You are on page 1of 12

PEMBAHASAN Sekilas, bila kita mendengar kata kontrak, kita langsung berpikir bahwa yang dimaksudkan adalah suatu

perjanjian tertulis. Artinya, kontrak sudah dianggap sebagai suatu pengertian yang lebih sempit dari perjanjian. Dan bila melihat berbagai tulisan, baik buku, makalah atau tulisan ilmiah lainnya, kesan ini tidaklah salah, sebab penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis.[1] Tidak ada ketentuan undang-undang yang mengatur tentang format kontrak maka dalam membuat kontrak, hal yang paling penting diperhatikan oleh para pihak adalah syarat ahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 BW, yang pada intinya mengatur tentang:[2] 1. 2. 3. 4. kesepakatan para pihak kecakapan (termasuk juga kewenangan) para pihak objek tertentu sebab yang halal.

1. A. PRAPENYUSUNAN KONTRAK Sebelum kontrak disusun, ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, antara lain:[3] 1. 1. Identifikasi para pihak 1. Para pihak dalam kontrak harus teridentifikasi secara jelas. Hal-hal yang diperhatikan oleh para pihak yang akan mengadakan dan membuat kontrak yakni:[4] 1. Kemampuan Para Pihak, yaitu kecakapan dan kemampuan para pihak untuk mengadakan dan membuat kontrak. Di dalam KUH Perdata ditentukan bahwa orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum apabila telah dewasa dan atau sudah kawin. Ukuran kedewasaan, yaitu brumur 21 tahun. Sedangkan orangorang yang tidak wenang untuk membuat kontrak adalah: (1) minderjarigheid (di bawah umur), (2) curatele (di bawah pengampunan), (3) istri (pasal 1330 KUH Perdata). Istri kini wenang untuk membuat kontrak (SEMA Nomor 3 Tahun 1963; Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan) 1. Perpajakan Dalam banyak hal, para pihak membuat kontrak menginginkan perjanjian dirumuskan sedemikian rupa untuk memperkecil pajak, karena transaksi bisnis merupakan transaksi kena pajak. Pada dasarnya perancang kontrak, yaitu para ahli hukum harus memberikan pelayanan yang memuaskan kliennya. Akan tetapi, dalam hal memperkecil pengenaan pajak, bukan tidak mungkin rumusan kontrak itu menjadi lain dari maksud para pihak yang sesungguhnya. Hal ini sebenarnya harus dihindari oleh ahli hukum. Oleh karena itu, ahli hukum perancang

kontrak harus memahami masalah perpajakan dan jika mungkin bekerja sama dengan konsultan pajak. 1. Atas hak yang sah Khusus untuk perjanjian jual beli, calon pembeli harus mengetahui atau berusaha mencari tahu bahwa penjual memang mempunyai alas hak yang sah atas barang yng dijual. Dalam hal barang bergerak tidak atas nama berlaku ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata yang menetapkan bahwa barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus dibayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemilik sepenuhnya. Namun demikian dalam hal ini berlaku asas revindikasi, yaitu apabila barang itu hilang atau hasil curian, pemilik barang dapat menuntut supaya barang itu dikembalikan kepadanya. Memang dalam hal ini pembeli yang beritikad baik akan tetap dilindungi, yaitu minta ganti rugi atas harga pembelian barang tersebut. Namun proses demikian tidak selalu mulus, lebih-lebih kalau pencurinya sudah tidak mampu lagi mengembalikan uang pembelian. Dalam hal barang bergerak atas nama dan barang tidak bergerak, yang dianggap paling berhak adalah orang yang namanya tercantum dalam surat itu. Namun demikian, dalam hal barang bergerak atas nama maupun barang tidak bergerak merupakan harta bersama dalam perkawinan, perlu ada suatu counter sign dari suamu/itri. Counter sign juga diperlukan dalam hal perjanjian jaminan. 1. Masalah keagrariaan Perancang perjanjian juga harus memperhatikan masalah seputar Hukum Agraria. Dalam banyak hal para pihak tidak memahami masalah-masalah keagrariaan. Oleh karena itu, para ahli hukum harus memberitahukan kepada kliennya mengenai hal tersbut. 1. Pilihan hukum, yaitu berkaitan dengan hukum manakah yang akan digunakan dalam pembuatan kontrak tersebut. 1. Penyelesaian sengketa Perjanjian tidak selalu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dalam setiap perjanjian perlu dimasukkkan klausula mengenai penyelesaian sengketa apabila sala satu pihak tidak memnuhi perjanjian atau wanprestasi. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai, arbitrase, atau mungkin melalui pengadilan. Dalam hal sengketa diselesaikan melalui pengadilan perlu diingat Hukum Acara Perdata Indonesia mengenai kompetensi dan yuridiksi pengadilan negeri tersebut. 1. Berakhirnya kontrak Di dalam Pasal 1266 KUH Perdata ditentukan bahwa: tiap-tiap pihak yang akan mengakhiri kontrak harus dengan putusan pengadilan yang mempunyai yuridiksi atas kontrak tersebut. Maksud ketentuan ini adalah melindungi pihak yang lemah. 1. Bentuk standar kontrak Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa standar kontrak

merupakan perjanjian yang telah dibakukan (Mariam Darus Badrulzaman, 1980: 4). Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan cirri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu. Bentuk tertentu (tertulis) Dipersiapkan secara missal dan kolektif (Mariam Darus Badrulzaman, 1980: 11)

Mariam Darus Badrulzaman juga membagi jenis perjanjian baku menjadi empat jenis, yaitu: 1) Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat ibandingkan pihak debitur. 2) Perjanjian baku timbale balik, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terkait dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. 3) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu perjanjian baku tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. 4) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, yaitu perjanjianperjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. 1. Penelitian Awal Aspek Terkait Penyusunan kontrak harus menjelaskan hal-hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada akhinya penyusun kontrak menyimpulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, memperhatikan hal terkait dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, serta perpajakan. Penguasaan materi kontrak hanya akan dapat diketahui setelah diketahui objek perjanjian dan syarat atau ketentuan yang disepakati para pihak. Objek kontrak di sini tidak lain adalah jenis perikatan yang akan dilakukan, artinya apabila ingin membuat suatu kontrak, terlebih dahulu harus mengetahui kontrak apa yang akan dibuat.[5] Sedangkan syarat-syarat atau ketentuanketentuan yang lazim disepakati oleh para pihak dalam suatu kontrak antara lain: 1. Besarnya harga jual beli atau harga sewa-menyewa atau plafond kredit atau plafond leasing atau besarnya plafond modal ventura yang disepakati. 2. Objek atau barang yang dihibahkan, objek atau merek dagang yang akan di-franchisekan.

3. Besarnya suku bunga kredit atau suku bunga leasing, atau besarnya suku bunga/bagi hasil modal ventura. 4. Jangka waktu perjanjian. 5. Cara-cara pembayaran. 6. Besarnya agunan 7. Biaya yang harus dibayar para pihak yang brkontrak. 8. Kewajiban untuk menutup asuransi bagi para pihak atau satu pihak saja yang berkontrak.[6] 1. Pembuatan Memorandum of Understanding (MOU) Pada hakikatnya MOU merupakan suatu perjanjian pendahuluan dalam arti akan diikuti perjanjian lainnya. Alasannya: 1. 1. Dalam prospeknya belum jelas untuk menghindari kesulitan pembatalan dibuat MOU yang relatif mudah dibatalkan. 2. Dalam penandatanganan kontrak memerlukan waktu yang lama, sehingga dibuat MOU yang akan berlaku sementara waktu. 3. Adanya keraguan para pihak dan memerlukan waktu untuk berpikir jika menandatangani kontrak maka untuk sementara waktu dibuat MOU. Ciri-ciri MOU, yaitu: 1. Isinya singkat berupa hal pokok. 2. Merupakan pendahuluan, yang akan diikuti suatu kontrak permanent. 3. Jangka waktunya terbatas. 1. Biasanya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban memaksa untuk adanya kontrak terperinci. Meskipun MOU diakui banyak manfaatnya, tetapi banyak pihak meragukan berlakunya secara yuridis. 1. Negosiasi Merupakan sarana bagi para pihak untuk mengadakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat adanya perbedaan pandangan terhadap sesuatuhal dan dilatarabelakangi oleh kesamaan/ketidaksamaan kepentingan di antara mereka. Agar negosiasi bisnis berjalan dengan baik, maka yang mesti hadir di meja negosiasi adalah mereka yang menguasai seluk beluk bisnis plus lawyer. Mereka yang meakili kepentingan bisnis akan melihat dari aspek bisnisnya, sementara lawyer akan melihat dari aspek hukum dan formulasinya ke dalam draft kontrak. Untuk itu kepada lawyer sendiri dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu hukum kontrak, tetapi juga menguasai dasar-dasar bisnis yang dinegosiasinya. Di samping itu, jika salah satu pihak merupakan pihak asing, lawyernya juga dituntut untuk bisa berbahasa Inggris secara sempurna.[7] Jenis-jenis negosiasi:

1. Position bargainer (lunak), banyak dilakukan di lingkungan keluarga, antara sahabat, dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk membina hubungan baik (culitivating). Kelebihan corak ini sepat menghasilkan kesepakatan, namun mengandung risiko, yakni memungkinkan pola menang-kalah (win-lose). 2. Hard position bargainer (keras), sangat mungkin menemui kebuntuan/deadlock akiobat adanya tekanan, serta ancaman, terutama jika terbentur pada situasi saat bertemu perunding keras seama perunding keras lainnya. 3. Principled negotiation/interest based negotiation, perpaduan yang menekankan pada pentingnya pemisahan antara orang dan masalah, memfokuskan serangan pada permasalahan, dan bukan pada orang serta mengandalkan adanya criteria objektif, eperti scientific judgement, peraturan perundang-undangan, dan nilai pasar. Menganut pola win-win. Tahapan negosiasi: Tahap Persiapan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. menguasai konsep/rancangan kontrak bisnis secara komprehensif dan rinci menguasai pengetahuan tentang industri dari apa yang diperjanjikan menguasai peratuaran perundang-undangan yang melingkupi apa yang diperjanjikan memahami betul apa yang diinginkan oleh pihak yang diwakili dan posisinya mengidentifikasi poin-poin yang berpotensi menjadi masalah atau dipermasalahkan mengantisipasi solusi apa dari poin-poin yang berpotensi menjadi masalah dan dipermasalahkan serta mendiskusikan solusi tersebut terlebih dahulu dengan pihak yang diwakili 7. mnumbuhkan percaya diri 8. sedapat mungkin meminta counterpart agar negosiasi dilakukan di kantor atau di tempat yang dipilih negosiator (Hikmahanoto Juwana, tt: 1-3) Tahap pelaksanaan: 1. sedapat mungkin memimpin negosiasi 2. mengetahui betul siapa yang dihadapi dan mengukur kekuatan dengan menanyakan berbagai hal 3. menetapkan apa saja yang hendak dicapai dalam negosiasi 4. memunta pihak counterpart untuk memberutahukan lebih dahulu apa yang menjadi keinginannya. Sedapat mungkin dimulai dari awal konsep/rancangan kontrak bisnis. Setelah itu baru kemukakan apa yang menjadi keinginan negosiator. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi poin-poin dalam kontrak bisnis di mana para pihak berbeda pandangan. Di samping itu hal ini dimaksudkan juga untuk bargaining chips dalam proses negosiasi selanjutnya 5. menyelesaikan poin-poin yang mudah intik diselesaikan terlebih dahulu atau menunda (pending) hal-hal yang rumit untuk diselesaikan 6. memberikan argumentasi yang logis serta analogi untuk menjelaskan posisipandangan 7. mempermainkan emosi: kapan emosi harus mninggi dan kapan harus meresa. Cairkan situasi apabila menjadi tegang, misalnya dengan membuat lelucon atau keluar ruangan negosiasi 8. apabila terdapat poin yang tidak terselesaikan, jangn terburu-buru dan terjebak untuk iselesaikan

9. tidak mengambil keputusan terhadap poin yang perlu mendapat arahan dari pihak yang diwakili sebelum melakukan konsultasi 10. apabila ada waktu, jangan menyelesaikan negosiasi dalam satu kali pertemuan 11. catat semua hal yang disepakati dan tuangkan dalam kontrak bisnis dengan mark-up. 1. B. TAHAP PENYUSUNAN KONTRAK Ada lima tahap dalam penyusunan kontrak di Indonesia, yaitu: 1. 1. Pembuatan draft pertama yang meliputi: a. Judul kontrak Walaupun judul tidak merupakan syarat sahnya kontrak atau dengan kata lain tidak mempengaruhi keabsahan suatu kontrak, namun demikian sebagai identitas suatu kontrak, judul adalah mutlak adanya. Dengan demikian, setiap orang akan dengan mudah mengetahui jenis kontrak apa yang sedang mereka baca/lihat. Walaupun pemberian judul atas suatu kontrak merupakan kebebasan bagi para pihak, namun bagi perancang atau pembuat kontrak seyogianya memiliki kemampuan untuk membuat suatu judul kontrak yang dibuatnya. Artinya, antara judul dengan isi kontrak harus ada korelasi dan relevansinya.[8] Dalam kontrak harus diperhatikan kesesuaian isi dengan judul serta ketentuan hukum yang mengaturnya, sehingga kemungkinan adanya kesalahpahaman dapat dihindari. b. Pembukaan Berisi tempat dan waktu pembuatan kontrak 1. c. Pihak-pihak dalam kontrak Para pihak yang dimaksudkan di sini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak, baik kontrak perorangan maupun kontrak yang bersifat publik. Para pihak tersebut oleh hukum lazimnya dibagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu:[9] 1) 2) perorangan badan usaha 1. badan usaha berbadan hukum 2. badan usaha bukan badan hukum d. Recital Recital adalah penjelasan resmi atau merupakan latar belakang atas suatu keadaan dalam suatu perjanjian/kontrak untuk menjelaskan mengapa terjadi perikatan. Dalam recital biasanya juga dicantumkan tentang sebab ( consideration) masing-masing pihak, hal ini berguna karena merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam hal tidak ada yang perlu dijelaskan, maka recital tidak mutlak harus ada dalam suatu perjanjian/kontrak. Suatu perjanjian yang merupakan novasi kiranya dalam recital-nya perlu

dituangkan tentang perikatan lama yang digantikan oleh perikatan baru, karena bila perikatan lamanya tidak dijelaskan, maka tidaklah teerjadi novasi ((Hardijan Rusli). e. Isi Kontrak Dalam suatu kontrak, hampir pasti kita selalu menemukan kata pasal. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa pasal adalah bagian dari suatu kontrak yang terdiri dari kalimat atau sejumlah kalimat yang menggambarkan kondisi dan informasi tentang apa yang disepakati, baik secara tersurat maupun tersirat. Untuk mengoptimalkan fungsinya dalam suatu kontrak maka pasal-pasal tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) urutan, artinya oleh karena pasal-pasal tersebut mencerminkan isi dan kondisi kesepakatan, maka ia harus dibuat secara kronologis sehingga memudahkan menemukan dan mengetahui hal-hal yang diatur oleh masing-masing pasal. 2) ketegasan, artinya bahasa yang digunakan sedapat mungkin menghindari kata-kata bersayan (ambigu) yang dapat menimbulkan berbagai interpretasi. Bunyi pasal tersebut harus tegas dan tidak mengambang. 3) keterpaduan, artinya antara satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam suatu pasal harus ada keterpaduan, mempunyai hubungan satu sama lain. 4) kesatuan, artinya satu pasal mencerminkan satu kondisi, namun demikian antara satu pasal dengan pasal yang lain saling mendukung. 5) kelengkapan, artinya oleh karena satu pasal harus mncerminkan satu kondisi, maka pasalpasal dalam suatu kontrak juga harus lengkap informasinya. 1. f. Penutup Setidaknya ada empat hal yang perlu diingat pada bagian ini, yaitu: 1) 2) 3) 4) sebagai suatu penekanan bahwa kontrak ini adalah alat bukti sebagai bagian yang menyebutkan tempat pembuatan dan penandatanganan sebagai ruang untuk menyebutkan saksi-saksi dalam kontrak sebagai ruang untuk menempatkan tanda tangan para pihak yang berkontrak.

g. Lampiran-lampiran (bila ada) Yang perlu diketahui mengenai lampiran ini antara lain: 1) tidak semua atau tidak selalu kontrak memiliki lampiran

2) diperlukannya lampiran dalam kontrak, adalah karena terdapat bagian-bagian yang memerlukan penjelasan yang apabila dimasukkan dalam kontrak akan sengat panjang, atau memuat gambar, peta dan penjelasan lainnya 3) lampiran merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dengan perjanjian yang melampirkannya. 4) lampiran bukanlah perubahan salah satu atau beberapa pasal/isi kontrak yang telah ditandatangani 1. 2. 3. 4. 2. Saling menukar draft kontrak 3. jika perlu diadakan revisi 4. dilakukan penyelesaian akhir 5. penutup dengan penandatanganan kontrak oleh masing-masing pihak

1. STRUKTUR DAN ANATOMI KONTRAK Salah satu unsur yang paling penting dalam merancang kontrak, yaitu si perancang harus memperhatikan struktur dan anatomi kontrak yang dibuat atau yang akan dirancang. Struktur kontrak adalah susunan dari kontrak yang akan dibuat atau dirancang. Adapub anatomi kontrak berkaitan dengan letak dan hubungan antara bagian-bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Para ahli berbeda pandangan tentang hal-hal apa saja yang menjadi struktur dan anatomi kontrak. Charles R. Calleros mengemukakan struktur dan anatomi kontrak, yaitu: 1. an introduction identifying the parties to the transaction (identifikasi para pihak yang mengadakan transaksi) 2. a section describing the rights and obligations of the parties (deskripsi tentang hak dan kewajiban para pihak 3. signature lines showing the parties agreement to the terms of contract (tanda tangan para pihak yang mengadakan kontrak) 4. statement of recital, which describes the background of the transaction and the parties reason for entering into the contract (recital), yaitu latar belakang dibuatnya kontrak 1. a glossary of defined terms, yaitu definisi atau pengertian 1. a section of miscellaneous provisions addressing such topics as termination of the contract on the other transaction, yaitu syarat-syarat penghentian/berakhirnya kontrak pada transaksi lainnya. (Charles R. Callerous. Tt: 440) Scott J. Burnham, mengemukakan bahwa setiap kontrak dibangun dengan kerangka sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. decription of instrument (bagian pembuka) caption (identitas para pihak) transition (transisi/peralihan) recital (latar belakang) definition ( definisi) operative language (klausul transaksi)

7. closing (penutup). (Scott J. Burnham, tt: 175) Ray wijaya mengemukakan bahwa ada tujuh anatomi kontrak/akta, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. judul (heading) pembukaan komparisi premis (recital) isi perjanjian penutup (clocure/closing) tanda tangan (attestation)

Sutarno juga mengemukakan struktur dan anatomi kontrak, khususnya perjanjian kredit, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. judul kepala komparisi konsiderans atau pertimbangan definisi isi pokok (substansi perjanjian bagian penutup

Hikmahanto Juwana mengemukakan bahwa ada tiga bagian utama dari kontrak, khususnya kontrak bisnis, yaitu (1) bagian pendahuluan, (2) isi, (3) penutup. Bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian, sebagai berikut: 1. 1. subbagian pembuka (description of the instrument). Subbagian ini memuat tiga hal berikut, yaitu: 1. sebutan atau nama kontrak dan penyebutan selanjutnya (penyingkatan) yang dilakukan 2. tanggal dari kontrak yang dibuat dan ditandatangani 3. tempat dibuat dan ditandatanginya kontrak 1. 2. subbagian pencantuman identitas para pihak. Dalam subbagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikatkan diri dalam kontrak dan siapa-siapa yang menandatangani kontrak tersebut. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan tentang identitas para pihak, yaitu: 2. para pihak harus disebutkan secara jelas 1. orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa 2. pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak 1. 3. subbagian penjelasan. Pada subbagian ini diberikan alasan/penjelasan mengapa para pihak mengadakan kontrak (sering disebut bagian premis, witnesseth, whereby, recital, menerangkan lebih dahulu, dan lain-lain). Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi, sebagai berikut: 1. 1. klausul definisi (definition)

dalam klausul ini biasanya mencantumkan berbagai definisi untuk keperluan kontrak. Definisi ini hanya berlaku pada kontrak tersebut dan dapat mempunyai arti khusus dari pengertian umum. Klausul definisi pentig dalam rangka mengefisienkan klausul-klausul selanjutnya karena tidak perlu diadakan pengulangan. 1. 2. klausul transaksi (operative language) adalah klausul-klausul yang berisi tentang transaksi yang akan dilakukan. Misalnya, dalam jual beli aset, harus diatur tentang objek yang akan dibeli dan pembayarannya. Demikian pula dengan suatu kontrak patungan, perlu diatur tentang kesepakatan para pihak dalam kontrak tersebut. 1. 3. klausul spesifik mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya klausul tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan transaksi yang berbeda. 1. 4. klausula ketentuan umum adalah klausul yang sering kali dijumpai dalam berbagai kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausula ini antara lain mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum, pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian, dan lain-lain. Ada dua hal yang tercantum pada bagian penutup, yaitu: 1. subbagian kata penutup (closing). Kata penutup biasanya menerangkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk itu atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan terikat dengan isi kontrak. 2. subbagian ruang penempatan tanda tangan adalah tempat pihak-pihak menandatangani perjanjian atau kontrak dengan menyebutkan nama pihak yang terlibat dalam kontrak, nama jelas orang yang menandatangani dan jabatan dari orang yang menandatangani. Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai kontrak yang berdimensi nasional, maka kita dapat memilah struktur kontrak menjadi 12 (dua belas) hal pokok. Kedua belas hal itu meliputi: [10] 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. judul kontrak pembukaan kontrak komparisi resital (konsiderans atau pertimbangan) definisi pengaturan hak dan kewajiban (substansi kontrak) domisili keadaan memaksa (force majeure) kelalaian dan pengakhiran kontrak

10. pola penyelesaian kontrak

11. pola penyelesaian sengketa 12. penutup 13. tanda tangan 1. D. PASCA PENYUSUNAN KONTRAK Apabila kontrak telah dibuat dan ditandatangani oleh para pihak, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut: 1. pelaksanaan dan penafsiran setelah suatu kontrak disusun barulah dapat dilaksanakan. Kadang-kadang kontrak yang telah disusun tidak jelas/tidak lengkap sehingga masih diperlukan adanya penafsiran. Berkaitan dengan hal tersebut, undang-undang telah menentukan sejauh mana penafsiran dapat dilaksanakan dengan memperhatikan hal berikut ini: a. kata-kata yang dipergunakan dalam kontrak b. keadaan dan tempat dibuatnya kontrak c. maksud para pihak d. sifat kontrak yang bersangkutan e. kebiasaan setempat 2. alternatif penyelesaian sengketa dalam pelaksanaan kontrak mungkin terdapat sengketa. Para pihak bebas menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul sengketa di kemudian hari. Biasanya penyelesaian sengketa diatur secara tegas dalam kontrak. Para pihak dapat memilih lewat pengadilan atau di luar pengadilan. Setiap cara yang dipilih mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang harus dipertimbangkan sebelum memilih cara yang dianggap cocok untuk diterapkan. Jika memilih lewat pengadilan, apakah pengadilan berwenang menyelesaikan sengketa tersebut, kemungkinan dapat dilaksanakannya secara penuh, juga waktu dan biaya yang diperlukan selama proses pengadilan.

[1] Hasanuddin Rahman, Contract Drafting, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Hlm. 1. [2] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Edisi 1, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Hlm. 148. [3] Salim H. S, Hukum Kontrak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Hlm. 123. [4] Opcit., Hlm. 105-107.

[5] Opcit., Hlm. 83-84. [6] Ibid., hlm.85-86. [7] Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Kedua, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Hlm. 1-2. [8] Hasanuddin Rahman, Contract Drafting, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Hlm. 94. [9] Ibid.,.Hlm. 69. [10] Salim H. S, Perancangan Kontrak dan MOU, Penerbit PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Hlm. 95-98.

You might also like