You are on page 1of 8

VI.

HASIL PENGAMATAN Jenis Tempe Daun Tempe Kantong Banyak Ragi 3 gr 4 gr 5 gr 3 gr 4 gr 5 gr Pengamatan Warna Hifa Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat -

Berdasarkan dari hasil pengamatan percobaan pembuatan tempe ini, kelompok kami mengalami kegagalan. Disebakan oleh beberapa faktor yaitu kurang sterilnya dalam proses pembungkusan tempe dengan daun maupun dengan kantong plastik, kurangnya jumlah ragi yang digunakan untuk dicampurkan dalam kacang kedelai, serta suhu dan kelembapan yang kurang sesuai. Oleh karena beberapa faktor ini, proses pembuatan tempe kelompok kami tampak berlendir, menimbulkan aroma yang menyengat, kacang kedelai tampak berubah warna menjadi kecoklatan, dan munculnya serangga.

VII. PEMBAHASAN

Dalam proses fermentasi tempe kedelai, substrat yang diguanakan adalah keping-keping biji kedelai yang telah direbus, mikroorganismenya berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat kombinasi dari dua spesies atau ketiga-tiganya) dan lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30 oC, pH awal 6,8 serta kelembapan nisbi 70-80%. Tempe merupakan fermentasi non alkoholis yaitu fermentasi yang tidak menghasilkan alkohol sebagai produk akhir disamping produk lainnya. Pada tahap awal pembuatan tempe, biji kedelai direbus. Tahap perebusan ini berfungsi sebagai proses hidrasi, yaitu agar biji kedelai menyerap air sebanyak mungkin. Perebusan juga dimaksudkan untuk melunakkan biji kedelai supaya nantinya dapat menyerap asam pada tahap perendaman. Kulit biji kedelai dikupas pada tahap pengupasan agar miselium fungi dapat menembus biji kedelai selama proses fermentasi. Pengupasan dapat dilakukan dengan tangan atau dengan alat pengupas kulit biji. Setelah dikupas, biji kedelai direndam. Tujuan tahap perendaman ialah untuk hidrasi biji kedelai dan membiarkan terjadinya fermentasi asam laktat secara alami agar diperoleh keasaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fungi. Fermentasi asam laktat terjadi dicirikan oleh munculnya bau asam dan buih pada air rendaman akibat pertumbuhan bakteri Lactobacillus. Bila pertumbuhan bakteri asam laktat tidak optimum, asam perlu ditambahkan pada air rendaman. Fermentasi asam laktat dan pengasaman ini ternyata juga bermanfaat meningkatkan nilai gizi dan menghilangkan bakteri-bakteri beracun. Proses pencucian akhir dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang mungkin dibentuk oleh bakteri asam laktat dan agar biji kedelai tidak terlalu asam yang dapat menyebabkan gagal terbentuknya tempe. Bakteri dan kotorannya dapat menghambat pertumbuhan fungi. Kedelai yang digunakan harus berasal dari kedelai yang baik, bagus dan sehat. Bukan kedelai yang telah rusak. Dalam membersihkan kedelai justru tidak boleh terlalu bersih, karena tempenya sering tidak terbentuk. Karena itulah membersihkan kedelai untuk pembuatan tempe tidak boleh menggunakan air yang terlalu bersih. Air sumur menjadi alternatif utama. Pada pagi hari air rendaman dibuang, biji kedelai dicuci selanjutnya direbus selama sekitar satu jam, dengan perubusan ini diperoleh kedelai setengah matang. Inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum, yaitu ragi tempe atau laru. Inokulum dapat berupa kapang yang tumbuh dan dikeringkan pada daun waru atau daun jati (disebut usar; digunakan secara tradisional), spora kapang tempe dalam medium tepung (terigu, beras, atau tapioka; banyak dijual di pasaran), ataupun kultur R.

oligosporus murni (umum digunakan oleh pembuat tempe di luar Indonesia). Inokulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penebaran inokulum pada permukaan kacang kedelai yang sudah dingin dan dikeringkan, lalu dicampur merata sebelum pembungkusan atau inokulum dapat dicampurkan langsung pada saat perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu dikeringkan. Setelah diinokulasi, biji-biji kedelai dibungkus atau ditempatkan dalam wadah untuk fermentasi. Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan (misalnya daun pisang, daun waru, daun jati, plastik, gelas, dan kayu), asalkan memungkinkan masuknya udara karena kapang tempe membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Bahan pembungkus dari daun atau plastik biasanya diberi lubang-lubang dengan cara ditusuk-tusuk agar memungkinkan terjadinya sirkulasi udara ke dalam plastic yang membungkus kedelai tersebut. Pada percobaan kali ini didapatkan hasil yang kurang maksimal dari tempe yang dihasilkan, hal tersebut diperkirakan karena waktu inokulasi yang kurang dan juga ragi yang digunakan terlalu sedikit. Perbandingan antara jumlah kacang kedelai dan ragi haruslah sesuai dan tepat. Jika ragi yang digunakan terlalu sedikit perbandingannya dengan kacang kedelai yang digunakan maka hifa atau benang putih yang tumbuh akan tidak maksimal, hal inilah yang membuat kegagalan dalam praktikum kali ini. Namun meskipun begitu dari pengamatan yang dilakukan setelah diberi waktu fermentasi sekitar 1 hari terlihat bahwa pada sampel tempe yang dibungkus plastik dan diberi beberapa lubang terlihat bahwa tempe tersebut mengalami perubahan warna menjadi coklat kehitaman. Pada tempe yang dibungkus pakai daun pisang terlihat bahwa miselium berwarna putih telah tumbuh namun pertumbuhannya belum merata dan strukturnya belum kompak. Dalam proses fermentasi, kapang membutuhkan oksigen yang cukup yang sangat dibutuhkan untuk memacu pertumbuhannya. Apabila kadar oksigen kurang, pertumbuhan kapang dalam substrat lambat. Waktu fermentasi yang lebih singkat biasanya untuk tempe yang menggunakan banyak inokulum dan suhu yang lebih tinggi, sementara proses tradisional menggunakan laru dari daun biasanya membutuhkan waktu fermentasi sampai 36 jam. Disamping itu kebersihan dan ketelitian praktikan dalam melakukan percobaan pembuatan tempe tersebut juga menentukan dalam pembuatan tempe tersebut. Biji kedelai yang disimpan di dalam lemari es juga mengakibatkan ia menjadi terlalu basa, sehingga kelembapannya tidak sesuai dengan kebutuhan kapang tempe untuk tumbuh. Gagalnya campuran kedelai dengan ragi untuk membentuk tempe dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut, yaitu :

1) Tidak maksimalnya kerja Rhizopus oligosporus karena kurangnya udara yang membantu proses fermentasi dan kurang baiknya kualitas ragi yang digunakan. 2) Ada kemungkinan terlalu bersihnya kedelai yang dipakai. 3) Tidak tepatnya perbandingan jumlah antara kedelai dengan ragi yang dipakai untuk menghasilkan tempe. 4) Luas permukaan kedelai yang digunakan (terlalu halus atau terlalu kasar). 5) Temperatur dan tekanan yang tidak sesuai dengan temperatur dan tekanan yang dibutuhkan oleh Rhizopus olisporus untuk membentuk tempe.

VIII. KESIMPULAN

1. 2. 3.

Fermentasi adalah proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana secara anaerob. Tempe merupakan fermentasi non alkoholis yaitu fermentasi yang tidak menghasilkan alkohol sebagai produk akhir disamping produk lainnya. Tiga faktor pendukung utama pembuatan tempe, yaitu : a. Bahan baku yang diurai (kedelai). b. Mikrooraganisme berupa kapang tempe (Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer). c. Keadaan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan (suhu, PH dan kelembapan).

4.

Kapang membutuhkan oksigen yang cukup yang sangat dibutuhkan untuk memacu pertumbuhannya. Apabila kadar oksigen kurang, pertumbuhan kapang dalam substrat lambat.

5.

Tidak semua jamur yang ada di dunia merugikan manusia. Tetapi ada juga yang menguntungkan seperti Rhizopus oligosporus yang dapat dimanfaatkan untuk membuat tempe.

IX.

DAFTAR PUSTAKA

Collins, C.H. dan Lyne, M.P. Microbiological Methods Edisi 5. 1985. British: Butterworths. Hatta, D. 2009. Penuntun Praktikum Teknologi Bioproses. Laboratorium Teknologi Bioproses: Universitas Sriwijaya. Prawirahartono, S. 1991. Pelajaran SMA Biologi. Jakarta : Erlangga. Syamsuri, I., dkk. 2003. Biologi. 2000. Jakarta: Erlangga. Volk dan Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar I. Jakarta: Erlangga.

X.

LAMPIRAN GAMBAR 1. Gambar Hasil Pengamatan

Gambar 1.1. Tempe Daun Pisang

Gambar 1.2. Tempe Plastik 2. Gambar Alat

Gambar 2.1. Sendok makan

Gambar 2.2. Baskom

Gambar 2.3. Saringan

Gambar 2.4. Neraca 3 lengan

You might also like