inhibitor Obat seperti Enfuvitid bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Selain enfuvirtid, bisiklam sedang dalam studi klinis saat ini. Golongan obat ini berkerja dengan cara menghambat masuknya HIV ke sel melalui reseptor CXCR4. Enfuvirtid berikatan dengan bagian HR1 (first heptad-repeat) pada subunit gp41 envelope glikoprotein virus serta menghambat terjadinya perubahan konformasi yang dibutuhkan fusi virus ke membran sel. Efek sampingnya adalah Pada umumnya, reaksi lokal seperti nyeri, eritema, pruritus, iritasi, dan nodul/kista. Pernah dilaporkan adanya eosinofilia dan pneumonia bakterial. Isolat kliniss yang resisten terhadap NRTI, NNRTI, atau PI tetap peka terhadap enfuvirtid. Pemilihan Regimen Terapi14,15 Pemilihan regimen terapi tergantung pada efikasi virologis, toksisitas, biaya, frekuensi dosis dan kepatuhan, potensi interaksi obat, hasil tes resistensi, dan kondisi komorbid. Terapi antiretroviral tunggal atau kombinasi dua obat tidak direkomendasikan karena sangat potensial terjadi resistensi obat. Pada pasien dengan diare, tidak usah khawatir jika diare masih persisten setelah tatalaksana ARV sudah adekuat, karena keadaan ini umum diujumpai. Berikan tatalaksana diare yang sama dengan tatalaksana non-ODHA.

Kombinasi dua NRTI dengan PI sangat kuat dan lama kemampuannya untuk menekan replikasi virus. Kombinasi dua NRTI dengan satu NNRTI juga bagus untuk menekan virus serta meningkatkan perbaikan imunologis. Kombinasi seperti ini juga sangat dianjurkan WHO untuk negara dengan sumber daya kurang (limited resource) seperti di Indonesia.

Regimen ART yang diusulkan untuk Indonesia menurut Depkes RI tahun 2003 adalah: A+B A B

Nevirapine Nelfinavir

Zidovudin + Didanosin Zidovudin + Lamivudin Didanosin + Stavudin Didanosin + Lamivudin

Sementara guideline DHHS 2011 memberikan standar regimen ARV sebagai berikut:

Efavirenz/tenofovir/emtricitabine (EFV/TDF/FTC) Ritonavir-boosted atazanavir + tenofovir/emtricitabine (ATV/r + TDF/FTC) Ritonavir-boosted darunavir + tenofovir/emtricitabine (DRV/r + TDF/FTC) Raltegravir + tenofovir/emtricitabine

Regimen Lini Pertama. Yang digunakan untuk ODHA yang belum mendapat terapi ARV sebelumnya (treatment-nave) ialah: Populasi Target Rekomendasi AZT/Zidovudin atau TDF/ Catatan

Tenofovir + 3TC/Lamivudin Dewasa dan Remaja atau FTC/Emtrisitabin + Gunakan fixed dose atau

EFV/Evafirenz NVP/Nevirapin Ibu Hamil

AZT + 3TC + EFV atau NVP

EFV

tidak

boleh

pada

trimester pertama.

Koinfeksi HIV/TB

AZT atau TDF + 3TC atau Mulai ARV setelah 6 minggu FTC + EFV terapi TB.

Koinfeksi HIV/HBV

TDF + 3TC atau FTC + EFV Diperlukan 2 terapi ARV yang atau NVP memiliki aktivitas anti-HBV

Regimen Lini Ke-2. Rekomendasi Regimen lini 2 adalah 2 NRTI + boosted-PI (bPI). Regimen lini kedua yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia dan disediakan secara gratis oleh pemerintah ialah TDF/AZT + 3TC + Lopinavir/Ritonavir (LPV/RTV). Sebelum beranjak dari lini pertama ke lini kedua, perbaikan kepatuhan harus dilakukan terlebih dahulu, barulah setelah itu cek ulang VL dan kriteria lainnya.

Gagal Terapi ARV1,14,15 Apabila setelah memulai terapi 6 bulan dengan kepatuhan yang tinggi dan tidak terjadi respon terapi yang diharapkan, maka perlu dicurigai kemungkinan Gagal Terapi. Gagal terapi menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis, imunologis, dan virologis. Jumlah virus (viral load/VL) yang menetap di atas 5000 kopi/ml dapat mengkonfirmasi gagal terapi. Bila pemeriksaan VL tidak tersedia, gunakan kriteria imunologis untuk menentukan gagal terapi secara klinis. Kegagalan Terapi Kriteria a. Terapi ARV telah berjalan selama minimal 6 bulan. Kegagalan klinis b. Kepatuhan pasien: 80%<N<95% c. Ada interaksi obat yang menyebabkan penurunan kadar ARV darah d. PPE atau Prurigo timbul kembali e. Penurunan Hb >1g/dL WHO menyatakan bahwa jumlah a. Penurunan CD4 kembali seperti awal sebelum pengobatan ATAU Kegagalan imunologis b. Penurunan sebesar 50% dari nilai CD4 tertinggi yang pernah dicapai ATAU c. Jumlah CD4 tetap < 100 sel/mm3 setelah satu tahun pengobatan dengan ARV CD4 bukan merupakan prediktor yang baik dalam menentukan kegagalan pengobatan. Sekitar 840% pasien yang memiliki kegagalan imunologis, terbukti masih dalam kondisi virological suppression dan tidak memerlukan perpindahan ke lini ke-2. Kriteria (a) hanya bisa dipakai jika ada data mengenai kriteria (b). a. Pasien telah terapi ARV minimal 6 bulan VL dapat digunakan sebagai Kegagalan virologis b. Pemeriksaan VL diulang setelah 4-8 minggu c. VL >5000 kopi/ml prediktor kepatuhan minum obat. VL diharapkan menjadi undetectable (<50 kopi/ml) dalam Selalu evaluasi kemungkinan adanya interaksi obat. Kriteria yang harus ada adalah (a), (b), dan (c). Keterangan

waktu 6 bulan pengobatan. Profilaksis Infeksi Oportunistik16 Profilaksis diberikan terutama jika pasien masuk ke kategori 3. Jika pasien berada dalam kategori 2 dan terus membaik (jumlah CD4-nya), maka pemberian profilaksis boleh dihentikan. Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX; Bactrim) untuk Pneumocystisjiroveci dan toksoplasma Azitromsin atau klaritromisin mingguan untuk Mycobacterium avium

Pengobatan Infeksi Oportunistik17 Pengobatan infeksi oportunistik sebaiknya langsung ditargetkan pada etiologi infeksinya. Jika keadaan tidak memungkinkan, sebenarnya mengingkatkan jumlah CD4 dan mengurangi VL sudah dapat menghilangkan risiko maupun komorbiditas infeksi oportunistik secara signifikan. Khusus untuk TB, studi HAART menunjukkan bahwa risiko TB pada pasien tanpa trapi ARV adalah sebanyak 2 kali lipat dari pasien yang telah mendapat ARV.

2.3 TB-HIV 1. Epidemiologi Pasien HIV memiliki kemungkinan 20-37 kali lipat akan memiliki TB dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki infeksi HIV. TB adalah salah satu penyebab utama kematian pada pasien HIV secara global. Dari 1,7 juta orang yang meninggal karena TB tahun 2009, 400.000 di antaranya adalah pasien HIV. Dari 9,4 juta kasus TB yang baru ditemukan tahun 2009, 1,2 juta di antaranya adalah pasien HIV. Semakin tinggi prevalensi HIV di suatu daerah, semakin tinggi juga prevalensi koinfeksi HIV-TB pada penderita HIV di daerah tersebut.18

Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh pasien TB sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin.
19,20

Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah,

konseling dan pemeriksaaan HIV hanya diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko

tinggi terpajan HIV. Tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya : a. ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV b. hasil pengobatan OAT tidak memuaskan c. MDR TB/TB kronik

2. Diagnosis Diagnosis TB pada pasien dengan level CD4 yang sudah diketahui. Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4. Gambaran penderita TB-HIV dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Infeksi dini (CD4>200/mm3) Dahak mikroskopis TB ekstraparu Mikobakterimia Tuberkulin Foto toraks Sering positif Jarang Tidak ada Positif Infeksi lanjut (CD4<200/mm3) Sering negatif Umum/banyak Ada Negatif

Reaktivasi Tb, kavitas di puncak Tipikal primer TB milier/interstisial Tidak ada Tidak ada Ada Ada

Adenopati hilus/mediastinum Efusi pleura

Tabel Manifestasi Klinis TB pada pasien HIV19

Terdapat perbedaan manifestasi klinis antara pasien TB-HIV dengan infeksi HIV dini dan infeksi lanjut. Oleh karena itu, dibutuhkan pula pendekatan klinis yang berbeda untuk mendiagnosisnya. Selain itu, apabila dibandingkan dengan pasien TB non-HIV, hasil BTA lebih sering negatif, foto polos lebih sering atipikal, dan TB lebih sering ekstraparu. Hal ini diakibatkan oleh sistem imun

yang sudah terganggu sehingga reaksi imun terhadap TB berbeda dari orang biasa. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui karakteristik TB-HIV ini.

Diagnosis HIV pada pasien TB Apabila seorang pasien sudah didiagnosis menderita TB, maka terdapat juga gambaran klinis penderita HIV, seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Riwayat faktor risiko PMS Herpes zoster Pneumonia (rekurens/tidak) Infeksi bakteri yang parah TB yang baru ditatalaksana

Tanda Penurunan berat badan (>10kg atau >20% berat badan semula) Diare (>1 bulan) Nyeri retrosternal saat menelan (candidiasis esofageal) Sensasi terbakar pada kaki (neuropati sensori perifer)
19

Gejala Scar pada herpes zoster Sarkoma Kaposi Candidiasis oral Limfadenopati generalisata simteris Ulkus genital persisten

Tabel Gambaran klinis infeksi HIV

3. Tatalaksana Untuk daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi dan dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV, konseling dan pemeriksaan HIV sangat diperlukan untuk seluruh kasus TB sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Daerah dengan prevalensi yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan gejala HIV atau dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. 20 Terapi dengan Anti Retro Viral (ARV) dapat menurunkan laju sampai sebesar 90% pada tingkat individu dan sebesar 60% pada tingkat populasi, selain itu mampu menurunkan rekurensi TB sebesar 50%. Prinsip pengobatan OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS, yaitu kombinasi beberapa jenis obat dengan dosis dan waktu yang tepat. Pasien TB-HIV yang tidak mendapatkan respon pengobatan, harus dipikirkan adanya resistensi atau malabsorbsi obat sehingga dosis yang diterima tidak cukup untuk terapi. Strategi WHO Konsep The Three Is untuk TB/HIV20

1. IPT (Isoniazid Preventif Treatment) jika ada indikasi 2. ICF (Intensified Case Finding) untuk menemukan kasus TB aktif 3. IC (Infection Control) untuk mencegah dan pengendalian infeksi TB di tempat pelayanan kesehatan Tabel Obat ARV20,21 No. A. 1. 2. 3. 4. 5. B. 1. C. 1. 2. D. 1. 2. 3. 4. Jenis Obat Dosis

Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor (NRTI) Abakavir (ABC) Didanosin (ddI) Lamivudin (3TC) Stavudin (d4T) Zidovudin (ZDV atau AZT) Nukleotida Tenofir (TDF) 300 mg 1x/hari Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP) Protease Inhibitor Indinavir/ritonavir (IDV/r) Lopinavir/ritonavir (LPV/r) Nelfinavir (NFV) Saquinavir/ritonavir (SQV/r) 5. Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100 mg. Larutan oral 400 mg/5 ml 800 mg/100 mg 2x/hari 400 mg/100 mg 2x/hari 1250 mg 2x/hari 1000 mg/100 mg 2x/hari atau 1600 mg/200 mg 1 x/hari 600 mg 1x/hari 200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200 mg 2x/hari 300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari 250 mg 1x/hari (BB<60 kg) 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari 40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60 kg) 300 mg 2x/hari

** Ritonavir dipakai sebagai booster untuk PI lainnya

Pada pemeriksaan HIV penderita TB yang memberikan hasil positif, rekomendasi penggunaan terapi ARV adalah: 20,21 1. Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi. Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu, berapapun jumlah CD4.

2. Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV selama dalam terapi TB. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir dan nevirapin. Obat yang dapat digunakan AZT atau TDF + 3TC + EFV. Setelah OAT selesai, EFV dapat diganti dengan NVP.

Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-infeksi TB-HIV, potensi menurunkan transmisi bila semua pasien HIV memulai terapi ARV lebih cepat, meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan kekambuhan TB. Tabel 2. Panduan Pengobatan ARV pada ODHA yang kemudian muncul TB aktif20,21 Pilihan Obat Lini pertama Panduan Pengobatan ARV pada waktu TB terdiagnosis 2NRTI+EFV 2NRTI+NVP Teruskan dengan 2 NRTI+EFV Ganti dengan 2 NRTI+EFV atau tetap teruskan 2 NRTI+NVP. Tripel NRTI dapat digunakan bila EFV dan NVP tidak dapat digunakan. Lini kedua 2 NRTI+PI/r Dianjurkan menggunakan OAT tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu digunakan maka gunakan LPV/r dengan dosis 800 mg/200 mg 2x/hari. Perlu evaluasi fungsi hati ketat Pilihan obat ARV

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill 2. Ditjen PP & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2009 3. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002. 4. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary. Geneva. 2010. 5. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006 6. Djuanda A., Penyakit Kelamin AIDS (Aqcuired Immuno Deficincy Syndrome) Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke-4. Jakarta : Fakultas kedokteran Universitas Indonesia : 2005 7. U.S. Preventive Services Task Force. Screening for HIV. Available at

http://www.uspreventiveservicestaskforce.org/uspstf/uspshivi.htm. Accessed June 16, 2011. 8. [Guideline] Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Hopkins R Jr, Owens DK. Screening for HIV in health care settings: a guidance statement from the American College of Physicians and HIV Medicine Association. Ann Intern Med. Jan 20 2009;150(2):125-31. 9. Hull MW, Rollet K, Odueyungbo A, Saeed S, Potter M, Cox J, et al. Factors Associated With Discordance Between Absolute CD4 Cell Count and CD4 Cell Percentage in Patients Coinfected With HIV and Hepatitis C Virus. Clin Infect Dis. Jun 2012;54(12):1798-1805 10. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1-infected adults and adolescents. Department of Health and Human Services. January 10, 2011; 1-174. Accessed June 16, 2011. Available at http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/ AdultandAdolescentGL.pdf. 11. Hoffmann CJ, Brown TT. Thyroid function abnormalities in HIV-infected patients. Clin Infect Dis. Aug 15 2007;45(4):488-94.

12. Lee PL, Yiannoutsos CT, Ernst T, Chang L, Marra CM, Jarvik JG, et al. A multi-center 1H MRS study of the AIDS dementia complex: validation and preliminary analysis. J Magn Reson Imaging. Jun 2003;17(6):625-33. 13. Louisa M, Setiabudy R. Antivirus. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1995. 14. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa dan Remaja. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. 15. Konsorsium Upaya Kesehatan Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Tatalaksana HIV/AIDS. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. 16. Spector SA, McKinley GF, Lalezari JP, Samo T, Andruczk R, Follansbee S, et al. Oral ganciclovir for the prevention of cytomegalovirus disease in persons with AIDS. Roche Cooperative Oral Ganciclovir Study Group. N Engl J Med. Jun 6 1996;334(23):1491-7. 17. Impact of antiretroviral therapy on tuberculosis incidence among HIV-positive patients in high-income countries. Clin Infect Dis. May 2012;54(9):1364-72. 18. WHO. The Three I's for HIV/TB. Diunduh dari

http://www.who.int/hiv/topics/tb/3is/en/index.html tanggal 7 November 2012 jam 20.00 19. International Standard for Tuberculosis Care. 20. PDPI. Tuberculosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011 21. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Retroviral pada Orang Dewasa. 2011

You might also like