You are on page 1of 15

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Telur merupakan bahan pangan hasil ternak unggas yang memiliki sumber protein hewani yang memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna dan begizi tinggi. Selain itu telur mudah diperoleh dan harganya relatif murah. Dalam

perkembangannya, telah banyak dilakukan teknik pengolahan telur untuk meningkatkan daya tahan serta kesukaan konsumen. Telur adalah bahan makanan yang sempurna, mengandung berbagai zat yang penting bagi pertumbuhan makhluk hidup. Bahan makanan ini bernilai gizi tinggi karena mempunyai kandungan asam amino yang lengkap. Namun demikian, telur mudah mengalami kerusakan baik secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Masa simpan telur pada penyimpanan suhu ruang adalah 10 14 hari (SYARIEF dan HALID, 1992). Penurunan mutu telur ini dapat diantisipasi dengan melakukan suatu tindakan pengawetan. Pengawetan telur pada dasarnya adalah untuk mencegah penguapan air dan CO2 dari isi telur melalui pori-pori kulit telur, serta mencegah berkembangnya mikroorganisme dalam telur. Perubahan sifat telur utuh dapat dibedakan atas dua macam yaitu perubahan luar dan perubahan dalam (ROMANOFF, 1963). Maka dengan ini kita harus mengetahui kualitas telur. Kualitas telur telah didefinisikan sebagai sifat dari setiap makanan yang diberikan yang memiliki pengaruh pada penerimaan atau penolakan terhadap makanan ini oleh konsumen.

1.2 Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dan manfaat yang diperoleh dari praktikum manajemen ternak unggas yang berjudul pengukuran kualitas telur adalah kita dapat mengetahui kualitas telur dari berbagai perlakuan yang dilakukan didalam ransum ayam tersebut dan dapat mengetahui perbedaan telur dari perlakuan tersebut.

MATERI DAN METODA

2.1 Waktu dan Tempat Praktikum Manajemen Ternak Unggas ini dilaksanakan pada selasa tanggal 13 September 2012 jam 2.30 sampai selsai yang bertempat diLaboratorium bersama Universitas Jambi . 2.2 Materi Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Alat yang digunakan adalah timbangan individual egg scale dan digital, official egg air cell gauge, candler, meja kaca, tripod micrometer, micrometer, jangka sorong, jangka sorong, egg quality slide rule, spatula, yolk colour fan, tabel standar kualitas USDA. Bahan yang digunakan adalah empat butir telur baru (P1 0, P1 10, P1 20, P1 30). 2.3 Metoda

Secara Eksterior Masing-masing telur ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan digital dan individual egg scale. Indeks telur diukur dengan membagi ukuran lebar telur dengan panjang telur (indeks telur = Lebar Telur/Panjang Telur). Kemudian kelas telur ditentukan berdasarkan bentuk, kebersihan dan keutuhan dibandingkan dengan tabel standar USDA.

Secara Interior Kerabang telur dipecahkan beserta selaputnya di atas meja kaca. Tinggi albumen (H) diukur dengan menggunakan tripod micrometer dalam satuan mm. kuning telur diamati dan dibandingkan dengan score yang ada pada yolk colour fan. Kualitas ditentukan secara visual dan dibandingkan dengan standar. Keadaan kuning telur dan putih telur diamati dari noda. Satuan kualitas telur dihitung berdasarkan HU (Haugh Unit) yaitu dengan cara menggunakan alat egg slide rule dan dengan rumus HU= 100 log (H + 7,57 1,7.W0,37) . Kerabang bagian tengah, ujung runcing dan ujung tumpul diukur tebalnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan kualitas interior dan eksterior telur dapat dilihat pada tabel di bawah ini. No PARAMETER TELUR P1 0 I Berat telur (w)(gr) Berat kuning telur Berat putih telur Berat kerabang telur ii Lebar (diameter telur)(cm) Panjang telur(cm) Indeks bentuk telur iii Tinggi albumen tertinggi(mm) Tinggi albumen terendah (mm) Rata- rata tinggi albumen (mm) Haught Unit IV Lebar albumen terpanjang (mm) Lebar albumen terpendek(mm) Rata- rata Albumen indeks V Tinggi kuning telur(mm) Lebar kuning telur(mm) Yolk indeks= tinggi ; lebar VI VII Indek warna telur Tebal kerabang telur pengukuran I(mm) 62 17 34 7, 017 42, 71 55, 89 0, 76 5, 29 2, 83 4, 06 70, 24 137, 49 118, 08 127, 78 0, 03 5, 93 45, 14 0, 13 5 0, 35 TELUR P1 10 62 20 39 7, 190 43, 63 58, 79 0, 74 4, 02 2, 89 3, 45 57, 63 146, 29 99, 8 122, 73 0, 03 6, 88 42, 14 0, 16 8 0, 42 TELUR P1 20 64 17 38 7, 23 43, 02 57, 12 0, 75 6, 87 2, 74 4, 81 81, 42 146, 25 45, 50 95, 87 0, 05 4, 83 26, 83 0, 18 5 0, 50 TELUR P1 30 62 18 36 6, 612 42, 63 59, 50 0, 71 5, 36 1, 58 3, 47 40, 84 142, 39 131, 52 136, 95 0, 03 5, 40 43, 66 0, 12 8 0, 34

Tebal kerabang pengukuran II(mm) Tebal kerabang pengukuran III(mm) Rata- rata VIII Diameter Air Cell(kantong udara) mm Kedalaman Air Cell(kantong udara) mm

0, 39 0, 36 0, 37 16, 28 5, 25

0, 40 0, 44 0, 42 18, 01 6, 21

0, 46 0, 43 0, 46 20, 69 5, 98

0, 42 0, 43 0, 40 21, 24 6, 43

Klasifikasi telur konsumsi dilakukan untuk memudahkan konsumen memilih sesuai kebutuhan. Klasifikasi telur berdasarkan faktor kualitas dan berat. Faktor kualitas secara eksterior difokuskan pada kebersihan kulit, tekstur dan bentuk telur. Sedangkan kualitas inetrior mengacu pada putih telur (albumen) kebersihan dan viskositas, ukuran sel udara, bentuk kuning telur dan kekuatan kuning telur. Dalam data yang disajikan, Berat telur rata- rata 62, 5 gram hal ini sesuai dengan pendapat Yoruk et al. (2004), menyatakanbahwa produksi telur ayam ras ratarata 63,7 70,0 % gram/butir. dengan indek telur rata-rata 0,74 Butcher dan Miles (2003) menyebutkan, semakin tinggi indeks telur maka kualitas telur semakin baik. Bentuk telur adalah oval, dan tedapat bagian lancip dan tumpul pada kedua ujungnya. Berat telur yang berbeda dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, pakan, dan genetik Untuk kualitas kerabang, banyak faktor yang berkaitan dengan kualitas kerabanga meliputi kecukupan gizi ternak, masalah kesehatan ternak, manajemen pemeliharaan, serta kondisi lingkungan peternakan. Kerabang telur mengandung sekitar 95% kalsium dalam bentuk kalsium karbonat dan sisanya seperti magnesium, fosfor, natrium, kalium, seng, besi, mngan, dan tembaga (Gary et al, 2009). Tebal rata-rata setiap bagian lancip, tengah dan tumpul kerabang telur baru adalah 0,40; 0,43;dan 0,47 mm lebih tebal dari tebal kerabang telur lama yaitu 0.43; 0,33, dan 0,30 mm. Telur yang lebih kecil memiliki kerabang lebih kuat dan tebal daripada

yang lebih besar. Ayam memiliki capacity to deposit calcium in the shell and as a result, the same amount of calcium iskapasitas terbatas untuk deposit kalsium di kerabang dan sebagai hasilnya, jumlah kalsium spread over a larger area (Butcher and Miles, 2003a).tersebar di area yang lebih luas (Butcher dan Miles, 2003). Penurunan kualitas interior diketahui dengan menimbang bobot telur atau meneropong ruang udara (air cell) dan dengan memecah telur untuk diperiksa kondisi kuning telur, putih telur (HU). Pada bagian ujung yang tumpul terdapat kantung udara. Menurut Gary et al (2009), kantung udara merupakan indikator umur atau mutu telur, karena ukurannya akan membesar dengan meningkatnya umur simpan. Perubahan suhu lingkungan dalam telur ketika berada dalam tubuh induk (sekitar 40C) dan suhu luar (sekitar 27C) akan mengakibatkan lapisan membran bagian luar dan dalam tidak melekat satu sama lain. Penguapan air meningkat diantara membran luar yang menempel pada kerabang sedangkan membran dalam penempel pada albumen yang mengkerut dan menyebabkan kantung udara membesar. Telur yang segar memiliki putih telur yang kental yang berarti tebal, bila diukur setelah telur tersebut dipecahkan. Ada empat jenis putih telur. cell membrane. Bagian luar berwarna putih tipis adalah lapisan dengan sedikit cairan sebelah selaput membran. albumen. Bagian luar berwarna putih tebal adalah gel yang membentuk pusat albumen. yolk. Bagian dalam berwarna putih tipis adalah lapisan cairan yolk.Bagian putih tebal (lapisan

terletak di sebelah kuning telur. Membran

chalaziferous) berbentuk padat berupa kapsul fibrosa albumen yang terletak sekitar membran kuning telur. Kapsul fibrosa mempunyai serat yang mengikat pada setiap ujung di chalazae, yang berputar dalam arah yang berlawanan dan berfungsi untuk menjaga kuning telur tetap terpusat.. Selama penyimpanan yang lama, serat kapsul fibrosa menjadi lebih tipis dan albumen menebal yang memungkinkan gerakan kuning telur tidak terpusat lagi (Jacqueline et al, 2000).

Menurut Stadelman dan Cotteril (1973), komposisi dari kulit telur adalah 98,2% kalsium, 0,9 % magnesium dan 0,9 % fosfor. Banyaknya pori-pori per butir telur berkisar antara 7.000 17.000 dan menyebar di seluruh permukaan telur Kulit telur pada bagian tumpul memiliki jumlah pori-pori per satuan luas lebih banyak dibandingkan dengan pori-pori bagian yang lain (Sirait, 1986).

Gambar 1. Susunan bagian kerabang telur menurut Stadelman dan Cotteril (1973) Pada telur segar, permukaan kulit dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang segera mongering setelah peneluran dan menutup pori-pori telur sehingga mengurangi hilangnya air dan gas-gas serta invasi oleh mikroorganisme. Lapisan kutikula mengandung 90 % protein yang kebanyakan terdiri dari tirosin, glisin, lisin dan sistein (Romanoff dan Romanoff, 1963).

HU (Haugh Unit) adalah satuan yang dipakai untuk mengukur kualitas telur dengan melihat kesegaran isinya. Semakin tinggi nilai HU (Haugh Unit) telur,semakin bagus kualitas telur tersebut. Nilai HU (Haugh Unit) perhitungan alat dan rumus terhadap telur baru lebih baik dari telur lama. Nilai HU (Haugh Unit) telur

perlakuan P10 sebesar 70, 24, P1 10 sebesar 57, 63, P1 20 sebesar 81, 42, P1 30 sebesar 40, 84. Putih telur dengan nilai HU (Haugh Unit) sangat encer dan mengembang. Pengembangan putih telur ini terutama disebabkan oleh meningkatnya usia telur. Tingkat pencairan ini ditingkatkan oleh suhu penyimpanan tinggi dan kelembaban rendah. Faktor-faktor seperti perubahan suhu dan meningkatnya kelembaban menghilangkan karbon dioksida (CO2) dari telur yang diperparah dengan lama penyimpanan.. Hasilnya adalah gangguan dalam struktur albumen yang menyebabkan albmumen menjadi transparan dan semakin berair (Jones, 2006). Jones (2006) menambahkan, Bila telur disimpan pada suhu kamar dan kelembaban yang lebih rendah dari 70% akan kehilangan 10 15 HU. akibatnya, kualitas telur albumin akan dipertahankan lebih lama. Pada kuning telur, ada bercak putih kecil pada permukaan kuning telur. Ini adalah disk germinal dan berkembang jika mengandung materi genetik dari induknya. Kuning telur berfungsi sebagai sumber makanan untuk perkembangan embrio. Noda yang tedapat dalam albumin maupun kuning telur seperti (Jones, 2006).bintik-bintik kecil darah. Ini tidak menunjukkan adanya telur subur, hal ini disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah pada permukaan kuning telur selama pembentukan sel telur. Selain itu, kotoran yang terdapat dalam telur disebakan dari kotoran yang masuk dari luar akibat keretakan kerabang. Warna kuning telur yang disukai konsumen salah satunya dipengaruhi oleh zat warna xantofil yang banyak terdapat dalam golongan hidroksi-karotenoid. Zat tersebut selain mempengaruhi warna kuning telur juga warna kulit, shank, paruh, dan pigmen ini akan disimpan di dalam kuning telur. Penyebab keragaman warna kuning telur selain disebabkan oleh jumlah kandungan xantofil dalam bahan pakan, juga disebabkan oleh perbedaan galur, keragaman individu, sangkar, angka kesakitan (morbiditas), cekaman, lemak dalam pakan oksidasi xantofil dalam bahan pakan tertentu.

Kuning telur (egg yolk) merupakan bagian dari kuning telur dimana embrio berkembang. Kuning telur dikelilingi oleh putih telur (albumen atau ovalbumin). Selain itu Warna kuning telur bergantung kepada jenis makanan yang dikonsumsi oleh unggas penghasil telur tersebut. Pakan ayam yang mengandung nutrisi yang cukup dan seimbang akan menghasilkan kuning telur berwarna lebih kuning dan lebih berkualitas. Pakan ayam yang tidak mengandung nutrisi yang cukup dan

seimbang menyebabkan kualitas telur menurun, misalnya kuning telur lebih cerah, putih telur tidak bagus atau terlalu encer, serta telur mengalami kelainan pada kuning telur biasanya kelainan tersebut seperti kuning telur ganda/ kembar atau kuning telur kosong (tanpa kuning telur)(Mulya Sujatmiko,2010). Warna kuning telur disebabkan oleh adanya kandungan karoten pada kuning telur tersebut. Semakin tinggi kandungan karoten akan menyebabkan warna kuning telur semakin tua. Karoten banyak terkandung dalam pigmen xantofil. Sedangkan pigmen xantofil banyak terdapat pada jagung. Pencampuran jagung pada formulasi ransum ayam petelur selain bertujuan sebagai sumber energi juga merupakan sumber karoten pada pembentukan warna kuning telur. Kuning telur tersusun atas 44,8 % air, 17,7 % protein, 35,2 % lemak, 1,1 % karbohidrat dan 1,2 % abu (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air dengan kandungan bahan padat sebesar 50 % dan terdiri atas 1/3 protein dan 2/3 lemak. Kuning telur merupakan bagian terdalam dari telur yang terdiri atas : (1) membran vitelin, (2) saluran latebra, (3) lapisan kuning telur gelap, dan (4) lapisan kuning telur terang (Belitz dan Grosch, 1999). Kuning telur diselubungi oleh membran vitellin yang permeabel terhadap air dan berfungsi mempertahankan bentuk kuning telur (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Kuning telur mengandung 52 % padatan yang mengandung lipoprotein dan protein (Stadelman dan Cotteril, 1995). Protein dalam kuning telur terdiri atas protein granular dan protein plasma. Protein granular terdiri atas - dan - lipovitellin 70 %,

fosvitin 16 % dan lipoprotein 12 %, sedangkan protein plasma mengandung 66 % lipoprotein dan 10,6 % livetin (Winarno dan Koswara, 2002). Kuning telur mengandung zat warna (pigmen) yang umumnya termasuk dalam golongan karotenoid yaitu santofil, lutein dan zeaxantin serta sedikit betakaroten dan kriptosantin. Perubahan warna kuning pada kuning telur olahan menjadi warna hitam kehijauan disebabkan oleh pemanasan yang terlalu lama sehingga membentuk Fe dan S (Winarno dan Koswara, 2002). Indeks kuning telur diperoleh dari tinggi kuning telur. Umur telur mempengaruhi kekuatan dan elastisitas membrane vitellin yang menyebabkan kuning telur melemah. Selain itu juga kekuatan dan elastisitas membrane vitellin dipengaruhi oleh factor ukuran telur, temperature penyimpanan, pH putih telur dan kekentalan putih telur (Heath, 1976). Melemahnya membrane vitellin diamati dengan mengukur indeks kuning telur. Indeks kuning telur segar beragam antara 0,33 dan 0,50 dengan nilai rata-rata 0,42. Semakin bertambahnya umur telur, indeks kuning telur semakin menurun karena penambahan ukuran kuning telur sebagai akibat perpindahan air (Shenstone, 1968). Berdasarkan bahan kering bungkil inti sawit mengandung protein kasar 16,07 %, serat kasar 21,30 %, bahan kering 91,30 %, abu 3,71 %, lemak kasar 8,23 %, Ca 0,27 % dan P 0,94 % (Hasil analisa Laboratorium Gizi Non Ruminansia Fakultas PeternakanUniversitas Andalas, 2009). Dengan komposisi gizi seperti ini BIS berpotensi sebagai bahan pakan, baik untuk ternak ruminansia maupun non ruminansia.Bungkil untukdimanfaatkan inti sawit sebagai bahanpakan alternatif akan sulit secara

sebagai

pakan

ternakunggas

apabila

digunakan

langsungtanpa pengolahan sebelumnya. Hal ini dikarenakan kandungan serat kasar,dan Cu yang tinggi dan daya guna protein dan palatabilitas yang rendah dari bungkil inti sawit. Untuk menurunkan serat kasar dan meningkatkan daya guna protein dari bungkil inti sawit salah satunya melalui fermentasi. Fermentasi dapat memperbaiki kandungan dan nilai gizi dari bahan makanan, serta dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak dikehendaki (Anas, 1982). Produk hasil

fermentasi memiliki kualitas yang lebih baik, hal ini sesuai dengan pendapat Poesponegoro (1975) yang menyatakan bahwa bahan makanan yang difermentasi dapat mengubah bahan pakan yang susah dicerna menjadi lebih mudah dicerna. Peningkatan daya cerna ransum juga dapat meningkatkan konsumsi ransum sehingga produksi telur juga meningkat. Fermentasi bungkil inti sawit telah dilakukan oleh Mirnawati dkk. (2008) dengan mengkombinasikan Asam Humat dengan Aspergillus niger yang menghasilkan kandungan gizi bahan kering 42,38 %, serat kasar 9,81 % dan protein kasar sebesar 23,20 %. Sedangkan untuk menurunkan kadar Cu dilakukan dengan perendaman denganasam humat 400 ppm selama 18 jam. Asam humat adalah salah satu senyawa yang terkandung dalam Humic Substance yang merupakan hasil dekomposisi bahan organik, terutama bahan nabati yang terdapat dalam batubara muda, tanah gambut, kompos atau humus (Senn dan Kigman, 1973). Disamping itu asam humat dapat meningkatkan berat badan tanpa meningkatkan jumlah konsumsi, menstabilkan flora dan meningkatkan kegunaan dari nutrisi makanan ternak (Humin Tech, 2004). Asam humat juga dapat meningkatkan produksi telur, menekan kematian dan meningkatkan konversi ransum tapi tidak meningkatkan kualitas telur.

Kesimpulan Kualitas telur adalah istilah umum yang mengacu pada beberapa standar yang menentukan baik kualitas internal dan eksternal. Kualitas eksternal difokuskan pada kebersihan kulit, tekstur dan bentuk telur, sedangkan kualitas internal mengacu pada putih telur (albumen) kebersihan dan viskositas, ukuran sel udara, bentuk kuning telur dan kekuatan kuning telur kuning telur dalam praktikum ini hanya indeks warna 5 dan 8 untuk kuning telur yang baik adalah indeks telurnya > 9 - 20. Karena ada perbedaan warna kuning telur karena perlakuannya berbeda- beda.

DAFTAR PUSTAKA Amrullah, 2003. Meningkatkan Skor Kuning Telur. Staf Peneliti BPTP Selatan. Anas, Y. 1982. Fermentasi Kedelai oleh Cendawan Rhizopus sp Pada Pembuatan Tempe. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Anonim. 2007. Kualitas Telur Optimum. http://www.thepoultrysite.com/articles/1232/-optimumeggs quality ( 2 Januari 2013) Anonim, 2010. Fermentasi asam laktat. http://lordbroken.wordpress.com/2010/08/25/ fermentasi-asam-laktat/. Diakses [20 Oktober 2011]. Butcher, GD and Miles, RD , 2003. Concepts of Eggshell Quality. University of Florida. University of Florida. http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/VM/VM01300.pdf (2 januari 2013) Gary D, Butcher DVM, dan Richard Miles. 2009. Ilmu Unggas, Jasa Ekstensi Koperasi, Lembaga Ilmu Pangan dan Pertanian Universitas Florida. Gainesville Kalimantan

Gumay, T. R. 2009. Kandungan Beta Karoten dan Nilai Gizi Telur Asin dari itik yang Mendapatkan Limbah Udang. Program studi Teknologi Hasil Ternak. Fakutas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heath, J.L. 1976. Factors Affecting the Vitelline Membrane og Hens Egg. Poultry Sci. 55:936-942. Mirnawati, I Putu Kompiang, Harnentis. 2008. Peran Asam Humat Dalam Menetralisir Logam Berat DalamBioteknologi Bungkil Inti Sawit Sebagai Pakan Unggas. Laporan Hibah Bersaing, Dikti.

Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia, Universitas Indonesia-Press. Jakarta. Pomeranz, Y. 1985. Functional Propoteis of Food Components Academic Press, Inc., London Posponegoro, M. 1975. Makanan Proses Fermentasi, Ceramah Ilmiah LKN LPI, Bandung. Purwadaria, T., T. Haryati, A.P. Sinurat, J. Darma, and T. Pasaribu. 1995. In vitro nutrient value of coconut meal fermented with Aspergillus niger NRRL 337 at different enzimatic incubation temperatures. 2nd Conference on Agricultural Biotechnology Jakarta, 13-15 June 1995. Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The avian Eggs. John Willey and sons, Inc, New York. Silalahi, M. 2009. Pengaruh Beberapa Bahan Pengawet Nabati terhadap Nilai Haugh Unit, Berat dan Kualitas Telur Konsumsi selama Penyimpanan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, Bandar Lampung. Shenstone, F.S, 1968. The Gross Composition, Chemistry and Physico-Chemical Basic of Organization of the Yolk and the White. In : Carter, T.C. (Ed). Egg Quality, A Study of Hens Egg. Oliver and Boyd. Robert Cunningham and Sons Ltd, Alva, Great Britain.

Stadelman, W. J. and O. J. Cotteril. 1973. Egg Science and Technology. The AVI Publishing, Inc. Westport. Connecticut. Sudaryani, . 2000. Kualitas Telur. Penebar Swadaya, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2008. Kualitas Telur Konsumsi SNI 3926_2008. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta. USDA Food Safety Inspection Service. 2000. Shell Eggs from Farm to Table. http://www.fsis.usda.gov/PDF/Shell_Eggs_from_F Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. dan S. Koswara. 2002., Telur : Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya, M-Brio Press, Bogor.

You might also like