You are on page 1of 12

Makalah Ujian Nasional

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Apakah Ujian Nasonal merupakan solusi perbaikan pendidikan kita. Berpikir lebih jernih, adanya asumsi yang mengemuka tersebut terkesan tidak berdasar. Ketika kita berbicara tentang pendidikan sebagai sebuah sistem, evaluasi tentu dibutuhkan dalam setiap jenjang pendidikan. Evaluasi diperlukan untuk menilai seberapa jauh capaian kompentensi siswa dengan kompetensi ideal yang menjadi tujuan pembelajaran di setiap jenjang pendidikan. Maksud dari wajib belajar tentu saja bukan sekadar memasuki bangku sekolah, namun juga menegaskan adanya tanggung jawab moral untuk membekali siswa dengan aneka kemampuan sesuai potensi yang dimilikinya. Wajib belajar tidak berarti dengan sesukanya menaikkan kelas ataupun meluluskan siswa. Sekadar menaikkan kelas atau meluluskan siswa yang ternyata belum memenuhi standar kompetensi bisa dikatakan merupakan tindakan salah kaprah. Selain memiliki kewajiban belajar, siswa pada dasarnya juga memiliki hak untuk belajar. Dengan kata lain, kewajiban dan hak belajar semestinya berjalan beriringan dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kemampuan siswa. Jika dalam evaluasi siswa belum berhasil mencapai kompetensi yang menjadi tujuan pendidikan, maka siswa berhak belajar meningkatkan kompetensinya. Bahkan, tidak ada salahnya bagi siswa untuk mengulang belajar satu tahun lagi agar kompetensi yang dimilikinya selaras dengan tujuan dari jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Ditarik garis lurus, jika UN dikatakan menghambat program wajib belajar, maka ujian sekolah pun diasumsikan sama. Pendek kata, sekolah tak perlu lagi menyelenggarakan sistem evaluasi, entah itu ujian sekolah ataupun UN, karena menyebabkan siswa yang memiliki nilai dibawah rata-rata tidak lulus. Dengan adanya siswa yang tidak lulus berarti program wajib belajar dipertanyakan. Sekali lagi, pola pikir seperti itu salah kaprah. Kita memang harus berpikir jernih mengenai penerapan UN SD ini. Kelayakan penyelenggaraan UN SD hendaknya jangan dikait-kaitkan dengan program wajib belajar.

Bagaimana pun, program wajib belajar bisa terlaksana meskipun UN SD diselenggarakan, bahkan UN tidak ada sekalipun. Perlu atau tidaknya UN SD harus didasarkan pada konsesus stakeholders pendidikan. Yang perlu diingat, evaluasi tak bisa diabaikan, apa pun bentuk evalusi tersebut.Sebagaimana diutarakan di muka, pendidikan sebagai sebuah sistem tentu memerlukan adanya evaluasi. Selain evaluasi, sistem pendidikan juga mengandung tujuan/kompetensi, isi, dan strategi. Ada tujuan/kompetensi pendidikan dalam setiap jenjang pendidikan yang ingin isi diwujudkan pendidikan dan kepada dituangkan siswa dalam isi pendidikan. strategi Untuk

mentransformasikan

membutuhkan

pencapaian

tujuan/kompetensi pendidikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah tujuan pendidikan telah tercapai setelah isi pendidikan ditransformasikan dengan aneka bentuk strategi. Salah satu pengevaluasian itu menyangkut siswa sebagai input dan output pendidikan yang menjalani proses pendidikan. Dari penjabaran sederhana tersebut siswa dikatakan tidak naik kelas/tidak lulus karena masih ada kesenjangan antara tujuan/kompetensi pendidikan yang hendak dicapai dengan kondisi obyektif siswa. Dalam hal ini, munculnya gejala ditabukannya kata tidak lulus atau tidak naik kelas dalam dunia pendidikan perlu dikoreksi. Tidak lulus atau tidak naik kelas yang sering kali dikatakan mengebiri hak pendidikan siswa tak sepenuhnya tepat. Dengan tidak lulus atau tidak naik kelas, siswa tetap mendapatkan hak pendidikan. Jika siswa belum mencapai tujuan/kompetensi pendidikan yang diidealkan, maka siswa memiliki hak untuk belajar kembali. Lebih tegas lagi, lulus/tidak lulus atau naik kelas/tidak naik kelas merupakan hak dalam pendidikan. Jadi, apa salahnya siswa tidak lulus atau tidak120 naik kelas? Pada titik ini, kita tentu tidak lupa bahwa sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki tanggung jawab moral untuk meningkatkan kualitas siswa agar dapat menjalani kehidupan di masa kini dan masa depan. Bukankah menyiapkan siswa untuk terjun ke dunia nyata dengan kualitas memadai merupakan fungsi dari sekolah? Nah, relakah nurani kita meluluskan siswa dengan asal lulus dan membiarkan mereka menghadapi realita kehidupan minim kemampuan? Memang diakui jika persoalan terkait kebijakan UN SD memang tidaklah sederhana. Berbagai pihak yang menentang diterapkannya UN SD juga beranjak dari fakta empiris selama ini. Diakui atau tidak, penerapan UN memang menimbulkan kerunyaman dunia pendidikan. Kenyataan di lapangan menunjukkan orientasi sekolah sekadar mengejar target lulus UN.

Jam tambahan untuk memperdalam materi pelajaran yang diujikan dalam UN diselenggarakan pihak sekolah. Selain itu, program uji coba UN tak ketinggalan masuk dalam agenda pihak sekolah, bahkan sekolah seolah-olah telah berubah wajah menjadi tempat bimbingan tes. Ditilik lebih jauh, pola belajar menjelang UN sedikit banyak menimbulkan keprihatinan. Peserta didik calon peserta UN terus dipacu mendalami prediksi materi UN dan acap kali lebih tertuju pada hafalan dan menjawab soal-soal pilihan ganda. Hakikat belajar untuk membentuk sikap dan perilaku peserta didik menjadi terabaikan. Sekolah sebagai institusi pendidikan bisa dikatakan telah kehilangan ruh untuk mendidik siswa. Menurut pandangan penulis, perilaku pihak sekolah sebagaimana disebutkan di atas tidak melulu akibat dari kebijakan UN. Perilaku di atas muncul justru dari penyikapan tidak tepat pihak sekolah dalam memosisikan UN. Pihak sekolah seharusnya bersikap wajar-wajar saja dan menjalankan proses belajar mengajar sebagaimana mestinya. Penyikapan yang kurang tepat juga tampak dari kasus kecurangan yang kerap kali terjadi selama hajatan UN. Memang diakui jika kasus kecurangan berangkat dari kekhawatiran terhadap ketidaklulusan siswa. Pihak sekolah memiliki tujuan agar siswasiswanya minimal memenuhi standar nilai kelulusan dan atas dasar itulah segala upaya dilakukan meskipun dengan cara tidak benar. Kalau kita melihat lebih jernih, perilaku kecurangan sebenarnya tidak hanya terkait dengan penyelenggaraan UN. Dalam ujian sekolah yang diselenggarakan pihak sekolah pun kecurangan selalu muncul, bahkan pihak sekolah sering mengatrol nilai siswa-siswanya agar bisa berhasil lulus. Maka itu, argumen untuk meniadakan UN karena menyebabkan maraknya kecurangankecurangan dalam dunia pendidikan juga terkesan mengada-ada. Disadari atau tidak, penyikapan keliru pihak sekolah itu akibat dari ketidaksamaan persepsi stakeholders pendidikan di Tanah Air. UN selalu saja diasumsikan sebagai penentu tunggal kelulusan, padahal masih ada kriteria lain dalam meluluskan siswa. Dalam hal PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) Pasal 72 Ayat 1 disebutkan bahwa siswa dinyatakan lulus dari satuan pendidikan dasar dan menengah setelah : (a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; (b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika,

dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; (c) lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (d) lulus ujian nasional. Mengacu pada PP tersebut, tidak ada mata pelajaran yang dianaktirikan akibat dari kebijakan UN. Mata pelajaran, baik yang diujikan maupun yang tidak diujikan dalam UN, tetap sama-sama penting. Bukankah mata pelajaran non-UN diujikan dalam ujian sekolah yang merupakan salah satu kriteria dalam meluluskan siswa? Akhlak dan budi pekerti siswa pun tak dilalaikan dalam meluluskan siswa dari jenjang pendidikan. Disini penyusun akan menyajikan mengenai pengertian UN, pro dan kontra, prolematika UN, Pelaksanaan UN, problematika dan UN di lapangan.

1.2 Tujuan 1. Melengkapi tugas mata kuliah dasar-dasar pendidikan. 2. Memberikan informasi mengenai Ujian Nasional secara umum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Kontroversi Ujian Nasional


September 15, 2008 Dadan Wahidin 1 Vote

Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya.Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran

yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme. Kita maklumi pula bahwa Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik. Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
Terlepas dari kontroversi yang ada bahwa sampai saat ini belum ada pola baku sistem ujian akhir untuk siswa. Perubahan sering terjadi seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap pejabat ganti, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa. Periode 1950-1960-an Ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon. Periode 1965-1971 Semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah pusat pula yang menentukan waktu ujian. Periode 1972-1979 Pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masingmasing sekolah atau kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum. 1980-2000 Mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas. Ebtanas dikoordinasi pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor.

2001-sekarang

Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi.

Sumber : http://www.tempointeraktif.com/

Sebuah pembahasan UN Jangan Jadi Acuan


Senin, 19 Mei 2008 | 00:42 WIB

PALUPI PANCA ASTUTI Sebagai bagian dari komponen evaluasi pendidikan, publik setuju apabila ujian nasional dipakai sebagai tolok ukur kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, ujian nasional sebaiknya jangan dijadikan acuan atau dasar kelulusan siswa, tetapi kelulusan siswa mengikuti standar sekolah yang bersangkutan. Hal itu terangkum dalam jajak pendapat terhadap 871 pemilik telepon rumah di 10 kota besar pada 7-9 Mei 2008. Sebanyak 70 persen responden setuju apabila ujian nasional (UN) dilaksanakan dengan tujuan penyeragaman mutu pendidikan. Meski demikian, 75 persen responden mengingatkan hal ini menjadi tugas berat pemerintah karena beragamnya mutu pendidikan di Tanah Air. UN saat ini lebih berkaitan dengan dimensi kognitif atau akademik siswa. Padahal, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mengubah perilaku peserta didik. Dalam prosesnya, perubahan perilaku membutuhkan banyak aspek penanganan, meliputi aspek kognitif, sikap (afektif), dan keterampilan gerak (psikomotorik). Sementara UN cenderung mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotorik. Dilaksanakannya UN membuat sekolah-sekolah melakukan model belajar drilling, memaksa peserta didik terus-menerus berlatih soal mata pelajaran yang akan diujikan. Siswa dipaksa menghafal beragam tipe soal dan rumus, tanpa harus memikirkan logika soal yang dihadapi atau kritis terhadap permasalahan yang ia hadapi. Potensi otak yang sangat luar biasa pun menjadi terlatih berpikir konvergen, yaitu berpikir secara menyempit. Setiap masalah yang muncul hanya butuh satu jawaban, tak ada alternatif. Sekolah hanya sebagai tempat ujian, bukan wahana mengasah akal budi. Di sisi lain, penyamarataan soal-soal UN merugikan sekolah dan peserta didik yang belum mencapai taraf pembelajaran setingkat yang diujikan UN. UN per jenjang Jika melihat kenyataan mutu pendidikan Indonesia yang bervariasi, semestinya evaluasi pendidikan tidak bersifat standar di seluruh daerah. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tahun 20062007 sekitar 285.000 guru sekolah menengah atas (SMA) memiliki tingkat pendidikan akhir yang beragam mulai dari diploma tiga (D-3) hingga strata 1 (S-1). Namun, kenyataan itu tidak memengaruhi pendapat publik tentang perlunya ujian nasional dan keseragaman soal dalam UN. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju pelaksanaan UN di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah yang lebih banyak daripada yang tidak setuju. Jika dilihat per jenjang, hanya 11 persen responden tidak setuju terhadap pelaksanaan ujian nasional SMA. Sementara pada sekolah menengah pertama (SMP) kurang dari sepertiga responden tidak setuju UN. Hanya terhadap pelaksanaan UN di jenjang sekolah dasar (SD) publik tampak ragu. Di kategori ini, meski jumlah yang setuju tetap lebih besar, yaitu 60 persen, selebihnya menyatakan tidak setuju dan ragu-ragu. Walaupun indikasi setuju cukup kuat, hal ini tidak menutupi keresahan publik. Tidak semua sekolah telah mencapai kompetensi seperti yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, terhadap standardisasi tingkat kesulitan butir soal, tanggapan responden cukup berimbang. Mereka yang setuju terhadap penyeragaman soal sekitar 53 persen dan yang tidak setuju mencapai 45 persen.

Di samping itu, menurut teori kecerdasan majemuk dari Gagne, tidak semua orang berpotensi menjadi ahli Matematika, Bahasa Inggris, atau mata pelajaran lain yang diujikan dalam UN. Bagi jago olahraga, misalnya, UN adalah monster. Hal itu karena jika mereka tak lulus UN, pupuslah langkah mereka ke pendidikan berikutnya. Penggunaan hasil nilai UN untuk menentukan kelulusan ditanggapi secara kontroversial oleh publik. Responden yang menerima 49,6 persen dan yang menolak 49,7 persen. Mereka yang menolak, terutama tergambar pada orangtua yang memiliki anak yang bersekolah di SLTA dan kalangan responden berpendidikan tinggi (perguruan tinggi). Pendapat setuju lebih banyak dilontarkan responden berpendidikan SLTP ke bawah. UN, sesuai namanya, adalah bagian dari evaluasi pendidikan secara nasional. Namun, jika UN ditetapkan sebagai penentu kelulusan siswa, ia bisa dianggap algojo yang mengeksekusi nasib dan masa depan ribuan siswa yang tidak lulus. (Litbang Kompas)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/19/00422617/un.jangan.jadi.acuan. 1-6-2008.. Artikel di atas merupakan salah satu artikel yang ingin saya soroti dan saya angkat Dalam melakukan pembangunan, setiap negara memerlukan sumber daya yang bermutu dan potensial. Dengan demikian,maka harus tercipta suatu hubungan yang sinergis dan kooperatif antara Sumber Daya Alam (SDA) dan juga Sumber Daya Manusia (SDA) yang ada di negara tersebut, sehingga pembangunan yang telah direncanakan dapat berjalan maksimal, terarah dan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk dapat memaksimalkan potensi SDA yang ada di suatu negara, maka harus juga tesedia SDM yang memadai untuk dapat mengolah, memanfaatkan dan menggunakan SDA tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk dapat membangun SDM yang memadai dan berkualitas adalah dengan cara menyelenggarakan pendidikan baik itu secara formal yaitu lembaga yang biasa kita sebut sebagai sekolah, ataupun lembaga nonformal lainnya yang dapat menyentuh semua kalangan. Pendidikan menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Bangsa Indonesia. Pendidikan menjadi sarana bagi pembentukan intelektualitas, bakat, budi pekerti/akhlak serta kecakapan peserta didik (Zubaedi, 2006). Tetapi lambat laun pengembangan pendidikan di Negara Indonesia semakin kompleks dikarenakan banyaknya masalah yang dihadapi. Permasalahan yang ada dapat saya inventarisasikan menjadi beberapa poin seperti; pertama, segi tenaga pengajar yang sebagian besar belum memenuhi standar kompetensi, kedua, kurikulum yang silih berganti dan tidak mengembangkan siswa, ketiga kebijakan pendidikan yang tidak jelas tujuannya, keempat, masalah buku pelajaran yang selalu berganti sehingga pada akhirnya berimplikasi kepada semakin mahalnya beban biaya pendidikan, kelima, biaya pendidikan yang sedemikian mahal sehingga tidak bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat, karena bisa dibayangkan betapa besarnya biaya masuk sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar yang berkisar antara 1 3,5 juta,

tingkat SMP dengan biaya masuk yang berkisar antara 3-7 juta, serta beban biaya untuk tingkat SMU yang mampu mencapai angka 10 juta (Eko Prasetyo, 2006), sampai kepada evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang dinilai kontroversial yang biasa kita kenal sebagai Ujian Nasional (UN). Dalam pembahasan kasus kali ini,saya mencoba mengkaji mengenai fenomena UN yang baru bulan Mei lalu dilaksanakan, baik untuk tingkat SD,SMP sampai SMU. Sebuah artikel dari surat kabar harian Kompas yang terbit pada tanggal 19 Mei 2008 yang lalu menurut saya semakin memperjelas kontroversi yang terjadi di dalam tubuh pelaksanaan UN sendiri dan semakin memeprlihatkan betapa carut-marutnya pendidikan dan pemahaman orang mengenai arti pendidikan itu sendiri. Rumusan Masalah Intisari Kasus dan Pemetaan Kasus Masalah Ujian Nasional menurut saya harus kembali kepada konsep dan tujuan dasar dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan berasal dari kata didik v, mendidik, yang dapat diartikan memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang / kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik (KBBI, 1988). Dalam bahasa Latin, kata pendidikan diartikan menjadi educare yang berasal dari sebuah kata e-ducare yang berarti menggiring ke luar. Jadi educare dapat diartikan sebagai usaha pemuliaan, pemuliaan manusia atau pembentukan manusia (J.Drost, SJ, 1999). Masalah utama yang terjadi adalah Ujian Nasional (UN) yang menuai banyak kritik dikarenakan beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama yang menjadi faktor penyebab adalah UN yang fungsinya digunakan sebagai salah satu instrumen yang digunakan sebagai evaluasi pendidikan yang dilaksanakan di Negara Indonesia malahan dinilai mematikan potensi siswa dalam melakukan pembelajaran karena lewat instrumen UN ini yang dievaluasi adalah dari aspek kogntif atau dengan kata lain hanya mendewakan sisi akademis, pengetahuan intelektual, dan kemampuan teoritis belajar dari seorang siswa tanpa memperhitungkan aspek-aspek lainnya dari seorang siswa, seperti aspek psikologis, aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotoriknya. Selain itu, faktor berikutnya UN yang dilaksanakan saat ini tidak melihat bagaimana sistem pendidikan dan pembelajaran yang berjalan di sekolah-sekolah di daerah-daerah. Adanya

penyeragaman standardisasi angka kelulusan siswa menyebabkan masalah pelaksaan UN menjadi semakin kompleks. Sebagai contoh kecil, setiap sekolah pasti mempunyai kualitas guru yang berbeda. Menyamakan kemampuan dan kualitas setiap sekolah tentu saja merupakan hal yang salah, karena setiap sekolah tentu mempunyai kualitas yang ber beda-beda. Akibatnya, standarisasi nilai kelulusan siswa akhirnya menjadi momok yang menakutkan baik bagi siswa dan bagi guru sendiri. Padahal, seharusnya ada 8 standar nasional pendidikan yang harus dipenuhi oleh masing-masing sekolah (Kompas, 17 Mei 2008), yaitu : Standar sarana dan prasarana. Standar pendidik dan tenaga kependidikan. Standar kompetensi kelulusan. Standar isi. Standar proses. Standar pengelolaan. Standar pembiayaan pendidikan. Standar penilaian pendidikan. Dari poin-poin diatas serta didukung dengan isi artikel mengenai UN, saya dapat mengatakan bahwa konsep dan tujuan dari pendidikan nasional yang terjadi di negara kita sudah bergeser. Tujuan pendidikan yang membebaskan, usaha pembentukan manusia dan pemuliaan manusia, sudah kabur di mata masyarakat, pemerintah ataupun pembuat kebijakan pendidikan. Para stake holder ini seakan tidak mengerti tentang konsep pendidikan yang semestinya. hal ini terbukti dari hasil survey yang tertulis di artikel bahwa 70 % responden menyatakan bahwa UN masih perlu dilakukan dengan alasan penyeragaman mutu pendidikan. Yang ingin saya tekankan disini, apabila kita berbicara tentang mutu pendidikan, maka harus ada hal lain yang dapat digunakan sebagai perbandingan, dengan demikian, apa yang akan kita gunakan sebagai pembanding? Apakah dibandingkan dengan pendidikan pada zaman kolonial dahulu ataupun yang masih bersifat konvensional ataukah diperbandingkan dengan hasil yang dicapai pendidikan nasional kita dengan mutu pendidikan yang telah dicapai oleh Negara-negara di Eropa, Amerika dan sebagainya yang hasilnya tentu akan tidak imbang dan membingungkan. selain itu, apakah penilaian tentang mutu pendidikan harus dinilai dengan menggunakan kriteria parsial dimana mutu pendidikan hanya dilihat dari segi mutu akademik saja?, sebagai contoh, suatu sekolah dianggap bermutu tinggi apabila sekolah tersebut menghasilkan banyak lulusan

(Siti Rokhayah, 2001). Kriteria ataupun ukuran pendidikan di negara kita-lah yang selama ini membingungkan dan tidak jelas. Ketika kita berbicara tentang mutu pendidikan, maka harus ada kriteria yang digunakan, misal ; apakah proses pendidikan itu telah berjalan secara efektif, ekonomis atau memuaskan dalam rangka mencapai standar yang telah ditentukan. Selain itu juga tujuan tersebut haruslah berupa kriteria internal dan menyeluruh, sehingga apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka penilaian kita akan bias (Siti Rokhayah, 2001).

Analisis Teori berdasarkan kasus dan artikel di atas, saya ingin menekankan bahwa UN memang baik apabila dijadikan sebagai instrumen evaluasi pendidikan nasional Indonesia, tetapi tidak menjadi satu-satunya instrumen yang digunakan sebagai penentu kelulusan seorang siswa. Padahal apabila mengutip dari teori kecerdasan majemuk Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Prof. Howard Gardner (Limas Sutanto dalam www.kompas-cetak.com), ada banyak kecerdasan yang dimiliki setiap orang. Teori ini juga menekankan pentingnya model atau teladan yang sudah berhasil mengembangkan salah satu kecerdasan hingga puncak (www.nuritaputranti.wordpress.com). Dalam penjelasan mengenai teori ini, lebih lanjut Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan seseorang banyak macamnya dan dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Kecerdasan Verbal, yaitu bentuk kecerdasan yang dinampakkan oleh kepekaan akan makna dan urutan kata serta kemampuan membuat beragam penggunaan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks. 2. Kecerdasan Logika / matematika, yaitu bentuk kecerdasan yang termasuk paling mudah distandarisasikan dan diukur. Kecerdasan ini sebagai pikiran analitik dan sainstifik, dan bisa melihatnya dalam diri ahli sains, programmer komputer, akuntan, banker dan tentu saja ahli matematika. 3. Kecerdasan spasial / visual, yaitu bentuk kecerdasan yang pada umumnya seseorang terampil menghasilkan imaji mental dan menciptakan representasi grafis, mereka sanggup berpikir tiga dimensi, mampu mencipta ulang dunia visual. 4. Kecerdasan tubuh / kinestetik, yaitu bentuk kecerdasan yang memungkinkan terjadinya hubungan antara pikiran dan tubuh yang diperlukan untuk berhasil dalam aktivitas-

aktivitas seperti menari, melakukan pantomim, berolahraga, seni bela diri dan memainkan drama. 5. Kecerdasan Musikal / ritmik, yaitu bentuk kecerdasan yang memungkinkan seseorang untuk mendengarkan pola musik dan ritmik secara natural dan kemudian dapat memproduksinya. 6. Kecerdasan Interpersonal, yaitu bentuk kecerdasan yang bersifat wajib bagi tugas-tugas yang harus dilaksanakan ditempat kerja seperti negosiasi dan menyediakan umpan balik atau evaluasi. 7. Kecerdasan Intrapersonal, yaitu bentuk kecerdasan ini yang merupakan kemampuan untuk memahami dan mengartikulasikan cara kerja terdalam dari karakter dan kepribadian. Kita sering menamai kecerdasan ini dengan kebijaksanaan. 8. Kecerdasan Naturalis, yaitu bentuk kecerdasan seseorang dimana seseorang mampu untuk memahami dan mewujudkan hubungan dengan flora, fauna dan alam sekitar. 9. Kecerdasan Spiritual, yaitu bentuk kecerdasan yang dapat dipandang sebagai sebuah kombinasi dan kesadaran interpersonal dan kecerdasan intrapersonal dengan sebuah komponen nilai yang ditambahkan padanya. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan rohaniah, yang menuntun diri kita menjadi manusia yang utuh, berada pada bagian yang paling dalam diri kita. Dari teori yang dikemukakan oleh Gardner ini, maka semakin memperkuat kesimpulan bahwa UN yang saat ini sedang dijalankan oleh Negara Indonesia UN dapat menjadi instrumen evaluasi, akan tetapi UN akan menjadi tidak memadai apabila dijadikan sebagai alat penentu kelulusan seorang siswa. UN yang sekarang dengan mengujikan beberapa mata pelajaran menjadi suatu hal yang mengerikan karena hasil belajar siswa dalam waktu 3 tahun harus dipertaruhkan dengan waktu UN yang dilaksanakan hanya beberapa hari saja. Padahal menurut saya akan lebih baik apabila kita mampu mencontoh Negara Finlandia dengan sistem pendidikan dan ujian nasionalnya. Di Negara Finlandia, UN (atau apapun namanya di Negara Finlandia) hanya digunakan sebagai instrumen evaluasi mutu dan hasil pendidikan di negara itu, dan ujian ini pun tidak diikuti oleh semua siswa melainkan hanya beberapa orang siswa saja, bukan sebagai penentu kelulusan seorang siswa.

Sayangnya, saat ini negara kita tidak mampu berkaca, baik kepada diri sendiri terlebih kepada negeri lain. UN..Jangan dijadikan acuan! masih ada kriteria dan ukuran lain yang dapat menyebabkan seorang siswa dapat lulus, bukan hanya UN yang hanya mengujikan aspek akademis saja.

Daftar Pustaka Depdikbud, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. Drost, J, 1999, Proses Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikan, Jakarta, Grasindo. Prasetyo, Eko, 2006, Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta, Ressist Book. Rokhayah, Siti, dkk, 2001, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta, UNJ Zubaedi, 2006, Pendidikan Berbasis Masyarakat; Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Kompas cetak, 17 mei 2008. www.nuritaputranti.wordpress.com, diakses tanggal 3 Juni 2008 www.kompas-cetak.com, diakses tanggal 1 Juni 2008

You might also like